• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Hemoglobin Terdapat 3 jenis hemoglobin: hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower 2 dan Hb Portland), hemoglobin fetal (HbF) dan hemoglobin dewasa (HbA dan HbA2). Masing-masing jenis hemoglobin tersebut mempunyai susunan t

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Hemoglobin Terdapat 3 jenis hemoglobin: hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower 2 dan Hb Portland), hemoglobin fetal (HbF) dan hemoglobin dewasa (HbA dan HbA2). Masing-masing jenis hemoglobin tersebut mempunyai susunan t"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Hemoglobin

Terdapat 3 jenis hemoglobin: hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower 2

dan Hb Portland), hemoglobin fetal (HbF) dan hemoglobin dewasa (HbA dan

HbA2). Masing-masing jenis hemoglobin tersebut mempunyai susunan tertentu

pada rantai globin dan setiap rantai globin disintesis pada suatu kromosom yang

spesifik. Rantai epsilon, beta, gamma, dan delta dibentuk oleh gen yang terletak

dalam kromosom 11. Rantai alpha dan zeta dibentuk oleh gen pada kromosom 16

(Ciesla, 2007).

Fase Pertumbuhan Komponen hemoglobin Persentase (%) Kehamilan 1-2 bulan Hb Gower 1

Hb Gower 2 Kehamilan 3 bulan HbF

HbA

Tabel 2.1 Hemoglobin normal manusia pada berbagai fase pertumbuhan

(Wahiyidiyat & Amalia, 2012).

(2)

2.2 Talasemia

2.2.1 Klasifikasi

Berdasarkan letak defek dari sintesis rantai globin talasemia dibagi menjadi 2

kelompok (Bakta, 2006) :

1. Talasemia alfa : defek pada sintesis rantai alfa

2. Talasemia beta : defek pada sintesis rantai beta

Talasemia-α

Talasemia-α dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip dengan gejala klinis yang berbeda (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009). Secara normal terdapat empat

buah gen globin-α, beratnya penyakit secara klinis dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif (Hoffbrand, et al., 2005).

1. Talasemia-2-α trait (-α/αα)

Di sebut juga talasemia-αsilent carrier. Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai α (-α),yang diwarisi dari salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-α lainnya yang lengkap (αα), diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai normal. Penderita kelainan ini merupakan pembawa sifat yang tidak memberikan

gejala dan tanda ( an asymptomatic , silent carrier state). Kelainan ini ditemukan

pada 15-20% populasi keturunan Afrika (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

2. Talasemia-1-α trait (-α/-α atau αα/--)

Di sebut juga talasemia-α minor. Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk homozigot-α+ (-α/-α) atau heterozigot-α0 (αα/-) (Atmakusuma & Setyaningsih, 2009).

3. Hemoglobin H disease (--/-α)

Pada penderita ditemukan delesi tiga loki. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit

Hb H karena hemoglobin H (β4) dapat dideteksi dalam eritrosit pasien melalui pemeriksaan elektroforesis atau sediaan retikulosit. Pada janin, terbentuk Hb

(3)

4. Hydrops fetalis dengan Hb Bart’s (--/--)

Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Tidak adanya keempat gen akan menekan

sintesis rantai-α seluruhnya dan karena rantai α esensial penting untuk hemoglobin fetus dan dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk hidup biasanya

menyebabkan kematian in utero (hidrops fetalis) (Atmakusuma & Setyaningsih,

2009).

Talasemia-β

Talasemia-β dibagi dalam 4 kelompok : 1. Talassemia-β (silent carrier)

Merupakan penderita talasemia dengan variasi mutasi β yang heterogen, dimana hanya terjadi sedikit gangguan produksi rantai-β, sehingga hampir tidak ditemukan kelainan hematologis (Atmakusuma, 2009).

2. Talasemia-β minor (trait)

Keadaan ini biasanya tanpa gejala, ditandai dengan gambaran darah mikrositik

hipokrom (MCV dan MCH rendah) dan anemia ringan (hemoglobin 10-15 g/dl).

Kadar Hb A2 yang tinggi (>3,5%) memastikan diagnosis (Hoffbrand, et al.,

2005).

3. Talasemia intermedia

Kasus talasemia dengan derajat keparahan sedang (hemoglobin 7,0-10,0 g/dl)

(Hoffbrand, et al., 2005). Penderita talasemia-β intermedia secara klinis dapat berupa asimptomatik, namun kadang-kadang memerlukan transfusi darah yang

umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup (Atmakusuma &

Setyaningsih, 2009).

