• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM (Studi Kasus Hate Speech di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM (Studi Kasus Hate Speech di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM

(Studi Kasus Hate Speech di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

FIKA NADIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM

(Studi Kasus Hate Speech di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

Oleh

Fika Nadia, Heni Siswanto, Dona Raisa Monica Email: fikanadia03@gmail.com.

Asas kesamaan warga negara di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 secara ideal harus dilaksanakan dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana, tetapi pada kenyataannya masih terdapat perbedaan perlakuan terhadap pelaku tindak pidana melontarkan ujaran kebencian (hate speech), sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum dan apakah faktor penghambat implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian terdiri dari Penyidik Kepolisian Daerah Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian dengan melaksanakan penyidikan, Kejaksaan dengan menyusun dakwaan dan penututan serta hakim pengadilan dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana hate speech, dengan tidak membeda-bedakan latar belakang pelaku dan mengedepankan kesamaan warga negara di hadapan hukum, sehingga pemidanaan hanya diterapkan terhadap pelaku yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana hate speech. Faktor paling dominan yang menjadi penghambat implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum adalah faktor penegak hukum. Hal ini disebabkan karena tidak semua penegak hukum (penyidik) penguasaan yang baik terhadap perkembangan teknologi informasi dan belum adanya unit cyber dalam institusi penegak hukum. Saran dalam penelitian ini adalah: Aparat penegak hukum disarankan untuk secara konsisten menerapkan asas equality before the law terhadap pelaku tindak pidana hate speech. Masyarakat disarankan untuk tidak mudah terpancing untuk menyebarkan hate speech terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan atau pemahamannya, sebaiknya masyarakat lebih bijak dan lebih berhati-hati menggunakan media sosial.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF IMPLEMENTATION OF EQUALITY BEFORE THE LAW PRINCIPLES IN LAW ENFORCEMENT

(Study on Hate Speech Case in Court of Justice Area Negeri Tanjung Karang)

By FIKA NADIA

The principle of equality before the law as stipulated in Article 27 Paragraph (1) of the 1945 Constitution should ideally be implemented in the process of law enforcement against the perpetrators of criminal acts, but in reality there are still differences in the treatment of criminals to throw a speech hatred (hate speech), thus potentially reducing public confidence in law enforcement officers. The problems of this research are: How is the implementation of the equality before the law principle in law enforcement and what are the factors inhibiting the implementation of the equality before the law principle in law enforcement? This research uses normative juridical approach and empirical juridical approach. The research sources consisted of Police Investigator of Lampung District, Attorney at State Attorney of Bandar Lampung, Judge at Tanjung Karang District Court and lecturer of Criminal Law Unit of Faculty of Law Unila. Data collection was done by literature study and field study. Data analysis is done qualitatively.The result of the research shows that the implementation of equality before the law principle in law enforcement is carried out by law enforcement officers namely Police by conducting investigation, prosecutor by arranging indictment and prosecution as well as judge of court by imposing criminal to hate speech offender, with no distinction of background perpetrators and promote citizens' equality before the law, so that punishment applies only to legitimate and convincing perpetrators of hate speech. The most dominant factors that hinder the implementation of the equality before the law principle in law enforcement is law enforcer factor. This is because not all law enforcers (investigators) a good mastery of the development of information technology and the absence of cyber units in law enforcement institutions. Suggestions in this research are: Law enforcement officers are advised to consistently apply equality before the law principle to the offender of hate speech. People are advised not to be easily provoked to spread the hate speech to something that is not in accordance with the views or understanding, should people be more wise and more careful using social media

(4)

I. PENDAHULUAN

Hakikat manusia pada dasarnya selain sebagai makhluk pribadi (individu) juga sebagai makhluk sosial, tidak ada satu manusia pun yang dapat melepaskan diri dari kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesamanya. Oleh karena itu diperlukan hukum guna mengatur perilaku manusia agar tidak merugikan sesama manusia. Hukum pada dasarnya memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.1

Hukum dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. 2

1 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana

dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 14.

2 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai

Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

Penegakan hukum memiliki peranan yang besar dalam penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjamin kepentingan mayoritas masyarakat atau warga negara, terjaminnya kepastian hukum sehingga berbagai perilaku kriminal (yang selanjutnya disebut tindak pidana) dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan anggota masyarakat atas anggota masyarakat lainnya akan dapat dihindarkan.

