PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013
T E S I S
Oleh
IRIANTI 117032076/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Megister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRIANTI 117032076
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN
TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Irianti Nomor Induk Mahasiswa : 117032076
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua
(Ir. Evi Naria, M.Kes) Anggota
Dekan
Telah diuji
Pada Tanggal : 31 Juli 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes
PERNYATAAN
PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN
LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam pustaka.
Medan, Agustus 2013
ABSTRAK
Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka
Mf rate 0,17% dan 0,67%.
Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.
Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.
Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.
ABSTRACT
Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were 11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.
The purpose of this analytical observational study with case-control design was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and 56 persons for control group. The data for this study were obtained through interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.
The result of bivariate analysis showed that the variables with significant influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction, the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping.
The existence of plants around the house was the factor with the strongest influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the house, as well as the need for education about filariasis.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan
Komunitas/Epidemiologi.
Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan,
bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis
yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
5. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah
banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.
6. Ir. Indra Cahaya, M.Si selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan
masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.
7. Drs. Jemadi, M.Kes selaku Anggota Penguji yang telah banyak memberikan
masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.
8. Hasnan Hajar, S.K.M, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu
Selatan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
9. dr. Herwanto, Sp. B., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan yang
telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Asahan.
10. Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah, selaku orang tua yang telah
banyak memberikan bantuan, motivasi, dan doa selama penulis menyelesaikan
pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.
11. Suamiku tercinta Edy Rahman Syahputra, S.E dan putriku Asyla Nazhira Nuha,
serta Anakku Desy Arnita, S.Pd yang telah banyak berkorban selama penulis
12. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.
13. Keluarga Besar Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan
terima kasih semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat
bermanfaat.
Medan, Agustus 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Irianti, lahir pada tanggal 12 Februari 1981 di Kisaran, anak ke tujuh dari
tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah.
Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar
Negeri No. 014697 Kisaran, selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP
Negeri 1 Air Joman Kisaran, selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 2 Kisaran, selesai tahun 2000, dan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2004.
Penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2005
sampai 2008, bekerja di Dinas Kesehatan Kota Langsa pada tahun 2009, dan bekerja
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Hipotesis ... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Filariasis ... 10
2.1.1 Pengertian Filariasis ... 10
2.1.2 Gejala Klinis ... 11
2.1.2.1 Gejala Akut ... 11
2.1.2.2 Gejala Kronis ... 11
2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema ... 13
2.1.4 Diagnosis... 14
2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi ... 14
2.1.4.2 Diagnosis Radiodiagnosis ... 15
2.1.4.3 Diagnosis Imunologi ... 15
2.1.5 Patogenesis ... 15
2.1.6 Epidemiologi Filariasis ... 17
2.1.6.1Distribusi Menurut Orang ... 17
2.1.6.2Distribusi Menurut Tempat ... 18
2.1.6.3Distribusi Menurut waktu ... 19
2.1.6.4Determinan Filariasis ... 19
2.1.7 Penetapan Endemisitas ... 30
2.1.8 Rantai Penularan ... 31
2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis ... 36
2.1.9.3Kebiasaan Menggigit ... 40
2.1.9.4Kebiasaan Beristirahat ... 41
2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis ... 41
2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor ... 41
2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat ... 43
2.1.10.3 Pengobatan Massal ... 43
2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual) ... 43
2.2 Landasan Teori ... 45
2.3 Kerangka Konsep ... 47
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 48
3.1 Jenis Penelitian ... 48
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 48
3.2.2 Waktu Penelitian ... 48
3.3 Populasi dan Sampel ... 49
3.3.1 Populasi ... 49
3.3.2 Sampel... 49
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51
3.4.1 Jenis Data ... 51
3.4.2 Pengumpulan Data ... 52
3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 52
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54
3.6 Metode Pengukuran ... 57
3.7 Metode Analisis Data ... 60
3.7.1 Analisis Univariat ... 60
3.7.2 Analisis Bivariat ... 60
3.7.3 Analisis Multivariat ... 61
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 62
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 62
4.2 Gambaran Umum Kabupaten Asahan ... 64
4.3 Analisis Univariat ... 67
4.4 Analisis Bivariat ... 76
4.4.1 Faktor Lingkungan Fisik ... 76
4.4.2 Faktor Lingkungan Biologis ... 78
4.4.3 Faktor Lingkungan Sosial ... 79
4.4 Analisis Multivariat ... 81
BAB 5. PEMBAHASAN ... 86
5.2.1 Pengaruh Keberadaan Rawa-Rawa terhadap Kejadian
Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 86
5.2.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 88
5.2.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 89
5.2.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 90
5.2.5 Pengaruh Keberadaan Kawat Kassa pada Ventilasi Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 91
5.2.6 Pengaruh Konstruksi Plafon terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 92
