• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel Ilmiah Keterkaitan HTI dengan RE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Artikel Ilmiah Keterkaitan HTI dengan RE"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN HTI DENGAN REDD+

Azzah Fizda

(1307123284)

Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Riau

Email :

azzahfizda@rocketmail.com

ABSTRAK

Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis tetapi juga mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya fungsi ekologis bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu potensi Hutan Tanaman Industri adalah biomassa. Biomassa mempunyai peran dalam perencanaan hutan dan informasi karbon. Hutan Tanaman Industri menjadi salah satu objek yang potensial karena keberadaan HTI di Indonesia semakin meningkat. Hutan Tanaman Industri tersebar berdasarkan kompartemenisasi dan system tebangan berpola mozaik yang terdapat di berbagai tempat. Ketinggian wilayah dan lereng tidak mempunyai peran besar dalam besaran biomassa tanaman HTI.

Sejak 2008 Kementerian Kehutanan telah memulai program pengujian penerapan REDD+ di Indonesia melalui projek percontohan. Projek-projek percontohan ini juga menjadi dasar pengujian untuk menjawab pertanyaan sebelum menyusun dan melaksanakan kebijakan REDD+ nasional di masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, informasi, dan gambaran awal projek dan kegiatan percontohan REDD+ serta mengamati pola yang muncul dalam berbagai gambaran projek REDD+ di level subnasional dan implikasinya untuk mewujudkan REDD+.

(2)

digunakan untuk pembuatan rancangan penelitian. Semua corak yang berbeda mengenai projek REDD+ ini dapat memberikan pelajaran berharga untuk memanfaatkan hutan guna memperlambat perubahan iklim.

Keyword : Hutan Tanaman Industri, REDD+, Projek REDD+ dan HTI

PENDAHULUAN

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan salah satu program untuk penyediaan kayu dalam jumlah cukup, berkualitas baik secara terus menerus dan lestari. Salah satu tantangan dalam pembangunan HTI adalah penyediaan bibit tanaman dalam jumlah yang sangat besar dengan kualitas yang tinggi dan seragam agar menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan yang baik, tingkat ketahanan hidup yang tinggi dan bernilai ekonomis sehingga menjamin kembalinya biaya investasi yang telah dikeluarkan. Salah satu jenis species yang mendapat prioritas dalam pembangunan HTI adalah sengon (Falcataria moluccana).

Jenis ini dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah masa masak tebang relatif pendek, pengelolaan relatif mudah, persyaratan tempat tumbuh tidak rumit, kayunya serbaguna, membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan dan dapat memberikan kegunaan serta keuntungan yang tinggi, misalnya untuk produksi kayu pertukangan, bahan pulp, papan partikel dan kayu energi (Atmosuseno, 1994). Penanaman sengon dalam skala besar di Indonesia dalam tujuan tertentu menghadapi beberapa tantangan. Di samping produksinya harus memenuhi target kebutuhan bahan baku industri yang disesuaikan dengan pertumbuhan riapnya, juga harus diusahakan agar tingkat kematian tanaman tersebut kecil, sehat dan bebas dari serangan hama penyakit.

(3)

yang penting. Na’iem (1996) mengatakan bahwa menanam pohon dengan menggunakan benih yang tidak jelas asal-asulnya akan memiliki resiko tinggi terhadap kegagalan penanaman. Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan benih unggul untuk pohon hutan adalah sangat penting. Benih unggul hanya akan didapatkan dari hasil kegiatan pemuliaan.

PEMBAHASAN

Definisi Hutan Tanaman Industri

Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah perkebunan kayu monokultur skala besar yang ditanam dan dipanen untuk produksi bubur dan bubur kertas. Pohon-pohon seperti Eucalyptus dan Akasia ditanam melebihi batas produktivitas alami, dengan kecepatan tumbuh dan toleransi tinggi terhadap lahan terdegradasi. Kayu yang dihasilkan dari perkebunan ini digunakan secara luas sebagai bahan bakar dan konstruksi serta produksi kertas dan kain seperti rayon.

