PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
LATAR BELAKANG
proses terjadinya pancasila dapat di badakan menjadi dua yaitu: asala mula yang
langsung dan asal mula yang tidak langsung. Adapun pengrtian asal mula tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Asal Mula Langsung
Pengertian asal mula secara ilmiah filsafati di bedakan menjadi empat yaitu: causa
materialis, causa formalis, causa efficient.
Adapun rincian asal mual langsung Pancasila menurut Notonegora adalah sebagai
berikut :
a.
Asal mula bahan
(causa materialis)
Asal bahan Pancasila adalah bangsa Indonesia itu sendiri karena Pancasila di gali
dari nilai-nilai, adapt-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat
dalam kehidupan sehari hari bangsa Indonesia.
b.
Asal mula bentuk
(causa formalis)
Hal ini di maksudkan bagaimana asal mula bentu atau bagaimana bentuk
Pancasila itu di rumuskan sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945. maka
asal mula bentuk Pancasila adalah ; Soekarno bersama-sam denagn Drs. Moh Hatta
serta anggota BPUPKI lainya merumuskan dan membahas pancasila terutama
hubungan bentuk,rumusan dan nama Pancasila.
c.
Asal mula karya
(causa efficient)
Asala mula karya yaitu asal mula yang menjadikan Pancasila dari calon dasar
Negara menjadi dasar negarayang satu. Adapun asal mula krya adalah PPKI sebagai
pembentuk Negara dan atas dasar pembentuk Negara tang mengesahkan Pncasila
menjadi dasar Negara yang sah, setelah melakukan pembahasan baik yang di
lakuakan oleh BPUPKU , Panitia Sembilan.
2.
Asal mula tidak langsung
Asal mula tidak langsung pancasila bila dirinci adalah sebagai berikut:
a.
unsur unsure Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar
filsafat Negara. Nilai-nilainya yaitu nilai keuhanan, niali kemanusiaan, nilai
persatuan, niali kerakyatan, niali keadilan telah ada dan tercermin dalam kehidupan
sehari-hari bangsaIndonesia sebelum membentuk Negara.
c.
Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa asal mula tidak langsung Pancasila pada
hakikatnya bangsa Indonesia sendiri, atau dengan kata lain bangsa Indonesia sebagai
“Kausa materialis” atau sebagai asal mula tidak langsung nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas ,dapat membeikan gambaran pada kita bahwa pancasila itu
pada hakikatnya adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang jauh sebelum
bangsaIndonesia membentuk Negara.
A. ARTI IDEOLOGI TERBUKA
Ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan zaman
dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu sebenarnya
terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, “... terutama bagi negara
baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan
pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya dan mencabutnya“.
B. FAKTOR PENDORONG KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah
sebagai berikut :
a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat
yang berkembang secara cepat.
b. Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku dikarenakan
cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c. Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi
dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan
nasional.
dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai
dasarnya.
C. BATAS-BATAS KETERBUKAAN IDEOLOGI PANCASILA
Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batasnya yang tidak
boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut :
a.
Stabilitas nasional yang dinamis.
b.
Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme dan komunisme.
c.
Mencegah berkembangnya paham liberal.
d.
Larangan terhadap pandangan ekstrim yang mengelisahkan kehidupan masyarakat.
e.
Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Alloh Swt. Yang telah
memberikan banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu
menyelesaikan Makalah Pendidikan Pancasila ini sesuai dengan waktu
yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi
salah satu syarat penilaian mata kuliah Pancasila. Yang meliputi nilai
tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai keaktifan.
Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang
sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada study banding
atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi.
Yang semoga bisa member tambahan pada hal yang terkait dengan
Kepentingan Pendidikan Pancasila dalam perkembangan Negara Indonesia
di Era Reformasi.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode study pustaka, yaitu
mengumpulkan dan mengkaji materi Pendidikan Pancasila dari berbagai
referensi. Kami gunakan metode pengumpulan data ini, agar makalah
yang kami susun dapat memberikan informasi yang akurat dan bisa
dibuktikan.
Penyampaian pembandingan materi dari referensi yang satu dengan yang
lainnya akan menyatu dalam satu makalah kami. Sehingga tidak ada
perombakan total dari buku aslinya.
Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan.
Begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala
kekurangannya.
Kami ucapkan terima kasih kepada S.Rosdiani Emiyulia,S.Pd.MM sebagai
pengajar mata kuliah Pancasila yang telah membimbing kami dalam
penyusunan makalah ini.tidak lupa pula kepada rekan – rekan yang telah
ikut berpartisipasi. Sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya.
Penyusun
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Bab 1 Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1968 4
Bab 2 Tinjauan Pancasila Dari Berbagai Segi 8
2.1
Tinjauan Historis 8
Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 8
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 9
Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara
(1950) 9
Intruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 102.2
Tinjauan Yuridis – Konstitusional 10
2.3
Tinjauan Tentang dasar Pancasila 11
Bab 3 Hakikat Nilai – Nilai Pancasila 15
1.1
Arti dan Makna Sila Ketuhanan yang Maha Esa 15
1.2
Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 15
1.3
Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia 15
1.4
Arti dan Makna Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmad
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan 16
1.5
Arti dan Makna Sila Keadialn Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 16
1.6
Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila 16
Bab 4 Pancasila Suatu Pilihan Bangsa 17
Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
INTRUKSI PRESIDEN RI NOMOR 12 TAHUN 1968
Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah
kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang benar
dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan
melalui
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968
.
Penegasan tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau
rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan
pendapat tentang isi Pancasila yang benar dan sesungguhnya.
Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang
(1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya dilakukan
untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai
Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional
dan pendekatan komprehensif.
hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia
untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh
dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam
keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga
negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan
kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan
yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai
dasar negara
,
ideologi
, ajaran tentang
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Telaah
tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain
merupakan
philosphische grondslaag
(Bld), dasar filsafat negara Republik
Indonesia, Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa
atau pandangan hidup bangsa (Ing:
way of life
; Jer:
weltanschauung
).
Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh
pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang
dikandung
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
. Pancasila adalah
keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis tidak
hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek
religius dalam Pancasila (Lapasila, 1986:13-14): “Dengan tercantumnya
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila,
Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya sendiri sebagai suatu
ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem filsafat dan religi
yang mempunyai ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan yang
Maha Esa. Dengan demikian secara ‘inheren’ Pancasila mengandung
watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga pendekatan filosofis
dan religius adalah konsekuensi dari
essensia
Pancasila sendiri yang
mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara
pembahasan yang terbatas pada bidang ilmiah semata-mata belum
relevan dengan Pancasila.”
TINJAUAN PANCASILA DARI BERBAGAI SEGI
Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional
dan pendekatan komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan
kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia
untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh
dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam
keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga
negara Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan
kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan
yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Telaah
tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain merupakan
philosphische grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia,
Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau
pandangan hidup bangsa (Ing: way of life; Jer: weltanschauung). Maka
tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh pemahaman
yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila adalah keniscayaan
sejarah yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis tidak hendak mengabaikan
sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius dalam Pancasila
(Lapasila, 1986:13-14): “Dengan tercantumnya Ketuhanan yang mahaesa
sebagai sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah
membentuk dirinya sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi.
Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup
pembahasan tentang Ketuhanan yang mahaesa. Dengan demikian secara
‘inheren’ Pancasila mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius,
sehingga pendekatan filosofis dan religius adalah konsekuensi dari
essensia Pancasila sendiri yang mengandung unsur filsafat dan aspek
religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas pada bidang ilmiah
semata-mata belum relevan dengan Pancasila.”
1.Tinjauan historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap
perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai
dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan
ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai
pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI);
Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang
penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum
terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal
ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa)
tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan
Pancasila secara lebih ‘alamiah’. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya
pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum
Mendel.
Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup
untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan
dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu
dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada
rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang
selalu merupakan satu kebulatan yang utuh.
Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin
menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka
sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri
Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia
tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya
sebagai dasar negara.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga
mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan
Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4)
Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam
pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja
namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa,
namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan
oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan
sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan
Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr.
A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim,
Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin.
Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam
suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam
Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5)
Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan
Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan
Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945.
Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut,
Pancasila dirumuskan secara ‘lebih singkat’ menjadi: 1) Pengakuan
Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4)
Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan
menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis atau
untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan;
2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat;
5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika
Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa
rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa
Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku
di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang
membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran
tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang
menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945.