5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 93
5.2.1 Pengaruh Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 93
5.2.2 Pengaruh Keberadaan Keberadaan Hewan Peliharaan di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 95
5.3 Pengaruh Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 96
5.3.1 Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 96
5.3.2 Pengaruh Kebiasaan Keluar pada Malam Hari terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 97
5.3.3 Pengaruh Kebiasaan memakai Kelambu Sewaktu Tidur terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 99
5.3.4 Pengaruh Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Sebelum Tidur terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 100
5.4 Faktor Paling Dominan ... 100
5.5 Keterbatasan Penelitian ... 103
BAB 6. KESIMPULAN ... 105
6.1 Kesimpulan ... 105
6.2 Saran ... 105
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1 Stadium Limfedema ... 14
2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa ... 22
3.1 Rekapitulasi Nilai OR dari Penelitian Terdahulu ... 50
3.2 Hasil Uji Validitas ... 53
3.3 Hasil Uji Reliabilitas ... 54
3.4 Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur ... 57
4.1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 ... 63
4.2 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan Swasta di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 ... 64
4.3. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Asahan Tahun 2011 ... 66
4.4 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan Swasta di Kabupaten Asahan Tahun 2011 ... 67
4.5 Distribusi Frekuensi Kasus Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2012 ... 67
4.6 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 68
4.8 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Biologis di Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013 ... 73
4.9 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Sosial di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan
Tahun 2013 ... 74
4.10 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 76
4.11 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 78
4.12 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu
Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 80
4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Konstruksi Plafon, Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah, Kebiasaan Keluar
pada Malam Hari dan Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis ... 33
2.2 Nyamuk Mansonis spp ... 38
2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1 Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 112
2 Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi... 113
3 Jadwal Penelitian ... 118
4 Master Data ... 119
5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 123
6 Hasil Analisis Univariat ... 126
7 Hasil Analisis Bivariat ... 127
8 Hasil Analisis Multivariat ... 142
9 Hasil Uji Normalitas ... 151
10 Peta Wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 152
11 Peta wilayah kabupaten Asahan ... 153
12 Dokumentasi Penelitian ... 154
13 Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 160
14 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 162
ABSTRAK
Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka
Mf rate 0,17% dan 0,67%.
Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.
Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.
Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.
ABSTRACT
Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were 11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.
The purpose of this analytical observational study with case-control design was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and 56 persons for control group. The data for this study were obtained through interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.
The result of bivariate analysis showed that the variables with significant influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction, the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping.
The existence of plants around the house was the factor with the strongest influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the house, as well as the need for education about filariasis.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria (Kemenkes RI, 2010a). Filariasis merupakan
penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang hidup didalam sistem limfe dan
ditularkan dengan perantara nyamuk (Soeyoko, 2002).
Menurut WHO dalam Soeyoko (2002) filariasis limfatik dikategorikan dalam
enam penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra. Filariasis limfatik tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim
tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis seperti Afrika, India,
Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan
yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap. Meskipun filariasis tidak
menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya
kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini dikarenakan bila
terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja
secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat
menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 trilyun
rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular
filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39
dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun
2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang
berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir,
Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat
pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko
filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang
menerima perawatan (WHO, 2010).
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara
diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO dalam
Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah menginfeksi lebih
dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat
di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis
filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia dengan jumlah
penduduk terbanyak dan wilayah yang luas memiliki masalah filariasis yang
Filariasis termasuk salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pedesaan (Soeyoko dkk,
2008).Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama
wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000
hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar
di 401 Kabupaten/kota dan diestimasikan prevalensi Microfilaria rate (Mf rate)
sebesar 19% (Kemenkes RI, 2010a).
Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40% dengan endemisitas
setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas
dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei
tersebut hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis sebesar 67% (335
dari 495 kabupaten/kota), sebesar 0,6% (3 kabupaten/kota) tidak endemis filariasis,
dan 157 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada
tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan
survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi
71,9% (356 dari 495 kabupaten/kota) sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak
endemis filariasis (Kemenkes RI, 2010b). Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) persentase kejadian
filariasis sebesar 0,04%, yaitu dalam kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 424
responden menjawab pernah menderita filariasis. Di Kabupaten Kepulauan Yapen
rate sebesar 2,06% (Sulistiyani dkk, 2012). Di Kabupaten Bonebolango Propinsi Gorontalo di dapatkkan 105 positif mikrofilaria (Mf rate=34,4%) dari 326 sediaan darah jari yang diperiksa (Soeyoko dkk, 2008). Di Kelurahan Simbang Kulon
Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan mendapatkan 9 slide positif dari 230 slide
yang diperiksa dengan angka Mf rate 3,91% (Wijayanti, 2009).
Di Propinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2012 telah dilaporkan
sebanyak 70 kasus filariasis klinis. Kasus filariasis ini tersebar di 7 kabupaten/kota
dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Kota Binjai (1 kasus), Kota
Gunung Sitoli (3 kasus), Kabupaten Asahan (28 kasus), Kabupaten Labuhan Batu
Selatan (28 kasus), Kabupaten Mandailing Natal (9 kasus), dan Kabupaten Nias
Selatan dan Samosir (masing-masing 1 kasus). Berdasarkan survei darah jari yang
dilakukan BTKLPP (Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit)
Kelas I Medan tahun 2012 di 16 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara,
diperoleh angka Mf rate 0,07% yaitu ditemukan 5 sediaan positif mikrofilaria dari 7.200 sediaan yang diperiksa, yang tersebar di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (1
orang dengan Mf rate 0,17%), di Kabupaten Asahan (2 orang dengan Mf rate 0,67%) dan di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (2 orang dengan Mf rate 0,33%).
Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun
dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Menurut WHO dalam
Soeyoko (2002) filariasis banyak diderita pada usia produkif (15-44 tahun), laki- laki
Mardiana dkk (2011) menyatakan pada kelompok umur berisiko (< 21 tahun dan > 35
tahun) yang pernah terkena filariasis sebesar 0,046%, sedangkan kelompok umur
tidak beresiko (21-35 tahun) sebesar 0,043%, dan pada laki-laki terkena filariasis
sebesar 0,05% dan perempuan 0,04%. Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di
Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
jenis kelamin dengan kejadian filariasis.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya baik secara langsung maupun tidak langsung, karena faktor
lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoir dan
vektor, sehingga sangat penting untuk mengetahui epidemiologis filariasis. Jenis
filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat faktor
lingkungannya, seperti lingkungan fisik, lingkungan biologik dan sosial budaya.
(Sutanto et al. dalam Karwiti, 2011).
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis,
beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah
maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah, keberadaan kawat kassa,
dan barang-barang bergantung memiliki hubungan bermakna dengan kejadian
filariasis di Kelurahan Jatisempurna (Juriastuti dkk, 2010). Karwiti (2011) di
Kabupaten Banyuasin menemukan bahwa responden yang tinggal di dalam rumah
dengan kondisi fisik rumah tidak memenuhi syarat (dinding rumah banyak
tinggal di rumah dekat dengan breeding habitat vektor nyamuk Mansonia spp yang ditumbuhi tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi
filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia malayi. Penelitian Mulyono dkk (2008) di Kabupaten Pekalongan menyatakan ada lima variabel sebagai faktor risiko kejadian filariasis, yaitu adanya genangan air,
adanya persawahan, tidak adanya hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan
kelambu, dan kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk. Hasil Riskesdas tahun
2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan orang yang tinggal dengan rumah
tangga yang saluran air limbahnya terbuka, memiliki probabilitas lebih besar yaitu
2,56 kali terjadinya filariasis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah
tangga yang saluran air limbahnya tertutup.
Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk
dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun 1999, pada tahun 2000 diperkuat
dengan keputusan WHO mendeklarasiakan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”, Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.
Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan
penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan
khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi
kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Di Propinsi Sumatera Utara saat ini upaya pengendalian filariasis pada tahap
penemuan kasus melalui pelacakan kasus dan survei darah jari. Pengobatan massal
sudah dilaksanakan di 6 kabupaten/kota pada lima tahun lalu. Karakteristik geografis
Propinsi Sumatera Utara secara umum beriklim tropis dengan curah hujan tinggi
800-4000 mm/tahun, kelembaban rata-rata 78%-91%, penyinaran matahari 43%,
topografi terdiri dari dataran pantai, dataran rendah/rawa, dan dataran tinggi serta
pegunungan. Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan rata-rata curah hujan 3470,04
mm/tahun, suhu tahunan adalah 30ºC dengan topografi daerah dataran rendah/rawa,
bukit-bukit bergelombang sampai dengan dataran tinggi, dan di Kabupaten Asahan
rata-rata curah hujan 2150 mm/tahun dengan topografi dataran pantai dan dataran
rawa. Dataran rendah/rawa dan dataran pantai merupakan daerah baik bagi
perkembangbiakan vektor nyamuk. Curah hujan dan kelembaban nisbi yang tinggi
1.2 Permasalahan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan merupakan
kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dengan prevalensi kasus filariasis tertinggi
dengan angka Mf rate masing-masing 0,17% dan 0,67%. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, kejadian filariasis di dua kabupaten tersebut
berkaitan dengan kondisi fisik rumah dan lingkungan luar rumah yang sangat
potensial untuk perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor filariasis, serta kebiasaan
yang berisiko untuk terjadinya penularan filariasis.
1.3 Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria
positif dan filariasis.
1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Ada pengaruh faktor lingkungan fisik (keberadaan rawa-rawa, keberadaan
persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban dalam rumah, keberadaan kawat
kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah) terhadap kejadian
mikrofilaria positif dan filariasis.
2. Ada pengaruh faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman di sekitar
rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah) terhadap kejadian
3. Ada pengaruh faktor lingkungan sosial (pekerjaan, kebiasaan keluar pada
malam hari, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai obat anti
nyamuk) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan
dan Kabupaten Asahan dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi
yang efesien dan komprehensif dalam pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian mikrofilaria positif dan filariasis, sehingga mendukung
pencapaian program eliminasi filariasis.
2. Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi bagi
masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif
dan filariasis.
3. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap
kejadian mikrofilaria positif dan filariasis sehingga dapat dimanfaatkan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filariasis
2.1.1 Pengertian Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing
tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan
pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar
dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul
berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan
jaringan parut (Depkes RI, 2009c).
2.1.2 Gejala Klinis Filariasis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya
2.1.2.1 Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah
lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan
Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d).
2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis
A. Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi
Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.
B. Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko
dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang
normal kadang-kadang sangat besar.
C. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di
ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul
adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan
kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan.
D. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya
cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,
sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu
komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan
komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan
4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2009d).
2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema
Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan
tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul
(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas
kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.
Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :
1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,
lengan dan tungkai.
2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah)
dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan
Tabel 2.1 Stadium Limfedema Gejala Stadium
1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 1 . Bengkak di kaki Menghilang waktu bangun tidur pagi
Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas Menetap, meluas Menetap, meluas 2 . Lipatan kulit
Tidak ada Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, kadang dangkal Dangkal, dalam Dangkal, dalam 3 .
Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang 4 . Mossy lesions*)
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-kadang Hambatan
berat
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ya
*) Gambaran seperti lumut
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009)
2.1.4 Diagnosis
Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat
digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI, 2008) :
2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel
atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi
Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat
dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi
biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
2.1.4.2 Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
2.1.4.3 Diagnosis Imunologi
Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen
Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4
pada filariasis brugia.
2.1.5 Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang
masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara
umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.
Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama
dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran
tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe
menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi),
sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d):
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan
edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit
terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun
besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe
ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel
Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga
bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:
a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama
dengan bakteri, yaitu :
(1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe.
(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.
(4) Abses
(5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah
dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di
kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari
kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur
akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).
2.1.6 Epidemiologi Filariasis
2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person)
Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun
dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997,
diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia
Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin
laki-laki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak
berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango
ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan
petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan
berpenghasilan rendah 80%).
2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara
umum, filariasis Wuchereria bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah
persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan
jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),
Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara
(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan
tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko
terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan
dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan.
2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time)
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun
jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di
beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007
kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699
kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah
penduduk) (Kemenkes RI, 2010b).
2.1.6.4 Determinan Filariasis
A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis)
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu
tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada
siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal
Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a),
yaitu :
1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang,
Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk
Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan
Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui
berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.
3. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp
yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk
6. Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah
Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.
Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup
parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut
makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut
mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a).
a. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat
ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan
mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan
ujung ekor melingkar.
b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak
cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan
mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat
dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan
Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa
No Karakteristik Wuchereria bancrofti
Brugia malayi
Brugia timori 1. Gambaran umum dalam
sediaan darah
Melengkung mulus
Melengkung kaku dan patah
Melengkung kaku dan patah 2. Perbandingan lebar dan
panjang ruang kepala
1 : 1 1 : 2 1 : 3
3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna
4. Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325
5. Inti badan Halus, tersusun
rapi
Kasar, berkelompok
Kasar, berkelompok
6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2
7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke arah ujung
Ujung agak tumpul
Ujung agak tumpul
Sumber : Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009)
c. Larva dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan
melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria
mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.
Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau
memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10
3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini
merupakan cacing infektif.
B. Faktor Host
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a).
2)Jenis kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada
laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena
umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya
(Depkes RI, 2009a).
3)Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis
biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis (Depkes
RI, 2009a). Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila
terkena infeksi umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya
lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat,
4)Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang
dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun
pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan
tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat(Depkes RI, 2009a).
C. Faktor Environment (Lingkungan)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan
fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI,
2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga
komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial.
C.1 Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah
hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a).
Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti
air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik
erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya
sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan
(1) Suhu Udara
Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya
bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi
populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan
nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012). (2) Kelembaban Udara
Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan
nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah
memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka
paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India.
Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti
dkk, 2010).
(3) Curah Hujan
Curah hujan dapat menambah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu
menghambat perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya
(Anshari, 2004). Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus
(4) Air
Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada
perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan
berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus
dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk
Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri, 2012).
(5) Angin
Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14
m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan
arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan
nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini
(6) Sinar Matahari
Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di
bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar
matahari (Boesri, 2012).
(7) Rumah
Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang
berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela,
ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan
kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding
berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari,
2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu
timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010).
C.2 Lingkungan Biologis
Lingkungan biologis dapat menjadi rantai penularan filariasis. Menurut
Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang
dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes
pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan
Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat
menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk
hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004).
Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih
cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan
beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan
Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia
uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk
Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah
menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan
telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa
rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al
dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar
tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis.
intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko
dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur
bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan
betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara
ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah
karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia
sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut
(Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk,
hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu
upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak
dari rumah.
C.3 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan,
agama, sikap, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial
dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau
kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena
berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih
tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih
sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian
selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan
akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada
orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang
biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis
dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I:
1,40-8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor
yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60).
2.1.7 Penetapan Endemisitas
Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu
populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada
suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan
intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam
darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate
bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif
mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.
Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria
Mf Rate = x 100%
Jumlah sediaan darah diperiksa
Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan
kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan
pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif
mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b).
2.1.8Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :
1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang
mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh
nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat
mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap
yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua
orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya
(Depkes, 2009a).
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5
genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor
Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris
merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara
filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies
3) Manusia yang rentan terhadap filariasis.
Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =
L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan
dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut
mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup
selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya
penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk
mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga
sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat
mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat
memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa
inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.
Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh
terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif
Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan
terjadi siang dan malam hari.
Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis
filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya
penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).
Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis
filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva
cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan
apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap
nyamuk terlalu banyak maka nyamuk aka