KOMUNITAS MUSIK INDIE
(STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PERILAKU KOLEKTIF KOMUNITAS MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Oleh :
FAUZI ABDULLAH NIM : 070905044
ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN ORIGINALITAS
KOMUNITAS MUSIK INDIE (STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PERILAKU KOLEKTIF MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juni 2011
ABSTRAK
Fauzi Abdullah, 2011. Judul Skripsi: Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 124 halaman, dan 3 daftar tabel.
Tulisan ini berjudul Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan, memaparkan kreativitas remaja-remaja komunitas musik indie, dan mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap dua kategori informan, yaitu informan yang merupakan remaja-remaja selaku pelaku komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement. Kategori informan yang kedua adalah remaja-remaja kota Medan selaku penikmat musik indie. Remaja-remaja selaku pelaku langsung ketiga komunitas musik indie tersebut adalah remaja-remaja yang sudah lama bergabung dan aktif dalam setiap kegiatan komunitas, serta dianggap yang paling berkompeten dari seluruh anggota komunitas untuk memberikan informasi mengenai pergerakan komunitasnya. Adapun remaja-remaja sebagai penikmat musik indie yang dimaksudkan disini, merupakan remaja-remaja kota Medan yang tidak tergabung sebagai anggota komunitas musik indie. Namun, remaja-remaja tersebut memiliki ketertarikan yang besar terhadap musik indie, khususnya musik indie di kota Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas musik indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik indie
melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian) tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik. Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie mempunyai idealisme yang lebih mengutamakan kenyamanan, kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major label (mainstream/budaya pop).
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di kota Medan)” ini dengan baik.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum selaku dosen penasehat akademik
yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
segala urusan akademis selama masa perkuliahan. Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum
juga selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan,
motivasi, arahan, waktu, serta tak kenal lelah memberikan perhatiannya kepada
penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska
selaku Ketua Departemen sekaligus dosen yang metode pengajarannya selalu
memotivasi penulis untuk lebih banyak mendalami ilmu Antropologi. Dan Bapak
Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU
sekaligus dosen yang lewat pikirannya yang bersahabat dan laku yang lembut
serta sabar dalam memotivasi mahasiswanya, khususnya bagi penulis dalam
menimba ilmu Antropologi selama kuliah. dan kepada seluruh staf pengajar
Departemen Antopologi FISIP USU, serta Kak Nur selaku staf administrasi
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang
tak kenal lelah berjuang di komunitas musik indie. Terlebih kepada Bimbim
(Indra Antian Sitompul) dan seluruh teman di komunitas Medan Movement,
Torep dan teman-teman di komunitas Kirana, serta Ari dan teman-teman di
komunitas Tomat baik yang masih aktif ataupun anggota lama yang sudah tidak
aktif lagi. Informan-informan yang telah berkenan meluangkan waktunya
memberikan informasi kepada penulis, sehingga dapat diselesaikkan skripsi ini.
Bang Panjang yang telah banyak membantu dan menemani penulis dalam
menulis.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam
kepada Ibunda Hj. Laysah (Almarhumah) yang cinta tulus dan nasehatnya semasa
hidup selalu mengiri penulis agar tak kenal lelah dalam menuntut ilmu
setinggi-tingginya. Ayahanda H. Juadi yang telah mencurahkan segala kasih sayang, cinta
yang tak terhingga, dan do’a serta dukungan yang tidak pernah terputus kepada
penulis. Dan kepada saudara-saudara penulis, Evi Yulianti dan Suami (Agus
Wibowo), serta keponakan penulis, Livia Dini Hanifah, Ulva Dwi Oktavianti dan
Satrio Wibowo. Yudi Artanto, SE dan Istri (Jenny Marisha Siregar, S.Psi), dr.Beni
Satria dan Istri (dr.Fitriana Nasution), Iwan Faisal, ST, S.Sos dan Ibu Susi (Adik
dari Almarhumah Ibunda) terima kasih atas do’a dan dukungannya.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Adinda
Martha Fitrianti Siregar atas perhatian, bantuan, dan dukungan moril kepada
penulis. Juga kepada kerabat-kerabat terbaik sepanjang masa angkatan 2007, Nur
(Nyow), Fikri (Punai) dan kawan kawan seperjuangan lainnya yang juga pernah
ikut menyukseskan Inisiasi Antropologi 2009 bersama kerabat Antropologi 2008
lainnya yang tidak penulis cantumkan, terima kasih atas bantuannya. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Ibnu Avena Matondang (Bang Abu) yang dengan
kemurahan hati berkenan berdiskusi dan memberikan masukan-masukan dalam
ilmu fotografi dan Antropologi, kerabat Antropologi 2009 dan
RIWAYAT HIDUP
Fauzi Abdullah,
nama rumah akrab dengan sapaan Kentung.
Pada komunitas musik indie Medan akrab dengan sapaan Wo,
Bang Bo, Si Wo atau Kebo lahir pada tanggal 28 September 1987, Medan.
Fauzi Abdullah adalah seorang mahasiswa Antropologi yang biasa saja,
gemar berdiskusi dan suka fotografi.
Saat ini juga sedang menyelesaikan kuliah jurusan Hukum Acara
di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Sebelumnya telah menyelesaikan pendidikan
Taman Kanak-kanak di TK Negeri Pembina,
Sekolah Dasar di SD Laksamana Marthadinata Medan.
Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Pertiwi Medan, dan
Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Medan. Dan Fauzi Abdullah
KATA PENGANTAR
Tulisan yang berisi kajian analisis berdasarkan pada pengamatan dan
pengalaman penulis kepada komunitas musik indie Medan yang difokuskan
kepada perilaku kolektif remaja-remaja komunitas musik indie. Komunitas musik
indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop
yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik
indie melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya
pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian)
tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan
masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik.
Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang
memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival
musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari
remaja-remaja komunitas musik indie beridealisme lebih mengutamakan kenyamanan,
kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi
semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major
label (mainstream/budaya pop).
Kehadiran tulisan ini diharapkan bisa menjadi kerabat diskusi dan bacaan
yang bersahabat bagi para pembaca sekaligus menambah referensi dalam
memahami persoalan komunitas musik indie. Akhirnya, kelemahan pasti ada di
setiap individu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, Penulis menyadari
membangun demi kesempurnaan skripsi ini nantinya. Demikian pengantar dari
penulis. Semoga dapat bermanfaat untuk para pembaca. Amin Ya Rabbal’Alamin.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN
Halaman
PERNYATAAN ORIGINALITAS i
ABSTRAK ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
RIWAYAT HIDUP vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian 4
1.3.1. Ruang Lingkup Penelitian 4
1.3.2. Lokasi Penelitian 4
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
1.4.1. Tujuan Penelitian 5 1.4.2. Manfaat Peneltian 5 1.5. Tinjauan Pustaka 6 1.6. Metode Penelitian 17
1.6.1. Rancangan Penelitian 17
1.6.2. Informan Penelitian 17
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data 17
1.6.4. Teknik Analisis Data 21
1.6.5. Lokasi Penelitian 23
BAB II. KONTEKS PENELITIAN 22
2.1. Kota Medan Secara Geografis 23
2.2. Kota Medan Secara Demografis 25
2.3. Komposisi Penduduk Kota Medan 27
2.4. Kota Medan dalam Dimensi Sejarah 32
2.5. Kota Medan Secara Kultural 34
2.6. Visi dan Misi Kota Medan 35
2.7. Kota Medan Secara Sosial 37
2.8. Kota Medan dan Tempat Berkumpulnya Komunitas Musik Indie 38 2.8.1. Studio Musik Kirana dan Komunitas Kirana 40
2.8.2. Studio Musik Tomat dan Komunitas Tomat 44
2.8.3. RV Net dan Komunitas Medan Movement 47
BAB III. MUSIK INDIE 51
3.1. Sejarah Musik Indie 51 3.2. Masuknya Musik Indie di Indonesia 55
3.3. Masuknya Musik Indie di Kota Medan 60
3.4. Lahirnya Komunitas-Komunitas Musik Indie di Kota Medan 65 3.5. Proses Pengerjaan Lagu dan Strategi Pemasaran Karya Lagu 71
atau Album 3.5.1. Proses Pengerjaan Lagu Pada Komunitas Musik Indie 71
3.5.2. Strategi Pemasaran Lagu atau Kaset/Album CD 73
3.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Musik 76
Indie di Kota Medan 3.6.1. Remaja 77
3.6.1.1. Remaja Sebagai Pelaku Komunitas Musik Indie 79
3.6.1.2. Remaja Sebagai Penikmat Musik Indie 79
3.6.2. Studio Musik 82
3.6.3. Media Massa 83
3.6.4. Pertunjukan Musik atau Gigs 85
3.7. Kolektifan Dalam Menyelenggarakan Gigs atau 88
Pertunjukan Musik Indie BAB IV. PERILAKU KOLEKTIF KOMUNITAS MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN 4.1. Perilaku Kolektif Dan Kondisi-Kondisi Pembentuk 94
Perilaku Kolektif 4.2. Identitas dan Solidaritas Komunitas Musik Indie 96
4.3. Perebutan Ruang Publik 105
4.4. Jaring Distribusi Komunitas Musik Indie di Kota Medan 109
4.5. Penolakan Terhadap Mainstream Pop 112
BAB V. PENUTUP 116
5.1. Kesimpulan 116
DAFTAR PUSTAKA 122
LAMPIRAN
- Daftar Pertanyataan Penelitian
- Daftar Informan
- Daftar Istilah
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
1 Jumlah Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005 – 2007
26
2 Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kelompok Umur Tahun 2007
28
3 Perbandingan Antar Band Indie dengan Band Mainstream
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
1 Tampak depan Studio Kirana 41
2 Tongkrongan remaja-remaja komunitas Kirana 41
3 Studio musik Kirana 41
4 Papan Pengunguman 42
5 Meja penjaga studio 42
6 Studio Tomat 44
7 Pintu masuk studio Tomat dan papan pengumuman 45
8 Tongkrongan remaja-remaja komunitas Tomat 46
9 Anggota komunitas Medan Movement sedang makan bersama di halaman RV Net
48
10 Bimbim bersama anggota komunitas Medan Movement lainnya berfoto bersama di halaman RV Net
49
11 Wawancara penulis dengan Yas Budaya 52
12 Rizky Pratama Sembiring 61
13 Gigs indoor 62
14 Penulis foto bersama Rizky P.Sembiring 63
15 Siaran radio Memo Mengudara 64
16 Memo Mengudara di radio Visi FM 64
17 Penampilan “Hairdresser On Fire” pada gigs indoor yang diadakan komunitas Kirana
86
18 Penampilan “Hairdresser On Fire” pada gigs indoor yang diadakan komunitas Kirana
86
19 Penampilan “The Oh Good” dalam gigs Tomato Present
87
20 Penampilan salah satu band indie Medan dalam
gigs Medan Movement di Terminal Futsal.
21 Cuplikan acara Gaboh Brings The Reunion di tabloid Aplaus tanggal 30 April 2011
90
22 Flyer Medan Movement 91
23 Flyer Lost In A Melodic 91
24 Torep saat tampil bersama “The Cangis” di gigs
Medan Movement
99
25 Fandy dan Niko dengan kaos hitam bergambar 99
26 Salah satu personil “ALIONG” dengan kaos merah 100
27 Kaos yang dikenakan salah satu band indie Medan di gigs Medan Movement
100
28 Aksesoris topi yang dikenakan salah satu penonton dalam gigs Medan Movement di Atmosfer Billyard
ABSTRAK
Fauzi Abdullah, 2011. Judul Skripsi: Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 124 halaman, dan 3 daftar tabel.
Tulisan ini berjudul Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan, memaparkan kreativitas remaja-remaja komunitas musik indie, dan mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap dua kategori informan, yaitu informan yang merupakan remaja-remaja selaku pelaku komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement. Kategori informan yang kedua adalah remaja-remaja kota Medan selaku penikmat musik indie. Remaja-remaja selaku pelaku langsung ketiga komunitas musik indie tersebut adalah remaja-remaja yang sudah lama bergabung dan aktif dalam setiap kegiatan komunitas, serta dianggap yang paling berkompeten dari seluruh anggota komunitas untuk memberikan informasi mengenai pergerakan komunitasnya. Adapun remaja-remaja sebagai penikmat musik indie yang dimaksudkan disini, merupakan remaja-remaja kota Medan yang tidak tergabung sebagai anggota komunitas musik indie. Namun, remaja-remaja tersebut memiliki ketertarikan yang besar terhadap musik indie, khususnya musik indie di kota Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas musik indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik indie
melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian) tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik. Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie mempunyai idealisme yang lebih mengutamakan kenyamanan, kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major label (mainstream/budaya pop).
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri. Dalam
kehidupannya manusia sebagai individu membutuhkan peran manusia lain, hal
inilah yang menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan
kondisi dan diri manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain terjadi proses interaksi dan sosialisasi yaitu melalui proses belajar
yang terjadi secara terus menerus. Proses sosialisasi itu pada akhirnya akan
membentuk suatu pemahaman yang sama terhadap sesuatu dalam suatu kelompok
atau komunitasnya (Sunarto, 2004:23).
Terbentuknya suatu pola pengetahuan inilah yang selanjutnya membentuk
tujuan yang sama pada kelompoknya. Proses belajar yang telah menjadi kebiasaan
dapat dikatakan sebagai budaya atau kebudayaan. Koentjaraningrat (1982:182)
mengatakan bahwa kebudayaan adalah:
”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Kesamaan pola pengetahuan antara individu satu dengan individu lainnya
inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya (komunitas) dan pada
akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing
manusia anggota komunitas. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam suatu
perilaku yang disebut dengan perilaku kolektif (Sunarto, 2004:187). Menurut
Lofland (2003:37), istilah perilaku kolektif secara harfiah mengacu pada perilaku
serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas (emergent) yang tidak dilembagakan
(extra-institutional).
Medan sebagai ibukota Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di
Indonesia. Perkembangan teknologi dan akses informasi baik media elektronik
maupun media cetak berkembang dengan pesat di kota yang menuju menjadi kota
metropolitan ini. Dampak dari perkembangan teknologi dan pesatnya akses
informasi salah satunya adalah sangat terbukanya masyarakat khususnya anak
muda atau remaja kota Medan terhadap segala bentuk penyebaran informasi dan
globalisasi. Anak muda atau remaja kota Medan mengambil peran dalam hal
mengikuti perkembangan zaman secara global ini.
Salah satu komunitas anak muda atau remaja dengan perilaku kolektif dan
budaya penolakannya di kota Medan adalah komunitas musik indie. Musik indie
bukan merupakan suatu genre musik, melainkan musik indie adalah jalur bagi
band-band yang menuangkan hasil karyanya secara independent (mandiri) baik
dalam menentukan genre music, lagu dan album musik. Bayu (2003:1)
mengatakan bahwa:
Umumnya, label indie dibangun atas dasar komunitas. Satu dekade
terakhir, label indie bermunculan. Namun, mereka tidak bersaing satu sama lain.
Sebaliknya, mereka justru bergandengan tangan meluaskan pengaruh musik
alternatif. Inilah kekuatan label indie atau sering juga disebut label
nonmainstream (Kompas, 9 Mei 2010). Irwansyah Harahap, musikolog Medan
dalam majalah Kover (Edisi Mei 2010) mengatakan bahwa:
”Sebuah band indie bisa dikatakan berhasil apabila ia berhasil membentuk pasarnya sendiri dan tidak lagi harus didikte label mainstream. Nah, di kita malah masih sering salah kaprah. Orang masih berpikir dan berangan-angan bagaimana caranya agar bisa menembus label mainstream. Padahal, sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah band indie ialah apabila ia mampu mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh label mainstream.”
Sebagai komunitas yang terlepas dari ’kungkungan’ major label,
komunitas ini pun memiliki suatu cara yang khas dalam mengemas setiap
pertunjukan-pertunjukan musik (event atau gigs) sebagai ajang mengekspresikan
karya-karya mereka kepada peminatnya yang pada umumnya berasal dari
kalangan anak muda atau remaja pula. Cara yang khas seperti ini pulalah yang
juga sebagai wujud perilaku kolektif dari komunitas musik indie tersebut. Hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai
komunitas musik indie dan perilaku kolektif komunitas musik indie di kota
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah
yang dimaksud dengan komunitas musik indie dan bagaimana perilaku kolektif
yang ditunjukkan oleh komunitas tersebut?. Dari rumusan permasalahan ini
dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu;
1. Bagaimanakah asal usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas
musik indie?
2. Bagaimana kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan
menyelenggarakan pertunjukan musik?
3. Bagaimana bentuk komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif
dan bagaimana komunitas ini dapat bertahan dalam persaingan musik yang
sangat ketat?
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas musik indie
kota Medan, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan
Movement. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah pertama,
asal-usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie. Kedua,
kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan
menyelenggarakan pertunjukan musik. Dan yang terakhir adalah, komunitas
musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bertahannya komunitas ini
dalam persaingan musik yang sangat ketat. Hal ini dapat diperoleh melalui dua
indie Medan tersebut dan remaja-remaja kota Medan sebagai penikmat musik
indie kota Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena
setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan.
2. Memaparkan kreativitas remaja-remaja pengikut musik indie dalam
menciptakan karya lagu, serta mendeskripsikan kreativitas remaja-remaja
komunitas musik indie dalam menyelenggarakan pertunjukan musik.
3. Mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari
penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Secara
akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya ilmu Antropologi, terutama mengenai komunitas musik indie. Selain
itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan atau literatur bagi
para pembaca yang ingin meneliti lebih jauh mengenai komunitas musik indie dan
perilaku kolektif komunitas tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
pihak-pihak yang terkait dengan komunitas musik indie. Dengan demikian, penelitian ini
dapat membantu para pembaca untuk memahani perilaku kolektif komunitas
musik indie, khususnya di kota Medan.
1.5. Tinjauan Pustaka
Nico frijda mengatakan bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan
penahan. Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia
mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi,
berpakaian, dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal (internal activities) sendiri,
seperti berfikir, persepsi dan emosi, juga merupakan perilaku manusia (dalam
Mutis dkk, 2007:28).
Manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan
sharing (berbagi bersama) dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu
diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya.
Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan
dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu,
relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif
memiliki artefak atau material yang sama (Sunarto, 2004:31).
Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang
sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota
kelompok tersebut (Koentjaraningrat, 1982:140). Selanjutnya, Mutis
(2007:106-121) mengatakan bahwa sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi
kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan.
Menurutnya, ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang
dimiliki manusia tersebut sifatnya :
1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya.
Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat
secara berbeda oleh masing-masing ahli.
2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau
genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan
begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses
pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya
cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat
(evolusi) maupun cepat (revolusi).
Menurut Hermawan (2008:1), secara umum, kelompok diartikan sebagai
kumpulan orang-orang. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua atau
lebih orang yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat
bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah
kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok
atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok,
yaitu 1) adanya interaksi yang terpola dan 2) adanya kesadaran akan identitas
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu
wilayah yang nyata dan berinteraksi secara kontinu sesuai dengan suatu sistem
adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas. Berdasarkan yang tertulis di
Wikipedia, komunitas adalah:
”sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas
yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak".
Sekelompok manusia termasuk yang tergabung dalam suatu komunitas,
yang melakukan suatu kegiatan secara bersama dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kolektivisme (kebersamaan). Perilaku sekelompok manusia yang
dilakukan secara bersama ini pula dapat diistilahkan sebagai perilaku kolektif.
Neil Smelser dalam Suryanto (2008:2) mengidentifikasi beberapa kondisi yang
memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya:
1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan
munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan,
mall, dan sebagainya.
2. Structural Strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul
secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada.
3. Generalized Belief: share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan
suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan
4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu (trigerring incidence). Misal
ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain.
5. Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh,
rapat umum suatu ormas, dan seterusnya.
6. Failure of Social Control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.
Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, komunitas musik indie termasuk
dalam kategori yang ketiga dan keenam yaitu Generalized belief: share
interpretation of event, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam
komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada
umumnya diketahui oleh banyak orang dan Failure of Social Control, yaitu
melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Barker (2008:338), anak muda
adalah:
” petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis, suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia mereka.”
Sibley di dalam bukunya Barker (2008:340) mengemukakan bahwa:
mereka menerobos batas-batas dewasa/anak-anak dan tampak berbeda di ruang ’orang dewasa’... Tindakan menentukan garis batas dalam konstruksi kategori-kategori yang terpisah menyela hal-hal secara alami berkelanjutan.”
Perilaku kolektif anak-anak muda bersama komunitasnya, yaitu berusaha
menginterpretasikan suatu peristiwa akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Khususnya dalam hal musik, anak-anak
muda yang tergabung dalam komunitas musik indie, berusaha melakukan kontrol
sosial tersebut melalui musik indie. Musik indie sebagai suatu hasil karya seni,
merupakan salah satu wujud dari budaya populer. Musik indie adalah salah satu
media yang dapat digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas
ataupun realitas sosial yang ada. Karya seni yang hanya menjadi instrumen
hegemoni yang membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak
disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya, karena
keindahan dan kesan-kesan yang dibawa dan ditawarkannya (Wink, 2008:1).
Munawar (2008:2) mengemukaan bahwa seniman atau penikmat seni
dapat saja acuh terhadap realitas karena disibukkan dengan kontemplasi tentang
cinta, kasih sayang, keharuan dan sebagainya, sehingga tanpa di sadari dia sedang
melanggengkan sebuah tatanan sosial politik ekonomi dan yang lebih parah lagi
implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang
berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang
lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan,
cinta, kasih sayang, dll. Menurutnya, seni sebagai konsep perlawanan adalah
karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan
menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat tetapi juga memiliki
resiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi
sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian.
Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif
perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk
perlawanan budaya (counter culture) tersendiri.
Musik populer cenderung diciptakan dengan beberapa sifat yang salah
satunya berupa representasi kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat
ekspresi, impresi, dan lain-lain. George Planketes melalui esainya yang berjudul
“Music” menyatakan lirik yang berupa kata-kata yang dinyanyikan dalam musik
dapat mensugesti (terutama para remaja) dan akhirnya termanifestasi ke dalam
perilaku pendengar tersebut (Muhary;2007:17).
Thomas Inge dan Dennis Hall dalam Muhary (2007:19) mengatakan :
“Musik merupakan pusat dari ‘pengalaman’ usia remaja, meliputi identitasnya, ideologi, dan aktivitas. Semakin meningkat lirik lagu yang rumit, menjadi sangat kuat dan sangat berarti, dari nyanyian perorangan menjadi musik kelompok perlawanan untuk protes dan perubahan di tengah-tengah pergolakan politik dan sosial dengan latar belakang sebuah massa”
Strinati (2007:78-79) juga mengatakan bahwa:
sebuah mobil Cadillac membedakan mobil-mobil antara satu sama lain, serta menyembunyikan kenyataan bahwa standardisasi tengah terjadi. Menurut Gendron, Adorno mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada mobil terjadi pada music pop. Keduanya dibedakan oleh inti dan periferi (sampingan, tambahan), intinya mengikuti standardisasi, sedangkan periferi tunduk pada individualisasi semu. Proses standardisasi itu terikat dengan kehidupan orang-orang yang harus hidup di dalam masyarakat kapitalis dan dengan status inferior music pop jika dibandingkan dengan music klasik maupun music garda depan. Gendron juga menjelaskan bahwa standardisasi music pop, menurut pandangan Adorno, berlangsung secara diakronis (begitulah, dari waktu ke waktu seiring dengan ditetapkannya standar-standar music pop) maupun secara sinkronis (standar-standar yang berlaku kapan pun).”
