BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis yang
dilakukan sebelum menikah. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam,
mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan
bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain orang dalam khayalan atau
diri sendiri (Sarwono, 2011).
Definisi lain mengatakan bahwa perilaku seksual ialah perilaku yang
melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita, atau sesama
jenis kelamin yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya
dilakukan oleh pasangan suami istri. Sedangkan perilaku seks pranikah merupakan
perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut
hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu
(Dianawati, 2006).
Perilaku seksual sering ditanggapi sebagai hal yang berkonotasi negatif,
padahal perilaku seksual ini sangat luas sifatnya. Perilaku seksual merupakan perilaku
yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Contohnya dari berdandan,
mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual melalui berbagai perilaku.
Contoh perilakunya adalah berfantasi, masturbasi, cium pipi, cium bibir, petting
(menggesekkan alat kelamin), berhubungan intim, dan lain-lain (Kusmiran, 2011).
2.1.1 Pola Perilaku Seksual Pranikah
Perkembangan perilaku seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Berdasarkan
faktor tersebut maka aktivitas seksual remaja amat erat kaitannya dengan
faktor-faktor tersebut. Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu
sentuhan seksual, membangkitkan gairah seksual, seks oral, seks anal, masturbasi dan
hubungan heteroseksual (Soetjiningsih, 2004).
1. Masturbasi
Masturbasi (onani) merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan
oleh para remaja. Dari laporan penelitian yang dilaporkan oleh SIECUS (Sex
Information and Education Council of the United States) menunjukkan bahwa remaja laki-laki pada umur 16 tahun yang melakukan masturbasi sebanyak 88%
dan remaja perempuan sebanyak 62%. Frekuensinya makin meningkat sampai
pada masa sesudah pubertas. Mereka mempunyai daya tarik seksual terhadap
lawan jenis yang sebaya. Masturbasi ini dilakukan sendiri-sendiri dan juga
dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian
2. Percumbuan, seks oral dan seks anal
Pola perilaku seksual ini tidak saja dilakukan oleh pasangan suami istri,
tetapi juga telah dilakukan oleh sebagian dari remaja. Penelitian yang dilakukan
pada tahun 1995 terhadap remaja yang berumur antara 15-19 tahun di Amerika
Serikat menunjukkan hasil sebagai berikut :
a. 55% remaja telah melakukan hubungan seksual.
b. 53% remaja telah mengalami masturbasi yang dilakukan oleh perempuan baik
remaja maupun perempuan dewasa.
c. 49% remaja mengalami seks oral
d. 39% remaja melakukan seks oral
e. 11% remaja sering mengalami seks anal
3. Hubungan seksual
Pada masa remaja ternyata tidak sedikit para remaja yang melakukan
hubungan seksual. Di Amerika Serikat, hubungan seksual yang dilakukan oleh
para remaja ternyata mengalami peningkatan sekitar 1% per tahunnya. Empat
puluh persen dari remaja perempuan hamil sebelum tamat sekolah menengah,
50% diantaranya melakukan aborsi dan sisanya melahirkan bayinya. Dampak lain
yang perlu diwaspadai ialah bahaya penularan penyakit kelamin terutama
HIV/AIDS yang sudah menyebar ke seluruh dunia.
Sebagian besar studi menemukan bahwa jumlah remaja laki-laki yang
pernah melakukan hubungan seksual dan secara seksual aktif, lebih banyak
Hayes, 1987). Dibandingkan para remaja perempuan, para remaja laki-laki juga
cenderung menyatakan hubungan seksual mereka sebagai pengalaman yang
menyenangkan. Para remaja Afrika Amerika cenderung memiliki jadwal yang
ketat untuk perilaku seksualnya dibandingkan kelompok lain, sementara itu
remaja Asia Amerika cenderung memiliki jadwal yang lebih ketat (Santrock,
2007).
Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun
2002-2003 menunjukkan bahwa umumnya remaja laki-laki lebih menyetujui dan
menerima hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan remaja perempuan.
Enam dari 10 remaja laki-laki menyatakan bahwa hubungan seksual pranikah
dapat diterima jika dilakukan atas dasar suka sama suka, keduanya saling
mencintai, atau keduanya merencanakan untuk menikah. Yang lebih
mengkhawatirkan adalah untuk semua alasan yang diberikan dalam survei, remaja
laki-laki lebih muda (15-19 tahun) lebih menyetujui hubungan seksual pranikah
dibandingkan dengan remaja laki-laki usia lebih tua (20-24 tahun). Dalam hal
keperawanan, hampir semua laki-laki dan perempuan (masing-masing 98%)
menyatakan penting bagi seorang perempuan untuk mempertahankan
keperawanannya (Pinem, 2009).
L’Engle et.al. (2005 dalam Tjiptaningrum, 2009) mengatakan bahwa
perilaku seksual ringan mencakup: 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal,
4) berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening, pipi), 6) saling memeluk,
2) meraba atau mencium bagian-bagian sensitif seperti payudara, alat kelamin;
3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual (senggama).
