• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK BER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK BER"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK BERSENJATA1 impregnation, or forced prostitution. In addition, armed conflict also affects the gender relation related to women, for example women become the breadwinner as the result of lost of husband due to the conflict. this is a normative research aimed to discuss on the impact of armed conflict on women, how international humanitarian law protects women in armed conflict and how the implementation of that protection.

Key words : Armed Conflict, Gender, International Humanitarian Law

Intisari

Dalam konflik bersenjata vulnerable groups seringkali menjadi korban para pihak yang bersengketa. Diantara kelompok ini adalah perempuan. Perempuan dalam konflik bersenjata seringkali mendapat akibat secara langsung maupun tidak langsung dari konflik yang terjadi, diantaranya adalah kekerasan berbasis gender, seperti pemerkosaan, penghamilan secara paksa, atau pelacuran secara paksa. Selain itu konflik bersenjata juga memberikan pengaruh terhadap relasi gender dalam hubungannya dengan perempuan, misalkan peran perempuan berubah menjadi pencari nafkah karena kehilangan suami akibat konflik. Penelitian ini dilakukan secara normativ yang bertujuan untuk melihat bagaimana dampak konflik bersenjata terhadap perempuan, bagaimana hukum humaniter internasional melindungi perempuan dalam konflik bersenjata dan pelaksaanaan perlindungan tersebut.

Kata Kunci : Konflik bersenjata, Gender, Hukum Humaniter Internasional

A. Pendahuluan

Dalam situasi konflik bersenjata laki-laki dipandang sebagai pihak yang

memiliki kemampuan untuk melindungi diri lebih baik daripada perempuan.

Perempuan dianggap sebagai kelompok yang rentan dalam situasi konflik bersenjata

maka perlindungan terhadap mereka harus lebih diutamakan, apalagi sebagian besar

1 Disampaikan dalam Kursus Lanjutan Hukum Humaniter Internasioal di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pada Tanggal 15-18 September 2015

2

(2)

dari perempuan pada umumnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik

bersenjata. Meskipun tidak terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata namun

perempuan berpotensi untuk menanggung akibat dari konflik bersenjata misalnya

mendapat kekerasan berbasis gender (gender based violence)3 seperti kekerasan seksual yang terkadang menjadi bagian strategi dalam konflik bersenjata.4 Karenanya tingkat kekerasan berbasis gender ini semakin tinggi dalam konflik bersenjata.

Kekerasan berbasis gender ini dapat terjadi dalam dua bentuk yakni secara

interpersonal dan secara institusional/struktural. Secara interpersonal keekrasan

berbasis gender dapat berbentuk kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, kekerasan

psikis, kekerasan fisik, atau tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh seorang

individu terhadap individu lainnya. Kekerasan yang bersifat institusional atau

struktural adalah setiap bentuk ketidaksetaraan secara struktural atau diskriminasi

secara institusional yang mengakibatkan seseorang terus berada dalam posisi

tertekan/lebih rendah dibandingkan yang lain, baik secara fisik atau ideologi, di

dalam keluarga atau dalam suatu komunitas.5 Kekerasan interpersonal yang rentan dihadapi perempuan dalam konflik bersenjata adalah pemerkosaan, kekerasan seksual

atau kekerasan fisik dan psikis lainnya, sedangkan kekerasan struktural yang dihadapi

misalnya terbatasnya akses dalam memperoleh ruang gerak yang cukup dalam suatu

penahanan akibat budaya tertentu di suatu komunitas yang tidak mengijinkan

perempuan untuk berada di suatu tempat yang sama, meskipun itu di lapangan

sekalipun.

Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dalam konflik bersenjata bukan

hanya terjadi kepada perempuan yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik

bersenjata namun perempuan yang tergabung dalam militer juga rentan untuk terkena

3 Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan pada individu atau kelompok atas dasar gender (bisa laki-laki atau perempuan). Lihat dalam Siân Herbert, 2014, “Links between gender-based violence and outbreaks of violent conflict”, GSDRC Helpdesk Research Report, hlm.1.

4 Siân Herbert, Op.cit,hlm.3.

(3)

kekerasan. Satu dari tiga perempuan yang meninggalkan dinas militer dilaporkan

mengalami perkosaan atau percobaan perkosaan sebanyak satu atau lebih dari satu

kali.6 Pentagon memperkirakan 26.000 orang mengalami penyerangan seksual pada tahun 2010, dan 19.000 orang diserang secara seksual pada tahun 2011.7 Kenyataan ini menunjukan bahwa perempuan dalam segala kondisi merupakan pihak yang

lemah dalam konflik bersenjata, karenanya usaha perlindungan harus dimaksimalkan

untuk melindungi perempuan dari segala ancaman kekerasan yang mungkin terjadi

akibat konflik bersenjata.

Berkaitan dengan perlindungan perempuan dalam konflik bersenjata maka

perlu dilihat instrument hukum terkait yang memberikan dasar untuk perlindungan

perempuan ketika konflik terjadi dan bagaimana perlindungan tersebut dilakukan

secara kelembagaan. Paper ini ditujukan untuk mengkaji mengenai hal tersebut, yakni

melihat bagaimana hukum humaniter internasional memberikan payung hukum bagi

perlindungan perempuan dalam konflik bersenjata dan bagaimana perlindungan

tersebut dilaksanakan. Kedua hal ini akan didahului dengan melihat bagaimana

konflik bersenjata mempengaruhi perempuan.

B. Dampak Konflik Bersenjata Terhadap Perempuan

Dalam bagian ini akan dipaparkan bagaimana dampak konflik bersenjata

kepada perempuan, baik itu dampak yang ditimbulkan secara langsung ataupun tidak

langsung. Dampak konflik itu dapat berupa akibat fisikm psikis, maupun secara

sosial. Semua dampak yang timbul ini kemudian akan ditempatkan dalam bingkai

kekerasan berbasis gender dan dampak yang ditimbulkan dalam relasi gender

terutama bagi perempuan.

Konflik bersenjata dapat memberikan akibat kepada sipa saja, baik itu

kombatan maupun non-kombatan. Namun hukum humaniter internasional mengatur

6 Anne G. Sadler, et all, “Factors Associated with Women’s Risk of Rape in the Military Environment”, American Journal Of Industrial Medicine,43:262–273 (2003), hlm. 266.

(4)

bahwa bagi mereka yang berstatus non kombatan harus mendapat perlindungan

selama berlangsungnya konflik. Penduduk sipil adalah termsuk dalam kategori yang

mendapakan perlindungan tersebut. Selain perlindungan kepada penduduk sipil

secara umum, harus diakui bahwa beberapa kelompok dapat dianggap sebagai

kelompok yang rentan (vulnerable groups) dalam konflik bersenjata.

Kelompok-kelompok inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih dalam aksi-aksi

kemanusiaan selama berlangsungnya konflik bersenjata. Hal ini senada dengan yang

dinyatakan oleh Wakil Presiden ICRC, Christine Beerli, bahwa “[…] The ICRC's

mandate expanded then quickly to conduct humanitarian action in favour of all

victims of armed conflicts, but the notion of vulnerability definitely remained at the

core of our action”. Perempuan, anak-anak, orang-orang tua, dan penyandang

disabilitas adalah mereka yang paling rentan dalam situasi-situasi seperti ini.8

Kekerasan terhadap perempuan terjadi baik pada saat perang ataupun damai,

namun tingkat kekerasan terhadap perempuan akan meningkat dengan drastis pada

saat pecahnya konflik bersenjata. Kasus-kasus yang selama ini terjadi misalnya :

kasus Jepang selama perang Asia – Pasifik, wanita Vietnam selama Perang Vietnam

dan Kasus Balkan, menunjukkan bagaimana seringnya perempuan menjadi obyek

kekerasan seksual selama perang berlangsung. Tragedi berdarah Nanking pun lebih

dikenal dengan istilah “The Rape of Nanking” karena banyaknya korban perkosaan yang dialami oleh perempuan-perempuan Cina yang dilakukan oleh tentara-tentara

Jepang. Kekerasan seksual terhadap perempuan di waktu perang terkadang semakin

parah ketika kekerasan yang terjadi tersebut didukung oleh institusi negara dan dalam

beberapa kasus dilakukan dengan maksud memusnahkan entitas etnis dan/atau

budaya tertentu.9

8

Christine Beerli, 2013, Vulnerabilities in armed conflicts, [online] tersedia di <https://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/2013/10-18-protected-person-bruges.htm > , diakses tanggal 3 Juni 2015

(5)

Dalam penahanan, perempuan juga mengalami permasalahan tersendiri.

Kondisi perempuan dalam tahanan misalnya bisa menjadi sangat buruk bagi mereka.

Penahanan perempuan seringkali ditempatkan bersama-sama dengan laki-laki yang

mana dapat menimbulkan risiko pelecehan dan dapat juga secara tidak langsung

mempengaruhi kesempatan mereka dalam mendapatkan perlindungan lainnya. Fakta

bahwa di lapangan tempat penahanan, komunal dapat mengganggu akses perempuan

ke udara segar, karena pencampuran dengan laki-laki bisa menempatkan mereka pada

risiko dan memang mungkin tidak dipertimbangkan atau diizinkan untuk alasan

budaya. Demikian juga, ketika koridor penjara terbuka untuk kedua jenis kelamin,

perempuan sering tetap terkunci dalam sel mereka. Akses mereka ke fasilitas dasar

terbatas atau diblokir dan kebutuhan kesehatan dan kebersihan mereka mungkin tidak

dipenuhi. Wanita hamil dan ibu menyusui memiliki kebutuhan khusus, yang

memerlukan nutrisi tambahan pra dan pasca persalinan sehingga mereka dan bayi

mereka tetap dalam kesehatan yang baik.10

Dalam situasi konflik internal atau konflik bersenjata non-internasional di

suatu negara, seringkali krisis kemanusiaan yang terjadi lebih hebat dibandingkan

dengan yang terdapat dalam konflik bersenjata antar negara. Contohnya

pemberontakan Boko Haram di Nigeria yang memberikan dampak yang besar bagi

penduduk sipil di sana. Sejak awal 2013 lebih dari 300.000 orang di Negara Bagian

Borno, Yobe, dan Adamawa – 70% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak –

telah mengungsi dari tempat tinggal mereka. Secara keseluruhan akibat

pemberontakan Boko Haram, sejak Mei 2013, 470.000 orang menjadi internally

displaced persons (IDPs) dan 60.000 orang lainnya mencari perlindungan di

negara-negara tetangga seperti Chad dan Kamerun. Orang-orang ini menghadapi masalah

10

(6)

kemanusiaan yang sangat besar seperti susah dalam mendapat akses air bersih,

makanan, tempat berteduh, kesehatan, pendidikan,dan kebutuhan dasar lainnya.11 Dalam konflik bersenjata antara Boko Haram dan Pemerintah Nigeria

perempuan dan anak-anak mendapat perlakuan yang sangat melanggar hak-hak dasar

yang seharusnya mereka terima. Menurut laporan amnesty internasional dan

Consortium For The Stusy Of Terrorism and Respon To Terrorism (START)

setidaknya ada beberapa pelanggaran HAM yang terjadi, yakni: (1) penculikan; (2)

perbudakan; (3) pemerkosaan; (4) pembantaian;12 (5) perekrutan anak menjadi pejuang Boko Haram; (6) kawin paksa terhadap perempuan-perempuan dengan para

pejuang Boko Haram; (7) pembatasan ruang gerak terutama bagi wanita.13

Margaret A. Schuler menunjukkan menunjukan bahwa kekerasan seksual

terhadap perempuan yang pada waktu konflik bersenjata dapat digunakan oleh militer

sebagai bagian dari strategi perangnya, yakni dengan tujuan sebagai berikut:14

1) Perkosaan telah digunakan dengan tujuan – tujuan sebagai berikut :

a. Menteror atau melakukan teror terhadap penduduk sipil dan sebagai dampak ikutannya mendorong penduduk sipil untuk meninggalkan rumah dan desa mereka.

b. Merendahkan musuh dengan cara menaklukkan kaum perempuannya.

c. Merupakan “bonus” bagi para tentara serta untuk meningkatkan

keberanian mereka di medan perang.

2) Pelacuran paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut : a. Meningkatkan moral para tentara dan pegawai dan;

b. Merupakan cara untuk membuat atau menjadikan kaum perempuan merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi.

3) Penghamilan dan kehamilan paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan

12 Amnesty Internasional, 2015, Nigeria: Nigerian Authorities Were Warned Of Boko Haram Attacks On Baga And Monguno

13

START, 2014, Boko Haram Recent Attacks”, US Department of Homeland Security and Technology Center of Excellence Headquarter at The Unicersity of Maryland. Hlm.6-8.

(7)

a. Memperdalam penghinaan terhadap korban perkosaan.

b. Melahirkan bayi-bayi dengan etnis yang sama dengan pemerkosaannya.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka jika dikelompokakan dalam kekerasan

berbasis gender maka dalam konflik bersenjata perempuan mengalami kekerasan

secara interpersonal maupun secara sturuktural. Tidak semua kekerasan yang dialami

oleh perempuan dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kekerasan

berbasis gender, namun ada beberapa kekerasan yang dialami perempuan dalam

konflik bersenjata dikarenakan identitasnya sebagai perempuan.

Matrix 1. Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan Dalam Konflik Bersenjata

Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence)

Interpersonal Struktural

Jenis kekerasan

Kekrasan

seksual

Terhambatnya akses perempuan dalam tahanan

untuk mendapat udara bebas karena tidak

diperbolehkan berada dalam ruang yang sama

dengan laki-laki

Perkosaan Terbatasnya ruang gerak perempuan dalam tahanan

karena ditempatkan dalam penahanan yang sama

dengan laki-laki

Perbudakan Pembatasan ruang gerak perempuan

Kawin paksa Terbatasnya akses ibu hamil atau atau ibu menyusui

dalam tahanan untuk memperoleh akses kesehatan

yang memadai

Penghamilan secara paksa

Pelacuaran paksa

Dalam penelitian yang dilakukan di Sudan, Uganda, Mali, Angola dan

(8)

terluka (bisa menyebabkan cacat) atau kematian, pemiskinan dan kehilangan harta

benda dan sumber daya lainnya, kerusakan lingkungan, terpaksa harus mengungsi

dari daerah konflik (displacement), dan kerugian secara psikologis. Hal ini dapat

menyebabkan seseorang menjadi frustasi atau depresi yang mana dapat menuntun

pada bentuk-bentuk tindakan kekerasan lainnya terhadap diri sendiri maupun

terhadap orang lain, seperti tindakan pidana, kecanduan alkohol, bunuh diri,

prostitusi, tindakan kekerasan, bergabung dengan milisi, dan melakukan hubungan

seksual yang beresiko besar untuk penularan HIV.15

Bagan 1. Dampak konflik bersenjata (bagan dimodifikasi)

Sumber: Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, 2005, “Cycles of Violence: Gender

Relations and Armed Conflict”

Jika dilihat dalam konteks hubungan gender (gender relations) maka konflik

bersenjata dapat mempengaruhi empat bidang yang merupakan dasar dari hubungan

gender yakni peran (roles), identitas (identity), institusi (institution), ideologi

(ideology). Berikut akan dipaparkan secara singkat bagaimana konflik bersenjata

15 Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, 2005, “Cycles of Violence: Gender Relations and Armed Conflict”, (pdf) tersedia di < http://www.acordinternational.org/silo/files/cycles-of-violence-gender-relationa-and-armed-conflict.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus 2015, hlm.118-119

(9)

mempengaruhi perempuan dalam relasi gendernya berdasarkan penelitian yang

dilakukan di Somalia, Uganda, Sudan, Mali dan Angola.

1. Peran16

Konflik bersenjata dapat mengubah peran dalam aktivitas sehari-hari yang

biasanya telah terbagi antara laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas sesuai

dengan budaya masing-masing tempat, sehingga peran tersebut tidak bisa

dilaksanakan sebagaimana normalnya hal tersebut dilaksanakan. Hal ini biasanya

berkaitan dengan pembagian kerja. Akibat konflik bersenjata tanggungjawab

perempuan akan semakin berat, hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh ketiadaan

laki-laki yang terlibat dalam konflik bersenjata, terbunuh selama berlangsungnya

konflik, atau diculik. Faktor lain yang mempengaruhi tanggungjawab yang lebih

besar dari perempuan ketika konflik berlangsung adalah sumber daya yang biasa

digunakan laki-laki untuk mencari nafkah telah hilang akibat konflik, dan seringkali

kesempatan kerja yang ada lebih menerima tenaga kerja perempuan dibandingkan

laki-laki.

2. Identitas17

Konflik bersenjata juga mempengaruhi perubahan karakteristik dan tingkah

laku (behavior)18 perempuan dan laki-laki. Penelitian yang dilakukan di Uganda menunjukan bahwa akibat konflik mempengaruhi perubahan tingkah laku dari

perempuan maupun laki-laki sebagai akibat dari terkikisnya sistem tetua klan, yang

biasanya berfungsi untuk mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki harus

bertindak, akibat terlalu padatnya kamp pengungsian. Hal ini juga berpengaruh

terhadap menurunnya sikap tingkah laku generasi muda dari yang seharusnya mereka

16 Ibid. hlm.92

17 Ibid. hlm.93

(10)

lakukan akibat berubahnya sistem social dalam masyarakat tersebut akibat konflik

bersenjata.

Dalam kasus Rwanda, sebagai akibat dari konflik bersenjata melahirkan

ketidak seimbangan gender dalam masyarakat yang mengakibatkan banyak

perempuan yang berpotensi tidak memiliki pasangan untuk menikah di masa depan.

Padahal status tinggi dalam masyarakat di sana dipandang berdasarkan perkawinan,

sehingga banyak perempuan yang merasa bahwa mereka kehilangan kesempatan

untuk menikmati status yang lebih tinggi dan karenanya kehilangan kehilangan

identitas sebagai seorang perempuan.

3. Institusi/struktur kekuasaan19

Konflik bersenjata telah mempengaruhi posisi perempuan dalam instusi sosial

yang ada di masyarakat, misalnya di dalam rumah tangga perempuan akan memiliki

kekuasaan untuk memutuskan sesuatu ketika dia bertindak sebagai pencari nafkah

dalam keluarga. Di Somalia misalnya, perempuan yang memiliki kekuatan ekonomi

dalam keluarga akan dihormati keputusan yang dibuatnya. Namun secara umum

meskipun perempuan telah mendapat tanggung jawab yang lebih dalam rumah tangga

namun perubahan tersebut tidak memberikan dampak terhadap pengaruh politik dan

organisasi dari perempuan di luar dari lingkungan keluarganya.20 Jadi perempuan mendapat tambahan tanggung jawab tanpa ada peningkatan kekuasaan atau status

dalam institusi sosial secara umum.

19

Isnstitusi yang dimaksud di sini adalah institusi social yang mengontrol sumber daya seperti rumah tangga, militer, sekolah, pemerintah local dan nasional, yang mana di dalamnya perempuan atau laki-laki mendapat perlindungan dan dukungan yang menolong untuk membentuk tingkah laku dan tindakan mereka.

20

(11)

4. Ideologi21

Dampak konflik bersnjata terhadap ideologi gender dalam prespektif

perempuan tidak banyak berubah. Meskipun tanggungjawab yang dipikul wanita

dalam rumah tangganya semakin besar akibat konflik bersenjata yang terjadi namun

hal tersebut masih sesuai dengan peran dasar yang diharapkan dari mereka yakni

untuk menyediakan kebutuhan yang dibutuhkan keluarga mereka. Pada saat yang

sama ketika laki-laki tidak lagi menjalankan perannya untuk menyediakan kebutuhan

bagi keluarganya ini tidak berarti mengganti ideologi yang ada dalam masyarakat

bahwa laki-laki berkuasa atas sumber daya-sumber daya utama yang ada. 22

Resiko besar juga dihadapi anak-anak yang berada di dalam tahanan yang

tercampur dengan orang-orang dewasa, entah itu karena mereka sendiri yang ditahan

atau karena mereka harus bersama-sama dengan orang tua mereka yang ditahan.

Anak-anak dalam tahan ini mengahadapi resiko kekerasan secara fisik, kekerasan

seksual, dan terhambatnya perkembangan psikologi mereka. Kondisi dan fasilitas

penjara tidak sesuai dengan kebutuhan dan kerentanan mereka. Dalam banyak situasi

misalnya anak-anak ini tidak mendapat akses kepada pendidikan dan pelatihan

ketrampilan yang baik, mereka juga tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk

akses kepada aktivitas fisik dan rekreasi yang mereka butuhkan, dan mereka juga

tidak menikmati kesempatan yang cukup untuk berkomunikasi dengan dunia luar,

termasuk dengan orang tua mereka, yang mana hal ini dapat mempengaruhi

perkembangan emosional mereka.23

21

Ideologi yang dimaksud di sini adalah sistem nilai yang mempengaruhi atau menopang peran gender, identitas gender dan struktur kekuasaan yang ada. Sistem nilai ini dapat terlihat dalam puisi, praktek-praktek keagamaan, lagu, gaya berpakaian atau melalui media.

22 Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, Op.cit. hlm. 97 23

(12)

C. Perlindungan Terhadap Perempuan Dalam Kerangka Hukum Humaniter Internasional

Melihat besarnya dampak kemanusiaan yang timbul dalam konflik bersenjata

terutama kepada mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut

maka Pasal 3, yang merupakan pasal “kembar”, dari Konvensi Jenewa 1-4 Tahun 1949 menetapkan standar minimum yang diterapkan dalam suatu konflik bersenjata.

Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :

1. Orang-orang yang tidak turut serta aktiv dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat)karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga :

(a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;

(b) penyanderaan;

(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

(d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

(13)

sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.

Standar ini ditujukan untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia dari orang-orang yang terkena dampak dari konflik bersenjata yang terjadi

meskipun tidak terlibat secara langsung atau tidak lagi terlibat di dalamnya. Aturan

Pasal 3 ini sendiri kemudian di kembangkan lebih jauh dalam Protokol Tambahan II

Tahun 1977 Tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata non-Internasional

yang mana dalam Pasal 4 menetapkan bahwa setiap orang tidak terlibat secara

langsung atau tidak lagi terlibat di dalam konflik bersenjata non-internasional harus

diperlakukan secara manusiawi dan tidak boleh dilakukan pembedaan yang

merugikan mereka. Secara lebih rinci dalam Ayat (2)-nya ditetapkan secara rinci

tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan dalam kondisi apapun, yakni:

a. Tindakan kekerasan terhadap jiwa, orang, kesehatan dan kesejahteraan jasmani ataupun rohani mereka, khusunya terhadap pembunuhan atau perlakuan kejam seperti penganiayaan, pengudungan, atau setiap bentuk pughukuman jasmani;

b. Hukuman kolektif; c. Penyanderaan; d. Tindakan terorisme;

e. Pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat wanita, perkosaan, pelacuran, dan setiap bentuk tindakan yang tidak senonoh;

f. Perbudakan dan perdagangan manusia dalam segala bentuk; g. Perampokan;

h. Ancaman untuk melakukan setiap tindakan tersebut di atas.

Selain itu dalam pasal 4 Ayat (3) juga dijamin perlindungan terhadap

anak-anak yang berada dalam konflik bersenjata non-internasional diantaranya untuk

menjamin mereka tetap mendapat pendidikan yang memadai dan tidak digunakan

sebagai tentara oleh pihak-pihak yang berkonflik. Aturan-aturan internasional yang

(14)

situasi adalah mutlak adanya.24 Hal ini untuk mengantisipasi keadaan dimana sulit untuk menentukan apakah suatu konflik bersenjata merupakan konflik bersejata

internasional atau non-internasional. Hal ini sejalan dengan ketentuan International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 4 yang menghendaki agar

dalam situasi umum yang genting sekalipun, hak-hak dasar yang tak dapat dikurangi

(fundamental non-derogable rights) harus tetap dihormati. Hal ini kembali ditegaskan

dalam Resolusi Majelis Umum Nomor 2675 (XXV) Tahun 1970 Tentang

Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Populasi Sipil Dalam Konflik Bersenjata yang

menyatakan bahwa setiap hak-hak dasar yang diterima dalam hukum internasional

dan tertera dalam instrument-instrumen internasional harus ditegakan secara penuh

dalam setiap jenis konflik bersenjata. Dengan demikian dapat dilihat bahwa gerakan

untuk melindungi hak-hak dasar dari setiap individu tidak dibatasi pada suatu situasi

konflik bersenjata apapun jenisnya, oleh karenanya setiap pihak yang terlibat dalam

konflik bersenjata harus betul-betul memperatikan hal ini, karena mereka yang tidak

terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata, umumnya adalah

kelompok-kelompok yang rentan seperti anak-anak dan perempuan.

Secara umum hukum humaniter internasional memberikan perlindungan dan

mensyaratkan adanya perlakuan yang manusiawi kepada yang terluka dan sakit,

tawanan perang, dan penduduk sipil tanpa adanya pembedaan berdasarkan jenis

kelamin, ras, kewarganegaraan, agama, pandangan politik, atau kriteria lainnya,

namun hukum humaniter internasional juga mengakui bahwa perempuan menghadapi

permasalahan tersendiri dalam konflik bersenjata sebagaimana telah digambarkan di

atas, sehingga ada perlindungan lebih yang seharusnya diberikan kepada perempuan

untuk mencegah hal tersebut terjadi.25

24 Malcomn N Sahw QC, 2013, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie,dkk, Bandung: Nusa Media. Hlm.1201

25 ICRC, 1999, “

Protection of victims of armed conflict through respect of International Humanitarian Law”,

(15)

Penegakan Keadilan Bagi Perempuan Korban Konflik Bersenjata

Sebagaimana digambarkan dalam pembahasan di atas, perempuan dalam

konflik bersenjata rentan menjadi korban kekerasan baik itu secara langsung maupun

tidak langsung. Dalam beberapa kasus yang dipaparkan di atas, kekerasan yang

dialami perempuan dalam konflik bersenjata seringkali tidak manusiawi dan

merendahkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Oleh karena itu dalam

bagian ini akan dilihat bagaimana penegakan keadilan dan perlindungan bagi

perempuan dilakukan untuk menjamin hak-haknya sebagai perempuan tetap

terpenuhi.

Untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi perempuan korban konflik

bersenjata maka ada dua langkah yang dapat ditempuh yakni melalui tindakan

kemanusiaan ketika konflik sedang berlangsung dan melalui mekanisme peradilan

untuk menjamin pelaku tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam konflik

bersenjata mendapat hukuman yang setimpal.

Pemberian bantuan kemanusiaan selama konflik berlangsung dapat dilakukan

oleh pemerintah tempat berlangsungnya konflik atau melalui gerakan palang merah

internasional yang di dalamnya juga termasuk International Committee of Red Cross

(ICRC). ICRC merupakan organisasi yang netral dan independen yang bertujuan

untuk menjamin perlindungan dan pemberian bantuan kemanusiaan bagi korban

konflik bersenjata atau situasi kekerasan lainnya. Keberadaan ICRC diakui oleh

keempat Konvensi Jenewa 1949 dan ketiga Protokol Tambahannya.

Dalam konflik bersenjata internasional ICRC memiliki mandat untuk

melakukan kunjungan kepada tawanan perang dan tawanan sipil (civilian internees),

serta memiliki hak inisiatif (right of initiative).26 Negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahannya terikat untuk menerima kegiatan

(16)

kemanusiaan ICRC.27 Selain itu, Pasal 81 Protokol Tambahan I menetapkan bahwa Negara-negara peserta konflik harus memberi ICRC semua sarana yang ada dalam

kewenangan mereka untuk memungkinkan ICRC melaksanakan fungsi-fungsi

kemanusiaan yang ditugaskan kepadanya oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan

Protokol Tambahan tersebut dengan tujuan untuk memastikan perlindungan dan

bantuan bagi korban konflik.

Dalam konflik bersenjata non-internasional ICRC dapat menawarkan Jasanya

kepada para pihak yang berkonflik.28 ICRC pada khususnya boleh menawarkan jasanya kepada pihak-pihak yang berperang dalam rangka mengunjungi orang-orang

yang dicabut kebebasannya sehubungan dengan konflik bersenjata, dengan tujuan

untuk memverifikasi kondisi penahanan mereka dan memulihkan kontak antara

mereka dan keluarga.29 Dalam situasi kekerasan lainnya ICRC juga dapat mendapat mandat untuk menawarkan bantuannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Statuta

Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.30 Dalam hal ini ICRC menawarkan bantuannya tanpa membuat penawaran tersebut menjadi campur tangan

dalam urusan dalam negeri Negara yang bersangkutan ataupun menjadi pemberian

status tertentu kepada pihak manapun.

