ABSTRAK
REPRESENTASI PEREMPUAN TIONGHOA DALAM NOVEL KANCING YANG TERLEPAS KARYA HANDRY TM
(KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS)
oleh
Widi Rahayu Sandi
NIM 1104088
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia, khususnya kaum perempuannya yang mengalami ketidakadilan karena dua hal, yakni karena jenis kelamin dan etnisnya. Persoalan tersebut juga digambarkan dalam karya sastra, khususnya novel.
Objek penelitian ini adalah novel dengan judul Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan struktur, (2) mendeskripsikan representasi perempuan Tionghoa yang meliputi peran, stereotip, ketidakadilan yang dialami perempuan Tionghoa, dan perlawanan yang dilakukan untuk menghadapi ketidakadilan tersebut, (3) mendeskripsikan model representasi yang digunakan pengarang dalam menggambarkan perempuan Tionghoa pada novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui studi pustaka. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, yaitu sosiologi karya sastra dengan menggunakan teknik representasi. Teori yang digunakan adalah kritik sastra feminis.
ABSTRACT
REPRESENTATION OF CHINESE WOMEN BASED ON NOVEL KANCING YANG TERLEPAS WORK OF HANDRY TM
(STUDY OF FEMINIST LITERARY CRITISM)
by
Widi Rahayu Sandi
NIM 1104088
This research was motivated by problems of the Chinese ethnic in Indonesia, especially the women that felt injustice because of two things, namely cause of gender and ethnicity. The issue is also described in the literature, especially the novel.
Object of this study is novel with the title is Kancing yang Terlepas that work by Handy TM. The goals of the research are (1) describe the structure (2) describing the Chinese women's representation includes roles, stereotypes, injustices experienced by Chinese women, and the resistance that being made to confront these injustices, (3) describe the author's model of representation used in describing the Chinese women the novel Kancing yang Terlepas that work by Handry TM.
This study is a qualitative research using descriptive analysis method. Data collection techniques used through the literature. The approach of the research is sociological approach, namely the sociology of literature by using of the representasion technique. Theory used is the feminist literary criticism.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... vi
UCAPAN TERIMAKASIH... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Struktur Organisasi Skripsi ... 10
BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Representasi ... 13
2.2 Definisi Novel ... 16
2.2.1 Unsur Pembentuk Novel ... 18
2.2.1.1 Tokoh dan Penokohan ... 18
2.2.1.2 Pembedaan Tokoh ... 19
2.2.1.3 Latar ... 20
2.2.1.5 Analisis Penceritaan ... 22
2.3 Sosiologi Sastra ... 23
2.4 Kritik Sastra Feminis ... 25
2.4.1 Pengertian Feminisme ... 25
2.4.2 Sejarah Munculnya Gerakan Feminisme ... 27
2.4.3 Sejarah Kemunculan Feminisme dalam Karya Sastra ... 31
2.4.4 Kritik Sastra Feminis ... 33
2.5 Ketidakadilan yang Dialami Perempuan Akibat Sistem Patriarki ... 35
2.5.1 Pengertian Ketidakadilan ... 35
2.5.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan yang Dialami Perempuan Akibat Sistem Patriarki ... 37
2.5.3 Perlawanan terhadap Ketidakadilan yang Dialami Perempuan ... 40
2.6 Keberadaan Etnis Tionghoa di Indonesia ... 42
2.6.1 Etnis Tionghoa di Indonesia... 42
2.6.2 Perempuan Tionghoa ... 45
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 51
3.2 Sumber Data ... 51
3.3 Teknik Penelitian ... 52
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.3.2 Teknik Pengolahan Data ... 52
3.4 Instrumen Penelitian... 55
3.5 Definisi Operasional... 58
BAB 4 TEMUAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Struktur Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM ... 60
4.1.1 Pengaluran dan Alur ... 60
4.1.1.2 Alur ... 107
4.1.2 Tokoh dan Penokohan ... 130
4.1.3 Latar ... 156
4.1.3.1 Latar Tempat ... 156
4.1.3.2 Latar Waktu ... 162
4.1.3.3 Latar Sosial... 167
4.1.4 Analisis Penceritaan ... 169
4.1.4.1 Kehadiran Pencerita ... 169
4.1.4.2 Tipe Penceritaan ... 171
4.2 Analisis Representasi Perempuan Tionghoa dalam Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM ... 179
4.2.1 Representasi Peran Perempuan Tionghoa ... 179
4.2.1.1 Peran Publik ... 179
4.2.1.2 Peran Domestik ... 186
4.2.1.3 Peran Ganda ... 195
4.2.2 Representasi Stereotip Perempuan Tionghoa... 197
4.2.2.1 Perempuan Tionghoa yang Mendekontruksi Stereotip ... 198
4.2.2.2 Perempuan Tionghoa yang Melanggengkan Stereotip ... 203
4.2.3 Representasi Ketidakadilan yang Dialami Perempuan Tionghoa .. 207
4.2.3.1Ketidakadilan Berupa Marginalisasi ... 207
4.2.3.2 Ketidakadilan Berupa Kekerasan ... 210
4.2.3.2.1 Eksploitasi………210
4.2.3.2.2 Kekerasan Fisik……….215
4.2.3.2.3 Kekerasan Psikis………... 217
4.2.3.3 Ketidakadilan Berupa Diskriminasi……….219
4.2.3.4 Ketidakadilan Berupa Subordinasi ... 226
4.2.4 Representasi Perlawanan Perempuan Tionghoa dalam Menghadapi Ketidakadilan ... 230
4.2.4.2 Perlawanan Perempuan Tionghoa yang Didiskriminasi oleh
Masyarakat dan Negara Indonesia ... 233
4.3 Analisis Model Representasi Perempuan Tionghoa ... 238
BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan ... 242
5.1.1 Analisis Strktur Novel ... 242
5.1.2 Representasi Perempuan Tionghoa ... 245
5.1.2 Model Representasi ... 249
5.2 Implikasi dan Rekomendasi ... 250
DAFTAR PUSTAKA ... 251
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Teknik Kajian Novel……….. 53
Tabel 3.2 : Pedoman Analisis Struktur……….55
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1 : Alur Penelitian……….54
Bagan 4.1 : Pengaluran………...106
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keputusan Pengesahan Judul
Lampiran 2 Cover Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM
Lampiran 3 Data Penelitian dari Media Massa Online
Lampiran 4 Tabel Bidang Pekerjaan Menurut Kelompok-Kelompok Etnis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bagian pendahuluan, peneliti memaparkan mengenai (1) latar
belakang penelitian, (2) rumusan masalah penelitian, (3) tujuan penelitian, (4)
manfaat penelitian, dan (5) struktur organisasi skripsi.
1.1 Latar Belakang Penelitian
Novel adalah sebuah karangan prosa yang menyuguhkan tema sehari-hari
dengan alur yang cukup rumit dan kompleks. Sebuah novel bisa saja
merepresentasikan zamannya, tetapi ada pula yang memang hanya dibuat saja dan
masyarakat yang mengonvensikannya sebagai perekam zaman. Sesungguhnya
karya sastra tidak lahir dalam situasi yang kosong, sebuah karya sastra tidak dapat
terlepas dari sejarah sastra (Anwar, 2009, hlm. 62). Dalam setiap karya sastra
termasuk novel pasti ada intertekstual dengan novel-novel sebelumnya. Sejalan
dengan itu Lukacs (Anwar, 2009, hlm. 49) menekankan bahwa novel adalah
kreasi realitas yang bertumpu pada konvensionalitas dunia objektif dan interioritas
dunia subjektif pada sisi lainnya. Dalam sebuah novel tema yang dimunculkan
beragam, salah satunya adalah mengenai isu feminisme.
Secara etimologi feminis berasal dari kata femme (woman), berarti
perempuan (tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2009, hlm. 184). Sebagai gerakan
modern, feminisme lahir awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf
dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own 1929 (Ratna, 2009, hlm. 83).
Feminisme hadir kemudian dalam karya sastra lewat tokoh-tokoh yang
dimunculkannya. Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep
kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada
perempuan (Sugihastuti, 2000, hlm. 37). Kritik sastra feminis adalah sebuah
pendekatan terhadap karya sastra yang mengedepankan isu-isu mengenai
perempuan di dalamnya. Kritik sastra feminis tidak dapat dilepaskan dari awal
2
sederhananya bisa dikatakan akibat adanya ketertindasan perempuan dalam karya
sastra tersebut.
Kritik sastra feminis menyangkut hal- hal yang berhubungan dengan
ideologi perempuan, atau perempuan yang mengalami subordinasi, represi,
marginalisasi, representasi perempuan sampai ketidakadilan gender dalam sebuah
karya sastra. Dinamika masalah perempuan seolah tidak pernah ada habisnya.
Selalu ada hal baru yang bahkan sampai sekarang masih melekat kuat pada
perempuan mengenai budaya patriarki yang mengukungnya. Seperti yang
dikatakan oleh Tong bahwa apa yang paling ia hargai dari pemikiran feminis
adalah meskipun pemikiran itu mempunyai awal, pemikiran feminis tidak
mempunyai akhir.
Wacana feminis tidak hanya selalu ditulis oleh pengarang perempuan tapi
juga oleh pengarang laki-laki. Bisa dilihat awal kelahiran kesusastraan modern
Indonesia. Kelahiran awal kesusastraan Indonesia modern yang ditandai dengan
munculnya sastrawan-sastrawan pada tahun 1920 yang lebih banyak dimotori oleh
pengarang laki-laki (Pradopo, 1995, hlm. 7). Meskipun begitu, isu mengenai
feminisme dan gender telah begitu lekat pada pengarang perempuan dengan
alasan mereka lebih paham karena saat menulis tubuhnya bisa menyatu dengan
teks. Hal tersebut terbukti dengan terdapatnya 17 novel karya pengarang
perempuan Indonesia pada rentang tahun 1933-2005 yang dapat dimunculkan
untuk menemukan mata rantai geneologis munculnya karakter feminis (Anwar,
2009, hlm. 57). Jauh sebelum itu telah ada teks novel pengarang laki-laki yang
mengangkat persoalan feminsime, diantaranya Siti Nurbaya karya Marah Rusli
(1922), Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1927), Salah Asuhan karya
Abdul Moeis (1928), Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936)
dan Belenggu karya Armijn Pane (1938).
Tema mengenai feminisme tidak hanya ditemukan pada beberapa novel
seperti yang telah disebutkan di atas. Persoalan feminisme juga hadir pada
novel-novel bertemakan Tionghoa yang lahir setelah reformasi, seperti novel-novel Ca Bau
Kan (Hanya Sebuah Dosa) karya Remy Sylado (1999) yang bercerita mengenai
percintaan Tinung seorang perempuan Betawi yang berprofesi sebagai ca bau kan
3
dengan Tan Peng Liang seorang peranakan Cina dari Semarang. Selain itu, ada
pula novel Putri Cina karya Sindhunata (2007) yang mengisahkan tragedi antara
sepasang kekasih berdarah Cina dan Jawa yang kemudian menjadi sentral cerita
dalam novel tersebut. Dalam Putri Cina diceritakan bahwa putri Cina merupakan
representasi dari perempuan Tionghoa pada tragedi Mei 1998 yang diwakili oleh
tokoh Giok Tien yang menjadi korban intrik tingkat tinggi hingga ternodai
kewanitaannya oleh syahwat penguasa. Selanjutnya adalah novel yang akan
peneliti kaji, yakni Kancing yang Terlepas (2011). Novel tersebut ditulis oleh
Handry TM, bercerita mengenai kemelut kehidupan Etnis Tionghoa di Pecinan
Semarang.
Handry TM merupakan salah seorang penulis yang potensial, beberapa
buku psikologi remajanya telah diterbitkan, antara lain, Cinta itu meracuni, Aku
Ingin Badai, Foto di Atas piano, Pose yang Lelah dan Kuingin Mencowel Pipimu
Tiap Hari Sabtu. Salah satu novelnya yang menarik untuk diteliti dari tinjauan
kritik sastra feminis adalah Kancing yang Terlepas (2011). Representasi
perempuan dalam novel ini ditunjukan oleh tokoh-tokohnya yang merupakan etnis
Tionghoa. Representasi tersebut menunjukan adanya ketertekanan yang dialami
para perempuan etnis Tionghoa yang merasa dipinggirkan di negeri sendiri. Latar
cerita dalam novel ini adalalah pasca kemerdekaan ketika akan berganti
pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tema-tema mengenai ketertindasan perempuan Tionghoa di Indonesia
pada masa pergantian pemerintahan memang menghadirkan tantangan tersendiri
untuk dibahas dan ditulis lagi meski dari sudut pandang yang berbeda. Salah satu
contohnya adalah cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Clara Wanita
yang Diperkosa. Dalam cerpen tersebut dibahas mengenai perempuan Tionghoa
pada masa itu yang mengalami tindak marginalisasi, represi dan kekerasan
seksual. Hal tersebut yang kemudian muncul pula dalam novel Kancing yang
Terlepas, novel yang ditulis baru-baru ini dengan setting masa lampau itu masih
menarik dan relevan untuk disuguhkan. Eksistensi masyarakat etnis Tionghoa di
Indonesia terkadang tidak dipandang apalagi dalam panggung politik. Tapi setelah
orang keturunan Tionghoa terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta, hal itu
4
terlanjur mencintai Indonesia. Eksistensi semacam itulah yang kemudian muncul
pada novel-novel bertemakan Tionghoa.
Etnis Tionghoa di Indonesia merupakan golongan minoritas, tetapi pada
masa pergantian orde lama ke orde baru golongan minoritas ini memicu adanya
kecemburuan bagi bangsa pribumi. Mengacu pada teori Girard (dalam Sindhunata
2007, hlm. 71) begitu kekerasan pecah dalam masa krisis, semua institusi
termasuk kekuasaan menjadi lumpuh sehingga mau tak mau kekerasan harus
menemukan sasaran dan korbannya, yakni kambing hitamnya dan kelompok yang
menjadi kambing hitam adalah yang telah terstigmakan menjadi kambing hitam,
yaitu etnis Cina. “Orang Eropa adalah penguasa, Etnis Tionghoa berada di tengah
dan penduduk pribumi menduduki lapisan sosial terendah” (Suryadinata, 1999,
hlm. 72). Itulah yang kemudian menyebabkan adanya ketidakadilan yang
dirasakan etnis Tionghoa khususnya perempuan pada masa itu yang juga
digambarkan lewat tokoh dalam novel Kancing yang Terlepas. Para perempuan
Tionghoa dalam novel ini menjadi sasaran kecemburuan pribumi atas keadaan
ekonomi dan politik Indonesia saat itu yang semakin runyam.
Peneliti tertarik untuk meneliti novel Kancing yang Terlepas karya Handry
TM sebagai objek material karena fenomena-fenomena yang ditemukan di dalam
novel tersebut. Salah satunya adalah mengenai ketidakadilan yang dirasakan para
tokoh perempuannya baik oleh laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung
baginya dan oleh negara yang memang pada saat itu tidak berpihak pada etnis
Tionghoa. Menurut Suryadinata (1999, hlm.83-84) pemerintah Indonesia
menggunakan kebijakan bahasa, kebudayaan dan pendidikan untuk
mengintegrasikan warga negara yang berasal dari etnis yang berbeda termasuk
Tionghoa. Kebijakan pemerintah tersebut diantaranya, menghalangi penggunaan
bahasa Cina pada tahun 1960, menggunakan bahasa Indonesia pada nama-nama
toko mereka serta mengubah nama warga Tionghoa menjadi lebih terdengar
Indonesia. Dalam bidang pendidikan juga terlihat, kuota yang tersedia di
universitas negeri untuk mahasiswa keturunan Tionghoa sangat sedikit pada saat
itu dan pemerintah menghapus semua sekolah Cina pada tahun 1958. Kerusuhan
5
Tionghoa pada posisi inferior dan menjadi obyek sasaran dari suatu peristiwa
(Suryadinata, 1999, hlm.i).
Novel Kancing yang Terlepas mengambil latar peristiwa kerusuhan 1965.
Pada saat itu, banyak etnis Tionghoa yang mengalami ketidakadilan, khususnya
perempuan. Bentuk ketidakadilan tidak hanya lewat psikis bahkan juga dirasakan
oleh fisiknya yang seorang perempuan. Tubuh perempuan, lebih dari sekadar
facticity, adalah bagian dari dirinya sebagai manusia. Di sinilah kontradiksi terjadi
pada perempuan, sebagai seorang manusia dia adalah subjek, suatu kesadaran, tetapi sebagai seorang perempuan dia adalah “Liyan yang Mutlak” dia adalah objek (Prabasmoro, 2006, hlm.45). Dari sanalah muncul representasi perempuan
Tionghoa yang digambarkan oleh masing tokohnya dengan
masing-masing permasalahan hidupnya sebagai perempuan juga sebagai etnis Tionghoa.
Perempuan Tionghoa dalam novel Kancing yang Terlepas menjadi
kelompok minoritas ganda yang tidak hanya minoritas sebagai etnis tetapi juga
sebagai perempuan. Teori Girard dalam Sindhunata (2007, hlm.387) menyatakan
bahwa biasanya yang terstigma menjadi korban adalah minoritas etnis dan religius
tertentu. Oleh karena itu beberapa kekerasan pada Etnis Tionghoa terutama
perempuan yang juga direpresentasi dalam novel Kancing yang Terlepas seolah
wajar saja dilakukan karena mereka dilegalkan sebagai korban. Selain mengenai
kekerasan yang dianggap sebagai ketidakadilan akan dibahas pula representasi
perempuan Tionghoa lainnya, seperti peran dan stereotip yang akan dikaji lewat
pendekatan sosiologi karya sastra. Hal itu dilakukan karena cerita dalam novel
Kancing yang Terlepas merupakan representasi dari sejarah kelam bangsa
Indonesia mengenai perpecahan antara penguasa dengan etnis Tionghoa,
meskipun terdapat pula bagian-bagian yang imajiner. Hal tersebut sesuai dengan
anggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan dari kenyataan, termasuk
kenyataan sosial yang digambarkan pada novel tersebut. Kesimpulan mengenai
permasalahan mendasar dalam sosiologi novel yang diungkapkan oleh Girard dan
Lukacs yakni posisi novel sebagai bagian dari sebuah sejarah.
Perempuan Tionghoa di Indonesia umumnya terlahir dari perkawinan
campur yang tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi serta kebudayaan
6
sudah merambah ke wilayah publik meskipun masih sangat minim. Minimnya
peran perempuan Tionghoa terutama peran sosial di masyarakat Indonesia,
membuat stereotip „mahluk ekslusiv‟ seolah tetap melekat pada warga keturunan
Tionghoa karena mereka hidup dalam sangkarnya sendiri. Kecenderungan warga
Tionghoa untuk menjaga ekslusivitas tersebut yang kemudian menghambat upaya
asimilasi (Coppel, 1994, hlm. 33). Hal tersebut merupakan salah satu faktor
penyebab banyaknya kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh warga keturunan
Tionghoa sepanjang zaman. Anggapan bahwa etnis Tionghoa selalu menjadi
kelompok elit diantara mayoritas pribumi yang tertinggal secara ekonomi seolah
menjadi salah satu penyebab etnis tersebut dijadikan kambing hitam pada
beberapa peristiwa kerusuhan seperti yang direpresentasikan pada novel Kancing
yang Terlepas ini.
Penelitian mengenai perempuan dan representasinya dalam karya sastra
pernah dilakukan oleh Prima Gusti Yanti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Representasi Gender dalam Novel Remy Sylado Berlatar Penjajahan dan Kemerdekaan (Kajian Feminis Pascakolonial)”. Jurnal dari Esther Kuntjara
(2011) yang berjudul “Perempuan Tionghoa dalam Pembentukan Budaya
Indonesia Tionghoa” dan “Bahasa Hybrida Orang Cina di Indonesia”. Evi
Yesifina dengan skripsinya yang berjudul “Penderitaan Perempuan dalam Dua
Novel Populer Indonesia (Kajian Kritik Sastra Feminis Liberalis terhadap Karya
Mira W.)”. Sumiyadi dan tim (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Representasi Perempuan dalam Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer (Tinjauan Kritik Sastra Feminis)”.
Prima Gusti Yanti (2011) menjelaskan mengenai representasi gender pada
masa penjajahan dan setelah bangsa Indonesia merdeka. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa pada masa penjajahan perempuan dalam novel-novel Remy
Silado adalah perempuan kelas bawah yang mengalami banyak penindasan.
sementara tokoh perempuan yang dihadirkan setelah kemerdekaan adalah
perempuan yang pintar karena mengenyam pendidikan yang tinggi, meskipun
begitu perempuan tersebut tetap mengalami penderitaan oleh suaminya karena
perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga. Pada novel-novel setelah
7
berkarier di ruang publik. Ketertindasannya bukan lagi oleh kaum Asing
melainkan oleh laki-laki terdekatnya, bisa suami, paman dan masyarakat sekitar
yang masih menjungjung tinggi budaya patriarki.
Sementara itu, Evi Yesifina dalam skripsinya membahas tentang novel
populer karya Mira W. yang sering menjadikan perempuan sebagai objek bukan
subjek. Dalam penelitiannya diambil dua novel Mira W yang mewakili satu
dekade, yaitu novel yang berjudul Suami Pilihan Suamiku, dan Seandainya Aku
Boleh Memilih. Wacana perempuan yang seringkali dikedepankan dalam sastra
populer juga terdapat pada novel Mira W. berjudul Suami Pilihan Suamiku, dan
Seandainya Aku Boleh Memilih. Penelitian tersebut difokuskan pada apa saja yang
menjadi sumber penderitaan perempuan dan bagaimana bentuk pengungkapan
yang dilakukan oleh pengarang dalam menggambarkan penderitaan perempuan
tersebut. Pada akhirnya dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa sumber
penderitaan perempuan dalam dua novel tersebut adalah intern dan ekstern.
Bentuk perlakuan berupa ancaman, cacian atau makian dan bentuk penderitaan
berupa fisik dan psikis.
Sumiyadi dan tim (2011) dalam penelitiannya mengemukakan mengenai
tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer yang
tertindas tapi mampu mengatasi penindasannya tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa tokoh perempuan dalam novel tersebut menempatkan dirinya sebagai
subjek bukan sebagai objek atau korban. Perempuan itu dalam relasinya dengan
tokoh lain digambarkan memiliki arti yang sama besar karena dapat menentukan
nasibnya sendiri. Dalam hal pendukung dan penghalang tokoh perempuan
ternyata ditemukan pendukung yang sekaligus menjadi penghalang seperti
kecantikan para tokoh. Selanjutnya, Pramoedya berusaha menampilkan citra-citra
positif mengenai perempuan.
Pembicaraan mengenai perempuan Tionghoa lainnya adalah jurnal dari Esther Kuntjara (2011) yang berjudul “Perempuan Tionghoa dalam Pembentukan Budaya Indonesia Tionghoa” dan “Bahasa Hybrida Orang Cina di Indonesia”. Dalam tulisannya tersebut Esther Kuntjara yang juga merupakan seorang
perempuan Tionghoa mengulas mengenai eksistensi perempuan Tionghoa
8
Wacana feminisme yang dihadirkan dalam novel Kancing yang Terlepas
pada awalnya masing-masing tokoh perempuan Tionghoa tersebut dihadapkan
pada posisi yang tertindas, baik secara intern maupun ekstern hingga kemudian
timbul perjuangan untuk melawannya. Representasi perempuan Tionghoa pada
novel ini digambarkan lewat tokoh-tokohnya yang kemudian berusaha untuk
keluar dari sektor domestik dan mengambil alih sektor publik. Hal ini berterima
karena perempuan menjadi maskulin lebih berterima daripada laki-laki yang
feminin (Prabasmoro, 2006, hlm.33).
Seperti yang telah dipaparkan di atas, memang sudah banyak penelitian
yang mengkaji mengenai perempuan dan representasinya lewat pendekatan kritik
sastra feminis. Tetapi, penelitan ini membahas representasi perempuan yang lebih
spesifik lagi, yaitu perempuan etnis Tionghoa yang digambarkan dalam novel
Kancing yang Terlepas. Jika penelitian-penelitian sebelumnya hanya
menggambarkan representasi atau ketidakadilan yang dirasakan perempuan secara
umum saja lewat tokoh-tokohnya, penelitian ini berbeda. Selain mengkaji
representasi perempuan Tionghoa pada novel Kancing yang Terlepas dikaitkan
pula latar belakang budayanya sebagai etnis Tionghoa di Indonesia.
Sejauh pengamatan terhadap kajian mengenai representasi perempuan dan
gender di atas peneliti belum menemukan penelitian yang membahas mengenai “Representasi Perempuan Tionghoa dalam Novel Kancing yang Terlepas Karya Handry TM (Kajian Kritik Sastra Feminis)”. Oleh karena itu, peneliti
menganggap pentingnya penelitian ini sehingga diharapkan menambah wawasan
serta pengetahuan dalam dunia keilmuan dan akademik, khususnya kajian sastra
modern.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM?
2. Bagaimana representasi perempuan Tionghoa dalam novel Kancing yang
9
a. Bagaimana representasi stereotip perempuan Tionghoa dalam
novel tersebut?
b. Bagaimana representasi peran perempuan Tionghoa dalam novel
tersebut?
c. Bagaimana representasi ketidakadilan yang dialami perempuan
Tionghoa dalam novel tersebut?
d. Bagaimana representasi perlawanan perempuan Tionghoa dalam
menghadapi ketidakadilan tersebut?
3. Bagaimana model representasi dalam novel Kancing yang Terlepas karya
Handry TM?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan struktur novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM.
2. Mendeskripsikan representasi perempuan Tionghoa dalam novel Kancing
yang Terlepas karya Handry TM
a. Mendeskripsikan representasi stereotip perempuan Tionghoa dalam
novel tersebut.
b. Mendeskripsikan representasi peran perempuan Tionghoa dalam
novel tersebut.
c. Mendeskripsikan representasi ketidakadilan yang dialami
perempuan Tionghoa dalam novel tersebut.
d. Mendeskripsikan representasi perlawanan perempuan Tionghoa
dalam menghadapi ketidakadilan tersebut.
3. Mendeskripsikan model representasi yang digunakan dalam novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, khususnya bagi peneliti sendiri. Baik manfaat teoretis maupun praktis.
Manfaat yang diharapkan dari pengkajian masalah yang telah dikemukakan di atas
10
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan bisa memperoleh pengetahuan tentang struktur,
KSF, dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya ketidakadilan tokoh perempuan
Tionghoa dalam novel Kancing yang Terlepas. Selain itu bisa memberikan
informasi mengenai representasi perempuan Tionghoa pada karya sastra,
khususnya novel.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih bagi kanon
kesusastraan modern, juga menjadi bahan bacaan serta pengetahuan bagi para
LSM perempuan terutama untuk himpunan yang menaungi perempuan Tionghoa
di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi
masyarakat pada umumnya, serta bagi peneliti sendiri khususnya untuk lebih
mengetahui budaya etnis Tionghoa beserta segala permasalahannya yang
dihadirkan dalam dunia fiksi.
1.5 Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi pada skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni bagian
awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Bagian awal terdiri atas halaman judul,
halaman pengesahan, halaman pernyataan mengenai keaslian skripsi, kata
pengantar, halaman ucapan terima kasih, abstrak, daftar isi, serta daftar tabel,
daftar bagan, dan daftar lampiran.
Bagian tengah terbagi lagi menjadi lima bab. Bab satu adalah bab
pendahuluan yang berisi latar belakang. Bab ini menjelaskan mengenai latar
belakang pemilihan objek, yaitu mengenai representasi perempuan Tionghoa
dalam novel Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Selain itu, bab
pendahuluan menjelaskan mengenai keterkaitan pemilihan objek beserta
aspek-aspek yang muncul di dalamnya, seperti kemunculan novel, keberadaan etnis
Tionghoa di Indonesia dan gerakan feminis. Pada bagian ini, juga ditambahkan
mengenai penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan perempuan dan kajian
kritik sastra feminis. Selanjutnya adalah rumusan masalah yang memaparkan
11
penelitian ini menjelaskan mengenai tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
Terakhir, pada bab ini akan memaparkan mengenai struktur organisasi skripsi.
Bab dua dalam bagian tengah berisi landasan teoretis mengenai
representasi, definisi novel, definisi novel, sosiologi sastra, kritik sastra feminis,
ketidakadilan yang dialami perempuan akibat sistem patriarki, dan keberadaan
etnis Tionghoa di Indonesia. Pada pembahasan mengenai representasi dijelaskan
beberapa teori salah satunya dari Jakob Sumardjo hingga model representasi yang
digunakan mengacu pada pernyataan Melani Budianta, mengenai aktif dan pasif.
Dalam bagian novel, terdapat subbab mengenai unsur pembentuk novel yang
mengacu pada teori Todorrov. Selain itu, beberapa teori dan pemahaman
mengenai gerakan feminisme hingga awal mula kemunculannya dalam karya
sastra. Selanjutnya adalah mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia,
khususnya kaum perempuannya yang sekaligus menjadi objek kajian dalam
penelitian ini. Landasan teoretis dalam bab dua akan membantu menjawab
masalah dalam rumusan masalah pada bab satu.
Bab tiga dalam bagian tengah adalah metode penelitian yang berisi metode
penelitian, sumber data, teknik penelitian, instrumen penelitian, dan definisi
operasional. Bab ini akan menjelaskan mengenai metode yang digunakan dalam
penelitian, data yang digunakan, teknik penelitian yang terdiri dari pengolahan
dan pengumpulan data. Selain itu, terdapat pula beberapa tabel dan bagan yang
menjelaskan mengenai kerangka berpikir penelitian dan pedoman analisis yang
berkaitan dengan struktur novel dan representasi perempuan Tionghoa dalam
novel tersebut. Bab tiga ini berfungsi untuk menjelaskan secara teknis mengenai
hal yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah dalam bab satu dengan
menggunakan landasan teoretis dalam bab dua.
Bab empat adalah bab temuan dan pembahasan yang akan menjawab
pertanyaan dalam rumusan masalah. Bab ini menjelaskan mengenai struktur novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM, serta representasi perempuan Tionghoa
yang meliputi peran perempuan Tionghoa, stereotip perempuan Tionghoa,
ketidakadilan yang dialami perempuan Tionghoa, perlawanan yang dilakukan
perempuan Tionghoa dalam menghadapi ketidakadilan tersebut dan model
12
pembahasan mengenai masalah dalam bab satu dengan menggunakan landasan
teoretis dari bab dua dan metode penelitian dari bab tiga.
Bab lima adalah bab penutup yang berisikan simpulan, implikasi, dan
rekomendasi. Simpulan berisi penafsiran mengenai hasil penelitian. Implikasi dan
rekomendasi ditujukan pada peneliti selanjutnya, pengguna penelitian, dan
manfaat penelitian untuk masyarakat luas.
Bagian akhir pada penelitian ini berisi daftar pustaka dan lampiran. Daftar
pustaka berisi sumber-sumber buku, jurnal, atau bahan lainnya yang digunakan
selama penulisan skripsi. Lampiran berisikan beberapa hal yang bersangkutan
242
BAB 5
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
5.1 Simpulan
Berdasarkan rumusan dan hasil pembahasan yang telah dilakukan terhadap
persoalan representasi perempuan Tionghoa dalam novel Kancing yang Terlepas
karya Handry TM, sampailah pada kesimpulan sebagai berikut.
5.1.1 Analisis Struktur Novel
Untuk mengetahui struktur novel, maka perlu dilakukan analisis terhadap
unsur-unsur novel tersebut. Analisis struktur dimulai dengan analisis pengaluran
dan alur. Dalam pengaluran ditemukan 664 sekuen induk. Dari ke-664 sekuen
induk tersebut termasuk di dalamnya 2 sekuen prospektif atau bayangan yang
menampilkan kejadian yang belum terjadi dan 13 sekuen ingatan. Ke-13 sekuen
ingatan tersebut terdiri dari sembilan sekuen sorot balik (sekuen yang
menampilkan kembali masa lampau dalam beberapa rangkaian peristiwa) dan
empat sekuen kilas balik (sekuen yang menampilkan kembali masa lampau dalam
satu peristiwa saja). Kemudian dari analisis alur ditemukan 160 fungsi utama yang
mempunyai hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dengan peristiwa
lainnya.
Selanjutnya, hasil analisis tokoh dan penokohan. Analisis tokoh dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, adalah tokoh utama dan yang kedua adalah tokoh
tambahan. Dalam novel ini terdapat tiga tokoh utama, yaitu Tek Siang, Siaw Giok
Hong dan Boenga Lily. Sementara itu, tokoh tambahan terdapat 25 tokoh
tambahan yang berada di lingkungan tokoh utama dan menjalin erat jalannya
cerita. Tokoh tambahan tersebut ada yang cukup intens ditampilkan, seperti Ing
Wen, Oen Kiat, Lena Teng, dan Tan Kong Gie, ada pula yang hanya ditampilkan
pada bagian-bagian tertentu saja namun tetap mendukung alur cerita. Dalam
melakukan analisis terhadap tokoh-tokoh tersebut, peneliti melihat berdasarkan
tingkat kemunculan dan fungsi tokoh di dalam cerita berdasarkan narasi pencerita,
243
yang digunakan pengarang, yaitu melalui penamaan, pernyataan, penegasan,
dialog antar tokoh, percakapan monolog, tingkah laku tokoh, dan tindakan tokoh
lain.
Analisis latar meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar
tempat yang digunakan pengarang dalam novel ini seluruhnya berada di Kota
Semarang. Lebih sempit lagi, dijelaskan latar tempat yaitu, di distrik Gang Pinggir
yakni kawasan Pecinan yang meliputi rumah Tek Siang, Oen Kiat dan rumah
makan Mei Wei. Selain itu, latar tempat lain adalah Kantor Militer, yakni tempat
ditahannya Boenga Lily, Tan, Soeroto dan Timoer laoet. Latar Gunung Merbabu,
yakni tempat persembunyian Giok Hong ketika berganti identitas menjadi Boenga
Lily. Ada pula latar tempat hutan bakau, yakni tempat bermainnya anak-anak desa
sebelum akhirnya diciduk dan dibawa ke Kantor Militer. Kemudian latar rumah
peninggalan Jepang yang menjadi tempat tinggal keluarga Mangoen dan menjadi
tempat peristiwa pembunuhan Prasetijo dan keluarga Mangoen oleh Boenga Lily.
Sementara itu, latar waktu yang digunakan pengarang merupakan latar
waktu yang terjadi di Indonesia, yakni latar waktu dini hari, pagi hari, siang hari,
sore dan malam hari. Selain itu, latar waktu lainnya adalah tahun berlangsungnya
peristiwa. Dalam novel ini cerita diawali pada tahun 1961 hal tersebut ditunjukkan
oleh pengarang secara eksplisit. Akhir cerita dalam novel ini adalah sekitar tahun
1963-an, pengarang menghadirkannya secara implisit lewat rentan waktu satu
tahun setelah peristiwa hilangnya Siaw Giok Hong dan beberapa bulan berikutnya
setelah peristiwa hilangnya Boenga Lily. Latar waktu yang digunakan pengarang
ditujukan untuk mendukung latar tempat dalam cerita.
Selanjutnya adalah latar sosial, dalam novel ini latar sosial
menggambarkan mengenai masyarakat etnis Tionghoa yang berada di kawasan
Gang Pinggir. Warga Gang Pinggir tersebut sangat menyukai orkes Cina. Hal itu
terbukti dari antusiasme mereka ketika menghadiri acara latihan pergelaran Orkes
Tjahaja Timoer dan juga rasa kehilangan yang dirasakan warga Gang Pinggir
ketika Siaw Giok Hong, sang biduan tersebut menghilang. Masyarakat Gang
Pinggir sangat menghargai kesenian lokal dan para seniman. Di dalam cerita,
tampak pula masyarakat Gang Pinggir yang mengalami trauma serta ketakutan
244
adanya pembatasan bagi kaum keturunan oleh pemerintahan saat itu. Hal tersebut
benar-benar terjadi pada masyarakat Indonesia, yakni pada kurun waktu tahun
1963-an. Sebelum runtuhnya pemerintahan Orde Lama, banyak etnis Tionghoa
yang kerap dituding sebagai bagian dari komunis. Latar sosial lainnya adalah
mengenai budaya Tionghoa yang sudah sangat mengakar pada masyarakat Gang
Pinggir, seperti adanya beberapa tradisi yang seringkali merugikan perempuan,
yakni masalah poligami.
Dalam analisis penceritaan, kehadiran pencerita yang ditemukan dalam
novel Kancing yang Terlepas adalah pencerita ektern. Hal tersebut dapat dilihat karena pencerita tidak hadir dalam teks. Pencerita menggunakan pronomina „dia‟ atau „ia‟ yang merupakan orang ketiga tunggal. Pencerita dalam novel ini hadir di luar karya sastra, dalam beberapa peristiwa penggunaan pronomina „dia‟ diganti dengan nama tokoh-tokohnya atau julukan tokoh. Peneliti menyimpulkan bahwa
kehadiran pencerita ektern muncul di seluruh bagian cerita dan menjadi
satu-satunya pencerita yang hadir karena peneliti tidak menemukan adanya pencerita
intern. Meskipun begitu, pencerita ektern ini merupakan pencerita serba tahu yang
mendukung keseluruhan isi cerita, sehingga membuat cerita seolah tidak berjarak
dan sangat dekat dengan pembaca.
Analisis struktur yang terakhir adalah tipe penceritaan, dalam novel ini
tipe penceritaan yang digunakan pengarang meliputi tiga tipe penceritaan, yaitu
wicara yang dilaporkan, wicara yang dinarasikan, dan wicara yang dialihkan. Pada
wicara yang dilaporkan, pengarang melaporkan keseluruhan isi teks dalam bentuk
dialog tokoh atau kalimat-kalimat langsung. Salah satunya adalah dialog antara
Zeng dan Siaw Giok Hong. Berikutnya adalah wicara yang dinarasikan, dalam hal
ini pengarang memaparkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh. Salah
satunya tergambar saat pengarang menceritakan perasaan cemas yang dialami
oleh Boenga Lily saat akan bernyanyi di depan Tek Siang. Selanjutnya wicara
yang dialihkan, pada tipe ini pencerita memperlihatkan mengenai pandangan
tokoh atau pencerita tentang sesuatu, biasanya merupakan monolog tokoh. Salah
satu contohnya adalah pandangan pencerita mengenai peristiwa pembunuhan yang
245
oleh monolog tokoh Lily yang sedang memikirkan lamaran pernikahan dari tokoh
Tan.
5.1.2 Representasi Perempuan Tionghoa
Setelah melakukan analisis struktur novel, peneliti kemudian menganalisis
isi cerita untuk mengetahui representasi perempuan Tionghoa dalam novel
Kancing yang Terlepas karya Handry TM. Dalam menganalisis representasi
perempuan tersebut peneliti mengklasifikasikannya dari persoalan dominan yang
ditemukan dalam novel tersebut. Hal tersebut diantaranya adalah peran
perempuan Tionghoa, stereotip perempuan Tionghoa, ketidakadilan yang dialami
perempuan Tionghoa, dan perlawanan perempuan Tionghoa dalam menghadapi
ketidakadiilan tersebut.
Analisis pertama adalah mengenai representasi peran perempuan
Tionghoa. Peneliti menemukan tiga buah peran yang dijalani oleh perempuan
Tionghoa meliputi peran di wilayah publik, domestik, dan peran ganda. Peran
publik digambarkan oleh tokoh Siaw Giok Hong dan Boenga Lily. Peran yang
dijalaninya adalah sebagai biduan orkes Cina. Peran sebagai biduan tersebut
merupakan representasi dari profesi perempuan Tionghoa di Semarang pada
sekitar tahun 1960-an yang banyak berkutat di wilayah kesenian. Salah satunya
terlihat dari kesenian Gambang Semarang yang merupakan akulturasi dari budaya
Jawa dan Tionghoa. Peran sebagai biduan membuat mereka menjadi primadona di
Gang Pinggir. Namun, secara tidak langsung menjadi sumber penderitaan karena
tubuh mereka dieksploitasi di hadapan umum oleh laki-laki, yakni pemimpin
orkes tersebut. Hal tersebut merupakan representasi dari peran biduan pada kurun
waktu 1960-an yang diartikan sebagai perempuan penghibur karena biduan pada
saat itu lebih diasosiasikan ke arah negatif. Sementara itu, peran domestik
digambarkan melalui tokoh Ing Wen dan Kwan Nio. Peran di wilayah domestik
adalah mengurusi urusan-urusan kerumahtanggaan. Para perempuan Tionghoa
yang memiliki peran di wilayah domestik cenderung memiliki sifat yang penurut,
lemah, pasrah, dan menerima kewajiban mereka sebagai perempuan. Peran ganda
digambarkan oleh tokoh Lena Teng yang merupakan seorang ibu rumah tangga
246
bisnis gandum. Hal tersebut merupakan representasi dari masyarakat Tionghoa
pada umumnya yang cenderung memilih untuk berbisnis atau bergadang.
Selanjutnya adalah repersentasi stereotip perempuan Tionghoa. Perempuan
Tionghoa distereotipkan memiliki sikap seperti konsep “Yin” yakni segala hal yang bersifat dingin, pasif, lemah, pasrah, dan penurut. Konsep tersebut merupakan kebalikan dari konsep alam “Yang” yang distereotipkan sebagai sifat laki-laki, yakni panas, dinamis, kuat, dan lain-lain. Stereotip “Yin” tersebut juga berkaitan dengan sikap Dewi Kwan Im yang penuh kasih sayang. Dalam novel
ini, peneliti menemukan dua hal yang berhubungan dengan stereotip perempuan
Tionghoa, yakni perempuan Tionghoa yang melanggengkan stereotip dan
mendekontruksi stereotip.
Perempuan Tionghoa yang mendekontruksi stereotip adalah tokoh
perempuan yang merasa ditindas hingga kemudian melakukan perlawanan dan
mendekontruksi stereotip yang ada. Hal itu dilakukan oleh tokoh Siaw Giok
Hong, Boenga Lily, dan Lena Teng. Tokoh Giok Hong dan Boenga Lily pada
awalnya digambarkan seperti stereotip perempuan pada umumnya, hingga
kemudian mereka mendekontruksi stereotip tersebut. Hal itu dilakukan karena
tokoh Giok Hong dan Boenga Lily dijadikan sebagai objek terkait perannya
sebagai biduan. Mereka mendekontruksi stereotip tersebut dan menjadi
perempuan yang pemberani, kasar, dan sadis. Hal tersebut menunjukkan
representasi perempuan Tionghoa yang melakukan dekontruksi terhadap stereotip
yang selama ini melekat. Sementara itu, tokoh Lena Teng memiliki sikap yang
tidak acuh terhadap keluarganya, kasar, dan juga nekat. Sikap Lena Teng tersebut
mendekontruksi stereotip dalam budaya Tionghoa yang menyatakan bahwa
perempuanlah yang mengayomi dan menjaga tradisi keluarga. Hal tersebut terjadi
karena posisinya sebagai perempuan yang dirugikan, terlebih ketika suaminya
tertarik dengan perempuan lain. Adanya kondisi tersebut membuat Lena Teng
semakin menunjukan superioritasnya sebagai perempuan dengan melakukan
perlawanan. Tokoh perempuan Tionghoa yang melakukan dekontruksi stereotip
tersebut adalah perempuan yang bersentuhan dengan wilayah publik. Hal itu
diperkuat dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat Indonesia, khususnya
247
Tionghoa mendekontruksi stereotip perempuan tradisional dengan terjun
langsung ke wilayah publik, seperti menjadi seorang wartawan, dokter, penyanyi
dan lain-lain.
Sementara itu, beberapa tokoh perempuan Tionghoa yang melanggengkan
stereotip didominasi oleh perempuan yang berperan di wilayah domestik. Tokoh
perempuan yang melangengkan sterotip tersebut adalah tokoh Kwan Nio dan Ing
Wen. Tokoh Kwan Nio digambarkan sebagai seorang istri yang sabar, penuh
kasih sayang, pendiam, rajin beribadah, dan patuh terhadap suaminya. Bahkan
ketika suaminya berniat untuk menikah lagi, Kwan Nio menyetujuinya meskipun
ia harus menanggung beban psikologis. Hal tersebut merupakan representasi dari
tradisi dan budaya Tionghoa yang memberikan hak istimewa kepada laki-laki,
sementara perempuanlah yang meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga.
Tokoh Ing Wen pun melanggengkan sterotip, ia memiliki sifat yang patuh dan
tunduk kepada tuannya meskipun ia sendiri menyadari keberadaannya hanya
menjadi sasaran pelengkap saja. Salah satu faktor yang membuat mereka
melanggengkan stereotip tersebut adalah keadaan ekonomi dan posisi mereka
yang didominasi oleh para laki-laki. Keberadaan mereka yang hanya berada di
wilayah domestik, membuat mereka menggantungkan hidupnya kepada laki-laki.
Representasi ketidakadilan yang dialami perempuan Tionghoa meliputi
ketidakadilan akibat jenis kelaminnya dan juga ketidakadilan karena etnisnya
yang minoritas.
Bentuk ketidakadilan berupa marginalisasi disebabkan oleh etnis
perempuan Tionghoa itu sendiri. Dalam novel ini, ketidakadilan berupa
marginalisasi digambarkan dengan adanya pembatasan pada etnis Tionghoa
bahkan untuk sekedar mencari hiburan lewat berkesenian. Representasi
marginalisasi yang diwakili oleh perempuan Tionghoa dirasakan oleh Boenga
Lily. Mata pencahariannya sebagai biduan harus terhenti karena situasi politik.
Keadaan tersebut mengacu proses pemiskinan kaum tertentu, yang dalam hal ini
adalah perempuan. Hal tersebut merupakan representasi dari keadaan masyarakat
etnis Tionghoa saat terjadi kasak-kusuk politik pada pemerintahan Orde Lama,
beberapa kegiatan mereka dibatasi karena dicurigai sebagai kelompok kiri atau
248
Ketidakadilan berupa kekerasan, meliputi eksploitasi, kekerasan fisik dan
kekerasan psikis. Eksploitasi tubuh perempuan dilakukan oleh dominasi patriarki,
yang tidak hanya dilakukan laki-laki tetapi juga budaya dan negara. Penyebab
adanya eksploitasi tersebut adalah karena kecantikan dan keindahan tubuh
perempuan. Persoalan itu merupakan representasi dari permasalahan yang
dialami perempuan Tionghoa setiap kali terjadi kerusuhan besar di Indonesia,
seperti pada tahun 1998. Pada saat itu, tidak sedikit perempuan Tionghoa yang
dilecehkan, dijarah, diperkosa, hingga dibunuh. Sementara itu, kekerasan fisik
dilakukan tidak hanya oleh laki-laki tetapi juga oleh sesama perempuan untuk
menunjukkan eksistensinya dan bagian dari perlawanan. Bentuk kekerasan
tersebut merupakan representasi nilai-nilai patriarki dalam keluarga Tionghoa
yang dilanggengkan lewat berbagai cara, diantaranya dengan menggunakan
kekerasan dalam mendidik anak perempuan. Kekerasan psikis dirasakan oleh
tokoh Kwan Nio ketika suaminya berniat untuk melakukan poligami. Dalam
menghadapi hal tersebut tokoh Kwan Nio hanya bisa pasrah dan menerima karena
budaya Tionghoa sangat mengusung superioritas laki-laki.
Ketidakadilan berupa diskriminasi gender yang dialami perempuan
Tionghoa adalah pelabelan gundik yang ditujukan pada Giok Hong karena
perannya sebagai seorang biduan. Selain itu, diskriminasi gender juga dirasakan
oleh Giok Hong yang tidak diakui oleh Ayah kandungnya karena merupakan anak
hasil hubungan gelap. Hal tersebut merupakan representasi dari budaya Tionghoa
yang sangat mementingkan kelahiran anak laki-laki karena laki-laki dianggap
pewaris dan meneruskan marga. Sikap pasrah Lena Teng terhadap keputusan
suaminya untuk menikah lagi juga merupakan diskriminasi gender, ia
menganggap bahwa hal tersebut pantas dilakukan oleh laki-laki sementara tidak
untuk perempuan. Sementara itu, diskriminasi etnisitas dirasakan oleh perempuan
Tionghoa seperti adanya pembedaan perlakuan dari pemerintahan, adanya
tudingan komunis yang kerap ditujukan, hingga penculikan terhadap perempuan
Tionghoa oleh oknum tidak bertanggungjawab. Hal tersebut merupakan
representasi dari penggulingan pemerintahan Orde Lama di Indonesia yang
249
Ketidakadilan berupa subordinasi menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak begitu penting. Tokoh Ing Wen mengalami subordinasi karena
perannya sebagai pembantu rumah tangga. Selain itu, subordinasi juga dialami
oleh Lena Teng mengenai persoalan warisan dari suaminya yang direbut oleh adik
iparnya, yang seorang laki-laki. Hal itu merupakan representasi subordinasi yang
mencitrakan bahwa seorang perempuan tidak bisa memimpin.
Perlawanan yang dilakukan oleh perempuan Tionghoa dalam menghadapi
ketidakadilan tersebut meliputi dua hal. Pertama, adalah perlawanan sebagai
perempuan Tionghoa. Hal itu dilakukan melalui perlawanan batin dan fisik.
Perlawanan batin dilakukan oleh tokoh Giok Hong, yakni dengan cara
mengkhianati cinta kekasihnya. Sementara perlawanan fisik yang dilakukan
perempuan Tionghoa meliputi tindakan, seperti menculik, melakukan tindak
kekerasan, hingga membunuh. Hal tersebut merupakan bentuk eksistensi diri
mereka agar bisa terlepas dari ketidakadilan. Kedua, adalah perlawanan
perempuan Tionghoa yang didiskriminasi oleh masyarakat dan negara Indonesia.
Bentuk perlawanan yang dilakukan adalah dengan cara merepresesi
ke-Tionghoaannya, yakni mengubah identitas seperti yang dilakukan oleh Siaw Giok
Hong yang berubah menjadi Boenga Lily. Selain itu, bentuk lain adalah dengan
mengikuti organisasi anti pemerintahan. Hal itu merupakan representasi dari
perlawanan etnis Tionghoa pada saat terjadi peristiwa kerusuhan besar, banyak
dari mereka yang kemudian menempel pada kekuatan besar untuk melindungi
diri. Perlawanan tersebut dilakukan para perempuan Tionghoa agar dapat bertahan
melawan ketidakadilan yang begitu kompleks.
5.1.3 Model Representasi
Model representasi yang digunakan dalam merepresentasikan perempuan
Tionghoa pada novel ini adalah menggunakan model representasi aktif. Dalam
merepresentasikan perempuan Tionghoa, yang meliputi peran, stereotip,
ketidakadilan, dan perlawanan pengarang tidak hanya memberikan gambaran
mengenai representasi perempuan saja. Pengarang berupaya memberikan makna
terhadap para tokoh perempuan Tionghoa yang digambarkannya itu. Pemaknaan
250
berupa gugatan dari pengarang, seperti mengenai posisi perempuan Tionghoa
dalam budayanya, serta kedudukan etnis Tionghoa di Indonesia yang sering kali
dijadikan sasaran saat terjadi peristiwa besar. Hal itu terjadi pada kerusuhan tahun
1965-an atau pada tahun 1998 ketika terjadi penjarahan, pembunuhan, dan
pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa terutama perempuannya.
5.2 Implikasi dan Rekomendasi
Setelah melakukan penelitian ini, peneliti merekomendasikan beberapa
hal.
1. Dalam novel ini masih banyak hal menarik yang peneliti temukan tetapi
tidak peneliti kaji. Hal tersebut diantaranya adalah mengenai kedudukan
etnis Tionghoa di Indonesia pada pemerintahan Orde Lama. Permasalahan
itu relevan dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Oleh karena itu,
peneliti merekomendasikan kepada peneliti berikutnya untuk dapat
melanjutkan penelitian ini dengan tinjauan sosiologi sastra.
2. Bagi masyarakat luas, penelitian ini dapat dijadikan refleksi serta
kesadaran terutama bagi masyarakat etnis Tionghoa bahwa posisi