Hukum memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai alat untuk menciptakan keadilan, keteraturan, ketenteraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat yang dibentuk atas keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat, dengan maksud agar hukum dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat.3

Salah satu prinsip pokok negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Pasal 24 Ayat (1) UUD

1945 dinyatakan bahwa “Kekuasaan

Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”. Kekuasaan kehakiman

meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam penyelenggaraan sistem peradilan

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan

(5)

pidana, sehingga sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses sistem peradilan pidana yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman. Asas equality before the law menurut ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 adalah segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Asas kesamaan kedudukan warganegara di depan hukum suatu asas di mana hukum mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum.

Salah satu contoh kasus terkait belum dilaksanakannya asas equality before the law adalah Polda Lampung menangkap seorang pengguna akun media sosial bernama M.Ali Amin Said yang melontarkan ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ujaran yang mengandung SARA tersebut diposting melalui media sosial facebook.4 Penangkapan ini cenderung masih tebang pilih karena banyak pelaku ujaran kebencian terhadap tokoh publik di media sosial tidak diproses secara hukum.

Contoh kasus lainnya dugaan ujaran kebencian (Hate Speech) yang dilakukan oleh Kaesang Pangarep putra Presiden Joko Widodo dengan hastag papa minta

4

https://kumparan.com/rini-friastuti/polda- lampung-amankan-pengguna-facebook-yang-hina-kapolri/Diakses Selasa 1 Agustus 2017.

proyek, yang dilaporkan kepada pihak Kepolisian, tetapi laporan ini tidak ditindaklanjuti. Menurut Wakapolri Syafruddin, kepolisian akan bertindak rasional dalam penyelesaian laporan dari masyarakat, banyak sekali laporan yang masuk ke ranah kepolisian dan polisi harus memilah mana kasus yang lebih penting dan dinilai masuk akal untuk dilanjutkan ke proses pemidanaan. Kasus pelaporan Kaesang terkait isi dari video yang diunggahnya di Youtube tidak akan menjadi prioritas, sehingga tidak akan ditindaklanjuti. 5 Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law merupaakn salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang.6

Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem). Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang

5

https://tirto.id/kata-ndeso-yang-diucapkan-kaesang-bukan-ujaran-kebencian-cr7T/Diakses Jumat 27 Oktober 2017.

(6)

mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.7

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dengan

judul: “Implementasi Asas Equality

before the law dalam Penegakan

Hukum” (Studi Kasus “Hate Speech” di

Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

Permasalahan dalam penelitian adalah: a. Bagaimanakah implementasi asas

equality before the law dalam penegakan hukum?

b. Apakah faktor penghambat implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II.PEMBAHASAN

A. Implementasi Asas Equality before the law dalam Penegakan Hukum

Ujaran kebencian (Hate Speech) merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.

7 Ibid, hlm.7.

Hate Speech dalam arti hukum adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka baik dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Sehubungan dengan adanya tindak pidana Hate Speech maka aparat penegak hukum melaksanakan proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana yang meliputi penyidikan oleh Kepolisian, penyusunan dakwaan dan penuntutan oleh kejaksaaan dan penjatuhan hukuman/putusan hakim oleh hakim pengadilan.

1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Hate Speech oleh Kepolisian

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

(7)

berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur undang-undang.

Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Tujuan penyidikan secara konkrit tindakan penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang tindak pidana apa yang dilakukan, kapan tindak pidana dilakukan, dengan apa tindak pidana dilakukan, bagaimana tindak pidana dilakukan, mengapa tindak pidana dilakukan dan siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana tersebut

Menurut Wilson Buana8 upaya lain yang

ditempuh Kepolisian dalam menanggulangi Hate Speech adalah dengan melakukan patroli media sosial oleh kepolisian dilaksanakan untuk menelusuri, mendeteksi dan menanggulangi tindak pidana di internet, khususnya konten Hate Speech. patroli media sosial ini merupakan langkah yang penting dalam penegakan hukum atas kejahatan internet. Sebagai instrumen pencegahan, pihak kepolisian menggunakan software yang dirancang untuk mendeteksi Hate Speech seperti

8 Hasil wawancara dengan Wilson Buana.

Penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung. Selasa 23 Januari 2018

Nawala Project dan ID-SIRTII. Nawala Project adalah sebuah layanan yang bebas digunakan oleh pengguna internet yang membutuhkan saringan konten negatif. Nawala Project secara spesifik akan memblokir jenis konten negatif yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan, nilai dan norma sosial, adat istiadat dan kesusilaan bangsa Indonesia. Selain itu, Nawala Project juga akan memblokir situs Internet yang mengandung konten berbahaya seperti malware, situs penyesatan dan sejenisnya.

Setelah pihak Kepolisian mengidentifikasi adanya akun media sosial yang meng-upload atau memposting konten Hate Speech di media sosial maka dilakukan penelusuruan secara lebih detail dan terperinci mengenai identitas akun tersebut untuk menemukan pelaku atau pemilik akun yang mengunggah konten Hate Speech di media sosial dan dilakukan penangkapan serta proses hukum terhadap pelaku.

2. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Hate Speech oleh Kejaksaan

Menurut Sayekti Chandra M.9 setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi

9 Hasil wawancara dengan Sayekti Chandra M.,

(8)

hukum. Pemberhentian penyidikan ini dibertahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka atau keluarganya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan hakim. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Upaya melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan, dilaksanakan secara merdeka, dimana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang jaksa harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Selanjutnya dalam Pasal 37 Ayat (1) disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penegakan hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum,

dengan begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan.

3. Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Hate Speech oleh Hakim Pengadilan

Menurut Siti Insirah10 penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Hate Speech oleh hakim pengadilan dilaksanakan setelah berkas perkara dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku usaha kayu olahan yang melakukan tindak pidana Hate Speech. Pengadilan semaksimal mungkin menegakkan keadilan melalui proses pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan, hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tindak pidana Hate Speech oleh pelaku usaha kayu olahan.

Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi

10 Hasil wawancara dengan Siti Insirah, Hakim

(9)

hukum karena kurang pertimbangan hukum.

Secara yuridis hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tindak pidana tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP). Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan Pasal 185 Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3), maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.

Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada

prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian dengan melaksanakan penyidikan, Kejaksaan dengan menyusun dakwaan dan penututan serta hakim pengadilan dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana hate speech, dengan tidak membeda-bedakan latar belakang pelaku dan mengedepankan kesamaan warga negara di hadapan hukum, sehingga pemidanaan hanya diterapkan terhadap pelaku yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana hate speech.

(10)

(audi et alteram partem). Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan. 11

Salah satu asas umum peradilan adalah asas praduga tidak bersalah (presumption innonsence) yang dirumuskan pada butir c Penjelasan Umum KUHAP bahwa setiap orang yang disangka atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Seluruh proses penegakan hukum terhadap setiap warga negara harus dilakukan tanpa campur tangan atau intervensi dari kekuasaan lain di luar peradilan. Hal ini sesuai dengan prinsip penyelenggaraan kekuasaan peradilan yang merdeka sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. Selain itu sesuai pula dengan ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., 2010, hlm.6.-7

Asas equality before the law diwujudkan dalam sistem peradilan pidana. Tetapi fakta hari ini menunjukkan banyaknya permasalahan hukum yang mulai menggerogoti asas-asas tersebut sehingga proses penegakan hukum pun mulai berjalan tidak efektif. Adanya pembedaan perlakuan oleh pengadilan (Hakim) terhadap bentuk penahananbagi terdakwa menjadi bukti asas equality before the law tak lagi menjadi pengawal sistem peradilan pidana untuk menegakkan hukum. Sesuai dengan asas equality before the law, hakim harus bertindak seimbang dalam memipin sidang di pengadilan dan dengan pertimbangan asas ini maka prinsip kesamaan di depan hukum dengan serta merta juga akan terpenuhi, bagaimana kedudukan semua subjek hukum mendapat perlakuan yang sama tanpa ada diskriminasi.

B. Faktor-Faktor yang Menghambat Implementasi Asas Equality before the law dalam Penegakan Hukum

1. Faktor Substansi Hukum

Menurut Wilson Buana12 penegakan hukum terhadap pelaku Hate Speech oleh Kepolisian dalam anatomi kejahatan transnasional sangat dipengaruhi oleh faktor hukum, karena Hate Speech berada pada anatomi kejahatan transnasional maka hukum yang digunakan adalah hukum nasionalyang berlaku di Indonesia. Namun sepanjang tidak diatur dalam hukum nasional maka yang

12 Hasil wawancara dengan Wilson Buana.

(11)

dipergunakan adalah asas-asas, prinsip-prinsip dan kaidah hukum internasional.

Pengaturan Hate Speech terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berlaku lex specialist terhadap KUHP. Undang-undang ini telah memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Secara yuridis, lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eleketronik didasarkan amanat yang terkandung pada Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Menurut Sayekti Chandra M.13 masyarakat memerlukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengatur berbagai aktivitas yang mereka lakukan selama berinteraksi di cyber space. Dinamika globalisasi informasi telah menuntut adanya suatu aturan untuk melindungi kepentingan para pengguna internet dalam mengakses informasi. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini sejalan dengan agama, nilai-nilai maupun kaidah moral yang diterima

13 Hasil wawancara dengan Sayekti Chandra M.,

Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Kamis 25 Januari 2018.

secara universal sehingga keberadaan cyber law (termasuk instrumen hukum internasional yang mengaturnya) diakui, diterima dan dilaksanakan oleh information society. Dengan demikian kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Elektronik diharapkan dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

2. Faktor Aparat Penegak Hukum

Menurut Wilson Buana14 penegak

hukum mempunyai peranan strategis dalam penegakan hukum. Setiap profesional hukum harus memiliki pengetahuan bidang hukum sebagai penentu bobot kualitas pelayanan hukum secara profesional.menanggulangi Hate Speech ini. Penegak hukum dalam menegakkan hukum seringkali masih menggunakan ketentuan dalam KUHP padahal sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal ini membuat terdakwa dengan mudah lepas dari jeratan hukum karena unsur-unsur pasal yang didakwakan tidak dapat dibuktikan. Kesalahan dalam menggunakan undang-undang memang sudah seringkali terlihat dalam kasus-kasus yang ditangani oleh penegak hukum.

Ketidakcermatan penegak hukum ini disebabkan karena latar belakang pendidikan hukum yang belum memadai. Seorang penyidik tidak semuanya berpendidikan sarjana hukum,

14 Hasil wawancara dengan Wilson Buana.

(12)

sehingga wajar jika ia tidak mengerti kapan saat ia menggunakan suatu undang-undang atau pasal tertentu dalam kasus yang tengah dihadapinya. Ketidakcermatan penyidik ini juga didukung dengan lemahnya mekanisme kontrol dari penuntut umum yang sesungguhnya mempunyai hak untuk mengembalikan berkas penyidikan saat prapenuntutan. Sehingga ketika terdakwa diadili maka unsur-unsur yang didakwakan tidak dapat dibuktikan. Kemampuan dari penegak hukum dalam menjaring pelaku pun masih diragukan karena mengungkap kejahatan di dunia maya memang memerlukan penguasaan teknologi yang bukan hanya sekadar untuk mengetik atau mengoperasikan internet.

Penyidik juga harus proporsional dalam penyidikan, artinya tindakan penyidikan mengandung arti bahwa penyidik tidak dapat menyalahgunakan kewenangan dalam penyidikan terhadap tersangka. Penegak hukum terutamanya penyidik perlu menerapkan prinsip-prinsip dan fungsi manajemen yang khas dalam proses penyidikan sejak penerimaan laporan, penugasan, perencanaan, pelaksanaan dan penyesuaian, pengendalian dan evaluasi, penyerahan hasil, bantuan di persidangan dan dokumentasi hukum. Dokumentasi hukum sendiri dianggap sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam proses hukum selanjutnya.

3. Faktor Sarana Prasarana

Menurut Wilson Buana15 sarana dan prasarana sangat penting dalam proses

15 Hasil wawancara dengan Wilson Buana.

Penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung. Selasa 23 Januari 2018

penegakan hukum. Untuk menelusuri pengelola dan para pelanggan situs-situs atau akun-akun berisi hate speech dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Pasalnya kebanyakan penggunanya menggunakan sandi-sandi khusus untuk dapat mengakses situs tersebut. Dalam hal ini diperlukan aplikasi-aplikasi yang mampu membuka sandi-sandi khusus tersebut. Aplikasi tersebut diharapkan dapat menjadi sarana bagi penegak hukum dalam mengungkap pelaku dan tempat dilakukannya Hate Speech.

Belum optimalnya penegakan hukum terhadap pelaku Hate Speech oleh Kepolisian disebabkan karena sarana dan fasilitas penegakan hukum yang belum memadai. Penegakan hukum terhadap pelaku Hate Speech oleh Kepolisian mutlak memerlukan alat sebab karakteristik dari kejahatan ini adalah dilakukan dengan alat baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Penentuan waktu dan tempat terjadinya Hate Speech ditentukan saat kapan alat itu bekerja efektif, oleh sebab itu analisis telematika sangat diperlukan dalam mengungkap kejahatan.

4. Faktor Masyarakat

Menurut Sayekti Chandra M.16 penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Pengaruh masyarakat dalam penegakan hukum ini ditelaah dari

16 Hasil wawancara dengan Sayekti Chandra M.,

(13)

kesadaran hukum yang menjadi indikator dari derajat kepatuhan hukum.

Kesadaran hukum sangat diperlukan dalam berteknologi. Teknologi informasi merupakan ujung tombak dari globalisasi. Kondisi ini melahirkan suatu dunia baru yang disebut global village (desa global). Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi, multimedia dan teknologi informasi pada akhirnya akan mengubah tatanan organisasi dan hubungan sosial kemasyarakatan. Mereka yang sudah menikmati manfaat teknologi tersebut, terbukti telah mengalami peningkatan kekuatan ekonomi dan menjadi kelompok masyarakat yang relatif makmur. Sebaliknya, mereka yang belum memperoleh kesempatan, pada umumnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Fenomena tersebut semakin menguatkan hipotesis the winner takes all (pemenang mengambil semua) yang menyiratkan makna bahwa yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin tetap saja miskin.

5. Faktor Budaya

Erna Dewi17 menjelaskan bahwa kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan

17 Hasil wawancara dengan Erna Dewi, Dosen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Jumat 19 Januari 2018

dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.

Kemajuan peradaban dan budaya manusia, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi sudah mendunia dan menjadikan planet bumi menjadi semakin kecil dan seolah-olah tak terbatas sehingga kejadian di salah satu tempat di bumi ini dengan cepat dan dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui di belahan bumi lainnya. Globalisasi di segala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam keterkaitan antar negara. Perkembangan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, menimbulkan problema baru bagi pembentuk undang-undang tentang caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efesien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat dari masuknya pandangan dan kebiasaan orang-orang asing mengenai kehidupan dan kebudayaan di setiap negara.

(14)

Perubahan budaya ketimuran yang dianut oleh bangsa Indonesia kini semakin memudar.

III. PENUTUP

A. Simpulan

1. Implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian dengan melaksanakan penyidikan, Kejaksaan dengan menyusun dakwaan dan penututan serta hakim pengadilan dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana hate speech, dengan tidak membeda-bedakan latar belakang pelaku dan mengedepankan kesamaan warga negara di hadapan hukum, sehingga pemidanaan hanya diterapkan terhadap pelaku yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana hate speech.

2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat implementasi asas equality before the law dalam penegakan hukum terdiri dari faktor substansi hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya. Dari kelima faktor tersebut, maka faktor yang paling dominan adalah faktor penegak hukum. Hal ini disebabkan karena tidak semua penegak hukum (penyidik) penguasaan yang baik terhadap perkembangan teknologi informasi dan belum adanya unit cyber dalam institusi penegak hukum.

B. Saran

1. Aparat penegak hukum disarankan untuk secara konsisten menerapkan asas equality before the law terhadap pelaku tindak pidana hate speech, sehingga dapat meminimaliasi adanya kesan tebang pilih dalam penegakan hukum yang dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhada institusi penegak hukum.

2. Masyarakat disarankan untuk tidak mudah terpancing untuk menyebarkan hate speech terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan atau pemahamannya, sebaiknya masyarakat lebih bijak dan lebih berhati-hati menggunakan media sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta

https://kumparan.com/rini- friastuti/polda-lampung- amankan-pengguna-facebook-yang-hina-kapolri/Diakses Selasa 1 Agustus 2017.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Faktor penghambat bagi hakim dalam menerapkan asas hakim aktif di persidangan antara lain hakim sebagai penegak hukum belum sepenuhnya mengikuti ketentuan undang-undang

Faktor penghambat penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana oleh kepolisian terhadap penyanyi dangdut koplo yang menari erotis adalah terdapat pada faktor

Equality Before The law dengan baik sesuai dengan peraturan yang ada tanpa harus tebang pilih, sehingga penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang nyata

Bila sudut pandang hukum materiil yang kita lihat dalam penegakan hukum yang kita bahas, kiranya masing-masing sistem hukum, baik Common Law System maupun Civil Law System,

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam upaya penegakan hukum terhadap

Judul Skripsi : Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Asas Due Process of Law (Studi Komparasi: Kejaksaan RI dan KPK) Link Jurnal

penegak hukum untuk mengatasi masalah dalam penegakan hukum terhadap masyarakat yang melakukan tindak pidana melawan Aparat yang sedang bertugas oleh Kepolisian Resor

Oleh karna itu, dengan adanya anggapan dari kalangan masyarakat luas bahwa dalam penanganan perkara tersebut ada pengistimewaan kepada terdakwa dari aparat penegak