4. Talasemia-β mayor

Keadaan ini rata-rata terjadi pada 1 dari 4 anak bila kedua orang tuanya

merupakan pembawa sifat talasemia-β. Tidak ada rantai β atau sedikit rantai β yang disintesis. Rantai α yang berlebih berpresipitasi dalam eritroblas dan eritrosit matur, menyebabkan eritropoesis inefektif dan hemolisis berat (Hoffbrand, et al.,

(4)

2.2.2 Patofisiologi

Patofisiologi Talasemia-β Mayor

Pada talasemia beta, terjadi kelebihan rantai α yang mengendap pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan sel progenitor pada darah tepi. Presipitasi

ini akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan eritropoesis

yang tidak efektif, sehingga umur eritrosit menjadi pendek. Akibatnya, timbul

anemia. Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat

rantai γ, menghasilkan HbF extra uterine. Akibatnya, kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Keadaan ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Kombinasi anemia pada talasemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan

hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan

peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang,

metabolisme rate yang tinggi dan gambaran klinis talasemia β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa,

sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme. Pada limpa yang membesar

makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, yang dihancurkan oleh

sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan meningkatkan absorpsi

besi dan muatan besi. Beberapa gejala ini bisa diatasi dengan transfusi untuk

menekan eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Di dalam tubuh

besi terikat oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan, besi ini segera diikat

dalam timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak dapat merusak sel.

Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada

orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh, dan fraksi besi

yang tidak terikat transferin dapat terdeteksi di dalam plasma. Hal ini

mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di

jantung, hati dan kelenjar endokrin sehingga mengakibatkan kerusakan dan

(5)

Hal Yang Terjadi Manisfestasi

Mutasi primer terhadap produksi

globin

Sintesis globin tidak seimbang

Efek rantai globin berlebihan

terhadap survival eritrosit

Anemia

Efek eritrosit abnormal terhadap

fungsi organ

Splenomegali, hepatomegali dan

hiperkoagubilitas

Metabolisme besi yang abnormal Kerusakan jaringan hati, endokrin,

miokardium, kulit

Pengobatan Muatan besi berlebih, kelainan

tulang, infeksi yang ditularkan

lewat darah, toksisitas obat

(6)

2.2.3 Manisfestasi Klinis

Manisfestasi Klinis Talasemia-β

Sindrom Gambaran Laboratoris Gambaran Klinis

Talasemia-β mayor Anemia berat, gambaran eritrosit hipokrom,

poikilositosis, sel target,

sel teardrop,stippled dan

bernukleus. HbF dan

HbA2 meningkat. HbA

tidak ada sama sekali

atau mengalami

penurunan. Saturasi

transferrin > 80%.

Biasanya pada pada anak

berusia 6 bulan sampai 2

tahun dengan gejala

anemia berat. Jika tidak

diberikan transfusi akan

pipi dan dagu atas.

Pertumbuhan fisik juga

(7)

 (Drew, 2004). 

(Hollar, 2001). Gambar 2.2 Gambaran sel target

(Krafts, 2009).

Gambar 2.3 Gambaran mikrositik hipokrom pada pemeriksaan darah tepi talasemia minor 

(8)

2.2.4 Diagnosis

Algoritma pendekatan diagnosis talasemia

Untuk menegakkan diagnosis pasti talasemia, perlu dilakukan analisis hemoglobin

diantaranya dengan elektroforesis hemoglobin atau dengan HPLC ( high

performance liquid chromatography) (Vanichsetakul, 2011).

2.2.5 Penatalaksanaan

1. Severe beta-talasemia diseases dengan kadar hemoglobin < 7.0 gr/dl atau

hematokrit < 20 %

 Transplantasi sumsum tulang

 Transfusi darah

 Terapi kelasi besi Distribusi HbF intraseluler 

Pemeriksaan fisik 

(Pucat, ikterus, splenomegali, deformitas skeletal, pigmentasi) 

Laboratorium darah dan sediaan apus 

(Hemoglobin, MCV, MCH, retikulosit, jumlah eritrosit,  gambaran darah tepi/termasuk badan inklusi dalam eritrosit 

darah tepi atau sumsum tulang, dan presipitasi HbH) 

Elektroforesis hemoglobin 

(Adanya Hb abnormal, termasuk analsis pada pH 6‐7 untuk  HbH dan Hb Bart’s 

Penentuan HbA2 dan HbF  (Untuk memastikan talasemia‐β) 

(9)

 Asam folat

 Splenektomi (Vanichsetakul, 2011)

 Vitamin C (200 mg perhari) untuk meningkatkan ekskresi besi

 Terapi endokrin untuk merangsang hipofisis bila pubertas terlambat. Penderita osteoporosis mungkin memerlukan penambahan kalsium,

vitamin D dan bisfosfonat.

