• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAY"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA REMAJA

Asep Sulaiman Adiputra

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang asep.sulaimana@gmail.com

Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian manusia yang penting sebagai sarana untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dengan kepercayaan diri yang dimiliki, kesuksesan dan keberhasilan hidup seseorang akan dapat diprediksikan. Individu yang percaya diri biasanya selalu bersikap optimis dan yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Sebalikya, individu yang rasa percaya dirinya rendah akan mengalami hambatan-hambatan dalam hidupnya, baik dalam berinteraksi dengan individu lain maupun dalam masyarakat sekitar.

Remaja yang memiliki masalah kepercayaan diri mudah merasa tidak puas dengan keadaan diri mereka, sadar diri berlebihan dan terlalu peka dengan komentar orang lain. sedangkan remaja yang memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi selalu merasa lebih optimis, dan mempunyai cara pandang yang positive terhadap diri sendiri,orang lain dan situasi diluar dirinya. Seperti krisis percaya diri pada remaja merupakan sebuah perasaan dimana remaja merasakan ada sesuatu yang kurang sehingga membuat remaja itu merasa bahwa tidak pantas ada dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat disini mencakup kalangan anak anak, remaja, dan dewasa,karena krisis percaya diri bisa menimpa siapa saja.

Menurut Santrock (2003) kepercayaan diri bagi remaja adalah masalah yang paling sering mengganggu pada masa remaja karena pada masa remaja merupakan masa dimana individu mulai mengalami perubahan biologis maupun psikologis. Perubahan ini saling berkaitan satu sama lain. Lebih jauh dijelaskan untuk sebagian besar individu rendahnya atau hilangnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara.

Terkait dengan kepercayaan diri ini, Koentjaraningrat (dalam Afiatin dan Martaniah, 1998) menyatakan bahwa salah satu kelemahan generasi muda Indonesia adalah kurangnya kepercayaan diri. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Afiatin, dkk (dalam Afiatin dan Martaniah, 1998) terhadap remaja siswa SMTA di Kodya Yogyakarta

menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dirasakan dan dialami oleh remaja pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri. Melihat fenomena yang ada sekarang ini, tampak beberapa karakteristik yang mengindikasikan betapa remaja saat ini banyak yang mengalami kurang percaya diri. Beberapa karakteristik tersebut antara lain: memiliki motivasi yang rendah untuk berkompetisi, rendahnya motivasi siswa untuk mengembangkan diri dan motivasi untuk belajar, kepribadian yang cenderung labil, senang meniru dan tidak mentaati tata tertib sekolah.

(2)

merasa lebih percaya diri saat merokok. 37 persen perokok merasa keren seperti citra yang dibangun dalam iklan. Berdasarkan hal tersebut mengindikasikan bahwa remaja kurang percaya diri sehingga untuk menutupi hal tersebut salah satu yang dilakukan remaja dengan cara merokok (Liputan6, 2014).

Salah satu kelemahan generasi muda Indonesia adalah kurangnya kepercayaan diri. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Afiatin dan Martinah (1998) terhadap remaja siswa SMTA di Kodya Yogyakarta menunjukkan bahwa permasalahan yang banyak dirasakan dan dialami oleh remaja pada dasarnya disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri, Afiatin dan Martinah (1998). Menurut Ancok (2000), harga diri adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri.; Kondisi fisik, perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Menurut Ancok (2000), mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang dan pengalaman hidup. Lauster (1990), mengatakan kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri.

Berdasarkan uraian diatas rendahnya kepercayaan diri bagi remaja menjadi sebuah masalah dalam kehidupannya karena individu merasa pesimis. Menurut Kaplan Sallis dan Patterson (1993) bahwa tingkatan yang merupakan kebutuhan dasar individu merupakan cinta kasih, penghargaan, rasa memiliki, rasa aman yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Berdasarkan hal tersebut artinya dukungan sosial dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Dukungan sosial sebagai bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok sekitarnya, yang membuat penerima merasa nyaman, dicintai, dan dihargai dengan haltersebut remaja/individu akan lebih merasa percaya diri (Sarafino, 1990).