2.1.2 Dampak Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja
Menurut Sarwono (2011), perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif pada remaja sebagai berikut :
1. Dampak fisik yaitu terjadinya kehamilan pada saat reproduksi belum siap,
berkembangnya penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS.
2. Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu perasaan
marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.
3. Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut yaitu dapat
menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi.
4. Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual pranikah antara lain
dikucilkan, putus sekolah, perubahan peran menjadi ibu, tekanan masyarakat yang
menolak dan mencela.
2.2 Remaja
Istilah asing yang sering digunakan untuk menunjukkan masa remaja menurut
Gunarsa dan Gunarsa (1991) antara lain: (A) puberteit, puberty dan (b) adolescence.
Istilah puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, pubertas yang berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian.
tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan. Lebih lanjut Santrock (1998)
mendefenisikan pubertas sebagai masa pertumbuhan tulang-tulang dan kematangan
seksual yang terjadi pada masa awal remaja (Dariyo, 2004).
Menurut Pieter dan Lubis (2010) kata remaja berasal dari bahasa Latin
adolescentia yang berarti remaja yang mengalami kematangan fisik, emosi, mental dan sosial. Piaget dalam Hurlock (2003) mengatakan bahwa masa remaja ialah masa
berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana individu tidak lagi merasa di
bawah tingkatan orang dewasa akan tetapi sudah dalam tingkatan yang sama.
Dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis, Santrock (2007)
mendefe-nisikan masa remaja (Adolescence) sebagai periode transisi perkembangan anak masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis,
kognitif, dan sosio-emosional.
Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.
Sebetulnya, masa depan dari seluruh budaya tergantung pada seberapa efektifnya
pengasuhan itu (Larson dkk, 2002 dalam Santrock, 2007). Transisi perkembangan
pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami
namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Bagian dari masa
kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus
bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua
organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai
2.2.1 Tahapan Perkembangan Masa Remaja
Suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa
remaja yang secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan
pembagian, masa remaja awal: umur 12-15 tahun, masa remaja pertengahan: 15-18
tahun, dan masa remaja akhir: 18-21 tahun (Monks, 2006).
The Health Resources and Service Administrations Guidelines Amerika Serikat, rentang usia remaja adalah 11-21 tahun dan terbagi menjadi tiga tahap yaitu
remaja awal (11-14 tahun) remaja menengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18-21
tahun) (Kusmiran, 2011).
Pinem (2009) juga membagi perkembangan masa remaja menjadi tiga tahap
dalam rentang usia 10-19 tahun yaitu:
1. Masa remaja awal; (10-12 tahun) dengan ciri khas antara lain: ingin bebas, lebih
dekat dengan teman sebaya, mulai berpikir abstrak dan lebih banyak
memperhatikan keadaan tubuhnya.
2. Masa remaja tengah (13-15 tahun) dengan ciri khas antara lain: mencari identitas
diri, timbul keinginan untuk berkencan, berkhayal tentang aktivitas seksual,
mempunyai rasa cinta yang mendalam.
3. Masa remaja akhir (16-19 tahun) dengan ciri khas antara lain: mampu berpikir
abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani
2.2.2 Ciri Umum Masa Remaja
Menurut Pieter dan Lubis (2010), ciri umum pada masa remaja adalah sebagai
berikut :
1. Sebagai periode peralihan
Peralihan berarti terputus atau berubah dari apa yang pernah terjadi
sebelumnya. Peralihan adalah proses perkembangan dari satu tahap ke tahap
berikutnya. Apa yang tertinggal pada satu tahap akan memberikan dampak di
masa akan datang. Osterrieth (1982) dalam Pieter dan Lubis (2010) mengatakan
bahwa struktur psikis dari remaja ialah kelanjutan dari perkembangan masa
pubertas.
2. Periode mencari identitas diri
Pada masa ini, remaja tidak puas lagi untuk sama dengan teman-temannya.
Remaja selalu mencari identitas diri guna menjelaskan siapa dirinya, apa
peranannya, apakah dia masih kanak-kanak atau telah menjadi orang dewasa,
apakah siap menjadi suami atau istri, apakah percaya diri dengan latar belakang
berbeda. Persepsi identitas diri remaja berkembang secara perlahan melalui
pengulangan identifikasi saat masa kanak-kanak. Nilai dan standar moral orang
tua akan dikombinasi dengan nilai dan standar moral menjadi nilai dan standar
baru.
Mencari identitas diri dan mengangkat harga diri akan mengarahkan remaja
untuk memakai simbol status harga diri, seperti mobil, pakaian, atau bentuk harta
dan sekaligus mempertahankan hubungan sosial. Manakala pandangan orang tua
berbeda dengan pandangan teman-teman sebaya atau figur tokoh ideal,
memungkinkan timbulnya konflik. Konflik bisa membuat bingung peran (role confusion). Namun biasanya remaja akan mencoba mereduksi konflik peran secara bergantian, terutama jika mereka menghadapi kesulitan. Remaja akan
mensintesiskan ke dalam berbagai peran dan membentuk satu identitas diri yang
bisa diterimanya secara personal oleh kelompoknya. Konsep dasar seperti ini
membuat remaja selalu bereksperimen dalam menjalankan peran sesuai waktu
dan situasi.