 Imunisasi hepatitis B diberikan pada semua pasien non imun. Pada

hepatitis C yang ditularkan lewat transfusi, diobati dengan interferon-α dan ribavirin (Hoffbrand, et al., 2005).

2. Moderately severe talasemia disease dengan kadar hemoglobin 7-9 gr/dl

atau hematokrit 20-27%

 Transfusi darah reguler dan kelasi besi pada beberapa kasus tertentu

 Transfusi darah sewaktu pada saat terjadi krisis hemolisis

 Splenektomi pada beberapa kasus tertentu (Vanichsetakul, 2011).

3. Mild talasemia diseases dengan kadar hemoglobin >9gr/dl atau hematokrit

>27%

 Transfusi darah sewaktu pada saat krisis hemolisis

 Asam folat (Vanichsetakul, 2011).

4. Asymptomatic or talasemia trait or carrier tidak membutuhkan terapi

spesifik (Vanichsetakul, 2011).

Transfusi darah

Pemberian transfusi mengurangi komplikasi anemia dan membantu pertumbuhan

dan perkembangan. Transfusi dilakukan pada kadar hemoglobin <6 gr/dl dalam

interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut. Regimen yang digunakan untuk

mempertahankan hemoglobin pada kadar 9,5 gr/dl menunjukkan penurunan

kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban besi tubuh, dibandingkan

(10)

dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, dan

diberikan vaksin hepatitis B (Permono & Ugrasena, 2012). Volume darah yang

ditransfusi tergantung dari beberapa faktor diantaranya berat badan, target

hemoglobin dan nilai hematokrit darah donor. Secara umum jumlah darah yang

ditransfusikan tidak boleh melebihi 15-20 ml/kg/hari untuk mencegah

peningkatan volume darah yang tiba-tiba (Surapon, 2011). Pasien harus diperiksa

genotipnya pada permulaan program transfusi untuk mengantisipasi bila timbul

antibodi eritrosit terhadap eritrosit yang ditransfusikan (Hoffbrand, et al., 2005).

Untuk mencegah reaksi transfusi diberikan darah segar yang telah disaring untuk

memisahkan leukosit dan komponen protein plasma (Weatherall, 2010).

Kelebihan besi merupakan konsekuensi yang paling penting dari transfusi pada

pasien talasemia (Permono & Ugrasena, 2012). Pasien yang menerima terapi

transfusi berulang tanpa terapi kelasi besi dapat mengalami berbagai kerusakan

jaringan akibat akumulasi besi (Borgna-Pignatti, et al., 2004).

Terapi kelasi besi

Terapi kelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi. Obat pilihan utama

adalah deferoxamine. Deferoxamine diberikan melalui infus dengan pompa

portable pada subkutan abdomen, biasanya diberikan pada malam hari selama

8-12 jam. Terapi kelasi dimulai pada saat serum ferritin mencapai 1000 µg/dl atau

setelah 12-15 kali transfusi darah (Weatherall, 2010). Penentuan konsentrasi

feritin serum atau plasma merupakan cara tersering yang digunakan untuk

estimasi tidak langsung dari simpanan besi tubuh terkait untuk terapi kelasi besi.

Interpretasi kadar feritin serum dapat dipegaruhi berbagi kondisi seperti defesiensi

askorbat, infeksi akut, inflamasi kronis, dan kerusakan hati, yang semuanya sering

terjadi pada pasien talasemia mayor. Oleh karena itu, konsentrasi feritin serum

bukan merupakan indikator yang tepat untuk kadar besi dan kepercayaan pada

hasil pengukuran dapat menyebabkan manajemen yang keliru pada pasien.

Pengukuran konsentrasi besi hati merupakan metode yang paling kuantitatif,

spesifik dan sensitif untuk mengukur kadar besi tubuh pada pasien talasemia.

(11)

dan sel Kupffer, aktivitas inflamasi dan gambaran histologi hati. Prosedur

dilakukan dengan bantuan USG (Permono & Ugrasena, 2012). Dosis awal

deferoksamin yang diberikan 20mg/kg selama 5 kali / minggu disertai dengan

pemberian vitamin C (Weatherall, 2010). Dengan pemberian kelasi besi yang

teratur, harapan hidup penderita talasemia mayor membaik secara nyata. Pada

beberapa kasus, terapi kelasi terus menerus yang intensif dengan deferioksamin

intravena dapat memperbaiki kerusakan jantung yang disebabkan penimbunan

besi. Walaupun demikian, pasien seringkali tidak patuh dan obat tersebut mahal.

Lagipula deferioksamin memiliki efek samping, terutama pada pasien dengan

kadar feritin rendah, berupa tuli nada tinggi, kerusakan retina, kelainan tulang dan

retardasi pertumbuhan (Hoffbrand, et al., 2005). Pasien yang menerima terapi

deferioksamin harus menjalani pemeriksaan auditorik dan funduskopi setiap

tahun. Mahal dan tidak nyamannya pemberian deferioksamin mendorong

penemuan agen kelator besi yang aktif secara oral. Agen ini merupakan 1,2

dimethyl-3 hydroxypyridin-4-one (deferipron,L1), yang dipatenkan tahun 1982

sebagai alternatif deferoksamin untuk pengobatan kelebihan besi kronis. Obat ini

dapat diberikan secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan deferoksamin.

Deferipron kurang efektif bila dibandingkan dengan deferioksamin. Efek samping

yang timbul berupa agranulositosis dan neutropenia (Permono & Ugrasena, 2012)

Splenektomi

Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan darah sampai 30% pada pasien yang

indeks transfusinya melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya resiko infeksi,

splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu

sebelum operasi, pasien harus diberi vaksin pneumococcal dan Haemophilus

influenzae tipe B (Permono & Ugrasena, 2012). Pemberian profilaksis dengan

penicillin, amoxicillin, atau erythromycin di rekomendasikan selama dua tahun

(12)

Transplantasi sumsum tulang

Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien talasemia, membebaskan pasien

dari transfusi kronis namun tidak menghilangkan kebutuhan terapi pengikat besi

pada semua kasus. Pengurangan konsentrasi besi pada hati hanya ditemukan pada

pasein muda dengan bebas besi rendah sebelum transplantasi. Baik flebotomi

maupun pemberian deferoksamin jangka pendek aman dan efektif untuk

menurunkan besi jaringan pada pasien “eks-talasemia” dan dapat dimulai 1 jam

setelah transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi hati > 7mg/kg berat

kering jaringan hati.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi sumsum tulang

(Permono & Ugrasena, 2012) :

1. Tingkat hepatomegali

2. Adanya fibrosis portal pada biopsi hati

3. Efektivitas terapi kelasi besi sebelum transplantasi

Pasien yang menjalani transplantasi tanpa faktor diatas (kelas I) memiliki

probabilitas overall survival (OS) 93% dan disease free survival (DFS) 91% .

Pasien dengan 1 atau 2 faktor resiko (kelas II) memiliki probabilitas OS 87% dan

DFS 79%. Sedangkan pasien dengan 3 faktor resiko (kelas III) memiliki

probabilitas OS 79% dan DFS 58% (Sayani, et al., n.d).

2.2.6 Komplikasi

1. Komplikasi jantung

Gagal jantung dan aritmia yang disebabkan kelebihan besi merupakan penyebab

kematian utama pada talasemia dengan persentase 60,2% dan 6,8%

(Borgna-Pignatti, et al., 2004).

2. Komplikasi hati

Gangguan hati merupakan komplikasi yang umum terjadi pasien talasemia

(13)

darah, kelebihan besi, toksisitas obat dan gangguan empedu akibat batu empedu

(Sayani, et al., n.d).

3. Komplikasi endokrin

Komplikasi yang umum berupa hipogonadism dan pubertas terlambat. Semua

pasien anak harus dievaluasi setiap tahun mulai umur 10 tahun. Hipogonadism

pada laki-laki ditandai dengan ukuran testis < 4ml dan pada perempuan ditandai

dengan tidak adanya perkembangan payudara sampai umur 16 tahun. (Sayani, et

al., n.d).

4. Komplikasi tulang

Kelainan tulang pada talasemia umum terjadi dan biasanya multifaktorial, dapat

terjadi akibat transfusi inadekuat, kelebihan besi, terapi kelasi besi berlebih dan

faktor endokrin lain. Faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya osteoporosis

dan osteopenia. Kelainan tulang biasanya bermanisfestasi dalam bentuk

deformitas skeletal, kegagalan pertumbuhan, arthropathy, dan fraktur patologis

(Sayani, et al., n.d).

