• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN

LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

T E S I S

Oleh

IRIANTI 117032076/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(2)

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN

LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Megister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

IRIANTI 117032076

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN

TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Irianti Nomor Induk Mahasiswa : 117032076

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua

(Ir. Evi Naria, M.Kes) Anggota

Dekan

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Ir. Evi Naria, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MIKROFILARIA POSITIF DAN FILARIASIS DI KABUPATEN

LABUHANBATU SELATAN DAN KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2013

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam pustaka.

Medan, Agustus 2013

(6)

ABSTRAK

Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka

Mf rate 0,17% dan 0,67%.

Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.

Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.

(7)

ABSTRACT

Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were 11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.

The purpose of this analytical observational study with case-control design was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and 56 persons for control group. The data for this study were obtained through interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.

The result of bivariate analysis showed that the variables with significant influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction, the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping.

The existence of plants around the house was the factor with the strongest influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the house, as well as the need for education about filariasis.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/Epidemiologi.

Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan,

bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

(9)

4. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis

yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

5. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah

banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

6. Ir. Indra Cahaya, M.Si selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan

masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

7. Drs. Jemadi, M.Kes selaku Anggota Penguji yang telah banyak memberikan

masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

8. Hasnan Hajar, S.K.M, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu

Selatan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

9. dr. Herwanto, Sp. B., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan yang

telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten

Asahan.

10. Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah, selaku orang tua yang telah

banyak memberikan bantuan, motivasi, dan doa selama penulis menyelesaikan

pendidikan Program Pasca Sarjana IKM-FKM USU.

11. Suamiku tercinta Edy Rahman Syahputra, S.E dan putriku Asyla Nazhira Nuha,

serta Anakku Desy Arnita, S.Pd yang telah banyak berkorban selama penulis

(10)

12. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

13. Keluarga Besar Dinas Kesehatan Kabupaten Asahan.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan

terima kasih semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari

sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat

bermanfaat.

Medan, Agustus 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Irianti, lahir pada tanggal 12 Februari 1981 di Kisaran, anak ke tujuh dari

tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda Baharuddin Ys dan Ibunda Paenah.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar

Negeri No. 014697 Kisaran, selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 1 Air Joman Kisaran, selesai tahun 1997, Sekolah Menengah Atas di SMA

Negeri 2 Kisaran, selesai tahun 2000, dan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2004.

Penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2005

sampai 2008, bekerja di Dinas Kesehatan Kota Langsa pada tahun 2009, dan bekerja

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Filariasis ... 10

2.1.1 Pengertian Filariasis ... 10

2.1.2 Gejala Klinis ... 11

2.1.2.1 Gejala Akut ... 11

2.1.2.2 Gejala Kronis ... 11

2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema ... 13

2.1.4 Diagnosis... 14

2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi ... 14

2.1.4.2 Diagnosis Radiodiagnosis ... 15

2.1.4.3 Diagnosis Imunologi ... 15

2.1.5 Patogenesis ... 15

2.1.6 Epidemiologi Filariasis ... 17

2.1.6.1Distribusi Menurut Orang ... 17

2.1.6.2Distribusi Menurut Tempat ... 18

2.1.6.3Distribusi Menurut waktu ... 19

2.1.6.4Determinan Filariasis ... 19

2.1.7 Penetapan Endemisitas ... 30

2.1.8 Rantai Penularan ... 31

2.1.9 Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis ... 36

(13)

2.1.9.3Kebiasaan Menggigit ... 40

2.1.9.4Kebiasaan Beristirahat ... 41

2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis ... 41

2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor ... 41

2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat ... 43

2.1.10.3 Pengobatan Massal ... 43

2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual) ... 43

2.2 Landasan Teori ... 45

2.3 Kerangka Konsep ... 47

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 48

3.2.2 Waktu Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 49

3.3.1 Populasi ... 49

3.3.2 Sampel... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51

3.4.1 Jenis Data ... 51

3.4.2 Pengumpulan Data ... 52

3.4.3 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 52

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.6 Metode Pengukuran ... 57

3.7 Metode Analisis Data ... 60

3.7.1 Analisis Univariat ... 60

3.7.2 Analisis Bivariat ... 60

3.7.3 Analisis Multivariat ... 61

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 62

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 62

4.2 Gambaran Umum Kabupaten Asahan ... 64

4.3 Analisis Univariat ... 67

4.4 Analisis Bivariat ... 76

4.4.1 Faktor Lingkungan Fisik ... 76

4.4.2 Faktor Lingkungan Biologis ... 78

4.4.3 Faktor Lingkungan Sosial ... 79

4.4 Analisis Multivariat ... 81

BAB 5. PEMBAHASAN ... 86

(14)

