• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuhan Keperawatan pada Klien Difteri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asuhan Keperawatan pada Klien Difteri"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Difteri adalah penyakit yang menjadi fenomena negatif. Sebuah penyakit toksik akut dan sangat menular yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae. Tanda yang umumnya ditemukan adalah sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil.

Pada tahun 2011, dunia kesehatan dan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri. Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur. Begitupun pada tahun 2012 dan tahun 2013, kasus difteri ini juga telah memakan banyak korban utamanya pada anak-anak.

Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah secepatnya dilakukan tindakan penanggulangan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada semua kasus difteri. Penting diperhatikan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati, jadi kita harus selalu waspada dengan kemungkinan terjadinya penularan.

(2)

dirawat seperti dengan memberikan antitoksin, antibiotik atau dapat juga dengan imunisasi serta harus mengisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan difteri ? 2. Bagaimana etiologi difteri ?

3. Bagaimana epidemiologi (penularan) difteri ? 4. Bagaimana patofisiologi difteri ?

5. Bagaimana manifestasi klinis difteri ?

6. Bagaimana penanganan pada klien dengan difteri ?

7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan difteri ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri 1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi difteri 2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri

3. Mengetahui dan memahami epidemiologi (penularan) difteri 4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri

5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri

6. Mengetahui dan memahami penanganan pada klien dengan difteri

7. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan difteri 1.4 Manfaat

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Difteri

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan penyebab utama kematian anak di Barat pada awal abad ke-20 sampai menjadi kasis medic yang jarang, tanda mata modern kerapuhan keberhasilan tersebut menekankan perlunya pemakaian secara sungguh-sungguh prinsip-prinsip pemberantasan yang sama pada zaman ketergantungan vaksin dan satu masyarakat global. Penyakit ini dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

2.2 Etiologi Difteri

(4)

menggunakan teknik molekuler memberi kesan bahwa C.diphteriae nontoksik asli yang diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukkan C.diphteriae bertoksin tersebut. Toksiin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek), suatu uji rekasi rantai polymerase pengamata, atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot (uji kematian). Strain toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau biokimia. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 60oc selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

2.3 Epidemiologi (Penularan)

Tidak seperti difteroid lain (bacteria korineform), yang berada dimana-mana dalam alam, C.diphtiriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan kulit manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan atau kontak langsung dengan sekeresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala penting dalam penularan. Dimana difteri endemic, 3-5% individu sehat dapat mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap sangat jarang jika difteri jarang. Infeksi kulit dan pengidap kulit merupakan reservoir difteria diam-diam. Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan kurang berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai.

(5)

2.4 Pathofisiologi

Organisme C.diphteriae tidak bertoksin dan bertoksin menyebabkan infeksi kulit dan mukosa dan beberapa kasus infeksi jauh sesudah bakteremia. Organisme ini biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan, menginduksi reaksi radang lokal. Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, koagulum organisme nekrotik tebal, sel epitel, fibrin, leukosit, dan bentuk eritrosit berlanjut dan menjadi pseudomembran melekat abu-abu coklat. Pengambilan sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin lokal awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf. Karena dua komplikasi terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah infeksi mukokutan, mekanisme patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara imunologik.

2.5 Manifestasi Klinis

(6)

berelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.

Membrane pelekat seperti kulit, meluas ke belakang daerah tenggorok, relative tidak panas, dan disfagia membrane membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan trombisis vena jugularis, dan mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeks laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorokan (croup), merupakan kunci. Perbedaan dari epiglottis bakteri laringotrakeitis virus berat, dan trakeitis stafilokokus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri dan terutama pada visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.

Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembutan saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan komplikasi toksik tidak dapat dihindarkan.

2.6 Penanganan

2.6.1 Pencegahan Difteri

(7)

kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi. Kadar antitoksin serum 0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar protektif minimum dan 0,1 IU/mL member kadar perlindungan tertentu.

2.6.2 Persiapan Pengobatan

Toksoid defteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibekukan, dan diserap pada garam aluminium, yang memperbesar imunogenisitas. Dua preparat toksoid defteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric ( yaitu DTP,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri perdosis 0,5 mL; preparat dewasa yaitu Td mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenisitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dan karena semakin tinggi kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenisitas pada umur yang semakin tinggi.

2.6.3 Perencanaan Pengobatan

(8)

dosis kedua. Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan defteri adalah riwayat reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah dosis sebelumnya. Untuk anak yang imunisasi pertusinya terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis vaksin yang mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri. Dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari ulang tahun keempat.

Pengurangan lebih lanjut dalam jumlah kasus difteri dinegara industry akan memerluka imunisasi booster universal seumur hidup. Dosis booster 0,5 mL Td harus diberikan setiap 10 tahun sesudah dosis terakhir (secara tepat diberikan pada kebanyakan umur 15 tahun). Vaksinasi dengan toksoid difteri harus digunakan kapan pun tetanus toksoid terindikasi untuk menyakinkan imunitas arteri berkelanjutan.

2.6.4 Terapi Antimikroba

(9)

2.7 Asuhan Keperawatan 2.7.1 PENGKAJIAN a. IDENTITAS

b. RIWAYAT KESEHATAN

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri

- Riwayat Kesehatan Dahulu

Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang masih akut

- Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri

c. PEMERIKSAAN FISIK

Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog

Pemeriksaan fisik ROS

Ø B1 : Breathing (Respiratory System)

RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring, penumpukan sekret dihidung,

Ø B2 :Blood (Cardiovascular system)

Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.

Ø B3 :Brain (Nervous system)

Normal

Ø B4 :Bladder (Genitourinary system)

(10)

Ø B5 : Bowel (Gastrointestinal System)

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

Ø B6 :Bone (Bone-Muscle-Integument)

Lemah pada lengan, turgor kulit

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif.

e. POLA AKTIVITAS

1. Pola nutrisi dan metabolic : Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu makan berkurang (anoreksia) muntah dsb

2. Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri dengan mencatat frekuensi sehari

3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas, lemah dan lesu

4.Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur

5. Kognitif & perseptual : Anak akan susah berkonsentrasi

6.Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan masih dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita atau kerna perspisahan

7.Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi

2.7.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

(11)

2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

2.7.3 INTERVENSI

1. Pola napas tidak efektif b.d. sesak nafas

Tujuan:

Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan tindakan perawatan dalam 1 x 30 menit

Kriteria hasil:

1. Respirasi 18 –24 x /menit

2. Tidak ada tanda –tanda sianosis

3. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang / hilang

Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada

Kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat kegagalan napas

2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas tambahan

Bunyi napas menurun bila jalan napas terdapat gangguan

(obstruksi,perdarahan,kolaps)

3. Tinggikan kepala dan bantu

mengubah posisi Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan

4. Bantu pasien dalam napas dalam

dan latihan batuk Dapat meningkatkan pernapasan karena adanya obstruksi

5. Kolaborasi

Berikan oksigen tambahan

(12)

2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas

Tujuan :

- Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres pernafasan.

Kriteria hasil :

- Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan

- Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi

Intervensi Rasional

Observasi

1. Kaji frekuensi atau kedalaman pernafasan dan gerakan dada 2. Auskultasi area paru, satat area

penurunan atau tidak ada aliran udara dan bunyi nafas

adventisius, mis. Crackles, mengi.

3. Bantu pasien latian nafas sering. Tunjukan atau bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.

4. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml perhari(kecuali

kontraindikasi). Tawarkan air hangat daripada dingin . Kolaborasi

5. Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain, mis. Spirometer insentif, IPPB, tiupan botol, perkusi, postural drainage. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.

Berikan obat sesuai indikasi mukolitik, ekspektoran, bronchodilator, analgesic.

1. Takypnea, pernafasan dangkal, dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena

ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan atau cairan paru

2. Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi nafas bronchial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Crackles, ronchi dan mengi terdengar pada inspirasi dan atau ekspirasi pada respon teradap pengupulan cairan , secret kental dan spasme jalan nafas atau obstruksi.

3. Nafas dalam memudakan ekspansi maksimum paru-paru atau jalan nafas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersiaan jalan nafas alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan nafas paten.

Penekanan menurunkan

ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.

4. Cairan (khususnya yang hangat)memobilisasi dan

(13)

secret

5. Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret. Analgesic diberikan untuk

memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk atau menekan pernafasan.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang kurang).

Tujuan :

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi. sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.

c. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.

d. Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.

e. Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang menarik untuk pasien.

a. Rasional :Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah b. Rasional :Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual

(14)

f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

e. Rasional :Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali f. Rasional :Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi,

rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap terapi

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

Tujuan :

Volume cairan pasien akan menjadi adekuat.

Kriteria Hasil :

Intake cairan meningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Intervensi

Intervensi Rasional

1. Timbang pasien

2. Mengukur intake dan output cairan.

3. Kaji turgor kulit.

4. Observasi konsistensi sputum. 5. Observasi konsentrasi urine. 6. Monitor hemoglobin dan

hematocrit.

7. Observasi lidah dan mukosa membran.

8. Bantu pasien mengidentifikasi cara untuk mencegah kekurangan cairan.

1. Rasional : Periksa tambahan atau kehilangan cairan

2. Rasional : Menetapkan data keseimbangan cairan

3. Rasional : Kulit tetap baik

berkaitan dengan inadekuat cairan interstitial

4. Rasional : Sputum tebal menunjukkan kebutuhan cairan 5. Rasional : Urine terkonsentrasi

mungkin menunjukkan kekurangan cairan.

6. Rasional : Peninggian mungkin menunjukkan hemokonsentrasi tepatnya kekurangan cairan. 7. Rasional Kekeringan

menunjukkan kekurangan cairan. 8. Rasional : Mencegah kambuh dan

(15)

2.7.4 Evaluasi

• Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi • Fungsi pernafasan anak membaik

• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya

. Pengkajian

- data objektif -data subyektif Analisis data:

Data WOC etiologi masalah

Do:

………. Ds:

………....

Corynebacterium diphteriae

Tersebar di udara

Masuk ke sistem pernapasan

Menempel pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa pernapasan

Menginduksi reaksi radang lokal

Bakteri

Bakteri

Corynebacterium diphteriae

(16)

menghasilkan eksotoksin

polipeptida 62-KD kuat

Sintesis protein terhambat

Terjadi nekrosis jaringan lokal

Infeksi saluran pernapasan

b. diagnosis keperawatan c. intervensi

Diagnose Tu, tk, kh Intervensi Rasional

(17)

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan

Difteria adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Maka itulah perlu perhatian khusus terhadap penanggulangan kasus difteri ini.

Peran perawat juga dibutuhkan dalam hal ini, yaitu memberikan penyuluhan mengenai bahaya difteri serta memberikan cara terbaik untuk mencegah difteri, serta memberikan perawatan pada klien yang telah terjangkit bakteri penyebab difteri tersebut.

3.2 Saran

(18)

faktor-faktor lain yang menyebabkan timbulnya penyakit diferi ini misalnya dengan memperhatikan lingkungan, makanan, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Muscari, Mary E.2005. Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi

Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga

Klien Tn. P, usia 32 tahun, jenis kelamin laki- laki, belum menikah, pekerjaan swasta, masuk ke RSMM tanggal 16 April 2018 dengan diagnosis medis skizofrenia paranoid. Klien

Bila tidak melakukan pengukuran asupan dan haluaran cairan akan mengakibatkan edema, hipertensi, edema paru, gagal jantung, dan distensi vena jugularis, kecuali

mendengar sejak 2 tahun yang lalu, klien juga mengatakan terasa nyeri pada kedua tulang telinga bagian belakang, skala nyeri 6, dan klien mengeluh telinga kanan dan kiri 1

Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera.Bila persalinan telah

Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang