• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR ILMU POLITIK RESENSI BUKU Tero

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGANTAR ILMU POLITIK RESENSI BUKU Tero"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR ILMU POLITIK

RESENSI BUKU “Teroris(me) Global : Aktor dan Isu Global Abad XXI”

Dr. Agus Subagyo, S.IP. M.Si

Disusun oleh :

Titis Agustina

6211161135

Universitas Jendral Achmad Yani

(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi... 2

Identitas Buku... 3

Pendahuluan... 4

Isi/Subtansi Buku... 6

BAB 1 Hubungan Internasional dan Terorisme... 6

BAB 2 Dunia dan Terorisme... 10

BAB 3 Osama Bin Laden dan Terorisme... 13

BAB 4 Indonesia dan Terorisme... 14

BAB 5 TNI dan Terorisme... 16

BAB 6 Polri dan Terorisme... 19

Kekuatan dan Kelemahan Buku... 20

(3)

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Teroris (me) Aktor dan Isu Global Abad XXI

Penulis : Dr.Agus Subagyo, S.IP.,M.SI

Penerbit : ALFABETA, cv

Tanggal Terbit : April 2015 Kota Penerbit : Bandung

Jumlah Halaman : iii + 106 halaman

Tebal Buku : 110 halaman

Ukuran Dimensi Buku : 14,5 x 20,5 cm

ISBN : 978-602-289-127-7

(4)

PENDAHULUAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resensi itu sendiri diartikan sebagai pertimbangan atau pembicaraan tentang buku dan sebagainya. Secara garis besar resensi diartikan sebagai kegiatan untuk mengulas atau menilai sebuah hasil karya baik itu berupa buku, novel, maupun film dengan cara memaparkan data-data, sinopsis, dan kritikan terhadap karya tersebut. Resensi bermanfaat agar dapat melatih kita untuk membaca dan menilai suatu karya dari rang lain. Selain manfaat membaca yang menambah wawasan, membaca juga dapat membuka pemikiran kita terhadap permasalahan agar permasalahan yang kita hadapi dapat dipecahkan dengan pemikiran yang luas dan tidak terbatas.

Peningkatan minat studi Hubungan Internasional pada era reformasi saat ini didorong pula oleh adanya arus globalisasi, pasar bebas, perdagangan bebas, perkembangan teknologi informasi, dan semakin meningkatnya mobilitas manusia, barang, dan jasa antarnegara sehingga banyak masyarakat yang terdorong untuk memahami konteks global dan regional dan setiap permasalahan nasional dan okal.

Dinamika Hubungan Internasional sekarang ini terbelah menjadi dua zona, yakni zona teroris dan zona anti teroris. Semua negara di dunia ini terpengaruh oleh munculnya isu dan dan aktor global abad 21, yakni teroris dan terorisme. Berbagai organisasi internasional, seperti PBB juga setiap tahunnya mengeluarkan daftar hitam nama-nama organisasi terorisme internasional yang patut untuk dihancurkan. Berbagai organisasi regional, seperti Asean dan Uni Eropanya misalnya, mengeluarkan berbagai konvensi atau kesepakatan yang menentang keberadaan terorisme dan melakukan langkah aksi bersama untuk melawan terorisme.

(5)

Secara sistematika, buku ini terdiri dari 6 BAB. Bab pertama berisi tentang Hubungan Internasional dan Terorisme. Dalam bab ini terdapat subbab yang terdiri dari HAM dan Hubungan Internasional, Terorisme: Kembali ke High Politics?, HAM versus Terorisme “Global Antiterrorism Governance”, Konteks Domestik Indonesia. Bab kedua berisi tentang Dunia dan Terorisme yang terdiri dari Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”, Terorisme: Konstelasi Baru dalam Politik Internasional, Global Antiterrorism Governance, Aktor dan Isu Global Abad XXI. Bab ketiga berisi tentang Osama Bin Laden dan Terorisme yang terdiri dari Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?, Osama Bin Laden: Dalang Tragedi WTC dan Pentagon. Bab keempat berisi tentang Indonesia dan Terorisme terdiri dari Reformasi: Radikalisme, Terorisme dan Civil Society, Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali, Relasi Al Qaeda dan jama’ah Islamiyah. Bab kelima berisi tentang TNI dan Terorisme terdiri dari TNI, Terorisme dan perkembangan Lingkungan Strategis, TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional, Daya Dorong TNI Terlibat Dalam Penanganan Terorisme, Peluang dan Kendala TNI. Bab keenam berisi tentang Polri dan Terorisme yang terdiri dari Polri, Densus 88 AT, dan Terorisme, Intelijen Polri dan Terorisme.

