• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situasi dan Tantangan Sumber Daya Manusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Situasi dan Tantangan Sumber Daya Manusi"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Situasi dan Tantangan Sumber Daya Manusia di Sektor Kesehatan, Pendidikan dan Kecamatan: Dari Pengadaan sampai Kinerja

RINGKASAN

Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mensyaratkan bahwa pengelolan sumber daya manusia aparatur sipil negara di instansi pemerintah harus didasarkan pada sistem manajemen berbasis kompetensi dan kinerja (merit system). Di saat yang sama, program reformasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan kecamatan terus digulirkan pemerintah pusat. Program-program reformasi tersebut secara langsung telah berimplikasi pada perubahan tata kelola organisasi dan manajemen sumber daya manusia pada unit-unit layanan dasar seperti Puskesmas, sekolah, dan kantor kecamatan.

Dengan alasan itu KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan) melakukan Kaji Cepat manajemen sumber daya manusia di Puskesmas, sekolah, dan kantor kecamatan di lima kabupaten. Tujuan Kaji Cepat ini adalah (1) mengidentifikasi masalah-masalah (diagnosis) terkait 3 aspek utama dari sistem manajemen sumber daya manusia yaitu pengadaan dan distribusi, kompetensi dan Diklat, serta kinerja dan remunerasi. 2) menghasilkan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk perbaikan tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN) di Puskesmas, sekolah, dan kantor Kecamatan.

Hasil kaji cepat yang dilakukan di lima kabupaten, Lombok Utara (NTB), Bireun (Aceh), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Pacitan (Jawa Timur), dan Brebes (Jawa Tengah) selama kurun waktu Maret-Mei 2017 menunjukkan bahwa isu-isu manajemen sumber daya manusia pada sektor kesehatan dan sektor pendidikan memiliki banyak kemiripan, baik dalam artian kondisi menggembirakan maupun kondisi memprihatinkan.

Kondisi menggembirakan ditunjukkan oleh adanya peningkatan penghasilan sampai dua kali lipat pada tenaga kesehatan dan tenaga guru. Sementara kondisi memprihatinkan ditunjukkan oleh kompetensi dan kinerja tenaga kesehatan dan guru yang belum signifikan peningkatannya, kecuali kedisiplinan. Selain itu, masalah klasik soal amburadulnya proses rekrutmen, seleksi, dan distribusi tenaga kesehatan dan guru juga masih terjadi.

Pada sektor kecamatan, terdapat dua isu penting yang menjadi perhatian pemerintah kecamatan di seluruh kabupaten yang dikunjungi. Pertama soal kompetensi staf terkait pelaksanaan UU Desa, kedua terkait dengan pembagian urusan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah kecamatan yang dianggap belum jelas dan tuntas sehingga mempengaruhi kinerja pemerintah kecamatan dalam implementasi pelimpahan kewenangan.

KONTEKS

(2)

pemerintah daerah (SKPD/OPD) kepada unit-unit layanan di bawahnya guna mempermudah masyarakat menikmati layanan secara murah dan cepat.

Di Sektor kesehatan terdapat program Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diperkenalkan pada tahun 2010 dan 2014 di mana program-program tersebut mengharuskan Puskesmas secara aktif dan mandiri mengelola anggaran dan programnya. Begitu juga yang terjadi di sektor pendidikan, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di tahun 2005 membuat sebagian tugas dan tanggungjawab dinas pendidikan di daerah telah dialihkan ke sekolah serta tak kalah pentingnya adalah program sertifikasi profesi guru yang memiliki banyak implikasi positif dan negatif . Di sektor pemerintah kecamatan, kehadiran UU Desa dan Anggaran Dana Desa turut memberi pengaruh terhadap kompleksitas peran dan fungsi kecamatan dalam hal pengawasan dan pembinaan desa.

Perubahan-perubahan yang sedang berlangsung di ketiga sektor tersebut tanpa disadari telah berimplikasi pada kompleksitas tata kelola organisasi, khususnya yang terkait dengan proses bisnis dan manajemen sumber daya manusia. Oleh karenanya, unit-unit layanan yang dimiliki pemerintah daerah seperti puskesmas, sekolah, dan kantor kecamatan sebagai eksekutor program reformasi di lapangan merupakan pihak yang secara tidak langsung dituntut

melakukan penyesuaian penyesuaian organisasional secara cepat. Apalagi ada begitu banyak sumber pendanaan yang masuk kepada sektor-sektor tersebut, terutama Puskesmas dan sekolah.

PENDEKATAN STUDI

Menggunakan metode kualitatif dengan model induktif, Kaji Cepat ini memilih focus group discussion (FGD) sebagai cara mengumpulkan data di lapangan. Agar dapat menggali informasi kualitatif secara mendalam dan meyakinkan maka Kaji Cepat juga mengumpulkan data sekunder yang dimiliki atau dipublikasikan oleh pemerintah daerah, dinas, dan unit layanan, khususnya terkait dengan data sektoral dan data manajemen SDM.

Untuk mengembangkan instrumen pertanyaan, studi ini mengadopsi model best practice

manajemen SDM pada umumnya dan terutama yang dipraktikkan pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang di dalam UU Aparatur Sipil Negara No. 5 tahun 2014. Model sistem manajemen SDM yang menjadi rujukan desain instrumen tersebut terdiri dari perencanaan/pengadaan, rekrutmen/seleksi dan distribusi, mutasi/rotasi, kompetensi dan pendidikan pelatihan (Diklat), serta kinerja dan remunerasi. Dari hasil uji coba instrumen, akhirnya tim mengerucutkan instrumen pertanyaan ke dalam 3 aspek saja, yakni pengadaan dan distribusi tenaga, kompetensi dan Diklat, serta kinerja dan remunerasi.

Metode Pengumpulan Data

(3)

kembali masalah-masalah sektoral yang relevan dengan isu manajemen SDM di instansi pemerintah.

Kedua, field assessment (field data collection) yang dilakukan dengan metode pengumpulan data primer secara kualitatif melalui forum FGD yang dilakukan di setiap level pemerintahan; dari level sekretariat daerah/Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dinas, kecamatan, sampai ke Puskesmas dan sekolah. Selain itu, data sekunder berupa dokumen resmi pemerintah daerah, khususnya dinas dan unit layanan juga turut dikumpulkan untuk melengkapi data primer.

Dalam prosesnya, pada masing-masing daerah, FGD dilakukan di puskesmas, sekolah, kecamatan, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan BKD. Waktu pelaksanaan FGD tercatat antara Maret sampai dengan Mei 2017. Setiap FGD melibatkan 5-7 responden dan menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Dengan FGD dilaksanakan sebanyak 5 kali pada setiap daerah, maka responden yang terlibat rata-rata sebanyak 30 orang per daerah. Dengan demikian, total responden yang terlibat dari 5 daerah sampel berkisar 150 orang.

HASIL TEMUAN

Bab ini akan memaparkan hasil analisis Kaji Cepat manajemen sumber daya manusia di lima kabupaten di Lombok Utara, Bireun, Bantaeng, Pacitan dan Brebes. Berikut hasil analisis lintas kabupaten (cross-district analysis) yang mengungkapkan temuannya secara berurutan mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, dan kecamatan.

Logika Pembahasan

A. Sektor Kesehatan

(4)

Jika merujuk pada Permenkes 75/2014 tentang Puskesmas khususnya terkait tentang ketersediaan tenaga medis (dokter umum dan dokter gigi) maka beberapa daerah sampel di luar Jawa seperti KLU, Bireun, dan Bantaeng kondisinya masih lebih baik karena telah memiliki kecukupan dokter umum dan dokter gigi. Bahkan di Kabupaten Bireun, setiap Puskesmas telah memiliki minimal 3 dokter umum dan 1 dokter gigi. Sebaliknya di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Brebes lebih dari separuh Puskesmasnya tidak memiliki dokter gigi. Bahkan Kabupaten Brebes memiliki masalah kepadatan penduduk yang tidak diimbangi dengan jumlah ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang cukup, akibatnya beberapa Puskesmas memiliki beban kerja yang cukup tinggi.

Untuk tenaga paramedis, seluruh Puskesmas, baik di Jawa dan di luar Jawa menyatakan bahwa ketersediaan jenis ketenagaan bidan dan perawat (PNS) sudah cukup. Bahkan di beberapa Puskesmas di KLU, Bireun, dan Bantaeng, jumlah tenaga perawat dan terutama bidan (PNS dan non-PNS) sudah melebihi kebutuhan riil saat ini. Sebalikya seluruh kabupaten sampel menyatakan tenaga kesehatan seperti tenaga gizi, analis kesehatan, sanitarian, rekam medik, dan tenaga promosi kesehatan (Promkes) masih sangat kurang kalau tidak dikatakan langka.

Selain masalah kekurangan staf, persoalan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata juga masih terjadi di beberapa kabupaten (lihat laporan individual per kabupaten). Sebagai contoh, di Kabupaten Brebes ada beberapa Puskesmas perawatan yang memiliki sampai 4 dokter umum sementara Puskesmas perawatan Paguyangan hanya ditangani oleh 1 dokter umum berstatus kontrak.

Dari aspek rekrutmen dan seleksi, ada 4 dari 5 Kabupaten (KLU, Bireun, Bantaeng, Pacitan) melakukan rekrutmen tenaga kesehatan non-PNS tanpa proses seleksi dan tidak berdasarkan kebutuhan riil Puskesmas, dengan alasan kemanusiaan dan tekanan politik. Beda dengan Puskesmas di Brebes yang berada dalam naungan holding BLUD sehingga proses rekrutmen lebih terkendali karena mempertimbangkan aspek keekonomian.

Kompetensi dan Kebutuhan Diklat

Dibandingkan dengan kabupaten sampel di Pulau Jawa, Puskesmas-Puskesmas di luar Jawa seperti Lombok Utara, Bireun, dan Bantaeng memiliki masalah mendasar terkait kapasitas individu baik itu kompetensi teknis, khususnya terkait dengan kegawatdaruratan ataupun kompetensi administrasi (akuntansi dan TI). Misalnya di Bireun, fasilitas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) yang dimiliki Puskesmas menjadi sia-sia karena SDM bidan dan perawat belum dibekali dengan pelatihan tentang PONED. Selain itu, untuk pemahaman manajemen keuangan atau administrasi pelaporan, semua puskesmas menyatakan belum mendapat pendampingan yang layak.

(5)

yang dikunjungi di mana urusan SDM Kesehatan yang tadinya hanya setingkat Seksi sekarang naik menjadi Bidang. Hal ini memiliki makna penting bagi peningkatan SDM kesehatan dari sisi kompetensi dan kinerja.

Manajemen Kinerja dan Remunerasi

Seluruh Puskesmas mengakui bahwa mereka belum memiliki sistem pengawasan yang terpadu, baik itu yang dilakukan oleh dinas kesehatan ataupun yang dilakukan oleh Puskesmas melalui sistem penetapan dan penilaian kinerja individu dan unit organisasi. Padahal dalam 3 tahun terakhir jumlah dana BOK dan JKN yang dikelola Puskesmas terus bertambah dan berimbas pada peningkatan pendapatan (Jaspel) tenaga Puskesmas hasil dari pengelolaan dana JKN. Walaupun demikian, terdapat 1 Puskesmas sampel di Pacitan yang telah menerapkan sistem pengaduan masyarakat. Bahkan secara khusus meminta agar kinerja Puskesmas mereka bisa diawasi secara ketat oleh dinas kesehatan serta meminta dibuatkan instrumen penilaian kinerja yang bisa segera diterapkan.

B. Sektor Pendidikan

Pengadaan dan Distribusi Guru

Ketersediaan dan distribusi guru di sektor pendidikan menjadi hal yang mendapat sorotan. Dalam hal ketersediaan, dari seluruh daerah sampel terjadi kekurangan guru PNS jika mendasarkannya pada rasio 1:20 baik di SD maupun SMP yang sudah menjadi rujukan nasional. Hal ini berlaku setelah dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud No. 36762/B.B1.1/GT/2016 perihal Rasio Minimal Jumlah Peserta Didik terhadap Guru pada 24 November 2016.

Pada jenjang SD umumnya kekurangan terjadi pada guru kelas, sementara pada jenjang SMP umumnya kekurangan guru pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti Pendidikan Jasmani, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Pendidikan Agama, Seni Budaya, dan Muatan Lokal. Kekurangan tersebut diantisipasi sekolah dengan merekrut guru non PNS meskipun hanya dengan dasar SK Kepala Sekolah—seperti yang terjadi di Kabupaten Lombok Utara, Bireuen, dan Bantaeng—atau SK Komite Sekolah seperti yang terjadi di Kabupaten Pacitan dan Brebes. Dari segi kuantitas, memang guru-guru Non-PNS tersebut bisa menutupi kekurangan jumlah guru PNS. Sebagai contoh di Kabupaten Pacitan kekurangan guru PNS di SMP sebanyak 111 guru ditutupi oleh 258 guru Non-PNS. Akan tetapi, dari sisi kualitas masih terjadi kendala.

Adapun distribusi guru terlihat belum merata. Penumpukan jumlah guru umumnya berada di kecamatan-kecamatan yang menjadi ibu kota kabupaten. Faktor geografis dan kelengkapan infrastruktur menjadi alasan umum penumpukan itu terjadi. Terlebih lagi terjadinya praktik mutasi yang dapat mengganggu manajemen dan efektivitas sekolah, seperti intervensi politik atau kelompok tertentu, sangat menonjol terjadi di Kabupaten Bireuen.

Kompetensi dan Kebutuhan Diklat

(6)

peningkatan kompetensi. Padahal, akibat keterbatasan guru yang ada misalnya, dibutuhkan peningkatan kompetensi pada hal-hal tertentu, seperti kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru pengampu mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya.

Masalah di atas hampir terjadi di semua kabupaten sampel. Namun demikian, terdapat hal-hal khusus yang perlu mendapatkan perhatian terkait peningkatan kompetensi guru ini. Di Kabupaten Lombok Utara, masalahnya lebih pada kelayakan guru mengajar dilihat dari syarat minimal kualifikasi akademik. Di Kabupaten Bireuen masalahnya berupa diampunya materi pembelajaran oleh guru yang memiliki kualifikasi akademik yang berbeda. Kabupaten Bantaeng disibukkan oleh guru-guru pemula yang perlu ditingkatkan kompetensinya. Kemudian di Kabupaten Pacitan muncul masalah berupa perlunya peningkatan kompetensi bagi guru untuk mengelola proses belajar mengajar yang mengakomodir anak berkebutuhan khusus (ABK). Sementara di Kabupaten Brebes, masalah muncul akibat pemberlakuan SKB 5 Menteri tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS yang memungkinkan guru dimutasi mengajar mata pelajaran yang tidak linear dengan kualifikasi akademiknya, sehingga memerlukan adanya peningkatan kompetensi.

Manajemen Kinerja dan Remunerasi

Pada seluruh daerah sampel, belum ada daerah yang menerapkan tunjangan berbasis kinerja. Jika pun ada, sifatnya hanya sebatas tambahan penghasilan yang didasarkan pada aspek kedisiplinan dan jabatan, seperti di Kabupaten Lombok Utara, Bireuen, dan Brebes.

Kinerja guru dan pengawas cenderung mengejar target mendapatkan tunjangan profesi. Belum terlihat korelasi antara pencapaian kinerja individu (guru dan pengawas) dengan peningkatan kinerja organisasi (sekolah). Pasalnya, penilaian kinerja individu (guru dan pengawas) terkesan formalitas dan bersifat administratif untuk memenuhi syarat penerimaan tunjangan profesi (sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 17 Tahun 2016 yang kemudian direvisi menjadi Permendikbud No. 12 Tahun 2017) dan penilaian angka kredit (sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 35 Tahun 2010). Padahal, jika dilakukan secara objektif, kedua jenis profesi tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan kinerja sekolah.

C. Sektor Kecamatan

Pengadaan dan Distribusi Pegawai

Dari aspek ketersediaan dan distribusi ketenagaan, secara kuantitas sudah cukup terpenuhi hanya ada keluhan soal kompetensi staf yang tidak memadai. Rerata setiap kecamatan sampel yang diobservasi mempunyai paling sedikit 25 tenaga PNS dan non-PNS. Di KLU, Bireun, Bantaeng, dan Brebes bahkan memiliki lebih dari 30 pegawai PNS dan non-PNS.

Kompetensi dan Kebutuhan Diklat

(7)

kecamatan di Jawa seperti di kabupaten Pacitan dan Brebes terlihat lebih tinggi pemahamannya dalam pelaksanaan fungsi dan peran kecamatan yang berkaitan dengan implementasi UU Desa.

Peran dan Kinerja Pemerintah Kecamatan

Untuk urusan pelimpahan kewenangan, hampir seluruh kecamatan yang dikunjungi mengeluhkan soal tidak seriusnya pemerintah daerah dalam urusan pelimpahan kewenangan ke kecamatan, terutama terkait bantuan keuangan dan penguatan kapasitas SDM dan organisasi. Ada kesan yang muncul dari pemerintah kecamatan bahwa pelimpahan kewenangan dari Pemda ke pemerintah kecamatan berjalan setengah hati.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hasil paparan temuan di atas mengisyaratkan bahwa terdapat begitu banyak situasi yang tidak ideal terkait sumber daya manusia di unit-unit layanan terdepan. Situasi ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk mendorong terciptanya pelayanan publik yang murah, cepat, dan efektif bagi masyarakat. Berikut adalah kesimpulan temuan dan rekomendasinya.

A. Sektor Kesehatan dan Pendidikan

Pengadaan dan Distribusi SDM Kesehatan dan Pendidikan

Pertama, untuk mengatasi ketersediaan dan distribusi tenaga kesehatan dan guru di beberapa unit layanan yang tidak merata karena data yang tidak transparan dan mutakhir sehingga mempengaruhi sistem distribusi pegawai, perlu dibuatkan peta distribusi dan ketersediaan pegawai berbasis geographic information system (GIS), sehingga memudahkan kecepatan pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan redistribusi dan juga menjamin akuntabilitas dan transparansi data jumlah dan jenis ketenagaan. Pemda perlu membuat kebijakan yang isinya harus menggunakan peta distribusi dan ketersediaan pegawai berbasis GIS dalam rangka perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan/atau penempatan/mutasi tenaga kesehatan dan guru.

Kedua, terkait melimpahnya beberapa jenis tenaga tertentu seperti bidan, perawat, guru IPA dan IPS, dan kekurangan bahkan kelangkaan pada analis kesehatan, rekam medik, guru kelas, penjaskes, muatan lokal, dan seni prakarya yang diakibatkan oleh produksi dari kampus yang kurang berimbang dapat diantisipasi dengan Peraturan Menteri Ristek Dikti yang mengatur kriteria penyelenggaraan pendidikan profesi yang mempertimbangkan faktor supply-demand

di daerah. Kemudian, diperlukan adanya koordinasi kebijakan antara pemerintah kabupaten dengan perguruan tinggi (keguruan maupun kesehatan) untuk memetakan kembali antara kebutuhan jumlah dan jenis tenaga (demand) pada unit layanan dan persediaan peminatan/jurusan pada lembaga pendidikan (supply). Khusus di sektor pendidikan, Pemda perlu membuat MOU dengan perguruan tinggi setempat untuk mengokomodasi program/kelas alih spesialisasi profesi guru.

(8)

ataupun Keputusan Bupati sehinga bisa mempermudah proses implementasinya. Pembuatan instrumen ini bisa sekaligus menjadi uji belajar ke depan jika keran rekrutmen PPPK sudah resmi dibuka. Selain itu, Dinas Pendidikan & Kesehatan perlu menggunakan peta distribusi ketenagaan berbasis GIS sebagai dasar perencanaan dan pengadaan SDM untuk guru/tenaga kesehatan yang berstatus Non-PNS.

Kompetensi dan Diklat SDM Kesehatan dan Pendidikan

Pertama, untuk mengatasi masalah kurangnya kompetensi administrasi (TI dan akuntansi), kompetensi bidang terkait kegawatdaruratan, dan manajemen puskesmas secara umum di sektor kesehatan dan masalah pada kompetensi guru pemula, manajemen kepala sekolah, kompetensi guru kelas, dan pengelolaan kelas inklusif di sektor pendidikan, diperlukan pelatihan dan pendampingan secara terus-menerus. Pemahaman dan pembaharuan terhadap SOP manajemen unit layanan juga perlu diperkuat ke dalam sistem teknologi informasi.

Di sektor kesehatan, beberapa pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan kegawatdaruratan khusus untuk bidan & perawat, diklat rangkap kerja terkait peningkatan kompetensi TI & akuntansi, diklat alih fungsi bagi tenaga kesehatan yang mengerjakan tugas di luar kompetensi bidangnya, pelatihan pengenalan penggunaan alat USG, dan pelatihan penguatan proses bisnis menggunakan sistem informasi – termasuk di dalamnya manajemen aset – guna meringankan beban kerja puskesmas. Adapun di sektor pendidikan perlu dilakukan pelatihan peningkatan kompetensi guru pemula, pelatihan manajemen kepala sekolah, pelatihan peningkatan kompetensi guru kelas, dan pelatihan pengelolaan kelas inklusif.

Kedua, proses analisis kebutuhan pelatihan yang belum pernah dilakukan baik oleh unit layanan maupun dinas perlu diantisipasi dengan pelatihan mengenai analisis kebutuhan pelatihan (TNA) yang melibatkan dinas dan unit layanan secara bersama-sama agar tidak terjadi kesalahpahaman dan ketidaksesuaian kebutuhan di dalam penganggaran dan pelaksanaan pelatihan secara programatik.

Manajemen Kinerja dan Remunerasi SDM Kesehatan dan Pendidikan

Pertama, untuk mengatasi masalah peningkatan pendapatan tenaga kesehatan yang tidak berkorelasi terhadap penilaian kinerja individu, perlu dibuatkan instrumen penilaian kinerja individu yang diturunkan dari indikator kinerja unit kerja. Jika indikator target kinerja unit kerja belum ada maka terlebih dahulu dibuatkan instrumen untuk unit kerja. Sistem penilaian kinerja tersebut dapat diformalkan melalui Peraturan Bupati ataupun SK Kepala Dinas Kesehatan.

(9)

Ketiga, berkaitan dengan kurang terlihatnya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan, pemda dapat menghadirkan kembali Komite Kesehatan dan lebih memberdayakan Komite Sekolah, misalnya dengan membuat SOP pengaduan masyarakat dan disosialisasikan secara masih mengenai tata cara, kerahasiaan, dan tindak lanjut pengaduan.

B. Sektor Kecamatan

Pertama, untuk mengatasi masalah staf kantor kecamatan yang tidak dibekali dengan kompetensi yang cukup terkait pemahaman UU Desa, ADD/DD, dan yang berhubungan dengan TI, perlu dilakukan penilaian kompetensi dan atau penguatan kapasitas secara intensif terhadap staf pemerintah kecamatan untuk mendorong kinerja aparat pemerintah kecamatan menjalankan fungsi dan peran pembinaan/pengawasan desa. Penguatan kapasitas ini terutama perlu dilakukan di KLU, Bireun, dan Bantaeng. Di sisi lain, pemda perlu memberikan dukungan program & pendanaan yang cukup.

Kedua, terkait pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah kecamatan yang tidak tuntas dan tidak jelas pembagian urusannya, sehingga mengakibatkan banyak terjadi kebingungan pada tahap implementasi, maka perlu dibuat strategi pendampingan pada masa transisi ini, termasuk memperjelas teknis pembagian urusan dan sosialisasi kepada stakeholder dan pengguna layanan. Strategi pendampingan itu nanti akan membantu mempermudah dan memperjelas proses implementasinya sehingga perebutan kewenangan antara SKPD/OPD dan pemerintah kecamatan dapat dihindari. Begitupun dari sisi pengguna layanan (masyarakat) menjadi lebih jelas bagaimana cara dan prosedur pengurusan dokumen perizinan atau rekomendasi.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terutama peserta pelatihan tentang skizofrenia maka pada kegiatan pengabdian ini dilakukan

Terlihat pada daerah pengambilan sampel dimana pada titik-titik tertentu yang cukup dekat dengan sumber cemaran, maka kadar logam berat yang terdapat pada bagian

Hal ini karenakan masyarakat yang sering kali tidak melengkapi berkas dan setelah diverifikasi dalam datanya ternyata sering didapati masyarakat yang akan membuat

Siklus ilmiah tersebut menunjukkan tidak ada perubahan paradigma tanpa didahului krisis, namun demikian, paradigma sebelumnya yang dianggap tidak mampu menjawab persoalan

Skeneri bisa diwujudkan dengan kain yang tidak dilukisi (polos) untuk border dan teater, termasuk dalam klasifikasi drafery (gunanya.. untuk hiasan). Yang lain

perangkat keras danperangkat lunak yang dirancang untuk mengubah data menjadi informasi....

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kepala SMP Negeri 3 Peusangan Bireuen menyusun program supervisi akademik secara musyawarah dengan melibatkan wakil kepala sekolah

Menurut Huck dkk (melalui Nurgiyantoro, 2005: 39), membaca sastra akan membawa anak keluar dari ruang dan waktu, keluar dari kesadaran diri sendiri, dan setelah