Pengembangan HTI dipromosikan besar-besaran di negara-negara Selatan, dimana Cina, Indonesia dan Brazil menjadi produsen utama sedunia untuk bubur kertas dan kertas. Tujuan dari pembangunan HTI adalah yang pertama meningkatkan produktivitas hutan produksi, dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku industri perkayuan dan penyediaan lapangan usaha (pertumbuhan ekonomi/pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor) dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-enviroment). Dan yang kedua untuk mendorong daya saing produk industri perkayuan (penggergajian, kayu lapis, pulp & paper, meubel dll) untuk kebutuhan dalam negeri dan ekspor.

Persoalan Hutan Tanaman Industri

(4)

berdampak pada meningkatnya emisi gas rumah kaca, hilangnya keanekaragaman hayati serta konsekuensi negatif terhadap kondisi ekonomi lokal, mata pencaharian dan budaya masyarakat yang tergantung pada hutan.

Hutan asli berperan penting dalam melestarikan populasi adat, seluruh mata pencaharian tergantung pada mereka. Hutan merupakan sumber makanan, bahan bangunan, obat-obatan serta tanaman yang bermakna religius, dan hal tersebut adalah inti dari ekonomi dan budaya adat. Mengganti hutan hujan tropis dengan perkebunan dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang tergantung pada hutan .

Hal ini terjadi dalam industri bubur kertas dan kertas, dimana pendapatan bersih yang masyakat dapatkan dari perkebunan seringkali lebih rendah dibanding dari industri lainnya (sebagai contoh kelapa sawit dan karet). Karena semakin banyak masyarakat menolak perluasan HTI, konflik-konflik atas akses lahan meletus di wilayah adat, dimana banyak pelanggaran HAM dilaporkan terjadi.

Kebijakan HTI di Indonesia

Indonesia terus menjadi kontributor terbesar gas rumah kaca di dunia karena perubahan tata guna lahan. Banyak analis percaya bahwa usaha pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pemanfaatan lahan dan perubahan tata guna lahan sebagian akan tergantung pada 'reforestasi ' dan bukan pengurangan deforestasi' (CIFOR). Sebagian dari reforestasi ini akan terjadi melalui hutan tanaman industri. Pemerintah mentargetkan dalam 5-10 tahun ke depan mengembangkan 10 juta hektar perkebunan HTI baru. Sebagian dari perluasan ini terpusat pada lansekap kaya karbon (hutan alam dan/atau lahan gambut) di Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Barat, Selatan dan Tengah serta Papua.

(5)

Kebijakan Mengenai REDD+

Tujuan REDD+ secara keseluruhan adalah untuk membantu memitigasi perubahan iklim global, dengan menciptakan insentif bagi berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.

Namun agar REDD+ dapat mewujudkan potensi mitigasi secara penuh, maka pemicu deforestasi dan degradasi hutan harus diatasi. Caranya termasuk melakukan reformasi di bidang kebijakan, berbagai praktik dan proses pada tingkat nasional.

(6)

Implementasi Kebijakan REDD+ menghadapi berbagai kendala, mencapai perubahan transformasi 1 akan mencakup hal-hal berikut:

 Kurangnya koordinasi, baik vertikal maupun horizontal, di antara

lembaga-lembaga pemerintah, yang memperbesar biaya transaksi dan menghambat upaya-upaya untuk melintasi batas-batas sektoral;

 terbatasnya keterlibatan kelompok-kelompok rentan, yang mengakibatkan keterwakilan yang tidak memadai, ketidaksetaraan dan kemungkinan terjadinya konflik1;

 Korupsi dan perampasan lahan dan manfaat oleh para elit yang menyebabkan ketidakefektifan kebijakan dan mengarahkan pada ketidakadilan, inefisiensi dan kemungkinan terjadinya konflik;

