BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Rinitis Alergi
Istilah alergi dikenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906 untuk mendeskripsikan fenomena dari hewan dan manusia yang mengembangkan respon perubahan terhadap substansi asing setelah berulang kali terpapar.Oleh karena itu, istilah alergi menjadi terbatas untuk reaksi imun yang merangsang reaksi membahayakan terhadap substansi yang tidak membahayakan,yaitu “hipersensitivitas” atau “imunitas”.
Atopi didefinisikan sebagai alergi yang diakibatkan oleh imunoglobulin E (IgE); yang ditandai dengan perkembangan dari IgE spesifik setelah paparan terhadap alergen (antigen) walaupun dalam jumlah kecil pada sebagian besar individu yang memiliki turunan sifat genetik. (Wytske,1991)
Rinitis secara umum didefinisikan sebagai dua atau lebih gejala dari: sumbatan hidung, hidung berair (rhinorrhea), bersin atau gangguan penghiduan selama lebih dari 1 jam dalam sehari. Ada beberapa jenis dari Rinitis, umumnya dibagi menjadi 3 kategori utama: 1) Rinitis infektius 2) Rinitis alergi 3) Rinitis non-alergi. (Martinez, L.,2009)
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut(Soepardi, 2007). Definisi menurut WHO ARIA (allergic rhinitis and its impact on asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.
alergi musiman yang merupakan salah satu dari klasifikasi rinitis alergi. Pollinosis biasanya memiliki komplikasi konjungtivitis alergi.
2.2 . Klasifikasi Rinitis Alergi
Klasifikasi rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal alergi musiman, hanya ada di negara 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, dan dapat terjadi sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan. Penyebab tersering pada orang dewasa adalah alergen inhalan.(Soepardi, E.A.,2007)
Pada saat ini yang sering digunakan adalah klasifikasi ARIA berdasarkan waktu terjadinya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, rinitis alergi berselang (intermittent allergic rhinitis) dan rinitis alergi menetap (persistent allergic rhinitis).Rinitis alergi berselang terjadi <4 hari per minggu atau <4 minggu. Sedangkan rinitis alergi menetap terjadi >4 hari per minggu dan >4 minggu.
2.3 . Epidemiologi Rinitis Alergi
Rinitis alergi tersebar di seluruh negara maju maupun negara
berkembang.Dengan prevalensi 10-15% dari seluruh populasi dunia menurut
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA).Menurut American Academy of Allergy Asthma & Immunology (AAAAI) berdasarkan dataWorld Health Organization (WHO)rinitis alergi menyerang 10% - 30% populasi di dunia.
Sedangkan di asia pasifik sendiri dilaporkan oleh Wong et al.bahwa pada kelompok dewasa muda, gejala rhinoconjunctivitismenduduki peringkat menengah menurut skala global.Namun, negara dengan prevalensi tertinggi
adalah Hongkong dan Thailang (Bangkok).Pada kelompok anak-anak berumur
6-7 tahun, Asia-Pasifik menduduki peringkat ketiga tertinggi untuk kejadian
rhinoconjunctivitis berulang.Berdasarkan pola global, prevalensi penyakit alergi, asma, dan rhinoconjunctivitis lebih tinggi daripada negara berkembang, seperti
Korea, Jepang, Hongkong dan Singapura.Prevalensi terendah dari gejala asma
dilaporkan pada Negara yang kurang berkembang, seperti Indonesia, beberapa
daerah di Negara Malaysia, dan sebagian besar daerah Negara China.
Tabel 2.1 Gejala Rhinoconjunctivitis pada anak Asia berumur 6-7 tahun
Data dari salah satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)menyatakan bahwa prevalensi rinitis alergi di Asia-Pasifik sebesar 8.7%. Hasil tersebut didapatkan dari penelitian yang dilakukan dengan screening terhadap 33.000 keluarga di Australia, China, Hongkong, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Dari screening tersebut ditemukan sejumlah 1.200 orang dewasa dan anak-anak yang didiagnosa dengan Rinitis Alergi. (Wong et al.,2013)
2.4. Faktor Resiko Rinitis Alergi
Penelitian sebelumnya dengan menggunakan instrumen kuesionerthe European Community Respiratory Health Study II ( ECRHS II) menyatakan bahwa insiden rinitis alergi berkurang seiring bertambahnya jumlah saudara, bertambahnya paparan terhadap hewan peliharaan sebelum umur 5 tahun dan bermukim di lingkungan perkebunan. Sedangkan merokok pada saat hamil dan pada masa anak-anak menambah resiko rinitis alergi pada subjek atopi sehingga rinitis alergi akan menetap sepanjang hidupnya. (Matheson dkk., 2011)
secara rutin (41,8%) ; perokok pasif (55,4%) lebih beresiko daripada perokok
aktif (17,6%).
2.5. Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Rinitis Alergi
Mekanisme terjadinya rinitis alergi berkaitan erat dengan reaksi
hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe I disebut juga reaksi cepat
atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan
dengan alergen. Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada
tahun 1906 diartikan sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terpajan dengan
bahan yang sama untuk kedua kalinya. Urutan kejadian reakti tipe I adalah
sebagai berikut:
1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (FcƐ-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang terjadi akibat pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik, sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast sebagai aktivitas farmakologik.
Rinitis alergi berkaitan dengan inflamasi pada mukosa saluran pernafasan
bagian atas (yakni mukosanasalis, tuba eustachius, dan sinus) dan mata. Pada
kasus yag berat, pasien juga memiliki gejala sistemik. Interaksi kompleks antara
alergen yang terinhalasi atau iritan, imunoglobulin E (IgE), dan mediator
inflamasi adalah penyebab dari inflamasi. Individu yang rentan pada rinitis alergi
akan menghasilkan IgE spesifik sebagai respon terhadap protein tertentu. IgE
menyebabkan sel mast untuk melepaskan berbagai mediator, seperti: histamin,
triptase, kimase, kinin, leukotrien, prostaglandin, dan heparin. Mediator inflamasi
yang dilepaskan sel mast menyebabkan vasodilatasi segera, kongesi nasal, bersin
dan gatal. Mediator - mediator inflamasi tersebut juga menyebabkan pengerahan
sel inflamasi lainnya (yakni makrofag, eosinofil, neutrofil, dan limfosit), yang
menyebabkan respon lambat yang dapat terjadi dalam beberapa jam atau hari dan
adakalanya menyebabkan gejala sistemik (seperti malaise dan kelelahan)(E.T.
Bope dan R. D. Kellerman,2013).
2.6. Diagnosis Rinitis Alergi
Rinitis alergi perlu dibedakan dari jenis rinitis yang lain. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat pada umumnya sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis awal dan memulai terapi. (P.G.Konthen dkk.,2008)
2.6.1. Anamnesis
Gejala utama meliputi: hidung tersumbat, keluar seperti sekret hidung
yang encer, bersin – bersin, rasa gatal di hidung, langit – langit, sekitar mata dan
telinga. Beberapa penderita mengeluhkan mata merah dan lakrimasi. Gejala nasal
dan okuler menjadi petunjuk untuk membedakan rinitis alergi dan rinitis kronis
lainnya. Gejala tambahan (sekunder) yang didapatkan pada penderita tertentu
meliputi penjalaran inflamasi pada tuba eustachii, telinga tengah, dan sinus
paranasalis; mengakibatkan rasa penuh di telinga, gangguan pendengaran, serta
nyeri kepala.Postnasal drip dapat menyebabkan nyeri tenggorokan dan batuk
Menurut kriteria evaluasi anamnesis ARIA, diagnosis rinitis alergi dapat
ditegakkan apabila terdapat gejala utama sebagai hidung berair dengan ingus
encer. Gejala utama tersebut dapat bersamaan dengan satu atau lebih gejala
sebagai berikut: bersin, sumbatan hidung, gatal pada hidung, atau konjungtivitis
(mata merah dan gatal). Apabila seseorang memenuhi kriteria diatas diperlukan
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosa pasti Rinitis
Alergi. (ARIA, 2008)
2.6.2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi terdapat garis gelap periorbital (allergic shinners) akibat
poolingdarah vena kronis. Anak – anak sering kali menggosok – gosok hidungnya
dengan telunjuk karena gatal (allergic salute). Konjungtiva tampak kemerahan
dengan encer atau gelatinous. Rhinoscopy anterior menunjukkan concha nasalis
inferior dan medius pucat dan membengkak disertai eksudat encer. (P.G.Konthen
dkk.,2008)
2.6.3. Pemeriksaan penunjang
Bila diagnosis masih diragukan maka pemeriksaan laboratorium
diharapkan dapat membantu.
• Tes tusuk kulit
Pemeriksaan ini lebih sensitif dan memungkinkan pemeriksaan dengan
alergen lebih bervariasi.
• IgE spesifik (RAST)
Hanya dianjurkan pada penderita dengan dermatitis yang luas atau
dermatografisme.
• Pemeriksaan darah tepi
Pada hitung jenis lekosit dan hitung jenis eosinofil terjadi peningkatan
eosinofil darah tepi. Pemeriksaan ini tidak dapat digunakan untuk menyaring
karena rinitis alergi dapat terjadi tanpa peningkatan eosinofil, sebaliknya
2.7 . Penatalaksanaan Rinitis Alergi
Pada guideline ARIA dicantumkan beberapa tujuan penatalaksanaan dari
rinitis alergi adalah sebagai berikut:
• Tidur yang tidak terganggu
• Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk pekerjaan dan
kehadiran sekolah, tanpa keterbatasan atau gangguan, dan kemampuan untuk
sepenuhnya berpartisipasi dalam olahraga dan aktivitas kesenangan
• Tidak ada gejala yang menganggu
• Tidak atau efek samping minimal dari pengobatan rinitis alergi
Penatalaksanaan rinitis alergi terdiri atas 3 kategori utama dari pengobatan,
yaitu:
1. Pengandalian lingkungan dan penghindaran alergen
2. Penatalaksanaan secara farmakologi
3. Imunoterapi
2.7.1 Pengendalian Lingkungan dan Penghindaran Alergen
Pengendalian lingkungan dan penghindaran alergen meliputi penghindaran
terhadap alergen yang diketahui (substansi spesifik yang dapat merangsang
hipersensitivitas yang dimediasi IgE pada pasien) serta penghindaran terhadap
alergen non spesifik, misalnya iritan ataupun perangsang. (Sheikh,2013)
2.7.2 Farmakoterapi
Penderita dengan gejala Rinitis Alergi berselang (intermitten) dapat
diobati secara adekuat dengan antihistamin oral, dekongestan, atau keduanya
bersamaan. Penggunaan rutin dari steroid sediaan semprot tidak dianjurkan untuk
penderita dengan gejala Rinitis Alergi kronis. Penggunaan sehari-hari dari
antihistamin, dekongestan, atau keduanya dapat dipertimbangkan daripada atau
sebagai tambahan dari steroid nasal. Antihistamin generasi kedua (yaitu golongan
nonsedatif) biasanya lebih dianjurkan untuk menghindari efek sedatif dan efek
kortikosteroid oral jangka pendek (terbatas hanya untuk episode berat dan akut)
mungkin juga dapat digunakan sebagai obat simtomatik. (Sheikh,2013)
2.7.3 Imunoterapi (desensitisasi)
Imunoterapi mengandung resiko karena reaksi alergi sistemik berat dapat
terjadi. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan resiko dan keuntungan dari
imunoterapi dibandingkan resiko dan keuntungan dari pengobatan lainnya.
Terdapat beberapa jenis imunoterapi, misalnya Sublingual Immunotherapy (SLIT)
dan Subcutaneous Immunotherapy (SCIT)
Indikasi imunoterapi lebih dianjurkan pada penyakit berat, respon yang
kurang terhadap pilihan pengobatan lainnya, dan adanya faktor pemberat ataupun
komplikasi. Imunoterapi biasanya dikombinasikan dengan pengobatan
farmakoterapi dan pengendalian lingkungan.
Terdapat juga kontraindikasi dari imunoterapi. Imunoterapi hanya boleh
dilakukan oleh individu yang telah terlatih, yang dapat melaksanakan tindakan
pencegahan yang tepat, dan seseorang yang berpelengkapan untuk menanggulangi
kejadian yang tidak diinginkan. (Sheikh,2013)
2.8. Komplikasi Rinitis Alergi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penederita rinitis
alergi bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara benar, misalnya: progresi