• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab dan Dampak Terjadinya Pernikahan Dini pada Remaja di Dusun Plalar Kulon Desa Kopeng Kabupaten Semarang T1 462012094 BAB IV"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

24

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Setting Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Dusun Plalar Kulon, Desa Kopeng,

Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dusun

ini berada di lereng Gunung Merbabu di ketinggian 1307 meter

diatas permukaan laut. Jumlah penduduk pria lebih banyak

daripada penduduk wanita dengan persentasi kelompok usia lansia

lebih tinggi daripada kelompok usia dibawahnya (BPS Kab.

Semarang, 2014). Mata pencaharian warga adalah berkebun dan

beternak. Seluruh penduduk di dusun ini memiliki hubungan

keluarga sehingga kekerabatannya begitu harmonis.

4.2 Gambaran Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 6 orang yang

merupakan 3 pasang suami istri yang menikah di usia muda. Satu

orang partisipan menikah di usia 16 tahun, dua orang partisipan

menikah di usia 17 tahun, dua orang partisipan menikah di usia 18

(2)

partisipan saat ini adalah 18, 19 dan 20 tahun. Seluruh partisipan

[image:2.516.85.454.175.636.2]

bersuku Jawa dan berdomisili di Dusun Plalar Kulon.

Tabel 4.2.1 Karakteristik Partisipan Penelitian

No Inisial Partisipan

Usia saat ini

Usia saat menikah

Pendidikan

terakhir Pekerjaan

1 Ny. I 18 tahun 17 tahun SMP IRT

2 Tn. E 19 tahun 18 tahun SMP Petani

3 Ny. I 19 tahun 18 tahun SMK IRT

4 Tn. M 20 tahun 19 tahun SMK Karyawan

5 Ny. L 18 tahun 16 tahun SMP IRT/Petani

6 Tn. W 20 tahun 17 tahun Tidak tamat

SD Petani

4.3 Hasil Penelitian

Partisipan Hasil Penelitian

P1 (Ny. I) Faktor Penyebab :

Ny. I menikah di usia 17 tahun atas dorongan orangtua karena orangtua sudah menyetujui hubungan Ny. I dengan pacarnya.

Dampak :

- Untuk membeli keperluan sehari-hari, Ny. I masih meminta uang dari mertuanya.

(3)

dan sifat egois.

- Ny. I sering digunjingkan hal yang tidak benar oleh mertuanya sehingga membuat Ny. I merasa terganggu.

P2 (Tn. E) Faktor Penyebab :

Tn. E menikah di usia 18 tahun atas keinginan diri sendiri karena takut tidak memiliki pasangan hidup.

Dampak :

- Tn. E masih meminta bantuan dana dari orang tua untuk kebutuhan sehari-hari.

- Tn. E mengalami kesulitan ekonomi karena tidak memiliki pekerjaan tetap.

- Tn. E merasa tidak mampu menikmati masa mudanya.

- Tn. E dan istri sering bertengkar seputar kepentingan anak.

P3 (Ny. I) Faktor Penyebab :

Ny. I menikah pada usia 18 tahun atas dorongan diri sendiri dan orang tua untuk menghindari fitnah dari tetangga yang selama ini selalu risih jika pacar Ny. I sering datang ke rumah Ny. I.

Dampak :

- Untuk kebutuhan sehari-hari, Ny. I masih minta bantuan dana dari orangtuanya. Sedangkan untuk kepentingan kehamilan, Ny. I meminta biaya dari suaminya.

- Ny. I tidak dapat menikmati masa muda sepenuhnya.

(4)

P4 (Tn. M) Faktor Penyebab :

Tn. M menikah pada usia 19 tahun atas dorongan orang tua. Tn. M dianjurkan menikah oleh orang tua karena desakan tetangga yang risih atas kedatangan Tn. M ke rumah pacarnya secar terus menerus.

Dampak :

- Tn. M merasa tidak dapat menikmati masa muda.

- Tn. M dan istri masih meminta bantuan dana dari orangtua untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

- Tn. M merasa diterima oleh masyarakat setelah menikah.