Dalam melindungi orang-orang yang berada dalam konflik bersenjata ICRC

berupaya untuk memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang semacam itu,

mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka,

mengupayakan agar hak-hak mereka diperhatikan dan suara mereka didengar, serta

memberikan mereka bantuan. Untuk melakukan hal ini maka ICRC menempu dua

cara yakni pertama terus berada di dekat korban konflik dan kekerasan. Kedua

27 Pasal 126 Konvensi Jenewa (III) dan Pasal 143 Konvensi Jenewa (IV) 28

Pasal 3 Konvensi Jenewa (I-IV) 1949

29 ICRC, Kekera san dan Penggunaan Kekuatan [pdf], tersedia di:

https://drive.google.com/file/d/0B_ekamY8L73geG5mTC15bHpTZUE/edit, diakses tanggal 3 Juni 2015. Hlm.52

30

(17)

melakukan dialog tertutup dengan pihak-pihak yang terlibat, baik negara maupun

non-negara.31

Salah satu permasalahan perempuan dalam konflik bersenjata adalah

kehilangan suami yang menjadi penopang hidup keluarganya, entah itu karena

ditawan oleh salah satu pihak yang berkonflik atau meninggal dalam konflik. Dalam

hal menjadi tawanan maka ICRC dapat berperan menjadi penghubung antara

perempuan tersebut dengan suaminya yang ditahan, sehingga tetap terjalin

komunikasi. Hal lain yang turut dilami perempuan dalam konflik bersenjata adalah

terhambatnya akses kepada kesehatan yang layak, air bersih, makanan, dan

pendidikan, dalam hal ini ICRC juga mendukung mereka dengan menyediakan

fasilitas kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk bertahan hidup seperti

makanan dan air bersih, kebutuhan ruah tangga, dan tempat berteduh.32

Dalam lingkup regional juga terdapat badan yang sengaja dibentuk khusus

untuk melindungi orang sipil dalam situasi konflik, hususnya perempuan dan

anak-anak. Di Afrika misalnya, melalui Uni Afrika (African Union) dibentuk suatu

mekanisme perlindungan orang sipil, terutama perempuan dan anak-anak, yang mana

dalam mekanisme ini akan ada kerjasama antara civil society organizations (CSO)

dan Peace and Security Council (PSC) yang merupakan salah satu badan dari Uni

Afrika.33 Mekanisme ini dikenal dengan nama Livingstone Formula. Melalui mekanisme ini CSO dapat lebih berperan dalam perlindungan perempuan dan

anak-anak dalam konflik bersenjata yang terjadi di Afrika.

31 Ambarwati, dkk, 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi hubungan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm.151

32 ICRC, 2010, “Woman Protected Under International Humanitarian Law”, {online] tersedia di <https://www.icrc.org/eng/wa r-and-law/protected-persons/women/overview-women-protected.htm>, diakses tanggal 22 Agustus 2015.

(18)

Selain langkah pemeberian bantuan kemanusiaan bagi perempuan yang

terkena dampak konflik bersenjata, peradilan dapat juga menjadi salah satu cara

untuk menegakan keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap

perempuan pada waktu konflik bersenjata. Pelangaran-pelanggaraan terhadap

perempuan dalam konflik bersenjata sebagaimana yang dijelaskan di atas ada yang

berupa kejahatan perang (war crime) sehingga dapat ditempuh mekanisme

peradilanbaik yang bersifat ad-hoc atau melalui badan peraildan yang bersifat

permanen. Mekanisme peradilan ini memang tidak berdampak langsung kepada

korban-korban pelanggaran HAM selama masa konflik tapi setidaknya bisa

memberikan rasa keadilan dan tidak membuat pelaku lolos dari kejahatan yang

dilakukan. Seagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam situasi konflik bersenjata

kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak menghadapi

kemungkinan pelanggaran hak-hak dasar yang lebih besar, oleh karena itu ketika

terjadi pelanggaran tersebut maka keadilan dapat ditegakan melalui mekanisme

peradilan, salah satunya adalah melalui International Criminal Court (ICC) yang

merupakan badan peradilan permanen untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan

kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.34

Perempuan dalam konflik bersenjata menghadapi kekerasan berbasis gender

yang sangat besar, di antara sekian banyak kekerasan berbasis gender yang dihadapi,

kekerasan seksual seperti pemerkosaan (rape), pelecehan seksual (sexual abuse),

pengahamilan secara paksa, oerkawinan secara paksa, dijadikan budak, dan bentuk

kekerasan seksual lainnya seringkali dihapi oleh perempuan dalam konflik. Di

Somalia misalnya, pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dijadikan

sarana balas dendam oleh pihak-pihak yang bertikai.35 Dalam konflik bersenjata yang melibatkan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), perempuan ada yang dipaksa

34 Pasal 5 Ayat (2) Rome Statute of International Criminal Court

(19)

untuk dijadikan sebagai budak seks untuk melayani para pejuang ISIS,36 bahkan ada yang dijual sebagai budak seks dengan harga 500-2000 $ per orang,37 dan jika menolak untuk dijadikan budak seks maka para pejuang ISIS akan membunuh

perempuan tersebut.38 Pemerkosaan dalam konflik bersenjata yang dilakukan oleh peserta konflik dapat tunduk ke dalam kejahatan perang yang diatur dalam pasal 8

Statuta ICC sehingga para pelakunya dapat diadili di ICC.

Selain melalui ICC yang merupkan badan peradilan yang permanen,

pelanggaran hak-hak perempuan juga dapat diselesaikan melalui badan peradilan

ad-hoc. Salah satu contohnya adalah International Criminal Tribunal For The Former

Yugoslavia (ICTY). Pada Tahun 1993 sebagai respon atas temuan terjadinya

pelanggaran hukum humaniter, termasuk pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya

terhadap perempuan di bekas Yugoslavia, Dewan Keamanan PBB membentuk ICTY

untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut. Salah satu permasalahan yang diadili

adalah pemerkosaan yang mana termasuk hal yang diatur dalam Statuta ICTY. Kasus

yang memberikan dampak sangat besar dalam menuntut pelaku kejahatan seksual

terhadap perempuan dalam konflik bersenjata adalah kasus Anto Furunzija yang

didakwa oleh ICTY telah melakukan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter

internasional, yang mana diantaranya adalah melakukan penyiksaan dan penistaan

terhadap martabat seseorang. Tuntutan terhadap Frunzija diantaranya mencakup

kekerasan seksual dan dan pemerkosaan terhadap seorang wanita muslim yang

diinterogasinya.39

36 _______“ISIS Paksa Perbudakan Seks, [online] tersedia di ”<

http://www.dw.com/id/isis-paksa-perbudakan-seks/a-18149794>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.

37Jafar M Sidik, 26 Juni 2015, “ISIS Jual 42 Wanita Yazidi Sebagai Budak Seks Di Suriah”, [online] tersedia di < http://www.antaranews.com/berita/503602/isis-jual-42-wanita-yazidi-sebagai-budak-seks-di-suriah>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.

38Ike Agestu, 7 Agustus 2015, “Menolak Jadi Budak Seks, ISIS Eksekusi 19 Perempuan”, [online] tersedia di < http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150807174618-134-70758/menolak-jadi-budak-seks-isis-eksekusi-19-perempuan/>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.

39 Kirsten Campbell, 2002, “Sexual Assault, Memory, and Internatioinal Humanitarian Law”,

(20)

Dalam putusan kasus ini dijelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan

pelanggaran berat terhadap hukum kebiasaan humaniter internasional. Dalam putusan

majaelis di ICTYdiputuskan bahwa, pertama perkosaan dalam keadaan tertentu dapat

dimasukan dalam pengertian penyiksaan dalam hukum kebiasaan humaniter

internasional. Kedua, dalam hukum pidana internasional, pemerkosaan dapat

dikategorikan sebagai kejahatan yang berbeda dari penyiksaan. Pada khususnya,

pemerkosaan dinyatakan bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional,

mendasari pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, merupakan

pelanggaran berat terhadap konvensi jenewa 1949, dan melanggar hukum dan

kebiasaan berperang.40

Pada tahun 1992, dalam konteks hal yang mendasari terjadinya pelanggaran

berat hukum humaniter internasional, ICRC menyatakan bahwa ketetapan dalam

pasal kembar konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahannya yang menyatakan

bahwa “willfully causing great suffering or serious injury to body or health” tidak hanya mencakup tindakan pemerkosaan tapi juga penyerangan terhadap martabat

perempuan.41 Dengan demikian dalam konteks ICTY tindakan pemerkosaan dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Dalam Statuta

ICTY, pemerkosaan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity) dan untuk masuk ke dalam kategori tersebut maka pemerkosaan

tersebut harus ditujukan secara langsung kepada populasi penduduk sipil secara

keseluruhan, ketika itu terjadi kepada perorangan (individual basis) maka tidak cukup

sebagai dasar untuk dimasukan ke dalam kategori tersebut. Meskipun demikian dalam

prakteknya, penuntut dalam ICTY menuntut para terdakwa dengan kejahatan seksual

sebagai kejahatan perang (war crimes) and pelanggaran berat hukum humaniter

40 Ibid. 153

(21)

internasional.42 Hal ini semakin memperkuat dan memberikan pelindungan terhadap hak asasi perempuan dalam konflik bersenjata.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konflik bersenjata telah

memberikan dampak yang besar dalam kehidupan perempuan. Perempuan lebih

rentan untuk menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik secara interpersonal

maupun secara struktural. Contohnya adalah perempuan menjadi korban perkosaan,

kawin paksa, atau ketika dalam tahanan perempuan menjadi terbatas ruang gerak dan

aksesnya terhadap udara segar karena penahanan yang dicampur bersama dengan

laki-laki. Selain itu dampak konflik bersenjata juga telah memberikan perubahan

dalam relasi gender terutama dalam hubunugannya dengan perempuan, yakni dalam

empat bidang yaitu peran, identitas, istitusi dan ideologi. Misalnya akibat konflik

bersenjata perempuan kehilangan suaminya yang sebelumnya berperan sebagai

pencari nafkah sehingga terpaksa perempuan yang mengambil alih peran tersebut,

atau konflik bersenjata membuat kemungkinan harapan menikah bagi perempuan

semakin kecil, yang mana di daerah tertentu status sosial yang tinggi terkait dengan

perkawinan sehingga hal itu memperkecil peluang perempuan untuk mendapat status

sosial yang lebih tinggi.

Hukum humaniter internasional telah menetapkan kerangka hukum bagi

perlindungan bagi perempuan dalam konflik bersenjata sehingga menjamin tidak

dilanggarnya hak-hak asasi mereka selama berlangsungnya konflik. Hal ini misalnya

tercantum dalam konvensi jenewa 1949 beserta portokol tambahannya yang

menetapkan hak-hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun,

termasuk dalam konflik bersenjata. Ketika terjadi pelanggaran maka dapat ditempuh

mekanisme peradilan, baik melalui lembaga peradilanan yang permanen seperti ICC

atau yang ad hoc seperti ICTY. Perlindungan terhadap perempuan juga dapat

42

(22)

diberikan ketika konflik sedang berlangsung melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan

(23)

DAFTAR PUSTAKA

_______“ISIS Paksa Perbudakan Seks, [online] tersedia di

”<http://www.dw.com/id/isis-paksa-perbudakan-seks/a-18149794>, diakses tanggal 24 Agustus 2015;

African Union, 2013, “Women And Children In Armed Conflicts Gender Mainstreaming”, [online] tersedia di <

http://peaceau.org/en/topic/women-and-children-in-armed-conflicts-gender-mainstreaming>, diakses Tanggal 29

Agustus 2015;

Ambarwati, dkk, 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi hubungan

Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada;

Amnesty Internasional, 2015, Nigeria: Nigerian Authorities Were Warned Of Boko

Haram Attacks On Baga And Monguno;

Beerli Christine, 2013, Vulnerabilities in armed conflicts, [online] tersedia di

<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/2013/10-18-protected-person-bruges.htm>, diakses tanggal 3 Juni 2015;

Campbell Kirsten, 2002, “Sexual Assault, Memory, and Internatioinal Humanitarian

Law”, Journal of Women in Culture and Society, vol. 28, no. 1, hlm.149-150; El-Bushra Judy dan Sahl Ibrahim M.G., 2005, “Cycles of Violence: Gender Relations

and Armed Conflict”, (pdf) tersedia di

<http://www.acordinternational.org/silo/files/cycles-of-violence-gender-relationa-and-armed-conflict.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus 2015;

Gardam Judith G, 1998, “Woman, Human Rigths and International Humanitarian

Law”, [online] tersedia di

<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpg4.htm>, diakses

tanggal 1 juni 2015;

(24)

Human Rights Watch, “Nigeria: Boko Haram Attacks Cause Humanitarian Crisis”,

http://www.hrw.org/news/2014/03/14/nigeria-boko-haram-attacks-cause-humanitarian-crisis, diakses tanggal 31 Mei 2015;

ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan [pdf], tersedia di:

https://drive.google.com/file/d/0B_ekamY8L73geG5mTC15bHpTZUE/edit,

diakses tanggal 3 Juli 2015

ICRC, 1999, “Protection of victims of armed conflict through respect of International

Humanitarian Law”, [online] tersedia di

<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpzn.htm> , diakses

tanggal 22 Agustus 2015;

ICRC, 2010, “Woman Protected Under International Humanitarian Law”, {online]

tersedia di

<https://www.icrc.org/eng/war-and-law/protected-persons/women/overview-women-protected.htm>, diakses tanggal 22 Agustus

2015;

Ike Agestu, 7 Agustus 2015, “Menolak Jadi Budak Seks, ISIS Eksekusi 19

Perempuan”, [online] tersedia di

<http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150807174618-134-70758/menolak-jadi-budak-seks-isis-eksekusi-19-perempuan/>, diakses

tanggal 24 Agustus 2015.

Kangas A, et all. 2014. “Gender: Topic Guide. Revised edition”, (pdf) tersedia di

<http://www.gsdrc.org/docs/open/gender.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus

2015;

Karjasungkana Nursyahbani, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam

Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, cet.1. Edited by Kartini

Syahrir, 2000, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation

Indonesia;

Konvensi Jenewa (III ) Tahun 1949 Tentang Perlakuan Terhadap Tawan Perang;

Konvensi Jenewa (IV) Tahun 1949 Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Pada

(25)

Rome Statute of International Criminal Court;

Sadler Anne G, et all, “Factors Associated with Women’s Risk of Rape in the

Military Environment”, American Journal Of Industrial Medicine,43:262–273 (2003);

Sahw Malcomn N, 2013, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Widowatie Derta

Sri,dkk, Bandung: Nusa Media;

Sidik Jafar M, 26 Juni 2015, “ISIS Jual 42 Wanita Yazidi Sebagai Budak Seks Di

Suriah”, [online] tersedia di <

http://www.antaranews.com/berita/503602/isis-jual-42-wanita-yazidi-sebagai-budak-seks-di-suriah>, diakses tanggal 24

Agustus 2015;

START, 2014, Boko Haram Recent Attacks”, US Department of Homeland Security

and Technology Center of Excellence Headquarter at The Unicersity of

Maryland;

Statuta Palang Merah dan Bulan Sabit merah Internasional;

Steinhauer Jennifer, “Sexual Assaults in Military Raise Alarm in Washington”, New

York TIMES, 7 Mei 2013;

UNICEF, “Sexual violence as a weapon of war, [online] tersedia di

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi uji dari bioinsektisida nabati ekstrak kulit jeruk JC yang efektif untuk pengendalian hama kutu loncat

Kadar 40 µg/dL mengakibatkan peningkatan koproporfirin Dalam penelitian ini tidak diperiksa kadar protoporfirin tetapi diperiksa kadar hemoglobin, sehingga kemungkinan kadar

Hasil pengukuran logam Pb dalam susu asal sapi perah Kelurahan Kebon Pedes yang menggunakan tiga jenis pakan yaitu rumput lapangan, klobot jagung serta

Hasil yang pertama adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p&gt;0,05) besar gaya pada gigi insisivus kedua, kaninus, dan premolar pertama rahang bawah antara pemakaian

Kehadiran masyarakat muslim dayak ngaju dalam pelaksanan upacara tewah, yaitu Upacara Tiwah adalah upacara terbesar yang hanya dilakukan oleh masyarakat

Nilai utilitas secara individual nilainya sangat bervariasi seperti yang dapat dilihat pada lampiran 4., akan tetapi apabila dilihat secara keseluruhan nilai utilitas dari

Galur H-7 berproduksi tinggi pada semua lokasi pengujian dan produktivitasnya nyata lebih tinggi dengan semua galur hibrida yang diuji.. Menurut Kanro, MZ at al (2000)

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan