• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEWACANAAN HUBUNGAN ISLAM DENGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI PEWACANAAN HUBUNGAN ISLAM DENGA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEWACANAAN

HUBUNGAN ISLAM DENGAN DEMOKRASI

DALAM RUBRIK

ROOM FOR DEBATE

SITUS

NYTIMES.COM

Alfi Syahriyani, Untung Yowono, Afdol Tharik Wastono

Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: alfi.syahriyani@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perubahan keyakinan sosial mengenai kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi dalam wacana di rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan eksplanatoris. Ancangan penelitian yang digunakan didasarkan pada teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough (2003) dan konsep modernisme Azra (1996). Pendekatan analisis wacana kritis digunakan untuk mengungkapkan bagaimana strategi pewacanaan para penulis teks yang didasarkan pada analisis tekstual dari Halliday (2004), Nida (1979), dan Toulmin (1974). Selain itu, pendekatan modernisme dipilih untuk menganalisis kondisi sosial yang tercermin di dalam wacana, serta nilai-nilai modern yang dinegosiasikan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan Islam dari Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan Ar-Rahal (2000). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat negosiasi nilai-nilai demokratis yang menunjukkan perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan Islam dengan demokrasi dalam pandangan modern. Perubahan tersebut diyakini terjadi karena adanya agen sosial dalam dunia Islam yang pro terhadap sistem pemerintahan demokrasi modern.

Kata kunci: analisis wacana kritis; demokrasi; Islam; modernisme; perubahan sosial; strategi pewacanaan

Discursive Strategy of the Relationship between Islam and Democracy on Room for Debate Rubric of nytimes.com

Abstract

This study aims to reveal the changes in social beliefs about the relationship between Islam and democracy within the discourse on Room for Debate rubric, nytimes.com. The method used in this research is the descriptive and explanatory qualitative method. This study employs Fairclough’s Critical Discourse Analysis (CDA) (2003), and Azra’s modernism concept (1996). The CDA used in this study aims to identify the discursive strategy based on textual analysis of Halliday (2004), Nida (1979), and Toulmin (1974). In addition, modernism approach is used to analyze the social conditions reflected in the discourse, and the modern values negotiated based on the democratic and Islamic principles of Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), and Ar-Rahal (2000). The result show that there are some democratic values negotiated within the discourse that indicate changes in social beliefs about the relationship between Islam and democracy in the modern view. The changes are believed to occur because of the social agents in the Islamic world who support the system of modern democratic government.

Keywords: critical discourse analysis; democracy; discursive strategy; Islam; modernism; social change.

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Dalam catatan sejarah Islam, abad ke-18 dapat dikatakan sebagai “masa kegelapan” bagi umat Muslim. Kekuasaan sultan di bawah kepemimpinan Turki Ustmani terpecah belah dan mengalami kemunduruan (Voll, 1982: 83). Ketika memasuki abad ke-191, koloni Barat

(2)

melakukan ekspansi dan membuat dunia Islam mengalami benturan dengan nilai-nilai modern. Setelah menyadari betapa mundurnya umat Islam bila dihadapkan dengan kemajuan Barat, para pemimpin Muslim mulai memikirkan cara untuk melakukan pembaruan (tajdid).

Sejumlah asumsi mengatakan bahwa globalisasi telah menggerus fondasi dasar agama-agama besar dunia, termasuk Islam. Sekularisasi, pemisahan agama dari politik dan institusi sosial, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses modernisasi. Akibatnya, banyak pihak percaya bahwa agama hanya mendapat peran yang terbatas dalam kehidupan saat ini. Namun demikian, menurut Voll (1982), tradisi agama masih memberikan pengaruh dalam tatanan sosial di era modern.

Dalam bidang politik, misalnya, banyak pakar yang mempersoalkan apakah Islam sesuai dengan konsep politik modern atau konsep negara bangsa (nation-state). Ada yang melihat Islam sebagai suatu “masyarakat sipil”; ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai agama dan negara. Perbedaan paham ini menjadi sesuatu yang problematis (Effendy, 2001: 6 —7).

Berkaitan dengan konsep agama dan negara, demokrasi menjadi salah satu tema menarik yang sering diperbincangkan dalam berbagai media. Urbaningrum (2000: 79), mengutip Esposito dan Voll (1999), menyatakan bahwa seiring dengan munculnya kebangkitan Islam, muncul pula tuntutan yang kuat terhadap partisipasi rakyat dalam politik. Praktik demokrasi di beberapa negara Islam saat ini menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Seiring dengan berjalannya waktu, baik konsep Islam maupun konsep demokrasi telah menembus masuk ke berbagai wilayah negara dan mengambil tempat di tengah-tengah masyarakat.

Gejolak pelaksanaan konsep Islam dan demokrasi salah satunya terjadi di kawasan Timur Tengah. Kebangkitan demokrasi di kawasan Timur Tengah ini ditandai dengan maraknya aksi demonstrasi. Aksi tersebut dipicu oleh situasi pemerintahan yang status quo dan dianggap otoriter oleh masyarakat. Kondisi yang terjadi di kawasan Timur Tengah tersebut berlangsung sejak tahun 2010, dimulai dari Tunisia, kemudian menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Aksi tersebut dikenal dalam media Barat sebagai “The Arab Spring” (lihat Massad, 2014)

(3)

Sejalan dengan munculnya fenomena perkembangan demokrasi di negara-negara Muslim, beberapa pakar telah berupaya untuk merespons persoalan tersebut dari beragam sudut pandang. Bernard Lewis, seorang orientalis, berpendapat bahwa orang Arab dibebani dengan ketidakmampuan budaya untuk mengatasi tradisi Islam yang mencegah ekonomi neoliberal dan teknologi Barat. Peradaban Arab lumpuh oleh politik kebencian yang dikelola dan dimanfaatkan oleh rezim-rezim otokratis (lihat Richard, 2013). Sementara itu, Effendy (2001) menulis bahwa persepsi tentang adanya “ketidaksesuaian” antara agama dan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh pandangan mengenai apa yang disebut oleh Oliver Roy sebagai“political imagination” (dalam cakrawala pemikiran) komunitas agama. Imajinasi pemikiran politik ini berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan terhadap ketidakterpisahan antara wilayah agama, hukum, dan politik (Effendy: 2001, 123). Di sisi lain, Tariq Ramadhan, seorang pakar studi Timur Tengah dari Universitas Oxford, memuat pandangannya dalam nytimes.com mengenai The Arab Spring pada tanggal 30 September 2012. Ia mengatakan bahwa negara-negara Timur Tengah masih bisa mewujudkan cita-cita demokrasi tanpa harus melepaskan diri dari tradisi Islam (lihat Ramadhan, 2012).

Argumentasi mengenai hubungan Islam dengan demokrasi rupanya tidak hanya muncul di kalangan Muslim, tetapi juga di kalangan Barat. Argumentasi tersebut selanjutnya menjadi wacana dalam media dan ditanggapi secara berbeda-beda. Munculnya pandangan dalam media tersebut tentu saja tidak terlepas dari sejarah perubahan sosial-politik yang telah menciptakan ketegangan antara dunia Muslim dan dunia non-Muslim, seperti Peristiwa Revolusi Dunia Arab (the Arab Spring), Peristiwa 9/11, serta perang di Afghanistan dan Irak. Schwartz (2005) menyatakan bahwa sejak Peristiwa 9/11, media di Amerika Serikat dan dunia Barat pada umumnya telah gagal dalam melaporkan berita tentang Islam sehingga memunculkan reaksi Islamophobia.

(4)

Pandangan yang dikemukakan dalam rubrik Room for Debate nytimes.com terasumsikan mengarah pada konstruksi identitas, representasi suatu kelompok, serta refleksi perubahan sosial yang terjadi antara dunia Barat dan Islam. Wacana yang disusun oleh penulis dan redaksi Room for Debate juga mengindikasikan adanya gambaran orientasi nytimes.com dalam mengangkat isu mengenai nilai-nilai modern, seperti demokrasi, HAM, persamaan, kebebasan, pluralisme, dan sebagainya. Dengan bahasa, para pekerja media massa mengkonstruksikan setiap realitas yang diliputnya dan secara massif menentukan gambaran realitas ke dalam benak masyarakat. Apa yang disampaikan oleh pembuat teks mungkin saja mengandung hegemoni ideologis yang tidak disadari oleh pembaca.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan Islam dengan demokrasi dalam pandangan modern diwacanakan dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Masalah tersebut selanjutnya melahirkan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana strategi pewacanaan (discursive strategy) aktor-aktor wacana dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com?

2. Bagaimana nilai-nilai modern dalam wacana hubungan Islam dengan demokrasi ditampilkan dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com?

3. Bagaimana wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com merefleksikan perubahan sosial yang sedang terjadi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengungkapkan strategi pewacanaan aktor-aktor wacana dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com. Kedua, mengungkapkan nilai-nilai modern yang tercermin dalam wacana hubungan Islam dengan demokrasi dan bagaimana nilai tersebut dinegosiasikan. Ketiga, membuktikan adanya perubahan keyakinan sosial mengenai hubungan Islam dengan demokrasi dalam rubrik Room for Debate situs nytimes.com.

2. Kerangka Acuan Teoretis

(5)

Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan pendekatan mengenai relasi antara wacana dan perkembangan sosial-budaya. Dalam AWK, bahasa tidak dipandang sebagaimana adanya, tetapi dihubungkan dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Pada dasarnya, para teoretikus AWK memandang ideologi dan kuasa sebagai konsep sentral dalam proses analisis. Kuasa dipandang sebagai faktor yang menentukan bagaimana suatu kelompok mengklaim kebenarannya masing-masing.

Van Dijk (2009), misalnya, berpandangan bahwa wacana berhubungan erat dengan aspek psikologi kognitif, yaitu adanya proses konstruksi mental. Menurut Van Dijk, kognisi sosial merupakan jembatan yang menghubungkan antara teks dan konteks. Wacana menurut Van Dijk diperoleh, direproduksi, dan dilegitimasi melalui institusi. Berbeda dengan Van Dijk, Fairclough (2003) berpandangan bahwa perantara antara teks dan konteks adalah praktik wacana, bukan kognisi sosial. Praktik wacana ini merupakan aspek yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Dalam hal ini, Fairclough memahami bahasa sebagai bentuk tindakan (action) yang memproduksi interaksi sosial.

Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan analisis wacana kritis (AWK) Fairclough karena lebih berfokus pada pembentukan wacana akibat adanya perubahan sosial (social change). Analisis wacana Fairclough mencakup tiga dimensi, yaitu teks (text), praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosiokultual (sociocultural practice). Menurut Fairclough, teks dianalisis berdasarkan tiga elemen dasar wacana, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Representasi (representation) menampilkan sesuatu melalui konsep yang ada dalam pikiran pembuat teks. Representasi dalam pandangan Fairclough (2003) sejalan dengan apa yang disebut Halliday (2004) sebagai fungsi ideasional (ideational function). Sementara itu, relasi sosial (social relation) berhubungan dengan bagaimana para aktor wacana saling terhubung satu sama lain. Dalam pandangan Halliday, unsur ini bertalian dengan fungsi tekstual (textual function). Terakhir, identitas atau identifikasi (identification) yang berkaitan dengan bagaimana partisipan wacana mengidentifikasikan dirinya. Identitas merupakan unsur yang bertalian dengan fungsi interpersonal (interpersonal function) dalam pandangan Halliday (lihat Fairclough, 2003: 26—27).

(6)

pun dapat diadopsi oleh Islam selama pemimpin yang menjalankannya adalah pemimpin yang adil.

