• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA. doc"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA

( Kasus Kebebasan Beragama) Oleh Yazwardi

A. Latar Belakang Masalah

Pada medio Juni 2004, dua orang intelektual Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta dan Sayidiman Suryohadiprojo, gubernur lemhanas pada waktu itu, menulis artikel yang saling bersahutan di kolom harian kompas. Keduanya sepakat dan saling mendukung tentang upaya dikembalikannya Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan istilah “Rejuvenasi Pancasila”. Azra dapat dianggap sebagai intelektual muslim yang mewakili golongan mayoritas muslim dan Sayidiman mewakili kalangan militer. Fakta ini menunjukkan kegelisahan dua anak bangsa tentang pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin redup dan mulai kehilangan nilai-nilai falsafatinya.

Di antara tulisan Azra1 tersebut adalah sebagai berikut:

Apakah sebuah ideologi masih penting bagi negara, Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960-an, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada awal 1970-an telah berbicara tentang

(2)

kultural, dan agama seperti Indonesia…. Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Sayidiman2 menyahuti artikel tersebut:

…Sebenarnya pendapat Azyumardi Azra bukan hal baru karena sudah sering dinyatakan, sekalipun tanpa istilah "rejuvenasi". Namun, yang sering menyatakan adalah anggota TNI, mantan TNI, atau orang yang dekat dengan TNI. Ada prasangka sementara orang, memperjuangkan Pancasila adalah memperjuangkan kembalinya kekuasaan rezim Soeharto meski yang menyatakan adalah mantan TNI yang tidak termasuk lingkungan kekuasaan Soeharto. Maka, bila kini dinyatakan oleh orang yang bukan atau dekat TNI, semoga tidak terjadi prasangka....namun, harus secara sadar diakui, rejuvenasi Pancasila adalah perjuangan yang berat dan sulit. Selain harus mengatasi sinisme di banyak kalangan karena Pancasila sudah didiskreditkan para penguasa Republik Indonesia, juga harus berjuang melawan kuatnya dan agresifnya ideologi Barat yang hendak menguasai Indonesia.

Dua tokoh tersebut sesungguhnya mewakili perasaan sebagian anak bangsa yang merasa semakin gamang tentang ideologi bangsanya. Setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi, kegamangan atau lebih tepat disebut ’kehilangan pedoman’ kehidupan semakin dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kemajemukan yang sesungguhnya merupakan identitas kebangsaan yang selama ini semakin kehilangan bentuk, sikap toleransi yang selama ini di’bangga-banga’kan juga semakin kehilangan arah, dan bahkan semangat (perasaan) nasionalisme yang seharusnya membangkitkan citra kita sebagai bangsa semakin meluntur dari hari ke hari. Berbagai kasus dari persoalan sosial, etnik, budaya, politik, ekonomi, konflik horizontal dan vertikal menambah kuat stigma negatif tentang NKRI; seorang politisi PDIP Efendi Simbolon dalam live talkshow di sebuah televisi swasta menyebut NKRI sebagai ’negeri antah berantah”.3 Pancasila yang lebih dari 50 tahun mampu

merekatkan keragaman bangsa telah di”tinggal”kan, dan bangsa ini semakin kehilangan arah dan tidak mustahil bermuara pada pencarian ”ideologi baru”.

2Kompas, 23 Juni 2004

(3)

Tulisan singkat ini mencoba kembali ”membaca” Pancasila dari perspektif falsafah yang digunakan sebagai solusi (alat analisis) persoalan kebangsaan yang semakin menyedihkan ini.

B. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa

Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.4 Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan

dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.

Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.

Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan dijalankan dengan cara yang totaliter.

Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4 Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi

(4)

Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.5

Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.

Sebagai sebuah ideologi bangsa, berikut sejarah ideologi sebagai pandangan hiduo bangsa sebagaimana yang dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut

Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi kapitalis. Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.Kedua ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.6

5Ibid., hal. 232-233.

6 Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net. diakses 26

(5)

Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression) Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ideologi, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi kapitalisme klasik.

Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.

Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.

Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.

(6)

alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi Pancasila yang benar dan sesungguhnya.

Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.

(7)

Secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara multidimensional, ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 ) Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.

Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag negara dan atau ideologi negara/ staatside).

Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system

(8)

Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi dasar negara dalam pengertian yuridis-ketatanegaraan sebenarnya sudah sangat kuat karena pelaksanaan dan pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pancasila secara multidimensional. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah kelahirannya, Pancasila digali dari sosio-budaya Indonesia, baik secara perorangan maupun kolektif, kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis sebagai dasar negara), Ir. Soekarno mengatakan: “Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa Indonesia.”

Namun Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.

1. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia. 2. Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh

dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

(9)

4. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.

5. Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila.

6. Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

7. Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.

Dari perspektif Filsafat Ilmu, nilai-nilai ontologis-axiologis Pancasila terjabar dan diaktualisasikan melalui Sistem Kenegaraan Pancasila, UUD 1945 dan sebagai Sistem Ideologi Nasional Indonesia. Asas-asas fundamental filosofis-ideologis dan konstitusional adalah jabaran dan aktualisasi asas filsafat Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Noor Syam, SH, Guru Besar Emeritus dan Ketua Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang sebagai berikut:

1. Asas filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi secara ontologis-axiologis tegak dalam aktualisasi Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45

2. Menjamin ranah (in casu : HAM) privat dan publik berdasarkan asas keseimbangan HAM dan KAM sebagai diamanatkan bagian III A diatas. Tegasnya, individualitas dan komunitas berkembang dalam asas keseimbangan dalam wujud asas kekeluargaan sebagai asas integralisme fungsional!

3. Menjiwai dan melandasi asas moral dan budaya politik nasional : politisi, kepemimpinan nasional, bahkan warganegara dalam pergaulan nasional dan internasional senantiasa menegakkan integritas moral dan martabat nasional!

(10)

5. Secara filosofis-ideologis dan UUD Pasal 29 bangsa dan NKRI menganggap ideologi marxisme-komunisme-atheisme bertentangan dengan ideologi Pancasila yang beridentitas theisme-religious; karenanya dikategorikan sebagai : separatisme ideologi, makar.

Sebaliknya, siapapun atas nama kebebasan (liberalisme) dan demokrasi (kedaulatan rakyat) mengembangkan / memperjuangkan nilai ideologi selain ideologi negara Pancasila (non-Pancasila), dikategorikan sebagai melakukan tindakan : separatisme ideologi, makar dan atau mengkhianati sistem kenegaraan Pancasila. Waspadalah kepada berbagai sistem ideologi yang mengancam integritas ideologi Pancasila, seperti : ideologi liberalisme-kapitalisme, sekularisme; dan marxisme-komunisme-atheisme.

Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila, bermakna bahwa bangsa Indonesia (rakyat, warganegara RI) berkewajiban membela NKRI dalam integritasnya sebagai sistem kenegaraan Pancasila antar sistem kenegaraan: kapitalisme-liberalisme, dan marxisme-komunisme-atheisme yang dapat mengancam integritas bangsa dan NKRI. Jadi, bangsa Indonesia senantiasa waspada dan harus siap membela negara atas tantangan dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam integritas ideologi Pancasila: baik neoimperialisme Amerika maupun ideologi marxisme – komunisme – atheisme dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI atau KGB.7

C. Konsepsi Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Dilihat dari sejarahnya, proses perkembangan pemikiran HAM yang kemudian diberlakukan secara universal setelah dicetuskan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948, peran agama dan agamawan jarang disebut. Pengakuan secara jujur terhadap keterbatasan peran agama diungkap oleh Frans Magnis-Suseno, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) Jakarta. Pada salah satu tulisanya yang membahas hak asasi manusia dalam tinjauan

7 Mohammad Noor Syam,. Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,

Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 2007. p. 25.

(11)

teologi Katolik kontemporer. Suseso mengatakan,8 alih-alih paham hak-hak asasi manusia

timbul di kalangan gereja-gereja, melainkan merupakan refleksi para filosof maupun politisi yang bercita-cita atas pengalaman ketertindasan masyarakat. Suseno juga menjelaskan, pada pada awalnya pihak gereja Katolik bersikap dingin, bahkan ada yang menentang terhadap paham modern hak-hak asasi manusia, meski pada 1963 gereja Katolik bersikap lebih terbuka.

Kendati antara Islam dan Katolik, juga dengan agama-agama lainnya tetap memiliki perbedaan, penerimaan Islam terhadap HAM juga tidak berjalan mulus. Beberapa literatur yang menelaah hubungan Islam dengan HAM mengungkap resistensi yang diperlihatkan oleh beberapa sarjana dan negara Muslim terhadap HAM. Buku yang ditulis Ann Elizabeth Mayer (1999) dan Daniel E. Price (1999), misalnya, menyinggung konsep relativisme budaya (cultural relativism) yang dijadikan dasar penolakan beberapa sarjana di negara Muslim terhadap paham universalitas HAM (the idea of the universality of human rights). Dengan menggunakan konsep relativisme budaya, HAM dipandang memiliki keterbatasan ketika ingin diterapkan pada masyarakat di negara Muslim yang memiliki perbedaan budaya dengan pencetus universalisme HAM yang didominasi oleh negara-negara Barat. Apalagi, Barat sebagai pihak yang dipandang paling dominan dalam penciptaan dan diseminasi paham HAM, juga dinilai memiliki catatan yang tidak kalah buruk dalam penegakan HAM, dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang sering mendapat sorotan tajam, justru dari pihak Barat.

Tidak semua sarjana Muslim setuju dengan pembelahan paham HAM berdasarkan konsep relativisme budaya. Todung Mulya Lubis,9 menganggap pemilahan HAM

berdasarkan pendekatan universalisme dan relativisme budaya tidak relevan lagi setelah banyak negara meratifikasi instrumen dasar HAM yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pandangan konstruktif terhadap HAM juga dikemukakan Abdullahi

8 Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam Diseminasi Hak

Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.

9 Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM. Dalam Diseminasi Hak Asasi

(12)

Ahmed an-Nai‘im dalam bukunya, Islam and the Secular State10). Sebagaimana Lubis,

an-Naim juga berpandangan bahwa HAM pada dasarnya merupakan gagasan universal . Sewaktu dicetuskan sebagai paham universal yang kemudian terkenal dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), agama sengaja tidak dilibatkan sebagai landasan justifikasi agar ide-ide dasar dalam HAM bisa digunakan baik oleh kalangan yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.

Terhadap corak sekuler pada paham universalisme HAM yang dicetuskan oleh PBB itu, alih-alih menyatakan penolakan, pemikir Muslim terkemuka asal Sudan itu justru dengan tegas mengajak agar umat Islam mengakui bahwa HAM merupakan produk kesepakatan dunia internasional. Dalam pandangan an-Na‘im, Deklarasi Universal HAM merupakan instrumen penting untuk melindungi kemulian manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang di manapun mereka berada berkat universalitas kekuatan moral dan politik yang dimilikinya. An-Na‘im tentu sadar, ajakan dan pandangan konstruktifnya tersebut akan menuai protes dan penolakan dari kalangan Islam yang tetap bertahan pada pemikiran relativisme budaya.

Sadar terhadap hal tersebut, an-Na‘im giat melakukan penelitian terhadap hukum Islam untuk menemukan hubungan yang lebih positif dan rekonsiliatif antara syari‘ah dengan HAM. Sebelum, Islam and the Secular State yang terbit pada 2008, pada 1990 an-Na‘im telah menerbitkan buku, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law. Pada kedua buku tersebut, an-Na‘im memaparkan argumen dari perspektif hukum Islam untuk memperkuat hubungan positif dan rekonsiliatif antara Islam dengan HAM. Kesimpulan penting yang bisa diambil dari pemikiran an-Na‘im, Islam sebagai fenomena agama dapat dijadikan sebagai legitimasi terhadap paham universalitas HAM.

Gagasan Na‘im mendapat dukungan Rhoda E. Howard. Sebagaimana halnya an-Naim, Howard11 juga berpendapat bahwa paham HAM yang dikembangkan oleh PBB

merupakan produk pemikiran sekuler, bukan didasarkan pada keputusan ilahi. Menyadari corak sekuler pada pemikiran HAM tersebut, Howard sebenarnya tidak memandang

10 An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard,

Harvard University Press, 2008. p. 231

(13)

legitimasi agama sebagai hal yang mutlak. Tetapi jika dipandang justru memberikan jaminan terhadap pelaksanaan HAM, maka legitimasi agama seperti dikembangkan oleh an-Naim patut memperoleh apresiasi. Dalam kaitan pentingnya aspek agama dalam HAM, pendapat dari Joseph Runzo, Nancy M. Martin dan Arvind Sharma pada kata pengantar buku, Human Rights and Responsibilities in the World Religions (2003) perlu diperhatikan:

Religions have too often been used to justify the violation of human rights, in part through the hierarchical and selective use of role ethics and the postponement of temporal justice to devine judgement of future karmic consequences. Yet the world religions have also provided a constant voice of critique against the violation of human rights by calling for equality, and universal compassion and love, call which reach far beyond the mere protection of human rights.