Menurut Sears (1992), kepercayaan diri terbentuk tidak secara tiba-tiba, akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepercayaan diri seseorang, seperti pola asuh, pendidikan, teman sebaya, masyarakat dan pengalaman. Berdasarkan hal tersebut maka dukungan sosial di indikasikan berpengaruh terhadap kepercayaan diri individu. Menurut Rook (1987) dukungan sosial merupakan salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu/remaja dari konsekuensi tekanan.

Keberadaan, kepedulian, kesediaan dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi merupakan bentuk dari dukungan sosial (Khusnia, 2010). Remaja yang diakui keberadaannya, dipedulikan lingkungannya, dihargai dan disayangi oleh orang-orang disekitarnya maka akan meningkatkan kepercayaan diri bagi individu/remaja. Berdasarka hal tersebut maka individu/remaja yang menerima dukungan sosial yang kuat dapat meningkatkan kepercayaan diri bagi remaja itu sendiri, karena dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif dan dukungan kepada individu/remaja yang sedang tertekan, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain (Sarafino, 1998).

(3)

rendah dan harapan yang terakhir yaitu adanya dukungan masyarakat, pemerintah terhadap remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah.

Kepercayaan Diri

Lauster (1990) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri, sehingga seseorang tidak terpengaruh oleh orang lain. Menurut James O Lugo (dalam Yusuf, 2004) , kepercayaan diri merupakan ciri orang yang kreatif dan biasanya orang tersebut mendapatkan self assurance “keyakinan pada kemampuan sendiri”.

Rasa percaya diri adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Bandura (dalam Yusuf, 2004) memberikan batasan pengertian kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang bahwa dirinya akan dengan sukses mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan agar sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki, keyakinan pada suatu maksud atau tujuan dalam kehidupan dan percaya bahwa dengan akal budi mampu untuk melaksanakan apa yang diinginkan, direncanakan dan diharapkan (Davies, 2004). Lebih lanjut Brennecke & Amich (dalam Yusni, 2002) menyatakan bahwa kepercayaan diri (self confidence) adalah suatu perasaan atau sikap tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain, karena telah merasa cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan di dalam hidup ini. Iswidharmanjaya (2004) kepercayaan diri merupakan kepercayaan akan kemampuan yang dimiliki serta dapat memanfaatkannya secara tepat.

Rini (2002) bahwa kepercayaan diri adalah sikap positif individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Dalam hal ini rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi, serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Liendenfiel (1997) kepercayaan diri lebih menekankan pada kepuasan yang dirasakan individu mengenai dirinya sendiri. Menurut konsep ini individu yang percaya diri adalah individu yang merasa puas pada dirinya sendiri.

Iswidharmanjaya (2004) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan kepercayaan diri seseorang antara lain: proses belajar menjadi percaya diri, konsep diri, efek interaksi. Rini (2002) menyebutkan beberapa faktor yang turut mempengaruhi perkembangan percaya diri seseorang, antara lain: pola asuh orang tua, pola pikir negatif. Ancok (2000) semangkin bisa memenuhi norma dan di terima oleh masyarakat maka semangkin lancar kepercayaan diri berkembang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu perasaan positif yang ada dalam diri seseorang yang berupa keyakinan dan kepercayaan terhadap kemampuan dan potensi yang dimilikinya, serta dengan kemampuan dan potensinya tersebut dia merasa mampu untuk mengerjakan segala tugasnya dengan baik dan untuk meraih tujuan hidupnya.

(4)

Guilford (1959) mengemukakan bahwa ciri-ciri kepercayaan diri dapat dinilai melalui tiga aspek, yaitu: Merasa yakin terhadap tindakan yang dilakukan, individu mempunyai sikap yang optimis yaitu yakin dengan kemampuan yang dimiliki, tidak selalu membutuhkan dukungan orang lain dalam bertindak, dan bertindak aktif dalam lingkungannya; Merasa diterima oleh lingkungan, individu merasa kelompok atau orang lain menyukainya, tidak berlebihan dalam bersikap, tidak mementingkan diri sendiri dan merasa puas atas kebersamaan dengan kelompoknya; Memiliki ketenangan sikap, individu tidak gugup dalam melakukan atau mengatakan sesuatu mampu bekerja secara efektif, dan cukup toleran terhadap situasi.