5.2.1 Pengaruh Keberadaan Rawa-Rawa terhadap Kejadian

Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 86

5.2.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 88

5.2.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 89

5.2.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 90

5.2.5 Pengaruh Keberadaan Kawat Kassa pada Ventilasi Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 91

5.2.6 Pengaruh Konstruksi Plafon terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 92

5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 93

5.2.1 Pengaruh Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 93

5.2.2 Pengaruh Keberadaan Keberadaan Hewan Peliharaan di Sekitar Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 95

5.3 Pengaruh Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 96

5.3.1 Pengaruh Pekerjaan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 96

5.3.2 Pengaruh Kebiasaan Keluar pada Malam Hari terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 97

5.3.3 Pengaruh Kebiasaan memakai Kelambu Sewaktu Tidur terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 99

5.3.4 Pengaruh Kebiasaan Memakai Obat Anti Nyamuk Sebelum Tidur terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis ... 100

5.4 Faktor Paling Dominan ... 100

5.5 Keterbatasan Penelitian ... 103

BAB 6. KESIMPULAN ... 105

6.1 Kesimpulan ... 105

6.2 Saran ... 105

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Stadium Limfedema ... 14

2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa ... 22

3.1 Rekapitulasi Nilai OR dari Penelitian Terdahulu ... 50

3.2 Hasil Uji Validitas ... 53

3.3 Hasil Uji Reliabilitas ... 54

3.4 Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur dan Hasil Ukur ... 57

4.1 Nama Kecamatan, Luas Wilayah, dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 ... 63

4.2 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan Swasta di Kabupaten Labuhanbatu Selatan Tahun 2011 ... 64

4.3. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Kabupaten Asahan Tahun 2011 ... 66

4.4 Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan yang Dikelola Pemerintah dan Swasta di Kabupaten Asahan Tahun 2011 ... 67

4.5 Distribusi Frekuensi Kasus Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2012 ... 67

4.6 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin dan Pendidikan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 68

(16)

4.8 Distribusi Proporsi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Biologis di Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan

Tahun 2013 ... 73

4.9 Distribusi Kasus dan Kontrol Menurut Faktor Lingkungan Sosial di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan

Tahun 2013 ... 74

4.10 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 76

4.11 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 78

4.12 Hasil Uji Bivariat Faktor Lingkungan Sosial terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu

Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013 ... 80

4.13 Hasil Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Konstruksi Plafon, Keberadaan Tanaman di Sekitar Rumah, Kebiasaan Keluar

pada Malam Hari dan Kebiasaan Memakai Kelambu terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis ... 33

2.2 Nyamuk Mansonis spp ... 38

2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 45

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 112

2 Kuesioner Penelitian dan Lembar Observasi... 113

3 Jadwal Penelitian ... 118

4 Master Data ... 119

5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 123

6 Hasil Analisis Univariat ... 126

7 Hasil Analisis Bivariat ... 127

8 Hasil Analisis Multivariat ... 142

9 Hasil Uji Normalitas ... 151

10 Peta Wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 152

11 Peta wilayah kabupaten Asahan ... 153

12 Dokumentasi Penelitian ... 154

13 Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 160

14 Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 162

(19)

ABSTRAK

Filariasis disebabkan infeksi cacing filaria, ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dan lingkungan sangat berperan terhadap distribusi dan mata rantai penularannya. Menurut WHO (2010) 1,3 miliar penduduk berada di negara berisiko tertular filariasis. Di Indonesia sejak tahun 2000 sampai dengan 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis 11.914 kasus. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan memiliki prevalensi kasus filariasis tertinggi di Sumatera Utara dengan angka

Mf rate 0,17% dan 0,67%.

Tujuan penelitian menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis. Metode penelitian adalah analitik observasional desain case control. Sampel penelitian sebanyak 56 orang kasus dan 56 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat menggunakan uji chi-square, dan multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis adalah keberadaan rawa-rawa, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang berpengaruh signifikan hanya konstruksi plafon rumah, keberadaan tanaman di sekitar rumah, kebiasaan keluar pada malam hari dan kebiasaan menggunakan kelambu sewaktu tidur.

Keberadaan tanaman di sekitar rumah merupakan faktor paling kuat pengaruhnya terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan (OR=4,432). Masyarakat disarankan menggunakan kelambu sewaktu tidur dan menghilangkan keberadaan semak-semak disekitar rumah, serta perlunya dilakukan penyuluhan tentang filariasis.

(20)

ABSTRACT

Filariasis is caused by filarial worm infection and transmitted by various kinds of mosquitos, and the environment plays a very important role in its distribution and chain of transmission. According to WHO (2010), 1.3 million people are in the countries at risk of contracting the filariasis. It is reported that there were 11.914 cases of cronic filariasis from 2000 to 2009 in Indonesia. Labuhanbatu Selatan District and Asahan District had the highest prevalence of filariasis in the Province of Sumatera Utara with the Mf rate of 0.17% and 0.67%.

The purpose of this analytical observational study with case-control design was to analyze the influence of environmental factor on the incident of microfilariae positive and filariasis. The samples for this study were 56 persons for case group and 56 persons for control group. The data for this study were obtained through interviews and observation using questionnaires and observation sheets. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square test, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests.

The result of bivariate analysis showed that the variables with significant influence on the incident of microfilariae positive and filariasis were the existence of swamps, the existence of wire netting on home ventilation, home ceiling construction, the existence of plants around the house, work, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping. The result of multivariate analysis showed that the most significantly influencing variables were only home ceiling construction, the existence of plants around the house, the habit of going out at night, and the habit of using mosquito nets while sleeping.

The existence of plants around the house was the factor with the strongest influence on the incident of microfilariae positive and filariasis in Labuhanbatu Selatan District and Asahan District (OR = 4.432). People are advised to use mosquito nets when sleeping and eliminate the presence of the bushes around the house, as well as the need for education about filariasis.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria (Kemenkes RI, 2010a). Filariasis merupakan

penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang hidup didalam sistem limfe dan

ditularkan dengan perantara nyamuk (Soeyoko, 2002).

Menurut WHO dalam Soeyoko (2002) filariasis limfatik dikategorikan dalam

enam penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra. Filariasis limfatik tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim

tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis seperti Afrika, India,

Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan

yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap. Meskipun filariasis tidak

menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya

kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini dikarenakan bila

terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja

secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat

(22)

menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 trilyun

rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis (Kemenkes RI, 2010a).

Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular

filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39

dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun

2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang

berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir,

Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat

pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko

filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang

menerima perawatan (WHO, 2010).

Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara

diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO dalam

Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah menginfeksi lebih

dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat

di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis

filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia dengan jumlah

penduduk terbanyak dan wilayah yang luas memiliki masalah filariasis yang

(23)

Filariasis termasuk salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pedesaan (Soeyoko dkk,

2008).Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama

wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000

hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar

di 401 Kabupaten/kota dan diestimasikan prevalensi Microfilaria rate (Mf rate)

sebesar 19% (Kemenkes RI, 2010a).

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40% dengan endemisitas

setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas

dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei

tersebut hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis sebesar 67% (335

dari 495 kabupaten/kota), sebesar 0,6% (3 kabupaten/kota) tidak endemis filariasis,

dan 157 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada

tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan

survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi

71,9% (356 dari 495 kabupaten/kota) sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak

endemis filariasis (Kemenkes RI, 2010b). Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset

Kesehatan Dasar) tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) persentase kejadian

filariasis sebesar 0,04%, yaitu dalam kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 424

responden menjawab pernah menderita filariasis. Di Kabupaten Kepulauan Yapen

(24)

rate sebesar 2,06% (Sulistiyani dkk, 2012). Di Kabupaten Bonebolango Propinsi Gorontalo di dapatkkan 105 positif mikrofilaria (Mf rate=34,4%) dari 326 sediaan darah jari yang diperiksa (Soeyoko dkk, 2008). Di Kelurahan Simbang Kulon

Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan mendapatkan 9 slide positif dari 230 slide

yang diperiksa dengan angka Mf rate 3,91% (Wijayanti, 2009).

Di Propinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2012 telah dilaporkan

sebanyak 70 kasus filariasis klinis. Kasus filariasis ini tersebar di 7 kabupaten/kota

dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Kota Binjai (1 kasus), Kota

Gunung Sitoli (3 kasus), Kabupaten Asahan (28 kasus), Kabupaten Labuhan Batu

Selatan (28 kasus), Kabupaten Mandailing Natal (9 kasus), dan Kabupaten Nias

Selatan dan Samosir (masing-masing 1 kasus). Berdasarkan survei darah jari yang

dilakukan BTKLPP (Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit)

Kelas I Medan tahun 2012 di 16 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara,

diperoleh angka Mf rate 0,07% yaitu ditemukan 5 sediaan positif mikrofilaria dari 7.200 sediaan yang diperiksa, yang tersebar di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (1

orang dengan Mf rate 0,17%), di Kabupaten Asahan (2 orang dengan Mf rate 0,67%) dan di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (2 orang dengan Mf rate 0,33%).

Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun

dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Menurut WHO dalam

Soeyoko (2002) filariasis banyak diderita pada usia produkif (15-44 tahun), laki- laki

(25)

Mardiana dkk (2011) menyatakan pada kelompok umur berisiko (< 21 tahun dan > 35

tahun) yang pernah terkena filariasis sebesar 0,046%, sedangkan kelompok umur

tidak beresiko (21-35 tahun) sebesar 0,043%, dan pada laki-laki terkena filariasis

sebesar 0,05% dan perempuan 0,04%. Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di

Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara

jenis kelamin dengan kejadian filariasis.

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata

rantai penularannya baik secara langsung maupun tidak langsung, karena faktor

lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoir dan

vektor, sehingga sangat penting untuk mengetahui epidemiologis filariasis. Jenis

filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat faktor

lingkungannya, seperti lingkungan fisik, lingkungan biologik dan sosial budaya.

(Sutanto et al. dalam Karwiti, 2011).

Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis,

beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah

maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah, keberadaan kawat kassa,

dan barang-barang bergantung memiliki hubungan bermakna dengan kejadian

filariasis di Kelurahan Jatisempurna (Juriastuti dkk, 2010). Karwiti (2011) di

Kabupaten Banyuasin menemukan bahwa responden yang tinggal di dalam rumah

dengan kondisi fisik rumah tidak memenuhi syarat (dinding rumah banyak

(26)

tinggal di rumah dekat dengan breeding habitat vektor nyamuk Mansonia spp yang ditumbuhi tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi

filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia malayi. Penelitian Mulyono dkk (2008) di Kabupaten Pekalongan menyatakan ada lima variabel sebagai faktor risiko kejadian filariasis, yaitu adanya genangan air,

adanya persawahan, tidak adanya hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan

kelambu, dan kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk. Hasil Riskesdas tahun

2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan orang yang tinggal dengan rumah

tangga yang saluran air limbahnya terbuka, memiliki probabilitas lebih besar yaitu

2,56 kali terjadinya filariasis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah

tangga yang saluran air limbahnya tertutup.

Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk

dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun 1999, pada tahun 2000 diperkuat

dengan keputusan WHO mendeklarasiakan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”, Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.

Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan

penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7

tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004–

(27)

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan

khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi

kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010a).

Di Propinsi Sumatera Utara saat ini upaya pengendalian filariasis pada tahap

penemuan kasus melalui pelacakan kasus dan survei darah jari. Pengobatan massal

sudah dilaksanakan di 6 kabupaten/kota pada lima tahun lalu. Karakteristik geografis

Propinsi Sumatera Utara secara umum beriklim tropis dengan curah hujan tinggi

800-4000 mm/tahun, kelembaban rata-rata 78%-91%, penyinaran matahari 43%,

topografi terdiri dari dataran pantai, dataran rendah/rawa, dan dataran tinggi serta

pegunungan. Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan rata-rata curah hujan 3470,04

mm/tahun, suhu tahunan adalah 30ºC dengan topografi daerah dataran rendah/rawa,

bukit-bukit bergelombang sampai dengan dataran tinggi, dan di Kabupaten Asahan

rata-rata curah hujan 2150 mm/tahun dengan topografi dataran pantai dan dataran

rawa. Dataran rendah/rawa dan dataran pantai merupakan daerah baik bagi

perkembangbiakan vektor nyamuk. Curah hujan dan kelembaban nisbi yang tinggi

(28)

1.2 Permasalahan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan merupakan

kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dengan prevalensi kasus filariasis tertinggi

dengan angka Mf rate masing-masing 0,17% dan 0,67%. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, kejadian filariasis di dua kabupaten tersebut

berkaitan dengan kondisi fisik rumah dan lingkungan luar rumah yang sangat

potensial untuk perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor filariasis, serta kebiasaan

yang berisiko untuk terjadinya penularan filariasis.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria

positif dan filariasis.

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ada pengaruh faktor lingkungan fisik (keberadaan rawa-rawa, keberadaan

persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban dalam rumah, keberadaan kawat

kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah) terhadap kejadian

mikrofilaria positif dan filariasis.

2. Ada pengaruh faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman di sekitar

rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah) terhadap kejadian

(29)

3. Ada pengaruh faktor lingkungan sosial (pekerjaan, kebiasaan keluar pada

malam hari, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai obat anti

nyamuk) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan

dan Kabupaten Asahan dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi

yang efesien dan komprehensif dalam pelaksanaan pencegahan dan

pengendalian mikrofilaria positif dan filariasis, sehingga mendukung

pencapaian program eliminasi filariasis.

2. Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi bagi

masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif

dan filariasis.

3. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap

kejadian mikrofilaria positif dan filariasis sehingga dapat dimanfaatkan

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis

2.1.1 Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing

tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan

pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar

dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul

berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan

jaringan parut (Depkes RI, 2009c).

2.1.2 Gejala Klinis Filariasis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya

(31)

2.1.2.1 Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan

kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah

lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan

Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d).

2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis

A. Limfedema

Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi

Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal.

B. Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang

pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe

mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko

(32)

dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang

normal kadang-kadang sangat besar.

C. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di

ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul

adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan

kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh, kehilangan berat badan.

D. Hidrokel

Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya

cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua

kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :

1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,

sehingga penis tertarik dan tersembunyi .

2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu

komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan

komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan

(33)

4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI, 2009d).

2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan

tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul

(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas

kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,

lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah)

dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.

4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.

5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan

(34)
[image:34.612.110.534.141.300.2]

Tabel 2.1 Stadium Limfedema Gejala Stadium

1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4 Stadium 5 Stadium 6 Stadium 7 1 . Bengkak di kaki Menghilang waktu bangun tidur pagi

Menetap Menetap Menetap Menetap, meluas Menetap, meluas Menetap, meluas 2 . Lipatan kulit

Tidak ada Tidak ada Dangkal Dangkal Dalam, kadang dangkal Dangkal, dalam Dangkal, dalam 3 .

Nodul Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang 4 . Mossy lesions*)

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Kadang-kadang Hambatan

berat

Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ya

*) Gambaran seperti lumut

Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009)

2.1.4 Diagnosis

Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat

digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi

FKUI, 2008) :

2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi

Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel

atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi

Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat

dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi

biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit

(35)

2.1.4.2 Radiodiagnosis

Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah

bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.

Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem

limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.

2.1.4.3 Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen

Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4

pada filariasis brugia.

2.1.5 Patogenesis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu

terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang

masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara

umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.

Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama

dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran

(36)

tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe

menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi),

sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d):

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan

hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan

edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit

terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun

besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe

ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel

Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga

bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama

dengan bakteri, yaitu :

(1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe.

(37)

(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.

(4) Abses

(5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.

b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah

dan lain-lainnya.

5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di

kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari

kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur

akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi,

hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).

2.1.6 Epidemiologi Filariasis

2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person)

Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun

dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997,

diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia

(38)

Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin

laki-laki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak

berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango

ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan

petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan

berpenghasilan rendah 80%).

2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,

terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara

umum, filariasis Wuchereria bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi, Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah

persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan

jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),

Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan

kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara

(39)

(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan

tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko

terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan

dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan.

2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time)

Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun

jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di

beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007

kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699

kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah

penduduk) (Kemenkes RI, 2010b).

2.1.6.4 Determinan Filariasis

A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis)

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu

tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada

siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal

(40)

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a),

yaitu :

1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang,

Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk

Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan

Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui

berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya

adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih

banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp

yang ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia malayi tipe non periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk

(41)

6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah

Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara.

Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup

parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut

makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut

mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a).

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang

berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat

ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan

mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan

ujung ekor melingkar.

b. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak

cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan

mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat

dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan

(42)

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa

No Karakteristik Wuchereria bancrofti

Brugia malayi

Brugia timori 1. Gambaran umum dalam

sediaan darah

Melengkung mulus

Melengkung kaku dan patah

Melengkung kaku dan patah 2. Perbandingan lebar dan

panjang ruang kepala

1 : 1 1 : 2 1 : 3

3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna

4. Ukuran panjang (µm) 240-300 175-230 265-325

5. Inti badan Halus, tersusun

rapi

Kasar, berkelompok

Kasar, berkelompok

6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2

7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke arah ujung

Ujung agak tumpul

Ujung agak tumpul

Sumber : Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009)

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung

mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan

melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak

menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria

mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti

sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.

Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva

preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau

memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10

(43)

3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini

merupakan cacing infektif.

B. Faktor Host

1) Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang

dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif

(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a).

2)Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada

laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena

umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya

(Depkes RI, 2009a).

3)Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas

dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis

biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis (Depkes

RI, 2009a). Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila

terkena infeksi umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya

lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat,

(44)

4)Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko

terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang

dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun

pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan

tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat(Depkes RI, 2009a).

C. Faktor Environment (Lingkungan)

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata

rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan

fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI,

2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga

komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial.

C.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah

hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a).

Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti

air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik

erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya

sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan

(45)

(1) Suhu Udara

Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.

Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya

bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi

populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan

nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012). (2) Kelembaban Udara

Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan

nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah

memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka

paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India.

Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti

dkk, 2010).

(3) Curah Hujan

Curah hujan dapat menambah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places) atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu

menghambat perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya

(Anshari, 2004). Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus

(46)

(4) Air

Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada

perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan

berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus

dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk

Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri, 2012).

(5) Angin

Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14

m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan

arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan

nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini

(47)

(6) Sinar Matahari

Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di

bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar

matahari (Boesri, 2012).

(7) Rumah

Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang

berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela,

ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan

kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding

berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari,

2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya

konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu

timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010).

C.2 Lingkungan Biologis

Lingkungan biologis dapat menjadi rantai penularan filariasis. Menurut

Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya

tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang

dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes

(48)

pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan

Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat

menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk

hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004).

Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih

cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan

beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan

Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia

uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk

Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah

menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan

telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa

rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al

dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar

tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis.

(49)

intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko

dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan

kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur

bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan

betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara

ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah

karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia

sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut

(Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk,

hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu

upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak

dari rumah.

C.3 Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan,

agama, sikap, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial

dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau

kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena

berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih

tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih

sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian

(50)

selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan

akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada

orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang

biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis

dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I:

1,40-8,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor

yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60).

2.1.7 Penetapan Endemisitas

Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu

populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada

suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan

intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam

darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate

bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif

mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.

Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria

Mf Rate = x 100%

Jumlah sediaan darah diperiksa

Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan

(51)

kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan

pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif

mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b).

2.1.8Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :

1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang

mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh

nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat

mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap

yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua

orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan

gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala

klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya

(Depkes, 2009a).

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis

(hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di

(52)

2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.

Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5

genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor

Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor

Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor

Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris

merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara

filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies

(53)
[image:53.612.129.507.132.438.2]

3) Manusia yang rentan terhadap filariasis.

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)

Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan

nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =

L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari

probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk

menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan

bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan

(54)

dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut

mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti

memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup

selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya

penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk

mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga

sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat

mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat

memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap

penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,

sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya

untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa

inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh

terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria

hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif

(55)

Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan

terjadi siang dan malam hari.

Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis

filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya

penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).

Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis

filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva

cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan

apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap

nyamuk terlalu banyak maka nyamuk aka

Gambar

Tabel 2.1 Stadium Limfedema
Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)
Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp
Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, dilakukan juga observasi terhadap aktivitas guru (peneliti) selama pembelajaran berlangsung. Untuk mengetahui perubahan yang dilakukan guru dalam menerapkan

Penulis berharap website ini dapat menjadi sarana edukasi yang menarik bagi semua pihak dan memberi gambaran kepada masyarakat yang tertarik untuk mempelajari sejarah purbakala

(1) Pelaksanaan upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menjadi tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi,

PX1Y = Koefisien jalur kurs terhadap impor PX3Y = Koefisien jalur harga minyak dunia terhadap impor rX1X3 = Koefisien korelasi kurs dan harga minyak dunia Pengaruh tidak langsung

Perbedaan Gender (PG) APK dihitung dari APK la ki-l aki dikurang i A PK p erem puan. Ca ra menghitung APK laki-laki, yaitu jumlah siswa laki- laki dibagi dengan penduduk

Hasil penelitian secara keseluruhan untuk penurunan jumlah koloni bakteri kokus Gram positif dan batang Gram positif sebelum dan setelah penguapan minyak esensial mawar

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan segala rahmat serta karuniaNya sehingga penyusun telah dapat menyelesaikan Tugas Akhir “Pra Rencana Pabrik

Perlakuan dosis pupuk J19/Unud/2010 (J2) memberikan pengaruh tidak nyata (P&gt;0,05) terhadap sebagian besar variabel yang diamati, kecuali pada jumlah anakan maksimum