Poin penting pendapat Runzo, Martin, dan Sharma adalah, bagaimana agama dalam konsruksi yang positif—sekalipun agama sering disalahgunakan sebagai alat justifikasi pelanggaraan hak asasi manusia (the violation of human rights)—dijadikan sebagai sumber energi bagi upaya penegakan hak asasi manusia dalam pelbagai aspek. Meskipun HAM telah menjadi peraturan internasional, pelanggaran terhadap HAM sering terjadi di beberapa negara. Di antara bentuk pelanggaran HAM yang perlu diperhatikan adalah pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Kebebasan beragama atau kepercayaan, merupakan hak asasi manusia yang berlaku universal serta dikodifikasi dalam instrumen internasional HAM.

Pada tingkat normatif, sejak awal era HAM sudah tampak jelas bahwa kebebasan beragama atau kepercayaan merupakan hak fundamental, dan benar-benar merupakan salah satu hak-hak fundamental yang utama. Muncul pertama kali sejak Perang Dunia II, hak tersebut telah dirumuskan dalam pasal 18 Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) serta Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik dan Sipil (the International Covenant on Civil and Political Rights).

Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma sebagai berikut:

(14)

Kedua, external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.

Ketiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.

Keempat, nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status kelahiran.

Kelima, rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.

Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi .

(15)

Kedelapan, nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.

Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negara sering dijumpai pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Salah satu negara yang sering mendapat sorotan terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah Indonesia. Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyata Indonesia belum bebas dari pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang dilakukan negara terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan menggunakan dua modus.

Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau melakukan penyerangan terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan menurut Imparsial tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan.

(16)

aktif memajukannya. Sebaliknya, hak negatif, bisa diwujudkan jika negara tidak terlalu banyak mencampuri urusan agama dalam masyarakat . Mabruri menyebut keberadaan Direktorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem) sebagai contoh campur tangan negara yang terlalu jauh dalam urusan agama dan keyakinan.

Direktorat ini berada di bawah Kejaksaan Agung yang terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Menurut Mabruri, peran negara seharusnya terbatas pada menjamin hak setiap warga. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkepercayaan, negara menurut Mabruri perlu melakukan dua hal, yakni: Pertama, tidak membuat regulasi yang membatasi dan mengekang kebebasan beragama.

Kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (nonderogable rights) dalam keadaan apapun dan oleh siapapun meliputi; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Perlindungan atas hak asasi manusia yang fundamental ini diatur dalam Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ―dalam keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata dan/atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan ―siapapun- adalah negara, pemerintah dan atau anggota masyarakat. Melihat perumusan dari Pasal 4 undang-undang tersebut jelas dapat dipahami bahwa di Indonesia kebebasan beragama dijamin dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, segala bentuk prilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bangsa, agama, golongan jenis kelamin dan status sosial lainnya yang dapat mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial harus dihapuskan.12

Kemudian hal kedua yang perlu dilakukan oleh negara menurut Mabruri adalah, mencegah setiap potensi yang memungkinkan adanya gangguan dan hambatan bagi setiap orang untuk memilih dan menjalankan keyakinannya di tengah masyarakat. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan oleh negara memberikan peluang

(17)

terhadap masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, masyarakat juga menjadi aktor yang melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan setelah adanya peluang dari negara. Tetapi apakah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat hanya disebabkan oleh peluang yang diberikan negara? Kendati negara tidak mungkin diabaikan, kondisi internal masyarakat sendiri sebagai penyebab terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan perlu diungkap. Apakah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat ada kaitannya dengan cara pandang suatu kelompok kepada kelompok yang lain? Studi yang dilakukan oleh Fatimah Husein,

Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim Perspectives (2005), patut dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus studi Husein merupakan topik penting sekaligus sensitif.

Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam dan Kristen di Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari cara pandang masing-masing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein mengungkap dua cara pandang dominan di kalangan Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni: eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam sebagai agama terakhir untuk mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini menurut Husein menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat memberikan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.

D. Contoh Kasus “Pelanggaran” Kebebasan Beragama

(18)

keagamaan satu dari enam agama resmi yang diakui negara, dengan dasar menjaga ketertiban umum.

Dalam beberapa kejadian, organisasi militan Islam memobilisasi kelompok masyarakat yang jauh lebih besar dan menyerang tempat-tempat ibadah komunitas minoritas. Kepolisian seringkali gagal menangkap para pelaku kekerasan. Pada Juli 2009, pemerintah daerah berusaha menyegel masjid yang menjadi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ketika anggota jemaah Ahmadiyah menghalangi mereka, ratusan penyeru anti-Ahmadiyah mencoba tutup paksa masjid, mengakibatkan luka ringan. Kepolisian tak melakukan penangkapan. Menteri Agama menyerukan pelarangan kegiatan Ahmadiyah, menyatakan kekerasan yang muncul disebabkan jemaah Ahmadiyah tak mematuhi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada 2008 yang mengharuskan jemaah Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran agama mereka.

Beberapa jemaah agama minoritas menangkap kesan bahwa pejabat pemerintah setempat menolak secara sewenang-sewenang untuk memberikan izin mendirikan rumah ibadah sebagai syarat hukum yang berlaku di Indonesia. Bagi mereka yang berusaha mendirikan rumah ibadah tanpa izin malah menghadapi serangan dan kekerasan. Pada Agustus 2010, para penentang menyerang suatu jemaah Prostestan di Bekasi, daerah pinggiran Jakarta. Ini dimulai saat jemaah memiliki surat tanah guna mendirikan tempat ibadah namun pemerintah setempat menolak memberikan izin serta menyegel dua rumah yang mereka gunakan untuk tempat ibadah. Sekitar 20 jemaah luka-luka, tapi pihak kepolisian tak melakukan penangkapan. Pada September 2010, para penentang menyerang dua panitua jemaah, salah satunya mendapatkan luka serius. Kepolisian menahan 10 tersangka, termasuk ketua Front Pembela Islam cabang Bekasi.13

Dari berbagai persoalan di atas, nampak bahwa bangsa Indonesia yang sejatinya menjunjung tinggi kebhinnekaan, semakin tergerus oleh munculnya ’ideologi baru’ yang bernama ’kekerasan’. Semakin bangsa ini menginggalkan Pancasila, maka semakin jauh

(19)

harapan para pendiri bangsa (founding father) untuk mewujudkan negara yang sejahtera, adil makmur berdasarkan Pancasila.

E. Kesimpulan

Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir. Substansi dari adanya dinamika dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.

Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara dari semua upaya perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warganegara Indonesia termasuk di dalam tentang kehidupan beragama yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard, Harvard University Press, 2008.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan pustaka firdaus).

Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble, Inc.

Kompas, 17 Juni 2004

Kompas, 23 Juni 2004

Metro TV, Live Talkshow tentang penggunaan pertamax bagi kendaraan pribadi, 5 Januari 2012.

Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992).

Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net. diakses 26 Desember 2011

Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam

Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.

Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM. Dalam

Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.

Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search for Community. Boulder, Westview Press, 1995.

Fernando J.M.M. Karisoh, http://www.psik-paramadina.org.

Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh : Saafroedin Bahar), Jakarta, PT. Midas Surya Grafindo.

Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4, Bandung, Penerbit Alumni.

Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow,

Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum

(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

--- 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.

Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.

Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke-6.

(21)

HUMAN RIGHTS, 1998. Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO.

UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966; 2001, 2003) dan PP RI No. 6 tahun 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi pihak sekolah, peneliti berharap agar penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa gambaran empiris mengenai peningkatan kemampuan asertif siswa melalui

Abu vulkanik yang terbang terbawa angin dapat menyebabkan polusi dan mengganggu kesehatan Dengan memanfaatkan abu vulkanik sebagai bahan pengganti sebagian agregat halus

Jika nilai produk/jasa industri dan volume barang/jasa sama besar, maka pilih kegiatan yang menghasilkan barang/jasa dengan waktu terlama d2. Jika nilai produk/jasa

(1) Melakukqn identifikasi dan evaluasi aset dan akses rumahtangga nelayan dalam merespon berbagai macam intervensi eksternal kebijakan kelembagaan, permodalan dan pemasaran

Permintaan tahunan sebuah item sebesar 2000 unit dengan ongkos pesan $10 dan ongkos simpan 40% dari harga per unit.. Perubahan

Penelitian tentang Quality of Work Life telah dilakukan sebelumnya, namun demikian penelitian tentang Quality of Work Life dengan melibatkan variabel Efektifitas

Luaran penelitian ini adalah : (1) Kondisi eksisting fasilitas penunjang bagi kaum disabilitas di Benteng Kuto Besak; (2) Mengetahui apakah elemen-elemen

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan, kemudahan penggunaan dan pengalaman berpengaruh terhadap minat nasabah dalam menggunakan internet