5. Infeksi

Infeksi merupakan penyebab kematian kedua paling sering pada talasemia-β (Borgna-Pignatti, et al., 2004). Resiko infeksi pada talasemia disebabkan oleh

abnormalitas sistem imun yang dapat disebabkan oleh penyakit talasemia itu

sendiri ataupun efek dari pengobatan seperti transfusi, splenektomi dan

peningkatan besi. Menurut penilitian, pada pasien talasemia terjadi penurunan dari

sistem imun berupa defek fagositosis makrofag (Ricerca, et al., 2009). Hal ini

berhubungan dengan keadaan hiperaktivitas dari makrofag dalam memfagosit sel

– sel eritrosit yang lisis (Wiener, et al., 1999). Akibatnya aktivitas makrofag

untuk memfagosit mikroorganisme patogen menjadi terganggu. Transfusi darah

yang berulang, selain menambah kadar besi dalam tubuh juga meningkatkan

resiko penularan infeksi. Secara umum HBV, HCV, HIV, dan sifilis merupakan

agen infeksi yang paling sering ditularkan lewat transfusi. Upaya pencegahan

yang dapat dilakukan berupa skrining darah donor dan uji laboratorium (Ricerca,

et al., 2009). Peningkatan kadar besi dalam tubuh menyebabkan gangguan

(14)

limfosit pada berbagai kompartmen di sitem imun. Hal tersebut berhubungan

dengan kegagalan limfosit untuk mengeliminasi kelebihan besi pada feritin

(Walker & Walker, 2000).

2.3 Virus Hepatitis B

2.3.1 Virologi

Virus hepatitis B (HBV) termasuk golongan hepadnavirus dan merupakan

hepadnavirus yang pertama kali ditemukan. Virus ini mengandung DNA dengan

cincin ganda sirkular yang tersusun dari 3200 nukleotida (Arief, 2012).

HBV dapat ditemukan dalam 3 morfologi (Levinson, 2008) :

1. Partikel spheris dengan diameter 42 nm disebut juga Dane particle

2. Partikel spheris dengan diameter 22 nm

3. Partikel filamen dengan lebar 22nm

Bentuk yang paling banyak ditemukan adalah partikel sferis dan filamen

berdiameter 22nm. Partikel sferis dan filamen dengan ukuran 22 nm tersusun dari

antigen permukaan HbsAg dan tidak bersifat infeksisus (Levinson, 2008). Bagian

dalam dari virion hepatitis adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B

core antigen (HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase,transkiptase

dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam

core adalah hepatitis B e antigen (HbEAg). Antigen ini menunjukkan adanya

replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan hati (Arief,

(15)

HBV Virus hepatitis B

HbsAg Antigen permukaan hepatitis B

HbeAg Antigen hepatitis B; menunjukkan

replikasi

HbcAg Antigen inti hepatitis B

Anti-HBs Antibodi terhadap HBsAg.

Menunjukkan infeksi HBV masa

lalu dan imunitas terhadap HBV

Anti-Hbe Antibodi terhadap HbeAg

Anti-HBc Antibodi terhadap HbcAg.

IgM anti-HBc Antibodi golongan IgM terhadap

HbcAg. Menunjukkan infeksi HBV

yang baru terjadi positif 4-6 bulan

setelah infeksi

2.3.2 Epidemiologi dan Cara Penularan

Pada tahun 2000 WHO memperkirakan adanya 400 juta orang pengidap HBV.

Prevalensi infeksi HBV ditemukan lebih tinggi pada orang ras hitam

dibandingkan orang Hispanik dan kulit putih. Pola prevalensi hepatitis B di bagi

menjadi (Pyrsopoulos & Reddy, 2011) :

 Prevalensi rendah (0,1-2%) termasuk Kanada, Eropa Barat dan New Zealand.

 Prevalensi sedang (3-5%) termasuk Eropa Utara dan Timur, Jepang,

Amerika Selatan dan Asia Tengah.

 Prevalensi tinggi (10-20%) termasuk Cina, Indonesia, Pulau Pasifik dan Asia Tenggara.

(Brooks, et al., 2008).

(16)

Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar

didapatkan angka prevalensi antara 2,5 % - 36,2 % (Arief, 2012). . Skrining rutin

HbsAg pada darah donor dapat menurunkan insiden penularan infeksi HBV

melalui transfusi (Drew, 2004).

Penularan infeksi HBV dapat melalui berbagai cara (Sanityoso, 2009) :

 Melalui darah : penerima transfusi, pasien hemodialisis

 Transmisi melalui hubungan seksual

 Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa: tertusuk jarum, penggunaan ulang alat medis yang terkontaminasi, tato, akupuntur

 Transmisi maternal-neonatal

2.3.3 Gejala Klinis

Gejala klinis infeksi HBV dapat bervariasi. Masa inkubasinya antara 7-160 hari

(rata- rata 10 minggu) (Drew, 2004).

1. Hepatitis akut

Infeksi HBV kadang dapat berupa asimtomatis. Ini terbukti dari tingginya angka

karier tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala, gejalanya

menyerupai infeksi virus hepatitis lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.

Gejala yang muncul berupa flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual muntah,

ikterus, hepatomegaly dan berlangsung selama 6-8 minggu. Dari pemeriksaan lab

didapatkan peningkatan ALT dan AST sebelum timbul gejala klinis, yaitu 6-7

minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus, infeksi HBV dapat didahului

gejala nyeri sendi dan lesi kulit (Arief, 2012).

2. Hepatitis kronis

Dikatakan hepatitis kronik bila penyakit menetap, dan ditandai dengan

terdeteksinya HbsAg selama minimal 6 bulan (Arief, 2012). Hepatitis kronis lebih

sering dijumpai pada bayi, kemungkinan karena sistem imun yang belum matang

(17)

menyebabkan sirosis, gagal hati atau karsinoma hepatoseluler pada 25% pasien.

Sebagian besar penderita hepatitis kronis bersifat asimtomatis (Drew, 2004).

3. Gagal hati fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal

hati fulminan ditandai dengan timbulnya enselofati hepatikum dalam beberapa

minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan

pembekuan dan peningkatan kadar aminotransferase (Arief, 2012).

4. Pengidap sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar

aminotransferase dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis

(18)

2.3.4 Diagnosis

Dasar diagnosis infeksi HBV adalah diagnosis klinis dan serologi.

HBsAg Anti-HBs Anti-HBc Interpretasi

Positif Negatif Negatif Infeksi HBV akut awal

Positif Positif/negatif Positif Infeksi HBV akut maupun kronik.

Bedakan dengan IgM anti-HBc.

Tentukan tingkat aktivitas replikatif

dengan HbeAg atau DNA HBV

Negatif Positif Positif Menunjukkan infeksi HBV yang

lalu dan kekebalan terhadap

hepatitis B

Negatif Negatif Positif Kemungkinannya mencakup: pernah

infeksi HBV, karier HBV; periode

window period’ antara hilangnya

HbsAg dan munculnya anti-HBs;

atau reaksi positif palsu. Periksa

dengan IgM anti-HBc, periksan

dengan vaksin HbsAG, atau

keduanya. Bila ada, anti-Hbe

membantu memvalidasi reaktivitas

anti-HBc

Negatif Negatif Negatif Agen infeksius lain; cedera

toksik terhadap hati,

penyakit herediter pada hati

Negatif Positif Negatif Respon tipe vaksin

(Brooks, et al., 2008). 

(19)

2.3.5 Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan hepatitis B adalah suportif dan pemantauan gejala

penyakit (Arief, 2012).

1. Istirahat

Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat (Mansjoer, et al.,

2009).

2. Diet

Pada pasien hepatitis akut dan kronis idak ada rekomendasi diet khusus. Usahakan

asupan kalori cukup (30-35 kalori/kgBB) dan protein cukup (1g/KgBB). Pasien

dengan sirosis dekompensata, dianjurkan asupan Na (1,5 gr/hari), diet tinggi

protein dan pada kasus hiponatremia pemberian cairan dibatasi (1,5L/hari)

(Pyrsopoulos & Reddy, 2011).

3. Medikamentosa

(Brooks, et al., 2008).

(20)

Interferon alfa (IFN-a), lamivudine, telbivudine, adefovir, entecavir, dan

tenofovir merupakan obat utama yang diberikan pada hepatitis B (Pyrsopoulos &

Reddy, 2011).

2.3.6 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksin atau imunoglobulin

(Levinson, 2008). Vaksin diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid,

diulang pada 1 dan 6 bulan kemudian. Imunglobulin biasanya diberikan pada bayi

yang lahir dari ibu dengan HbsAg postiif (Pyrsopoulos & Reddy, 2011).

2.4 Virus Hepatitis C

2.4.1 Virologi

Virus hepatitis C merupakan virus RNA, termasuk dalam famili flaviviridae. HCV

berbentuk sferis dengan diameter 30-60 nm dan terdiri atas 9413 nukleotida

(Arief, 2012). Berdasarkan analisis sekuens RNA , HCV dapat dibedakan menjadi

6 genotip dan lebih dari 70 subtipe (Brooks, et al., 2008). Variasi genom ini

memungkinkan HCV dapat menghindari respon imun tubuh dan menyebabkan

infeksi yang persisten (Arief, 2012).

2.4.2 Epidemiologi dan Cara Penularan

Survey epidemiologi memperkirakan terdapat 170 juta pengidap HCV di seluruh

dunia (Dhawan, 2013). Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara

0,5-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari

seluruh populasi. Di Indonesia pada pemeriksaan daroh donor di kota-kota besar

didapatkan prevalensi di Jakarta 2,5% , Surabaya 2,3% , Medan 1,5% dan

Bandung 2,7%. Pada penilitian pada subjek yang lebih khusus, didapatkan

penderita hemodialisis sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%

dan penderita talasemia yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4% (Arief,

2012).

(21)

1. Darah (predominan)

2. Transmisi seksual

3. Maternal-neonatal

2.4.3Gejala Klinis

1. Hepatitis C akut

Masa inkubasi HCV 2-30 minggu . Penderita biasanya tidak menunjukkan gejala

dan apabila ada gejalanya tidak spesifik yaitu seperti rasa lelah, lemah, anoreksia,

dan penurunan berat badan. Sehingga hepatitis C pada fase akut jarang

terdiagnosis (Arief, 2012).

2. Hepatitis C kronis

Kebanyakan 85% penderita hepatitis C akut akan berkembang menjadi kronik.

Gejala yang timbul biasanya tidak sepesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia,

gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita dapat menunjukkan

gejala ekstrahepatik yang meliputi gejala hematologis, autoimun , mata,

persendian dan sistem saraf (Arief, 2012).

3. Sirosis hati

Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara

20%-30%. Gejala klinis yang muncul biasanya minimal sampai timbulnya

komplikasi akibat sirosis (Arief, 2012).

4. Karsinoma hepatoseluler

Resiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada penderita sirosis karena hepatitis

berkisar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya

karsinoma hepatoseluler berkisar antara 10-50 tahun (Arief, 2012).

2.4.4 Diagnosis

Pemeriksaan HCV dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologis dan

pemeriksaan molekular (Gani, 2009).

1. Pemeriksaan serologis

Karena antigen hepatitis C tidak dapat ditemukan pada darah, dilakukan

(22)

mendeteksi antibodi terhadap HCV (anti-HCV) (Drew, 2004). Antibodi anti-HCV

dapat terdeteksi pada 50-70% pasien saat muncul gejala, sedangkan pada lainnya

antibodi dapat muncul terlambat dalam 3-6 minggu (Brooks, et al., 2008). Untuk

menghindari false positive perlu di lakukan tes konfirmasi dengan RIBA

(recombinant immunoblot assay. Apabila ditemukan positif, dilanjutkan

pemeriksaan molekuler dengan PCR (Levinson, 2008).

2. Pemeriksaan molekular

Pemeriksaan molekular bertujuan untuk mendeteksi RNA HCV. RNA HCV yang

positif menandakan infeksi virus yang aktif (Levinson, 2008).

2.4.5 Penatalaksanaan

Tujuan dari pengobatan infeksi HCV adalah untuk mengeradikasi virus dan

mencegah terjadinya sirosis dan karsinoma hepatoseluler (Arief, 2012).

Pemberian terapi antivirus ditujukan pada pada penderita hepatitis kronik dan

penderita dengan peningkatan serum ALT (Dhawan, 2013). Terapi yang

dianjurkan adalah kombinasi interferon dan ribavirin (Arief, 2012).

(Brooks, et al., 2008).

(23)

2.4.6 Pencegahan

Tindakan pencegahan infeksi HCV yang dapat dilakukan berupa (Brooks, et al.,

2008) :

1. Melakukan skrining pada pendonor darah, plasma, organ, jaringan dan

semen

2. Inkativasi virus pada produk yang berasal dari plasma

3. Pengadaan penyuluhan dan seminar

2.5 HUMAN IMMUNODEFECIENCY VIRUS (HIV)

2.5.1 Virologi

HIV termasuk dalam golongan famili retroviridae, anggota genus Lentivirus

(Brooks, et al., 2008). Berdasarkan genomnya HIV dibagi menjadi dua grup yaitu

HIV-1 dan HIV 2. HIV-1 tersebar diseluruh dunia sedangkan penyebaran HIV-2

hanya terbatas pada Afrika Barat. Virion HIV-1 memiliki diameter 100 nm dan

tersusun dari dua molekul RNA yang dinamakan diploid. Genom RNA dibungkus

oleh protein nukleokapsid dan kompleks protein RNA nya dibungkus oleh kapsid

yang tersusun dari beberapa subunit. HIV mengandung 3 gen struktural utama

yaitu: gag, pol dan env. Gen gag berfungsi untuk mengkode protein struktural

matrix dan nukleokapsid. Gen pol untuk mengkode enzim reverse tranciptase,

polymerase dan integrase yang penting untuk replikasi virus. Gen env berfungsi

untuk mengkode glikoprotein gp120 dan gp14 yang akan berikatan dengan protein

CD4 dan sel target (Levinson, 2008).

(24)

Sindrom AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat pada

sekelompok homoseksual yang menderita Kaposi sarkoma dan infeksi

oportunistik lainnya yang disertai dengan penurunan CD4+ dan limfosit T

(Champoux & Drew, 2004)

Menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2008,

sebanyak 33,4 juta orang menderita infeksi HIV di seluruh dunia. Angka ini telah

mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006 (39,5 juta). UNAIDS

memperkirakan 2,7 juta orang merupakan penderita baru dan 2 juta orang

meninggal akibat AIDS pada tahun 2008 (Bennett, 2013).

Dari tahun 1985 sampai 1996,kasus AIDS jarang ditemukan di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1999 kasus AIDS mulai meningkat tajam yang terutama

disebabkan akibat penularan melalui jarum suntik narkotika. Departemen RI pada

tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV

adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban & Djauzi, 2009).

Titer HIV yang tinggi ditemukan pada darah dan semen. Infeksi HIV ditularkan

melalui 3 cara yaitu: melaui kontak seksual, melalui transfusi darah, dan dari ibu

ke anak selama masa kehamilan. Adanya penyakit menular seksual lain seperti

gonorea, sifilis atau herpes simpleks-2 meningkatkan resiko transmisi HIV

sebanyak seratus kali lipat karena inflamasi dan luka lecet mempermudah

perpindahan HIV melalui sawar mukosa (Brooks, et al., 2008)

2.5.3 Diagnosis

Diagnosis infeksi HIV biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan antibodi atau

dengan mendeteksi RNA virus. Pemeriksaan antibodi biasanya dilakukan dengan

metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Setelah pemeriksaan

ELISA kemudian dilanjutkan dengan Western Blot analysis untuk menyingkirkan

kemungkinan false postitive (Levinson, 2008). False positive dapat terjadi pada

kondisi autoimun, gagal ginjal, hemodialisis, transfusi darah, vaksin hepatitis B

dan rabies. Pada pemeriksaan antibodi, perlu diperhatikan adanya ‘window

(25)

yang dapat terdeteksi dengan pemeriksaan (Mahajan, et al., 2010). Window period

pada HIV biasanya berlangsung selama 3-4 minggu setelah infeksi (Brooks, et al.,

2008). Analisis PCR dapat digunakan untuk memastikan infeksi HIV pada fase

window period ini (Levinson, 2008).

2.5.4 Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksanaan AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu (Djoerban

& Djauzi, 2009) :

1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral

(ARV)

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyerta seperti jamur,

tuberkulosis, hepatitis, toxoplasma, sarkoma kaposi, dan kanker serviks

3. Pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik

dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan

dukungan keagamaan.

2.5.5 Pencegahan

Ada beberapa jenis program yang direkomendasikan WHO di antaranya

(Djoerban & Djauzi, 2009):

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda

2. Program penyuluhan sebaya untuk berbagai kelompok sasaran

3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik

4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika

5. Program pendidikan agama

6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual

7. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat

 

 

Gambar

Tabel 2.1 Hemoglobin normal manusia pada berbagai fase pertumbuhan
Tabel 2.2 Patofisiologi Talasemia-β
Gambar 2.2 Gambaran sel target  (Krafts, 2009).
Tabel 2.4 Antigen dan antibodi virus hepatitis B
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa ekstrak yang didapat melalui metode soxhletasi dan dipekatkan dengan oven selama 1 jam dengan suhu 100 ⁰ C memiliki aktivitas

Singkapan andesit yang ditemukan disekitar titik mata air panas 2 diduga merupakan bagian dari Formasi Batuan Gunungapi Bilungala (Tmbv).. Sumber panas daerah

Pada penelitian ini salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan derajat kemiringan pada Self-Stabilizing 2-Axis adalah dengan menggunakan

Penyakit malaria yang disebabkan oleh species ini disebut juga “Malaria tertiana maligna”, adalah merupakan penyakit malaria yang paling ganas yang menyerang

Jika ditemukan kesalahan, harap melapor kepada bapak Irvansius Sidabalok (Tata Usaha) agar diganti.. Untuk legalisir SKL, paling banyak

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan dokter umum dan dokter spesialis THT dalam mengenali gejala klinis pada kasus

Perbedaan jumlah pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani ikan mas sistem keramba jaring apung ini dipengaruhi oleh perbedaan jumlah biaya yang dikeluarkan

Jumlah eritrosit dalam darah ikan lele yang dipelihara dengan teknologi biofloc berada pada tingkat yang lebih rendah dari normal maupun nilai eritrosit pada ikan lele