PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM KONFLIK BERSENJATA1 impregnation, or forced prostitution. In addition, armed conflict also affects the gender relation related to women, for example women become the breadwinner as the result of lost of husband due to the conflict. this is a normative research aimed to discuss on the impact of armed conflict on women, how international humanitarian law protects women in armed conflict and how the implementation of that protection.
Key words : Armed Conflict, Gender, International Humanitarian Law
Intisari
Dalam konflik bersenjata vulnerable groups seringkali menjadi korban para pihak yang bersengketa. Diantara kelompok ini adalah perempuan. Perempuan dalam konflik bersenjata seringkali mendapat akibat secara langsung maupun tidak langsung dari konflik yang terjadi, diantaranya adalah kekerasan berbasis gender, seperti pemerkosaan, penghamilan secara paksa, atau pelacuran secara paksa. Selain itu konflik bersenjata juga memberikan pengaruh terhadap relasi gender dalam hubungannya dengan perempuan, misalkan peran perempuan berubah menjadi pencari nafkah karena kehilangan suami akibat konflik. Penelitian ini dilakukan secara normativ yang bertujuan untuk melihat bagaimana dampak konflik bersenjata terhadap perempuan, bagaimana hukum humaniter internasional melindungi perempuan dalam konflik bersenjata dan pelaksaanaan perlindungan tersebut.
Kata Kunci : Konflik bersenjata, Gender, Hukum Humaniter Internasional
A. Pendahuluan
Dalam situasi konflik bersenjata laki-laki dipandang sebagai pihak yang
memiliki kemampuan untuk melindungi diri lebih baik daripada perempuan.
Perempuan dianggap sebagai kelompok yang rentan dalam situasi konflik bersenjata
maka perlindungan terhadap mereka harus lebih diutamakan, apalagi sebagian besar
1 Disampaikan dalam Kursus Lanjutan Hukum Humaniter Internasioal di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Pada Tanggal 15-18 September 2015
2
dari perempuan pada umumnya tidak terlibat secara langsung dalam konflik
bersenjata. Meskipun tidak terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata namun
perempuan berpotensi untuk menanggung akibat dari konflik bersenjata misalnya
mendapat kekerasan berbasis gender (gender based violence)3 seperti kekerasan seksual yang terkadang menjadi bagian strategi dalam konflik bersenjata.4 Karenanya tingkat kekerasan berbasis gender ini semakin tinggi dalam konflik bersenjata.
Kekerasan berbasis gender ini dapat terjadi dalam dua bentuk yakni secara
interpersonal dan secara institusional/struktural. Secara interpersonal keekrasan
berbasis gender dapat berbentuk kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, kekerasan
psikis, kekerasan fisik, atau tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh seorang
individu terhadap individu lainnya. Kekerasan yang bersifat institusional atau
struktural adalah setiap bentuk ketidaksetaraan secara struktural atau diskriminasi
secara institusional yang mengakibatkan seseorang terus berada dalam posisi
tertekan/lebih rendah dibandingkan yang lain, baik secara fisik atau ideologi, di
dalam keluarga atau dalam suatu komunitas.5 Kekerasan interpersonal yang rentan dihadapi perempuan dalam konflik bersenjata adalah pemerkosaan, kekerasan seksual
atau kekerasan fisik dan psikis lainnya, sedangkan kekerasan struktural yang dihadapi
misalnya terbatasnya akses dalam memperoleh ruang gerak yang cukup dalam suatu
penahanan akibat budaya tertentu di suatu komunitas yang tidak mengijinkan
perempuan untuk berada di suatu tempat yang sama, meskipun itu di lapangan
sekalipun.
Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dalam konflik bersenjata bukan
hanya terjadi kepada perempuan yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik
bersenjata namun perempuan yang tergabung dalam militer juga rentan untuk terkena
3 Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan pada individu atau kelompok atas dasar gender (bisa laki-laki atau perempuan). Lihat dalam Siân Herbert, 2014, “Links between gender-based violence and outbreaks of violent conflict”, GSDRC Helpdesk Research Report, hlm.1.
4 Siân Herbert, Op.cit,hlm.3.
kekerasan. Satu dari tiga perempuan yang meninggalkan dinas militer dilaporkan
mengalami perkosaan atau percobaan perkosaan sebanyak satu atau lebih dari satu
kali.6 Pentagon memperkirakan 26.000 orang mengalami penyerangan seksual pada tahun 2010, dan 19.000 orang diserang secara seksual pada tahun 2011.7 Kenyataan ini menunjukan bahwa perempuan dalam segala kondisi merupakan pihak yang
lemah dalam konflik bersenjata, karenanya usaha perlindungan harus dimaksimalkan
untuk melindungi perempuan dari segala ancaman kekerasan yang mungkin terjadi
akibat konflik bersenjata.
Berkaitan dengan perlindungan perempuan dalam konflik bersenjata maka
perlu dilihat instrument hukum terkait yang memberikan dasar untuk perlindungan
perempuan ketika konflik terjadi dan bagaimana perlindungan tersebut dilakukan
secara kelembagaan. Paper ini ditujukan untuk mengkaji mengenai hal tersebut, yakni
melihat bagaimana hukum humaniter internasional memberikan payung hukum bagi
perlindungan perempuan dalam konflik bersenjata dan bagaimana perlindungan
tersebut dilaksanakan. Kedua hal ini akan didahului dengan melihat bagaimana
konflik bersenjata mempengaruhi perempuan.
B. Dampak Konflik Bersenjata Terhadap Perempuan
Dalam bagian ini akan dipaparkan bagaimana dampak konflik bersenjata
kepada perempuan, baik itu dampak yang ditimbulkan secara langsung ataupun tidak
langsung. Dampak konflik itu dapat berupa akibat fisikm psikis, maupun secara
sosial. Semua dampak yang timbul ini kemudian akan ditempatkan dalam bingkai
kekerasan berbasis gender dan dampak yang ditimbulkan dalam relasi gender
terutama bagi perempuan.
Konflik bersenjata dapat memberikan akibat kepada sipa saja, baik itu
kombatan maupun non-kombatan. Namun hukum humaniter internasional mengatur
6 Anne G. Sadler, et all, “Factors Associated with Women’s Risk of Rape in the Military Environment”, American Journal Of Industrial Medicine,43:262–273 (2003), hlm. 266.
bahwa bagi mereka yang berstatus non kombatan harus mendapat perlindungan
selama berlangsungnya konflik. Penduduk sipil adalah termsuk dalam kategori yang
mendapakan perlindungan tersebut. Selain perlindungan kepada penduduk sipil
secara umum, harus diakui bahwa beberapa kelompok dapat dianggap sebagai
kelompok yang rentan (vulnerable groups) dalam konflik bersenjata.
Kelompok-kelompok inilah yang seharusnya mendapat perhatian lebih dalam aksi-aksi
kemanusiaan selama berlangsungnya konflik bersenjata. Hal ini senada dengan yang
dinyatakan oleh Wakil Presiden ICRC, Christine Beerli, bahwa “[…] The ICRC's
mandate expanded then quickly to conduct humanitarian action in favour of all
victims of armed conflicts, but the notion of vulnerability definitely remained at the
core of our action”. Perempuan, anak-anak, orang-orang tua, dan penyandang
disabilitas adalah mereka yang paling rentan dalam situasi-situasi seperti ini.8
Kekerasan terhadap perempuan terjadi baik pada saat perang ataupun damai,
namun tingkat kekerasan terhadap perempuan akan meningkat dengan drastis pada
saat pecahnya konflik bersenjata. Kasus-kasus yang selama ini terjadi misalnya :
kasus Jepang selama perang Asia – Pasifik, wanita Vietnam selama Perang Vietnam
dan Kasus Balkan, menunjukkan bagaimana seringnya perempuan menjadi obyek
kekerasan seksual selama perang berlangsung. Tragedi berdarah Nanking pun lebih
dikenal dengan istilah “The Rape of Nanking” karena banyaknya korban perkosaan yang dialami oleh perempuan-perempuan Cina yang dilakukan oleh tentara-tentara
Jepang. Kekerasan seksual terhadap perempuan di waktu perang terkadang semakin
parah ketika kekerasan yang terjadi tersebut didukung oleh institusi negara dan dalam
beberapa kasus dilakukan dengan maksud memusnahkan entitas etnis dan/atau
budaya tertentu.9
8
Christine Beerli, 2013, Vulnerabilities in armed conflicts, [online] tersedia di <https://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/2013/10-18-protected-person-bruges.htm > , diakses tanggal 3 Juni 2015
Dalam penahanan, perempuan juga mengalami permasalahan tersendiri.
Kondisi perempuan dalam tahanan misalnya bisa menjadi sangat buruk bagi mereka.
Penahanan perempuan seringkali ditempatkan bersama-sama dengan laki-laki yang
mana dapat menimbulkan risiko pelecehan dan dapat juga secara tidak langsung
mempengaruhi kesempatan mereka dalam mendapatkan perlindungan lainnya. Fakta
bahwa di lapangan tempat penahanan, komunal dapat mengganggu akses perempuan
ke udara segar, karena pencampuran dengan laki-laki bisa menempatkan mereka pada
risiko dan memang mungkin tidak dipertimbangkan atau diizinkan untuk alasan
budaya. Demikian juga, ketika koridor penjara terbuka untuk kedua jenis kelamin,
perempuan sering tetap terkunci dalam sel mereka. Akses mereka ke fasilitas dasar
terbatas atau diblokir dan kebutuhan kesehatan dan kebersihan mereka mungkin tidak
dipenuhi. Wanita hamil dan ibu menyusui memiliki kebutuhan khusus, yang
memerlukan nutrisi tambahan pra dan pasca persalinan sehingga mereka dan bayi
mereka tetap dalam kesehatan yang baik.10
Dalam situasi konflik internal atau konflik bersenjata non-internasional di
suatu negara, seringkali krisis kemanusiaan yang terjadi lebih hebat dibandingkan
dengan yang terdapat dalam konflik bersenjata antar negara. Contohnya
pemberontakan Boko Haram di Nigeria yang memberikan dampak yang besar bagi
penduduk sipil di sana. Sejak awal 2013 lebih dari 300.000 orang di Negara Bagian
Borno, Yobe, dan Adamawa – 70% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak –
telah mengungsi dari tempat tinggal mereka. Secara keseluruhan akibat
pemberontakan Boko Haram, sejak Mei 2013, 470.000 orang menjadi internally
displaced persons (IDPs) dan 60.000 orang lainnya mencari perlindungan di
negara-negara tetangga seperti Chad dan Kamerun. Orang-orang ini menghadapi masalah
10
kemanusiaan yang sangat besar seperti susah dalam mendapat akses air bersih,
makanan, tempat berteduh, kesehatan, pendidikan,dan kebutuhan dasar lainnya.11 Dalam konflik bersenjata antara Boko Haram dan Pemerintah Nigeria
perempuan dan anak-anak mendapat perlakuan yang sangat melanggar hak-hak dasar
yang seharusnya mereka terima. Menurut laporan amnesty internasional dan
Consortium For The Stusy Of Terrorism and Respon To Terrorism (START)
setidaknya ada beberapa pelanggaran HAM yang terjadi, yakni: (1) penculikan; (2)
perbudakan; (3) pemerkosaan; (4) pembantaian;12 (5) perekrutan anak menjadi pejuang Boko Haram; (6) kawin paksa terhadap perempuan-perempuan dengan para
pejuang Boko Haram; (7) pembatasan ruang gerak terutama bagi wanita.13
Margaret A. Schuler menunjukkan menunjukan bahwa kekerasan seksual
terhadap perempuan yang pada waktu konflik bersenjata dapat digunakan oleh militer
sebagai bagian dari strategi perangnya, yakni dengan tujuan sebagai berikut:14
1) Perkosaan telah digunakan dengan tujuan – tujuan sebagai berikut :
a. Menteror atau melakukan teror terhadap penduduk sipil dan sebagai dampak ikutannya mendorong penduduk sipil untuk meninggalkan rumah dan desa mereka.
b. Merendahkan musuh dengan cara menaklukkan kaum perempuannya.
c. Merupakan “bonus” bagi para tentara serta untuk meningkatkan
keberanian mereka di medan perang.
2) Pelacuran paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut : a. Meningkatkan moral para tentara dan pegawai dan;
b. Merupakan cara untuk membuat atau menjadikan kaum perempuan merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi.
3) Penghamilan dan kehamilan paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan
12 Amnesty Internasional, 2015, Nigeria: Nigerian Authorities Were Warned Of Boko Haram Attacks On Baga And Monguno
13
START, 2014, Boko Haram Recent Attacks”, US Department of Homeland Security and Technology Center of Excellence Headquarter at The Unicersity of Maryland. Hlm.6-8.
a. Memperdalam penghinaan terhadap korban perkosaan.
b. Melahirkan bayi-bayi dengan etnis yang sama dengan pemerkosaannya.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka jika dikelompokakan dalam kekerasan
berbasis gender maka dalam konflik bersenjata perempuan mengalami kekerasan
secara interpersonal maupun secara sturuktural. Tidak semua kekerasan yang dialami
oleh perempuan dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kekerasan
berbasis gender, namun ada beberapa kekerasan yang dialami perempuan dalam
konflik bersenjata dikarenakan identitasnya sebagai perempuan.
Matrix 1. Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan Dalam Konflik Bersenjata
Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence)
Interpersonal Struktural
Jenis kekerasan
Kekrasan
seksual
Terhambatnya akses perempuan dalam tahanan
untuk mendapat udara bebas karena tidak
diperbolehkan berada dalam ruang yang sama
dengan laki-laki
Perkosaan Terbatasnya ruang gerak perempuan dalam tahanan
karena ditempatkan dalam penahanan yang sama
dengan laki-laki
Perbudakan Pembatasan ruang gerak perempuan
Kawin paksa Terbatasnya akses ibu hamil atau atau ibu menyusui
dalam tahanan untuk memperoleh akses kesehatan
yang memadai
Penghamilan secara paksa
Pelacuaran paksa
Dalam penelitian yang dilakukan di Sudan, Uganda, Mali, Angola dan
terluka (bisa menyebabkan cacat) atau kematian, pemiskinan dan kehilangan harta
benda dan sumber daya lainnya, kerusakan lingkungan, terpaksa harus mengungsi
dari daerah konflik (displacement), dan kerugian secara psikologis. Hal ini dapat
menyebabkan seseorang menjadi frustasi atau depresi yang mana dapat menuntun
pada bentuk-bentuk tindakan kekerasan lainnya terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, seperti tindakan pidana, kecanduan alkohol, bunuh diri,
prostitusi, tindakan kekerasan, bergabung dengan milisi, dan melakukan hubungan
seksual yang beresiko besar untuk penularan HIV.15
Bagan 1. Dampak konflik bersenjata (bagan dimodifikasi)
Sumber: Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, 2005, “Cycles of Violence: Gender
Relations and Armed Conflict”
Jika dilihat dalam konteks hubungan gender (gender relations) maka konflik
bersenjata dapat mempengaruhi empat bidang yang merupakan dasar dari hubungan
gender yakni peran (roles), identitas (identity), institusi (institution), ideologi
(ideology). Berikut akan dipaparkan secara singkat bagaimana konflik bersenjata
15 Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, 2005, “Cycles of Violence: Gender Relations and Armed Conflict”, (pdf) tersedia di < http://www.acordinternational.org/silo/files/cycles-of-violence-gender-relationa-and-armed-conflict.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus 2015, hlm.118-119
mempengaruhi perempuan dalam relasi gendernya berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Somalia, Uganda, Sudan, Mali dan Angola.
1. Peran16
Konflik bersenjata dapat mengubah peran dalam aktivitas sehari-hari yang
biasanya telah terbagi antara laki-laki dan perempuan dalam suatu komunitas sesuai
dengan budaya masing-masing tempat, sehingga peran tersebut tidak bisa
dilaksanakan sebagaimana normalnya hal tersebut dilaksanakan. Hal ini biasanya
berkaitan dengan pembagian kerja. Akibat konflik bersenjata tanggungjawab
perempuan akan semakin berat, hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh ketiadaan
laki-laki yang terlibat dalam konflik bersenjata, terbunuh selama berlangsungnya
konflik, atau diculik. Faktor lain yang mempengaruhi tanggungjawab yang lebih
besar dari perempuan ketika konflik berlangsung adalah sumber daya yang biasa
digunakan laki-laki untuk mencari nafkah telah hilang akibat konflik, dan seringkali
kesempatan kerja yang ada lebih menerima tenaga kerja perempuan dibandingkan
laki-laki.
2. Identitas17
Konflik bersenjata juga mempengaruhi perubahan karakteristik dan tingkah
laku (behavior)18 perempuan dan laki-laki. Penelitian yang dilakukan di Uganda menunjukan bahwa akibat konflik mempengaruhi perubahan tingkah laku dari
perempuan maupun laki-laki sebagai akibat dari terkikisnya sistem tetua klan, yang
biasanya berfungsi untuk mengatur bagaimana perempuan dan laki-laki harus
bertindak, akibat terlalu padatnya kamp pengungsian. Hal ini juga berpengaruh
terhadap menurunnya sikap tingkah laku generasi muda dari yang seharusnya mereka
16 Ibid. hlm.92
17 Ibid. hlm.93
lakukan akibat berubahnya sistem social dalam masyarakat tersebut akibat konflik
bersenjata.
Dalam kasus Rwanda, sebagai akibat dari konflik bersenjata melahirkan
ketidak seimbangan gender dalam masyarakat yang mengakibatkan banyak
perempuan yang berpotensi tidak memiliki pasangan untuk menikah di masa depan.
Padahal status tinggi dalam masyarakat di sana dipandang berdasarkan perkawinan,
sehingga banyak perempuan yang merasa bahwa mereka kehilangan kesempatan
untuk menikmati status yang lebih tinggi dan karenanya kehilangan kehilangan
identitas sebagai seorang perempuan.
3. Institusi/struktur kekuasaan19
Konflik bersenjata telah mempengaruhi posisi perempuan dalam instusi sosial
yang ada di masyarakat, misalnya di dalam rumah tangga perempuan akan memiliki
kekuasaan untuk memutuskan sesuatu ketika dia bertindak sebagai pencari nafkah
dalam keluarga. Di Somalia misalnya, perempuan yang memiliki kekuatan ekonomi
dalam keluarga akan dihormati keputusan yang dibuatnya. Namun secara umum
meskipun perempuan telah mendapat tanggung jawab yang lebih dalam rumah tangga
namun perubahan tersebut tidak memberikan dampak terhadap pengaruh politik dan
organisasi dari perempuan di luar dari lingkungan keluarganya.20 Jadi perempuan mendapat tambahan tanggung jawab tanpa ada peningkatan kekuasaan atau status
dalam institusi sosial secara umum.
19
Isnstitusi yang dimaksud di sini adalah institusi social yang mengontrol sumber daya seperti rumah tangga, militer, sekolah, pemerintah local dan nasional, yang mana di dalamnya perempuan atau laki-laki mendapat perlindungan dan dukungan yang menolong untuk membentuk tingkah laku dan tindakan mereka.
20
4. Ideologi21
Dampak konflik bersnjata terhadap ideologi gender dalam prespektif
perempuan tidak banyak berubah. Meskipun tanggungjawab yang dipikul wanita
dalam rumah tangganya semakin besar akibat konflik bersenjata yang terjadi namun
hal tersebut masih sesuai dengan peran dasar yang diharapkan dari mereka yakni
untuk menyediakan kebutuhan yang dibutuhkan keluarga mereka. Pada saat yang
sama ketika laki-laki tidak lagi menjalankan perannya untuk menyediakan kebutuhan
bagi keluarganya ini tidak berarti mengganti ideologi yang ada dalam masyarakat
bahwa laki-laki berkuasa atas sumber daya-sumber daya utama yang ada. 22
Resiko besar juga dihadapi anak-anak yang berada di dalam tahanan yang
tercampur dengan orang-orang dewasa, entah itu karena mereka sendiri yang ditahan
atau karena mereka harus bersama-sama dengan orang tua mereka yang ditahan.
Anak-anak dalam tahan ini mengahadapi resiko kekerasan secara fisik, kekerasan
seksual, dan terhambatnya perkembangan psikologi mereka. Kondisi dan fasilitas
penjara tidak sesuai dengan kebutuhan dan kerentanan mereka. Dalam banyak situasi
misalnya anak-anak ini tidak mendapat akses kepada pendidikan dan pelatihan
ketrampilan yang baik, mereka juga tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk
akses kepada aktivitas fisik dan rekreasi yang mereka butuhkan, dan mereka juga
tidak menikmati kesempatan yang cukup untuk berkomunikasi dengan dunia luar,
termasuk dengan orang tua mereka, yang mana hal ini dapat mempengaruhi
perkembangan emosional mereka.23
21
Ideologi yang dimaksud di sini adalah sistem nilai yang mempengaruhi atau menopang peran gender, identitas gender dan struktur kekuasaan yang ada. Sistem nilai ini dapat terlihat dalam puisi, praktek-praktek keagamaan, lagu, gaya berpakaian atau melalui media.
22 Judy El-Bushra dan Ibrahim M.G. Sahl, Op.cit. hlm. 97 23
C. Perlindungan Terhadap Perempuan Dalam Kerangka Hukum Humaniter Internasional
Melihat besarnya dampak kemanusiaan yang timbul dalam konflik bersenjata
terutama kepada mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut
maka Pasal 3, yang merupakan pasal “kembar”, dari Konvensi Jenewa 1-4 Tahun 1949 menetapkan standar minimum yang diterapkan dalam suatu konflik bersenjata.
Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung; tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :
1. Orang-orang yang tidak turut serta aktiv dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat)karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut diatas pada waktu dan ditempat apapun juga :
(a) tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
(b) penyanderaan;
(c) perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
(d) menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.
Standar ini ditujukan untuk menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia dari orang-orang yang terkena dampak dari konflik bersenjata yang terjadi
meskipun tidak terlibat secara langsung atau tidak lagi terlibat di dalamnya. Aturan
Pasal 3 ini sendiri kemudian di kembangkan lebih jauh dalam Protokol Tambahan II
Tahun 1977 Tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata non-Internasional
yang mana dalam Pasal 4 menetapkan bahwa setiap orang tidak terlibat secara
langsung atau tidak lagi terlibat di dalam konflik bersenjata non-internasional harus
diperlakukan secara manusiawi dan tidak boleh dilakukan pembedaan yang
merugikan mereka. Secara lebih rinci dalam Ayat (2)-nya ditetapkan secara rinci
tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan dalam kondisi apapun, yakni:
a. Tindakan kekerasan terhadap jiwa, orang, kesehatan dan kesejahteraan jasmani ataupun rohani mereka, khusunya terhadap pembunuhan atau perlakuan kejam seperti penganiayaan, pengudungan, atau setiap bentuk pughukuman jasmani;
b. Hukuman kolektif; c. Penyanderaan; d. Tindakan terorisme;
e. Pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat wanita, perkosaan, pelacuran, dan setiap bentuk tindakan yang tidak senonoh;
f. Perbudakan dan perdagangan manusia dalam segala bentuk; g. Perampokan;
h. Ancaman untuk melakukan setiap tindakan tersebut di atas.
Selain itu dalam pasal 4 Ayat (3) juga dijamin perlindungan terhadap
anak-anak yang berada dalam konflik bersenjata non-internasional diantaranya untuk
menjamin mereka tetap mendapat pendidikan yang memadai dan tidak digunakan
sebagai tentara oleh pihak-pihak yang berkonflik. Aturan-aturan internasional yang
situasi adalah mutlak adanya.24 Hal ini untuk mengantisipasi keadaan dimana sulit untuk menentukan apakah suatu konflik bersenjata merupakan konflik bersejata
internasional atau non-internasional. Hal ini sejalan dengan ketentuan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 4 yang menghendaki agar
dalam situasi umum yang genting sekalipun, hak-hak dasar yang tak dapat dikurangi
(fundamental non-derogable rights) harus tetap dihormati. Hal ini kembali ditegaskan
dalam Resolusi Majelis Umum Nomor 2675 (XXV) Tahun 1970 Tentang
Prinsip-Prinsip Dasar Perlindungan Populasi Sipil Dalam Konflik Bersenjata yang
menyatakan bahwa setiap hak-hak dasar yang diterima dalam hukum internasional
dan tertera dalam instrument-instrumen internasional harus ditegakan secara penuh
dalam setiap jenis konflik bersenjata. Dengan demikian dapat dilihat bahwa gerakan
untuk melindungi hak-hak dasar dari setiap individu tidak dibatasi pada suatu situasi
konflik bersenjata apapun jenisnya, oleh karenanya setiap pihak yang terlibat dalam
konflik bersenjata harus betul-betul memperatikan hal ini, karena mereka yang tidak
terlibat secara langsung dalam konflik bersenjata, umumnya adalah
kelompok-kelompok yang rentan seperti anak-anak dan perempuan.
Secara umum hukum humaniter internasional memberikan perlindungan dan
mensyaratkan adanya perlakuan yang manusiawi kepada yang terluka dan sakit,
tawanan perang, dan penduduk sipil tanpa adanya pembedaan berdasarkan jenis
kelamin, ras, kewarganegaraan, agama, pandangan politik, atau kriteria lainnya,
namun hukum humaniter internasional juga mengakui bahwa perempuan menghadapi
permasalahan tersendiri dalam konflik bersenjata sebagaimana telah digambarkan di
atas, sehingga ada perlindungan lebih yang seharusnya diberikan kepada perempuan
untuk mencegah hal tersebut terjadi.25
24 Malcomn N Sahw QC, 2013, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie,dkk, Bandung: Nusa Media. Hlm.1201
25 ICRC, 1999, “
Protection of victims of armed conflict through respect of International Humanitarian Law”,
Penegakan Keadilan Bagi Perempuan Korban Konflik Bersenjata
Sebagaimana digambarkan dalam pembahasan di atas, perempuan dalam
konflik bersenjata rentan menjadi korban kekerasan baik itu secara langsung maupun
tidak langsung. Dalam beberapa kasus yang dipaparkan di atas, kekerasan yang
dialami perempuan dalam konflik bersenjata seringkali tidak manusiawi dan
merendahkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Oleh karena itu dalam
bagian ini akan dilihat bagaimana penegakan keadilan dan perlindungan bagi
perempuan dilakukan untuk menjamin hak-haknya sebagai perempuan tetap
terpenuhi.
Untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi perempuan korban konflik
bersenjata maka ada dua langkah yang dapat ditempuh yakni melalui tindakan
kemanusiaan ketika konflik sedang berlangsung dan melalui mekanisme peradilan
untuk menjamin pelaku tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam konflik
bersenjata mendapat hukuman yang setimpal.
Pemberian bantuan kemanusiaan selama konflik berlangsung dapat dilakukan
oleh pemerintah tempat berlangsungnya konflik atau melalui gerakan palang merah
internasional yang di dalamnya juga termasuk International Committee of Red Cross
(ICRC). ICRC merupakan organisasi yang netral dan independen yang bertujuan
untuk menjamin perlindungan dan pemberian bantuan kemanusiaan bagi korban
konflik bersenjata atau situasi kekerasan lainnya. Keberadaan ICRC diakui oleh
keempat Konvensi Jenewa 1949 dan ketiga Protokol Tambahannya.
Dalam konflik bersenjata internasional ICRC memiliki mandat untuk
melakukan kunjungan kepada tawanan perang dan tawanan sipil (civilian internees),
serta memiliki hak inisiatif (right of initiative).26 Negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahannya terikat untuk menerima kegiatan
kemanusiaan ICRC.27 Selain itu, Pasal 81 Protokol Tambahan I menetapkan bahwa Negara-negara peserta konflik harus memberi ICRC semua sarana yang ada dalam
kewenangan mereka untuk memungkinkan ICRC melaksanakan fungsi-fungsi
kemanusiaan yang ditugaskan kepadanya oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan tersebut dengan tujuan untuk memastikan perlindungan dan
bantuan bagi korban konflik.
Dalam konflik bersenjata non-internasional ICRC dapat menawarkan Jasanya
kepada para pihak yang berkonflik.28 ICRC pada khususnya boleh menawarkan jasanya kepada pihak-pihak yang berperang dalam rangka mengunjungi orang-orang
yang dicabut kebebasannya sehubungan dengan konflik bersenjata, dengan tujuan
untuk memverifikasi kondisi penahanan mereka dan memulihkan kontak antara
mereka dan keluarga.29 Dalam situasi kekerasan lainnya ICRC juga dapat mendapat mandat untuk menawarkan bantuannya sebagaimana yang ditetapkan dalam Statuta
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.30 Dalam hal ini ICRC menawarkan bantuannya tanpa membuat penawaran tersebut menjadi campur tangan
dalam urusan dalam negeri Negara yang bersangkutan ataupun menjadi pemberian
status tertentu kepada pihak manapun.
Dalam melindungi orang-orang yang berada dalam konflik bersenjata ICRC
berupaya untuk memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang semacam itu,
mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka,
mengupayakan agar hak-hak mereka diperhatikan dan suara mereka didengar, serta
memberikan mereka bantuan. Untuk melakukan hal ini maka ICRC menempu dua
cara yakni pertama terus berada di dekat korban konflik dan kekerasan. Kedua
27 Pasal 126 Konvensi Jenewa (III) dan Pasal 143 Konvensi Jenewa (IV) 28
Pasal 3 Konvensi Jenewa (I-IV) 1949
29 ICRC, Kekera san dan Penggunaan Kekuatan [pdf], tersedia di:
https://drive.google.com/file/d/0B_ekamY8L73geG5mTC15bHpTZUE/edit, diakses tanggal 3 Juni 2015. Hlm.52
30
melakukan dialog tertutup dengan pihak-pihak yang terlibat, baik negara maupun
non-negara.31
Salah satu permasalahan perempuan dalam konflik bersenjata adalah
kehilangan suami yang menjadi penopang hidup keluarganya, entah itu karena
ditawan oleh salah satu pihak yang berkonflik atau meninggal dalam konflik. Dalam
hal menjadi tawanan maka ICRC dapat berperan menjadi penghubung antara
perempuan tersebut dengan suaminya yang ditahan, sehingga tetap terjalin
komunikasi. Hal lain yang turut dilami perempuan dalam konflik bersenjata adalah
terhambatnya akses kepada kesehatan yang layak, air bersih, makanan, dan
pendidikan, dalam hal ini ICRC juga mendukung mereka dengan menyediakan
fasilitas kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk bertahan hidup seperti
makanan dan air bersih, kebutuhan ruah tangga, dan tempat berteduh.32
Dalam lingkup regional juga terdapat badan yang sengaja dibentuk khusus
untuk melindungi orang sipil dalam situasi konflik, hususnya perempuan dan
anak-anak. Di Afrika misalnya, melalui Uni Afrika (African Union) dibentuk suatu
mekanisme perlindungan orang sipil, terutama perempuan dan anak-anak, yang mana
dalam mekanisme ini akan ada kerjasama antara civil society organizations (CSO)
dan Peace and Security Council (PSC) yang merupakan salah satu badan dari Uni
Afrika.33 Mekanisme ini dikenal dengan nama Livingstone Formula. Melalui mekanisme ini CSO dapat lebih berperan dalam perlindungan perempuan dan
anak-anak dalam konflik bersenjata yang terjadi di Afrika.
31 Ambarwati, dkk, 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi hubungan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm.151
32 ICRC, 2010, “Woman Protected Under International Humanitarian Law”, {online] tersedia di <https://www.icrc.org/eng/wa r-and-law/protected-persons/women/overview-women-protected.htm>, diakses tanggal 22 Agustus 2015.
Selain langkah pemeberian bantuan kemanusiaan bagi perempuan yang
terkena dampak konflik bersenjata, peradilan dapat juga menjadi salah satu cara
untuk menegakan keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap
perempuan pada waktu konflik bersenjata. Pelangaran-pelanggaraan terhadap
perempuan dalam konflik bersenjata sebagaimana yang dijelaskan di atas ada yang
berupa kejahatan perang (war crime) sehingga dapat ditempuh mekanisme
peradilanbaik yang bersifat ad-hoc atau melalui badan peraildan yang bersifat
permanen. Mekanisme peradilan ini memang tidak berdampak langsung kepada
korban-korban pelanggaran HAM selama masa konflik tapi setidaknya bisa
memberikan rasa keadilan dan tidak membuat pelaku lolos dari kejahatan yang
dilakukan. Seagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam situasi konflik bersenjata
kelompok-kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak menghadapi
kemungkinan pelanggaran hak-hak dasar yang lebih besar, oleh karena itu ketika
terjadi pelanggaran tersebut maka keadilan dapat ditegakan melalui mekanisme
peradilan, salah satunya adalah melalui International Criminal Court (ICC) yang
merupakan badan peradilan permanen untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.34
Perempuan dalam konflik bersenjata menghadapi kekerasan berbasis gender
yang sangat besar, di antara sekian banyak kekerasan berbasis gender yang dihadapi,
kekerasan seksual seperti pemerkosaan (rape), pelecehan seksual (sexual abuse),
pengahamilan secara paksa, oerkawinan secara paksa, dijadikan budak, dan bentuk
kekerasan seksual lainnya seringkali dihapi oleh perempuan dalam konflik. Di
Somalia misalnya, pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dijadikan
sarana balas dendam oleh pihak-pihak yang bertikai.35 Dalam konflik bersenjata yang melibatkan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), perempuan ada yang dipaksa
34 Pasal 5 Ayat (2) Rome Statute of International Criminal Court
untuk dijadikan sebagai budak seks untuk melayani para pejuang ISIS,36 bahkan ada yang dijual sebagai budak seks dengan harga 500-2000 $ per orang,37 dan jika menolak untuk dijadikan budak seks maka para pejuang ISIS akan membunuh
perempuan tersebut.38 Pemerkosaan dalam konflik bersenjata yang dilakukan oleh peserta konflik dapat tunduk ke dalam kejahatan perang yang diatur dalam pasal 8
Statuta ICC sehingga para pelakunya dapat diadili di ICC.
Selain melalui ICC yang merupkan badan peradilan yang permanen,
pelanggaran hak-hak perempuan juga dapat diselesaikan melalui badan peradilan
ad-hoc. Salah satu contohnya adalah International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia (ICTY). Pada Tahun 1993 sebagai respon atas temuan terjadinya
pelanggaran hukum humaniter, termasuk pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya
terhadap perempuan di bekas Yugoslavia, Dewan Keamanan PBB membentuk ICTY
untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut. Salah satu permasalahan yang diadili
adalah pemerkosaan yang mana termasuk hal yang diatur dalam Statuta ICTY. Kasus
yang memberikan dampak sangat besar dalam menuntut pelaku kejahatan seksual
terhadap perempuan dalam konflik bersenjata adalah kasus Anto Furunzija yang
didakwa oleh ICTY telah melakukan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter
internasional, yang mana diantaranya adalah melakukan penyiksaan dan penistaan
terhadap martabat seseorang. Tuntutan terhadap Frunzija diantaranya mencakup
kekerasan seksual dan dan pemerkosaan terhadap seorang wanita muslim yang
diinterogasinya.39
36 _______“ISIS Paksa Perbudakan Seks, [online] tersedia di ”<
http://www.dw.com/id/isis-paksa-perbudakan-seks/a-18149794>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.
37Jafar M Sidik, 26 Juni 2015, “ISIS Jual 42 Wanita Yazidi Sebagai Budak Seks Di Suriah”, [online] tersedia di < http://www.antaranews.com/berita/503602/isis-jual-42-wanita-yazidi-sebagai-budak-seks-di-suriah>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.
38Ike Agestu, 7 Agustus 2015, “Menolak Jadi Budak Seks, ISIS Eksekusi 19 Perempuan”, [online] tersedia di < http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150807174618-134-70758/menolak-jadi-budak-seks-isis-eksekusi-19-perempuan/>, diakses tanggal 24 Agustus 2015.
39 Kirsten Campbell, 2002, “Sexual Assault, Memory, and Internatioinal Humanitarian Law”,
Dalam putusan kasus ini dijelaskan bahwa kekerasan seksual merupakan
pelanggaran berat terhadap hukum kebiasaan humaniter internasional. Dalam putusan
majaelis di ICTYdiputuskan bahwa, pertama perkosaan dalam keadaan tertentu dapat
dimasukan dalam pengertian penyiksaan dalam hukum kebiasaan humaniter
internasional. Kedua, dalam hukum pidana internasional, pemerkosaan dapat
dikategorikan sebagai kejahatan yang berbeda dari penyiksaan. Pada khususnya,
pemerkosaan dinyatakan bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional,
mendasari pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, merupakan
pelanggaran berat terhadap konvensi jenewa 1949, dan melanggar hukum dan
kebiasaan berperang.40
Pada tahun 1992, dalam konteks hal yang mendasari terjadinya pelanggaran
berat hukum humaniter internasional, ICRC menyatakan bahwa ketetapan dalam
pasal kembar konvensi jenewa 1949 dan protokol tambahannya yang menyatakan
bahwa “willfully causing great suffering or serious injury to body or health” tidak hanya mencakup tindakan pemerkosaan tapi juga penyerangan terhadap martabat
perempuan.41 Dengan demikian dalam konteks ICTY tindakan pemerkosaan dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Dalam Statuta
ICTY, pemerkosaan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity) dan untuk masuk ke dalam kategori tersebut maka pemerkosaan
tersebut harus ditujukan secara langsung kepada populasi penduduk sipil secara
keseluruhan, ketika itu terjadi kepada perorangan (individual basis) maka tidak cukup
sebagai dasar untuk dimasukan ke dalam kategori tersebut. Meskipun demikian dalam
prakteknya, penuntut dalam ICTY menuntut para terdakwa dengan kejahatan seksual
sebagai kejahatan perang (war crimes) and pelanggaran berat hukum humaniter
40 Ibid. 153
internasional.42 Hal ini semakin memperkuat dan memberikan pelindungan terhadap hak asasi perempuan dalam konflik bersenjata.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konflik bersenjata telah
memberikan dampak yang besar dalam kehidupan perempuan. Perempuan lebih
rentan untuk menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik secara interpersonal
maupun secara struktural. Contohnya adalah perempuan menjadi korban perkosaan,
kawin paksa, atau ketika dalam tahanan perempuan menjadi terbatas ruang gerak dan
aksesnya terhadap udara segar karena penahanan yang dicampur bersama dengan
laki-laki. Selain itu dampak konflik bersenjata juga telah memberikan perubahan
dalam relasi gender terutama dalam hubunugannya dengan perempuan, yakni dalam
empat bidang yaitu peran, identitas, istitusi dan ideologi. Misalnya akibat konflik
bersenjata perempuan kehilangan suaminya yang sebelumnya berperan sebagai
pencari nafkah sehingga terpaksa perempuan yang mengambil alih peran tersebut,
atau konflik bersenjata membuat kemungkinan harapan menikah bagi perempuan
semakin kecil, yang mana di daerah tertentu status sosial yang tinggi terkait dengan
perkawinan sehingga hal itu memperkecil peluang perempuan untuk mendapat status
sosial yang lebih tinggi.
Hukum humaniter internasional telah menetapkan kerangka hukum bagi
perlindungan bagi perempuan dalam konflik bersenjata sehingga menjamin tidak
dilanggarnya hak-hak asasi mereka selama berlangsungnya konflik. Hal ini misalnya
tercantum dalam konvensi jenewa 1949 beserta portokol tambahannya yang
menetapkan hak-hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun,
termasuk dalam konflik bersenjata. Ketika terjadi pelanggaran maka dapat ditempuh
mekanisme peradilan, baik melalui lembaga peradilanan yang permanen seperti ICC
atau yang ad hoc seperti ICTY. Perlindungan terhadap perempuan juga dapat
42
diberikan ketika konflik sedang berlangsung melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan
DAFTAR PUSTAKA
_______“ISIS Paksa Perbudakan Seks, [online] tersedia di
”<http://www.dw.com/id/isis-paksa-perbudakan-seks/a-18149794>, diakses tanggal 24 Agustus 2015;
African Union, 2013, “Women And Children In Armed Conflicts Gender Mainstreaming”, [online] tersedia di <
http://peaceau.org/en/topic/women-and-children-in-armed-conflicts-gender-mainstreaming>, diakses Tanggal 29
Agustus 2015;
Ambarwati, dkk, 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi hubungan
Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada;
Amnesty Internasional, 2015, Nigeria: Nigerian Authorities Were Warned Of Boko
Haram Attacks On Baga And Monguno;
Beerli Christine, 2013, Vulnerabilities in armed conflicts, [online] tersedia di
<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/statement/2013/10-18-protected-person-bruges.htm>, diakses tanggal 3 Juni 2015;
Campbell Kirsten, 2002, “Sexual Assault, Memory, and Internatioinal Humanitarian
Law”, Journal of Women in Culture and Society, vol. 28, no. 1, hlm.149-150; El-Bushra Judy dan Sahl Ibrahim M.G., 2005, “Cycles of Violence: Gender Relations
and Armed Conflict”, (pdf) tersedia di
<http://www.acordinternational.org/silo/files/cycles-of-violence-gender-relationa-and-armed-conflict.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus 2015;
Gardam Judith G, 1998, “Woman, Human Rigths and International Humanitarian
Law”, [online] tersedia di
<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpg4.htm>, diakses
tanggal 1 juni 2015;
Human Rights Watch, “Nigeria: Boko Haram Attacks Cause Humanitarian Crisis”,
http://www.hrw.org/news/2014/03/14/nigeria-boko-haram-attacks-cause-humanitarian-crisis, diakses tanggal 31 Mei 2015;
ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan [pdf], tersedia di:
https://drive.google.com/file/d/0B_ekamY8L73geG5mTC15bHpTZUE/edit,
diakses tanggal 3 Juli 2015
ICRC, 1999, “Protection of victims of armed conflict through respect of International
Humanitarian Law”, [online] tersedia di
<https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jpzn.htm> , diakses
tanggal 22 Agustus 2015;
ICRC, 2010, “Woman Protected Under International Humanitarian Law”, {online]
tersedia di
<https://www.icrc.org/eng/war-and-law/protected-persons/women/overview-women-protected.htm>, diakses tanggal 22 Agustus
2015;
Ike Agestu, 7 Agustus 2015, “Menolak Jadi Budak Seks, ISIS Eksekusi 19
Perempuan”, [online] tersedia di
<http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150807174618-134-70758/menolak-jadi-budak-seks-isis-eksekusi-19-perempuan/>, diakses
tanggal 24 Agustus 2015.
Kangas A, et all. 2014. “Gender: Topic Guide. Revised edition”, (pdf) tersedia di
<http://www.gsdrc.org/docs/open/gender.pdf>, diakses tanggal 21 Agustus
2015;
Karjasungkana Nursyahbani, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam
Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, cet.1. Edited by Kartini
Syahrir, 2000, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation
Indonesia;
Konvensi Jenewa (III ) Tahun 1949 Tentang Perlakuan Terhadap Tawan Perang;
Konvensi Jenewa (IV) Tahun 1949 Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Pada
Rome Statute of International Criminal Court;
Sadler Anne G, et all, “Factors Associated with Women’s Risk of Rape in the
Military Environment”, American Journal Of Industrial Medicine,43:262–273 (2003);
Sahw Malcomn N, 2013, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Widowatie Derta
Sri,dkk, Bandung: Nusa Media;
Sidik Jafar M, 26 Juni 2015, “ISIS Jual 42 Wanita Yazidi Sebagai Budak Seks Di
Suriah”, [online] tersedia di <
http://www.antaranews.com/berita/503602/isis-jual-42-wanita-yazidi-sebagai-budak-seks-di-suriah>, diakses tanggal 24
Agustus 2015;
START, 2014, Boko Haram Recent Attacks”, US Department of Homeland Security
and Technology Center of Excellence Headquarter at The Unicersity of
Maryland;
Statuta Palang Merah dan Bulan Sabit merah Internasional;
Steinhauer Jennifer, “Sexual Assaults in Military Raise Alarm in Washington”, New
York TIMES, 7 Mei 2013;
UNICEF, “Sexual violence as a weapon of war”, [online] tersedia di