• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Pengertian Filariasis - Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Pengertian Filariasis - Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis

2.1.1 Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut (Depkes RI, 2009c).

2.1.2 Gejala Klinis Filariasis

(2)

2.1.2.1 Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan

Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d). 2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis

A. Limfedema

Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi

Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.

B. Lymph Scrotum

(3)

dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar.

C. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan.

D. Hidrokel

Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut : 1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,

sehingga penis tertarik dan tersembunyi . 2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

(4)

4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2009d).

2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.

(5)

Tabel 2.1 Stadium Limfedema

Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas

Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009) 2.1.4 Diagnosis

Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008) :

2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi

(6)

2.1.4.2 Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

2.1.4.3 Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen

Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis brugia.

2.1.5 Patogenesis

(7)

tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d):

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel

Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri, yaitu :

(8)

(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe. (4) Abses

(5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.

b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya.

5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).

2.1.6 Epidemiologi Filariasis

2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person)

(9)

Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin laki-laki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan berpenghasilan rendah 80%).

2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)

(10)

(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan.

2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time)

Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007 kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699 kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah penduduk) (Kemenkes RI, 2010b).

2.1.6.4 Determinan Filariasis

A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis)

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu

(11)

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a), yaitu :

1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk

Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp

yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik

(12)

6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah

Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a).

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar.

b. Mikrofilaria

(13)

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa

No Karakteristik Wuchereria bancrofti

Brugia malayi

Brugia timori

1. Gambaran umum dalam sediaan darah 2. Perbandingan lebar dan

panjang ruang kepala

1 : 1 1 : 2 1 : 3

3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna

4. Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325

7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke arah ujung

Ujung agak tumpul

Ujung agak tumpul

Sumber :Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009)

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk

(14)

3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.

B. Faktor Host 1) Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a).

2)Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a).

3)Imunitas

(15)

4)Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009a). C. Faktor Environment (Lingkungan)

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI, 2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. C.1 Lingkungan Fisik

(16)

(1) Suhu Udara

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012). (2) Kelembaban Udara

Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India. Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti dkk, 2010).

(3) Curah Hujan

(17)

(4) Air

Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk

Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri, 2012).

(5) Angin

Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14 m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini

(18)

(6) Sinar Matahari

Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar matahari (Boesri, 2012).

(7) Rumah

Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela, ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari, 2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010).

C.2 Lingkungan Biologis

(19)

pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan

Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004).

Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih

cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan

beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan

Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia

uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk

Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah

menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan

telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa

rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al

dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar

tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis.

(20)

intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut (Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk, hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak dari rumah.

C.3 Lingkungan Sosial

(21)

selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I: 1,40-8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60). 2.1.7 Penetapan Endemisitas

Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate

bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria

Mf Rate = x 100%

Jumlah sediaan darah diperiksa

(22)

kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b).

2.1.8 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :

1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Depkes, 2009a).

(23)

2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.

Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor

Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor

Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor

Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris

merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies

(24)

3) Manusia yang rentan terhadap filariasis.

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)

(25)

dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti

memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

(26)

Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari.

Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).

Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap nyamuk terlalu banyak maka nyamuk akan mati dan apabila jumlah parasit sedikit maka hanya sebagian kecil yang terisap oleh nyamuk. Menurut Atmosoedjono et al.,

(27)

lingkungan yang potensial bagi perkembangan vektor filariasis, kebiasaan berisiko yang dapat menimbulkan kerentanan, perjalanan penyakit, siklus hidup parasit dan vektor itu sendiri.

2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis 2.1.9.1 Siklus Hidup Nyamuk

Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadia dengan 3 stadia berkembang di dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas (Nurmaini, 2003):

1)Nyamuk Dewasa

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk ( Nurmaini, 2003). Kettle dalam Boesri (2012) menyatakan bahwa perkembangan telur nyamuk

(28)

2) Telur Nyamuk

Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya :

-Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air, dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga (Nurmaini, 2003). Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air (Boesri, 2012).

-Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air satu persatu atau rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini, 2003).

(29)

3)Jentik nyamuk

Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulu-bulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator (Nurmaini, 2003). Horsfall dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia uniformis dapat hidup terbenam dalam suatu massa ikatan sebagai sampah di sekitar sistem perakaran tumbuhan air, akan memakan segala macam partikel organik yang ada disekitarnya, akan tetapi larva ini pula dapat menjadi mangsa binatang kecil/protozoa lainnya yang menjadi musuhnya.

4)Kepompong

(30)

Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp

Sumber

_conquillettidia_mansonia.htm.

2.1.9.2 Tempat Berkembangbiak (Breeding Places)

Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places).

Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia

senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis

digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis

(31)

tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut mempunyai kedalaman 15-100 cm (Wharton dalam Boesri, 2012). Culex dapat berkembang di sembarangan tempat air, sedangkan Aedes hanya dapat berkembangbiak di air yang cukup bersih dan tidak beralaskan tanah langsung (Nurmaini, 2003).

2.1.9.3 Kebiasaan Menggigit

Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda –beda, nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan aktif pada malam hari (Wharton dalam Boesri, 2012). Aktifitas Mansonia uniformis

(32)

2.1.9.4 Kebiasaan Beistirahat (Resting Places)

Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2 -3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat (Nurmaini, 2003).

Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia

menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3 - 4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 – 3,8 hari untuk Mansonia indiana. Wharton dalam Boesri (2012) juga telah menemukan banyak nyamuk Mansonia uniformis di celah-celah batu dibawah rumput-rumputan.

2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis 2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor

Prinsip utama agar terhindar atau mencegah infeksi mikrofilaria positif dan filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor menggunakan spraying dan

(33)

lingkungan; dan 2) reductionvector densities dengan pengendalian kimiawi (insektisida) maupun biologis (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).

Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan lingkungan sebagai berikut : 1) memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan maksud mengurangi penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawa-rawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp ; dan 4) meningkatkan penggunaan polystylene balls sebagai usaha membunuh/mencegah perkembangan larva menjadi pupa terutama nyamuk Culex quenquefasciatus. Usaha pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas ternyata dapat menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).

(34)

2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat

Warga masyarakat diharapkan bersedia datang dan mau diperiksa darahnya pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah (survei darah jari), bersedia minum obat secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan petugas, memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan bila menemukan penderita filariasis, dan bersedia bergotong royong membersihkan sarang nyamuk atau tempat perkembangbiakan nyamuk(Widoyono, 2011).

2.1.10.3 Pengobatan Massal

Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai penularannya. Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6 mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali setahun selama minimal 5 tahun (Depkes, 2009d).

2.1.10.4Pengobatan Kasus Klinis (Individual)

(35)

diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti obat demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder :

• Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya

diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut.

• Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x

(36)

2.2 Landasan Teori

Fenomena Gordon merupakan konsep yang menjelaskan timbulnya penyakit secara epidemiologi berdasarkan teori lingkungan (ekologi). Fenomena Gordon menyatakan bahwa suatu penyakit timbul karena adanya gangguan terhadap keseimbangan Host-Agent-Environmnet (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Teori segitiga epidemiologi juga menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit yaitu pejamu (host), agen (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan pada satu komponen akan mengubah keseimbangan tiga komponen lainnya (Murti, 2003). Demikian halnya dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis klinis yang terjadi akibat perubahan komponen lingkungan sehingga mempengaruhi pejamu.

AGEN

VEKTOR

PEJAMU LINGKUNGAN

Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi

(37)

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Komponen untuk terjadinya mikrofilaria positif dan filariasis yaitu :

(1) Agen

Agen penyebab dari mikrofilaria positif dan filariasis adalah cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori baik dalam bentuk makrofilaria (cacing dewasa), mikrofilaria dan larva infektif (L3). Di Sumatera Utara, filariasis disebabakan oleh Brugia malayi.

(2) Pejamu

Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Di Indonesia semua spesies cacing filaria dapat menginfeksi manusia, hanya Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung, kera dan kucing.

(3) Lingkungan

(38)

(4) Vektor

Telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis di Indonesia. Di Sumatera Utara yang menjadi vektor utama filariasis adalah nyamuk Mansonia uniformis.

2.3 Kerangka Konsep

Variabel independen Varabel dependen

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian Lingkungan Fisik :

-Keberadaan kawat kasa -Konstruksi plafon

Kejadian Mikrofilaria Positif

dan Filariasis Lingkungan Biologis:

-Keberadaan Tanaman di sekitar rumah

-Keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah

Lingkungan Sosial : - Pekerjaan

- Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari - Kebiasaan Memakai Kelambu - Kebiasaan Memakai Obat Anti

Gambar

Tabel 2.1 Stadium Limfedema
Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)
Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp
Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi
+2

Referensi

Dokumen terkait