BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cita negara hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam
bangsa Indonesia sudah mulai dirumuskan oleh para founding father and mother
(bapak dan ibu pendiri) Negara Kesatuan Republik Indonesia semenjak era
kemerdekaan dan diformulasikan kembali ketika era reformasi. Ide negara hukum
atau dengan istilah lain nomokrasi ini tidak dapat terlepas dari pengaruh konsep
negara hukum lainnya seperti Nomokrasi Islam, Rechtstaat, Rule of Law, dan
Sosialist Legal yang berkembang di dunia sehingga mempengaruhi konsepsi cita negara hukum di Indonesia yang saat ini lebih dikenal dan diakui sebagai Negara
Hukum Pancasila. Jimly Asshidiqie mencoba membandingkan ide nomokrasi
dengan ide demokrasi dengan melihat dari segi etimologi (pembentukan kata)
yaitu nomokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Nomos dan
Kratos, nomos memiliki arti norma dan kratos memiliki arti kekuasaan sehingga dapat dikatakan bahwa nomokrasi sangat berhubungan dengan ide kedaulatan
hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.4
Hubungan hukum dan kekuasaan secara sederhana disampaikan oleh
Mochtar Kusumaatmadja dengan slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”5
4
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal 151.
5
Ellydar Chaidiri, Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta : Kreasi Total Media, 2007, hal. 46.
. Kekuasaan tertinggi yang
membatasi dan meligitimasi kekuasaan yang terdapat dalam suatu negara. Salah
satu konsep kekuasaan yang saat ini paling banyak dijadikan referensi bagi
negara-neagara di dunia untuk membagi kekuasaan dalam suatu negara
disampaikan oleh Monstesquieu dalam bukunya, “L’esprit des Lois” (1748) yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu6
1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat undang-undang;
:
2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana undang-undang;
3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai kekuasaan untuk menghakimi pelanggaran
terhadap undang-undang.
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena
kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting. Pemikiranya tersebut tidak bisa
dilepaskan dari pengalamanya sebagai hakim, di mana kekuasaan yudikatif
menurutnya sangat berbeda dengan kekuasaan ekskutif.7
Keberadaan kekuasaan yudikatif atau biasa disebut juga sebagai kekuasaan
kehakiman dalam suatu negara hukum sangatlah merupakan keniscayaan untuk
dapat mewujudkan penegakan dari hukum itu sendiri, lebih lanjut menurut The International Comission of Jurist, ciri-ciri dari negara hukum terdiri dari8
1. Negara harus tunduk pada hukum;
:
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu;
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
6
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 283.
7
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 12.
8
Independesi dalam kekuasaan kehakiman ini merupakan persyaratan utama agar
lembaga peradilan dapat menjalankan fungsinya dengan ideal.
Di Negara Indonesia sendiri telah mendeklarasikan secara tegas dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang lebih lanjut
disebut UUD RI 1945, pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan, “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.” Hal ini memberikan konsekuensi seluruh
penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia harus
berdasarkan hukum dan menjadikan hukum sebagai supremasi tertinggi di dalam
negara. Konsep negara hukum yang bercirikan peradilan yang bebas dan tidak
memihak diejawantahkan lebih lanjut dengan memisahkan kekuasaan yudikatif
secara tegas terpisah berbagai dari bab-bab cabang kekuasaan negara lainya yang
dapat kita lihat pada pengaturan tersendiri bab tentang Kekuasaan Kehakiman
pada Bab IX UUD RI 1945.
Di negeri kita, kekuasaan kehakiman tersebut diatur pada Pasal 24 ayat (1)
UUD RI 1945 yang mengatur bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdea untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan”, lebih lanjut institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman
tersebut di sebutkan dalam ayat (3) UUD RI 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah
Mahkamah Konstitusi.” Dalam penelitian ini ruang lingkup pembahasan
Konstitusi yang sesuai fungsinya sering disebut sebagai lembaga pengawal
konstitusi (The Guardian of Constitution) dan lembaga penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution).9
Pada tataran realita Pasal 24 ayat (1) UUD RI tahun 1945 yang merupakan
ruh dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam perspektif doktrin tentang
nilai konstitusi tampaknya hanyalah menjadi nilai nominal bukan lagi menjadi
nilai normatif.10
Tepat pada hari Rabu tanggal 2 Oktober tahun 2013 pukul 21.00
WIB, rakyat Indonesia dikagetkan dengan berita yang meruntuhkan kembali pilar
independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya menegakan hukum dan
keadilan dengan terjadinya penangkapan terhadap M. Akil Mochtar yang sedang
menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di rumah
dinasnya bersama Chairun Nisa sebagai anggota
Cornelis Nalau Antun sebagai pengusaha dalam Operasi Tangkap Tangan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan menerima suap dalam penanganan
gugatan
beserta penyitaan uang sekitar Rp. 3 miliar yang terdiri dari
284.050 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS.12
9
Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm. 495.
10
Nilai Nominal mengandung pengertian bahwa menurut hukum masih berlaku tetapi pelaksanaannya atau kenyataanya tidak sempurna karena ada pasal-pasal yang tidak dilaksanakan sedangkan Nilai Normatif mengandung perngertian bahwa konstitusi itu masih berlaku tidak hanya dalam arti hukum (legal) melainkan juga dalam kenyataan (realitas). Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakarta, : Kreasi Total Media, 2007, hlm. 54.
11
Wikipedia, “Akil Mochtar 2014]
12
Kompas, “Kronologis Penangkapan Akil Mochtar”
Peristiwa ini benar-benar memutar balikan tingkat kepercayaan publik
(public trust) kepada institusi Mahkamah Konsitusi dari lembaga tinggi negara yang dipercaya integritasnya menjadi lembaga tinggi negara yang dipertanyakan
integritasnya, menurut data dari Lingkar Survey Indonesia sebagai berikut,13
Fakta empiris yang terjadi ini telah mengingatkan kita kembali bahwa
konsep dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dapat berdiri sendiri,
dibutuhkan suatu konsep lain untuk dapat mengawal terselenggaranya
independensi peradilan yang ideal yaitu konsep akuntabilitas peradilan. Hal ini
diperlukan karena konsep dari kekuasaan kehakiman itu sendiri pada dasarnya
menurut Brian Z Tamanaha dalam bukunya On the Rule of Law
Untuk pertama kalinya, kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir. Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik terhadap MK merosot dibawah 30 %. Publik yang masih percaya kepada MK hanya 28.0 %. Sedangkan mayoritas publik yaitu sebesar 66.5 % tidak lagi percaya kepada MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia. Sebelum “malapetaka Akil” ini, kepercayaan terhadap MK justru sebaliknya selalu diatas 60 %. “Hanya butuh seorang Akil dalam sehari untuk merobohkan MK”. Hal ini dimaklumi karena sakralnya lembaga MK selama ini dan posisi Akil Mochtar sendiri sebagai ketuanya.
Preseden yang mengenaskan ini kembali menambah daftar hitam penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang terjerat kasus hukum sehingga berimplikasi terhadap
terkikisnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara untuk dapat
mewujudkan cita negara hukum sebagaimana semestinya.
14
13
Lingkar Survey Indonesia, “Robohnya MK kami”
, “Kekuasaan
hakim itu akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. (Abuse of Power
[diakses 28 Februari 2014]
14
Ibrahim, “Independensi dan Akuntabilitas Hakim”
Judicial Corruption). Pada titik inilah Rule of Law berubah jadi Rule by Judges
maka hakim harus akuntabel. Putusan dan perilakunya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara publik.”
Dari pendapat diatas dapat kita lihat adanya hubungan kausalitas yang kuat
antara akuntabilitas peradilan dengan independesi peradilan karena akuntabilitas
peradilan sangat dibutuhkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dari
adanya independensi peradilan. Secara lebih umum, konsep akuntabilitas pada
kekuasaan kehakiman ini tidak terlepas dari konsep umum akuntabilitas yang
biasa digunakan dalam konsep Good Governance untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien maka diharapkan
akuntabilitas peradilan menciptakan penyelengaraan peradilan yang dapat
mempertanggungjawabkan independensi kekuasaanya.
Sinergitas dari konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan
tersebut tercermin melalui mekanisme sistem pengawasan peradilan karena sistem
pengawasan dapat menjamin agar peradilan tetap menjaga independensi dan
akuntabilitas sebagaimana seharusnya. Sesuai pendapat dari Sudibyo
Triatmodjo,15
15
Ansyahrul, Loc.. Cit. hlm. 155.
“Pengawasan adalah suatu bentuk pengamatan yang pada umumnya
dilakukan secara menyeluruh, dengan jalan mengadakan perbandingan antara
kenyataan yang dilaksanakan dengan yang seharusnya dilaksanakan atau terjadi.”
Sehingga dengan adanya sistem pengawasan dapat dilakukan perbandingan
bagaimana implementasi dari independensi dan akuntabilas peradilan dengan
Sesuai dengan ruang lingkup dari penelitian ini yaitu terhadap Mahkamah
Konstitusi maka pembahasan sistem pengawasan peradilan akan di fokuskan
kepada pengawasan terhadap Hakim Konstitusi sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman. Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi ini secara normatif
mengalami berbagai perkembangan. Hal ini akan diteliti dengan menelusuri
rangkaian panjang silih bergantinya norma-norma yang mengaturnya. Dimulai
dari pembatalan norma yang mengatur Hakim Konstitusi juga termasuk Hakim
yang diawasi oleh Komisi Yudisial16, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang17, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat18, sampai dibatalkanya
kembali norma yang mengatur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut
melalui Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi.19
Realita yang terjadi (Das Sein) dengan adanya penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah
menghianati yang seharusnya terjadi (Das Sollen) haruslah menjadi perenungan bersama untuk menelaah bagaimana seharusnya hukum yang berlaku sekarang
(Ius Constitutum) pada peraturan perundang-undangan idealnya dapat mewujudkan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Disinilah kehadiran sistem pengawasan yang solid dan komperhensif dituntut untuk dapat menjaga
kehormatan dan martabat Hakim Konstitusi agar dapat mewujudkan Hakim yang
16
Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tahun 2006.
17
Peraturan Pemerintah Penggant Kedua Atas
18
Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
19
berintegritas dan berwibawa, untuk itulah kita sangat perlu mengkaji ulang
rancangan besar (grand design) dari sistem pengawasan kepada Hakim Konstitusi dari perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan secara
proposional dan bersinergi demi menciptakan kekuasaan kehakiman di
Mahkamah Konstitusi yang ideal, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih judul
: “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF
INDEPENDENSI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur
peraturan perundang-undangan maupun fakta empiris di masyarakat Indonesia
terutama yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi maka untuk memahami
lebih lanjut, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai sistem pengawasan Hakim Konstitusi?
2. Bagaimanakah perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan
terhadap sistem pengawasan Hakim Konstitusi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui dan menganalisa pengaturan mengenai sistem pengawasan Hakim
b. Mengetahui dan menganalisa perspektif independensi peradilan dan
akuntabilitas peradilan terhadap sistem pengawasan Hakim Konstitusi
2. Manfaat
Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain :
a. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah dokumentasi
dalam segi hukum terhadap persoalan sistem pengawasan terhadap Hakim
Konstitusi dalam mewujudkan keseimbangan dan kesinergian antara
independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan sebagai ikhtiar
pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tara Negara.
b. Secara Praktis
Penelitian ini secara umum ditujukan kepada segenap elemen bangsa
Indonesia mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui bagaimana
tinjauan terhadap sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Penelitian
ini juga khususnya dapat bermanfaat kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga yang menjadi kajian utama dari penelitian ini serta lembaga-lembaga
negara lain sebagai pengambil kebijakan yang akan memformulasikan dari
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skirpsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam perspektif Independesi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi
ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini
merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaranaya secara ilmiah pula,
insyAllah. Apabila ada skripsi yang sama maka akan dipertanggungjawabkan
sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Independensi Peradilan
Dalam Kamus umum bahas Indonesia karangan Poerwadarminta yang
dimaksud Independensi adalah berdiri sendiri. 20 Independensi secara harfiah
dapat diartikan bebas, merdeka atau berdiri sendiri.21 Jika merujuk dalam Black’s
Law Dictionary karangan Garner,22
20
Nur Agus Susanto, “Independesi Kekuasaan Kehakiman dan Efektivitas Sanksi untuk Kasus Hakim Penerima Suap” Jurnal Komisi Yudisial Volume-IV Nomor 1 April 2011 , hlm. 35.
21
Suparman Marzuki, “Kekuasaan Kehakiman : Independensi, Akuntabilitas, dan Pengawasan Hakim”, Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2012, hlm. 285.
22
Nur Agus Susanto, Loc. Cit.
merujuk dalam Black’s Law Dictionary karangan Garner,23
Richard D. Aldrich menyatakan,
“A governmental body consisting of one or more judges who is to adjudicate and administer justice” dan/atau” the building where the judge or judges converse to adjudicate dispute and administer justice”.
24
Akuntabilitas secara etimologi berasal dari bahasa Latin : accomptare (mempertanggungjawabkan) bentuk kata dasar computare (memperhitungkan)
bahwa kekuasaan kehakiman yang
merdeka adalah “… that individual judges must remain free of influence, except for the dictates of law, the constitution, reasoned decision, legal precedent, and the dictates of the judges individual cosnsciences.” (…bahwa para hakim tersendiri harus tetap bebas dari pengaruh, kecuali atas perintah hukum, konstitusi,
keputusan yang dipertimbangkan pemikiran sehat, preseden hukum, dan perintah
hati nurani para hakim sendiri).
Dari doktrin yang mendefiniskan mengenai independensi peradilan diatas
maka dapat dikatakan independensi peradilan adalah sebuah prinsip yang harus
dimiliki oleh cabang kekuasaan yudikatif untuk bebas atau merdeka dari berbagai
pengaruh atau intervensi dari pihak-pihak lain. Hakim hanya dapat dipengaruhi
oleh hati nurani dan akal pikiran hakim serta peristiwa hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Akuntabilitas Peradilan
23
Nur Agus Susanto, Loc. Cit.
24
yang juga berasal dari kata putare (mengadakan perhitungan).25 Tuntutan akuntabilitas merupakan bagian dari prinsip good governance agar pengadilan bisa dikelola dengan baik.26 Sementara itu, definisi Peradilan jika merujuk dalam
Black’s Law Dictionary karangan Garner , 27
Menurut Salman Luthan,
“A governmental body consisting of one or more judges who is to adjudicate and administer justice” dan/atau” the building where the judge or judges converse to adjudicate dispute and administer justice”.
28
25
Wikipedia, “Akuntabilitas
“Gagasan Akuntabilitas pada dasarnya muncul
dari adanya pemberian kekuasaan kepada institusi atau seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas publik karena ia menjalankan tugas publik dalam
bidang tertentu maka dia harus mempunyai pertanggungjawaban terhadap tugas
publik yang ia laksanakan.”
Dari pendapat yang mendefiniskan akuntabilitas peradilan diatas maka
dapat dilihat bahwa akuntabilitas peradilan merupakan pertanggungjawaban dari
peradilan khususnya hakim sebagai pihak yang diberikan kekuasaan untuk
melaksanakan kekuasaan kehakiman kepada publik sebagai pemberi kekuasaan
tersebut agar tetap dapat menjamin hakim menjalankan kekuasaan kehakimanya
tersebut sebagaimana seharusnya.
26
Surya Jaya, “Independensi dan Akuntabilitas harus Seiring”, Buletin, Komisi Yudisial Volume VII No.2 September – Oktober 2012, hlm. 43.
27
Nur Agus Susanto, Loc.. Cit. hlm. 35.
28
3. Sistem Pengawasan Peradilan
Memahami frasa Sistem Pengawasan maka lebih baik mendefinisikan
terlebih dahulu dari masing-masing kata pembentuknya, Sistem berasal
darisystēma) dansustēma) adalah suatu kesatuan
yang terdiri
memudahkan aliran29
Sedangkan pengawasan terbentuk dari Bahasa Melayu dengan kata dasar awas
yang bermaksud pemerhatian teliti semasa melihat.30 Secara terminologi menurut
Ansyahrul,31 “Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian
apakah pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan telah dilakukan sesuai dengan
rencana semula. Bila ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan
segera diambil tindakan koreksi.”
Ketika kita gabungkan definisi sistem dan pengawasan menjadi frasa
sistem pengawasan, secara sederhana dapat dikatakan merupakan suatu kesatuan
komponen-kompenen yang memiliki korelasi keterkaitan dengan tujuan untuk
memperoleh informasi mengenai perbandingan antara kenyataan yang terjadi
(perbuatan apatur negara) dengan yang seharusnya dilaksanakan (peraturan yang
ada) sehingga apabila ada perbedaan akan ada upaya tindak lanjut.
29
Wikipedia, “Sistem” <http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem> [diakses 4 Mei 2014]
30
Wikipedia, “Pengawasan
31
F. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian merupakan komponen yang mutlak keberadaanya
dalam penelitian, menurut Soejono Soekanto secara istilah metode berarti jalan
ke32 sedangkan menurut Peter R. Senn,33 “metode merupakan suatu prosedur atau
cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis”, untuk
lebih memahami mengenai metode kita dapat melihat dari peranan metode dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut34
1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap;
:
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner; dan
4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.
Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah penelitian yuridis
normatif atau dengan istilah lain atau penelitian hukum positif. Menurut Harjono
penelitian hukum positif memiki makna yang sama dengan kajian hukum
doktriner, kajian hukum normatif, kajian hukum murni (pure legal)35
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2010, hlm. 5.
33
Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 46.
34
Soerjono Soekanto, Loc.Cit. hlm. 7.
35
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2005, hlm. 48.
, pada
penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang pantas.36 Menurut Johny Ibrahim, 37 “Penelitian Hukum Normatif
adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.” Sedangkan, ilmu hukum
(normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian
terhadap masalah kongkret.38
2. Pendekatan Permasalahan
Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan,
dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya39, antara lain40
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
:
a. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akadmis, penliti perlu mencari ratio legis
dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam undang-undang itu dan dapat menyimpukan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.
c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
36
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penetlitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 118.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005, hlm. 93.
40
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi.
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada
penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki
ciri-ciri umum sebagai berikut41
a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat ( ready-made);
:
b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu; dan
c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.
Di dalam penelitian hukum data sekunder pada bidang hukum mencakup42
a. Bahan Hukum Primer
:
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : Norma atau kaidah dasar (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), Peraturan Dasar (Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945), Peraturan-Perundang-undangan, Bahan hukum yang tidak dikodefikasikan seperti hukum adat, Yurisprudensi, Traktat, dan Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensikopledia, indeks kumulatif dan lain-lain.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 24.
42
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakan
(library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari
peraturan-perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dokumen-dokumen
pemerintah lainya, buku-buku koleksi pribadi maupun dari perpustakaan,
artikel-arikel yang terdapat dalam jurnal, majalah, buletin yang diambil dari media cetak
maupun eletronik.
Studi kepustakaan mempunyai beberapa fungsi, meliputi43
1. Menyediakan kerangka konsepsi atau teori untuk penelitian yang direncanakan;
:
2. Menyediakan informasi tentang penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan;
3. Memberi rasa percaya diri bagi peneliti, karena melalui kajian pustaka semua konstruksi yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia; 4. Memberi informasi tentang metode-metode, populasi dan sampel,
instrumen, dan analisis data yang digunakan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya; dan
5. Menyediakan temuan, kesimpulan penelitian yang dihubungkan dengan penemuan dan kesimpulan kita.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa
dengan menggunakan metode survey dan metode deduksi. Metode survey yaitu
usaha koleksi data dalam jumlah besar yang menyeluruh atas data yang terdiri dari
43
peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, tidak
hanya yang berupa perundang-undangan akan tetapi juga yang berupa
keputusan-keputusan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara in concreto.44 Metode deduksi dikerjakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan kongkret
mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk diterapkan menyelesaikan suatu
permasalahan tertentu.45
Bab IV : Bab IV akan membahas mengenai Pengaturan Sistem Pengawasan
Hakim Konstitusi dan Perspektif Independesi Peradilan dan
G. Sistematika Penulisan
Bab I : Bab I merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan.
Bab II : Bab II akan membahas mengenai Tinjauan Umum dan Korelasi
Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan Sistem
Pengawasan Peradilan.
Bab III : Bab III akan membahas mengenai struktur dari Mahkamah
Konstitusi, Hakim Konstitusi dan Pengawas Hakim Konstitusi yang
terdiri dari Komisi Yudisial, Majelis Kehoramatan Mahkamah
Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, dan Dewan Etik
Hakim Konstitusi.
44
Bambang Sunggono, Loc.. Cit
45
Akuntabilitas Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim
Konstitusi.
Bab V : Bab V akan membahas mengenai Kesimpulan dan Saran berdasarkan
hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang akan menjawab