BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebutuhan akan pangan, maka
urusan pangan menjadi suatu kebutuhan yang vital bagi manusia. Pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan
makanan atau minuman (BKP- Departemen Pertanian, 2008).
Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) jumlah penduduk
dunia yang menderita kelaparan pada 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini
diperparah dengan semakin berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah
berlangsung selama 20 tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang
70% dari lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup masyarakat, bahaya
kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain dari permasalahan
tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal pertama dari
Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty and
extreme hunger yaitu pemberantasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim
(Alifien, 2011)
FAO (2008) dalam Suryana (2008) menyatakan bahwa pangan merupakan
pangan yang layak. Hal ini tertuang dalam Deklarasi Roma 1996 pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Dunia dan Deklarasi Millenium (MDGs) 2000
yang menyepakati penurunan jumlah penduduk lapar hingga setengahnya pada
2015 dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICOSOC) yang diratifikasi dengan UU No. 11 2005 yang berisi tentang: pertama,
hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya atas
pangan. Kedua, Setiap orang harus bebas dari kelaparan. Pangan merupakan
kebutuhan pokok yang harus dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia. Jika
terjadi kelangkaan dalam kebutuhan vital ini maka keseimbangan dalam
kehidupan manusia juga akan terganggu.
Hingga awal 2000-an, sebelum pemanasan global menjadi suatu isu
penting, dunia selalu optimis mengenai ketersediaan pangan, bahkan waktu itu
FAO memprediksi bahwa untuk 30 tahun ke depan, peningkatan produksi pangan
akan lebih besar daripada pertumbuhan penduduk dunia. Peningkatan produksi
pangan yang tinggi itu akan terjadi di negara-negara maju. Selain kecukupan
pangan, kualitas makanan juga akan membaik. Prediksi ini didasarkan pada data
historis selama dekade 80-an hingga 90-an yang menunjukkan peningkatan
produksi pangan di dunia rata-rata per tahun mencapai 2,1%, sedangkan laju
pertumbuhan penduduk dunia hanya 1,6% per tahun. Memang untuk periode
2000-2015 laju peningkatan produksi pangan diperkirakan akan menurun menjadi
rata-rata 1,6% per tahun, namun ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan
laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode
2015-2030 laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah
penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. Juga FAO memprediksi waktu itu bahwa
produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke
depan, dari 1,84 miliar ton di 2000 menjadi 2,84 miliar ton di tahun 2030
(Husodo, 2002).
Image atau citra bahwa pangan hanya disimbolkan dengan beras semata
adalah meruapakan inti permasalahannya. Semua orang seperti didorong makan
nasi alias beras. Padahal masih banyak sumber pangan lain yang dapat
manfaatkan untuk mengganti ataupun melengkapi konsumsi beras ini. Ada
singkong, ubi jalar, sagu, jagung, suweg, gembili, kentang, ganyong dan masih
banyak bahan alternatif lainnya yang nilai gizinya tidak kalah, bahkan memiliki
kelebihan dibandingkan beras. Misal, pada biji jagung yang memiliki kandungan
vitamin A paling tinggi diantara biji-bijian lainnya (Agustina F., 2008 ). Juga pada
ubi kayu yang kaya akan kalori dan biasa dibuat menjadi berbagai aneka ragam
makanan (Utami R., 2006 ) Kondisi ini adalah salah satu penyebab Indonesia
mengalami krisis pangan.
Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk
menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain) agar
dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi
ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang
memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya, juga
mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya.
Ketidakcukupan beras di Sumatera Utara selama 4 tahun terahir ini dipenuhi
dengan melakukan impor beras dari berbagai negara. Impor beras Sumatera Utara
Tabel 1.1. Perkembangan Impor Beras Sumatera Utara (Ton) Sumber : Bulog Sumatera Utara, 2012
Menurut (suryana et al, 1990) jagung adalah salah satu komoditi subtitusi
beras yang dapat dijadikan dengan berbagai olahan sehingga dengan
meningkatnya produksi jagung dapat mengurangi ketergantungan konsumsi beras
dan juga dapat mengurangi impor beras di Sumatera Utara. Sedangkan menurut
Depertemen Kesehatan produksi kedelai setiap tahunnya di Sumatera Utara akan
mempengaruhi pola konsumsi pangan di Sumatera Utara karena kedelai adalah
salah satu komoditi subtitusi konsumsi beras.
Ketergantungan terhadap beras sebenarnya dapat dikurangi dengan
penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pokok selain beras,
sedangkan perbaikan gizi sepenuhnya tergantung pada peningkatan pendapatan.
Umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat nonberas dan kacang-kacangan yang
dikenal sebagai sumber protein nabati, vitamin dan mineral belum optimal
pemberdayaannya. Peningkatan kontribusi kacang dan ubi sebagai sumber pangan
alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan berkualitas dapat memberikan
Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan
ketahanan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya
mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan
gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing
dalam percaturan globalisasi (Himagizi, 2009).
Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya
diversifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini berarti menuntut adanya
ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun
(protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka
ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat
menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap (Khomsan, 2004).
Diversifikasi pangan saat ini adalah kunci keberhasilan kita dalam
mempertahankan ketahanan pangan. Mungkin tak perlu langsung berganti secara
total dalam pola konsumsi kita. Berikan pemahaman kepada anak cucu kita bahwa
Indonesia ini kaya dengan bahan baku pangan. Bila perlu campur 3 bagian beras
dengan 1 bagian jagung atau singkong. Rasanya justru jadi luar biasa, eksotis dan
nikmat(Himagizi, 2009).
Konsumsi makanan yang beranekaragam, akan menghindari terjadinya
kekurangan zat gizi, karena susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi
antara satu jenis dengan jenis lainnya, sehingga diperoleh masukan zat gizi
seimbang (Depkes RI, 2003). Kesadaran pentingnya konsumsi makanan beraneka
ragam menyebabkan ketergantungan pada satu jenis makanan (beras) dapat
Beberapa pengertian tentang diversifikasi pangan, diantaranya: (1)
Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini
dimaksudkan agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan,
setidaknya seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras. (2)
Diversifikasi pangan adalah dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan
penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang (Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi III 2005). Diversifikasi pangan yang dimaksudkan bukan untuk
menggantikan beras sepenuhnya, namun mengubah dan memperbaiki pola
konsumsi masyakat supaya lebih beragam jenis pangan dengan mutu gizi yang
lebih baik. Pengertian dan pemahaman diversifikasi pangan yang salah jalan
tersebut diprediksi karena adanya asumsi bahwa beras merupakan bahan pangan
pokok di Indonesia, meski nyatanya penduduk di beberapa daerah di Indonesia
mengonsumsi jagung, sagu, ubi kayu dan ubi jalar sebagai bahan pa ngan pokok.
Oleh karenanya, masalah pangan selalu terpaku pada beras. Program tersebut
bertujuan memberikan respon yang lebih baik untuk meningkatkan diversifikasi
pangan pokok. Provinsi Sumatera Utara memilki potensi alam yang menjanjikan
dengan ketersediaan berbagai jenis pangan lokal seperti ubi jalar, ubi kayu,
jagung, pisang, talas, sukun, labu kuning dan kacang-kacangan yang dapat
mengantikan (subtitusi) atau sebagai pendamping beras (komplemen). Upaya
diversifikasi pangan berbasis pangan lokal akan memberi imbas terhadap
1.2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai, jagung,
ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara?
2. Apakah ada pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi jalar
terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka tujuan daripada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan kecenderungan perkembangan volume produksi kedelai,
jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.
2. Untuk menganalisis pengaruh volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan
ubi jalar terhadap tingkat konsumsi beras di Sumatera Utara.
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan instansi terkait khususnya Dinas
Ketahanan Pangan Sumatera Utara dalam membuat kebijakan mengantisipasi
ketahanan pangan dimasa depan.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti-peneliti khususnya yang meneliti