Kedua, representasi dalam klausa. Pada bagian ini, pilihan diksi, frasa (vocabulary), dan gramatika dapat menggambarkan seseorang, kelompok, gagasan, kondisi, atau tindakan. Kecenderungan pilihan diksi dan frasa dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis komponen makna Nida (1979), yaitu dengan mencari komponen bersama dan atau komponen pembeda diksi tersebut. Komponen bersama (common component) adalah komponen makna yang menghubungkan satu kata dengan kata lain dalam satu ranah semantik, sedangkan komponen pembeda, atau disebut juga komponen diagnostik merupakan komponen makna yang digunakan sebagai pembeda dari satu kata dengan kata yang lain. Sementara itu, aspek gramatika melihat bagaimana struktur kalimat memuat tiga fungsi, yaitu secara tekstual yang meliputi tema dan rema; secara interpersonal yang meliputi pola kalimat dan modus gramatikal (grammatical mood), dan secara ideasional yang meliputi proses representasi atau identifikasi (Halliday, 2004: 34). Pada bagian ini juga dilihat perbedaan antara tindakan (action) dan peristiwa (event). Penulis dapat menampilkan aktor sebagai penyebab (tindakan) dengan memuat kalimat aktif atau tanpa aktor sebagai penyebab (peristiwa) dengan memuat kalimat pasif.

Ketiga, representasi dalam kombinasi klausa. Realitas dapat terbentuk dengan penggabungan dua atau lebih anak kalimat yang dapat membentuk koherensi lokal. Koherensi pada titik tertentu dapat menunjukkan ideologi pemakai bahasa secara tersirat. Secara rinci, Halliday (2004) memetakan tiga bentuk koherensi. Pertama, hubungan elaboration (penjelasan), yaitu anak kalimat yang satu memperjelas anak kalimat yang lain. Umumnya, bentuk ini ditandai dengan kata penghubung ‘yang’, ‘lalu’, atau ‘selanjutnya’. Kedua, extension (penambahan), yaitu anak kalimat yang satu menjadi perpanjangan anak kalimat yang lain. Bentuk ini ditandai dengan kata penghubung ‘dan’, yang menunjukkan perpanjangan klausa, juga ‘tetapi’ dan ‘meskipun’, yang menunjukan pertentangan, serta ‘atau’, yang menunjukkan pilihan yang setara. Ketiga, enhancement (perluasan) yang biasanya menunjukkan hubungan sebab akibat. Perluasan ditandai dengan kata penghubung ‘karena’ atau ‘diakibatkan’. Selain koherensi, alat kohesi juga dapat menunjukkan hubungan semantis, seperti kata ganti (pronomina), kata yang diulang (repetisi), dan kata tunjuk (demonstrativa).

(7)

masing-masing. Dalam penelitian ini, relasi terjadi antara redaksi, penulis opini, dan partisipan publik. Posisi ketiga aktor tersebut perlu diperhatikan dalam proses analisis. Pengaruh posisi-posisi aktor tersebut akan menunjukkan konteks sosial. Analisis relasi dapat memberikan informasi mengenai kekuasaan dominan yang berkembang dalam masyarakat, sedangkan analisis identitas memberikan gambaran bagaimana partisipan wacana mengidentifikasi dirinya, seperti berpihak pada kelompoknya, atau malah netral.

Kelima, intertekstualitas, yaitu aspek yang menandakan adanya hubungan rantai komunikasi. Intertekstualitas digunakan dalam analisis untuk melihat bagaimana aktor wacana menampilkan suara dan pandangan banyak pihak di dalam teks. Ada dua fokus utama dalam analisis intertekstualitas dalam penelitian ini, yaitu manifest intertextuality dan manifest interdiscursivity (lihat Blommaert, 2005: 29). Manifest intertextuality, yang dapat berupa cara langsung (direct discourse) dan cara tidak langsung (indirect discourse). Cara langsung dilakukan dengan menggunakan kutipan yang memuat pernyataan partisipan wacana sebagaimana adanya, sedangkan cara tidak langsung disuarakan melalui bahasa si penulis teks.

Selanjutnya, manifest interdiscursivity yaitu bentuk intertekstualitas yang menjelaskan konfigurasi satu elemen dengan elemen yang lain. Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada analisis genre yang menggambarkan hubungan antara satu tindakan dengan tindakan yang lain. Peneliti menggunakan pendekatan dari Toulmin (1974) untuk menganalisis konfigurasi elemen dalam argumen yang mencerminkan tindakan. Data penelitian yang digunakan merupakan wacana argumentatif yang terdiri dari beberapa elemen argumen, seperti claim, data atau ground, warrant, stated reason, rebuttal, backing, dan qualifier. Claim (C) merupakan pernyataan tesis yang diyakini kebenarannya oleh penulis. Upaya mempertahankan claim ini akan berhasil jika didukung oleh data (D) atau disebut juga dengan ground (G). Jika bukti tidak cukup untuk mendukung claim, ditampilkan warrant (W) atau jaminan. Warrant adalah elemen yang menghubungkan claim dengan ground. Walaupun sebuah argumen yang terdiri dari claim, ground, dan warrant sudah dianggap baik, tetapi terkadang warrant membutuhkan bukti-bukti lain yang disebut sebagai backing (B). Jika claim mengandung keadaan tertentu, dibutuhkan elemen qualifier (Q) atau syarat. Di dalam wacana argumentatif juga seringkali muncul rebuttal (R), yaitu penolakan atau pengecualian.

(8)

Menurut Fairclough, praktik wacana dalam media melibatkan pihak media sebagai produsen teks, dan pihak publik sebagai konsumen teks. Misalnya, jika ada teks media yang merepresentasikan komunitas Muslim sebagai teroris, harus dilihat terlebih dahulu bagaimana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi.

Terakhir, analisis praktik sosiokultural menjelaskan hasil interpretasi wacana dengan mengaitkannya pada konteks makro. Fairclough membuat tiga level analisis praktik sosiokultural, yaitu level situasional, institusional, dan sosial. Level situasional berarti teks diproduksi dalam suatu kondisi yang khas sehingga teks tersebut berbeda dengan teks yang lain. Sementara itu, level institusional berhubungan dengan pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacanaSelanjutnya, level sosial berarti juga melihat bagaimana wacana dilahirkan karena ditentukan oleh perubahan masyarakat.

2.2 Modernisme

Untuk mengetahui praktik sosiokultural yang tercermin dalam wacana, peneliti menggunakan konsep modernisme dari Azra (1996) dan konsep mengenai prinsip-prinsip dalam pemerintahan demokrasi modern dan prinsip-prinsip dalam pemerintahan Islam, hasil sintesis dari pendapat para pakar, seperti Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan Ar-Rahal (2000).

Menurut Azra (1996), modernisme dalam Islam telah mengakibatkan evolusi yang cukup konstan ke arah westernisme, sekaligus juga melahirkan aktor-aktor pemikir modernis yang melakukan interpretasi ulang terhadap gagasan modern, khususnya mengenai sistem kenegaraan. Berdasarkan catatan sejarah, pada permulaan abad ke-19, Islam memasuki periode modern yang ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kontak dengan dunia Barat pada akhirnya membawa konsekuensi pada timbulnya ide-ide baru, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berasal dari Barat telah menimbulkan persoalan-persoalan baru, sehingga para pemimpin Islam mulai memikirkan cara bagaimana mengatasi persoalan tersebut (lihat Nasution, 1986).

(9)

berupaya menjembatani gap yang ada antara tradisi dan modernisasi dengan menawarkan pemikiran Islam mengenai perubahan sosial, hukum, dan politik modern. Dengan kata lain, kalangan modernis berusaha menunjukkan kesesuaian dan penerimaan Islam terhadap gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga modern, baik itu akal, sains dan teknologi, demokrasi, konstitusionalisme, atau pemerintahan perwakilan.

Berdasarkan rumusan Sjadzali (1993), Dahl (1999), Masdar (1999), dan Ar-Rahal (2000), kesesuaian prinsip demokrasi dalam Islam dibagi ke dalam lima wacana pokok, yaitu;

1. wacana kebebasan. Islam mengakui adanya kebebasan berpikir dan kebebasan politik. Dalam kebebasan berpikir, Islam mengenal ijtihad yang merupakan perpaduan antara rasionalitas berpikir (aqli) dan dalil-dalil naqli atau wahyu Tuhan. Dalam kebebasan berpolitik, Islam mengenal kebebasan berpendapat melalui musyawarah;

2. wacana HAM dan keadilan. Islam mengakui adanya hak menghargai hidup manusia, menjaga kehormatan, harta dan nyawa, menolak bentuk kezhaliman atau kesewenang-wenangan, dan mendapatkan pendidikan. Sementara itu, keadilan diperlukan bagi seorang individu tanpa memandang golongan apa pun, baik warga Muslim maupun non-Muslim; 3. wacana persamaan. Pada prinsipnya, Islam mengajarkan bahwa semua manusia sama di

hadapan Tuhan. Doktrin Islam mengedepankan egalitarianisme. Hanya kadar ketakwaan saja yang membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain;

4. wacana pluralisme dan pengakuan hak-hak minoritas. Islam mengedepankan prinsip kesatuan umat dan pemenuhan hak-hak minoritas. Dalam Alquran terdapat ayat yang menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Konsep pluralisme Islam juga dapat ditinjau berdasarkan catatan sejarah di masa kepemimpinan Muhammad di Madinah;

5. wacana etika politik dalam Islam, di antaranya adalah perlu adanya organisasi dan pemimpin, wajib taat pada pemimpin selama ia memerintah dengan benar dan adil, taat kepada pemimpin berarti taat kepada Tuhan, tidak meminta atau memperkuat pemimpin yang berbuat dosa, tidak memilih pemimpin yang meminta jabatan, memberikan saran kepada pemimpin, dan lain sebagainya.

3. Metode Penelitian

(10)

(1979) dalam Silverman (2000) memberikan beberapa karakteristik penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, seperti fleksibel, lunak, subjektif, politis, berdasarkan studi kasus, spekulatif, dan mengakar.

3.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah situs nytimes.com. Data yang dianalisis adalah rubrik Room for Debate edisi 4 Oktober 2012 yang merupakan bagian dari rubrik opini dalam situs nytimes.com. Dalam rubrik ini, peneliti menganalisis segmen pengantar dari redaksi, segmen opini yang merupakan respons atas pernyataan dari redaksi, serta komentar publik terkait segmen pengantar dari redaksi dan segmen opini. Khusus dalam segmen opini, terdapat enam judul artikel yang dianalisis, yaitu “Islam Can Lead in Either Direction”, “A Hurdle That Can Be Overcome”, “The Prophet’s Plurality”, “Rejected by Religions, but Not by Believers”, “Muslims Have Pushed for Democracy”, dan “What Islam Says, and Doesn’t Say”.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam teknik pengumpulan data. Pertama, tahap identifikasi, yaitu dengan melakukan penelusuran terlebih dahulu pada situs nytimes.com. Peneliti memilih rubrik opini dalam situs nytimes.com yang terdiri dari beberapa bagian. Rubrik Room for Debate yang terdapat dalam rubrik opini dipilih karena argumentasi yang dimuat mengindikasikan adanya pertarungan wacana. Kedua, tahap klasifikasi. Dalam rubrik tersebut, terdapat beberapa topik yang dipublikasikan dalam waktu yang berbeda-beda. Penulis memilih topik “Is Islam an Obstacle to Democracy?” yang dipublikasikan pada 4 Oktober 2012. Tahap terakhir yaitu tahap justifikasi, yaitu menentukan bagian-bagian dalam rubrik Room for Debate yang dapat penulis jadikan data. Dalam tahap ini, data yang penulis pilih hanya berupa teks tulis (verbal), tidak termasuk foto (non-verbal).

3.3 Teknik Pengolahan Data

(11)

masing-masing paragraf dan kalimat ditandai dengan angka arab, yaitu 1, 2, 3 dan seterusnya. Misalnya, peneliti hendak mengacu kalimat keempat dari paragraf pertama dalam artikel opini tertentu, simbol yang penulis tuliskan adalah ‘B.1.4’. ‘B’ merujuk pada salah satu artikel, ‘1’ merujuk pada paragraf ke-1, dan ‘4’ merujuk pada urutan kalimat ke-4 dalam artikel B.Tahap terakhir adalah tahap reduksi, yaitu menyeleksi komentar-komentar publik. Penulis hanya akan mengolah komentar publik yang mengacu pada teks, sedangkan komentar yang tidak mengacu pada teks akan penulis abaikan.

3.4 Teknik Analisis Data

Dalam teknik analisis data, ada tiga tahap yang akan dilakukan, yaitu tahap deskripsi, tahap interpretasi, dan tahap eksplanasi. Pertama, tahap deskripsi, yaitu tahap yang berkaitan dengan bentuk formal teks. Pada tahap ini, fokus penelitiannya adalah bahasa. AWK dalam hal ini mengadopsi teori gramatika fungsional (functional grammar) Halliday. Khusus untuk pilihan diksi dan frasa digunakan pendekatan analisis komponen makna dari Nida (1979), yaitu dengan cara mencari komponen bersama dan komponen pembeda. Setelah tahap deskripsi, peneliti melakukan tahap interpretasi, yaitu dengan melihat bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Dalam tahap ini, poduksi teks tidak dianalisis karena membutuhkan keterlibatan redaksi nytimes.com. Oleh karena itu, hanya konsumsi teks saja yang dianalisis, yaitu dengan mengamati komentar publik yang mengacu pada teks. Terakhir, tahap eksplanasi, yaitu dengan menganalisis praktik sosial-budaya yang tercermin dalam teks.

4. Analisis dan Interpretasi Data

Dari proses analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa tujuan dimuatnya rubrik Room for Debate adalah mengangkat isu terkini dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada publik untuk memberikan pendapatnya secara kritis. Rubrik Room for Debate terdiri atas tiga segmen, yaitu segmen pengantar, segmen opini, dan segmen komentar publik. Segmen pengantar merupakan pernyataan dari redaksi yang berfungsi untuk membuka perdebatan dan memberikan umpan, baik bagi penulis opini, maupun publik atau pembaca. Segmen opini berfungsi untuk mengelaborasi atau menjawab permasalahan yang diangkat secara lebih mengakar.

(12)

terhadap umpan dari redaksi, maupun opini para kontributor secara pro dan kontra. Dari penelitian yang dilakukan, terdapat sejumlah temuan sebagai berikut.

4.1 Analisis Representasi dalam Klausa 4.1.1 Pilihan Diksi dan Frasa

Ditinjau dari komponen maknanya, pilihan diksi dan frasa yang ada dalam segmen pengantar cenderung memiliki daya yang dapat memancing publik untuk kritis dan merespons umpan dari redaksi secara pro dan kontra. Sementara itu, dalam teks opini, pilihan diksi atau frasa yang digunakan cenderung lugas, kritis, apresiatif, dan memihak. Pada dasarnya, pilihan diksi dan frasa yang dimuat merefleksikan adanya perubahan sosial di dunia Muslim dan dialektika antara hubungan Islam dengan Barat. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana pilihan diksi dan frasa yang digunakan oleh penulis cenderung menunjukkan keberpihakan terhadap individu atau kelompok.

Tabel 1. Pilihan Diksi dan Frasa yang Mengindikasikan Representasi terhadap Individu atau Kelompok

Diksi Frasa

Scholar Leading Islamist Reformer

Prophet Young salafists

Progressive Muslim modernists

Conservative Muslim thinkers

Dengan melakukan strategi penamaan (naming), umumnya penulis cenderung berpihak terhadap kalangan Muslim yang dianggap menerima ide-ide baru sebagai akibat dari adanya modernisasi. Beberapa penulis secara eksplisit menyebutkan Muslim progressives, Muslim modernists, Muslim thinkers, scholar, progressives, dan reformer yang menyepakati praktik pelaksanaan sistem demokrasi di negara Muslim. Dalam merepresentasikan Islam, umumnya penulis cenderung memandang Islam sebagai agama yang diinterpretasikan beragam oleh para penganutnya, terutama dalam kaitannya dengan isu pemerintahan demokrasi. Menurut mereka, penafsiran mengenai sesuai atau tidaknya pemerintahan demokrasi dalam Islam, dan nilai-nilai demokrasi modern yang terkandung di dalamnya, tidak terlepas dari aktor atau agen dalam Islam. Namun pada akhirnya, pembaca secara implisit diarahkan untuk menyepakati ide yang berasal dari kalangan progresif, yang dianggap memiliki gagasan baik dan sesuai dengan zaman modern.

(13)

berlangsung di negara Muslim. Tabel di bawah ini mendaftar beberapa pilihan diksi dan frasa yang mengindikasikan hal tersebut.

Tabel 2. Pilihan Diksi dan Frasa yang Bersifat Evaluatif atau Mengindikasikan Apresiasi dan Kritik

Diksi Frasa

Compatible Non-sensical Significant Overlap

Hurdle Anachronistic Role Model

Stability Modern Failed model

Development Premodern

-Successful Dictatorship

-Inherent Obstacle

-Tensions -

-Pilihan diksi dan frasa yang dimuat dalam tabel di atas mengindikasikan upaya para penulis dalam mengevaluasi, mengapresiasi, hingga mengkritik tindakan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Pada beberapa bagian, misalnya, sebagian penulis mengapresiasi pelaksanaan demokrasi di negara-negara Islam, seperti Turki, Tunisia, Indonesia, Bangladesh, atau India dengan menyatakan bahwa negara tersebut berhasil menjalankan demokrasi dan dapat dijadikan role model. Akan tetapi, pada negara-negara Timur Tengah, seperti Iran, Yordania, Maroko, dan Pakistan, beberapa penulis cenderung memberikan kritikan yang tajam sehingga menyebut negara tersebut sebagai negara dengan pemimpin yang diktator atau gagal dalam menerapkan demokrasi.

Kemudian, dalam meyakinkan pendapatnya, ada juga penulis yang menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam mengemukakan argumentasinya, sehingga mengindikasikan adanya klaim kebenaran universal atau adanya upaya legitimasi. Pendapat para penulis dianggap sebagai satu kebenaran umum, sehingga ada indikasi upaya untuk mempengaruhi pembaca dan membangun kesamaan paham. Contohnya, the truth, unavoidable truth, dan in fact.

(14)

memuat wacana sejarah nabi, sejarah cendekiawan masa lalu, kiprah para pemimpin Muslim saat ini, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam kitab suci. Strategi tersebut menjadi upaya para penulis dalam meyakinkan publik bahwa dunia Islam terbuka terhadap sistem pemerintahan apapun, termasuk demokrasi, selama sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam. Adapun nilai-nilai yang dinegosiasikan dalam wacana diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 3. Nilai-nilai Demokratis yang Ditampilkan dalam Wacana

Citizen of pluralistic society Freedom

Justice Human rights

Gender equality Pluralism

Non-compulsion Respect for diversity

Individual equality Autonomy

Sovereignity Representation

Terakhir, modalitas (modality) yang dipilih cenderung berfungsi untuk memprediksi dan memberikan masukan. Walaupun dari analisis terlihat bahwa para penulis cenderung berpihak terhadap kalangan modernis, para penulis secara kritis memberikan saran dan kritik bagi pelaksanaan demokrasi di negara-negara Muslim. Umumnya penulis menggunakan pilihan modalitas dalam tingkatan menengah (median) untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika negara-negara Muslim menerapkan demokrasi, misalnya pada judul teks B dan teks F.1.1.

“Islam Can Lead in Either Direction” (Judul Teks B)

If democracy is to be born in the Muslim world, religious political parties will be the midwives (F.1.1).

Namun, di sisi lain sebagian penulis memberikan kritik untuk redaksi atau memberikan masukan bagi pelaksanaannya dengan menggunakan modalitas dalam tingkatan tinggi (high) dan menengah(median), misalnya pada teks E.4.14 dan G.6.17.

In order to answer this question, we must probe the intersections of Islam, culture, colonization, socio-economics and education. (E. 4.14)

...and today, must be — a democracy of Muslims who live side by side in a commitment to a “greater we” alongside our neighbors. (G.6.17)

(15)

Tabel 4. Pilihan Modals dalam Berbagai Tingkatan

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pilihan kata dan frasa yang ada mengungkapkan tujuan penulis untuk meyakinkan serta mengarahkan pembaca agar menyepakati pandangan penulis.

4.1.2 Gramatika

Pada tingkatan gramatika, maksud penulis dapat dilihat dari makna metafungsional bahasa. Pada aspek tekstual, klausa yang digunakan penulis terdiri dari tema dan rema, kecuali untuk kalimat pertanyaan yang hanya terdiri dari tema I dan tema II. Tema dalam hal ini berfungsi sebagai titik tolak ujaran, dan rema berfungsi sebagai penjelas tema.

Dilihat dari aspek interpersonal, khususnya modus gramatikal, penulis banyak memuat kalimat deklaratif yang lebih memberikan penekanan pada aktor dan tindakan. Struktur klausa pada teks G.7.12 dan teks B.3.8 di bawah ini menunjukkan keberpihakan penulis terhadap aktor Muslim yang mendukung kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi.

Muslim thinkers have long argued that fundamental Islamic texts dealing with consultation and representation support both constitutional government and elections. (G.712)

Fast forward to our times: Leading Islamist reformers like Rachid al-Ghannouchi in Tunisia draw on those teachings to argue that democracy best servesthese principles. (B.3.8)

Sementara itu, modus gramatikal interogatif digunakan pada segmen pengantar untuk membuka perdebatan, sedangkan pada segmen opini, sebagian penulis cenderung menggunakannya untuk memberikan kritik terhadap umpan dari redaksi, misalnya pada kalimat D.6.16.

The question should be: “Do Muslims promote democracy?” (D.6.16)

Modals Tipe Tingkatan

Would Probability (Prediksi) Median (Menengah)

Will Probability Median

Can Probability Median

May Probability Low (Rendah)

Might Probability Low

Must Obligation (Keharusan) High (Tinggi)

(16)

Selanjutnya, pada tingkatan ideasional, penulis cenderung merepresentasikan partisipan atau aktor-aktor wacana, baik secara apresiatif maupun secara kritis. Dengan menggunakan wacana perbedaan (difference) yang disertai dengan alasan, dukungan para penulis dalam rubrik Room for Debate mengarah kepada agen Muslim yang menyepakati adanya kesesuaian nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai demokratis, walaupun mereka menyertai pendapatnya dengan kritik. Pada bagian ini juga penulis menggunakan tipe proses material, yaitu proses yang menitikberatkan pada tindakan.

