1
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kasus intoleransi di Indonesia, baik secara eksplisit maupun implisit, masih kerap terjadi. Permasalahnya selalu berbasis pada relasi sosial lintas agama yang tidak kondusif. Beberapa contoh di antaranya adalah penolakan pendirian rumah ibadah, penghentian dan pembubaran paksa kegiatan peribadatan, hingga pengrusakkan rumah ibadah yang dilakukan oleh sekelompok orang dari agama tertentu terhadap kelompok agama lain. Kejadian-kejadian tersebut merupakan indikasi bahwa memang masih ada persoalan serius di tengah kehidupan sosial lintas agama di bangsa ini.1 Apabila masalah tersebut tidak segera ditemukan solusinya, tentu akan menjadi sebuah ancaman yang dapat menimbulkan kehancuran masif bagi keutuhan Indonesia.2
1 Penolakan pendirian gedung gereja GKI Yasmin di Bogor merupakan contoh kongkrit dan
nyata berkaitan toleransi yang lemah dalam kehidupan antar umat beragama. Selain itu terjadi juga pembubaran paksa Ibadah Natal di gedung Sambuga ITB, Bandung, Selasa pada tanggal 6 Desember 2016 oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Di Tanjung Balai Selatan, Sumatera Utara, terjadi pembakaran enam Vihara dan Kelenteng pada tanggal 29 Juli 2016.
Prihandoko, “GKI Yasmin Menjadi Catatan Dunia” 24 Januari 2012, Tempo.Co, diakses pada tanggal 10 Juli 2017 https://nasional.tempo.co/read/379395/masalah-gki-yasmin-jadi-catatan-dunia. Dendi
Ramdhani, “Acara Kebaktian Rohani di Sabuga Bandung Dihentikan” 06 Desember 2012,
regional.compas.com, Diakses pada tanggal 10 Juli 2017.
http://regional.kompas.com/read/2016/12/06/23444311/acara.kebaktian.rohani.di.sabuga.bandung.dih entikan. Destriani, “Salah paham, 7 Tempat Ibadah Terbakar di Tanjung Balai” 30 Juli 2016, Tempo.Co diakses pada tanggal 10 Juli 2017. https://nasional.tempo.co/read/791846/salah-paham-7-tempat-ibadah-terbakar-di-tanjung-balai
2 Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang dapat mewujudkan cita-cita para pendirinya,
yaitu “semua untuk semua”. Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki semangat toleransi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) kembali dipertanyakan di tengah relasi sosial bangsa ini. Kementerian
2 Indonesia adalah sebuah bangsa yang unik. Ia memiliki kondisi yang sangat berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Sejak dikenal sebagai Nusantara hingga berdiri menjadi sebuah negara, Indonesia telah memiliki tradisi, budaya dan agama yang beraneka ragam. Akan tetapi menjadi sangat ironis ketika di dalam perjalanan kehidupan bernegara, perbedaaan agama menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan dan sering kali dibesar-besarkan, sedangkan masalah tersebut sebenarnya telah tuntas saat dicapainya kesepakatan akan menjadi negara seperti apa Indonesia ini.3
Titaley mengatakan bahwa agama adalah sebuah kenyataan sosial yang historik-sosial. Dikatakan sosial karena diusung dari dan oleh komunitas sosial manusia, sekalipun nilai-nilai yang mendorong tindakan beragama itu dipahami sebagai berasal dari kenyataan ilahi.4 Di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang harus ditaati oleh pemeluknya. Ada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam agama, yaitu keadilan, persamaan, kemajemukan, kemerdekaan, musyawarah.5 Akan tetapi prinsip-prinsip tersebut akan dianggap tidak relevan dan dikesampingkan ketika iman pribadi diperhadapkan dengan keyakinan berlebihan serta cenderung disebabkan oleh pemahaman yang dangkal. Dengan pemahaman terbatas itu, agama dijadikan sebagai tunggangan untuk mencapai suatu tujuan dengan cara yang tidak sehat bahkan kekerasan yang dilakukan baik secara verbal maupun fisik dianggap lumrah. Di dalam kondisi seperti inilah hubungan antar umat beragama menjadi rusak.
3 Safroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyidikan Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesian (PPKI)28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 101.
4 John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi
Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana Univesity Press, 2013), i.
3 Magnis mengatakan bahwa kekerasan yang paling mengkhawatirkan dan mengerikan adalah ketika alasan dan motivasinya didasarkan atas nama agama. Di dalamnya terdapat keinginan untuk mencapai suatu tujuan, namun cara yang ditempuh adalah membinasakan pemeluk agama lain.6 Kekerasan macam ini merupakan hal yang amat memalukan dan selalu dipakai oleh kaum ateis untuk menarik kesimpulan bahwa agama merupakan suatu malapetaka bagi manusia. Permasalahannya adalah bahwa agama seharusnya tidak diperbolehkan melakukan pemaksaan terhadap pihak lain, bahkan sebaliknya seharusnya agamalah yang seharusnya menjadi pembela utama kebebasan beragama dalam arti yang seluas-luasnya.7 Akan tetapi yang terjadi justru elemen agama dipakai untuk melegalkan kekerasan oleh mereka yang memiliki paham radikal. Sumanto mengatakan bahwa kaum radikal muslim sering menggunakan fatwa untuk menghalalkan tindakan kekerasan.8
Masalah yang terjadi dalam hubungan antar umat beragama adalah masalah sosial. Di dalamnya terkandung berbagai dimensi sehingga tidak mudah ditemukan atau dirumuskan jalan penyelesaiannya.Hal tersebut sering ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat karena menyimpang dari nilai, norma atau standar sosial yang berlaku.9 Di dalamnya diperlukan analisis sosial yang berupaya melihat golongan-golongan atau
6 Frans Magnis-Suseno, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: Bunga Rampai Etika Politik
Aktual (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2015), 150.
7 Magnis, Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme, 151.
8 Sumanto Al Qurtuby, “Between Radicalisme and Pluralism: The Challenge of Interfaith
Engagement in Contemporary Indonesia” CTC Bulleti: Bulletin of The Program Area on Faith Mission and Unity (Theological Concerns) Christian Conference of Asia Vol. XXVIII No. 2 (Desember 2012), 63.
4 kelompok sosial. Secara praktis berarti melihat struktur kekuasaan, siapakah yang menentukan dalam keseluruhan proses sosial.10
Kondisi sosial Indonesia yang sejak awal telah memiliki budaya dan agama yang sangat beragam dapat menjadi sangat menguntungkan maupun sebaliknya.11 Titaley mengandaikan pluralisme seperti bawaan genetik manusia, tidak dapat ditentukan menurut kemauan seseorang, sekali pun saat ini rekayasa genetika dimungkinkan. Oleh karena itu, perbedaan adalah hal yang kodrati dan siapa pun tidak dapat mengelak dari hal tersebut. Begitu juga dengan pluralisme yang merupakan kenyataan bahwa dalam kehidupan bersama terdapat perbedaan suku, ras, budaya dan agama.12
Agama selalu menjadi masalah yang cukup pelik ketika diperhadapkan dengan kepelbagaian, sedangkan bagi bangsa Indonesia sendiri agama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun. Pasal 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menegaskan tentang jaminan kebebasan tersebut. Artinya bahwa negara telah ikut berperan serta dalam menjamin kebebasan beragama individu dengan tujuan mewujudkan perdamaian keadilan sosial dan persahabatan antar pemeluk agama yang berlainan.13 Dalam tonggak sejarah Indonesia ada momen perasaan keberagaman dalam beragama dan kesetaraan sebagai warga negara yang kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945.14 Di dalam keadaan yang
10 Joe Holland Peter Henriot SJ, Analisis Sosial dan Upaya Refleksi Teologis: Kaitan Iman
dan Keadilan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), 8.
11 Riniwati, “Iman Kristen dalam Pergaulan Lintas Agama” Jurnal Simpson (ISSN: 2356-1901), 21.
12 Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 169.
13Rr. Rina Antasari “Kebebasan Beragama dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia
dan Demokrasi: Pandangan Tokoh Agama, Akademisi dan Penggiat HAM di Kota Palembang” Jurnal
AN’NISA’A Vol. 9 No. 1 (Juni 2014), 48.
5 multikultural dan multi agama ini, sangat diperlukan kesadaran dan kemauan yang tinggi untuk membangun relasi perdamaian yang memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.15
Para pendiri bangsa ini sebenarnya telah menyadari dengan sungguh tentang keberadaan Indonesia yang tidak dapat dipisahkan dengan pluralisme yang ada. Dengan sangat apik dan bijaksana mereka memilih Bhinneka Tunggal Ika sebagai abtraksi sekaligus kenyataan eksistensial yang tidak terbantahkan ketika berbicara tentang Indonesia. Fakta utama ke-Indonesia-an adalah ke-bhinneka-an sebagai kerinduan kolektif yang bersifat politik.16 Selain itu mereka juga merumuskan Pancasila sebagai jalan keluar untuk menjembatani masalah pluralisme di Indonesia. Dengan demikian semua agama yang ada terakomodir tanpa mengalami diskriminasi.17 Apabila hubungan antar agama ini dapat dipelihara dengan baik akan menjadi suatu potensi yang berkekuatan besar untuk kemajuan masyarakat dan negara. Akan tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka akan menjadi sumber konflik dan malapetaka yang tentu akan membawa kehancuran bagi bangsa ini.18
Tantangan utama Pluralisme adalah eksklusivisme. Hal tersebut terjadi karena tidak ada satu pun agama di dunia ini yang dapat menghindarkan dirinya untuk bertemu dengan pengaruh agama lain. Sumartana mengibaratkan dunia ini sebagai
15 Oktavianus Heri Prasetyo Nugroho, “Meretas Damai di Tengah Keberagaman:
Mengembangkan Pendidikan Kristiani untuk Perdamaian dalam Perspektif Multikulturalisme.” Gema Teologi: Jurnal Teologi Kontekstual Vol. 38 No. 2 (Oktober 2014), 143-144.
16 Johm Simon, “Tuhan Tidak Perlu Dibela: Konteks Kekerasan dan Upaya Membangun Jembatan Etis-Praktis Berteologi Agama-Agama dalam Masyarakat Pluralistik Indonesia” Gema Teologi: Jurnal Teologi Kontekstual Vol. 36 No. 1 (April 2012), 76.
17Zakaria Ngelow, ”Interfaith Cooperation agains Radicalism and Violence in Indonesia: A Christian Perpective” CTC Bulletin: Bulletin of the Program Area on Faith, Mission and Unity (Theological Concern) Christian Confrence of Asia Vo. XXIV No. 3 (Desember 2008), 18.
18 Enggar Objantoro, “Pluralisme Agama-Agama: Tantangan bagi Teologi Kristen,” Jurnal
6 perkampungan kecil yang di dalamnya manusia hidup bersama dan saling berhubungan. Hubungan tersebut juga mengakibatkan satu sama lain saling bergantung. Oleh karena itu pluralisme merupakan ciri esensial dari masyarakat dan dunia ini.19
Di dalam prilaku sosial, hubungan antar umat beragama selalu menjadi perhatian yang serius. Masalah agama selalu menjadi perspektif di dalam tata pergaulan sosial, politik dan budaya yang berlaku di masyarakat. Kemajemukan yang ada di Indonesia kemudian dijadikan alasan untuk membelah masyarakat ke dalam kotak-kotak agama dan dalam upaya menemukan jalan keluar untuk masalah sosial ini diperlukan pendekatan sosiologi agama. Pendekatan ini menjadi penting karena sosiologi agama tidak hanya bertumpu pada satu disiplin ilmu, melainkan di dalam kesadaran ruang dan waktu studi lintas agama adalah studi interdisipliner. Di dalamnya terkait masalah sejarah, ekonomi, budaya, sosiologi, politik dan agama.20
1.2. Lokus Penelitian
Di dalam penelitian ini – berkaitan erat juga dengan latar berlakang di atas – penulis memilih Desa Prangat Baru21 sebagai lokus penelitian. Desa ini terletak di Jalan Poros Samarinda - Bontang, kilometer 63 dan memiliki latar belakang masyarakat yang cukup beragam. Sebagian besar mereka berasal dari Probolinggo, Banyuwangi dan Bojonegoro yang mengikuti progam transmigrasi penempatan tahun 1989. Ada juga yang berasal dari Sulawesi Selatan, Banjar, Kutai dan wilayah sekitar
19 Th. Sumartana, “Teologia Religionum,” dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di
Indonesia oleh Tim Balitbang PGI (penyunting) (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 18.
20 Izak Lattu, Buku Ajar Teologi Agama-Agama: Isu-Isu Kontemporer (Salatiga: Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana), 1.
21 Berada di Kecamatan Marang Kayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan
7 Kalimantan. Mereka pun terdiri dari berbagai suku antara lain Jawa, Madura, Bugis, Kutai, Banjar dan juga Dayak. Mata pencarian mereka sebagian besar sebagai petani karet dan ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Menurut pengamatan penulis masyarakat Desa Prangat Baru memiliki sikap yang sangat terbuka untuk menerima kepelbagaian. Sekali pun hanya terdapat satu gedung gereja22 di antara dua masjid yang cukup besar dan delapan mushola, namun segala kegiatan yang diadakan selalu dikerjakan secara bergotong royong. Hal ini berlaku bagi seluruh warga masyarakat dan tanpa terkecuali, baik di masjid maupun gereja atau tempat umum.23 Selain itu, di desa yang dikepalai oleh Purnomo ini ada dua jabatan publik yang saat ini dipercayakan kepada orang non muslim, yaitu Kepala Badan Perwakilan Desa (BPD) oleh Elly Depris dan Kepala Dusun Wono Asri oleh Filipi.24 Gambaran kepemimpinan di tempat ini sangat berbeda dengan banyak tempat lain di Indonesia, yang membatasi partisipasi publik bagi anggota masyarakat yang bukan kelompok dominan. Kemungkinan yang terjadi adalah jabatan publik itu dimonopoli oleh mereka yang digolongkan sebagai kelompok mayoritas.25
22 Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Prangat Baru dengan jumlah anggota jemaat enam
kepala keluarga.
23 Sudah menjadi kebiasaan yang lazim jika ada acara perayaan di gereja (GKII Prangat Baru),
warga masyarakat diundang dan demikian sebaliknya. Saat mempersiapkan tempat acara pun selalu dilakukan bersama secara gotong royong oleh masyarakat, baik di gereja maupun di masjid. Suasana kekeluargaan pun sangat terasa pada saat hari raya, baik Natal maupun Idul Fitri, mereka saling mengunjungi satu dengan yang lainnya. Fenomena inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam tulisan ini.
24 Elly Depris dan Filipi adalah warga jemaat GKII Prangat Baru.
25 Menurut Bapak Agus Haryanto (informan utama) yang adalah seorang Kristen di Desa itu,
8
1.3. Beberapa Penelitian Sebelumnya
Cukup banyak penelitian tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia yang telah dilakukan, baik yang kemudian menjadi tulisan di dalam buku maupun jurnal.26 Dalam tulisan ini, penulis mengangkat tulisan yang dimuat di beberapa jurnal berkaitan penelitian Islam-Kristen ini. Di antaranya adalah yang dilakukan oleh Dahlan A.R. dalam tulisannya yang berjudul Agama dan Kearifan Lokal: Model Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Berbasis Komunitas di Jawa Tengah. 27 Dalam tulisannya ini, ia mengungkapkan meskipun di Desa Karangrowo terdapat masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda, namun kerukunan dan toleransi masih sangat terjaga. Selain itu semangat bergotong royong masih mereka lestarikan. Di dalamnya terdapat unsur kearifan (budaya) lokal yang mampu menjaga rasa kebersamaan dan sikap toleransi.28
kesadaran untuk memberi secara sistematis belum bertumbuh. Menurut Bapak Agus mereka ada keinginan untuk belajar meskipun itu dari mereka yang minoritas. Kejadian lain yaitu ketika lingkungan tempat Bapak Agus berdomisili berencana untuk membuat mushola swadaya umat Muslim dan Kristen pada tahun 2015.
26 Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 2005); Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen dan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)
27Dahlan AR. “Agama dan Kearifan Lokal: Model Pembinaan Kerukunan Umat Beragama
Berbasis Komunitas di Jawa Tengah”, dalam Jurnal Prosiding (Bidang Kehidupan Keagamaan) vol. 2 No.2.
28 Ada tradisi yang dilakukan oleh semua anggota komunitas tanpa memandang agama, yaitu
9 Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Umi Sumbulah dalam tulisannya yang berjudul Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di Kota Malang. 29 Di dalam penelitiannya ini ia menemukan hasil yang variatif tentang pendapat para elite agama di kota Malang berkenaan masalah pluralisme dan kerukunan antar umat beragama.30 Di tengah ketidakseragaman pendapat itu, ia dapat mendeskripsikan tentang bagaimana hubungan Islam - Kristen dapat terjaga dengan baik.
Penulis juga memperhatikan penelitian yang dilakukan oleh Lilam Kadarin Nuriyanto yang tulisannya berjudul Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di Surakarta.31 Ia menemukan beberapa bentuk harmonisasi dan toleransi hubungan yang diciptakan oleh masing-masing pengelola rumah ibadah.32 Sikap yang dimunculkan oleh setiap pengelola rumah ibadah dapat juga menjadi indikator bagaimana hubungan umat agama Islam dengan umat agama lainnya. Apa yang
29 Umi Sumbulah, “Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama Perspektif Elite Agama di
Kota Malang”, dalam Analisa Journal of Social Science and Religion Vol. XXII, No. 1, 1-13.
30 Keberagamanan dipahami sebagai kenyataan sosial, sikap menghargai dan terbuka terhadap
agama lain dan kesetaraan semua agama di mata Tuhan. Begitu juga dengan makna kerukunan umat beragama, ada yang memaknainya sekadar menghargai dan menghormati keyakinan orang lain yang bersifat ko-eksistensi, namun ada pula yang berpandangan lebih progresif dan pro-eksistensi. Akan tetapi ada juga yang dapat menghambat kerukunan umat beragama, yaitu fanatisme yang sempit, egoisme dan keengganan bersikap terbuka terhadap yang lain.
31 Lilam Kadarin Nuriyanto, “Integrasi Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di
Surakarta”, dalam Analisa Journal of Social Science and Religion Vol. XXII, No. 1, 29-41.
32 Setiap ada acara keagamaan mereka saling memberitahu. Bahkan pernah pengurus masjid
10 dilakukan oleh para pengurus rumah ibadah juga sangat mempengaruhi penduduk sekitarnya dalam bersikap kepada umat lain.
1.4. Rumusan Masalah
Selain beberapa penelitian yang penulis paparkan di atas, masih banyak penelitian lain yang membahas hubungan Islam-Kristen di berbagai tempat. Akan tetapi, hingga saat ini, penulis belum menemukan penelitian yang menggunakan perspektif peran modal sosial. Penelitian yang menggunakan pendekatan modal sosial selama ini lebih banyak membahas hubungan lintas etnis33. Oleh karena itu di dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan teori modal sosial sebagai landasan dan kerangka berpikir. Di dalamnya penulis akan fokus menggunakan teori modal sosial yang dikembangkan oleh Robert Putnam yang sangat memandang penting masyarakat sipil.34
Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah fitur yang ada di dalam sistem masyarakat sehingga masyarakat dapat terorganisir pergerakannya. Fitur itu adalah kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (network).35 Ia melihat ada keterikatan antara jaringan masyarakat dengan norma yang berlaku dan di dalamnya tumbuh kepercayaan. Fokus utamanya adalah kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki seperangkat nilai sosial-budaya serta menghargai pentingnya kerja sama
33 Di antaranya, I. W. Mudana, “Modal Sosial dalam Pengintegrasian Etnis Tionghoa pada
Masyarakat Desa Pakraman di Bali,” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. I, No. 1 (April 2012), 209-221; Nuraini Asriati, Yohanes Bahari, “Pengendalian Sosial Berbasis Modal Sosial Lokal pada
Masyarakat di Kalimantan Barat,” Jurnal Mimbar Vol. XXXVI, No. 2 (Desember 2010), 147-158. 34 Robert Putnam, Bowling Alone: The Collaps and Revival of American Community (New
York: Simon and Schuster, 2000), 149.
35 Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (New Jersey:
11 guna kemajuan dan perkembangan yang didorong oleh kekuatan bersama.36 Bagi Putnam keterlibatan masyarakat sangat penting karena dapat menjadi media yang sangat baik dalam mengedukasi masyarakat dan meningkatkan kemampuan masyarakat sekaligus menjadi jembatan hubungan sosial di dalamnya.37
Lattu dalam tulisannya juga mengutip Putnam yang mengatakan bahwa keterlibatan sosial adalah cara orang dapat menerima orang lain meskipun di dalamnya terdapat perbedaan agama, karena melalui keterlibatan sosial ini terbangun kepercayaan.38 Putnam percaya bahwa modal sosial dapat menjembatani jurang pemisah antara kelompok-kelompok yang berbeda ideologi dan memperkuat kesepakatan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat.39 Putnam juga melihat bahwa agama memainkan peranan yang cukup penting dalam membangun fitur yang ada dalam modal sosial, yaitu jaringan yang akan membuat relasi sosial semakin baik.40
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat Desa Prangat Baru yang beragam dapat hidup secara mutual?
2. Bagaimana modal sosial berperan dalam menciptakan hubungan mutual Islam-Kristen di desa Prangat Baru?
36Rusydi Syahra, “Modal Sosial: Konsep Dan Aplikasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI Vol. V, No. 1, (2003), 6.
37Robert Putnam, “Tunning In, Tunning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in
America.” PS: Political Science and Politics Vol. XXVIII, No. 4 (Desember 1995), 667.
38Izak Lattu, “Civil Society: Building Trust and Social Solidarity in the Public Sphere in The Perspective of Indonesia” Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. II, No. 2 (2014), 8.
39 Syahra, Modal Sosial, 6.
40 Robert Putnam and David E. Campbell, American Grace: How Religion Divides and Unites
12 Dengan demikian, maka dalam penelitian ini penulis memilih judul:
Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam-Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: pertama, untuk menganalisis faktor yang menyebabkan masyarakat Desa Prangat Baru yang beragam dapat hidup secara mutual. Kedua, untuk menganalisis bagaimana peran modal sosial dalam menciptakan hubungan mutual Islam-Kristen di Desa Prangat Baru. Dengan demikian, harapan dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi positif bagi warga masyarakat dan pemerintah setempat, juga masyarakat Indonesia secara umum tentang model hubungan Islam-Kristen yang terjalin dengan baik. Selain itu, bermanfaat juga untuk memberikan deskripsi serta rekomendasi positif kepada Gereja Protestan di Indonesia (GPIB)41 tentang bagaimana studi Sosiologi Agama dapat menjadi salah satu disiplin ilmu sekaligus sarana yang signifikan dalam mewujudkan visi GPIB.42
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi agama tepatnya. Istilah fenomenologi ini sendiri pertama kali dicetuskan oleh Johann Heinrich Lambert pada tahun 1764. Selanjutnya dikembangkan oleh Immanuel Kant, George W. F. Hegel,
41 Sebagai Gereja pengutus.
42 Visi GPIB: Menjadi Gereja yang menghadirkan damai sejahtera kepada seluruh umat
13 Edmund Husserl.43 Metode ini memberikan penekanan terhadap keaslian dari apa yang disajikan atau disaksikan sebagaimana adanya. Dengan demikian data yang diperoleh adalah data yang akurat karena berasal dari fenomena yang ada di lokasi penelitian.
Penulis juga akan melakukan wawancara terhadap beberapa sumber yang dipandang sebagai representasi masyarakat Desa Prangat Baru, di antaranya tokoh masyarakat, tokoh agama (imam masjid dan pendeta), dan aparat pemerintahan (Kepala Desa, Ketua BPD, Sekretaris Desa, para Ketua Dusun). Selain itu, penulis juga akan melakukan dan memperhatikan bagaimana hubungan mutual itu terwujud di lingkungan sosial daerah tersebut. Penulis juga akan melakukan observasi yang mengarah kepada keterlibatan secara langsung dengan audiens. Penulis juga akan melakukan pengambilan data-data statistik yang dibutuhkan sebagai faktor pendukung dalam melakukan analisis data. Kegiatan pengambilan gambar/foto pun akan penulis lakukan untuk semakin melengkapi dan memperdalam penelitian ini. Selanjutnya penulis akan menginterpretasi data, memvalidasikannya dan menunjukkan potensi hasil penelitian sebagaimana yang disarankan oleh Creswell.44
1.7. Sistematika Penulisan
Tulisan penelitian ini akan dikemas dengan sistematika sebagai berikut:
43 Emeka C. Ekke and Chike A. Ekeopara, “Phenomenological Approach to the Study of
Religion: A Historical Perspective” in Europian Jounal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.44 No.2 (2010): 267.
44 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan
14 Bab I: Memaparkan konteks penelitian, studi yang sebelumnya pernah dilakukan, celah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: Memberikan fokus kepada teori hubungan Islam-Kristen dan teori modal sosial yang dikemukakan oleh Robert Putnam.
Bab III: Mendeskripsikan tentang data lapangan yang ada di desa Prangat Baru dan memaparkan hubungan mutual Islam-Kristen di tempat itu.
Bab IV: Melakukan analisis sosiologis terhadap hubungan mutual Islam-Kristen di desa Prangat dengan menggunakan perspektif teori modal sosial.