Lauster (1990) mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain: Ambisi, Ambisi merupakan dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan kepada orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki ambisi yang tinggi. Mereka selalu berpikiran positif dan berkeyakinan bahwa mereka mampu untuk melakukan sesuatu; Mandiri. Individu yang mandiri adalah individu yang tidak tergantung pada individu lain karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan segala tugasnya, tahan terhadap tekanan.; Optimis. Individu yang optimis akan selalu berpikiran positif, selalu beranggapan bahwa akan berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya secara efektif, serta terbuka.; Tidak mementingkan diri sendiri. Sikap percaya diri tidak hanya mementingkan kebutuhan pribadi akan tetapi selalu peduli pada orang lain.; Toleransi. Sikap toleransi selalu mau menerima pendapat dan perilaku orang lain yang berbeda dengan dirinya.

Menurut Fatimah (2006) remaja/ individu yang memiliki kepercaya diri yang tinggi seperti percaya akan kompetensi diri, sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain; tidak terdorong untuk menunjukan sikap menyesuaikan diri demi diterima oleh orang lain atau kelompok; Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain serta berani menjadi diri sendiri; Punya Pengendalian diri yang baik; Memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari ussha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak mengharapkan bentuan orang lain; Mempunyai cara pandang yang positive terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya; Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Sedangkan remaja/ individu yang kurang percaya diri menurut Fatimah (2006) antara lain: berusaha menunjukan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok; menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan; sulit menerima realita diri; pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negative; takut gagal, sehingga menghindari segala risiko dan tidak berani memasang target untuk berhasil; cenderung melolak pujian yang ditujukan secara tulus; Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena menilaindirinya tidak mampu; mudah menyerah pada nasib, sangat tergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta bentuan orang lain.

Dukungan Sosial

(5)

kehadiran orang lain yang dapat membuat individu percaya bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dan merupakan bagian dari kelompok sosial, yaitu keluarga, rekan kerja dan teman dekat, Sheridan & Radmacher (1992).

Taylor (1999) mengemukakan, dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain yang menunjukan bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. Hal senada dikemukakan oleh Thoits dalam Rutter (1993) yang menyatakan bahwa, dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan eamanan didapat melalui interaksi dengan orang lain.

Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat melalui interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan merupakan bagian dari kelompok sosial.

Sarafino (1998) mengemukakan bahwa aspek-aspek dukungan sosial antara lain adalah: Dukungan Emosional, meliputi empati dan perhatian terhadap individu. Dukungan emosional tersebut memberikan perasaan nyaman, aman dan dicintai terutama pada saat-saat penuh tekanan; Dukungan Penghargaan, diwujudkan melalui penghargaan terhadap individu, dorongan atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu serta perbandingan positif dengan individu lain. Dukungan penghargaan ini terutama membantu meningkatkan harga diri individu; Dukungan Instrumental, meliputi bantuan langsung, seperti ketika seseorang memberikan bantuan uang untuk pengobatan bagi ekonomi lemah bantuan ini sangat berarti; Dukungan Informasi, mencakup pemberian nasehat, saran atau umpan balik tentang keadaan atau apa yang dikerjakan individu; Dukungan persahabatan, suatu bentuk dukungan sosial yang dapat memberikan dukungan bagi seseorang dalam usaha untuk mengurangi tekanan yang dirasakan; Dukungan Motivasional, Pemberian dorongan dan semangat pada individu yang membutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Goetlieb (1983) menyatakan ada dua macam hubungan dukungan sosial, yaitu hubungan professional yakni bersumber dari orangorang yang ahli di bidangnya, seperti konselor, psikiater, psikolog, dokter maupun pengacara, serta hubungan non professional, yakni bersumber dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga maupun relasi.

Faktor-faktor yang terbentuknya dukungan sosial Myers (dalam Hobfoll, 1986) mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, diantaranya: Empati, yaitu turut merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain; Norma dan nilai sosial, yang berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan; Pertukaran sosial, yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik ini membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan.

Remaja

(6)

periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi-fungsi seksual (Kartono, 1995).

Terdapat 8 jenis tahap-tahap perkembangan psikososial Erickson (1963):

Psikososial Tahap 1 Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)

Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun (infancy).

Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada orang lain, perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi tersebut berdasarkan kesungguhan & kualitas penjaga (yang merawat) bayi tersebut. Apabila bayi telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si penjaga, dia akan merasa nyaman & terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika penjagaannya tidak stabil & emosi terganggu dapat menyebabkan bayi tersebut merasa tidak nyaman dan tidak percaya pada lingkungan sekitar.

Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyababkan bayi akan merasa takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan memberikan kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi tersebut akan selalu curiga pada orang lain.

Psikososial Tahap 2 Otonomi vs Perasaan malu dan ragu-ragu.

Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood).

Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak. Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia mau.

Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Begitu pun sebalikny, jika anak terlalu diberi kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik buruk tindakan tersebut. Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.

Psikososial Tahap 3 Inisiatif vs kesalahan

Tahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age)

Anak-anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungak sekitarnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya.

Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif dari rasa ingin tahu yang mereka alami. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.

Psikososial Tahap 4 Kerajinan vs inferioritas

(7)

kehadirannya. Pada usia ini anak dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil melalui tuntutan tersebut. Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini usaha yang sangat baik pada tahap ini adalah dengan mengembangkan kedua karakteristik yang ada. Dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.

Psikososial Tahap 5 Identitas vs kekacauan identitas

Tahap ini merupakan tahap adolense (remaja), dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18 tahun/anak. Di dalam tahap ini lingkup lingkungan semakin luas, tidak hanya di lingkungan keluarga atau sekolah, namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai berlangsung dalam tahap ini. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja tersebut.

Psikososial Tahap 6 Keintiman vs isolasi

Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal (young adult), usia sekitar 18/20-30 tahun. Dalam tahap ini keintiman dan isolasi harus seimbang untuk memunculkan nilai positif yaitu cinta. Cinta yang dimaksud tidak hanya dengan kekasih melainkan cinta secara luas dan universal (misal pada keluarga, teman, sodara, binatang, dll).

Psikososial Tahap 7 Generatifitas vs stagnasi

Masa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia yang berusia sekitar 20 tahunan sampai 55 tahun (middle adult). Dalam tahap ini juga terdapat salah satu tugas yang harus dicapai yaitu dapat mengabdikan diri guna mencapai keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa (stagnasi). Harapan yang ingin dicapai dalam masa ini adalah terjadinya keseimbangan antara generatifitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generational dan otoritisme. Generational merupakan interaksi yang terjalin baik antara orang-orang dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme merupakan interaksi yang terjalin kurang baik antara orang dewasa dengan para penerusnya karena adanya aturan-aturan atau batasan-batasan yang diterapkan dengan paksaan.

Psikososial Tahap 8 Integritas vs keputus asaan

Tahap ini merupakan tahap usia senja (usia lanjut). Ini merupakan tahap yang sulit dilewati karena orang pada masa ini cenderung melakukan introspeksi diri. Mereka akan memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi pada masa sebelumnya, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Jika dalam masa sebelumnya orang tersebut memiliki integritas yang tinggi dalam segala hal dan banyak mencapai keberhasilan maka akan menimbulkan kepuasan di masa senja nya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut banyak mengalami kegagalan maka akan timbul keputus asaan.

Dukungan Sosial dengan Kepercayaan diri pada Remaja

(8)

perubahan biologis maupun psikologis. Hilangnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara (Santrock, 2003). Remaja yang mendapatkan pengalaman mengecewakan di dalam hidupnya menjadi sumber rasa rendahnya percaya diri bagi individu (Lauster, 1990).

Kepercayaan diri terbentuk tidak secara tiba-tiba, akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepercayaan diri seseorang, seperti pola asuh, pendidikan, teman sebaya, masyarakat dan pengalaman (Sears, 1992). Kepercayaan diri yang dicapai individu berfungsi penting untuk mengaktualisasian potensi yang dimiliki yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin terhadap tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh lingkungan dan memliki ketenangan sikap (Guildford, 1959).

Rendahnya percaya diri pada remaja perlu ditingkatkan dengan cara memberikan kebutuhan dasar pada remaja seperti cinta kasih, penghargaan, rasa memiliki, rasa aman yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain (Menurut Kaplan Sallis dan Patterson, 1993). Remaja yang mendapat hal tersebut dari lingkungan sekitarnya akan memiliki kepercaya diri yang tinggi seperti percaya akan kompetensi diri, sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain; tidak terdorong untuk menunjukan sikap menyesuaikan diri demi diterima oleh orang lain atau kelompok; Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain serta berani menjadi diri sendiri; Punya Pengendalian diri yang baik; Memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari ussha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak mengharapkan bentuan orang lain; Mempunyai cara pandang yang positive terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya; Memiliki harapan yang realistis terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi (Fatimah, 2006).

(9)

Hipotesis

Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kepercayaan diri. Dimana apabila dukungan sosialnya baik/tinggi maka kepercayaan diri akan baik/tinggi. Sedangkan jika dukungan sosial buruk/rendah maka kepercayaan diri juga akan ikut rendah.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif di mana menurut (Sugiyono 2012), metode penelitian kuantitatif itu sendiri dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2012). Pendekatan analisis kuantitatif terdiri atas perumusan masalah, penyusunan model, mendapatkan data, mencari solusi, menuji solusi, menganalisis hasil dan menginterprestasikan hasil.

Subjek Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, karena dalam melaksanakan penelitian tentu ada subjek penelitian yang dijadikan sumber untuk menggali data. Adapun responden penelitian ini adalah remaja yang berusia 17-22 tahun. Penentuan subjek yang peneliti lakukan dengan jumlah populasi remaja di Kota Malang yaitu dengan populasi tak terhingga,

Dukungan Sosial

Kepercayaan Diri

Tinggi

Kepercayaan Diri

Rendah

Tingginya empati dari orang lain.

Motivasi, adanya dorongan dari orang lain.

Penghargaan yang didapatkan individu dari lingkungan

Rendahnya empati dari orang lain.

Motivasi, tidak adanya dorongan dari orang lain.

(10)

dengan taraf kesalahan 5% dengan populasi takterhingga maka jumlah sampel penelitian 350 subjek (Sugiyono, 2012).

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri yaitu salah satu dari sifat kepribadian yang sangat menentukan individu, dalam penelitian ini adalah remaja, karena jika individu tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup, maka interaksi dengan orang lain atau kelompok akan berkurang/menurun.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yaitu bantuan atau dukungan yang diberikan oleh keluarga, sahabat, teman serta masyarakat yang ada di lingkungan individu. Dukungan tersebut mengacu pada jenis-jenis dukungan sosial seperti dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi.

Prosedur Penelitian dan Analisis Data Penelitian

Tahap pertama pematangan konseptual (Merumuskan dan membatasi masalah, meninjau kepustakaan yang relevan, mendefinisikan kerangka teoritis, merumuskan hipotesis).Tahap ini termasuk merenungkan, berpikir, membaca, membuat konsep, revisi konsep, teoritisasi, bertukar pendapat, konsul dengan pembimbing, dan penelusuran pustaka.

Tahap kedua adalah membuat instrumen penelitian dari dua variabel penelitian yaitu skala dukungan sosial dan skala kepercayaan diri. Kemudian peneliti melakukan tryout instrumen penelitian pada sampel yang sesuai kriteria penelitian hal ini digunakan untuk uji validaitas item dan reliability instrument.

Tahap ketiga pelaksanaan penelitian dilakukan dengan cara memberikan instrumen penelitian terkait skala dukungan sosial dan skala kepercayaan diri kepada sejumlah sampel yang telah ditentukan untuk pengambilan data. Instrument diserahkan kepada sampel. Setelah semua data terkumpul maka peneliti menganalisis data dengan menggunakan statistik yaitu metode yang digunakan untuk pengumpulan, pengolahan, penafsiran dan penarikkan hasil kesimpulan pada data penelitian Winarsunu, (2009).

Penelitian ini dianalisis dengan bantuan statistical packages for social science (SPSS) versi 22.00. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu korelasi person produc moment dimana teknik statistik untuk mengetahui hubungan antara dua variabel (Winarsunu, 2009).

Daftar pustaka

Afiatin, T., & Martaniah, S. M., 1998. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Jurnal Psikologika, No. 6 / 67-79.

Amitya Kumara, Studi Pendahuluan Tentang Vadilitas dan Realibilitas The Test Of Self Confidence. (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1988)

(11)

Davies, P. 2004. Meningkatkan Rasa Percaya Diri. Alih Bahasa Saut Pasaribu.Yogyakarta: Torent Books.