2.Tinjauan yuridis-konstitusional
Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD
1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD
1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah
keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.
Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber
tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan
demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila,
sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum
(Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia ‘tunduk’ kepada
Pancasila sebagai ‘kekuasaan’ tertinggi.
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk
menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui
peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang
pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara.
Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undang-undang,
peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang mengikutinya
bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana
dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “… tetapi sejauh mungkin
juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya …” sedemikian rupa
sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran,
pelaksanaan, penerapan Pancasila.
Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat
yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah)
adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar
negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya
dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya
merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers
Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena
ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut
sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa
bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila
secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang
nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.
3.Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa
Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak
bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai
universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman
fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya
sebagai satu kesatuan sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik
sendiri yang dipilih oleh bangsa Indonesia untuk dijadikan dasar negara
(dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag negara dan atau
ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta
mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai
kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila
yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu
yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar
negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo
berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “…
dalam mencari kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking
atau philosophical system tidaklah perlu sampai menimbulkan
pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan.”
Pancasila diharapkan tidak dimengerti melulu sebagai indoktrinasi yang
bersifat imperatif karena fungsi pokoknya, tetapi yang juga perlu
diintenalisasi ke dalam batin setiap dan seluruh warga negara Indonesia
karena ‘fungsi penyertanya’ yang justru merupakan sumber Pancasila
sebagai dasar negara.
Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi dasar negara dalam
pengertian yuridis-ketatanegaraan sebenarnya sudah sangat kuat karena
pelaksanaan dan pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Pancasila secara multidimensional.
Sebagaimana kita ketahui dari sejarah kelahirannya, Pancasila digali dari
sosio-budaya Indonesia, baik secara perorangan maupun kolektif,
kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar negara pada tanggal
18 Agustus 1945. Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat
kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis sebagai dasar negara), Ir. Soekarno
mengatakan: “Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang
statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen
yang ada jiwa Indonesia.”
Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara
penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan
Indonesia.
Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi
oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh
tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan
keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun
sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah
sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa
Indonesia.
Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang
menyeluruh dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia,
sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk
bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang
terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum,
azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam
proses mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan
antarmanusia Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan
luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh
seluruh bangsa Indonesia.
Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang
paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin
sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara
integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.
Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati
kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik
Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus
bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan)
Pancasila.
Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan
nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan
negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga
kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya
menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya
MAKNA SILA-SILA PANCASILA
Arti dan Makna Sila Ketuhanan yang Maha Esa
1.
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan yang Maha Esa
2.
Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agamanya.
3.
Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
4.
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.
5.Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan
dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
6.
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan
iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk
Tuhan
Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia
1.
Nasionalisme.
2.
Cinta bangsa dan tanah air.
3.
Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia.
4.
Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan
dan perbedaan warna kulit.
5.
Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
1.
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan yang Maha Esa
2.
Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agamanya.
3.
Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
4.
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.
5.Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan
dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
6.
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan
iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
Hakikat sila ini adalah demokrasi.
Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara
bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama.
Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.
Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis
dan meningkat.
Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat
bekerja sesuai dengan bidangnya.
Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila
Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu , mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan
bagi bangsa Indonesia.
Sikap positif dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila.
1.
Menghormati anggota keluarga
2.Menghormati orang yang lebih tua
3.Membiasakan hidup hemat
4.
Tidak membeda-bedakan teman
5.
Membiasakan musyawarah untuk mufakat
6.
Menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing
7.
Membantu orang lain yang kesusahan sesuai dengan kemampuan
sendiri.
PANCASILA SEBAGAI PILIHAN BANGSA
Pancasilan telah disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18
Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI.Pada masa Orde baru
Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ),
disamping dasar negara juga diberi sebutan pandangan hidup, perjanjian
luhur bangsa, tujuan yang hendak di capai, moral pembangunan,
kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain.
Setelah lahirnya repormasi di keluarkanlah ketetapan MPR RI no.
XVIII/MPR/1998, berisi:
a.
Pengembalian fungsi pancasila sebagai dasar negara.
b.
Penghapusan P4.
c.