P5 (Ny. L) Faktor Penyebab :

Ny. L menikah pada usia 16 tahun atas keinginan diri sendiri karena sudah tidak bersekolah dan tidak memiliki pekerjaan.

Dampak :

- Ny. L mengalami kesulitan dalam mencari nafkah karena untuk saat ini sumber dana masih berasal dari orang tua dan Ny. L tidak memiliki pekerjaan tetap.

- Ny. L merasa kerepotan dalam mengurus anak dan suami sambil membantu mertua kerja di ladang.

P6 (Tn. W) Faktor Penyebab :

Tn. W menikah pada usia 17 tahun atas keinginan diri sendiri karena takut tidak memiliki pasangan hidup dan dukungan orang tua agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

(5)

- Tn. W tidak menikmati masa muda karena ia sudah harus bekerja membantu orang tuanya di ladang dan tidak dapat bermain bersama teman-teman karena sudah harus mengurus keluarga.

- Tn. W merasa lengkap atas kehadiran istri dan anaknya.

4.4 Analisa Data

Tema 1 : Faktor internal penyebab pernikahan dini

Berdasarkan data yang didapat dari 3 diantara 6 partisipan

menunjukkan bahwa pernikahan dini disebabkan oleh faktor internal

seperti keinginan sendiri, yaitu kekhawatiran tidak memiliki

pasangan hidup, merasa siap untuk menikah dan merasa cocok

dengan pasangan. Berikut pernyataan partisipan 2 yang

menyatakan bahwa pernikahan dini disebabkan oleh ketakutan

tidak memiliki pasangan hidup:

“Takut nggak laku mbak. Ya dari keinginan saya sendiri.

Saya memang pingin nikah muda mbak, nikah usia 18

tahun.” (P2. 27)

Pernyataan partisipan 6 yang menyatakan bahwa

pernikahan dini disebabkan oleh merasa sudah siap untuk menikah,

ketakutan tidak memiliki pasangan hidup dan takut untuk terjerumus

(6)

“Menikah usia 17 tahun. Karena saya rasa usia 17 tahun

cukup matang untuk menikah.” (P6. 15)

“Ya kalo nggak nikah kan takutnya karatan gitu. Hahaha.”

(P6. 48)

“Takut kalau bergaul kelamaan nanti kebablasan. Jadi

mending nikah aja untuk menghindari pergaulan bebas.

Sebelum menikah kan kesana kemari mbak, gak karuan.

Jadi saya nikah saja supaya ada tanggung jawab.” (P6. 51)

Di bawah ini pernyataan partisipan 5 yang menyatakan

bahwa pernikahan dini karena merasa sudah siap untuk menikah.

“Keinginan saya sendiri. Setelah saya tamat dari MTs, itu

umur 16 tahun, kan saya nggak lanjut lagi. Juga nggak

kerja. Jadi ya sudah nikah saja. Kan sudah pacaran juga

selama 5 bulan.” (P5. 59)

Tema 2 : Faktor eksternal penyebab pernikahan dini

Selain faktor internal, ada pula faktor eksternal yang

mendorong terjadinya pernikahan dini seperti adanya

paksaan/dorongan orang tua, desakan masyarakat sekitar,

(7)

Berikut pernyataan partisipan 1 yang menyatakan bahwa

pernikahan dini disebabkan oleh paksaan orang tua.

“Dulu kan pacaran udah 2 tahun. Orang tua juga udah tau

karena dia suka main ke rumah. Nah orang tua kan takut

kalau terjadi sesuatu, apalagi sudah lama pacaran. Orang

tua mikirnya yang nggak-nggak. Takutnya hamil duluan apa

gimana. Jadi lebih baik dinikahkan dulu, urusan mau hamil

nanti-nanti juga gak apa-apa asal sah dulu.” (P1. 27)

“Keinginan orang tua malah. Karena takut kebablasan tadi.”

(P1. 40)

Partisipan 3 menyatakan bahwa pernikahan dini disebabkan

oleh situasi keluarga dan menghindari fitnah dari masyarakat.

“Misalnya saya sendiri, saya kan tinggal di desa, namanya

juga remaja zaman sekarang kan juga bisa pacaran, tinggal

di desa kan biasanya ditanya-tanyain tetangga kenapa kok

mas nya udah sering main ke rumah. Jadi menghindari

fitnah-fitnah dari orang lain makanya saya nikah usia 18

tahun.” (P3. 30)

“Ikut saran dari orangtua juga. Ya kita kan pacarannya udah

(8)

“Selain itu saya juga melihat kondisi orangtua. Kan saya

anak bungsu juga. Terus dari kakak kedua jaraknya jauh

juga, 17 tahun. Karena orangtua juga udah tua, kasian juga

nanti. Lagian udah gak punya ibu jadi tinggal bapak.

Takutnya nanti pas menikah kok gak ada orangtuanya. Ini

ibu saya sudah meninggal dari saya SD. Lalu semua kakak

saya sudah berkeluarga. (P3. 83)

“Saya disarankan orangtua dulu, lalu muncullah pemikiran

saya untuk menikah muda. Meskipun saya tidak melakukan

hal negatif, tetapi saya mengantisipasi saja.” (P3. 106)

Selain itu, partisipan 4 menyatakan bahwa pernikahan dini

disebabkan oleh desakan masyarakat sekitar.

“Karena saya juga nggak enak mbak. Karena tetangga

sudah tau kalau saya pacaran dulu. Saya juga sudah lama

pacarannya, 2,5 tahun. Jadi sering dicurigai gitu karena

saya sering main kesini, mbak nya juga sering kesana,

dikira ngapain. Makanya saya dianjurkan oleh tetangga dari

daerah sini untuk menikah. Supaya tidak ada prasangka

(9)

Selain itu, pernikahan dini juga disebabkan oleh faktor

ekonomi dan pendidikan yang rendah. Berikut kutipan pernyataan

dari partisipan 4 dan partisipan 5.

“Iya mbak. Karena gak kerja juga ya saya nikah saja. Kan

tadinya mau ngelanjutin sekolah, tapi biayanya gak ada.”

(P5. 102)

“Sebenarnya orangtua saya memaksa saya untuk langsung

lanjut kuliah gitu mbak, tapi saya pikir-pikir lagi karena saya

dari keluarga tidak mampu mbak, kasian nanti orangtua

saya. Makanya saya gak lanjut.” (P4. 104)

Tema 3: Dampak psikologis pernikahan dini

Berdasarkan hasil penelitian, pernikahan dini menimbulkan

dampak psikologis bagi pelakunya, yaitu kesulitan mencari nafkah,

masalah kejiwaan, ketidakmampuan untuk hidup mandiri, merasa

malu dan tidak dihargai, pertengkaran, merasa sudah lengkap,

merasa diterima masyarakat dan berguna bagi keluarga.

Berikut pernyataan Partisipan 1 dan 2 yang menyatakan

bahwa menikah dini menimbulkan dampak yaitu kesulitan mencari

(10)

“Paling ya, susah cari uang. Jadinya kan urusi muka jadi gak

bisa. Beli pakaian juga susah, lebih mentingin anak kalau

sekarang. Sekarang yang diurus bukan cuma diri sendiri ya

mbak, ada anak, dan suami.” (P1. 90)

“Kesulitan ekonomi mbak. Boros uangnya. Karena nggak

kerja trus kebutuhan anak juga jalan terus.” (P2. 43)

Selain itu, Partisipan 1 menyatakan bahwa pernikahan dini

menyebabkan dirinya dimusuhi oleh keluarga suami tanpa sebab

yang pasti.

“Ada mbak. Kadang, ada saudara dari mertua yang gak

cocok. Ada yang suka dan yang gak. Kalau yang nggak

suka, di korek-korek tentang kejelekan kita. Terus

disebar-sebarin” (P1. 113)

Dampak lain pernikahan dini yang dirasakan seluruh

partisipan adalah ketidakmampuan untuk hidup mandiri, masih

bergantung dan berharap dari orang tua.

“Iya mbak, kalau untuk anak ya pakai uang tabungan. Kalau

untuk makan sehari-hari masih pakai uang orangtua.”

(11)

“Masih dari orangtua mbak, minta orang tua. Untuk

kebutuhan anak pakai uang saya sendiri dari hasil kebun,

tapi untuk kebutuhan sehari-hari saya masih minta sama

orang tua.” (P2. 65)

“Dari suami dan orang tua mbak. Kalau uang dari suami,

dipakai untuk keperluan periksa dokter sama keperluan

pribadi. Orangtua biasanya bantu untuk biaya makan dan

keperluan sehari-hari.” (P3.185)

“Punya rumah sendiri itu belum bisa mbak. Saya udah

pernah ngomong sama mertua, kalau saya belum punya

rumah sendiri.” (P4.71)

“Karena kewajiban orangtua menafkahi anaknya dari hal

kecil sampai hal besar.” (P5. 178)

“Dalam bentuk dukungan dan dana. Kalau dana tetep

orangtua toh mbak. Namanya juga orangtua.” (P6. 65)

Karena ketidakmampuan Partisipan untuk hidup mandiri,

maka partisipan 4 merasa malu dan dan merasa tidak dihargai oleh

keluarga istri.

“Terus pas saya ajak tidur di rumah saya, mertua suruh

(12)

bawa ke rumah orangtua saya. Saya juga malu numpang di

rumah orang tua istri. Merasa tidak dihargai sebagai suami.”

(P4. 75)

Selain itu, dampak pernikahan dini yang dirasakan

partisipan 1 adalah sering terjadi pertengkaran dengan suami

karena masih sulit mengatur emosi dan sifat egois masing-masing.

Berikut pernyataannya.

“Sering juga mbak. Kalau rumah tangga baru seperti ini,

biasanya suka bertengkar. Soal anak, soal makanan.

Makanan anak keasinan, saya diprotes. Kalau kehabisan

stok makanan atau kebutuhan anak dan lupa bilang, ya

kena lagi.” (P1.139)

“Nah kalau kekurangannya sih kita masih labil emosinya ya.

Kadang masih suka bertengkar. Belum bisa maklum satu

sama lain.” (P3. 75)

Selain dampak negatif dari pernikahan dini, muncul

pernyataan positif dari beberapa partisipan bahwa pernikahan dini

membuat mereka merasa dilengkapi, merasa diterima masyarakat

(13)

“Senang mbak. Apalagi sekarang udah mau lahiran, jadi

nambah senang.” (P4. 139)

“Senang. Karena ada yang jagain. Lalu ada yang bantuin

apa-apa. Bantu ngurus anak dan urus rumah.” (P5.108)

“Kalau sekarang yang ngajak bicara itu ada istri.” (P6.46)

“Tetangga jadi lebih baik sama saya mbak, saya kan orang

pendatang. Yang dulunya mereka anggap saya aneh-aneh,

tapi karena saya sekarang sudah menikah, mereka lebih

menghargai saya. Saya juga beradaptasi dengan mereka

mbak.” (P4.169)

“Tapi positifnya kalau nanti anak saya lahir dan sudah

besar, sudah sekolah, saya masih sanggup mencari nafkah,

masih bisa kerja keras gitu mbak. Misal udah keluar dari

pabrik, saya masih kuat cari kerja lain.” (P4.199)

Tema 4: Dampak sosial pernikahan dini

Data penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini

menimbulkan dampak sosial bagi kehidupan remaja yaitu

(14)

Partisipan 2, 3, 4 dan 6 menyatakan bahwa pernikahan dini

menyebabkan mereka kehilangan masa muda karena sudah harus

mengurus keluarga di usia remaja. Berikut pernyataannya.

“Trus nggak bisa main sama teman-teman, nggak bisa

nongkrong. Nggak bisa nakal bersama. Tapi teman-teman

masih datang kesini untuk main burung Dara dirumah saya,

tapi jarang. Nggak kayak dulu. Karena udah ada keluarga

masing-masing.” (P2. 48)

“Ada perubahan yang dulunya suka bebas kemana-mana,

sekarang udah gak bebas lagi karena udah ada yang diurus.

Jadi harus penyesuaian diri lagi.” (P3. 155)

“Kalau negatifnya yang tadi, masa muda tidak puas

menikmatinya. Seharusnya usia segini kan kalau udah

dapat gaji maunya beli untuk main-main, beli baju atau yang

lain. Tapi karena saya sudah menikah, saya harus mikirin

keluarga.” (P4. 191)

“Ya mungkin risikonya kalau ada cewek lain pas masih

muda kan masih bisa lihat-lihat. Sekarang udah gak bisa.”

(15)

4.5 Pembahasan

1. Pernikahan dini disebabkan oleh faktor internal

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 6 orang partisipan,

ditemukan bahwa pernikahan dini disebabkan oleh faktor

internal dan eksternal. Faktor internal yang ditemukan adalah

keinginan diri sendiri untuk melakukan pernikahan, yaitu merasa

cocok, rasa takut apabila tidak memiliki pasangan hidup jika

menikah terlalu lama, merasa sudah siap untuk menikah dan

ketakutan terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

Penelitian ini menemukan bahwa pasangan remaja

mengaku sudah saling mencintai dan memiliki banyak

kesamaan sehingga mereka tertarik untuk membawa hubungan

mereka ke jenjang pernikahan. Hasil penelitian ini sesuai

dengan argumen oleh Dariyo (2003) tentang motivasi menikah

dini, cinta dan komitmen merupakan dasar utama pasangan

untuk menikah. Banyak pasangan yang melangsungkan

pernikahan karena memiliki kecocokan dan kesamaan minat.

Secara psikologis, remaja cenderung berfikir secara singkat

tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi berikutnya. Seperti

yang diungkapkan oleh Sanderowitz dan Paxman (1985) dalam

(16)

remaja berfikir secara emosional untuk melakukan pernikahan,

mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah.

Seluruh partisipan penelitian mengungkapkan bahwa

dalam mempersiapkan pernikahan, hal yang paling utama untuk

dipersiapkan adalah persiapan mental. Walaupun pada

akhirnya mereka belum mampu menghadapi masa pernikahan

secara mandiri. Menurut Dariyo (2003), kesiapan mental untuk

menikah mengandung pengertian kondisi psikologis emosional

untuk siap menanggung berbagai risiko yang timbul selama

hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi

keluarga, memelihara dan mendidik anak-anak dan membiayai

kesehatan keluarga. Kemudian Dariyo (2003) melanjutkan,

bahwa keadaan siap secara mental untuk menikah akan

membawa pasangan untuk menikah sesegera mungkin.

Sebanyak 3 dari 6 partisipan mengungkapkan

ketakutannya untuk terjebak ke dalam pergaulan bebas.

Menurut peneliti, keinginan coba-coba yang cenderung dimiliki

remaja memungkinkan remaja terjerumus ke dalam pergaulan

bebas. Sesuai dengan pernyataan Surjandi (2002), remaja

mengalami perubahan organ biologis sehingga remaja memiliki

(17)

Pernyataan ini didukung oleh literatur yang ditulis oleh Dariyo

(2003), dengan menikah mereka dianggap tidak melanggar

aturan dan norma masyarakat jika ingin melakukan hubungan

seksual. Selain itu, bertambahnya usia juga mendorong remaja

untuk segera melakukan pernikahan karena takut tidak memiliki

pasangan. Usia adalah salah satu hal yang memiliki peran

besar dalam pernikahan, sehingga partisipan takut apabila

usianya semakin bertambah, ia tak kunjung mendapatkan

pasangan.

Selain itu, peraturan yang berlaku di

perundang-undangan Indonesia juga seakan-akan membenarkan

pernikahan dini terjadi di kalangan remaja. Sesuai dengan

pernyataan Walgito (1984), pernikahan dini juga didukung oleh

isi perundang-undangan di Indonesia, pria yang berusia 19

tahun dan wanita yang berusia 16 tahun menurut

undang-undang dianggap telah mampu untuk menjalani kehidupan

rumah tangga. Usia-usia yang demikian jika dilihat dari sisi

psikologi pada umumnya masih digolongkan sebagai usia

(18)

2. Pernikahan dini disebabkan oleh faktor eksternal.

Selain faktor internal, pernikahan dini juga terjadi atas

dorongan dari faktor eksternal. Faktor eksternal yang

menyebabkan terjadinya pernikahan dini menurut hasil

penelitian disebabkan oleh dorongan orang tua, desakan

masyarakat setempat, masalah ekonomi serta rendahnya

tingkat pendidikan yang ditempuh.

Menurut Puspitasari (2006), orang tua khawatir terkena aib

karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki

sehingga segera mengawinkan anaknya. Sesuai dengan hasil

penelitian, orang tua menikahkan anaknya di usia remaja

karena takut terjadi kehamilan sebelum anaknya menikah. Hasil

penelitian tersebut didukung oleh UNICEF (2006) yang

mengungkapkan bahwa alasan orangtua menyetujui pernikahan

anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan akan terjadinya

kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk

mempererat tali kekeluargaan. Harapan orangtua terhadap

tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah menikah

menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia

(19)

Selain itu, terputusnya pendidikan dan permasalahan

ekonomi dalam keluarga membuat remaja tidak memiliki

pekerjaan sehingga mereka berfikir lebih baik untuk menikah di

usia remaja. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan

oleh Hairi (2009), bahwa yang menjadi latar belakang

perempuan menikah dini adalah faktor ekonomi keluarga yang

rendah. Selain itu, Puspitasari (2006) juga mengungkapkan

rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua,

anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan

mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.

Tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh 6 partisipan

penelitian adalah tingkat SD-SMA. Hal tersebut terjadi karena

orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya sehingga

disarankan untuk menikah dan akhirnya bekerja. Sesuai dengan

yang disampaikan oleh Darmawan (2010), seiring dengan

semakin meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dan

rendahnya kemampuan suatu keluarga dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, maka orang tua lebih memilih anaknya

untuk bekerja atau menikah sebelum mereka menyelesaikan

(20)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat

terjadi atas desakan masyarakat yang menginginkan pasangan

remaja segera memiliki hubungan yang sah. Apalagi jika

pasangan remaja belum menikah namun sudah sering

menunjukkan diri ke rumah pasangan, maka akan timbul

kecurigaan masyarakat terhadap pasangan tersebut. Maka dari

itu, pernikahan dini terjadi agar pasangan tersebut jauh dari

omongan negatif masyarakat. Di samping itu, ada dorongan dari

pihak lain atau bahkan diri sendiri untuk dilaksanakannya

pernikahan, karena pernikahan usia dini di lingkungan mereka

merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.

Hal ini didukung oleh pernyataan dari Homzah & Sulaeman

(2007), faktor sosial penyebab terjadinya pernikahan dini juga

berkaitan dengan pola relasi sosial antara remaja, yaitu

hubungan yang “bebas” dimana remaja diberi ruang untuk

mengekspresikan perasaan kasih sayang pada usia yang belum

dewasa secara sosial psikologis dalam kaitannya dengan usia

kawin yang “sehat”. Akibat dari pola relasi sosial demikian

remaja banyak yang terjebak ke arah hubungan yang

orientasinya pada kebutuhan biologis, yang ditampilkan dalam

(21)

pandangan orang tua dikatagorikan sebagai pergaulan yang

dikhawatirkan akan menjurus pada penyimpangan sosial.

3. Dampak pernikahan dini secara psikologis

Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan dampak negatif

pernikahan dini secara psikologis seperti kesulitan mencari

nafkah, konflik dengan mertua, ketidakmampuan untuk hidup

mandiri, merasa malu dan tidak dihargai serta pertengkaran.

Selain itu, ditemukan dampak positif dari pernikahan dini yaitu

merasa sudah lengkap, merasa diterima oleh masyarakat dan

merasa berguna bagi keluarga.

Menurut BKKBN (2004), pernikahan dini menimbulkan

persoalan ekonomi. Pasangan yang menikah pada usia muda

umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan

keterampilan, sehingga sukar mendapatkan pekerjaan dengan

penghasilan yang memadai, penghasilan yang rendah dapat

meretakkan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Berdasarkan

hasil penelitian, 3 dari 6 partisipan mengungkapkan kesulitan

dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga

setelah menikah. Maka dari itu, seluruh partisipan masih

meminta bantuan orang tua untuk tinggal bersama dalam satu

(22)

membuat P4 merasa malu dan tidak dihargai sebagai suami,

karena belum mampu menyediakan rumah dan dana yang

cukup untuk istrinya. Seperti yang diungkapkan oleh Adhim

(2002), masyarakat memandang pernikahan di usia muda

adalah sebagai pernikahan yang belum menunjukkan adanya

kedewasaan, yang secara ekonomi masih sangat tergantung

pada orang tua serta belum mampu mengerjakan apa-apa

(bekerja).

Kematangan sosial-ekonomi pada umumnya berkaitan

dengan usia individu. Semakin bertambahnya usia seseorang,

maka kematangan di bidang sosial ekonomi juga akan semakin

nyata. Bertambahnya usia seseorang berarti semakin

bertambahnya dorongan untuk mencari nafkah sebagai

penopang kehidupan, sehingga dalam pernikahan masalah

kematangan ekonomi perlu juga mendapat perhatian sekalipun

dalam batasan minimal (Walgito, 1984).

Berdasarkan hasil penelitian, P1 menyatakan bahwa

pernikahan dini menimbulkan konflik dengan mertua. P1

merasa terganggu akibat mertua yang terlalu sering

mencampuri urusan keluarga dan menggunjingkan hal yang

(23)

tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan mertua. Hal

ini didukung oleh teori yang dikemukakan Bruce (2000) bahwa

anak perempuan yang menikah dini juga menghadapi banyak

masalah fisik dan mental, termasuk kesulitan mereka dalam

mengatur aktivitas rumah tangga, mendapat tekanan dari

keluarga suami, frustrasi dan merasa dikucilkan. Selain itu,

terdapat stereotip tradisional mengenai ibu mertua menurut

Hurlock (1999) yang menimbulkan perangkat mental yang tidak

menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang

tidak menyenangkan mengenai orang usia lanjut adalah seperti

cenderung ikut campur tangan dan menimbulkan masalah bagi

keluarga pasangan. Hasil penelitian mengatakan bahwa

masalah yang sering muncul adalah permasalahan ekonomi.

Selain itu, pertengkaran antar suami-istri juga tidak

terlepas dari dampak pernikahan dini. Hal ini disebabkan karena

emosi seseorang dalam rentang usia 15-18 tahun tentunya

masih belum stabil, karena dalam rentang usia tersebut masih

tergolong dalam masa remaja dan belum mencapai tingkat

kedewasaan yang matang (Hurlock, 1980). Hal senada juga

diungkapkah BKKBN (2004), kedewasaan seseorang sangat

berhubungan erat dengan usianya, usia muda (12-19 tahun)

(24)

Selain itu, terdapat beberapa dampak positif yang

diungkapkan oleh beberapa partisipan penelitian. P4, P5 dan

P6 mengatakan bahwa menikah dini membuat dirinya merasa

lengkap atas kehadiran istri/suami dan anak, merasa diterima

oleh masyarakat karena bebas dari dugaan negatif dan merasa

berguna karena masih merasa mampu menafkahi keluarga

dimasa depan mengingat usia partisipan yang masih muda.

Menurut Monks (2001), pencapaian peran sosial sebagai pria

atau wanita yang telah menikah yaitu menjadi istri dan ibu atau

suami dan ayah yang baik. Peran sosial ini terbentuk mulai saat

kanak-kanak, seperti pada wanita dimana mereka didorong

untuk berperilaku feminin sejak mereka masih kanak-kanak.

Peran sosial ini biasanya diakui dan diterima oleh masyarakat.

Namun menurut peneliti, dampak positif yang ditimbulkan

dari pernikahan dini dapat diperoleh tanpa harus melakukan

pernikahan dini. Contohnya dengan menjalin relasi yang baik

antar teman sebaya dan tetangga, memaksimalkan potensi diri

di masa remaja, aktif berorganisasi di lingkungan sekitar, dan

menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga.

Secara biologis, sistem reproduksi remaja sudah mampu

(25)

belum sampai pada usia reproduksi yang sehat. Namun dari sisi

psikologis, usia remaja belum mampu menghadapi dampak

negatif yang akan muncul dari pernikahan dini, baik dari segi

penyesuaian seksual hingga faktor kedewasaan. Maka dari itu,

tidak hanya faktor biologis yang perlu dipersiapkan, namun

kematangan psikologis juga diperlukan dalam kehidupan

pernikahan. Seperti yang diungkapkan oleh Burgess dan Locke

(1960), faktor psikologis merupakan faktor yang lebih besar

mempengaruhi penyesuaian seksual dalam perkawinan

dibandingkan dengan faktor biologis.

Selain itu, Walgito (2000) mengungkapkan bahwa

kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang

dituntut dalam perkawinan, meliputi kematangan emosi,

toleransi, sikap saling pengertian akan kebutuhan

masing-masing pihak, dapat saling memberi dan menerima kasih

sayang, sikap saling mempercayai, adanya keterbukaan dalam

komunikasi serta kesiapan diri untuk lepas dari orang tua untuk

hidup mandiri.

4. Dampak sosial pernikahan dini

Berdasarkan hasil penelitian, 4 dari 6 partisipan

(26)

muda dan tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui

hal-hal baru. Hilangnya kesempatan untuk menikmati masa

muda menyebabkan remaja harus menjadi dewasa sebelum

waktunya. Diungkapkan oleh Monks (2001), remaja yang

menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan

mengalami masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri

dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek dan

masuk pada masa dewasa.

Menurut peneliti, pernikahan dini menyita hak remaja

dalam menjalankan tugas perkembangannya, salah satunya

yaitu mengembangkan kemampuan dan keterampilan

intelektual untuk hidup bermasyarakat dan untuk masa

depan (dalam bidang pendidikan atau pekerjaan). Seperti

yang diungkapan Mathur, Greene dan Malhotra (2003),

pernikahan dini menimbulkan konsekuensi terhadap

kehidupan, yaitu berkurangnya kesempatan, keahlian dan

dukungan sosial.

Adanya pernyataan dari P3 bahwa pernikahan juga

menimbulkan perubahan yang mengharuskan mereka untuk

menyesuaikan diri. Seperti yang diungkapkan oleh

(27)

proses yang panjang karena setiap orang dapat berubah

sehingga masing-masing pasangan harus melakukan

penyesuaian.

Perilaku remaja yang umumnya masih berfikir secara

impulsive (melakukan sesuatu tanpa memikirkannya terlebih

dahulu) menyebabkan pasangan pernikahan dini kesulitan

dalam menghadapi kehidupan pernikahan. Maka dari itu,

diperlukan penyesuaian dari pasangan untuk menunjang

proses psiko-sosial remaja yang menikah dini. Diungkapkan

juga oleh Hurlock (1999), masalah yang paling penting yang

pertama kali harus dihadapi saat seseorang memasuki

dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan

(istri maupun suaminya). Semakin banyak pengalaman

dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang

diperoleh di masa lalu, makin besar pengertian dan

wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam

Gambar

Tabel 4.2.1 Karakteristik Partisipan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Adapun hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa dari hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Niaga Semarang, Bapak Junianto, selaku Hakim Pengadilan Niaga Semarang

Ber- dasarkan hasil pengukuran, kandungan kalsium dalam perairan Waduk Cengklik 155,52-279,01 ppm, kondisi tersebut da- pat dikatakan masih cukup baik dan sesuai

By observing the class, giving questionnaire, interviewing the English teacher and teaching directly at the 7 th grade class, the writer could write the final

Bab ini berisi uraian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, penyidikan, serta analisa data mengenai perlindungan hukum terhadap tersangka anak dalam proses penyidikan. BAB III

masukan kepada Kepolisian mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. c) Tidak adanya lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaan diversi sehingga dikhawatirkan

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi ini dengan judul

Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman.

Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak