EFEK EKSTRAK ETANOLIK BUAH LABU AIR
(Langenaria siceraria (Mol.) Standley) SEBAGAI IMUNOMODULATOR MELALUI PENGAMATAN KAPASITAS DAN INDEKS FAGOSITOSIS MAKROFAG PADA TIKUS JANTAN Sprague Dawley YANG DIPEJANI
DOKSORUBISIN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Maria Larizza Handoyo
NIM : 098114075
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
EFEK EKSTRAK ETANOLIK BUAH LABU AIR
(Langenaria siceraria (Mol.) Standley) SEBAGAI IMUNOMODULATOR MELALUI PENGAMATAN KAPASITAS DAN INDEKS FAGOSITOSIS MAKROFAG PADA TIKUS JANTAN Sprague Dawley YANG DIPEJANI
DOKSORUBISIN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Maria Larizza Handoyo
NIM : 098114075
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Jika yang lebih baik bagimu masih mungkin, mengapakah
engkau berhenti pada yang cukup?”
-(Mario
Teguh)-Skripsi ini aku persembahkan kepada : Mami, dan OOku, sebagai ungkapan rasa hormat dan baktiku karena telah menyerahkan segala waktu, tenaga, dan pikirannya untuk merawat dan mendampingiku terus bertumbuh.
Otniel Sanjaya, yang menghadirkan semangat dan kebahagian dalam hidupku. Sahabatku Vincentia Adelina serta almamaterku.
JESUS looked at them and said,
“With man this is impossible,
But with GOD all things are possible.”
vii PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Ekstrak Etanolik Buah Labu Air (Langenaria siceraria (Mol.) Standley) sebagai Imunomodulator melalui Pengamatan Kapasitas dan Indeks Fagositosis Makrofag pada Tikus Jantan Sprague Dawley yang Dipejani Doksorubisin” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari semua pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. CJ. Soegihardjo, Apt. sebagai Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan serta ilmu dalam penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Agustina Setiawati, S. Farm., Apt., M.Sc. sebagai Dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan serta ilmu dalam penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Phebe Hendra, Ph. D., Apt. sebagai Dosen Penguji atas pengarahan dan
kesediaannya menguji skripsi ini.
4. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt. sebagai Dosen Penguji atas pengarahan dan
kesediaannya menguji skripsi ini.
5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. sebagai Dekan Fakultas Farmasi
viii
6. Segenap dosen, laboran dan karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma.
7. Instalasi Tulip Rumah Sakit Dr. Sardjito atas kesediaanya menyediakan
doksorubisin untuk kepentingan penelitian ini.
8. Pimpinan dan staff LPPT UGM : Ibu Istini dan Pak Sutari yang telah
mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian serta membantu selama
masa penelitian.
9. Kelompok labu air (Vincentia Adelina Hariyanto, Joseph Singgih
Dwilaksono, dan Reza Eka Putra) terimakasih atas kesabaran dan kerjasama
yang telah dilewati bersama dalam penelitian ini
10. Sahabat-sahabatku, Christina, Vanny Christy, dan Yenny atas doa dan
dukungannya selama ini.
11. Teman-teman Farmasi kelas B angkatan 2009, serta teman-teman kos Difa
(Melantina Maria, Maretta Putri, Defillia Anogra, Oki Christina, Flavia
Norphina Sungkit, dan Galih).
12. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan saran dan kritik guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
Harapan penulis semoga penelitian dan penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
INTISARI ... xv
ABSTRACT ... xvi
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1.Permasalahan ... 3
2.Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan ... 5
1.Tujuan umum ... 5
x
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A.Kemoterapi dan Kemoterapi Kombinasi (Ko-Kemoterapi) ... 6
B. Doksorubisin ... 8
C. Respon Seluler dan Humoral Terhadap Sel Tumor ... 11
D. Makrofag ... 12
E. Imunomodulator ... 15
F. Labu Air (Lagenaria siceraria (Mol.) Standley) ... 16
G. Landasan Teori ... 18
I. Hipotesis ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21
C. Bahan Penelitian... 22
D. Alat Penelitian... 23
E. Tata Cara Penelitian... 24
1. Determinasi tanaman ... 24
2. Pembuatan ekstrak etanolik ... 24
3. Pembuatan sediaan... 25
4. Penyiapan hewan uji ... 25
5. Perlakuan hewan uji ... 25
6. Isolasi makrofag ... 26
7. Uji fagositosis makrofag dengan menggunakan latex ... 27
xi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
A. Hasil Determinasi Tanaman ... 30
B. Penetapan Kadar Air Serbuk Kering dan Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Labu
Air (Lageneraria siceraria) ... 31 C. Penetapan Dosis dan Lama Perlakuan Ekstrak Etanol Buah Lageneraria
siceraria... 33 D. Uji Fagositosis Makrofag ... 34
E. Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lagenaria siceraria) Terhadap Tikus Jantan Galur Sprague Dawley yang Dipejani Doksorubisin ... 38
1. Pengaruh ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) dosis 1000 mg/kgBB; 750 mg/kgBB; dan 500 mg/kgBB terhadap kapasitas fagositosis
makrofag pada hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin ... 43
2. Pengaruh ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) dosis 1000 mg/kgBB; 750 mg/kgBB; dan 500 mg/kgBB terhadap indeks fagositosis
makrofag pada hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin ... 47
3. Dosis efektif pemberian ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) terhadap peningkatan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag serta
xii
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 55
LAMPIRAN ... 60
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Perlakuan terhadap hewan uji... 26
Tabel II. Purata ± SE kapasitas fagositosis makrofag setelah pemberian
ekstrak etanol labu air dalam berbagai peringkat dosis... 38
Tabel III. Purata ± SE indeks fagositosis makrofag setelah pemberian
ekstrak etanol labu air dalam berbagai peringkat dosis... 39
Tabel IV. Hasil analisis uji Post-hoc LSD kapasitas fagositosis makrofag setelah pemberian ekstrak etanol labu air dalam berbagai
peringkat dosis... 41 Tabel V. Hasil analisis uji Post-hoc LSD indeks fagositosis makrofag
setelah pemberian ekstrak etanol labu air dalam berbagai
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur doksorubisin……… 8
Gambar 2. Struktur antrasiklin yang terkonjugasi dengan formaldehid:
doxoform (R=OH)……… 9
Gambar 3. Virtual cross-linking antara doksorubisin dan DNA..…………. 10 Gambar 4. Buah labu air………. 17
Gambar 5. Perbandingan morfologi makrofag tikus dengan pengecatan
Giemsa perbesaran 100x... 37
Gambar 6. Diagram batang kapasitas fagositosis tikus perlakuan ekstrak
etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) pada berbagai peringkat dosis... 43
Gambar 7. Diagram batang indeks fagositosis tikus perlakuan ekstrak
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Buah labu air... 61
Lampiran 2. Komposisi media tumbuh makrofag... 62
Lampiran 3. Data orientasi kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis
makrofag pada tiap kelompok kontrol………... 62
Lampiran 4. Analisis statistik kapasitas fagositosis pengaruh ekstrak etanol
buah labu air (Lagenaria siceraria) pada berbagai variasi dosis terhadap imunosupresan doksorubisin……….. 63
Lampiran 5. Analisis tatistic indek fagositosis makrofag pengaruh
ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) pada berbagai variasi dosis terhadap imunosupresan
doksorubisin……….. 66
Lampiran 6. Determinasi buah labu air (Langenaria siceraria (Mol.) Standley)……….. 69
xvi Intisari
Penggunaan doksorubisin sebagai agen kemoterapi dapat menimbulkan efek supresi sumsum tulang belakang, penurunan interleukin-2 (IL-2) dan produksi interferon-γ (INF-γ), sehingga produksi monosit mengalami penurunan yang diikuti penurunan produksi makrofag yang merupakan sistem imun seluler. Oleh karena itu perlu dikembangkan agen ko-kemoterapi untuk mengurangi efek imunosupresi dari doksorubisin salah satunya buah labu air (Langenaria siceraria) sebagai imunomodulator. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanolik buah labu air (Langenaria siceraria) terhadap kapasitas dan indeks fagositosis makrofag tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin..
Penelitian ini merupakan eksperimental murni. Sebanyak 25 ekor tikus
Sprague Dawley dibagi menjadi 5 kelompok : Kelompok I sebagai kelompok kontrol pelarut. Kelompok II sebagai kelompok kontrol doksorubisin. Kelompok III diberikan doksorubisin dan ekstrak labu air dosis 1000 mg/kg BB secara p.o. Kelompok IV diberikan doksorubisin dan ekstrak labu air dosis 750 mg/kg BB secara p.o. Dan kelompok V diberikan doksorubisin dan ekstrak labu air dosis 500 mg/kg BB secara p.o. Perlakuan dilakukan selama 15 hari terus-menerus kemudian diamati kapasitas dan indeks fagositosis makrofag. Data dianalisis dengan uji one way ANOVA taraf kepercayaan 95% yang dilanjutkan dengan uji LSD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanolik buah labu air (Langenaria siceraria) berpengaruh terhadap kapasitas dan indeks fagositosis makrofag pada tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin dimana dosis paling efektif pemberian ekstrak etanolik buah labu air untuk meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag, yaitu 1000 mg/KgBB.
Kata kunci : Langenaria siceraria, imunomodulator, kapasitas fagositosis,
xvii ABSTRACT
Doxorubicin, as chemotherapy, has immunosupresion effect such as bone marrow suppression, interleukin-12 (IL-12) depression, and interferon- γ (INF-γ) depression. The depression of monocyte productions followed by depression of macrophage productions which plays role as cellular immune system. Therefore, it’s need to develop co- chemotherapy to reduce doxorubicin’s immunosupresion effect by Langenaria siceraria fruits as immunomodulator. The objective of this study was to obtain information on the effect of ethanolic extract of Langenaria siceraria on the phagocytic capacity and phagocytic index of macrophages on
Sprague Dawley rats induced by doxorubicin.
This research design was experimental using one way randomized complete design. Each group was given doxorubicin 4,5 mg/Kg BW + ethanolic extract of Langenaria siceraria with dose of 1000 mg/Kg BW; 750 mg/Kg BW; 500 mg/Kg BW, solvent control group was given CMC Na 1%, and doxorubicin control group was given doxorubicin 4,5 mg/Kg BW. Treatment was given 15 days respectively and then it was continued by evaluating capacity and index phagocytosis of macrophages. Data were analyzed by one way ANOVA test with a confidence level of 95%, followed by LSD.
The result showed that administration of ethanolic extract of Langenaria siceraria has an effect on capacity and index phagocytosis of macrophages on
Sprague Dawley rats induced by doxorubicin with 1000 mg/Kg BW as the most effective dose to increase capacity and index phagocytosis of macrophages.
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Kanker disebabkan oleh sel abnormal dalam jaringan tubuh yang tumbuh
dan berkembang dengan cepat dan tak terkendali. Kanker merupakan penyakit
mematikan kedua di dunia setelah penyakit jantung. Peningkatan jumlah pasien
kanker di dunia sebanyak 6,25 juta setiap tahunnya. Data dunia menyatakan
bahwa sebanyak 11-12 juta orang saat ini merupakan pengidap berbagai jenis
kanker (Zuhud, 2011).
Penyembuhan kanker secara medis ditangani dengan kemoterapi, operasi,
dan radioterapi (Zuhud, 2011). Penggunaan agen kemoterapi sistemik tidak
selektif dan sangat toksik bagi jaringan lain yang normal. Selain itu, penggunaan
kemoterapi yang berkepanjangan dapat menyebabkan melemahnya sistem
imunitas tubuh dan menyebabkan pasien rentan terhadap penyakit dan infeksi
yang lain (Patel, Shukla, dan Gupta 2007). Doksorubisin merupakan salah satu
agen kemoterapi yang banyak digunakan dalam terapi kanker. Doksorubisin
merupakan antibiotik golongan antrasiklin yang banyak digunakan untuk terapi
berbagai macam jenis kanker seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker
tulang dan ovarium (Childs, Phaneuf, Dirks, Phillips, and Leeuwenburgh, 2002). Penggunaan doksorubisin dapat menimbulkan efek supresi sumsum tulang
belakang (Phillip, Garai, dan Valenzuela, 2006), penurunan interleukin-2 (IL-2)
2005) secara signifikan sehingga menyebabkan timbulnya leucopenia
(penurunan sel darah putih) (Anonima, 2007). Salah satu komponen sel darah
putih (leukosit) yang berperan dalam sistem imun seluler yaitu monosit. Monosit
yang meninggalkan sirkulasi darah kemudian mengalami perubahan-perubahan
dan menetap di jaringan yang disebut makrofag (Baratawidjaja, 2000). Makrofag
yang teraktivasi menjalankan fungsi fagositosis terhadap bakteria, protozoa dan
sel tumor dalam sistem imun non spesifik maupun berfungsi sebagai antigen presenting cells (APC) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Oleh karena itu, penggunaan doksorubisin sebagai agen kemoterapi dapat menyebabkan penurunan
sistem imun seluler yang disebabkan oleh penurunan produksi makrofag.
Dengan melihat efek imunosupresan dari penggunaan doksorubisin
tersebut, maka pengembangan agen antikanker dengan efek imunosupresan yang
rendah maupun agen kombinasi yang dapat menurunkan efek imunosupresan dari
doksorubisin masih perlu terus diupayakan. Salah satu agen kombinasi yang dapat
digunakan untuk mengurangi efek imunosupresan dari doksorubisin yaitu buah
labu air (Langenaria siceraria). Menurut Gangwal, Panmar, Gupta, Rana and Sheth. (2008) adanya kandungan terpenoid dan flavonoid yang diidentifikasi
merupakan asam oleanolat dan isoquersitrin pada ekstrak methanol fraksi
n-butanol dan etil asetat buah labu air (Langenaria siceraria) secara signifikan dapat meningkatkan total sel darah putih, neutrofil, dan jumlah limfosit. Menurut
Deshpande, Choundhari, Mishra, Meghre, Wadodkar, dan Dorle (2008), ekstrak
dipejani chemical stressor seperti pyrogallol (Deshpande, et al., 2008). Hal ini menunjukkan bahwa adanya kandungan terpenoid dan flavonoid pada ekstrak
buah labu air yang memiliki potensi sebagai imunomodulator.
Penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
entanol buah labu air pada sistem imun dengan mengkaji kemampuan fagositosis
makrofag melalui pengamatan kapasitas dan indeks fagositosis pada tikus jantan
galur Sprague Dawley yang sebelumnya telah dipejani doksorubisin, sehingga dapat diperoleh informasi penggunaan ekstrak entanol buah labu air sebagai
imunomodulator yang dapat digunakan sebagai ko-kemoterapi untuk mengurangi
efek imunosupresan dari penggunaan doksorubisin. Setelah diketahui efek ekstrak
etanolik buah labu air sebagai imunomodulator, hasil dari penelitian ini dapat
digunakan untuk melengkapi penelitian bersama mengenai ekstrak etanolik buah
labu air sebagai hepatoprotektor, kardioprotektor dan imunomodulator pada tikus
jantan galur Sprague Dawley yang sebelumnya telah dipejani doksorubisin.
1. Rumusan masalah
Dari uraian diatas, dapat ditarik rumusan permasalahan:
a. Apakah pemberian ekstrak etanolik buah labu air (Langenaria siceraria)
bepengaruh terhadap kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag
pada tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin?
b. Berapa dosis paling efektif pemberian ekstrak etanolik buah labu air
indeks fagositosis makrofag pada tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin?
2. Keaslian penelitian
Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan, penelitian mengenai
efek ekstrak etanolik buah labu air (Langenaria siceraria) sebagai imunomodulator melalui pengamatan kapasitas fagositosis dan indeks
fagositosis makrofag pada tikus Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin belum pernah dilakukan. Penelitian tentang labu air sebagai imunomodulator
yang pernah dilakukan adalah Efek Imunomodulator Buah Lagenaria siceraria pada Tikus (Gangwal, et al., 2008) dan Beneficial Effects of
Lagenaria siceraria (Mol.) Standley Fruit Eficarp in Animal Model (Deshpande, et al., 2008). Pada penelitian sebelumnya, dilakukan pengamatan buah labu air (Lagenaria siceraria) sebagai imunomodulator. Akan tetapi, pada penelitian Gangwal, et al. (2008) pengamatan efek imunomodulator ekstrak metanolik Lagenaria siceraria dengan induksi cyclophospamide dan pada penelitian Deshpande, et al. (2008) pengamatan efek imunomodulator ekstrak etanolik Lagenaria siceraria dengan induksi pyrogallol, sedangkan pada penelitian ini pengamatan efek imunomodulator ekstrak etanolik
3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui bahwa buah labu air
(Langenaria siceraria) dapat digunakan sebagai ko-kemoterapi untuk mengurangi efek imunosupresi pada penggunaan doksorubisin.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan menghasilkan sebuah bukti ilmiah yang
dapat menunjukkan pengaruh ekstrak etanolik buah labu air dalam
modulasi sistem imun sehingga dapat dijadikan dasar penggunaan tanaman
labu air (Langenaria siceraria) sebagai agen ko-kemoterapi.
B. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum
Menemukan alternatif ko-kemoterapi yang dapat digunakan untuk
mengurangi efek imunosupresi dalam terapi kanker.
2. Tujuan khusus
Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik buah labu air
6
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Kemoterapi dan Kemoterapi Kombinasi (Ko-Kemoterapi)
Penyembuhan kanker secara medis biasanya ditangani dengan kemoterapi,
operasi, dan radioterapi (Zuhud, 2011). Kemoterapi adalah pengobatan
sistemik kanker, yang sering digunakan sebagai terapi “adjuvant” pada pembedahan dan radiasi. Kemoterapi berarti menggunakan obat-obatan untuk
membunuh sel kanker. Agen kemoterapeutik bekerja dengan mempengaruhi
siklus hidup sel kanker sehingga dapat mengatasi penyakit metastatik atau
risiko tinggi kekambuhan (Marrelli, 2000).
Berbeda dengan pembedahan dan terapi radiasi yang bersifat lokal,
kemoterapi bersifat sistemik. Ada empat cara penggunaan kemoterapi:
1. Terapi adjuvant, merupakan suatu sesi kemoterapi yang digunakan sebagai tambahan terapi lainnya (misalnya pembedahan, radiasi, dan
bioterapi) dan ditujukan untuk mengobati mikrometastasis
2. Kemoterapi neoadjuvant, merupakan pemberian kemoterapi untuk mengecilkan tumor sebelum dilakukan pembedahan untuk pengangkatan
tumor
3. Kemoterapi primer, merupakan terapi untuk pasien dengan kanker lokal. 4. Kemoterapi kombinasi, pemberian dua atau lebih zat kemoterapi
sehingga pada pengobatan dapat memperkuat obat lainnya atau bertindak
Akibat penggunaan obat-obat kemoterapi ini maka menimbulkan kerusakan
pada sel tumor maupun sel normal. Kerusakan yang terjadi pada sel tumor
merupakan tujuan penggunaan obat kemoterapi.Kerusakan yang terjadi pada sel
normal memberikan manifestasi efek samping.
Pemberian kemoterapi membutuhkan waktu yang cukup lama.Biasanya
dinamakan dengan istilah siklus. Satu siklus terdiri dari masa pemberian obat,
yang biasanya bervariasi antara 1 -5 hari, yang setelah itu dilanjutkan dengan
masa istirahat (Leung, Miyashita, Young, and Tsao, 1993). Pemberian kemoterapi
dapat dilakukan sebanyak 4 – 8 siklus, sesuai dengan tujuan pemberian
kemoterapi tersebut (Feusner, 1996). Masa istirahat dalam satu siklus ditentukan
berdasarkan lamanya kejadian efek samping. Efek samping yang paling
ditakutkan adalah mielosupresi, yang akan pulih dalam waktu 21 – 28 hari paska kemoterapi (Leung, et al., 1993).
Siklus sel merupakan serangkaian kejadian yang menghasilkan mitosis
(replikasi DNA dan pembagian yang merata pada sel anakan). Sel normal dan sel
kanker mengalami siklus yang sama yang ditandai dengan fase: G0 (fase
istirahat/dorman), G1 (fase sintesis protein untuk menyiapkan fase S sintesis
DNA) dan D2 (fase untuk sintesis protein lebih lanjut dan mempersiapkan fase
M-mitosis dan pembelahan sel). Obat-obat kemoterapi aktif dalam melawan sel yang
membelah dalam tiap fase, kecuali pada fase G0. Agen kemoterapi akan
mempengaruhi sel-sel normal yang membelah termasuk sumsum tulang
(trombosit, sel darah merah dan putih), folikel rambut, mukosa saluran cerna, sel
Kemoterapi yang diberikan biasanya merupakan suatu kombinasi atau
yang biasa disebut dengan kemoterapi. Salah satu tujuan utama pemberian
ko-kemoterapi adalah untuk mencegah timbulnya sel kanker yang resisten serta
mengurangi toksisitas agen kemoterapi pada jaringan normal tanpa mempengaruhi
efektivitas dari agen kemoterapi (Meiyanto, 2012).
B. Doksorubisin
Gambar 1. Struktur Doksorubisin (Scalabrin, 2011)
Doksorubisin (Gambar `1) merupakan antibiotik golongan antrasiklin yang
banyak digunakan untuk terapi berbagai macam jenis kanker seperti leukemia
akut, kanker payudara, kanker tulang dan ovarium (Childs et al., 2002).
Mekanisme kerja doksorubisin melalui 4 cara, yaitu:
(1). Penghambatan topoisomerase II,
(2). interkalasi DNA yang mengakibatkan penghambatan sintesis DNA dan RNA,
(3). pengikatan membran sel yang menyebabkan aliran dan transport ion, dan
(4). pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal bebas oksigen melalui
proses yang tergantung besi dan proses reduktif yang diperantarai enzim
Doksorubisin merupakan prodrug yang dapat bersifat lebih sitotoksik
terhadap sel kanker dalam bentuk konjugatnya dengan formaldehid (doxoform)
(Gambar 2).
Gambar 2. Struktur antrasiklin yang terkonjugasi dengan formaldehid: doxoform (R=OH) (Scalabrin, 2011)
Adanya formaldehid (H2CO) in vivo, dapat mengaktivasi doksorubisin menjadi
lebih elektrofil sehingga membentuk ikatan kovalen dengan DNA (Cutts, et al., 2005). Doksorubisin mengkatalasi pembentukkan formaldehid (H2CO) pada
kondisi stress oxidative dalam kondisi buffer terkontrol. Adanya besi dalam tubuh memperantarai pembentukan radikal bebas sehingga doksorubisin dapat
memproduksi formaldehid (H2CO) dari karbon dalam sel seperti lipid. Terlebih
lagi, doksorubisin dapat berikatan dengan formaldehid membentuk konjugat di
mana dua molekul antrasiklin menjadi berikatan melalui tiga gugus metilen
Konjugat ini disintesis melalui reaksi antara antrasiklin (doksorubisin)
dengan formaldehid dalam larutan metanol dalam dapar asetat pada pH 6,
pembentukan doxazolidin (bentuk intermediet) diikuti pembentukan pembentukan
doxoform. Konjugat antrasiklin-formaldehid ini (Gambar 3) menunjukkan
peningkatan toksisitas terhadap sel tumor karena kemampuannya dalam
menginterkalasi DNA, membentuk ikatan kovalen antara gugus amino pada
doksorubisin dan 2-amino pada basa guanin pada DNA dihubungkan melalui
jembatan metilen dari formaldehid serta ikatan hydrogen pada 9-OH dari basa
guanin (Taatjes, Guadiano, Resing, and Koch, 1997). Secara keseluruhan kombinasi interkalasi, ikatan kovalen, dan ikatan hidrogen ini disebut dengan
virtual cross-linking DNA oleh antrasiklin (Taatjes, and. Koch, 2001).
Gambar 3. Virtual cross-linking antara doksorubisin dan DNA (Scalabrin, 2011)
Pada penggunaan doksorubisin banyak dijumpai efek toksik secara
imunologis. Hal ini disebabkan obat-obat sitostatik seperti doksorubisin akan
berefek pada sel-sel yang mengalami pembelahan sel secara cepat seperti sumsum
prekusor hemopoetik merupakan sel yang paling sensitif terhadap sitotoksisitas
dari doksorubisin (Uspenkaya et al, 2004). Oleh karena itu, pada penggunaan doksorubisin banyak dijumpai efek supresi sumsum tulang belakang
(myelosuppresi) (Anonima, 2007), kerontokan rambut, serta muntah-muntah.
Depresi sumsum tulang sangat memudahkan terjadinya infeksi karena
dapat menyebabkan neutropenia (penurunan sel darah putih), penurunan interleukin-2 (IL-2) dan produksi interferon-γ (IFN-γ) yang merupakan komponen
penting dalam sistem imun. Hal ini dapat menurunkan jumlah sel sitotoksik
natural killer (NK), proliferasi limfosit serta ratio limfosit T CD4+/CD8+ (Zhang
et al., 2005). Menurut hasil penelitian pada pasien penderita kanker paru-paru, neuropenia parah dan infeksi berkurang saat dibandingkan penggunaan
doksorubisin 20 mg per m2 setiap minggu dengan penggunaan doksorubisin 60
mg per m2 setiap 3 minggu sekali (31 % dengan 19%, p= 0,29) (Perry, 2008).
C. Respon Seluler dan Humoral Terhadap Sel Tumor
Respon imun merupakan hasil interaksi antara antigen dengan sel-sel
imunokompeten. Limfosit merupakan unit dasar terbentuknya respon imun karena
mampu berdiferensiasi menjadi sel lain serta berperan dalam mengenal sekaligus
bereaksi dengan antigen. Induksi limfosit T dalam respon imun hampir selalu
bersifat makrofag-dependent.Makrofag berfungsi untuk memproses imunogen dan
D. Makrofag
Makrofag terdistribusi di berbagai jaringan dan sinus cavity, seperti paru-paru (alveolar), otak (microglial), ginjal (masangial), tulang (osteoclast), hati (kupffer), limpa, dan lymphonode (marginal) sebagai sel bebas dan tetap. Makrofag mempunyai waktu hidup yang panjang dan aktif menfagosit dengan
granula lisosom yang berkembangbiak untuk degranulasi dan eliminasi sebagai
bagian dari mekanisme proteksi terhadap infeksi (Dasgupta, 1992).
Makrofag mempunyai fungsi tambahan saat pengenalan antigen terhadap
sel limfosit T dan aktivasi pada fase adaptive immunity. Fungsi tambahan makrofag yaitu meningkatkan pertemuan antara mikroba dengan sitokin saat
respon imun alami sedang berlangsung. Pada respon imun spesifik, makrofag
akan memfagosit antigen lebih efektif dengan bantuan sel limfosit T (Abbas and
Litchman, 2005). Fungsi terpenting makrofag adalah fagositosis atau pencenaan
seluler terhadap bahan yang mengganggu. Makrofag mempunyai sejumlah besar
lisosom yang berfungsi untuk mencerna bahan asing serta lipase yang dapat
mencerna membran lipid tebal pada bakteri tertentu (Campbell, Reece, and
Mitchell, 1999).
Bila bakteri menyerang tubuh, sumsum tulang dirangsang untuk
menghasilkan dan mengeluarkan netrofil dalam jumlah besar sebagai garis
pertahanan pertama (Handayani, 2009). Monosit mengikuti netrofil masuk daerah
infeksi dan membentuk garis pertahanan kedua. Monosit berasal dari sel induk
sumsum tulang, beredar sebentar kemudian masuk ke dalam jaringan untuk
menjadi makrofag (Ganong, 2002). Makrofag menelan dan membunuh kuman
melalui proses yang sama dengan netrofil (Handayani, 2009).
Proses fagositosis terjadi saat bakteri yang masuk ditangkap dan ditelan
dengan bantuan reseptor pada membran sel. Makrofag menonjolkan pseudopodia
ke semua arah di sekeliling partikel kemudian pseudopodia akan saling bergabung sehingga terjadi ruang tertutup berisi partikel yang difagositosis (Handayani,
2009). Apabila bakteri sudah ditelan, membran akan menutup, selanjutnya bakteri
akan digerakan ke sitoplasma sel dan terbentuk vesikel intraseluler yang
mengandung bakteri yang disebut fagosom. Sel fagosit mengandung enzim
lisosom yang akan bersatu dengan fagosom yang akan membentuk fagolisosom.
Fagolisosom ini akan memungkinkan terjadinya degradasi bakteri oleh enzim
yang terkandung dalam granul lisosom. Isi lisosom ini diperlukan untuk memecah
bakteri. Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II kemudian akan mengikat bakteri tersebut dan dikenal kepada T helper untuk mengaktivasi
limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Selain itu, makrofag berperan sebagai APC (Antigen Precenting Cell), yaitu proses pengenalan antigen kepada sel T. Makrofag sebagai APC ini akan
mengenalkan antigen kepada sel T kemudian mengaktivasinya melalui
mekanisme interaksi efektor sel T dengan makrofag. Proses ini akan
menghasilkan produk respon imun yang disebut sitokin dan akan mengaktivasi
Makrofag yang berperan dalam mekanisme lisisnya sel tumor, yaitu
makrofag aktif. Makrofag aktif merupakan makrofag yang diaktifkan oleh MAF,
suatu sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T yang distimulasi antigen. Makrofag
yang tidak aktif tidak memiliki kemampuan melisiskan sel tumor (Goodman,
1994).
Kapasitas fagositosis menunjukan persentase jumlah sel makrofag yang
aktif dari 100 sel makrofag , sedangkan indeks fagositosis menunjukan jumlah
rata-rata lateks yang dapat difagositosis oleh setiap sel makrofag yang aktif
(Jensch-Junior, Pressinoti, Berges and Silva, 2006). Faktor –faktor yang
mempengaruhi fagositosis makrofag:
a. Stres
Menurut hasil penelitian Tambunan (2006), pada pemberian stres berupa
renjatan listrik pada mencit betina BALB/c ternyata terbukti secara bermakna
dapat menurunkan kemampuan fagositosis makrofagnya. Adanya stres
melalui hormon katekolamin dapat menekan sintesis IL-12 dan meningkatkan
produksi IL-10.
b. Obat-obatan
Xu, et al. (1996) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa antibiotika golongan makrolida kecuali asitromisin secara signifikan menstimulasi
pertumbuhan dari sel fagosit.
c. Makanan
Menurut penelitian Susilaningsih ,Johan , Gunardi, dan Winarto (2005),
tubuh yaitu mempunyai efek meningkatkan proliferasi limfosit, meningkatkan
produksi IL-12 dan meningkatkan fagositosis.
d. Bahan asal bakteri
Endotoksin atau lipopolisakarida (LPS) adalah komponen dinding bakteri
Gram negative seperti E.coli, Shigella dan Salmonela yang dapat merangsang
proliferasi sel B dan sel T serta megaktifkan makrofag. Keterbatasan
pemakaiannya terutama disebabkan karena sifatnya yang imumogenik dan
pirogenik (Baratawidjaja , 2000).
E. Imunomodulator
Imunomodulator merupakan zat yang dapat memodulasi (mengubah atau
memengaruhi) sistem imun tubuh menjadi ke arah normal. Imunomodulator
terutama menginduksi pertahanan non spesifik (paramunitas) baik melalui
mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Induktor semacam ini bekerja
sebagai mitogen, yaitu menaikan proliferasi sel yang berperan pada
imunitas.Induktor paramunitas biasanya menginduksi sel makrofag, granulosit,
limfosit T dan B, untuk menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mekanisme
pertahanan spesifik maupun non spesifik biasanya saling barpengaruh (Widianto,
1987).
Obat golongan imunomodulator bekerja menurut tiga cara:
1. Imunorestorasi: merupakan suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem
imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun,
hyperimmune serum globulin (HSG), plasma dan transplantasi sumsum
tulang, jaringan hati, dan timus (Baratawidjaja , 2000).
2. Imunostimulasi / imunopotensiasi: cara memperbaiki fungsi sistem imun
dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut (Biological Response Modifier (BRM)) (Baratawidjaja , 2000).
3. Imunosupresi: suatu tindakan untuk menekan respons imun, kegunaannya di
klinik terutama pada transplantasi alat tubuh dalam usaha mencegah reaksi
penolakan dan pada penyakit autoimun untuk menghambat pembentukan
antibodi (Baratawidjaja , 2000).
F. Labu Air (Lagenaria siceraria (Mol.) Standley)
1. Klasifikasi taksonomi:
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Cucurbitales
Family : Cucurbitaceae
Genus : Lagenaria
Species : L. siceraria
Part used : Fruit, root, leaves and seed oil
2. Buah labu air sebagai imunomodulator
Gambar 4. Buah Labu Air (Belly, J., 2012)
Buah labu air (gambar 4) diketahui memiliki efek imunomodulator.
Menurut hasil penelitian Gangwal, et al. (2008) ekstrak metanol fraksi n-butanol dan etil asetat buah labu air (Langenaria siceraria) memiliki aktifitas imunomodulator karena dapat meningkatkan jumlah antibodi primer dan sekunder
serta mampu menghambat reaksi hipersensitivitas pada tikus. Kedua fraksi secara
signifikan dapat meningkatkan total sel darah putih, neutrofil, dan jumlah limfosit,
tetapi perubahan yang tidak signifikan pada monosit, eusinofil, dan basofil.
Campuran terpenoid dan flavonoid yang diisolasi dari ekstrak metanol fraksi
n-butanol dan etil asetat buah labu air diidentifikasi merupakan asam oleanolat dan
isokuersetin (Shah, Seth and Desai, 2010).
Flavonoid sebagai imunomodulator bekerja pada sel sel tubuh yang
menjadi bagian dari sistem imun. Mekanisme imunomodulator dari flavonoid
dapat melalui beberapa cara, yaitu:
(1). mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel, sehingga sel bekerja lebih
optimal,
(3). memperbaiki proses penguraian sel lain (Ma’at, 2009).
Flavonoid dapat memperbaiki sistem imun karena berpotensi terhadap
limfokin yang dihasilkan oleh sel T sehingga merangsang sel-sel fagosit untuk
meningkatkan aktivitas fagositosis (Kusmardi, Kumala, dan Triana, 2007).
Adanya kandungan asam oleanolat dalam ekstrak etanol labu air dapat
meningkatkan sekresi IFN-γ (Rios,2010) yaitu aktivator poten fagosit
mononuclear yang akan menstimulasi makrofag membunuh sel tumor dan
mikroba fagosit. Selain itu, adanya senyawa fenolik dapat menstimulasi pelepasan
sitokin IL-12 (Shen and Louine, 1999). IL-12 berfungsi merangsang produksi
IFN-γ oleh sel NK, sementara IFN-γ berperan dalam aktivasi makrofag
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Selain itu, hasil penelitian menggunakan ekstrak etanol labu air juga
menunjukkan hasil ekstraksi etanolik labu air mencegah penurunan respon imun
humoral, respon imun seluler, dan persen netrofil secara signifikan pada tikus
yang diinduksi dengan pyrogallol (Deshpande, et al., 2008).
G. Landasan Teori
Penyembuhan kanker secara medis dapat ditangani dengan kemoterapi,
operasi, dan radioterapi. Salah satu agen kemoterapi yang sering digunakan, yaitu
doksorubisin. Penggunaan doksorubisin dapat menimbulkan efek supresi sumsum
tulang belakang, sehingga menyebabkan timbulnya neuropenia (penurunan sel darah putih) demikian pula produksi monosit mengalami penurunan yang diikuti
terhadap sistem imun seluler. Oleh karena itu, perlu dikembangkan agen
ko-kemoterapi untuk mengurangi efek imunosupresi dari doksorubisin.
Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai imunomodulator adalah buah
labu air. Adanya kandungan asam oleanolat dan isokuersetin pada ekstrak
metanolik fraksi n-butanol dan fraksi etil asetat buah labu air dapat meningkatkan
total sel darah putih, neutrofil, dan jumlah limfosit secara signifikan (Shah, et al.,
2010). Selain itu, ekstrak etanol buah labu air dapat mencegah penurunan respon
imun humoral, respon imun seluler, dan persen neutrofil secara signifikan pada
tikus yang diinduksi dengan pyrogallol (Deshpande, et al., 2008). Oleh karena itu, pada percobaan diamati pengaruh pemberian ekstrak etanol buah labu air
terhadap tikus jantan Sprague Dawley yang dipejani doksorubisin terhadap kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag untuk mengetahui efek
imunomodulator ekstrak etanol buah labu air.
Hasil pengamatan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag
dari kelompok perlakuan Ekstrak Etanol Buah Labu Air (EELA) dibandingkan
dengan kelompok kontrol menggunakan uji statistik. Batas nilai yang dianggap
signifikan dalam penelitian adalah jika p<0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
Apabila EELA dapat meningkatkan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis
makrofag dibandingkan kontrol doksorubisin, menunjukkan EELA memiliki efek
imunomodulator pada tikus uji yang telah dipejani doksorubisin sehingga dapat
H. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori, dapat dihipotesiskan bahwa ekstrak etanolik
buah labu air dapat meningkatkan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis
21 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni karena
adanya perlakuan berupa pemberian ekstrak etanolik buah labu air terhadap
hewan uji. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian
acak lengkap pola searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel
a. Variabel bebas : dosis pemberian ekstrak etanolik buah labu air. b. Variabel tergantung : kemampuan ekstrak etanolik buah labu air untuk
meningkatkan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag.
c. Variabel pengacau terkendali : galur hewan uji, yaitu galur
Sprague Dawley, umur hewan uji 2–3 bulan, jenis kelamin jantan, berat badan 150 -300 g, jalur pemejanan doksorubisin secara intraperitonial dan
ekstrak etanolik buah labu air secara oral serta jenis pakan yang diberikan
pada hewan uji.
d. Variabel pengacau tak terkendali : kondisi patologis hewan uji.
2. Definisi Operasional
Ekstrak kental yang diperoleh dengan mengekstraksi serbuk kering buah
labu air (Langenaria siceraria (Mol.) Standley) dalam pelarut etanol 80% yang dibuat dengan proses remaserasi dengan perbandingan serbuk dan
pelarut 1:10. Filtrat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator hingga diperoleh bobot tetap.
b. Kapasitas fagositosis
Kapasitas fagositosis menunjukan persentase jumlah sel makrofag yang
aktif dari 100 sel makrofag (Jensch-Junior, et al., 2006). c. Indeks fagositosis
Indeks fagositosis menunjukan jumlah rata-rata lateks yang dapat
difagositosis oleh setiap sel makrofag yang aktif (Jensch-Junior, et al.,
2006).
C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama
a. Bahan uji yang digunakan, yaitu buah labu air (Lagenaria siceraria (Mol.) Standley) yang diperoleh dari Pasar Beringharjo.
b. Subyek uji yang digunakan yaitu tikus jantan putih galur Sprague Dawley
usia 2-3 bulan, berat badan 150-300 g yang diperoleh dari Laboratorium
Imono Fakultas Farmasi USD Yogyakarta.
2. Bahan kimia
a. Bahan penginduksi penurunan sistem imun yang digunakan adalah
doksorubisin, yang diperoleh dari PT. Genepharm
c. Pelarut untuk maserasi berupa etanol 80% yang diperoleh dari PT.
Brataco.
d. Pelarut untuk doksorubisin berupa cairan NaCl Fisiologis yang diperoleh
dari PT. Otsuka.
e. Bahan untuk mengukur kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis berupa
klorofom, coverslips bulat diameter 12mm, akuades, Roswell Park Memorial Institute Medium (RPMI 1640) (Sigma), alkohol 70%,
Phosphate Buffer Saline (PBS) steril, latex beads diameter 3 μm (Sigma Chem. Co), Giemsa 20%, Water for Injection (Otsuka, Indonesia), medium komplit yang terdiri dari RPMI 1640, Fetal Bovine Serum (FBS) (Gibco) 10%, Penisilin-Streptomisin 2% (Gibco) dan fungizon 1%
(Gibco).
D. Alat Penelitian
a. Pengujian kadar air serbuk kering buah labu air (Lagenaria siceraria)
Halogen moisture analyser (HG 53, Mettler- Toledo).
b. Pembuatan ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria)
Seperangkat alat gelas, yaitu gelas piala, gelas ukur, labu ukur, cawan
c. Pengujian kapasitas dan indeks fagositosis makrofag
Inkubator CO2 5%; 37oC (Heraeus), plate 24 well (Nunc), sentrifus
Eppendorf (Sorfall MC 12 V, Dupont), Eppendorf tube, Laminar Air Flow
(Labquib), hemositometer (Nebaeur), mikropipet (Eppendorf), neraca elektronik
(Sartorius), filter 0,22 μm (Sartorius), tabung sentrifus 15 mL (Nunc), spet injeksi
10 mL (Terumo), mesin Vortex, pipet Pasteur, yellow dan blue tip, Inverted Microscope (Olympus), mikroskop binokuler, lampu spiritus, pinset, gunting, tabung reaksi, dan alat-alat gelas yang telah disterilkan.
E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman
Determinasi sampel buah labu air yang digunakan berdasarkan
pengamatan ciri morfologinya dilakukan di Laboratorium Kebun Tanaman Obat
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Pembuatan ekstrak etanolik
Buah labu air yang didapat dari pasar Beringharjo dibersihkan dengan
cara dicuci dengan air mengalir, dikupas kulitnya, dipotong kecil – kecil, dibuang
bijinya kemudian dikeringkan, diblender dan dimaserasi dengan pelarut etanol.
Maserasi diulangi sebanyak tiga kali. Maserasi yang pertama dilakukan selama 2
kali 24 jam, kemudian disaring dengan penyaring Buchner sehingga diperoleh filtrat dan ampas. Ampas dimaserasi lagi selama 1 kali 24 jam. Ampas yang
diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator hingga tidak ada pelarut yang menetes lagi.
3. Pembuatan sediaan
Ekstrak etanol buah labu air dibuat suspensi dengan konsentrasi 15%
dalam CMC Na 1%.
4. Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan disiapkan, dan ditempatkan dalam kandang
berisi sekam dengan tutup kawat kasa selama 1 minggu untuk adaptasi.Setiap
kandang berisi lima ekor tikus. Kandang ditempatkan dalam ruangan ber AC
dengan suhu 20 – 25oC dan kelembapan udara yang tetap (± 50%), ventilasi
cukup dan dengan penerangan 12 jam sehari. Hewan uji diberi pakan pellet
AD-II (PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk), setiap satu kali sehari dan minum air kran secara ad libitum melalui botol yang diletakkan dibagian atas kandang.
5. Perlakuan hewan uji
Dua puluh lima ekor tikus yang telah diadaptasikan dibagi secara acak
dalam lima kelompok di mana tiap kelompok berisi lima ekor tikus. Perlakuan
(Tabel 1) dilakukan selama 15 hari terus-menerus.
a. Kelompok I sebagai kelompok kontrol pelarut senyawa uji (CMC-Na 1%)
2,5 mL setiap hari dari H1 hingga H10.
b. Kelompok II sebagai kelompok kontrol doksorubisin dengan dosis 4,5
mg/kg BB secara intraperitonial diberikan pada H11, H13, dan H15.
d. dari H1 hingga H10 serta doksorubisin dosis 4,5 mg/kg BB secara
intraperitonial pada H11, H13, dan H15.
e. Kelompok IV diberikan EELA dosis 750 mg/kg BB secara p.o setiap hari
dari H1 hingga H10 serta doksorubisin dosis 4,5 mg/kg BB secara
intraperitonial pada H11, H13, dan H15.
f. Kelompok V diberikan EELA dosis 500 mg/kg BB secara p.o setiap hari
dari H-1 hingga H10 serta doksorubisin dosis 4,5 mg/kg BB secara
intraperitonial pada H11, H13, dan H15.
Tabel 1. Perlakuan terhadap Hewan Uji
6. Isolasi makrofag
Isolasi makrofag dilakukan pada H19. Tikus dikorbankan dengan cara
inhalasi menggunakan kloroform, lalu dibaringkan telentang dan kemudian
kulit bagian perut dibuka dan dibersihkan selubung peritoniumnya dengan
alkohol 70%. Sebanyak 10 mL RPMI dingin disuntikan ke rongga peritoneum
tikus kemudian ditunggu tiga menit sambil digoyang-goyang agar makrofag
yang menempel di rongga tersebut dan di sekitar usus dapat terlepas dan
tersuspensi dalam RPMI
Cairan peritoneal dikeluarkan dengan cara menekan organ dalam
dengan kedua jari, cairan diaspirasi dengan tabung injeksi, dipilih bagian yang
tidak berlemak dan jauh dari usus. Aspirat disentrifugasi 1200 rpm 4oC selama
4 menit. Supernatan dibuang dan ditambah 3 mL medium komplit pada pellet
yang didapat. Jumlah sel dihitung dengan hemositometer, kemudian
diresuspensi dengan medium komplit sehingga didapat suspense sel dengan
kepadatan 5 x 106 /mL.
Suspensi yang telah dihitung kemudian dikulturkan pada plate 24
sumuran yang telah diberi coverslips bulat dengan diameter 12 mm, setiap sumuran berisi 1 mL. Sel diinkubasi dalam incubator CO2 5% pada suhu 37oC
selama 30 menit, lalu ditambahkan medium komplit 1mL/sumuran, diinkubasi
2 jam. Sel dicuci RPMI sebanyak 2 kali kemudian ditambah medium komplit
1mL/sumuran, dan inkubasi dilanjutkan sampai 24 jam.
7. Uji fagositosis makrofag dengan menggunakan Latex
Latex beads diameter 3 µm disuspensikan dalam PBS sehingga didapat konsentrasi 2,5 x 107 /mL. Makrofag peritoneum yang dikulturkan sehari
sebelumnya dicuci menggunakan RPMI sebanyak dua kali, kemudian
dalam inkubator CO2 5% 37oC. Sel dicuci PBS 3 kali untuk menghilangkan
lateks yang tidak terfagositosis. Dikeringkan pada suhu ruangan dan difiksasi
dengan methanol 30 detik, kemudian methanol dibuang dan coverslips
didiamkan sampai kering.
Setelah kering coverslips dipulas dengan Giemsa 20% v/v selama 30 menit kemudian dicuci akuabides dan dikeringkan pada suhu kamar.Makrofag
diamati dan dihitung jumlah makrofag yang memfagositosis partikel lateks dan
jumlah lateks yang difagositosis oleh makrofag. Pengamatan makrofag
menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Kemampuan fagositosis
makrofag dinyatakan dapal kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis.
Kapasitas fagositosis = x 100%
Indeks fagositosis =
(a) : Jumlah lateks yang difagosit oleh satu makrofag (b) : Jumlah makrofag yang memfagositosis
(c) : Jumlah makrofag yang diperiksa
(Jensch-junior, et al., 2006).
8. Perhitungan statistik
Data kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag dari tiap
kelompok uji selanjutnya diolah dan dilakukan analisa statistik menggunakan
SPSS 17.0. Data dinilai normalitas dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Jika distribusi data dinilai normal maka dilanjutkan ke uji hipotesis dengan uji one way analysis of variance (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Post hoc. Apabila distribusi data dinilai tidak normal maka uji hipotesis dilakukan
Batas nilai yang dianggap signifikan dalam penelitian adalah jika p<0,05
30 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan khasiat dari
ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebagai imunomodulator pada tikus jantan yang diinduksi doksorubisin melalui pengamatan kapasitas fagositosis
dan indeks fagositosis. Kemampuan fagositosis makrofag dapat dilihat dari
jumlah makrofag yang mampu memfagositosis partikel lateks selain itu
ditunjukkan pula dari jumlah lateks yang dapat difagositosis oleh makrofag. Data
yang diperoleh dari uji fagositosis dianalisis secara statistik menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas data, selanjutnya dilakukan analisis one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.
A. Hasil Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan bertujuan menetapkan kebenaran sampel
yang digunakan berkaitan dengan ciri-ciri morfologis tanaman berdasarkan
kepustakaan dan menghindari kesalahan dalam proses pengumpulan bahan.
Bagian tanaman yang digunakan dalam determinasi adalah bagian buah. Menurut
Stephens (2009), deskripsi buah labu air:
1. Berwarna hijau muda atau hijau tua, warna hijau tua dapat berupa warna hijau
2. Ukuran buah beragam mulai dari diameter 2 inci hingga 12 inci dan panjang
4 hingga 40 inci.
3. Buah dapat memiliki bagian leher yang steril (tidak berbiji) dangan panjang
hingga 15 inci dan lebar 1 hingga 2 inci. Bagian leher yang lebih lebar
biasanya berbiji dan memiliki tonjolan. Biji bervariasi mulai dari pipih
hingga bundar, silinder, atau panjang dan sempit.
Dari hasil determinasi dinyatakan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar
buah labu air (Lagenaria siceraria) dengan ciri – ciri berwarna hijau muda, panjang 14 inci, diameter leher 3 inci, diameter badan buah 5 inci, dan biji
berbentuk pipih dengan panjang 12 mm (Lampiran 1).
B. Penetapan Kadar Air Serbuk Kering dan Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lageneraria siceraria)
Pembuatan ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) menggunakan metode maserasi. Pertimbangan menggunakan metode maserasi
karena sterol dan flavonoid yang akan disari mudah larut dalam etanol 80% serta
proses serta peralatan yang digunakan sederhana. Maserasi digunakan untuk
penyarian simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam cairan penyari.
Pada penelitian ini akan dilakukan penyarian terpenoid dan flavonoid dari
simplisia dimana senyewa-senyawa tersebut mudah larut dalam etanol 80%. Pada
proses ekstraksi ini pelarut yang digunakan adalah etanol 80%. Penggunaan etanol
80% sebagai pelarut karena etanol memiliki perbedaan kepolaran yang kecil
dengan metanol 80% yang merupakan pelarut universal. Perbedaan kepolaran
senyawa terpenoid dan flavonoid yang terkandung di serbuk simplisia. Proses
maserasi yang dilakukan merupakan proses remaserasi. Proses remaserasi ini
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kondisi jenuh saat penyarian
sehingga proses penyarian senyawa dalam serbuk simplisia menjadi maksimal.
Sebelum dilakukan maserasi, simplisia dibuat serbuk terlebih dahulu
untuk memperkecil ukuran partikel simplisia labu air sehingga memiliki luas
permukaan partikel yang besar. Luas permukaan partikel yang besar ini akan
memudahkan kontak dengan pelarut sehingga ekstraksi dapat lebih maksimal.
Luas permukaan yang besar ini juga memudahkan partikel serbuk kontak dengan
lembab di udara. Adanya lembab dapat memicu tumbuhnya mikroba dan kapang
serta menyebabkan senyawa aktif mudah terhidrolisis. Oleh karena itu, serbuk
terlebih dahulu dihitung kadar airnya menggunakan metode gravimetri dan
dilakukan sebanyak tiga replikasi hingga didapatkan rerata kadar air sebesar
7,86%. Menurut Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan (1999),
persyaratan kadar air dalam serbuk simplisia yang baik adalah kurang dari 10%.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa serbuk kering buah L. siceraria telah memenuhi persyaratan serbuk simplisia yang baik.
Ekstrak cair yang didapatkan dari proses maserasi kemudian diuapkan
pelarutnya dengan menggunakan rotary evaporator. Penguapan pelarut dengan menggunakan rotary evaporator ini dilakukan sampai tidak ada lagi tetesan pelarut. Untuk lebih memastikan ada atau tidaknya pelarut yang terkandung dalam
esktrak kental, dilakukan pengeringan di oven sampai bobot tetap. Penyimpanan
C. Penetapan Dosis dan Lama Perlakuan Ekstrak Etanol Buah Lageneraria siceraria
Penelitian yang dilakukan bersifat preventif dimana hewan uji diberikan
ekstrak dengan berbagai dosis terlebih dahulu sebelum dipejani dengan
doksorubisin. Hewan uji dibagi menjadi lima kelompok sebagai kelompok kontrol
pelarut (CMC Na 1%), kontrol doksorubisin, dan perlakuan berupa variasi dosis
ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebesar 1000 ; 750 ; dan 500 mg/KgBB. Dosis doksorubisin yang digunakan sebesar 4,5 mg/KgBB. Tidak
digunakan kontrol ekstrak etanol buah labu air karena menurut hasil orientasi,
nilai kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis ekstrak etanol buah labu air dosis
1000 mg/kgBB hampir sama dari kontrol pelarut, namun menunjukkan hasil yang
jauh lebih tinggi dari kontrol doksorubisin (Lampiran 3.). Hal ini menunjukkan
ekstrak etanol buah labu air tidak memberikan pengaruh penurunan kapasitas
fagositosis dan indeks fagositosis pada tikus sehingga dapat diartikan kondisi
sama seperti normal.
Dikarenakan belum adanya penelitian sejenis, maka dipilih dosis ekstrak
etanolik buah labu air adalah sebesar 500 mg/kgBB, 750 mg/kgBB, dan 1000
mg/kgBB yang bertujuan sebagai skrining awal dosis efektif ekstrak etanol labu
air sebagai imunomodulator yang sebelumnya telah diinduksi dengan
doksorubisin. Peringkat dosis ekstrak etanol buah labu air ini diperoleh dengan
penambahan dosis, yaitu sebanyak 250 mg/KgBB. Dengan penambahan dosis ini
tidak dapat ditentukan dosis efektif (ED) ekstrak etanol buah labu air. Perlu
agar dapat ditentukan dosis efektif ekstrak etanol buah labu air dalam
meningkatkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag.
Lama pemberian ekstrak etanolik buah labu air adalah 10 hari. Penelitian
bersama ini bersifat eksploratif sehingga dapat mengetahui pemberian ekstrak
etanol buah labu air selama 10 hari dapat menimbulkan efek imunomodulator,
hepatoprotektor serta kardioprotektor akibat pemejanan doksorubisin. Menurut
hasil penelitian Gangwal, Parmar, and Sheth (2010) pemberian ekstrak metanolik
Langenaria siceraria selama 5 hari sudah dapat meningkatkan kemampuan fagositosis pada tikus melalui pengamatan carbon clearance. Pada penelitian selanjutnya lebih baik dilakukan orientasi lamanya pemejanan ekstrak etanol buah
labu air yang dapat menaikan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag paling
maksimal.
Pengambilan cairan intraperitonium dilakukan 4 hari setelah induksi
doksorubisin. Pengambilan sampel pada hari ke-4 setelah pemberian doksorubisin
terakhir dilakukan karena menurut hasil penelitian Kasianningsih (2011) sistem
imun hewan uji mengalami penurunan 4 hari setelah pemberian doksorubisin
terakhir.
D. Uji Fagositosis Makrofag
Pada penelitian ini sel makrofag diisolasi melalui cairan intraperitonial
karena menurut Rosanti (2005), sel makrofag pada cairan intraperitonial
jumlahnya lebih banyak (70%-95%) dibanding dengan organ limfa. Makrofag
Makrofag biasanya tergantung di dalam jaringan yang ditempati, oleh karena itu
biasa disebut fixed macrophage, tetapi pada cairan intraperitonial berada dalam bentuk bebas dalam cairan intraperitonium sehingga memudahkan dalam isolasi
makrofag (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Isolasi sel makrofag dari cairan
intraperitonium dilakukan dengan cara menyuntikan medium RPMI dingin ke
dalam rongga peritoneal kemudian dipijat-pijat agar sel makrofag terbawa dalam
RPMI kemudian cairan diaspirasi ke dalam spuit. Digunakan medium RPMI
dingin agar sel makrofag yang diisolasi tidak rusak, karena makrofag lebih stabil
pada suhu rendah (dingin). Medium RPMI merupakan medium pertumbuhan sel
yang mengandung asam amino, vitamin, dan garam-garam organik. Pada
penelitian ini juga digunakan medium komplit yang terdiri dari campuran medium
RPMI, FBS (Fetal Bovine Serum) yang merupakan serum untuk memacu pertumbuhan sel dan membuat sel bertahan lebih lama. Selain itu adanya
penisilin-streptomisin (penstrep) dan fungison yang berfungsi sebagai antimikroba. Pada
cairan peritoneum yang diisolasi, selain terdapat sel makrofag juga ditemukan sel-sel
lain seperti limfosit dan sel granulosit yang saling berdekatan sehingga sulit
dibedakan antara sel makrofag dengan sel lain. Kemampuan sel makrofag untuk
menempel pada coverslip membedakan sel makrofag dengan sel yang lain. Oleh karena itu, dalam percobaan digunakan coverslips sebagai tempat penempelan makrofag.
Perbedaan kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag antara
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dapat dilihat dari kemampuan sel
mengetahui sejauh mana kemampuan ekstrak etanolik Lagenaria siceraria
sebagai imunomodulator sehingga dapat digunakan sebagai agen ko-kemoterapi
pada penggunaan doksorubisin. Makrofag merupakan salah satu sel fagosit yang
berperan penting pada saat terjadi invasi oleh bakteri atau parasit. Latex tersebut berfungsi sebagai antigen, sehingga diharapkan makrofag tersebut dapat
memfagositosis latex. Setelah itu, dilakukan penghitungan makrofag yang memfagositosis latex berdasarkan hasil pengamatan mikroskop, yaitu mengamati makrofag yang menempel atau sudah memakan latex (Hutomo, Sutarno, Winarno, Kusmardi, 2005).
Dilakukan pengecatan Giemsa untuk memberikan warna pada sel
makrofag sehingga sel makrofag tampak berwarna keunguan sehingga mudah
diamati di bawah mikroskop. Sebelum diwarnai dengan Giemsa, sel difiksasi
dengan metanol absolut sehingga membran makrofag lebih terbuka dan zat warna
Giemsa lebih mudah masuk. Latex merupakan polystyrene yang tidak bereaksi dengan Giemsa sehingga partikel lateks tidak berwarna, penambahan metanol
memperkecil pori-pori latex sehingga akan mengkerut. Pengamatan menggunakan mikroskop memperlihatkan makrofag yang berwarna ungu dan latex yang berwarna putih (Gambar 5) sehingga dapat dibedakan antara latex dan sel makrofag yang difagositosis dan latex yang tidak difagositosis (Nie, Perry, Zhao, Huang, Kincade, Farrar, and Sun 2008). Kemampuan fagositosis sel makrofag
dapat dilihat dari kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis makrofag dimana
morfologi sel makrofag yang memfagositosis latex setelah dilakukan pengecatan Giemsa pada masing-masing kelompok perlakuan.
Gambar 5. Perbandingan morfologi makrofag tikus dengan pengecatan Giemsa perbesaran 100x
(a) : Latex berwarna putih (b) : Sel makrofag berwarna ungu
(c) : Partikel latex yang difagositosis oleh sel makrofag
Kontrol pelarut : kelompok tikus yang diberi CMC Na 1%, menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagososom. Kontrol doxo : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB
EELA 1000 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB
+ ekstrak etanolik buah labu air dosis 1000 mg/kgBB menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagosom. EELA 750 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB
+ ekstrak etanolik buah labu air dosis 750 mg/kgBB menunjukkan morfologi sel makrofag yang teraktivasi dengan membentuk kaki semu maupun fagosom EELA 500 mg/kgBB : kelompok tikus yang diberi doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB
E. Efek Imunomodulator Ekstrak Etanol Buah Labu Air (Lagenaria siceraria)Terhadap Tikus Jantan Galur Sprague dawley yang Dipejani
Doksorubisin
Pada penelitian ini dilakukan pembuktian terhadap efek imunomodulator
dari ekstrak etanol buah labu air (Lagenaria siceraria) sebagai agen ko-kemoterapi akibat induksi doksorubisin. Efek imunomodulator diamati melalui
peningkatan kapasitas dan indeks fagositosis setelah pemberian ekstrak etanol
labu air peringkat dosis tinggi, sedang dan rendah dibandingkan dengan kontrol
doksorubisin dan kontrol pelarut.
Tabel II. Purata ± SE Kapasitas Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis
Kelompok perlakuan n Purata ± SE (%) P
Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 1000 mg/kgBB
Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 750 mg/kgBB
Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
Tabel III. Purata ± SE Indeks Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis
Kelompok perlakuan n Purata ± SE P
Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 1000 mg/kgBB
Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 750 mg/kgBB
Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 500 mg/kgBB B : Berbeda bermakna
Kontrol pelarut dibuat untuk mengetahui nilai kapasitas fagositosis normal
dan indeks fagositosis normal sebelum diinduksi doksorubisin. Dari percobaan
(Tabel II dan III) diketahui rata-rata nilai kapasitas fagositosis kelompok kontrol
pelarut sebesar 50,08± 4,47 % dan rata-rata indeks fagositosis kelompok kontrol
pelarut sebesar 1,26 ± 0,27. Nilai kapasitas fagositosis dan indeks fagositosis ini
yang dijadikan patokan nilai normal untuk penelitian ini selanjutnya.
Doksorubisin merupakan salah satu agen kemoterapi yang dapat
menyebabkan penurunan sistem imun seluler sehingga digunakan kontrol
doksorubisin untuk mengetahui pengaruh penggunaan doksorubisin sebagai
imunosupresan melalui pengamatan penurunan nilai kapasitas dan indeks
fagositosis makrofag. Selain itu, kontrol doksorubisin juga digunakan sebagai
patokan dalam menganalisa efek imunomodulator dari ekstrak etanol labu air.
Menurut Herwandhani, Nagadi, dan Saktiningtyas (2011) dosis doksorubisin
toksik bagi tikus uji apabila diberikan dalam dosis tunggal, sehingga doksorubisin
diberikan dalam 2 kali pemberian yaitu 4,67 mg/KgBB. Penelitian bersama ini
digunakan dosis yang dapat menginduksi ketiga efek imunosupresan,
hepatotoksik, maupun kardiotoksik sehingga digunakan dosis yang lebih tinggi
berupa 3 kali pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB. Rata-rata nilai kapasitas fagositosis
kelompok kontrol doksorubisin sebesar 37,79± 3,19% dan rata-rata indeks
fagositosis kelompok kontrol doksorubisin sebesar 0,66± 0,05. Dibandingkan
dengan kapasitas fagositosis kontrol CMC Na 1% sebesar 50,08 ± 4,47 % maka
terlihat terjadi penurunan kapasitas fagositosis lebih kurang 0,75 kalinya
dibandingkan dengan kontrol pelarut. Indeks fagositosis bila dibandingkan dengan
indeks fagositosis kontrol CMC Na 1% sebesar 1,26 ± 0,27 maka terlihat adanya
penurunan indeks fagositosis lebih kurang 0,52 kalinya dibandingkan dengan
kontrol pelarut. Hal ini menunjukkan pemberian doksorubisin dalam 3 kali
pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB dapat menimbulkan efek imunosupresan melalui
penurunan nilai kapasitas dan indeks fagositosis. Meskipun pemberian
doksorubisin dalam 3 kali pemberian yaitu 4,5 mg/KgBB dapat menimbulkan
efek imunosupresan, dikhawatirkan penurunan sistem imun lebih baik pada 2 kali
pemberian dibandingkan dengan 3 kali pemberian. Oleh karena itu, pada
penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan orientasi dosis doksorubisin yang
dapat menurunkan kapasitas dan indeks fagositosis makrofag yang paling
Tabel IV. Hasil Analisis Uji Post-hoc LSD Kapasitas Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis
Kelompok
Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 1000 mg/kgBB
Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu
air dosis 750 mg/kgBB
Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah labu
air dosis 500 mg/kgBB BB : Berbeda bermakna; BTB : Berbeda tidak bermakna
Tabel V. Hasil Analisis Uji Post-hoc LSD Indeks Fagositosis Makrofag setelah Pemberian Ekstrak Etanol Labu Air dalam Berbagai Peringkat Dosis
Kelompok
Kelompok III : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 1000 mg/kgBB
Kelompok IV : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 750 mg/kgBB
Kelompok V : doksorubisin dosis 4,5 mg/kgBB + ekstrak etanolik buah
labu air dosis 500 mg/kgBB BB : Berbeda bermakna; BTB: Berbeda tidak bermakna
Dari hasil analisis statistik (Tabel IV dan V), adanya penurunan kapasitas
yang berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kelompok kontrol pelarut (CMC Na
1%) menandakan doksorubisin dapat menyebabkan penurunan jumlah makrofag
yang aktif memfagosit lateks. Hal ini dikarenakan pemberian doksorubisin akan
berefek pada sel-sel yang mengalami pembelahan sel secara cepat seperti sumsum
tulang (Phillip et al., 2006). Di antara sel sumsum tulang belakang, prekusor hemopoetik merupakan sel yang paling sensitif terhadap sitotoksisitas dari
doksorubisin (Uspenkaya et al, 2004). Oleh karena itu, pada penggunaan doksorubisin banyak dijumpai leucopenia (jumlah sel darah putih yang terlalu rendah) serta penurunan interleukin-2 (IL-2) dan produksi interferon-γ (IFN-γ)
yang merupakan komponen penting dalam sistem imun. Hal ini dapat
menurunkan jumlah sel sitotoksik natural killer (NK), proliferasi limfosit serta
ratio limfosit T CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005) yang juga menurunkan jumlah makrofag aktif dalam sistem imun.
Doksorubisin dapat menyebabkan penurunan jumlah makrofag yang aktif
memfagosit lateks, namun tidak diketahui seberapa besar penurunan kapasitas dan
indeks fagositosisnya akibat tidak adanya patokan nilai kapasitas dan indeks
fagositosis yang mengalami penurunan akibat doksorubisin. Pada penelitian
selanjutnya, sebaiknya dilakukan pengkajian ulang obat kemoterapi lain yang
dapat menimbulkan efek penekanan nilai kapasitas dan indeks fagositosis