(6)

BAB I

Hubungan Internasional dan Terorisme

Peristiwa Selasa, 11 september 2001, yang menewaskan 6.000 orang warga sipil memang sangat dahsyat. Meski hanya dialami oleh AS, tak urung tragedi WTC dan Pentagon telah menjadi “teror” bagi seluruh dunia. Kepanikan dan ketakutan mewarnai AS. Presiden AS, George W. Bush, segera mengumumkan kepada dunia bahwa AS diserang teroris. Tanpa didukung oleh data dan fakta yang akurat, Bush menuduh Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda sebagai dalang dibalik tragedi kamikaze itu.

Pasca tragedi tersebut kelabu dan runtuhnya rezim Taliban oleh pasukan koalisi, AS segera mencanangkan program perang melawan terorisme global. Prinsip-prinsip hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) dan kedaulatan negara, yang seharusnya dijungjung tinggi dalam arena internasional, mulai tidak diindahkan demi membasmi terorisme global.

A. HAM dalam Hubungan Internasional

Dalam literature Ilmu Politik, hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dan hak itu dimiliki oleh seluruh masyarakat tanpa membedakan bangsa, ras, agama, atau kelamin, kerena itu bersifat asasi atau universal (menyeluruh).

Secara historis-empiris, tonggak-tonggak penting pemikiran dan gerakan hak asasi manusia dapat dilacak kembali pada lahirnya Magna Charta 1215, Glorius Revolution 1688, Deklarasi Kemerdekaan AS, pemikiran Trias Politika,dan Kontrak Sosial. Isu pokoknya adalah bahwa kewenangan negara harus mewujudkan dan sekaligus memberikan perlindungan atas hak-hak individu, hak-hak politik, sipil maupun hak-hak ekonomi.

Dalam konteks hubungan internasional, upaya implementasi HAM mengalami benturan dan perdebatan .

(7)

pemikiran klasik Thomas Hobbes, yaitu bahwa dalam hubungan internasional, masing-masing negara mempunyai kedudukan yang sama; dalam keadaan states of nature. Kedua, Cospolitan Perspective. Pandangan ini bertumpu pada pengakuan HAM pada tingkat individu secara universal. Dalam dunia yang mengalami saling ketergantungan, tidak relevan membatasi prinsip keadilan dalam batas-batas nasional yang sempit. Meskipun Autonomy of States dan Cosmopolitan Perspective saling bertolak belakang baik dilihat dari asumsi-asumsi yang mendasari maupun pemikiran yang dikembangkan, terdapat kesamaan yang mendasar, yakni keduanya mengklaim HAM sebagai masalah fundamental dari demokrasi. Ironisnya, kesamaan klaim ini tidak dapat mencegah pertentangan seputar pengaplikasian isu HAM secara internasional atau proses internasionalisasi HAM. Dalam arti perdebatan ini kemudian mengundang dua penafsiran yang berbeda tentang HAM. Pertama, bahwa isu HAM adalah alat negara-negara Barat untuk mengejar kepentingan sendiri sekaligus strategi untuk melakukan intervensi ke negara lain. Kedua, bahwa isu HAM adalah suatu keharusan sejarah manusia yang tak terelakan.

B. Terorisme: Kembali ke High Politics?

Konstelasi politik internasional pasca Perang Dunia II mengalami perubahan yang besaran, luasan, dan kedalamannya luar biasa. Mengenai dinamika perubahan sistem internasional pasca perang dunia II beserta dampak ikutannya ini dapat dilihat secara mendalam.

Namun, berakhirnya perang Dingin, dunia mengalami perubahan-perubahan cept dan mendasar diberbagai bidang yang pada gilirannya mengakibatkan berlanjutnya proses transformasi luas pada peta politik dan ekonomi global serta pada pola hubungan antar negara. Paling tidak terdapat empat perubahan mendasar yang akan turut menentukan wujud tatanan politik dunia.

(8)

C. HAM versus Terorisme: “Global Antiterorism Governance”

Dalam konstruk teoritik, istilah HAM dan terorisme merupakan istilah yang berlawanan HAM.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara menangani dan mencegah tindak terorisme itu. Kesulitan yang dihadapi adalah kenyataan bahwa kegiatan terorisme telah melintas batas antar negara. Masalah “metode” penanganan terhadap terorisme global inilah yang terus-menerus menimbulkan pro kontra. Substansi dari masing-masing ngeara terhadap terorisme global yang sama, yakni harus harus dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan dan mengancam perdamaian, stabilitas, dan keamanan internasional. Namun, cara atau metode yang harus ditempuh belum ada kesepakatan yang bersifat global.

Di samping itu, PBB juga harus mengambil alih tongkat komando perang melawan terorisme. Semua hal yang berkaitan dengan terorisme harus didiskusikan lewat forum PBB sehingga akan tercipta sinergi positif efektif dalam memerangi terorisme global “global antiterorism governance” juga harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM baik berskala nasional maupun internasional,

D. Konteks Domestik Indonesia

Perubahan global diawal milenium ketiga ini, tentu saja mendorong setiap negara dan lembaga internasional, untuk menyesuaikan diri pada konstelasi global tersebut. Terlebih lagi, pasca tragedi WTC dan pentagon, Indonesia banyak mendapat sorotan dunia internasional berkait dengan penangkapan Agus Budiman di AS, Faturohman Al Ghozi dan Tamsil Linrung di Filipina, dan Tuduhan Lee Kuan Yew bahwa Indonesia sebagai sarang teroris.

Upaya Indonesia dalam memerangi terorisme global yang terdiri dari tiga lapis strategi terekam dalam laporan yang disampaikan kepada komite kontra terorisme (Center Terrorism Committe/CTC) DK PBB berikut ini.

(9)

Berkait dengan RUU antiterorisme, masih menimbulkan perdebatan oleh berbagai kalangan. Sebagian besar kalangan mengkritisi RUU antiterorisme sebagai anti prinsip HAM dan nilai demokrasi. Pasal-pasal dalam RUU itu mengarah pada kembalinya security approach dalam mengelola politik nasional sebagaimana diterapkan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, RUU itu harus memerlukan peninjauan kembali secara mendalam.

(10)

BAB II

DUNIA DAN TERORISME

A.

Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”

Pasca 11 September 2001, perhatian Dunia Internasional tersedot pada isu seputar aksi terorisme. Peristiwa penghancuran gedung World Trade Center di New York dan gedung Pentagon, Kantor Departemen Pertahanan AS, di Washington, oleh pesawat komersial yang diduga dibajak kelompok terorisme pada tanggal 11 September yang lalu, membelalakan mata setiap orang.

Pandangan dan tindakan AS yang positivistik dalam menangani permasalahan-permasalahan internasional telah mengabaikan nilai-nilai hukum dan aturan-aturan demokratis yang selama ini ia junjung tinggi.

Secara ekonomis, disinyalir bahwa kawasan Asia Tengah dan Laut Kaspia dikenal menyimpan cadangan minyak bumi terbesar kedua setelah kawasan Arab Teluk. Jika AS berhasil menancapkan kukunya di Afghanista, negara adidaya ini akan dengan mudah menguasai sumber-sumber ekonomi dan potensi mineral yang sangat melimpah dan belum tergarap di kawasan ini. Selama ini, kepentingan-kepentingan ekonomi AS di Asia Tengah hanya berfokus pada India dan Pakistan. Kepentingan-kepentingan ekonomi AS di Afghanista terganggu sejak naiknya rezim Taliban menduduki pemerintahan dengan menggulingkan presiden Burhanudin Rabbani tahun 1996.

Indikasi adanya motif geografis-ekonomis ini tentunya membuat gerah negri kaum Mullah, Iran. Sebagai negara yang berpengaruh di kawasan ini dan adanya kepentingan Iran atas Afghanistan, membuat Iran mempunyai kecurigaan yang besar atas motivasi lain AS dibalik penyerangan terhadap Afghanistan. Kepentingan Iran akan terancam jika AS hadir secara dominatif di kawasan Asia Tengah dan Laut Kaspia. Memang, Iran bermusuhan dengan rezim Taliban semenjak peristiwa penyanderaan dan pembunuhan 8 Diplomat Iran oleh orang-orang Taliban tahun 1998. Namun, Iran juga tidak menginginkan adanya intervensi dalam hegemoni AS atas Afghanista.

(11)

patut disesalkan karena melanggar kedaulatan sebuah negara. Cara-cara militer yang merupakan bagian besar dari praktek-praktek ideologi “politik realis” demokrasi, AS seharusnya menerapkan ideologi “humanisme dan moralisme politik” dalam mempraktekkan politik luar negrinya. Tragedi WTC dan Pentagon merupakan momentum yang tepat untuk mentransformasi dan meresposisinya politik luar negri AS.

B. Terorisme: Konstelasi Baru Dalam Politik Internasional

Dalam menghadapi kelompok-kelompok terorisme global dan negara-negara yang dianggap melindungi dan memberikan fasilitas bagi praktek-praktek terorisme global, George W. Bush, memiliki pemikiran “Kalau anda bukan teman saya, pastilah anda musuh saya. Saya tidak membedakan terorisme dengan negara yang melindungi terorisme”. Pemikiran yang sangat subyektif ini telah mengkristal menjadi sebuah doktrin dan dijadikan sebagai patokan dalam upaya memerangi aksi terorisme global.

Kampanye antiterorisme AS yang disertai tekanan-tekanan politik telah menciptakan ketidakharmonisan kawasan. Di Timur Tengah, Rencana AS menyerang Irak dan konflik berkepanjangan antara Israel Palestina telah menciptakan keresahan di kawasan paling panas di dunia ini.

Doktrin Bush yang memprioritaskan pada upaya memerangi terorisme global dalam setiap langkah kebijakan politik luar negri AS, secepat kilat mendorong isu terorisme menjadi isu global pada awal abad ke-21 ini, mengalahkan isu-isu yang sebelumnya mendominasi tatanan politik global seperti demokrasi, hak asasi manusia, good governance, dan lingkungan hidup. Isu terorisme telah mencuat ke permukaan sehingga sangat mempengaharui konstelasi politik dunia.

Dengan demikian, masing-masing negara dengan disponsori oleh PBB seharusnya mencetuskan sistem penanganandan pengelolahan yang dapat menangkal terorisme global (Global Antiterorism Governance). Setelah itu, PBB harus mengambil alih tongkat komando dalam perang melawan terorisme sehingga sepak terjang AS dapat dikontrol atau dibatasi.

C. Global Antiterorrism Governance

(12)

negara. Namun, sebagai aktor global, organisasi terorisme baru diakui secara luas setelah sepak terjangnya pada masa perang dingin dan mencapai klimaksnya ketika meletus tragedi WTC dan pentagon, AS, pada tanggal 11 September 2001 lalu.

Di samping itu, pengelolaan dan penanganan masalah terorisme secara globalini harus bertumpu pada pendekatan dialog dan kalaupun memakai cara-cara militer harus didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB, sehingga tidak menimbulkan kritik dan resistensi dari berbagai pihak. Dengan begitu, diharapkan gerakan antiterorisme medapat dorongan semua negara. Dan pada akhirnya, praktek-praktek terorisme global dapat dicegah sedini mungkin.

Dengan demikian, terorisme global akan terus menjadi wacana yang kembali mengubah mainstream politik internasional dari yang sebelumnya “from high politics to low politics” menjadi “ from low politics to high politics”.

D. Aktor dan Isu Global Abad XXI

Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan perubahan cepat dan mendasar pada gilirannya mempengaharui proses transformasi pada konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan perdagangan bebas. Perubahan politik dan ekonomi global tersebut telah memapatkan negara-bangsa pada pola hubungan saling ketergantungan (inter-dependensi) dan saling keterkaitan (inter-linkage).

(13)

BAB III

OSAMA BIN LADEN DAN TERORISME

A. Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?

Siapa sebenarnya dalang dibalik tragedi WTC dan Pentagon? Apakah benar Osama Bin Laden pelakunya atau ia hanya korban yang dikambinghitamkan? Apakah ada sebuah grand opinion design atau hasil rekayasa licik AS-Israel dibalik tragedi WTC dan Pentagon tersebut? Opini publik yang berkembang di AS menunjukan bahwa Osama Bin Laden dan Jaringan Al-Qaeda-nyalah yang melakukan perbuatan biadab tersebut. Hal itu didasarkan pada informasi dan penemuan-penemuan yang dikembangakn oleh pemerintah AS, diperkuat dengan kesaksian seperti, senator dari utah, Orrin Hatch, Badan Intelijen AS, CIA, dan penuturan beberapa penumpang pesawat Boeing 757, seperti Jeremy Glik, warga New Jersey.

Menurut Osama, teroris yang melakukan penyerangan itu dari kelompok orang-orang AS sendiri. Ia sama sekali tidak memiliki apapun untuk melakukan serangan dahsyat itu. Meski demikian, Osama menyatakan bersyukur atas tragedi WTC dan Pentagon sembari mengajak umat islam untuk mempergunakan seluruh kemampuan mempertahankan invasi dari pasukan perang salib AS di pakistan dan Afghanistan.

B. Osama Bin Laden: Dalang Tragedi di WTC dan Pentagon?

Osama Bin Laden yang bernama asli Usamah bin Muhammad Awad bin Laden, adalah anak ke-17 dari 50 bersaudara. Dia lahir di Riyadh tahun 1957, saat ayahnya, Moehammad bin Laden telah sukses menjadi konglomerat Arab Saudi yang berkecukupan dalam segi ekonomi dan kasih sayang.

Tragedi WTC dan Pentagon sempat menimbulkan pertanyaan dan keraguan akan kemampuan sistem pertahanan rudal nasional AS yang menelan biaya sekitar U$ $60 Miliyar itu. AS yang dapat menguasai semua titik rawan di seluruh dunia ternyata kecologan di dalam negri sendiri. Ibarat pepatah, musuh disebrang lautan nampak, teroris di pelupuk mata tidak terlihat. Mungkin kejadian ini dapat menjadi shock therapy bagi AS untuk membenahi diri dan mawas diri.

(14)

INDONESIA DAN TERORISME

A. Reformasi: Radikalisme, Terorisme, dan Civil Society

Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme, dan militasi yang merebak di Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon.

Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu redup digeser oleh radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman diberbagai Gereja pada malam natal, peledakan Bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta.

Prespektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralisme, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan langsung pada tindak kekerasan yang membahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan prespektif multikulturalisme yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan akan perbedaan.

Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena itu, tragedi bom bali harus dijadikan momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa isu-isu terorisme akan sangat membahayakan semangat multikulturalisme di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikulturalisme.

B. Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali

Secara umum, masyarakat pasca tragedi bom Bali turut prihatin atas peristiwa bom Bali yang menurut berbagai kalangan merupakan aksi teror paling besar kedua di dunia setelah tragedi WTC dan Pentagon di AS; dan juga merupakan aksi teror paling besar dalam lembar sejarah terorisme di Indonesia. Selain itu, diterbitkannya Perpu Antiterorisme oleh pemerintah Indonesia menyusul tragedi bom Bali juga banyak dipuji dan didukung oleh masyarakat internasional. Paling tidak, hal ini tercemin dalam rangkaian pernyataan para kepala negara dan pemerintahan disidang APEC bebrapa waktu yang lalu.

(15)

dan mengahrmoniskan relasi Islam-negara. Perlu kiranya diciptakan sarana mediasi untuk menjembatani antara berbagai presepsi dan kepentingan masing-masing pihak sehingga tercipta keharmonisan hubungan masing-masing pihak. Kita semua tentu menginginkan sebuah kerjasama dari seluruh komponen bangsa dalam memberantas terorisme, termasuk kerjasama antara pemerintah dengan kelompok islam garis keras yang selama ini dituduh sebagai kelompok teroris. Jika pemerintah berhasil menggandeng kelompok-kelompok islam ini, niscaya akan dapat dijadikan modal yang kuat dalam mencegah praktek-praktek terorisme tanpa mengganggu proses demokratisasi yang sedang berlangsung dalam usaha membentuk tata pemerintahan Indonesia baru. Dengan kata lain, pemerintah haruskooperatif dan persuasif terhadap kelompok islam, bukan agresif sebagaimana yang selama ini dipertontonkan.

C. Relasi Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah

Sebagai negara yang terbuka terhadap perkembangan lingkungan strategis, Indonesia sangat terpengaruh oleh isu terorisme global. Keamanan dalam negri Indonesia sangat terancam oleh aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, mulai dai Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan, Bom JW Marriot, Bom Poso, Bom Atrium Senin, dan lain-lain (Laporan Menkopolliulkam, 2006).

(16)

BAB V

TNI DAN TERORISME

Perkembangan lingkungan strategis yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan antar negara dimana setiap perubahan yang terjadi pada suatu negara akan mempengaharui negara lain merupakan gambaran kondisi dunia yang telah menapaki era globalisasi, yang diakselerasi khususnya teknologi informai dan komunikasi. Sebagai negara yang telah masuk dalam lingkaran arus globalisasi, Indonesia tidak dapat terlepas dari pengaruh perkembangan lingkungan strategis tersebut. Setiap perubahan yang terjadi pada tataran global dan regional sangat mempengaharui kondisi nasional bangsa Indonesia, khususnya di era reformasi saat ini.

A. TNI, Terorisme, dan Perkembangan Lingkungan Strategis

Permasalahan pelanggaran HAM telah dijadikan oleh negara-negara maju, termasuk AS untuk menekan dan mengintervensi negara-negara berkembang dengan melakukan embargo militer dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampaknya. Sejak tahun 1999, khususnya ketika terjadi kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur, Indonesia dituduh oleh negara-negara Barat melanggar HAM sehingga dijatuhi embargo persenjataan yang tentunya berdampak negatif terhadap sistem persenjataan negara.

Perkembangan di wilayah Asia Tenggara menunjukkan kondisi yang memanas dengan adanya aksi teror yang semakin meningkat di negara Philipina dan Thailand. Kuat adanya dugaan bahwa terdapat jaringan antara kelompok teroris yang ada di Thailand dan Philipina yang mempunyai hubungan dengan kelompok terorisme yang ada di Indonesia.

B. TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional

(17)

merupakan “syahid”. Islam telah salah digunakan sebagai ideologi oleh sekelompok orang melakukan aksi teror. Islam yang sebenarnya merupakan ajaran agama yang tidak mengajarkan kekerasan dan justru mengutamakan perdamaian antar umat manusia telah menjadi “momok” dan “monster” yang menakutkan hanya

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penanganan terhadap aksi terorisme belum mewadahi secara eksplisit unsur satuan khusus anti teror TNI. UU terorisme tersebut masih sangat terbatas dan belum detail dalam penanganan aksi teror di Indonesia. UU terorisme tersebut belum dijabarkan dalam aturan perundang-undangan dibawahnya seperti PP, Perpres atau peraturan di bawah lainnya.

C. Daya Dorong TNI Terlibat dalam Penanganan Terorisme

Aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia telah membuat semua pihak sadar dan paham akan pentingnya suatau mekanisme dan prosedur penanggulangan aksi terorisme. Namun demikian, masih sangat terbatas pihak-pihak yang menyadari bahwa dalam penanggulangan aksi terorisme perlu melibatkan semua pihak, khususnya TNI.

Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah gagasan tentang pemberdayaan satuan penanggulangan teror TNI untuk mengatasi aksi terorisme dalam rangka stabilitas nasional. Diperlukan aturan pelibatan satuan penanggulangan teror TNI ketika suatu wilayah mengalami goncangan akibat aksi terorisme untuk membantu pihak Kepolisian RI.

Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua macam TNI, yakni Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

D. Peluang dan Kendala TNI

Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan sehingga akan dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain:

(18)

Citra positif masyarakat internasional terhadap kepemimpinan nasional yang dinilai sangat komit terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM dan good governance menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggalang dukungan internasional dalam menyelesaikan aksi teror secara mandiri tanpa ada intervensi dari negara lain.

Masih adanya perpsepsi negatif sebagian kecil masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian porsi yang besar bagi satuan khusus anti teror TNI akan dapat mendorong pelanggaran HAM. Kondisi yang demikian tentunya dapat menjadikan hambatan bagi TNI untuk berperan serta aktif dalam menangani aksi teror. Sebagian masyarakat belum tahun dan belum paham bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan teror merupakan amanat UU TNI sehingga perlu ada kecurigaan terhadap TNI dalam menangani aksi teror.

(19)

BAB VI

POLRI DAN TERORISME

A. Polri, Densus 88 AT dan Terorisme

Indonesia sangat rawan terjadinya aksi terorisme sehingga harus ditanggulangi sedini mungkin. Sejarah terorisme di Indonesia diawali dari adanya DI/TII Kartosuwiryo yang kemudia terjadi berbagai pemberontakan dengan tujuan mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar agama Islam. Tindak pidana terorisme saat ini mengalami perubahan modus operandi dari alat bom menjadi senjata api, bom buku, dan dari sasaran asing menjadi sasaran domestik, dimana Polri dianggap sebagai musuh yang harus dibunuh.

Kemampuan analisis Densus 88 AT selama ini sebenarnya sudah cukup bagus terbukti dari terungkapnya dan tertangkapnya berbagai jaringan dan pelaku terorisme serta mengungkap berbagai rencana pengeboman yang dirancang oleh para teroris sehingga dapat mencegah terjadinya aksi terorisme.

B. Intelijen Polri dan Terorisme

Perkembangan lingkungan strategis di tingkat global, regional, nasional, dan lokal yang semakin dinamis memerlukan kemampuan prediksi dan antisipasi yang dilakukan oleh polri sehingga setiap efek, dampak, dan implikasi negatif dapat terdeteksi secara dini.

Fungsi satuan intelkam adalah pengamanan dan penggalangan untuk keperluan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama penegak hukum, pembinaan kamtibnas, serta keperluan tugas bantuan pertahanan dan kekuatan sosial.

(20)

KEKUATAN DAN KELEMAHAN BUKU

Kekuatan Buku:

o Isi buku ini menjelaskan se1ara jelas isi materi dan 1ontoh kasusnya sehingga 2emba1a da2at membayangakan isi materi tersebut.

o Penulis juga mencantumkan sumber-sumber referensi dengan lengkap sehingga isi/substansi buku jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Kelemahan Buku:

o Isi buku banyak yang mengulang dan bertele-tele sehingga membuat pembaca bosan.

o Ada beberapa kata yang salah.

o Cover buku memang cukup menggambarkan isi buku, namun kurang menarik.

(21)

KONTRIBUSI BUKU DALAM STUDI ILMU POLITIK

Kontribusi buku terhadap hubungan internasional sudah sangat jelas. Seperti dalam literature Ilmu Politik, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirn atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula topik buku ini mengangkat tentang isu global saat ini yaitu Terorisme. Terorisme yang merupakan salah satu aktor dalam ilmu hubungan internasional sangat berpengaruh besar dalam kehidupan global masyarakat ini, bisa dilihat dari peristiwa yang dialami oleh AS beberapa waktu lalu yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan banyak masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

beralih dalam konteks penjajahan ilmu, teknologi da.. Pada era ini, ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosial di Asia sedang dilanda krisis. Ilmu pengetahuan di Asia

dengan melakukan penelitian tentang peran dan posisi militer dalam kehidupan politik di lndonesia pada era Orde Lama, era Orde Baru serta peran militer pada era

Meski sudah semakin banyak jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki jurusan ilmu hubungan internasional, namun buku-buku bacaan mengenai hubungan internasional dalam

Semua aspek kehidupan diatur dalam agama, ilmu pengetahuan berlandaskan dengan agama, dengan ilmu akan bisa menciptakan suatu teknologi yang kemudian

Menurut sejarawan Ismaun, sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan tentang kisa mengenai peristiwa – peristiwa yang benar benar telah terjadi atau berlangsung dalam segala

Keadaan ini tidak mengherankan sebab dalam negara modern badan eksekutif bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif mengatur semua aspek

Kemudian, dalam Ilmu Pendidikan Sosial siswa dapat mempelajari semua hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial seperti stratifikasi, mobilitas sosial, proses

pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan ilmu politik menyelidiki dan menguraikan hidup negara itu, sikap dan tindak tanduknya dalam kehidupan warganya serta dalam pergaulan