 Terbatasnya otonomi negara dari kepentingan sektor swasta yang berkuasa;

 aktor-aktor internasional sebagai faktor pendorong tunggal, yang mengakibatkan kurangnya rasa kepemilikan nasional dan mempersulit perumusan dan penerapan kebijakan REDD+ nasional secara lebih efektif1;

 Rendahnya kapasitas administratif dan teknis membatasi kemampuan negara untuk menerapkan dan menegakkan kebijakan, hukum dan keuangan atau sistem pengelolaan lainnya.

Keterkaitan HTI dengan REDD+

(7)

Berdasarkan indikator additionality biomasa dan kandungan karbon, ternyata tidak semua kondisi hutan rawa gambut dapat memenuhi syarat peningkatan kandungan karbon dengan perubahan pola pengelolaan menjadi HTI pulp. Pembangunan HTI pulp dari hutan alam bekas tebangan dan sekunder akan menyebabkan penurunan kandungan karbon. Peningkatan kandungan karbon dapat terjadi pada pembangunan HTI pulp yang dilakukan di hutan alam terdegradasi. Peningkatan simpanan karbon HTI dari hutan rawa gambut terdegradasi selama 5 (lima) tahun pertama mencapai 1,15 juta ton, selanjutnya stabil seiring dengan terbentuknya hutan normal.

HTI pulp lahan gambut dalam mekanisme REDD+ dapat berpartisipasi pada harga kompensasi tertentu. Pada proyek REDD+ dengan periode proyek 5 (lima) tahun, pengelolaan HTI pulp dapat meningkatkan NPV 20,21% dan meningkatkan BCR 0,001 satuan pada harga kompensasi US$ 9,00/tCO2-e (masa pengelolaan 20 tahun). Apabila harga satuan kompensasi dinaikkan menjadi US$ 12,00/tCO2-e, maka peningkatan NPV akan mencapai 51,13% dan peningkatan BCR mancapai 0,07. Sedangkan pada harga kompensasi US$ 6,00/tCO2-e tidak disarankan mengajukan kompensasi REDD+, sebab perolehan NPV menjadi turun 10,7% dan BCR turun 0,07.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa semakin besar nilai kompensasi akan berpotensi meningkatkan NPV dan BCR. Disamping itu, analisis ini menunjukkan harga kompensasi minimal untuk proyek REDD pada HTI pulp sebesar US$ 7,04 per tCO2-e, yang berasal dari biaya transaksi (transaction cost) yang harus ditanggung oleh pengembang proyek REDD+.

(8)

Struktur biaya yang membentuk analisis ekonomi REDD+ terdiri dari biaya abatasi (abatement cost) dan biaya transaksi (transaction cost). Biaya abatasi adalah biaya untuk menghasilkan satu unit pengurangan emisi karbon atau biaya untuk menghasilkan satu unit karbon biomas, dan dalam banyak kasus biaya abatasi ini didekati dengan biaya kesempatan yang hilang dari alternatif penggunaan lain (opportunity cost).

Pada kasus partisipasi HTI pulp dalam mekanisme REDD+ (HTI pulp dibangun pada hutan gambut terdegradasi), biaya yang harus dikeluarkan hanya biaya transaksi sebesar US$ 7,04 per tCO2-e atau Rp 69.256,91. Biaya transaksi dihitung melalui pendekatan persentase sebagaimana hasil penelitian Ginoga dan Lugina (2007) sebesar 39,2% dari total biaya. Biaya abatasi tidak dihitung pada kasus ini karena sudah termasuk di dalam komponen biaya pembangunan dan pengelolaan HTI pulp. Biaya abatasi/biaya oportunitas akan masuk sebagai komponen biaya pada analisis ekonomi REDD+ dari baseline 1 (hutan alam bekas tebangan) dan baseline 2 (dua) (hutan alam sekunder).

Hasil perhitungan total biaya per satuan emisi sebagaimana Tabel 14 menunjukkan bahwa pilihan pengusahaan HTI pulp pada lahan gambut terdegradasi adalah lebih bernilai secara ekonomi apabila harga kompensasi REDD+ kurang dari US$ 17,95/tCO2-e. Oleh karena itu apabila pasar karbon tidak berjalan sempurna, maka pilihan kebijakan pengembangan HTI pulp untuk sementara dari aspek karbon dapat dipertimbangkan untuk diteruskan.

Situasi tersebut akan berubah apabila emisi karbon akibat susidensi tanah diperhitungkan dan berlaku pada pasar karbon internasional. Hasil penelitian Wahyunto et al. (2005) menyebutkan bahwa emisi karbon subsidensi tanah akibat konversi hutan rawa gambut adalah 46,29 tC/ha/tahun (atau setara dengan 169,71 tCO2-e/ha/tahun), sehingga peningkatan serapan karbon vegetasi pada pembangunan HTI menjadi tidak berarti.

(9)

lebih tinggi dibandingkan dengan konversi menjadi HTI pulp. Pada harga satuan kompensasi REDD+ sebesar US$ 6,00/tCO2-e proyek REDD+ berpotensi dapat manghasilkan NPV/ha sebesar Rp 2,38 milyar dengan BCR 6,86. Nilai NPV dan BCR akan semakin bertambah dengan makin meningkatnya harga satuan kompensasi.

KESIMPULAN

Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah perkebunan kayu monokultur skala besar yang ditanam dan dipanen untuk produksi bubur dan bubur kertas.

Tujuan REDD+ secara keseluruhan adalah untuk membantu memitigasi perubahan iklim global, dengan menciptakan insentif bagi berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan.

Berkenaan dengan perkembangan mekanisme REDD+, pengelolaan HTI pulp dapat berpartisipasi dalam mekanisme tersebut sepanjang syarat dan ketentuan dapat dipenuhi.

Salah satu syarat teknis adalah terjadinya peningkatan kapasitas serapan karbon melalui perubahan pengelolaan (hutan alam menjadi HTI) yang secara kesatuan lanskap tertentu dapat berkontribusi menurunkan emisi. Jika syarat ini dipenuhi, aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai Usaha Pemanfaatan Penyerapan Karbon (UP RAP-KARBON).

DAFTAR PUSTAKA

Rochmayanto. Yanto, Dudung Darusman, Teddy Rusolono. 2013. Hutan Rawa Gambut dan HTI Pulp dan Bingkai REDD+. Jawa Barat : Forda Press.

Referensi

Dokumen terkait

EKSEKUSI.. Tindak pidana korupsi adalah segala macam perbuatan tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah ‘’sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan,

Berbeda dengan halofantrin dan klorokuin yang telah terbukti jelas bekerja dengan menghambat pembentukan hemozoin (Dorn et al., 1998; Hawley et al., 1998) Disini

Purwanto (2005) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hal yang dapat mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai

Paper ini mengkaji pengembangan pariwisata Tanjung Lesung Banten agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Penelitian ini bertujuan untuk1) mengkaji kondisi eksisting

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, masalah yang akan diselesaikan pada penelitian ini adalah bagaimana menentukan kebijakan pengendalian

Menganalisa suatu permasalahan penyebab kecacatan terhadap produk Bracket Comp jack, yang terjadi dilapangan menggunakan ishikawa diagram dengan tujuan memperoleh

Bagi sebagian orang awam di Jawa mengartikan nasihat tersebut sebagai sikap “menerima keadaan”, dengan kata lain terdapat sikap tidak berusaha untuk berubah atau atau

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 presiden Republik Indonesia bertugas: (a) Menjalankan Undang- Undang Dasar 1945, (b) Menjalankan garis-garis besar haluan Negara, dan