• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

HASIL PENELITIAN

4 Kebiasaan memakai obat anti nyamuk

5.1 Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Pengaruh variabel lingkungan fisik terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis dalam penelitian ini sebagai berikut :

5.1.1 Pengaruh Keberadaan Rawa-Rawa terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar adanya rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah 2,667 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05). Secara keseluruhan proporsi terbesar pada kelompok kasus dan kontrol adalah tidak ada rawa-rawa, walaupun secara terpisah pada kelompok kasus proporsi terbesar ada rawa-rawa dengan jarak < 200 m dari rumah (44,6%) dan pada kelompok kontrol proporsi terbesar tidak ada rawa-rawa (76,8%). Hal ini terjadi karena memang keberadaan rawa-rawa yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan adalah rawa-rawa liar yang sebagian ditumbuhi tanaman air (bukan kolam atau galian tanah), sehingga keberadaannya lebih sedikit dibandingkan keberadaan persawahan, perkebunan dan lainnya.

Masing-masing spesies nyamuk mempunyai tempat perindukan berbeda-beda misalnya di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah dan air laguna (Soeyoko,

tawar yang kaya mineral dengan pH sekitar 6 (enam), kondisi permukaan air tidak selalu tetap dan terdapat tumbuhan air tertentu yang merupakan inang bagi vektor filariasis (Depkes RI dalam Nasrin, 2008). Tempat perkembangbiakan alami nyamuk Mansonia uniformis pada umumnya pada daerah dengan air tergenang atau pada rawa-rawa yang banyak ditumbuhi tanaman air. Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa yang banyak tumbuhan air (Boesri, 2012). Menurut Nurmaini (2003) nyamuk Mansonia senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman airnya, nyamuk

Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air, dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga.

Penelitian Barodji et al (1994) menyatakan bahwa kepadatan vektor yang menggigit orang di daerah sekitar rawa jauh lebih tinggi (rata-rata 4,50 tiap jam/orang) dibandingkan di desa asal penduduk (rata-rata 0,44 tiap jam/orang). Sehingga kemungkinan penularan filariasis lebih sering terjadi di daerah sekitar rawa (Sulistiyani, 2012).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Soeyoko dkk (2006) di Kecamatan Boneraya Kabupaten Bone Bolango yang menyatakan ada hubungan bermakna antara faktor lingkungan rawa dengan kejadian filariasis dengan nilai OR sebesar 2,443 pada uji bivariat dan OR sebesar 3,563 pada uji multivariat. Dinyatakan bahwa lingkungan buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak terbang

nyamuk kurang dari 200 m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya filariasis di daerah tersebut. Penelitian Nasrin (2008) di kabupaten Bangka Barat juga menyatakan ada hubungan bermakna antara keberadaan rawa dengan kejadian filariasis.

Hal ini diibuktikan dengan teori yang menjelaskan bahwa umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350- 550 m, misalnya Anopheles sinensis jarak terbangnya mencapai 200 sampai 800 m, Anopheles barbirostris mencapai 200 sampai 300 m (Kelvey et al dalam Munif, 2009).

5.1.2 Pengaruh Keberadaan Persawahan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberadaan persawahan bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan jarak persawahan yang ada di wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan yang secara geografis umumnya berjarak > 200 m dari perumahan penduduk atau terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu.

Keadaan ini berkaitan juga dengan laporan Depkes RI (2009) bahwa vektor utama filariasis di Sumatera Utara adalah Mansonia uniformis yang biasanya ditemukan di daerah rawa dan hutan rimba, sedangkan yang ditemukan di daerah persawahan adalah Anopheles barbirostis umumnya di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air

satu persatu atau rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini, 2003).

Hasil penelitian ini sesuai yang diperoleh Ulfana (2009) dalam penelitiannya di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna keberadaan sawah dengan kejadian filariasis.

Pada lahan yang dikelola misalnya persawahan, biasanya ditempati berbagai jenis nyamuk yang berperan sebagai vektor atau tidak. Di persawahan dekat pantai ditemukan 33 spesis yang terdiri dari 10 jenis Anopheles 5 diantaranya berperan menularkan malaria, 13 jenis culex, 4 jenis Aedes sisanya jenis Mansonia dan

Ficalbica (Munif, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa nyamuk jenis Mansonia

sebagai vektor utama filariasis di Sumatera Utara memang lebih sedikit berkembang pada daerah persawahan dibandingkan nyamuk jenis Anopheles sebagai vektor malaria.

5.1.3 Pengaruh Suhu dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa suhu dalam rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran suhu yang dilakukan di dalam dan di luar rumah responden, suhu udara rataan dalam rumah lebih rendah

dibanding suhu luar rumah dengan perbedaan mencapai + 3 ºC. Suhu memenuhi syarat

di dalam rumah responden berkisar 26,1º-29,6ºC dan suhu di luar rumah berkisar 26,3º-30ºC, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berkisar 30,1º -33,2 ºC.

Menurut Hoedojo (1993) suhu optimum untuk tempat perindukan nyamuk berkisar 20º-28ºC, sedangkan menurut Depkes RI (2009), berkisar 25º – 27ºC. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara suhu dalam rumah dengan kejadian filariasis.

5.1.4 Pengaruh Kelembaban dalam Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelembaban dalam rumah bukan sebagai faktor risiko kejadian mikrofilaria positif dan filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan. Hasil pengukuran kelembaban yang dilakukan di dalam dan di luar rumah responden, rerata kelembaban yang memenuhi syarat di dalam rumah responden berkisar 53%-60% dan di luar rumah responden 53%-58%. Sedangkan kelembaban yang tidak memenuhi syarat berkisar 61%-77%. Perbedaan kelembaban di dalam dan di luar rumah tidak begitu signifikan, artinya bahwa responden yang memiliki kelembaban dalam rumah tidak memenuhi syarat (< 40% dan > 60%), sejalan dengan kelembaban di luar rumah yang juga tidak memenuhi syarat. Keadaan ini sejalan dengan penelitian Ansari (2004) di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Pontianak yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian filariasis.

5.1.5 Pengaruh Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar tidak adanya kawat kasa pada ventilasi rumah 3,154 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05). Hasil observasi yang dilakukan bahwa rumah responden kelompok kasus mayoritas tidak memenuhi syarat kesehatan jika ditinjau dari fisik bangunan (lantai, dinding, amar mandi/WC, ventilasi dan langit-langit). Jadi hal ini sangat berkaitan dengan keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah yang sangat kecil kemungkinan untuk terpenuhi. Kawat kasa yang dipasang dibagian ventilasi rumah ini berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk dan tanpa disadari menjauhkan diri dari risiko terkena filariasis.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Juriastuti dkk (2010) di Kelurahan Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara kejadian filariasis dengan keberadaan kawat kasa dengan nilai OR sebesar 7,2, diartikan bahwa responden yang tidak memiliki kawat kasa di rumahnya berisiko 7,2 kali lebih besar dibandingkan responden yang menggunakan kawat kasa. Menurut Yatim dalam Pulungan dkk (2012) pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi kontak dengan nyamuk yaitu pemasangan kawat kasa pada ventilasi. Kawat kasa harus dipasang pada setiap lubang pada rumah. Jumlah lubang pada kawat kasa yang dianggap optimal 14-16 perinci (2,5 cm) bahannya bermacam-macam mulai tembaga aluminium sampai plastik.

Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor, ada beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan mekanis yang bertujuan mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik antara lain dengan pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain).

5.1.6 Pengaruh Konstruksi Plafon Rumah terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penderita mikrofilaria positif dan filariasis, terpapar konstruksi plafon rumah tidak rapat 4,267 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak menderita mikrofilaria positif dan filariasis (p<0,05). Hasil observasi yang dilakukan di rumah responden diketahui bahwa dari 64 rumah dengan konstruksi plafon tidak rapat sebesar 40,62% (26 rumah) tidak memiliki plafon, 29,64% (19 rumah) konstruksi plafon terbuat dari anyaman bambu (gedek), 18,75% (12 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek dengan kondisi rusak (bolong-bolong), dan 10,94% (7 rumah) konstruksi plafon terbuat dari susunan papan seadanya. Sedangkan untuk konstruksi plafon rapat diketahui bahwa dari 48 rumah, terdapat 53,19% (26 rumah) konstruksi plafon terbuat dari triplek, 25,53% (12 rumah) konstruksi plafon terbuat dari asbes, dan 21,28% (10 rumah) konstruksi plafon terbuat dari gypsum. Keadaan ini memperbesar peluang masuknya nyamuk ke dalam rumah sehingga memperbesar risiko untuk kontak atau mendapat gigitan

berhubungan langsung, dan keberadaan plafon cukup penting agar nyamuk tidak leluasa masuk rumah melalui celah-celah atap.

Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Juriastuti dkk (2010) di kelurahan Jati Sempurna yang menemukan adanya hubungan bermakna antara konstruksi plafon dengan kejadian filariasis dengan nilai OR=6,3, diartikan bahwa responden dengan keadaan plafon yang buruk di rumah akan lebih berisiko 6,3 kali dibandingkan responden dengan keaadaan plafon yang baik.

5.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Biologis terhadap Kejadian Mikrofilaria

Dokumen terkait