Ellyana. Studi Hubungan Konsep Diri Dengan kebutuhan Berafiliasi dan Kepercayaan Diri. Skripsi

Erikson. 1963. Childhood and Society. Online Maret 2016 https://kharinblog.wordpress.com/2012/11/24/tahap-tahap-perkembangan-psikososial-erik-erikson/

Fatimah, E. 2006. Psikologi Perkembangan: Perkembangan Peserta didik. Bandung: Balai Setia.

Goetlieb, B. H. (1983). Social support and strategies. California : Sage Publication, inc.

Hakim, T. 2002. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara

Hobfoll, S, E. (1986). Stress, social support and women : the series in clinical and community psychology. New York :” Herper & Row.

Hakim, Thursan. 2005. Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara

http://health.liputan6.com/read/2142904/45-persen-remaja-indonesia-usia-13-19-perokok. diakses pada tanggal 13 Desember 2015

Iswidharmanjaya, D. & Agung, A. (2004). Satu hari menjadi lebih percaya diri : Panduan bagi remaja yang masih mencari jati diri. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Kaplan, R. M., Sallis, J. F., Patterson, T.L. (1993). Health and human behavior. New York : McGraw-Hill, Inc.

Khusnia, S & Rahayu, S A. (2010). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kepercayaan Diri Remaja Tuna Netra. Jurnal Penelitian Psikologi. Vol. 01, No. 01, 40-47.

Lauster, P. 1990. Personality Test. Alih Bahasa D.H. Gulo. Jakarta: Bumi Aksara.

Liendenfiel, G. (1997). Mendidik anak agar percaya diri. Alih bahasa : Kamil, E Jakarta : Arcan

Loekmono, Lobby. 1983. Rasa Percaya Diri Sendiri. Salatiga: Pusat Bimbingan UKSW.

Mario, S. (2011). Positif Thinking vs Positif Attitude. Yogyakarta : Locus

Rini, J.F. (2002). Memupuk rasa percaya diri. http://www.e-psikologi.com/dewasa. Diakses tanggal 17 Agustus 2015

Rook, K. (1987). Social support versus companionship: Effects on life stress, loneliness, and evaluations by others. Journal of Personality and Social Psychology.

Rutter, dkk. (1993). Understanding human a adjustmen normal adaptation through the last cycle. Canada : Power Associate, inc.

(12)

Sarafino, E. P. (1990). Health psychology biopsychological interaction. USA : John Wiley & Sons.

Sarafino, E. P. (1998). Health psychology biopsychological interaction (3 rd ed). USA : John Wiley & Sons.

Sears, D. O., Peplau, L. A., Taylor, S. E. (1991). Social psychology 7 th ed. USA : Prentice-Hall International, Inc.

Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992). Health pychology challenging the biomedical model. New York : John Wiley & Sons, Inc.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Winarsunu, T. (2009). Statistika dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang. UMM Press.

Witridiani, L. (1996). Hubungan antara dukungan sosial dan penyesuaian diri pada para janda di kota besar. Skripsi. Depok : Univesitas Indonesia.

Yulianto, F. & Nashori, F. 2006. Kepercayaan Diri Dan Prestasi Atlet Tae Kwon Do Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Psikologi Universitas Diponegara Vol. 3 No.1 / 55-62.

Yusni. M. 2002. Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Prestasi Kerja Pada Perawat. Skripsi. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pasal 1

3.5.7 Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Nilai Perusahaan (PBV) melalui Profitabilitas (ROA)

Mengetahui hubungan beban kerja dengan kinerja perawat dalam. pemberian

Kenyataan ini membuat manusia tidak dapat lepas dari sebuah relasi dengan sesuatu di luar dirinya yang berada di kosmos.. Namun relasi manusia tidak hanya terkait

KETIGA : Membebankan biaya pelaksanaan tugas Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan hasil uji Mann u whitney dan Wilcoxon untuk pretest, posttest, dan follow up kelompok eksperimen dan kontrol diperoleh kesimpulan bahwapembacan dan pemaknaan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) strategi yang digunakan oleh penerjemah adalah reduksi 34%, parafrasa 23%, kuplet 23%, perluasan 10%, shift 7%,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari pemerintah daerah, karena di dalam negara kesatuan tidak ada legislatif daerah, oleh karena itu DPRD dimasukkan ke