2.2.3 Proses Perubahan pada Masa Remaja
Pada masa remaja perubahan-perubahan besar terjadi dalam kedua aspek
tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa ciri umum yang menonjol pada masa
remaja adalah berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan
lingkungan sosial membawa berbagai dampak pada perilaku remaja. Secara ringkas,
Lerner dan Hultsch (1983) dalam Agustiani (2006), proses perubahan tersebut dan
interaksi antara beberapa aspek yang berubah selama masa remaja bisa diuraikan
seperti berikut ini:
1. Perubahan fisik
Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh remaja
adalah perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas
atau pada awal masa remaja yaitu sekitar umur 11-5 tahun pada wanita dan 12-16
membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks
sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan
untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan itu,
berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh
untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. Seorang individu lalu mulai
terlihat berbeda, dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru, dia sendiri
mulai merasa adanya perbedaan.
2. Perubahan emosionalitas
Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal adalah perubahan
dalam aspek emosional pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan
hormonal, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah
remaja. Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan
dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru
menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan
sebelumnya. Keterbatasannya untuk secara kognitif mengolah
perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan-perubahan besar dalam fluktuasi
emosinya. Dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh sosial yang juga
senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya, media massa, dan minat
pada jenis seks lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual. Ini semua
3. Perubahan kognitif
Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan emosional
makin dirumitkan oleh fakta bahwa individu juga sedang mengalami perubahan
kognitif. Perubahan dalam kemampuan berpikir ini diungkapkan oleh Piaget
(1972) sebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12
tahun ini, remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang
ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis dan
abstrak dari realitas. Kemampuan-kemampuan berpikir yang baru ini
memungkinkan individu untuk berpikir secara abstrak, dan hipotetis yang pada
gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu untuk mengimajinasikan
kemungkinan lain untuk segala hal.
2.2.4 Fase Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Menurut Soetjiningsih (2004), perkembangan fisik termasuk organ seksual
serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada anak laki-laki
maupun pada anak perempuan akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja
secara keseluruhan. Perkembangan seksual tersebut sesuai dengan beberapa fase
mulai praremaja, remaja awal, remaja menengah, sampai pada remaja akhir.
1. Pra remaja
Masa praremaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang
sesungguhnya. Pada masa praremaja ada beberapa indikator yang telah ditentukan
tersebut ialah indikator biologis yang berdasarkan jenis kromosom, bentuk gonad
dan kadar hormon. Ciri-ciri perkembangan seksual pada masa ini antara lain
perkembangan fisik yang masih tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Pada
masa praremaja ini mereka sudah mulai senang mencari tahu informasi tentang
seks dan mitos seks baik dari teman sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya.
Penampilan fisik dan mental secara seksual tidak banyak memberikan kesan yang
berarti.
2. Remaja awal
Merupakan tahap awal (permulaan), remaja sudah mulai tampak ada
perubahan fisik yaitu fisik sudah mulai matang dan berkembang. Pada masa ini
mereka sudah mulai mencoba melakukan onani (masturbasi) karena telah
seringkali terangsang secara seksual akibat pematangan yang dialami.
Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar
testosterone pada laki-laki dan estrogen pada remaja perempuan. Sebagian dari
mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan, tetapi ternyata sebagian dari
mereka justru selama atau sesudah merasakan kenikmatan tersebut kemudian
merasa kecewa dan merasa berdosa.
3. Remaja menengah
Pada masa remaja menengah, para remaja sudah mengalami pematangan
fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan
anak perempuan sudah mengalami haid. Pada masa ini gairah seksual remaja
mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik. Namun demikian,
perilaku seksual mereka masih secara alamiah. Mereka tidak jarang melakukan
pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang mereka mencari kesempatan
untuk melakukan hubungan seksual. Sebagian besar dari mereka mempunyai
sikap yang tidak mau bertanggungjawab terhadap perilaku seksual yang mereka
lakukan.
4. Remaja akhir
Pada masa remaja akhir, remaja sudah mengalami perkembangan fisik
secara penuh, sudah seperti orang dewasa. Mereka telah mempunyai perilaku
seksual yang sudah jelas dan mereka sudah mulai mengembangkannya dalam
bentuk pacaran.
2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Soetjiningsih (2004), hubungan seksual yang pertama dialami oleh
remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :
1. Waktu/saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami tentang
apa yang akan dialaminya.
2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.
3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk
melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga
hubungan akan makin mendalam.
5. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk
memasuki masa remaja dengan baik.
6. Kurangnya kontrol dari orang tua. Orang tua terlalu sibuk sehingga perhatian
terhadap anak kurang baik.
7. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas berkecukupan akan mudah
melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya
kesempatan melakukan hubungan seksual. Sebaliknya kelompok yang ekonomi
lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan untuk
memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.
8. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain sering
mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-tempat sepi.
9. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin
menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya,
misal mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk
seorang perempuan untuk melayani kepuasan seksualnya.
10.Pengaruh media massa yang menampilkan perilaku seks bebas. Informasi seksual
dari media cetak seperti gambar dan cerita menjurus porno di majalah, koran.
Sedangkan informasi pornografi media elektronik seperti menonton film porno,
melihat gambar porno, dan cerita-cerita porno di internet, menonton film di VCD/
DVD, melalui hand phone.
11.Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol. Peningkatan penggunaan obat
12.Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh
dan mana yang tidak boleh.
13.Mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan aktivitas seksual sebab sudah
merasa matang secara fisik.
14.Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.
15.Penerimaan aktivitas seksual pacarnya.
16.Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.
17.Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon
reproduksi/seksual.
Dari faktor-faktor yang memengaruhi remaja melakukan perilaku seksual
pranikah di atas, terdapat pengaruh teman sebaya dan media massa sebagai sumber
informasi seksual. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian terdahulu yang
membuktikan bahwa adanya pengaruh variabel teman sebaya dan sumber informasi
seksual terhadap perilaku seksual pranikah.
Penelitian Suharsa (2006) meneliti interaksi teman sebaya dengan perilaku
seksual siswa SMA di Kabupaten Pandeglang menunjukkan bahwa responden yang
aktif berinteraksi dengan teman sebaya berpeluang melakukan perilaku seksual
pranikah 7 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak aktif berinteraksi
dengan teman sebayanya.
Penelitian Nursal (2008) mendapatkan hasil bahwa responden yang terpapar
media elektronik mempunyai peluang 3,06 kali untuk berperilaku seksual berisiko
sedangkan responden yang terpapar media cetak mempunyai peluang 4,44 kali untuk
berperilaku seksual berisiko berat dibanding tidak terpapar dengan media cetak.
2.4 Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang
kira-kira sama. Dalam pembentukan kelompok teman sebaya selain diperhatikan
persamaan usia, para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya,
seperti hobi, status sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah,
tempat tinggal, agama dan juga ras (Ghozaly, 2011).
Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari
orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya
remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja.
Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial,
karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam
kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber
kesenangannya dan keterikatannya dengan teman sebaya begitu kuat. Kecenderungan
keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya (Soetjiningsih, 2004).
Horrocks dan Benimoff dalam Hurlock (2003) menjelaskan bahwa
kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan
sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, di sinilah ia dinilai oleh
orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan
sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan
sebuah dunia tempat remaja melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai
yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan
oleh teman-teman sebayanya. Jadi, dalam kelompok sebaya ini remaja memperoleh
dukungan untuk memperjuangkan emansipasi dan di situ pula ia dapat menemukan
dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu
melakukannya.
Dalam kelompok sebaya (peer group), individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat
memperkuat kelompok itu. Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya
struktur organisasi, namun di antara anggota kelompok merasakan adanya
tanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam kelompok
sebaya, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan
rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dalam teman sebaya
pengaruh pola hubungan, konformitas, kepemimpinan kelompok, adaptasi sangat
besar terhadap remaja (Santosa, 2009).
Menurut Santosa (2009), timbulnya latar belakang kelompok sebaya, adalah
1. Adanya perkembangan proses sosialisasi
Pada usia remaja (usia anak SMP dan SMA), individu mengalami proses
sosialisasi. Ketika sedang belajar mereka memperoleh kemantapan sosial untuk
mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Dengan demikian, individu mencari
kelompok yang sesuai dengan keinginannya bisa saling berinteraksi satu sama
lain dan merasa diterima dalam kelompok.
2. Kebutuhan untuk menerima penghargaan
Secara psikologis, individu butuh penghargaan dari orang lain agar
mendapat kepuasan dari apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu, individu
bergabung dengan teman sebayanya yang mempunyai kebutuhan psikologis
yang sama yaitu ingin dihargai. Dengan demikian, individu merasakan
kebersamaan atau kekompakan dalam kelompok teman sebayanya.
3. Perlu perhatian dari orang lain
Individu perlu perhatian dari orang lain terutama yang merasa senasib
dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebayanya, ketika
individu merasa sama dengan lainnya, mereka tidak merasakan adanya
perbedaan status seperti jika mereka bergabung dengan dunia orang dewasa.
4. Ingin menemukan dunianya
Di dalam kelompok sebaya ini dapat menemukan dunianya yang berbeda
dengan dunia orang dewasa. Mereka mempunyai persamaan pembicaraan di
Dalam kelompok teman sebaya terjadi interaksi yang saling memengaruhi
meliputi pola hubungan, konformitas, kepemimpinan kelompok, dan adaptasi.
2.4.1 Pola Hubungan
Interaksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan persahabatan
dan hubungan dengan sebaya. Pola persahabatan pada anak sekolah pada umumnya
terjadi atas dasar interest dan aktivitas bersama. Pola hubungan persahabatan dan hubungan sebaya bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat seperti ada saling
pengertian, saling membantu, saling percaya, dan saling menghargai dan menerima
(Monks, 2006). Menurut Lai Gaipa (1979) dalam Monks (2006) ketiga sifat berikut
ini merupakan inti persahabatan yaitu : (1) loyalitas (jujur dan setia), (b) rasa simpati
(tidak ada distansi), dan (3) tulus (tidak ada rasa segan, malu atau kompetisi). Sifat
inti persahabatan ini ditemukan pada masa remaja, namun juga sudah nampak pada
masa kanak-kanak.
Persahabatan merupakan hubungan antar individu yang ditandai dengan
keakraban, saling percaya, menerima satu dengan yang lain, mau berbagi
perasaan, pemikiran dan pengalaman, serta kadang-kadang melakukan aktivitas
bersama. Dengan persahabatan, seorang remaja memperoleh teman untuk bergaul,
sehingga akan dapat mengembangkan keterampilan sosial, konsep diri, harga diri,
dan akan memperoleh dukungan emosional bila menghadapi suatu masalah
(Dariyo, 2004).
Antara teman dan sahabat memiliki perbedaan, walaupun keduanya
biasanya tidak memiliki hubungan emosional yang dekat, dibandingkan dengan
seorang sahabat. Akan tetapi hubungan antar individu yang ditandai dengan
kepentingan sepihak saja, tidak akan bertahan lama, dan segera mengalami
disintegrasi misalnya sikap egois, yakni seseorang akan berteman orang lain, jika
orang itu dianggap dapat memberi keuntungan terhadap dirinya. Sementara itu,
seorang sahabat yang sejati akan memiliki kedekatan secara emosional (emotional attachment) dengan individu yang dipercayainya. Karena dipercaya, maka seorang sahabat akan mau menjadi tempat pencurahan perasaan baik suka maupun duka dari
sahabatnya, demikian pula sebaliknya. Hubungan akrab tersebut, bukan sekedar
basa-basi yang nampak dari sisi luar saja, tetapi keakraban tersebut merupakan cerminan
dari sifat ketulusan (kemurnian) hati yang paling dalam (Dariyo, 2004).
Remaja sebagai kelompok cenderung lebih “memilih-milih” dalam mencari
rekan atau teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena
itu, remaja dengan latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda
dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang
sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, ia cenderung
tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana
dilakukan oleh anak yang lebih besar (Hurlock, 2003).
2.4.2 Konformitas
Menurut Kiesler dan Kiesler (1969) dalam Rakhmat (2008), konformitas
adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai
kelompok karena menganggap kelompok sebagai petunjuk untuk memilih alternatif.
Pengaruh sosial normatif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti jejaka
yang menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat calon mertuanya, pelamar kerja
yang mengangguk-angguk di depan calon majikan, mahasiswa yang mengiyakan
pendapat dosennya, adalah contoh-contoh pengaruh sosial normatif.
Dalam tiap kelompok sebaya, kecenderungan kohesi bertambah dengan
bertambahnya frekuensi interaksi. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat
berkembanglah suatu iklim kelompok dan norma-norma kelompok tertentu.
Pemberian norma tingkah laku oleh kelompok sebaya (peers group). Norma kelompok dapat berbeda sekali dengan norma yang dibawa remaja dari keluarga
yang sudah lebih dihayatinya karena sudah sejak kecil diajarkan oleh orang tua. Bila
norma kelompok lebih baik dari norma keluarga, maka hal tersebut tidak memberikan
masalah apapun, asalkan remaja betul-betul meyakini norma kelompok yang
dianutnya. Tetapi justru adanya paksaan dari norma kelompok, menyulitkan bahkan
tidak memungkinkan dicapainya keyakinan diri. Sifat “kolektif”nya akan menguasai
tingkah laku individu. Kecenderungan untuk membatasi rasionalitas dan berpikir
rasional ini tidak membantu perkembangan kepribadian yang sebenarnya. Sementara
orang menilai konformitas kelompok ini positif sebagai upaya menentukan identitas
diri (Monks, 2006).
Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal. Remaja
yang kontrol eksternalnya lebih tinggi akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok.
kelas sosial lebih rendah mempunyai kecenderungan yang lebih banyak untuk
melakukan konformitas dengan kelompoknya. Bila kelompok tersebut dirasa
menguntungkan maka remaja akan berbuat sesuai dengan tuntutan kelompoknya,
juga bila tuntutan tadi bertentangan dengan norma-norma yang baik. Di samping itu
perlu disadari bahwa moral dari kelas sosial yang lebih tinggi bukan merupakan
moral kelas sosial yang lebih rendah.
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman
sebaya dibanding orang tua. Dibanding masa kanak-kanak, remaja lebih banyak
melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, dan
bermain dengan teman. Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman
sangat besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku
diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif
yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja
dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya.
Kelompok teman sebaya diakui dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan
seorang remaja tentang perilakunya. Conger (1991) dan Papalia dan Olds (2001)
mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama
bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi
remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara
berpakaian yang menarik, musik, film apa yang bagus, dan seks (Jahja, 2011).
Besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan sosial remaja mendorong
remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa
crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar biasanya terdiri dari beberapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka clique
mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Di dalam pembentukan kelompok
juga akan diikuti juga dengan adanya perilaku konformitas kelompok, dimana remaja
akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar
mereka dapat diterima oleh kelompoknya (Soetjiningsih, 2004).
Rakhmat (2008) mengatakan bahwa konformitas merupakan produk interaksi
antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor situasional
yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara
menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan
tingkat kesepakatan kelompok. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh
norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran
mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Sampai tingkat tertentu,
makin besar ukurannya, makin tinggi tingkat konformitasnya.
2.4.3 Kepemimpinan Kelompok
Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif memengaruhi
kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Seorang pemimpin ditunjuk atau
muncul setelah proses komunikasi kelompok. Apa pun yang terjadi, kepemimpinan
adalah faktor yang paling menentukan keefektifan kelompok. Klasifikasi gaya
kepemimpinan yang klasik dilakukan oleh White dan Lippit (1960) yaitu gaya
Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu
anggota kelompok untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan.
Kepemimpinan laissez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi pemimpin yang minimal
(Rakhmat, 2008).
Dari tiga kepemimpinan tersebut, kepemimpinan otoriter menimbulkan
permusuhan, agresi, dan sekaligus perilaku egosentris. Di sini, tampak lebih banyak
ketergantungan dan kurang kemandirian anggota kelompok, di samping adanya
kekecewaan yang tersembunyi. Kepemimpinan demokratis terbukti paling efisien,
dan menghasilkan kuantitas kerja yang lebih tinggi daripada kepemimpinan otoriter.
Di dalamnya terdapat lebih banyak kemandirian dan persahabatan. Pemimpin laissez faire hanya memiliki kelebihan dalam menyampaikan informasi saja (Rakhmat, 2008).
2.4.4 Adaptasi
Teman sebaya dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja.
Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula
(Santrock 2003). Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi
ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan. Sebaliknya secara positif,
menurut Vembriarto dalam Bantarti (2000) kelompok teman sebaya adalah tempat
terjadinya proses belajar sosial atau adaptasi, yakni suatu proses dimana individu
nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat, dan mengembangkannya
menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya
Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan
teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh
teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar
daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila
mereka memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang
populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih
besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan
terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa
memperdulikan perasaan mereka sendiri (Hurlock, 2003).
Remaja merasakan bahwa membahas soal seks, kesehatan reproduksi remaja,
perilaku seksual, lebih terbuka dan lebih senang bila dilakukan dengan teman sebaya
sendiri (peer group) dari pada dengan orang tua. Pada umumnya remaja sangat menghargai pertemanan. Jalinan komunikasi antar teman sebaya lebih baik dan lebih
terbuka. Banyak remaja merasa enggan untuk menyampaikan masalah dan mencari
jawaban dari orang tuanya sementara banyak juga orang tua yang tidak mempunyai
pengetahuan dan merasa risih untuk membicarakan mengenai perkembangan
biologis, psikologis dengan anak remajanya (Pinem, 2009).
Kedekatan dengan teman sebaya pada masa remaja sangat tinggi, karena
selain ikatan teman sepermainan menggantikan ikatan keluarga, mereka juga
sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi. Maka tidak heran bila remaja
mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku teman sebaya
dan mengadopsi informasi yang diterima dari teman-temannya. Informasi dalam hal
ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tidak jarang menimbulkan rasa
penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk
menjawab pertanyaan itu mereka sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang
diterima sehingga remaja cenderung melakukan dan mengalami seks pranikah itu
sendiri (Juliastuti, 2009).
2.5 Pengaruh Sumber Informasi terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Media massa sebagai sumber informasi merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual pranikah. Media
baik elektronik maupun media cetak banyak disorot sebagai salah satu penyebab
utama menurunnya moral umat manusia termasuk remaja. Berbagai tayangan yang
sangat menonjolkan aspek pornografi, yaitu gambar dan foto-foto dengan pakaian
minim di sampul depan majalah, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks
di koran atau majalah, adegan persetubuhan yang dapat diakses dengan mudah di
internet, Video Compact Disk (VCD), bioskop, dan lain-lain merangsang remaja untuk melakukan adegan seperti yang dilihat, dibaca, ataupun ditontonnya
tersebut. Pada saat ini, media massa baik media cetak maupun media elektronik
banyak menampilkan seksualitas secara vulgar yang dapat merangsang birahi
2.5.1 Media Cetak
Media cetak merupakan media komunikasi pertama yang dikenal manusia
sebagai media yang memenuhi ciri-ciri komunikasi arah (satu arah, lembaga, umum,
serempak). Media cetak berbentuk surat kabar, tabloid, majalah, bulletin. Pengertian
media cetak menurut Rhenald Kasali (1992) dalam Febrian (2011) media cetak
adalah suatu media yang statis dan mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini
terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambar, atau foto, dalam tata warna dan
halaman hitam putih. Media cetak adalah suatu dokumen atas segala hal yang
dikatakan orang lain atau peristiwa yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam
bentuk kata-kata, gambar, foto, dan sebagainya.
Ciri-ciri media cetak yaitu daya tampungnya tinggi (memiliki peluang untuk
menambah halaman), daya dokumentasinya tinggi (sangat mudah disimpan atau
diperbanyak), jaringan distribusinya terbatas (karena sifatnya yang literer). Menurut
Dominick (2001) dalam Febrian (2011), media cetak memiliki kelebihan sekaligus
kekurangan yaitu: pertama, kelebihan media cetak yaitu pada kedalaman analisisnya
yang lebih panjang dan tajam, kekurangannya dimensi “ruang” (space) lebih menentukan cara penyampaian berita. Kedua, media cetak memiliki kekayaan dalam
memberi informasi kepada khalayak yang lebih banyak dan mudah diingat, media
cetak lebih permanen, dalam pengertian membacanya bisa diulang-ulang, dan bisa
dibaca kapan saja. Ketiga, kekurangan media cetak terletak antara hubungan
Keempat, proses penyajian berita pada media cetak lebih sederhana, yang
menentukan wartawan sendiri dan redakturnya.
Meningkatnya minat seksual membuat remaja selalu berusaha mencari lebih
banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang memperoleh informasi
tentang seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu, mereka selalu terdorong untuk
mencari informasi seks melalui higienis seks, media cetak seperti majalah dan koran
yang menampilkan gambar-gambar vulgar, buku-buku seks dari temannya, internet,
mengadakan eksperimen seksual, masturbasi, bercumbu, atau melakukan senggama.
Minat utama seks remaja yaitu pada hubungan seks, konteks, dan perilaku seksual
(Pieter dan Lubis, 2010).
Sarwono (2011) mengutip penelitian yang menghubungkan perilaku seksual
dengan kadar informasi remaja tentang seks di Hongkong pada tahun 1981 terhadap
3.917 pelajar mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka memperoleh
pengetahuannya terutama dari media cetak seperti surat kabar, majalah atau
ceramah-ceramah tentang seks. Hanya 11% yang menyatakan bahwa mereka bisa
bertanya kepada orang tuanya.
2.5.2 Media Elektronik
Media elektronik adalah media yang menggunakan elektronik atau energi
elektromekanis bagi pengguna akhir untuk mengakses isinya. Istilah ini merupakan
kontras dari media statis (terutama media cetak), yang meskipun sering dihasilkan
secara elektronis tapi tidak membutuhkan elektronik untuk diakses oleh pengguna
adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia. Media elektronik dapat
berbentuk analog maupun digital walaupun media baru pada umumnya berbentuk
digital. Contoh media elektronik yaitu televisi, radio, HP, VCD/DVD, internet
(Febrian, 2011).
Ciri-ciri media elektronik yaitu: menggunakan media massa dengan organisasi
(lembaga media) yang jelas, komunikator memiliki keahlian tertentu, pesan searah
dan umum serta melalui proses produksi dan terencana, khalayak yang dituju
heterogen dan anonim, kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan, ada
pengaruh yang dikehendaki, dalam konteks sosial terjadi saling memengaruhi antara
media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya, seperti halnya media yang dapat
memengaruhi remaja terutama dalam perilaku seksualnya (Febrian, 2011).
Rasa ingin tahu dari remaja terutama dalam hal seks kurang disertai dengan
pertimbangan rasional dan pengetahuan yang cukup tentang akibat yang didapat dari
perbuatan yang dilakukannya. Selain itu rasa ingin tahu dianggap sebagai manusia
dewasa, kaburnya nilai-nilai yang dianut, kurangnya kontrol dari pihak yang lebih tua
berkembangnya naluri seks akibat berkembangnya alat-alat kelamin sekunder,
kurangnya informasi seks menyebabkan para remaja sering mengambil
keputusan-keputusan yang kurang tepat. Hal ini pulalah yang mendorong remaja melakukan
hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan pada masa remaja (Asfriyati, 2005).
Menurut Goleman (2006) ketika teknologi atau media menawarkan
komunikasi, sesungguhnya itu adalah sebuah isolasi karena manusia akan
mendengarkan cerita lucu yang sama, namun mereka tetap kesepian. Media seperti
internet dan televisi akan memunculkan pola baru dalam hubungan antar manusia,
yaitu cara manusia membina hubungan dan memutuskan hubungan (Ghozaly, 2011).
Calzo dan Suzuki (2004) menyebutkan bahwa media elektronik sering
digunakan oleh remaja sebagai sumber informasi dan sebagai media komunikasi
dengan teman sebayanya. Kenneavy et.al. (2006) menyebutkan bahwa pada usia remaja, pencarian informasi merupakan salah satu hal yang paling penting, terutama
informasi mengenai seks dan aturan orang dewasa. Media elektronik merupakan
sumber pencarian informasi yang paling banyak digunakan oleh remaja karena media
masa sangat mudah diakses dan pesan yang disampaikan oleh media elektronik juga
sangat efektif dan atraktif. Selain memberikan informasi mengenai seks secara bebas,
media elektronik juga memberikan contoh perilaku kekerasan bagi remaja (Ghozaly,
2011).
Banyak sekali informasi melalui media massa seperti media elektronik yang
ditayangkan secara gencar, vulgar (seronok), dan bersifat tidak mendidik tetapi lebih
cenderung memengaruhi dan mendorong perilaku seksual yang tidak
bertanggungjawab. Keterpaparan remaja terhadap pornografi dalam bentuk film
porno semakin meningkat. Konsultasi seks yang diberikan melalui media elektronik
yang disebut sebagai pendidikan sekolah, penayangan film tertentu di televisi dapat
menyebabkan salah persepsi/pemahaman yang kurang tepat terhadap kesehatan
reproduksi. Di sisi lain penerangan melalui media bersifat audio visual sangat terbatas
Media elektronik dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian dan
meningkatkan kesadaran berbagai pihak terhadap berbagai perkembangan situasi
(positif dan negatif) yang terjadi dewasa ini. Video porno selalu menjadi penyebab
dari sebagian besar tindak kekerasan pemerkosaan dan pelecehan seksual. Video
game juga merupakan media yang sangat diminati anak-anak dan banyak
mempunyai pengaruh negatif dengan gambar-gambar sensual dan cenderung porno
(Dianawati, 2006).
Sarwono (2011) mengatakan bahwa kecenderungan pelanggaran terhadap
perilaku seksual remaja makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi
dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih
(video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain)
menjadi tak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan
ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa,
khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah
seksual secara lengkap dari orang tuanya.
2.6 Landasan Teori
Cinta dan seks merupakan salah satu problem terbesar remaja di seluruh
dunia. Pada saat ini banyak remaja beranggapan bahwa cinta dan seks merupakan
dua hal yang berhubungan erat. Bila cinta terhadap seseorang harus dibumbui dengan
perilaku seks, dan seks yang dilakukan dengan pasangan harus berlandaskan cinta.
remaja tersebut sering menimbulkan dampak yang tidak disadarinya seperti
kehamilan remaja, aborsi, putus sekolah, perkawinan dini, perceraian, tertular
penyakit kelamin, dan lain-lain. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perilaku
seks pada remaja terutama faktor eksternal, karena pada masa remaja mudah
dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya seperti teman sebaya dan
sumber informasi dari media massa yang kurang tepat.
Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku merupakan bentuk respon
atau reaksi terhadap stimulus atau rangsang dari luar organisme (orang), namun
dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain
dari orang yang bersangkutan (determinan perilaku). Faktor determinan perilaku ada
dua yaitu: 1) faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, 2) faktor
eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik
dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang
mewarnai perilaku seseorang.
Menurut Hosland (1953) yang mengembangkan teori Skiner (1938) dalam
Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah
sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan
proses belajar pada individu yang terdiri dari :
1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak.
Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak
diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut
efektif.
2.
3.
Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia
mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
4.
Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan
untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
Perubahan perilaku remaja dapat disandarkan pada teori perubahan perilaku
dari Skiner (1938) yang dikembangkan Hosland (1953) dalam Notoatmodjo (2010)
yang terkenal dengan teori Stimulus Organisme Respon (Stimulus-Organism-Response/SOR). Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme,
artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan
perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat.
Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan
perilaku).
Stimulus yang memengaruhi remaja berperilaku seksual pranikah berupa
rangsangan yang datang dari luar diri remaja tersebut seperti pengaruh teman sebaya,
mendengar, melihat, membaca, menonton, berfikir. Organisme akan memberi
organisme direspons dalam bentuk perilaku yang dibedakan dalam perilaku tertutup
(covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup masih dalam bentuk sikap remaja, sedangkan perilaku terbuka yaitu perilaku seksual
pranikah yang nyata.
Perilaku seseorang dapat berubah apabila stimulus (rangsang) yang
diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat
melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme faktor reinforcement
memegang peranan penting. Proses perubahan perilaku berdasarkan teori SOR
digambarkan sebagai berikut :
2.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan judul penelitian dan landasan teori kepustakaan yang telah
diuraikan di atas maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen
Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Teman Sebaya: - Pola Hubungan - Konformitas
- Kepemimpinan Kelompok - Adaptasi
Perilaku Seksual Pranikah