Yudhasmara (2010:1) menyebutkan Indie pop adalah sebuah aliran musik
alternative pop yang berasal dari Inggris pada pertengahan era 1980an. Terkadang
istilah indie digunakan untuk menggambarkan grup musik yang berkarier secara
independen. Indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari segala yang ada
pada penyanyi tanpa bantuan langsung label mulai dari merekam,
mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Menurutnya, terdapat
perbedaan antara mainstream dan indie. Umumnya yang dimaksud dengan
mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di
bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan
secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun
internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai
dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos
dengan baik. Klasifikasi kelompok indie itu lebih kepada industrinya,
perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan
band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Masalah utama
mereka adalah uang, karena industri musik mainstream berbasis kepada profit,
jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih
besar pada nilai investasinya.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya
Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend
budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa
varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dan lain-lain
(Fikrie, 2008:1). Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak
pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band
serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu
istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah
underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie
dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim digunakan.
“Pure Saturday”, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal
yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album
pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan
mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti “Waiting Room”,
“Pestol Aer”, “Toilet Sound” dll. Selanjutnya booming Indie semakin menjadi,
ketika “Mocca” (band Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas
100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan “Mocca”, turut
seperti “Puppen”, “Shagy Dog”, “Superman Is Dead”, “Rocket Rockers”,
“Superglad” dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya.
Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam
soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah
di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas
menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia
musik luar negeri ketika itu. Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah
memenjarakan “Koes Ploes”, karena musiknya dituduh identik dengan budaya
kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik
“Koes Ploes”, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. “Koes
Ploes” juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka
mengekspresikan kebebasan.
Semangat-semangat penolakan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band
indie di Indonesia. Terakhir kita dengar “Efek Rumah Kaca” yang lugas dalam
merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian
Munir, seorang aktivis hak azasi manusia. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang
mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu
cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi.
(Kompas, 3 September 2008). “Ras Muhammad” dengan musik reggaenya,
pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal
realitas-realitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti “Marjinal”
yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti “Burger Kill”,
“KOIL”, “Seringai”, “Komunal” dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas
mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme indie dalam
bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi
dan produksi kaset/cd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam
realistas sosial (Fikrie, 2008:1).
Seharusnya band indie merupakan band yang beridealis dengan karakter
musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya
tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri,
seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album.
Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi
internet. Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah
untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang
yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band
indie (mandiri). Selain itu kertertarikan indie maupun Major Label pun akan
bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya,
budaya dan massa.
Pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan karya
mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik indie ataupun
Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari
musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya, bentukan label
yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Sebaliknya, hal ini
karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti
trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan. Majalah Kover (Edisi Mei
2010) menuliskan bahwa:
”Sejarah mencatat, indie label memang tidak selalu bertumpu pada penjualan album secara massal, tapi mengutamakan komunitas dulu. Kemudian membentuk pasarnya sendiri. Sebenarnya, pergerakan indie
sudah menjalar ke ranah musik kita sejak tahun 1990-an. Padi adalah salah satu band indie yang berhasil membentuk komunitasnya sendiri hingga menancapkannya di jalur mainstream.”
Di Medan sendiri hanya beberapa nama band indie yang masih mampu
eksis, semisal “SPR”, “Cherrycola”, “Korine Conception”, “Army Clown”, “Sinar
Band” maupun “Beautiful Monday” yang saat ini dikabarkan sedang menjalani
proses rekaman untuk album band perdana di Jakarta. Band-band indie Medan ini
eksis dengan caranya masing-masing. SPR yang hidup dari panggung ke
panggung atas undangan beberapa event organizer Medan, senasib dengan “Army
Clown”. Sementara ada yang eksis atas kemauan yang kuat lewat promosi ke
promosi album. Caranya beragam, mulai dari menjalin koneksi dengan radio dan
media cetak, misalnya, seperti “Cherrycola” dan “Korine Conception” (Fikrie,
2008:1).
Belakangan, perkembangan musik indie di Medan memang drastis naik.
Diperkirakan jumlahnya ratusan band, mencakup pelajar dan mahasiswa. Mereka
berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang mengekspresikan eksistensi
bandnya dengan membuat mini album tanpa peduli apakah album itu akan
“meledak” di pasaran atau tidak. Ini kemudian diikuti dengan munculnya
beberapa label lainnya. Selain itu, muncul lagi rental-rental rekaman yang ternyata
menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha musik di Medan. Salah satu rental
rekaman yang boleh dikatakan memadai itu adalah Music Room Studio yang
didirikan oleh T Harris. A. Sinar (Riza, 2004:1).
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif
mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan. Dengan
demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas kolektif
remaja-remaja yang tergabung dalam komunitas musik indie bisa terjaring dengan baik.
1.6.2. Informan Penelitian
Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang baik mengenai
komunitas musik indie di kota Medan, maka penulis melakukan pengambilan data
melalui dua kategori informan, yaitu:
1.Pelaku komunitas musik indie yang merupakan pelaku langsung kegiatan musik
maupun pergelaran musik indie di Medan.
2.Penikmat musik indie yang merupakan penonton di setiap pergelaran musik
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk
melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari
lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder
merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku,
literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang
relevan dengan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa
teknik, yaitu :
1.6.3.1. Wawancara
Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk
mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini
juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu,
data-data otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai
dengan wawancara. Menurut Bungin (2007:107) wawancara merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana
pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Wawancara yang dilakukan pada praktek penelitian ini bersifat
dan tidak berencana, dan wawancara mendalam berdasarkan kondisi yang sesuai
dengan keadaan di lapangan. Untuk mendapatkan data tentang pengertian istilah
indie, penulis juga melakukan wawancara melalui surat elektronik (email) ke
email resminya “Pure Saturday” (info@puresaturday.com) yang dianggap sebagai
pioner band indie di Indonesia. Wawancara berencana dan tidak berencana,
penulis lakukan pada informan selaku penikmat musik indie, yaitu informan yang
terbilang sering penulis lihat hadir di setiap acara-acara pertunjukan musik indie
di kota Medan, seperti yang penulis lakukan kepada Nola Pohan, Rizki Maghfira,
dan Acid Anwar. Wawancara kepada informan tersebut langsung penulis lakukan
dengan cara berbincang di tengah-tengah pertunjukan musik indie (gigs).
Kekurangan dan ketidakjelasan data mengenai hal ini, penulis mengatasinya
dengan melakukan wawancara kembali kepada informan dalam gigs berikutnya
yang juga dihadiri oleh informan.
Wawancara mendalam penulis lakukan seperti kepada Yas Budaya (vokalis
“Alone At Last”, band indie asal kota Bandung) dalam kesempatan ketika “Alone
At Last” diundang konser oleh komunitas Medan Movement. “Alone At Last”
merupakan band indie Indonesia yang sampai saat ini mampu eksis dan produktif
dalam menghasilkan karya. “Alone At Last” juga merupakan band indie yang
cukup dikenal oleh remaja-remaja pelaku dan penikmat musik indie, serta
mempunyai friends (dalam dunia musik secara luas dikenal dengan istilah fans)
yang dinamakan ‘Stand Alone Crew’ yang tersebar di seluruh daerah Indonesia.
Atas dasar itulah, penulis langsung meminta waktu kepada Yas Budaya ketika
Last”). Sebelumnya, penulis tidak menyangka, Yas Budaya sangat merespon
dengan baik ajakan penulis untuk berdiskusi (wawancara) mengenai musik indie
dengannya, “Gue demen banget kayak ginian, gue respect sama lo. Yok kita
berbagi cerita” jawab Yas Budaya. Wawancara penulis lakukan dengan Yas
Budaya beberapa jam sebelum “Alone At Last” konser.
Wawancara secara mendalam penulis lakukan khususnya bagi informan
kunci pada ketiga komunitas musik indie, yaitu informan selaku pelaku komunitas
musik indie yang merupakan anggota yang aktif dan berpengaruh di
komunitasnya seperti penulis mewawancarai Torep, Lutfi (Kentung) di komunitas
Kirana. Di komunitas Tomat ada Dicky dan Ari, dan di komunitas Medan
Movement penulis jumpai Indra Antian Sitompul (Bimbim), Fandy dan Darren.
Wawancara mendalam ini dilakukan sesuai dengan waktu dan tempat yang
disepakati informan dengan penulis. Tempat wawancara biasa dilakukan di tempat
berkumpulnya remaja-remaja komunitas tersebut, dan juga pernah dilakukan pada
malam hari di salah satu warung kopi yang ada di kota Medan. Penulis juga
memanfaatkan korespondensi melalui percakapan telepon, pesan singkat (sms),
dan BBM (BlackBerry Messenger) fasilitas pesan singkat yang disediakan
BlackBerry smartphone kepada informan apabila ada wawancara yang tidak
begitu jelas ditangkap oleh alat perekam, dan apabila informan sedang berada di
1.6.3.2. Observasi Partisipasi
Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi
partisipasi dimana peneliti terlibat aktif di dalam kegiatan remaja-remaja
komunitas musik indie. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang
tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. Penulis
terlibat langsung pada komunitas musik indie, lebih tepatnya pada komunitas
Tomat sekitar pada akhir tahun 2006 dan kemudian bergabung membentuk
komunitas Medan Movement. Penulis juga berperan aktif sebagai penikmat musik
indie sekaligus pelaku komunitas musik indie. Dalam hal bermusik, penulis
bergabung dalam band “Aboutmind”, sebagai additional (pemain pengganti)
bassist (pemain bass) dalam band “Parksound” dan “Just In Case”. Sebagai pelaku
komunitas musik indie, penulis juga berperan dalam proses penyelenggaran
pertunjukan musik indie (gigs) dan menjalin kerjasama dengan
komunitas-komunitas lainnya.
Menurut Danandjaja (1994; 105), penelitian di lapangan (fieldwork) perlu
dipupuk dahulu hubungan baik serta mendalam dengan para informan sehingga
timbul percaya-mempercayai, disebut raport (rapport). Rapport atau hubungan
baik yang terjalin dengan remaja-remaja komunitas musik indie tersebut, tentu
memiliki manfaat tersendiri bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tujuan
penelitian yang berusaha menggambarkan perilaku kolektif komunitas musik
indie kota Medan, dapat diperoleh dengan keterlibatan langsung penulis.
Keakraban dan hubungan personal yang berhasil penulis jalin dengan
objektivitas penelitian, pada akhirnya keberhasilan dalam memperoleh data dapat
dilakukan dengan baik.
1.6.3.3. Literatur
Penelusuran literatur (studi pustaka) yang berhubungan dengan data-data
psikologi remaja, perilaku kolektif, budaya populer, dan teori-teori yang
berhubungan dengan masalah penelitian menghasilkan keterangan yang
membantu penulis untuk mempertajam analisis dan melengkapi data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun jenis literatur ini berupa buku-buku
teori, laporan penelitian; skripsi, tesis, disertasi, artikel, opini dari surat kabar atau
majalah, serta media online melalui internet.
1.6.3.4. Bahan visual
Sebagai bahan informasi sekunder, penulis menggunakan dokumentasi
visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Alat
dokumentasi berupa kamera DSLR tipe Nikon D3000 10 Megapixel yang penulis
miliki.
1.6.4. Analisis Data
Pengelompokan dari data yang terkumpul digunakan untuk
mendeskripsikan komunitas musik indie, perilaku kolektif para remaja komunitas
musik indie. Analisis dan penyajian data kualitatif dilakukan dengan
menggunakan deskriptif analisis. Data-data yang telah dikumpulkan termasuk
juga catatan lapangan dikelompokkan atas dasar aktivitas khusus yang diteliti.
sebagai suatu kesatuan kejadian dan fakta yang terintegrasi. Tahap terakhir,
kesimpulan diperoleh dari analisa data dan literatur-literatur yang terkait dengan
tujuan penelitian.
1.6.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di kota Medan yang terletak di
Jalan Kenanga Raya, kecamatan Medan Selayang, lokasi sebuah rumah sebagai
tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Medan Movement. Jalan
Darussalam, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio musik Kirana dan
sekaligus sebagai tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Kirana. Dan di
Jalan Tomat, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio Tomato dan
BAB II
KONTEKS PENELITIAN
Pada bab ini, penulis mencoba untuk menggambarkan lokasi penelitian
tempat penelitian dilakukan. Studi mengenai perilaku kolektif komunitas musik
indie kota Medan ini dilakukan dalam ruang lingkup penelitian kota Medan.
Secara lebih rinci studi deskriptif penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas,
yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement,
yang berada di beberapa lokasi-lokasi atau tempat-tempat dalam lingkup kota
Medan.
Lokasi-lokasi yang dimaksud adalah suatu wilayah dimana ketiga
komunitas tersebut biasa berkumpul yang nantinya dapat digunakan sebagai latar
dalam mendeskripsikan keberadaan ketiga komunitas. Melalui observasi lapangan
yang dilakukan, hasilnya akan ditetapkan lokasi mana yang menjadi tempat
berkumpulnya masing-masing komunitas. Beberapa lokasi yang didapat juga
dijabarkan batasan wilayah kota Medan secara administratif yang dapat
mempertegas bahwa lokasi-lokasi tersebut masih merupakan bagian dari kota
Medan. Sebagai sebuah penelitian etnografi, pada bab mengenai gambaran umum
lokasi penelitian ini juga tercantum pendeskripsian kota Medan secara umum,
yaitu secara geografis, demografis, kependudukan, sampai pada pendeskripsian
kota Medan secara historis dan kultural. Dan untuk menunjukkan beberapa tempat
di kota Medan sebagai lokasi penelitian yang terpilih akan dijabarkan pada bagian
Berikut penulis sertakan data-data mengenai kota Medan yang penulis
peroleh langsung dari situs www.pemkomedan.go.id
2.1. Kota Medan Secara Geografis
Secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar
barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya
yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor
tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat
perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja
pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor
sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang
secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota
termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi
Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951,
Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951,
yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan
dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul
keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.
Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri
dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang
sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor
140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran
Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.
Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH
Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996
tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992
tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II
Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21
Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan
administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan
sosial ekonomis.
Secara administratif, wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan
berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan
dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat
Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia.
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber
Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya
secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber
daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara,
menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai
kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat
dengan daerah-daerah sekitarnya.
Disamping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat
Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu
masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik
maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah
mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu
daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
2.2. Kota Medan Secara Demografis
Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur
agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini
memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.
Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa
transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu
keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana
tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang
mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir
masyarakat dan perubahan sosial ekonomi.
Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga
mempengaruhi tingkat kematian. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan
pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek
sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi
masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini
pertumbuhan penduduk mulai menurun.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian
sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung
untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.
Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai
dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas),
meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,
termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan
[image:44.595.109.520.556.650.2]yang diterapkan.
Tabel 1
Jumlah Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan
Tahun 2005 – 2007
Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk Luas Wilayah (KM²) Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)
2005 2.036.185 1,50 265,10 7.681
2006 2.067.288 1,53 265,10 7.798
2007 2.083.156 0,77 265,10 7.858
Sumber: BPS Kota Medan
Melalui data tabel di atas, diketahui jumlah penduduk Kota Medan
mengalami peningkatan dari 2,036 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 2,067 juta
laju pertumbuhan mengalami peningkatan dari 1,50 persen pada tahun 2005
meningkat menjadi 1,53 persen pada tahun 2006, dan menurun kembali menjadi
0,77 persen pada tahun 2007.
2.3. Komposisi Penduduk Kota Medan
Komposisi penduduk Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan
pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan
komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan,
didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada
masing-masing kelompok usia penduduk, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan bahkan
pelayanan kesejahteraan sosial lainnya.