Terakhir, ditinjau dari penggunaan tenses, klausa yang dimuat menunjukkan konstruksi waktu dalam wacana. Dimuatnya sejarah politik Islam menunjukkan adanya wacana perubahan sosial yang tengah terjadi dalam dunia Islam saat ini, misalnya dalam teks C.3.11 dan teks C.3.12

Yet, this situation has been changing before our eyes. (C.3.11)

It started when Muslim modernists in Egypt in the 19th century sought ways for Islam to rise to the challenge posed by the West, and it has accelerated because of urbanization and technology. (C.3.12)

4.2 Analisis Representasi dalam Kombinasi Klausa

Dalam tingkatan kombinasi klausa, penulis memuat beberapa konjungsi dan pronomina atau kata ganti yang memiliki tujuan tertentu. Dalam meyakinkan pendapatnya, sebagian penulis memuat pronomina we, our, atau us yang bersifat inklusif, Hal ini bertujuan untuk melibatkan pembaca dan membangun kesamaan paham, seperti pada teks B.2.5

The prophet Muhammad bequeathed to us no fixed system of government, but taught Muslims the importance of justice and equality, and of eliminating corruption and bringing rulers to account (B.2.5)

Konjungsi berupa hubungan pertentangan, yaitu but, however, dan rather dimuat untuk memaparkan wacana perbedaan yang menciptakan polemik di dalam wacana. Pada akhirnya, penulis berakhir pada keberpihakannya terhadap satu kondisi. Wacana perbedaan ini dimuat untuk mengajak pembaca dalam membandingkan dan mengkritisi dua keadaan, misalnya dalam teks C.2.6.

But there is a difference between these Greater Indian Ocean societies and those in the desert Middle East (C.2.6).

(17)

because, dan if, dimuat untuk memaparkan alasan yang dapat memperkuat argumennya, misalnya dalam teks D.1.1.

The question of whether Islam is compatible with democracy is nonsensical at its core, first because it ignores basic empirical evidence (the five most populous Muslim countries in the world are all democracies)and second because it presumes that Islam is somehow different, unique or special -- that unlike every other religion in the history of the world, Islam alone is unaffected by history, culture or context. (D.1.1) 4.3 Analisis Genre

Dari analisis yang telah dilakukan, sebanyak 6 teks disusun atas claim (C) dan stated reason yang terpisah, serta ground (G) atau bukti yang berfungsi untuk memperkuat claim dan menunjukkan posisi keberpihakan penulis. Bukti yang dimuat di antaranya berupa uraian sejarah Islam dan kondisi negara-negara Muslim saat ini. Kemudian, hanya 2 teks yang memuat warrant (W) dan backing (B) secara eksplisit. Warrant yang eksplisit berupa pernyataan yang memuat pendapat aktor untuk memperkuat claim dan menghubungkannya ke ground.

Selanjutnya, sebanyak 4 teks memuat qualifier (Q) yang berupa persyaratan. Qualifier mencerminkan tindakan berupa memberi masukan agar hubungan Islam dengan pemerintahan demokratis dapat tercapai. Kemudian, sebanyak 5 teks memuat Rebuttal (R) yang mencerminkan tindakan, yaitu mengkritik redaksi dan mengemukakan kondisi yang bertentangan.

4.4 Analisis Praktik Wacana

Dalam tataran praktik wacana, perdebatan terdapat dalam kolom komentar publik.Teks dikonsumsi oleh pembaca dengan cara menanggapi pandangan penulis secara pro dan kontra. Pada segmen pengantar, lebih banyak publik yang mendebat alih-alih mendukung, sedangkan pada segmen opini, 3 opini lebih banyak didebat, 1 opini lebih banyak didukung, dan 2 opini lainnya seimbang antara yang mendebat dan yang mendukung (ambigu). Dengan demikian, strategi yang dilakukan oleh para penulis dalam rubrik Room for Debate untuk meyakinkan pembaca bahwa Islam bukan merupakan penghalang bagi demokrasi ditanggapi secara skeptis. Publik tidak seratus persen menerima pandangan penulis, tetapi memposisikan dirinya sebagai pihak yang kritis.

4.5 Analisis Praktik Sosial

(18)

Dunia Arab. Peristiwa ini diberitakan oleh nytimes.com dan ditanggapi oleh seorang intelektual Muslim, Tariq Ramadhan. Pernyataan Ramadhan digarisbawahi oleh redaksi dan diangkat menjadi topik perdebatan secara lebih luas.

Dilihat dari level sosial, setidaknya ada tiga faktor yang memunculkan wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam situs nytimes.com, yaitu pertama, adanya kebebasan pers dan sorotan media terhadap dunia Islam. Pers Amerika Serikat diberikan kebebasan oleh Undang-undang dalam mengangkat isu apa pun di era keterbukaan. Namun, sejak Peristiwa 9/11, Islam seringkali direpresentasikan secara buruk di media-media Barat. Kedua, kondisi politik AS yang menerapkan demokrasi liberal, tetapi di sisi lain memiliki sikap yang kontradiktif terhadap demokrasi. Di satu sisi pemerintah AS memiliki tujuan untuk menyebarkan demokrasi, tetapi di sisi lain melakukan intervensi terhadap kebijakan-kebijakan dalam negeri negara-negara Timur Tengah. Terakhir, adanya perubahan pandangan Muslim terhadap sistem pemerintahan dan munculnya kalangan Muslim intelektual dengan semangat modernisasi politik. Kalangan modernis berupaya untuk menjembatani gap antara tradisi dan modernisasi dengan melakukan interpretasi ulang terhadap nilai-nilai agama dan Barat. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh ekspansi Barat di masa lalu, sertaadanya gempuran globalisasi yang terjadi hingga saat ini.

5. Simpulan dan Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, serta temuan yang berhasil didapatkan, terlihat bahwa pada dasarnya para penulis memiliki pandangan yang positif terhadap kesesuaian hubungan Islam dengan demokrasi, berbeda dengan pandangan lain yang menyatakan bahwa Islam dan demokrasi adalah dikotomi yang sulit disatukan. Dari analisis yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.

(19)

diarahkan untuk melibatkan pembaca agar meyakini apa yang menjadi pandangan para penulis. Pembaca secara implisit diarahkan untuk memilih satu di antara perbedaan-perbedaan tersebut, atau dengan kata lain, meyakini kebenaran pandangan penulis teks.

Kedua, nilai-nilai modern yang ditampilkan di dalam wacana dinegosiasikan dengan memuat tindakan-tindakan aktor dalam Islam yang merujuk pada sejarah nabi, kandungan kitab suci,kiprah para cendekiawan Muslim di masa lampau, dan kalangan modernis yang diyakini menerima sejumlah nilai-nilai modern, seperti hak asasi manusia (HAM), persamaan, keadilan, kebebasan, pluralisme, kedaulatan rakyat, dan etika politik. Namun demikian, pada tataran praktik wacana, pandangan penulis opini tidak secara menyeluruh diyakini kebenarannya oleh pembaca. Teks dikonsumsi secara pro dan kontra dan umumnya ditanggapi secara skeptis.

Selanjutnya, pada tataran praktik sosiokultural, wacana tidak dihadirkan dalam ruang yang hampa, melainkan sebagai akibat dari munculnya peristiwa Revolusi Dunia Arab yang telah mengubah pandangan masyarakat untuk membenahi sistem pemerintahan dengan sistem kepemimpinan yang lebih demokratis. Keberpihakan penulis terhadap kalangan modernis yang terungkap dalam media Barat nytimes.com mencerminkan dialektika antara hubungan Islam dengan Barat. Dengan demikian, pembentukan wacana tidak terlepas dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi, termasuk perubahan-perubahan ide atau nilai-nilai dominan yang berkembang dan diterima oleh masyarakat.

Jawaban atas pertanyaan penelitian ini masih terbuka untuk diteliti lebih jauh, terutama dalam kaitannya dengan praktik institusi media yang tidak peneliti sertakan. Selain itu, keterbatasan data berupa opini mengenai hubungan Islam dengan demokrasi belum bisa menggeneralisasi pandangan-pandangan dalam masyarakat Barat mengenai sesuai atau tidaknya hubungan Islam dengan demokrasi, khususnya di kalangan intelektual. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana hubungan Islam dengan demokrasi dalam media-media Barat masih sangat mungkin untuk dikaji lebih dalam.

Daftar Acuan

Alatas, Syed Farid. (2005). “Introduction” dalam Covering Islam Challenges and Opportunities for Media in the Global Village. Syed Farid Alatas (Ed.). Singapore: Centre for Research on Islamic and Malay Affairs (RIMA)

(20)

Blommaert, Jan. (2005). Discourse: A Critical Introduction. Cambridge: Cambridge University Press

Clark, R., & Ivanic, R. (1997). The Politics of Writing. New York: Routledge

Dahl, A. Robert. (1992). Dilema Demokrasi Pluralis (Edisi kedua) (A Rahman Zainuddin, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dahl, A. Robert. (2001). Perihal Demokrasi (A Rahman Zainuddin, Penerjemah). Jakarta: IKAPI. Effendy, Bahtiar. (2001). Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Printika.

Fairclough, Norman.(1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman. Fairclough, Norman.(2001). Language and Power. London: Longman.

Fairclough, Norman. (2003). Analysing Discourse. Textual Analysis for Social Research. New York: Routlegde. Halliday, M. (2004). An Introduction to Functional Grammar (Edisi Ketiga).London: Edward and Arnold. Nasution, Harun (1986). Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Nida, Eugene A. (1979). Componential Analysis of Meaning. Cambridge: Cambridge University Press.

Philips, L., & Jorgensen, M. W. (2002). Discouse Analysis as Theory and Method (Edisi Kesatu). London: Sage Publication Ltd.

Ramadhan, Tariq. (2012). “Waiting for the Arab Spring Ideas”. Diunduh 24 Desember 2013.

http://www.nytimes.com/2012/10/01/opinion/waiting-for-an-arab-spring-of ideas.html? pagewanted=all&_r=0.

Schwartz, Stephen. (2005).4 Years After September 11th. The Failure of Western Media”. Dalam Covering Islam Challenges and Opportunities for Media in the Global Village (hlm 5-26). Singapore: Centre for Research on Islamic and Malay Affairs (RIMA).

Silverman, David (2000). Doing Qualitative Research, A Practical Handbook. London: Sage Publications Ltd.

Simpson, Paul & Mayr, Andrea. (2010). Language and Power. New York: Routledge.

Sjadzali, Munawir. (1990). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Umaruddin, Masdar. (1999). Membaca Pikiran Gusdur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Urbaningrum, Anas. (2000). Islam dan Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. (Tesis Magister Tidak Diterbitkan). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.

Van Dijk, Teun. (2009). Society and Discourse How Social Context Influence Text and Talk. New York: Cambridge University Press.

Gambar

Tabel 1. Pilihan Diksi dan Frasa yang Mengindikasikan Representasi terhadap Individu atau Kelompok
Tabel 2. Pilihan Diksi dan Frasa yang Bersifat Evaluatif atau Mengindikasikan Apresiasi dan Kritik
Tabel 3. Nilai-nilai Demokratis yang Ditampilkan dalam Wacana
Tabel 4. Pilihan Modals dalam Berbagai Tingkatan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh investasi dan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja di Kota Bandar Lampung pada tahun 2006-2015 dan penyerapan

beradab. Pada tingkat selanjutnya, perspektif baru dalam penulisan sejarah dapat diciptakan dan dikenal sebagai model penulisan sejarah nasional. Dengan digunakannya

Antara pelajar atau pelanggan yang berpotensi untuk memasuki TVET adalah mereka yang merupakan lepasan sekolah tinggi, lepasan sekolah menengah, pelajar kolej dan

Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). 11 Jual beli merupakan salah satu

Menurut hukum Islam, praktek perkawinan lintas gama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah karena perkawinan yang dilakukan secara Islam kemudian salah satu

da kapas berdaun okra lebih sedikit dibanding kapas berdaun normal meskipun jumlah square yang terbentuk pada kapas daun okra lebih ba- nyak dibanding kapas berdaun normal, hal ini

Dapat dispmpulkan bahwa media pembelajaran ekonomi materi akuntansi yang digunakan oleh guru kelas XI IPS di SMA Negeri 1 Manyar-Gresik pada KD 1 sebesar

(1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas pelanggaran tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam qanun ini dapat juga dilakukan oleh