Penghapusan pancasila sebagai azas tungggal bagi organisasi sosial
politik di indonesia.
Dan pancasila mempunyai fungsi yang tetap yaitu sebagai dasar negara
dan juga sebagai ideologi bangsa dan negara.
Argumentasi serta alasan-alasan pembenatanya adalah sebagai berikut:
dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan
legitimasi
filosofis, yuridis dan politis
dalam negara, hal ini sebagaimana
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan
Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang
berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila
pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama. Dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat
beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam
hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan
perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41
tentang Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur
tentang wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan.
Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar
negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga
negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti
bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat
atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama
perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam
hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar
warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa
aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia
membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam
kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut
berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat
(
public savety
), ketertiban masyarakat (
public order
), etik dan moral
masyarakat (
moral public)
, kesehatan masyarakat (
public healt
) dan
melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (
the fundamental
right and freedom orders
). Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap
kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih
memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya
dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur
tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a
tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan
upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan
keagamaan.
B. PANCASIL SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA
Pengertian Ideologi
Ideologi yang semula berarti gagasan, ide, cita-cita itu berkembang menjadi suatu paham mengenai seperangkat nilai atau pemikiran yang oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup.
Beberapa pengertian ideologi:
A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang
membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan
gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama.
Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang
manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran
yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya:
merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.
Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa
nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus
masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua,
yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup
bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka.
Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
terdapat dalam penjelasan UUD 1945: “terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya
Sifat Ideologi
Ada tiga dimensi sifat ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas. 1.
2. Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin diicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi dimensi idealisme ini tetapi juga berkaitan dengan dimensi realitas.
3. Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu sehingga bebrsifat dinamis, demokrastis. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat relevansinya dari masa ke masa. 2. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
1. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
2. Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup danbeku cendnerung meredupkan perkembangan dirinya.
3. Pengalaman sejarah politik masa lampau.
4. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.
3. Sekalipun Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas keterbukaan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
1. Stabilitas nasional yang dinamis
2. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninnisme dan komunisme 3. Mencegah berkembangnya paham liberalisme
4. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat
5. Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus. 4. Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
1. Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan
bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang ber-Ketuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan.
2. Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.
BAB I
Standar Kompetensi :
1.
Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Kompetensi Dasar :
1.1. Mendeskripsikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
1.2. Menganalisis Pancasila sebagai sumber nilai dan paradigma
pembangunan.
1.3. Menampilkan sikap positif terhadap Pancasila sebagai ideologi terbuka.
A.
PENDAHULUAN
Pemahaman mendalam terhadap latar belakang historis, dan konseptual tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bagi setiap warga negara, merupakan suatu bentuk kewajiban sebelum kita dapat melaksanakan nilai-nilainya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kewajiban tersebut merupakan konsekuensi formal dan konsekuensi logis dalam kedudukan kita sebagai warga negara. Karena kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara (Filsafat Negara), maka setiap warga negara wajib loyal (setia) kepada dasar negaranya.
Perjalanan hidup suatu bangsa sangat tergantung pada efektivitas penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai dasar negara merupakan dasar dalam mengatur penyelenggaraan negara disegala bidang, baik bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Era global menuntut kesiapan segenap komponen bangsa untuk mengambil peranan sehingga dampak negatif yang kemungkinan muncul, dapat segera diantisipasi.
Kesetiaan, nasionalisme (cinta tanah air) dan patriotisme (kerelaan berkorban) warga negara kepada bangsa dan negaranya dapat diukur dalam bentuk kesetiaan (loyalitas) mereka terhadap filsafat negaranya yang secara formal diwujudkan dalam bentuk Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan Perundangan lainnya). Kesetiaan warga negara tersebut akan nampak dalam sikap dan tindakan, yakni menghayati, mengamalkan dan mangamankan. Kesetiaan ini akan semakin mantap jika mengakui dan meyakini kebenaran, kebaikan dan keunggulan Pancasila sepanjang masa.
B.
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
1.
Pancasila Kesepakatan Bangsa Indonesia
Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, terlebih dahulu yang harus kita pahami adalah bahwa “Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia” sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945. Dengan demikian, siapapun yang menjadi warga negara Indonesia hendaknya menghargai dan menghormati kesepakatan yang telah dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers) tersebut dengan berupaya terus untuk menggali, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang sila-silanya diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah menjadi kesepakatan nasional sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, dan akan terus berlanjut sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia. Kesepakatan tersebut merupakan perjanjian luhur atau kontrak sosial bangsa yang mengikat warga negaranya untuk dipatuhi dan dilaksanakan dengan semestinya.
Untuk membuktikan bahwa Pancasila merupakan hasil kesepakatan bangsa Indonesia dengan legalitas yang kuat, kiranya perlu dilengkapi dengan justifikasi yuridik, filsafat dan teoritik serta sosiologik dan historik.
Justifikasi Juridik
Bangsa Indonesia telah secara konsisten untuk selalu berpegang kepada Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana telah diamanatkan adanya rumusan Pancasila ke dalam undang-undang dasar yang telah berlaku di Indonesia dan beberapa Ketetapan MPR Republik Indonesia.
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
... dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949)
... Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam negara yang berbentuk republik federasi, berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial. ...
c. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950)
d. Ketetapan MPR RI No.XVII/MPR/1998 tentang HAK ASASI MANUSIA
Pasal 2
Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
e. Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL
Arah Kebijakan
(2) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog
terbuka di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi Indonesia masa depan.
f. Ketetapan MPR RI No.V/MPR/2000 tentang PEMANTAPAN PERSATUAN DAN KESATUAN NASIONAL
Pengertian
Etika kehidupan berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat, universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsayang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Justifikasi Teoritik - Filsafati
Yaitu merupakan usaha manusia untuk mencari kebenaran Pancasila dari sudut olah pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Pada umumnya olah pikir filsafati dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki. Para pendiri negara dalam membuktikan kebenaran Pancasila dimulai dengan suatu aksioma bahwa :”Manusia dan alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dalam suatu partalian yang selaras atau harmoni”. Aksioma ini dapat ditemukan rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945 pada aline kedua, keempat dan pasal 29, sebagai berikut :
Alinea Kedua,
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea Keempat,
..., yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, ...
Pasal 29 ayat (1)
Justifikasi Sosiologik – Historik
Menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia. Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang telah berkemang di dalam kehidupan masyarakat antara lain :
N
o
Asal
Daerah
Nilai-nilai/Ungkapan
Berkembang
Yang
Keterangan
1.
Jawa
a.
tepo seliro
(tenggang rasa),
b.
sepi ing pamrih rame ing
gawe
(mau bekerja keras tanpa
pamrih),
c.
gotong royong
(berat ringan
ditanggung bersama)
Adanya konsep
hu-manitas yang
sudah menjiwai
bangsa
Indonesia.
2.
Minangkaba
u
1)
Bulat air oleh pembuluh, bulat
kata oleh mufakat
Konsep
sovereinitas.
2)
Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah
Konsep
religiositas
c.
Penghulu beraja ke mufakat,
mufakat beraja pada kebenaran.
Konsep
humanitas
3.
Minahasa
a.
Pangilikenta waja si Empung si
Rumer reindeng rojor
(Sekalian kita
maklum bahwa yang memberikan
rahmat yakni Tuhan Yang Maha
Esa)
Konsep
religiositas
b.
Tia kaliuran si masena
impalampangan
(Jangan
lupa
kepada “Dia” yang memberi
terang.
Konsep
religiositas
4.
Lampung
Tebak cotang di serambi,
mupakat dilemsesat
(Simpang siur
di luar, mufakat di dalam balai).
5.
Bolaang
jangan berumah di pinggir pantai.
Konsep
humanitas
9.
Maluku
Kaulete mulowang lalang
walidase nausavo sotoneisa
etolomai kukuramese upasasi
netane
kwelenetane
tuginjang rap tu roru
(Berat sama
dipanggul, ringan sama dijinjing).
dirobean
(Biarlah kita bersatu
seperti batang pisang dan
mendukung seperti pohon tales di
kebun).
Konsep persatuan
Berdasarkan sudut pandang justifikasi filsafati dan teoritik inilah bangsa Indonesia yang memiliki beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) mampu hidup berdampingan secara damai, rukun dan sejahtera dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai perwujudan tersebut, maka bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa-bangsa manca negara sebagai bangsa yang memiliki sifat khas kepribadian (unik) antara lain : ramah tamah, religius, suka membantu sesama (solideritas), dan mengutamakan musyawarah mufakat.
2.
Pengertian Pancasila
Dalam rangka lebih memahami tentang Pancasila sebagai idelogi terbuka, maka perlu dijelaskan lebih dahulu apa itu Pancasila. Banyak tokoh nasional yang telah merumuskan konsep Pancasila sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Namun jika dicermati, secara umum definisi konsep tersebut relatif sama. Berikut adalah beberapa pengertian tentang Pancasila yang dikemukakan oleh para ahli.
a. Muhammad Yamin.
Pancasila berasal dari kata Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti sendi, atas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Dengan demikian Pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik.
b. Ir. Soekarno
Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia yang turun-temurun sekian abad lamanya terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Dengan demikian, Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.
c. Notonegoro
Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Indonesia. Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan Pancasila pada hakikatnya merupakan dasar falsafah dan Ideologi negara yang diharapkan menjadi pendangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
d. Berdasarkan Terminologi.
Pada 1 juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUKI), Pancasila yang memiliki arti lima asas dasar digunakakn oleh Presiden Soekarno untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara Indonesia yang diusulkannya. Perkataan tersebut dibisikan oleh temannya seorang ahli bahasa yang duduk di samping Ir. Soekarno, yaitu Muhammad Yamin.
MAKALAH PANCASILA SEBAGAI
IDEOLOGI TERBUKA DAN KAITANNYA
DENGAN PENEGAKAN
SUPREMASI HUKUM
Pendahuluan
Penyimpangan implementasi pancasila pada masa orde lama dan orde baru, berujung
menimbulkan gerakan reformasi di Indonesia, sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup besar dalam berbagai bidang terutama bidang kenegaraan, hukum maupun politik.
Konsekuensinya mengharuskan kita mengkaji ulang atas pemahaman ilmiah tentang pancasila sebagai ideologi dan sebagai paradigma kenegaraan.
Atas dasar pemahaman yang demikian itu, maka ada dua wacana ilmiah yang patut dikemukakan, yaitu :
Pertama, Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai ideologi terbuka? Kedua, Apa yang dimaskud dengan pancasila sebagai paradigma kenegaraan?
Dan terhadap jawaban kedua pertanyaan di atas dapat dipertanyakan lebih lanjut bagaimana analisis yuridis kenegaraan didalam UUD 1945 ? kemudian apa kaitannya dengan supremasi hukum yang merupakan gerakan mendasar reformasi saat ini ?
Untuk menjawab secara ilmiah kedua wacana tersebut dapat dipahami dua pengertian pokok, pengertian ideologi dan pengertian reformasi.
1. Pengertian tentang ideologi
Istilah “Ideologi” berasal dari kata “ideo” (cita-cita) dan “logy” (pengetahuan, ilmu faham). Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut :
“The sum of political ideas of doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi ialah soal cita-cita politik atau dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan).
Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai berikut : “A term used for any group of ideas concerning various politicaland economic issues and social philosophies often appliedto a systematic schema of ideas held by group classes” (suatu istilah yang
dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi serta filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang cita-cita yang dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais, Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).
“The term “isme” something used for these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk system pemikiran ini.
Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan sosial, dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political sciences) sebagai anak cabangnya. Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita menjamin disiplin ilmu politik.
Didalam ilmu politik, pengertian ideologi dikenal dua pengertian, yaitu : Pertama, pengertian secara fungsional dan
Kedua, pengertian secara structural
Ideologi dalam pengertian secara fungsional adalah ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan pengertian ideologi secara structural adalah ideologi diartikan sebagai system
pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Lebih lanjut ideologi dalam arti fungsional secara tipologi dapat dibagi dua tipe, yaitu ideologi yang bertipe doktriner dan ideologi yang bertipe pragmatis.
Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah, komunisme merupakan salah satu contohnya.
ideology tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsup-prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideology itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem
ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideology pragmatis.
Untuk memahami lebih dalam lagi contoh-contoh ideology, maka berikut ini kita mencoba mengenal pijakan pemahaman terhadap empat ideology yang kita kenal dalam wacana politik, yaitu :
Liberalisme tumbuh dari konstek masyarakat Eropa pada abad pertengahan feudal, dimana sistem sosial ekonomi dikuasai oleh kaum aristrokasi feodal dan menindas hak-hak individu. Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakan oleh keresahan ilmiah (rasa ingin tahu da keinginan untuk mencari pengetahuan yang baru) dan artistic umum pada zaman itu.
Ciri-ciri ideology libertalisme sebagai berikut :
Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik,
Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.
2.2 Konservatisme
Ketika liberalisme menggoncang struktur masyarakat feudal yang mapan, golongan feudal berusaha mencari ideology tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasive liberalisme. Dari sinilah muncul ideology konservatisme sebagai reaksi atas paham liberalisme.
Paham konservatisme itu ditanda dengan gejala-gejala sebagai berikut :
Pertama, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki struktur (tata) yang stabil sehingga setiap orang mengetahui bagaimana ia harus berhubungan dengan orang lain.seseorang akan lebih memperoleh kebahagiaansebagai anggota suatu keluarga anggota gereja daan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara individual.
Kedua, untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil diperlukan suatu pemerintah yang memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggung jawab. Paam konservatif berpandangan pengatura yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang samaterhadap setiap orang. Ketiga, paham ini menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk membantu pihak yang lemah. Posisi ini bertentangan dengan pahamliberal yang berpandangan pihak yang lemah harus bertanggung jawab atas urusan dan hidupnya. Sisi konservatif inilah yang menimbulkan untuk pertama kali negara keseahteraan (welfare state) dengan program-program jaminan sosial bagi yang berpenghasilan rendah.
Ciri lain yang membedakan antara liberalisme dan konservatisme adalah menyangkut hubungan ekonomi dengan negara lain. Paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi (proteksi), melainkan menganut paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas), sedangkan paham liberal cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal itu membantu buruh, konsumen dan golongan menengah domestik.
2.3 Sosialisme dan komunisme
dihapuskan dan diambil untuk selanjutnya berada pada kontrol negara.
Perbedaan sosialisme dan komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Paham sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya dilakukan dengan cara-cara damai dan demokratis.
2.4 Fasisme
Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan symbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara.
Hal itu akan dapat dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai symbol kebesaran negara yang didukung oleh massa rakyat.. dukungan massa yang fanatik ini tercipta berkat indoktrinasi, slogan-slogan dan symbol-simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mossolini), dan Spanyol.
Dewasa ini pemikiran fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing) dinegara-negara maju, seperti skin ilead dan kluk-kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha mencapai dan mempertahankan supremasi kulit putih.
3. Pengertian tentang reformasi
Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri, misalnya dengan pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga baik negeri atau swasta, dan tindakan lain yang justru tidak mencerminkan sebagai reformis.
Makna “reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (oxford advanced leaner’s dictionary of current English, 1980, dalam Wibisono 1998 : 1).
Secara harfiah reformasi memiliki makna : suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat(Riswanda, 1998).
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan ORBA banyak terjadi suatu penyimpangan – penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme” kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
Kedua, suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini pancasila sebagai ideology bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan pada dasar nilai-nilai sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan visi dan misi ideology yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah anarkisme, disintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
Ketiga, suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan structural yang ada, karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa, serta
legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparasi dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manesfestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan rakyatlah segaa aspek kegiatan negara. Atau dengan prinsip, bahwa “Tiada Reformasi dan Demokrasi tanpa supremasi hukum dan tiada supremasi hukum tanpa reformasi dan demokrasi”.
Keempat, Reformasi diakukan ke arah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia democrat, egaliter dan manusiawi.
berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Atas dasar lima syarat-syarat di atas, maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideology, sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas, maka reformasi akan mengarah kepada disintegrasi, anarkisme,brutalisme, dengan dmikian hakekat reformasi itu adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran secara terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional dan atas
pijakan/tatanan yang berdasarkan pada moral religius.
4. Pancasila sebagai ideologi terbuka
pancasila sebgaai filsafat bangsa / negara dihubungkan dengan fungsinya sebagai dasar negara, yang merupakan lndasan ideal bangsa Indonesia dan negara republik Indonesia dapat disebut pula sebagai ideologi nasional atau disebut juga sebagai ideologi negara. Artinya pancasila merupakan ideologi yang dianut oleh negara (penyelenggaraan negara dan rakyat) Indonesia secara
keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang atau sekelompok orang, disamping masih adanya beberapa ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi negara, sebab Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai kebenaran yang telah dipilih oleh para pendiri negara ini, yang mana lima dasar atau lima silanya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun terbedakan sebagai dasar dan ideologi pemersatu.
Sebagai suatu rumusan dasar filsafat negara atau dalam kedudukan sebagai ideologi negara yang dikandung oleh pembukaan UUD 1945 ialah pancasila. Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar cita negara (staatidee) dan sekaligus dasar dari cita hokum (rechtidee) negara republik Indonesia.
Sebagai cita negara, ia dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat (volksgeemenshapidee) yang telah ada sebelum negara itu didirikan.
Memang sebelum negara republik Indonesia berdiri, masyarakatnya telah ada sejak berabad-abad silam. Terbentuknya suatu masyarakat pada umumnya terjadi secara alamiah. Masyarakat itu kemudian mengembangkan citanya sendiri, yang berisi cita-cita, harapan-harapan, keinginan-keinginan, norma-norma dan bentuk-bentuk ideal masyarakat yang dicita-citakannya. Cita negara dirumuskan berdasarkan cita yang hidup dalam masyarakat tadi sebagai hasil refleksi filosofis. Pertanyaan yang mendasar dan ilmiah adalah Apakah pancasila itu sebagai Ideologi ? dan jika sebagai ideologi apakah sebagai ideologi tertutup atau ideologi terbuka dan dimana letak terbukanya ?
Secara wacana akademik istilah ideologi pada walnya digunakan oleh seorang filsuf Prancis, ANTOINE DESTUTT DE TRACY, yang diartikannya “ilmu pengetahuan mengenai gagasan-gagasan (science of ideas). Istilah ini mula-mula mengandung konotasi politik karena penggunaanya berhubungan dengan epistmologi ilmu pengetahuan.
Dalam sejarahnya istilah ideologi baru berhubungan dengan kehidupan politik setelah Napoleon Bonaparte dari Prancis menamakan semua orang yang menentang gagasan-gagasan “patriotic” yang dikemukakannya sebagai kaum “ideologis”. Bagi Napoleon, ideologi adalah pemikiran-pemikiran khayali kaum idealis yang menghalang-halangi pencapaian tujuan-tujuan revolusioner. Istilah ini semakin popular pada abad pertengahan ke 19 setelah KARL MARX menerbitkan buku German Ideology. Menurut ideologi hanyalah kesadaran yang palsu, ideologi adalah kesadaran sebuah kelas sosial dan ekonomi dalam masyarakat demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dan sejarah mencatat, berbagai akibat yang ditimbulkan oleh ideologi KARL MARX, sejak kemenangan revolusi kaum Bolsjevik di Rusia pada tahun 1926 sampai masa keruntuhan kemunisme pada tahun-tahun belakangan ini.
Kajian komprehensif dari segi sosiologi pengetahuan mengenai ideologi dipelopori oleh KARL MANNHEIM. Tokoh ini menerima dasar pemikiran Karl Max bahwa ideologi adalah “kesadaran kelas”. Mann Heim membuat dua kategori ideologi, yaitu :
Pertama, Ideologi yang bersifat particular Kedua, Ideologi yang bersifat menyeluruh
Pada kategori pertama dimaksudkannya sebagai keyakinan-keyakinan yang tersusun secara sistimatis dan terkait erat dengan kepentingan suatu kelas sosial dalam masyarakat.
Sedangkan pada kategori kedua diartikannya sebagai suatu system pemikiran yang menyeluruh mengenai semua aspek kehidupan sosial. Ideologi dalam kategori kedua ini bercita-cita melakukan transformasi sosial secara besar-besaran menuju bentuk tertentu. Jadi Mann Heim menganggap ideologi pada kategori kedua ini tetap berada dalam batas-batas yang realistic dan berbeda dengan “utopia” yang hanya berisi gagasan-gagasan besar yang hampir tidak mungkin dapat diwujudkan.