Proporsi anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita) dalam kelompok
penduduk Kota Medan sekitar 9% dari jumlah penduduk. Relatif besarnya
proporsi dan jumlah penduduk anak-anak balita ini berimplikasi pada kebutuhan
prasarana dan sarana kesehatan usia balita, dan sarana pendidikan usia dini baik
secara kualitas maupun kuantitas. Pada kelompok usia anak-anak dan remaja,
kebijakan yang ditempuh diarahkan pada peningkatan status gizi anak,
pengendalian tingkat kenakalan anak dan remaja, peningkatan kualitas pendidikan
dan lain-lain. Upaya ini diharapkan dapat terus dilakukan untutk mempersiapkan
masa depan anak-anak dan remaja sehingga mendukung terbentuknya sumber
Tabel 2
Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kelompok Umur Tahun 2007
GOLONGAN UMUR
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
JIWA PERSEN
(%) JIWA
PERSEN
(%) JIWA
PERSEN (%)
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]
0 - 4 89.206 8,62 92.853 8,86 182.059 8,74
9-May 96.559 9,33 91.885 8,76 188.444 9,05
14-Oct 98.519 9,52 100.59 9,59 199.109 9,56
16 - 19 111.263 10,75 105.426 10,06 216.689 10,40
20 - 24 116.164 11,23 121.385 11,58 237.549 11,40
25 - 29 99.499 9,62 102.041 9,73 201.54 9,67
30 - 34 83.325 8,05 75.926 7,24 159.251 7,64
35 - 39 75.482 7,30 83.18 7,93 158.662 7,62
40 - 44 70.091 6,77 75.926 7,24 146.017 7,01
45 - 49 57.837 5,59 53.68 5,12 111.517 5,35
50 - 54 47.054 4,55 47.393 4,52 94.447 4,53
55 - 59 30.879 2,98 31.434 3,00 62.313 2,99
60 - 64 26.468 2,56 22.246 2,12 48.714 2,34
65 + 32.35 3,13 44.495 4,24 76.845 3,69
Jumlah 1.034.696 100,00 1.048.460 100,00 2.083.156 100
Sumber: BPS Kota Medan
Berdasarkan tabel-tabel diatas diketahui bahwa ada kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.067.288 jiwa pada tahun 2006
menjadi 2.083.156 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan berkisar 1,53% pada
tahun 2006 dan 0,77% pada tahun 2007. Walaupun meningkat namun tidak terlalu
mencolok, bahkan laju pertumbuhan penduduk cenderung lebih rendah tahun
2007 dibandingkan tahun 2006. Faktor alami yang diperkirakan mempengaruhi
peningkatan laju pertambahan penduduk adalah seperti tingkat kelahiran,
program Keluarga Berencana (KB) perlu terus dipertahankan untuk menekan
angka kelahiran.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka pada tahun 2006 menjadi
7.858 jiwa/KM² pada tahun 2007. Tingkat kepadatan tersebut relatif tinggi,
sehingga termasuk salah satu permasalahan yang harus diantisipasi. Apalagi
dengan luas lahan yang relatif terbatas, sehingga berpeluang terjadi ketidak
seimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada.
Faktor lain yang juga secara berarti mempengaruhi peningkatan laju
pertumbuhan penduduk adalah meningkatnya arus urbanisasi dan commuters serta
kaum pencari kerja ke Kota Medan. Berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan, faktor utama yang menyebabkan komutasi ke Kota Medan adalah
adanya pandangan bahwa : (1) bekerja di kota lebih bergengsi (2) di kota lebih
gampang mencari pekerjaan, (3) Tidak ada lagi yang dapat diolah (dikerjakan) di
daerah asalnya, dan (4) upaya mencari nafkah yang lebih baik. Besarnya dorongan
untuk menjadi penglaju tentunya berpengaruh terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, dan pelayanan umum yang harus disediakan secara keseluruhan.
Faktor lain yang secara umum mempengaruhi semakin menurunnya angka
pertumbuhan penduduk pada periode 2006 - 2007 adalah peningkatan derajat
pendidikan masyarakat Kota Medan. Pada umumnya peningkatan derajat
pendidikan masyarakat secara langsung meningkatkan rata-rata pendidikan
generasi muda, yang merupakan calon orang tua yang memasuki kehidupan
rumah tangga. Melalui tingkat pendidikan yang semakin memadai, apresiasi, dan
meningkat. Adanya anggapan mengenai jumlah anggota keluarga yang tidak besar
akan memudahkan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, karena
beban ekonomi yang harus dipikul menjadi lebih ringan, mendorong Pasangan
Usia Subur (PUS) cenderung mengikuti konsep Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera (NKKBS). Bahkan sebagian PUS baru memilih untuk menunda
kelahiran dengan berbagai alasan ekonomi (bekerja) ataupun alasan sosial dan
[image:48.595.129.514.418.692.2]psikologis lainnya.
Grafik
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kota Medan Tahun 2007
0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000
Jiwa
0-14 15-64 65+
Kelompok Umur
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa komposisi penduduk
terbesar berada pada kelompok usia 15-64 tahun sebagai kelompok usia produktif
atau kelompok usia aktif secara ekonomis. Diluar kelompok usia produktif
terdapat kelompok usia tidak produktif yang cenderung akan ditanggung oleh
kelompok usia produktif, yang biasa disebut dengan angka beban tanggungan
(ABT). Untuk Kota Medan angka beban tanggungan berkisar 45, atau sekitar
setiap 45 orang ditanggung oleh 100 orang produktif. Jumlah penduduk Kota
Medan yang sampai saat ini diperkirakan berjumlah 2,083 juta lebih, dan
diproyeksikan mencapai 2,167 juta penduduk pada tahun 2010, ditambah beban
arus penglaju juga menjadi beban pembangunan yang harus ditangani secara
terpadu dan komprehensif.
Di samping itu, pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan
pengarahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi
wilayah, sangat diperlukan pada masa datang.
Beberapa masalah kependudukan dapat diringkas sebagai berikut :
1. Kecenderungan adanya penurunan flukturasi laju pertumbuhan penduduk dari
tahun 2006 dan tahun 2007.
2. Kecenderungan peningkatan arus ulang alik ke Kota Medan yang berimplikasi
kepada pemenuhan fasilitas sosial yang dibutuhkan.
3. Masalah kemiskinan, tenaga kerja dan permasalahan sosial lain yang
dipengaruhi oleh iklim perekonomian nasional dan global.
4. Penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya
2.4. Kota Medan Dalam Dimensi Sejarah
Berdasarkan data Pemerintahan Kota Medan, kota Medan didirikan oleh
Guru Patimpus Sembiring Pelawi
Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli
perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong
untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan pada tahun 1590. Secara historis, perkembangan
Kota Medan sejak awal memposisikannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan.
Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya
Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal
perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat
Perdagangan (ekspor-impor) tembakau sejak masa lalu.
Sebagai tambahan John Anderson yang merupakan orang Eropa pertama
yang mengunjungi Deli atau Kota Medan pada tahun 1833 menemukan sebuah
kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan
dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan Deli. Pada tahun 1883, Medan telah
menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial
Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Daerah Kesawan tahun 1920-an, akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan, gelombang pertama berupa
kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi
setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang
Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering
orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan
untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru,
dan ulama. Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses
perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan
berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk
kota metropolitan. Sebagai hari lahir Kota Medan adalah