12
BAB II
LANDASAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN
1.1.
Kajian Teori
1. Teori Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan Hakim
Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat negara (pada MA RI) atau sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang untuk itu diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa perkara11.
b. Legal Reasoning/Examination
Berkaitan dengan hal itu, untuk menganalisis varian pertimbangan hakim terkait dengan kasus perkawinan antar pemeluk yang berbeda agama, landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) adalah Teori Argumentasi Hukum (Legal Reasoning). Legal Reasoning menurut fungsi memberi makna dalam dua frase bahasa Inggris, yakni
legal = hukum, dan reasoning = pertimbangan atas hukum. Jadi pengertian
legal reasoning adalah pertimbangan atas hukum yang dijadikan patokan (stelling) atau padanan (onderstelling), oleh aparatur institusi hukum dalam suatu kasus bagi kepentingan penuntutan dan putusan hakim
13
pengadilan berdasarkan hukum12. Berdasarkan makna pengertian legal
reasoning, maka teori argumentasi dalam putusan hakim terdapat dalam kekuatan putusan hakim.
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa suatu putusan mempunyai tiga macam kekuatan, yaitu:
1) Kekuatan untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang mentaatinya secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan kekuatan eksekutorial.
2) Putusan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta otentik menurut pengertian undang-undang, sehingga ia tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang
berperkara), tetapi juga kekuatan “ke luar”, artinya terhadap pihak ke
tiga dalam hal membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan pula di situ dan dijatuhkanya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.
3) Kekuatan untuk “menangkis” suatu gugatan baru mengenai hal yang
sama, yaitu bedasarkan asas “ne bis in idem” yang berati bahwa tidak
boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama. Agar supaya
“tangkisan” atau “eksepsi” tersebut berhasil dan diterima oleh hakim, adalah agar perlu perkara yang baru itu akan berjalan antara pihak-pihak yang sama dan mengenai hal atau hal-hal yang sama pula dengan
14
yang dahulu sudah diperiksa dan diputus oleh hakim dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap itu13.
Kekuatan putusan hakim ada tiga macam, yaitu: 1) Kekuatan mengikat (bindende kracht)
Putusan hakim yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa perkara dan menetapkan hak atau hukum atas dasar permohonan pihak untuk diselesaikan perkaranya di pengadilan. Oleh karenanya, pihak-pihak harus taat dan tunduk pada putusan, harus dihormati dan dijalankan sebagaimana mestinya. Jadi mempunyai kekuatan mengikat (bindende kracht). Suatu putusan hakim yang tidak bisa ditarik kembali walaupun ada verset, banding atau kasasi berarti putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasti), jadi sudah menimbulkan teori-teori yang mencoba memberi dasar-dasar kekuatan mengikat pada putusan itu.
2) Kekuatan pembuktian (bewijzende kracht)
Putusan hakim dituangkan dan dibuat dalam bentuk “akta otentik”. Maksudnya untuk bukti (pembuktian) dan sekalipun undang-undang tidak menyebut pihak ketiga, tetapi dalam yurisprudensi berlaku pula pada pihak ke tiga dari yang kalah, sedang tentang kekuatan pembuktianya memang mempunyai, yaitu mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak ketiga (pihak luar).
3) Kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)
Putusan hakim yang telah mempunyai alas hak (titel) eksekutorial
demi hukum otomatis menjadi sita eksekutorial. Sedangkan putusan itu
15
maksudnya menyelesaikan sengketa perkara dan menetapkan hak atau hukumnya, lain daripada itu juga realisasinya / pelaksanaan / eksekusinya dilasanakan secara paksa. Kekuatan mengikat saja belum cukup, jadi dapat dieksekusi, harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu : Kekuatan untuk dilaksakanya apa-apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara14.
2. Perkawinan
a. Menurut UU Perkawinan 1. Pengertian dan Tujuannya
Perkawinan dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Prakoso dan Murtika, masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan tetapi lebih dari itu, yaitu suatu ikatan / atau hubungan, lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita.15 Perkawinan merupakan bentuk hubungan yang sangat mulia, yang dimaksudkan menempatkan kebutuhan biologis sebagai proses untuk berkembang biak.
Definisi perkawinan menurut Prakoso dan Murtika, adalah : Perkawinan merupakan suatu ikatan yang
14 Op.cit 2000 hal 116-122.
15Djoko Prakoksa dan I Ketut Murtika. 1987. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
16
sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung-jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.16
Menurut Mukson, perkawinan menurut hukum Islam adalah sama dengan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan melalui perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakînah, mawaddah, dan rahmah. Menurut bahasa Indonesia pernikahan adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara “nikah”
dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan dan
perkawinan adalah sama. Nikah yang menurut bahasa berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.17
Perkawinan sebagaimana definisi di atas, adalah sebuah ikatan yang sah dalam rangka membina rumah tangga dan keluarga sejahtera. Suami maupun isteri, masing-masing mempunyai tanggung jawah dan amanah dalam mencapai keluarga dan rumah tangga yang bahagia. Tidak ada salah satu pihak yang berada di atas pihak yang lain, baik dari suami maupun isteri. Seorang isteri memiliki konsekuensi untuk mengalami kehamilan
16Ibid. hal 4.
17 Moh Mukson. 2013. Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
(Sebuah Refeksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan). Jurnal Bimas Islam, Vol.6. No.1 2013, hal.
17 dan melahirkan.
Untuk suatu perkawinan haruslah dimasuki dengan suatu persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa disertai oleh persiapan yang matang untuk melanjutkan proses penelusuran kehidupan, akan mengalami banyak kelemahan apalagi kalau cinta yang menjadi dasar suatu perkawinan hanyalah cinta yang bertolak dari pemikiran sederhana dan terjajah oleh dominasi emosional. Jadi untuk memasuki suatu perkawinan bukan hanya cinta saja yang dibutuhkan melainkan pemikiran yang rasional dan dapat meletakkan dasar-dasar lebih kokoh dari suatu perkawinan, sedangkan perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia.
Undang-undang R.I. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam pasal 1 yang berbunyi:
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Dari bunyi pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tersebut di atas, tersimpul suatu rumusan arti dan tujuan dari perkawinan, yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, sedangkan "tujuan" perkawinan dimaksud adalah: membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
18
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Perkawinan membentuk keluarga bahagia dan kekal (Pasal 1); 2) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
agamanya dan kepercayaanya itu (Pasal 2 ayat (1));
3) Perkawinan harus dicatat menurut hukum perundangan (Pasal 2 ayat (2));
4) Perkawinan berasas monogami terbuka (Pasal 3);
5) Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6);
6) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1));
7) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan (Pasal 39);
8) Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang (Pasal 31 ayat (1)). (Hilman Hadi Kusuma, 2007:6)
3. Syarat sahnya perkawinan
19 modern, adalah sebagai berikut:
a) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual. b) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan, di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c) Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d) Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-isteri itu
20
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, baik bagi pria maupun bagi wanita, yaitu sembilan belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita.
e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
f) Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu di dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
21
meletakkan syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Bab II pasal 6 hingga pasal 12 memuat syarat-syarat yang ketat bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Bab II pasal 6 hingga 12 memuat syarat-syarat perkawinan sebagai berikut18:
a) Persetujuan kedua belah pihak b) Izin orang tua-wali.
c) Batas umur untuk kawin. d) Tidak terdapat larangan kawin.
e) Tidak terikat oleh suatu perkawinan yang lain.
f) Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami-isteri yang sama yang akan dikawini.
g) Bagi janda telah lewat masa tunggu (tenggang idah). h) Memenuhi tata cara perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, syarat-syarat dalam perkawinan harus terdapat persetujuan kedua belah pihak. Artinya kedua belah pihak sepakat untuk melangsungkan perkawinan tanpa adanya unsur paksaan. Syarat kedua adalah adanya izin orang tua wali. Biasanya yang memerlukan izin wali adalah pihak mempelai perempuan. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah batas umur untuk kawin.
b. Perkawinan sebagai HAM berdasarkan PIAGAM PBB
Perkawinan merupakan Hak Azasi Manusia sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia tahun 1948
18 Lili Rasjidi. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:
22
pasal 16 ayat (1) dan (2). Berikut kutipan pasal 16 ayat 1 dan 2 Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia Tahun 1948;
(1) Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa ada pembatasan apapun berdasarkan ras, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal perkawinan, dalam masa perkawinan dan pada saat berakhirnya perkawinan.
(2) Perkawinan hanya dapat dilakukan atas dasar kebebasan dan persetujuan penuh dari pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.
Laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam perkawinan tanpa ada batasan perbedaan agama. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan dapat dilakukan atas dasar kebebasan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kelangsungan perkawinan tidak dapat dilakukan dengan tekanan dari pihak manapun, dan hal ini dilindungi oleh Deklarasan Universal Hak Azasi Manusia PBB tahun 1948.
Perbedaan agama tidak dapat digunakan untuk menghalangi hak seseorang untuk melangsungkan perkawinan, serta mempertahankan keyakinan dan agamanya. Hal ini juga ditegaskan dalam Deklarasan Universal Hak Azasi Manusia PBB tahun 1948 pasal 18, yaitu, ”setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.
23
melangsungkan perkawinan dan mempertahankan agama yang diyakininya, sebagaimana di tuangkan dalam pasal 28E, “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
1.2. Pembahasan
Dalam penelitian ini digunakan 3 putusan pengadilan yaitu No 115/pdt.P/2008/PN.Ska, No 04/pdt.P/2011/PN.Ska, dan No 421/pdt.P/2013/PN.Ska kesemuanya tentang izin melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama.
24
Tabel 2.1 Deskripsi putusan PN tentang izin melakukan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
1 Pemohon Indrijanto Kurniawan yang beragama
Islam (pemohon 1) dan Elisabeth
Victina yang beragama Katholik
(pemohon 2)
DJIAUW, PING SHEN yang beragama Kristen (pemohon 1) dan IPUNG INDR1YANI yang beragama Islam (pemohon 2)
Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik (pemohon 1) dan Nugroho
Endro Prastowo yang beragama
Kristen
2 Alasan/ Dalil
Pemohon mengajukan permohonan
1. Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta menolak
karena beda agama (Islam dengan Katholik),
2. Pemohon tetap pendirian
memegang keyakinan
masing-masing, acuan dasar hukum pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang- Undang Pokok Perkawinan Nomor : 1 Tahun 1974 jo pasal 35 huruf (a) Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta
penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 12 Januari 2011 nomor: 474.2/29/2011)
1. Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Surakarta menolak karena beda agama (Kristen dengan Islam)
2. Pemohon tetap pendirian memegang
keyakinan masing-masing, acuan dasar hukum pasal 21 ayat (3) dan
(4) Undang-Undang Pokok
Perkawinan Nomor : 1 Tahun 1974 jo pasal 35 huruf (a) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 12 Januari 2011 nomor: 474.2/29/2011)
1. Bahwa Para Pemohon telah
sepakat satu sama lain untuk melaksanakan perkawinan yang
rencananya dilangsungkan di
hadapan Pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta ;
2. Bahwa pada tanggal 02 September
2013 Para Pemohon telah
memberitahukan kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kota Surakana tentang akan
dilaksanakannya perkawinan
tersebut tetapi oleh karena beda agama yaitu Pemohon I beragama Katholik, sedangkan Pemohon II beragama Kristen maka oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakana
permohonan Para Pemohon
tersebut ditolak, dengan alasan
sebagaimana pokok tersebut
dalam ketentuan pasal 21 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan junto pasal 35 Undang Undang No.23 tahun
25
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Kependudukan, perkawinan
tersebut dapat dicatatkan setelah mendapat penetapan Pengadlan Negeri ;
3. Mengajukan Permohonan izin
kepada Pengadilan Negeri
Surakana yang mengacu pada Pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi
Kependudukan besena
penjelasannya;
4. Perbedaan agama tidaklah
menjadikan halangan untuk
melakukan perkawinan ;
3 Dasar Hukum Yg
Digunakan Hakim
1. Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
2. Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam
PBB tahun 1948
3. Pasal 66 UU Perkawinan Tahun
1974
4. Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
1. Ps 1 UU Perkawinan th 1974 juncto
Ps 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan th 2006,
2. pasal 21 ayat (3) dan (4) Undang-
Undang Pokok Perkawinan Nomor: 1 Tahun 1974
3. Undang- Undang Nomor : 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta
penjelasannya (vide Surat
Keterangan Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 12 Januari 2011 Nomor: 474.2/29/201 1 )
4. Undang-Undang Hukum Perdata,
Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1)
4. Berdasarkan pada Putusan MARI
no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama;
5. Pasal 35 UU No 23 Administrasi
26
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
4 Pertimbangan 1. Pemohon sepakat melangsungkan
pernikahan beda agama atas dasar cinta dan kasih sayang
2. Para Pemohon telah mengajukan
Permohonan Pencatatan Perkawinan secara Beda Agama tersebut di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak
3. Orang tua kedua pemohon telah
mengetahui, menyetujui dan telah memberi izin
4. Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
5. Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam
PBB tahun 1948
6. Pasal 66 UU Perkawinan Tahun
1974 bab XIV Ketentuan Penutup
7. Undang-Undang Hukum Perdata,
HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
1. Pemohon I, DJIAUW, PING SHEN
yang beragama Kristen dan Pemohon II IPUNG INDR1YANI yang beragama Islam yang masing- masing tidak berniat untuk
melepaskan keyakinan agamanya dapat melangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Tentang Perkawinan pada Pasal: 6 ayat (1) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan Pasal: 7 tentang usia perkawinan, maka Para Pemohon telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkan perkawinan;
3. perbedaan agama tidak merupakan
larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal: 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
1. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan tahun 1974
2. PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat
(2)
3. UU No 39 tahun 1999 tentang
Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1)
5. Pasal 35 UU No 23 Administrasi
27
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Tentang Perkawinan, maka merujuk pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a) Undang-Undang No: 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
4. Menimbang, bahwa dari fakta- fakta
yang terungkap di persidangan, Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia dan adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya termasuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal: 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memeluk Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ;
5. Undang-Undang Perkawinan No.l
Tahun 1974 dalam Bab XIV Ketentuan Penutup Pasal 66
28
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ) dan Peraturan - peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak berlaku ;
6. Pada Penjelasan Atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila
mengenai sesuatu hal
undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada;
7. Pengadilan berpendapat bahwa oleh
29
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
Para Pemohon bersikukuh tetap
5 Putusan 1. Mengabulkan permohonan Para
Pemohon untuk seluruhnya ;
2. Memberikan izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta :
3. Memerintahkan kepada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan penatatan perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut diatas ke da
lam Register PenCatatan
Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut;
4. Membebankan biaya permohonan
kepada Para Pemohon sebesar Rp. 116.000,- (seratus enam belas ribu rupiah) ;
1. Memberikan Izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di
[Cantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kola Surakarta
2. Memerintahkan Pegawai Pencatai
Perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kola Surakarta untuk
melangsungkan perkawinan antara
Pemohon I (INDRIJANTO
KURNIAWAN) sebagai Calon
Suami dengan Pemohon II
(ELISABETH VICTINA) sebagai Calon Isteri ;
3. Memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melakukan pencatatan Perkawinan
Beda Agama Para Pemohon
tersebut diatas kedalam Register
Pencatatan Perkawinan yang
digunakan untuk itu ;
4. Membebankan biaya permohonan
1. Mengabulkan permohonan Para
Pemohon untuk seluruhnya.
2. Memberikan Izin kepada Para
Pemohon untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama di
Kantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kota Surakarta.
3. Memerintahkan kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kota Surakarta
untuk melakukan pencatatan
Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.
4. Membebankan biaya pennohonan
30
No Item PUTUSAN PENETAPAN
No 115/pdt.P/2008/PN.Ska No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska No 421/pdt.P/2013/PN.Ska
ini kepada Para Pemohon , yang sampai saat ini diperhi tungkan
sebesar Rp. 49.000,-(sembilan
31
Dari tabel diatas dapat dibaca dan dimengerti bahwa :
1. Putusan ke-1 No 115/pdt.P/2008/PN.Ska menggunakan : a. Dasar hukum sebagai berikut :
1) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
2) Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948 3) Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974
4) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158)
b. Keputusannya adalah :
1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2) Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta;
3) Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan penatatan perkawinan beda agama para pemohon tersebut diatas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut;
c. Pertimbangan hakim yang digunakan adalah :
32
2) Para Pemohon telah mengajukan Permohonan Pencatatan Perkawinan secara Beda Agama tersebut di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tetapi ditolak 3) Orang tua kedua pemohon telah mengetahui, menyetujui dan telah
memberi izin
4) Pasal 8 UU Perkawinan tahun 1974
5) Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948
6) Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974 bab XIV Ketentuan Penutup
7) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
d. Kesimpulan
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan hakim dalam putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska sudah sesuai dengan hukum, akan tetapi di dalam pertimbangannya hakim dirasa masih kurang memperhatikan aspek sosialnya.
2. Putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska a. Dasar hukum yang digunakan :
1) Ps 1 UU Perkawinan th 1974 juncto Ps 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan Tahun 2006,
33
3) Undang- Undang Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya (vide Surat Keterangan Rekes dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 12 Januari 2011 Nomor: 474.2/29/201 1 )
4) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 )
b. Keputusan yang diambil :
1) Memberikan Izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan Perkawinan Beda Agama di [Cantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kola Surakarta
2) Memerintahkan Pegawai Pencatai Perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kola Surakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Pemohon I (INDRIJANTO KURNIAWAN) sebagai Calon Suami dengan Pemohon II (ELISABETH VICTINA) sebagai Calon Isteri ;
3) Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surakarta untuk melakukan pencatatan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas kedalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu ;
c. Pertimbangan yang dipakai sebagai berikut :
34
pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.
2) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat- syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal: 6 ayat (1) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan Pasal: 7 tentang usia perkawinan, maka Para Pemohon telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkan perkawinan; 3) perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal: 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, maka merujuk pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a) Undang-Undang No: 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan maka persoalan permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi weenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskannya;
35
5) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam pasal 8 huruf (f) yang mengatur larangan untuk melaksanakan perkawinan oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan Calon mempelai yang beda agama ; 6) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam Bab XIV
Ketentuan Penutup Pasal 66 menyatakan : Untuk Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang- Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ) dan Peraturan - peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak berlaku ; 7) Penjelasan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor: 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada;
36
dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama dimana Para Pemohon bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing, maka ketentuan- ketentuan dalam Stbl: 1898 No.158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam permohonan Para Pemohon;
d. Kesimpulan
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan hakim dalam putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska sudah sesuai dengan hukum. Didalam pertimbangannya hakim juga sudah melihat dari sisi sosial, yang dimana di dalam putusan ini hakim banyak memberikan pertimbangan dari aspek sosial.
3. Putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska a. Dasar hukum yang diganakan adalah :
1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974 2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2)
3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1) 4) Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama;
5) Pasal 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006 b. Keputusan yang diambil sebagai berikut :
37
2) Memberikan Izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan Perkawinan Beda Agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Catalan Sipil Kota Surakarta.
3) Memerintahkan kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon tersebut diatas ke dalam Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu.
c. Pertimbangan
1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974 2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2)
3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1) 4) Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama;
5) Pasal 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006 d. Kesimpulan :
Berdasarkan dasar hukum dan pertimbangan di atas, keputusan hakim dalam putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska sudah sesuai dengan hukum, akan tetapi pada putusan ini hakim sama sekali tidak memberikan pertimbangan pada aspek sosial.
1. Hasil Penelitian
38
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya keselarasan oleh masing-masing hakim dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan di dalam ketiga putusan tersebut. Menurut peneliti diantara ketiga putusan tersebut, pertimbangan pada putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska adalah yang paling tepat, dikarenakan di dalam putusan tersebut pertimbangan-pertimbangan hakim yang dipakai tidak hanya melihat dari aspek yuridisnya saja, akan tetapi hakim juga melihat dari aspek sosial.
Pertimbangan-pertimbangan hakim pada putusan PN No 04/pdt.P/20 11/PN.Ska, antara lain:
a. Pemohon I, DJIAUW, PING SHEN yang beragama Kristen dan Pemohon II IPUNG INDR1YANI yang beragama Islam yang masing- masing tidak berniat untuk melepaskan keyakinan agamanya dapat melangsungkan perkawinan di hadapan Pejabat pada Kantor Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta.
b. fakta-fakta sebagaimana terungkap dipersidangan dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat- syarat perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal: 6 ayat (1) tentang persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan Pasal: 7 tentang usia perkawinan, maka Para Pemohon telah memenuhi syarat materil untuk melangsungkan perkawinan; c. perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan
39
merujuk pada ketentuan Pasal: 35 huruf (a) Undang-Undang No: 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan maka persoalan permohonan perkawinan beda agama adalah menjadi weenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskannya ;
d. Menimbang, bahwa dari fakta- fakta yang terungkap di persidangan, Pemohon I dan Pemohon II sebagai Warga Negara Indonesia dan adalah berhak untuk mempertahankan keyakinan agamanya termasuk membentuk rumah tangga yang dilakukan oleh dua calon yang berbeda agama, hal mana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal: 29 Undang- Undang Dasar 1945 tentang kebebasan memeluk Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ;
e. Menimbang, bahwa Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 dalam pasal 8 huruf (f) yang mengatur larangan untuk melaksanakan perkawinan oleh dua calon mempelai yang berbeda agama dan secara tegas juga tidak mengatur perkawinan Calon mempelai yang beda agama ;
40
dan peraturan - peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang- Undang ini, dinyatakan tidak berlaku ;
g. Menimbang, bahwa pada Penjelasan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada;
h. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Pengadilan berpendapat bahwa oleh karena Undang -Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh umat yang berlainan agama dimana Para Pemohon bersikukuh tetap mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing, maka ketentuan- ketentuan dalam Stbl: 1898 No.158 tentang Peraturan Perkawinan Campuran dapat diterapkan dalam permohonan Para Pemohon;
41
hakim melihat lebih banyak dari aspek sosialnya dibandingankan pada putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska dan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska.
Peneliti menggunakan alasan tersebut karena menurut peneliti didalam putusan permohonan perkawinan beda agama, pertimbangan menggunakan aspek sosial dirasa lebih tepat dibandingkan pertimbangan yang tidak menggunakan aspek sosial melainkan hanya melihat dari aspek yuridis. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kepastian hukum tentang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
2. Analisis Pertimbangan Hakim dalam Memberi Izin untuk Melangsungkan Perkawinan Beda Agama
a. Terhadap dasar hukum yang digunakan
1) Undang-Undang Hukum Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158 ) dan Pasal 66 UU Perkawinan Tahun 1974
42
berbeda agama tidaklah dilarang dan dapat dilangsungkan di Catatan Sipil. Jadi tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar mereka yang berbeda agama itu dilarang.
2) Penggunaan dasar hukum Pasal 29 UUD 1945 dan Piagam PBB tahun 1948 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 10 ayat (1)
Hendak menunjukkan bahwa memeluk agama merupakan hak azasi manusia karena itu kebebasan memeluk dan mempertahankan agamanya adalah hak setiap orang, jika mereka-mereka ini akan kawin tidak harus dibatasi, sehingga penggunaan dasar hukum ini tidaklah keliru dan telah sesuai dengan hukum.
3) Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal ini memuat alasan-alasan larangan perkawinan. Pengaturan pada pasal ini harus difahami sebagai larangan yang sifatnya limitatif. Artinya larangan yang dituliskan di pasal ini tak boleh dilanggar. Sementara perbedaan agama di pasal ini termasuk yang tidak di larang karena tidak termasuk yang disebutkan. Bila melihat huruf f Pasal 8 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi perkawinan di larang antar orang-orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin, secara gramatikal tidaklah menunjuk pada perbedaan agama dilarang untuk melakukan perkawinan.
43
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah yang
dimaksud dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan”
adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama. Penggunaan dasar hukum ini adalah dalam rangka untuk menguatkan bahwa perkawinan oleh mereka yang berbeda agama tidaklah dilarang dan dapat ditetapkan oleh Pengadilan. Jadi tidaklah bisa dikatakan bahwa perkawinan antar mereka yang berbeda agama itu dilarang.
b. Terhadap pertimbangan hakim
44
perkawinan beda agama tidak dilarang oleh peraturan perundangan di Indonesia. Hakim-hakim tersebut menggunakan dasar hukum dan membuat pertimbangan berdasarkan pada dasar hukum yang komprehensif. Dasar hukum yang digunakan tidak hanya mengacu kepada satu sumber peraturan perundang-undangan, melainkan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan perkawinan beda agama melibatkan banyak institusi, seperti lembaga lintas keagamaan, pengadilan, PBB yang terkait dengan hak asasi manusia, administrasi kependudukan, dan lembaga masyarakat lainnya.
3. Perbedaan-Perbedaan Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim dalam Memberi Izin untuk Melangsungkan Perkawinan Beda Agama
Dasar hukum yang digunakan pertimbangan hakim dalam memberi izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama pada putusan PN No 115/pdt.P/2008/PN.Ska adalah:
45
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974; 2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2); 3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1); dan 4) Menimbang, bahwa hal ini juga didasarkan pada Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.
46
8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas perkawinan Calon mempelai yang beda agama; 5) Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Penjelasan Umum: Angka 5 menyebutkan "untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang- undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Perbedaan pertimbangan hakim yang terdapat dalam putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska dibandingkan putusan pertama dan kedua di atas adalah 1) Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tahun 1974; 2) PP No 9 tahun 1975 pasal 10ayat (2); 3) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 10 ayat (1); 4) adanya Putusan MARI no. 1400 K/ Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.
4. Persamaan dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memberi izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama
47
Perdata, HOCI Stbl. 1993 No.74 (Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke Stbl 1898 No. 158). Persamaan dasar hukum hakim yang terdapat dalam putusan PN No 421/pdt.P/2013/PN.Ska dibandingkan putusan pertama dan kedua di atas adalah Pasal 35 UU No 23 Administrasi Kependudukan tahun 2006.