• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011078 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011078 Full text"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN

PROACTIVE COPING

DENGAN RESILIENSI PADA ATLET

PEKAN OLAHRAGA NASIONAL (PON) 2016, SULAWESI SELATAN

OLEH ERIC JOHNATAN

802011078

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN

PROACTIVE COPING

DENGAN RESILIENSI PADA ATLET

PEKAN OLAHRAGA NASIONAL (PON) 2016, SULAWESI SELATAN

Eric Johnatan Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan kepada 69 atlet PON 2016 Sulawesi Selatan cabang olahraga basket, voli dan sepakbola. Metode pengumpulan data pada variabel proactive coping menggunakan skala The Proactive Coping (The PCS) yang dibuat oleh Greenglass (2002). Pada variabel resiliensi dengan menggunakan skala Resilience Scale for Athelete berdasarkan aspek-aspek oleh Subhan dan Ijaz (2012), yaitu self determination, physical toughness, emotional and maturity. Hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi Spearman Rho, rxy = 0.688; p = 0.00 yang berarti terdapat

hubungan positif signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet.

(9)

ii ABSTRACT

This study aims to investigate the relations of proactive coping to resilience in atheletes

National Sports Week 2016, South Celebes. This study was conducted to 69 atheletes National

Sports Week 201, South Celebes, branch of basketball,volley and football. The data collection

method on proactive coping uses The Proactive Coping Scale, revealed by Greenglass (2002).

Mean while, the data collection method on the variables of resilience uses Resilience Scale for

Athelete based on the aspects revealed by Subhan and Ijaz (2012), namely self determination,

physical toughness, emotional and maturity. The research resulted the correlation values of

Spearman Rho, rxy = 0,688; p = 0,00 which means there is a significant positive relations

between proactive coping and resilience in athelete.

(10)

1

PENDAHULUAN

Seorang atlet dituntut untuk memiliki performa yang baik dalam setiap pertandingan yang dijalankannya, khususnya dalam olahraga prestasi. Dalam menunjang performanya ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi (Gunarsa, 2004). Faktor yang pertama adalah faktor fisik yang terdiri dari stamina, kekuatan, fleksibilitas dan koordinasi. Jadi sangat penting untuk seorang atlet membentuk kondisi fisik yang baik seperti yang ditargetkan agar mampu menunjukkan performa yang baik. Faktor kedua, yaitu teknik, penampilan seorang atlet juga dipengaruhi oleh keterampilan khusus yang dimilikinya sesuai dengan cabang olahraga yang diikuti. Faktor yang ketiga adalah faktor psikologis, pengaruh faktor psikologis ini dapat bersifat langsung, misalnya karena ada ketegangan emosi yang berlebihan sehingga mempengaruhi seluruh penampilan atlet, ada pula faktor psikologis secara tidak langsung, misalnya sebelum pertandingan atlet mendapatkan telepon dari pacarnya, kemudian terjadi pertengkaran yang menegangkan aspek emosinya. Saat bertanding, kondisi emosinya akan bergejolak dan berpengaruh negatif terhadap penampilannya. Contoh lainnya seperti penggunaan peralatan yang diperlukan untuk bertanding seperti sepatu, baju, kaca mata, contact lens yang tidak nyaman, selain itu ada juga kondisi lingkungan atau lapangan tempat pertandingan dilaksanakan dan penonton dapat mempengaruhi faktor psikologis atlet baik secara negatif ataupun positif (Gunarsa, 2004).

(11)

2

disebabkan emosi yang menegang secara berlebihan dan ketidakmampuan atlet untuk mengelola emosi tersebut. Yang kedua, jika atlet memiliki regulasi emosi dan adaptasi yang baik, maka atlet tersebut dapat keluar dari tekanan dan menampilkan performa yang baik. Ketegangan berlebihan juga dapat diakibatkan dari kekalahan maupun cedera yang dialami seorang atlet. Ketegangan yang berlebihan ini dapat berakibat negatif bagi performa bahkan karir seorang atlet. Ketegangan tersebut bisa saja membuat atlet merasakan depresi dan kemudian menimbulkan konsekuensi negatif seperti alcoholism, narkotika, bunuh diri dan gangguan psikologis lainnya.

Kathy Love Ormbsy, seorang atlet favorit juara lari di pertandingan NCAA jarak 10.000 meter, ia diprediksi akan memenangkan pertandingan tersebut dengan mudah, namun ketika bertanding ia hanya mampu mendapatkan peringkat ke empat pada saat babak penyisihan dan harus keluar dari perlombaan. Setelah pertandingan Ormbsy memutuskan untuk bunuh diri dengan melompat dari atas jembatan (Baumeister, 1991). Santiago Lamela Tobio juga salah satu atlet atletik yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Santiago adalah atlet atletik pemegang rekor lompat jauh Eropa. Ia bunuh diri diusia ke 36 tahun akibat depresi karena proses pemulihan cedera tendon achilles yang tidak sesuai harapan (Pasaribu, 2014).

(12)

3

profesional pria. Ia dikenal sebagai orang yang tenang dan tidak emosional, namun dalam salah satu pertandingan besar, Sampras pernah berjuang untuk tampil tetap tenang karena sahabat lama sekaligus pelatihnya, Tim Gullkinson, saat itu tengah sekarat karena penyakit kanker. Sampras dikalahkan oleh musuh bebuyutannya Jim Courier di sepanjang pertandingan, namun menjelang akhir pertandingan Sampras mampu mengendalikan emosinya dan membalikkan keadaan, lalu menang atas Courier (Edgette & Rowan, 2011).

Mummery, Schofield dan Perry (2004) mengatakan bahwa, karir seorang atlet selalu mengalami fluktuasi, yang membuat seorang atlet akan merasakan kejayaan dari kemenangan dan juga derita dari kekalahan. Dua kondisi tersebut adalah contoh bagaimana individu merespon suatu masalah ataupun tekanan secara berbeda. Setiap atlet pernah mengalami tekanan maupun kegagalan, ada atlet yang mampu untuk bertahan bahkan mampu untuk mengatasi tekanan, namun beberapa atlet yang lain hanya mampu menyerah ataupun lari.

(13)

4

peringkat lebih baik dari PON 2012 sebelumnya yang berada diperingkat ketujuh dengan sembilan belas emas, tujuh belas perak dan dua puluh satu perunggu.

Persiapan atlet untuk merealisasikan target yang dibebankan telah diupayakan, namun menurut laporan koran Antara Sulsel (06 Maret 2015) persiapan tersebut masih memiliki banyak permasalahan, misalnya masalah sarana dan prasarana atlet, kesiapan fisik dan mental yang belum maksimal, serta hal-hal teknis dan non-teknis lain yang dapat mempengaruhi performa atlet. Selain itu faktor target tinggi yang dibebankan kepada atlet, dapat membuat atlet merasa tertekan dan tidak mampu menampilkan performa terbaiknya, karena setiap atlet PON Sulsel memiliki kapasitas masing-masing dalam mengelola tekanan yang datang, baik itu berhubungan dengan persiapan, pertandingan dan pelatihan ataupun hal-hal yang bersifat pribadi di luar PON XIX-2016. Hal-hal ini dapat menjadi faktor resiko yang menyebabkan tingkat resiliensi rendah pada atlet PON Sulsel.

Menurut Nixon (salah satu atlet Sulawesi Selatan cabang olahraga basket) persiapan PON kali ini sangat berat, untuk beberapa cabang olahraga unggulan khususnya ditargetkan untuk bisa memperoleh medali dan secara keseluruhan bisa memperbaiki peringkat umum. Tekanannya dirasakan tiap hari setiap latihan, apa lagi semakin mendekati hari kompetisi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sudah ada beberapa atlet yang berhenti ataupun mengundurkan diri dari pelatihan, kebanyakan mengaku karena tidak tahan dengan persiapan, masalah pribadi dan tekanan yang dirasakan serta cedera yang dialami sehingga mereka memutuskan untuk berhenti.

(14)

5

pertandingan cabang olahraga basket yang berlangsung di Pontianak tim masih menderita kekalahan tanpa mendulang kemenangan. Pada cabang olahraga sepakbola juga mengalami keadaan yang serupa, tim yang diproyeksikan untuk menjadi tim PON Sulsel dicukur 6-0 melawan tim nasional U-23 di Yogyakarta (12 Mei 2014).

Ada atlet yang mampu keluar dari tekanan dan ada yang tidak mampu bahkan mengalami dampak yang buruk karenanya. Salah satu pendekatan dalam psikologi menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengatasi suatu hal dalam kondisi negatif yang sama (Anthony, 1987). Resiliensi adalah salah satu moderator yang dapat membantu memahami mengapa satu individu dapat bereaksi negatif terhadap pengalaman negatif, sedangkan individu lain tidak mengalami masalah apapun meski menghadapi tekanan yang berat (Mummery dkk, 2004). Istilah resiliensi sering digunakan oleh pelatih dan media untuk menggambarkan respon dari atlet atau tim yang mengalami kejadian yang buruk, seperti cedera, performa yang buruk ataupun kekalahan (Galli & Vealey, 2008). Strumpfer (1999) merujuk resiliensi pada kemampuan atlet untuk mundur kembali, memantul kembali atau melanjutkan kondisi semula setelah terjatuh, meregang, atau melakukan kompresi setelah mendapatkan tekanan.

(15)

6

(persiapan, target/harapan, resiko untuk cedera saat bertanding atau latihan), pelatih, permasalahan atau masalah personal (Sarkar & Fletcher, 2014). Gangguan akan terjadi jika mereka tidak memiliki faktor pelindung yang melindungi mereka dari efek samping yang diberikan akibat stres (Galli & Vealy, 2008).

Atlet yang tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya dari tekanan, akan mendapatkan dampak yang berbahaya, seperti kasus Kathy dan Santiago yang berakibat kematian. Selain itu, ketidakmampuan tersebut dapat membuat seorang atlet menggunakan obat-obat terlarang, ataupun melakukan hal-hal yang berbahaya lain untuk meringankan tekanan yang dirasakan (Galli & Vealey, 2008). Beberapa atlet memiliki kesulitan untuk melakukan evaluasi atas dirinya sendiri setelah mengalami kekalahan, performa yang buruk ataupun cedera. Mummery, dkk (2004) menjelaskan bahwa resiliensi sebagai faktor yang melindungi atlet dan membuat atlet dapat kembali ke kondisi semula bahkan lebih baik dari sebelumnya, resiliensi dapat membantu mempersiapkan seorang atlet untuk kembali berkompetisi atau berpartisipasi pasca mengalami mengalami keterpurukan. Dari banyak pengertian berbagai tokoh, resiliensi adalah sebuah proses mental dan perilaku dalam meningkatkan kemampuan pribadi serta melindungi individu dari potensi efek negatif dari stressor (Fletcher & Sarkar, 2012).

(16)

7

menyelesaikan tugas, percaya diri, dukungan dari pelatih dan spiritualitas), physical toughness (persiapan, menyelesaikan pelatihan dan menjaga kesehatan/cedera) serta

emotional control dan maturity (kontrol emosi dan pemanfaatan emosi yang tepat di

dalam pertandingan).

Resiliensi seorang atlet dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor protektif yaitu, faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, suku dan ras (Barend, 2004); faktor kepribadian seperti perfeksionisme yang adaptif, daya saing, harapan, optimisme, proaktif (Sarkar & Fletcher, 2014); dan coping (Belem, Caruzzo, Junior, Vieira & Vieira, 2014), hal-hal ini dipercaya mampu mempengaruhi resiliensi seorang atlet secara positif.

(17)

8

Efek coping yang efektif dapat mengurangi beban dari tekanan yang berasal dari stres jangka pendek dan memberikan kontribusi untuk menghilangkan stres jangka panjang dengan membangun kekuatan yang menghambat atau mengatasi tekanan di masa depan (Synder, 1999 dalam Compton & Hoffman, 2013). Belem, dkk (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa atlet yang menggunakan coping style problem-focused, lebih dimungkinkan memiliki adaptasi yang lebih baik untuk

situasi stres dalam konteks olahraga. Respons pendekatan coping problem-focused tehadap stres adalah menghadapi langsung dengan stressor, mengurangi tekanan atau bahkan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi situasi yang mengakibatkan stres. Schwarzer (dalam Lopez & Snyder, 2003) menjelaskan salah satu coping style dalam pendekatan problem-focused yang menjadi positive coping adalah proactive coping. Proactive coping mengacu pada proses penyaringan lingkungan seseorang untuk stressor yang mungkin terjadi di masa depan dan upaya untuk mencegahnya (Owehand, de Ridder & Bensing, 2008).

Proactive coping diartikan sebagai upaya seseorang untuk menghadapi atau mengatasi situasi yang berpotensi mendatangkan tekanan sebelum tekanan itu terjadi. Proactive coping mencerminkan upaya seseorang untuk membangun kekuatan umum yang membantu individu mengubah tujuannya dan membantu pertumbuhan individu, serta disaat yang sama membantu indvidu lebih efektif dalam meredakan stressor. Dalam proactive coping individu memiliki pandangan ke depan dan melihat

(18)

9

Individu yang menggunakan proactive coping membangun kekuatan umum seperti kepribadian yang proactive untuk mengatasi stressor yang dialaminya (Greenglass, 2002). Individu tersebut cenderung tidak dibatasi oleh hambatan dan mampu mencapai perubahan yang efektif. Mereka mampu mengidentifikasikan dan memecahkan masalah, mencari peluang baru, bertindak dan bertahan hingga mereka mencapai perubahan, selain itu mereka juga menciptakan situasi yang menyebabkan kinerja yang efektif (Crant dalam Trifiletti dkk, 2009). Individu yang melakukan proactive coping memiliki kepercayaan bahwa ada banyak kemungkinan cara untuk

memperbaiki dirinya maupun lingkungannya (Greenglass, 2002). Greenglass (2002) menjelaskan bahwa proactive coping memiliki dua ciri, yaitu mencari tantangan dan pemecahan masalah serta mengatasi hambatan yang dihadapi.

Proactive coping membantu individu untuk menyiapkan diri dari masalah yang mungkin akan terjadi di masa depan. Proactive coping mampu membantu individu menjadi resilien dengan mengontrol stressor yang mungkin terjadi bahkan menurunkan distress. Proactive coping memungkinkan atlet untuk menerima kejadian yang mengakibatkan stressor (Owehand dkk, 2008). Fickova (2009) menjelaskan proactive coping memiliki beberapa keuntungan, yang pertama adalah proactive coping meminimalkan pengalaman stres selama situasi atau kondisi yang

menjadi stressor. Yang kedua, membuat perbandingan yang sama antara kekuatan coping dengan tingkat stressor, agar tekanan dapat diatasi sesaat setelah muncul dan

(19)

10

Proactive coping dipercaya memiliki hubungan dengan aspek-aspek resiliensi

dalam olahraga. Proactive coping membuat seorang atlet akan lebih percaya diri dan fokus akan tujuannya dalam menghadapi tekanan sehingga membentuk determinasi diri yang tinggi pada seorang atlet. Individu yang menjalankan strategi proactive coping akan berusaha menemukan dan memperbaiki kesalahannya (Covey dalam Machrus, 2001). Usaha untuk menemukan dan memperbaiki kesalahan ini dapat membantu seorang atlet melakukan persiapan dan latihan yang ketat untuk mengantisipasi tekanan yang akan mungkin akan terjadi, sehingga seorang atlet dapat meningkatkan resiliensi yang dimilikinya (Subhan & Ijaz, 2012). Proactive coping juga mampu membantu individu untuk mengontrol emosi (Kadhivaran & Kumar, 2012) dan meredakan perasaan marah saat tekanan tersebut muncul (Greenglass, 2002).

Stress management yang baik dapat membantu seorang atlet mengembangkan

(20)

11

Dengan banyaknya hambatan dan tekanan yang hadapi oleh atlet PON Sulsel sangat penting bagi mereka untuk memiliki dan meningkatkan resiliensi yang dimilikinya, sebagai upaya pencegahan efek negatif dari stress. Proactive coping diharapkan mampu untuk meningkatkan resiliensi pada seorang atlet. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan.

METODE Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional dan ingin mengukur korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 173 atlet PON 2016 Sulsel. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 69 atlet Pekan Olahraga Nasional 2016, Sulawesi Selatan cabang olahraga voli, basket, sepakbola. Cabang olahraga voli, basket dan sepakbola dipilih karena merupakan olahraga yang dinamis dan menuntut kesiapan fisik, teknik, taktik dan mental yang memadai, serta memiliki intensitas gerak yang tinggi sehingga meningkatkan resiko cedera pada atlet (Amanda, 2014). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling.

Alat ukur

The Proactive Coping Scale (PCS) adalah skala yang digunakan untuk

(21)

12

Likert yang terdiri dari 14 aitem dan menyediakan 4 pilihan jawaban mulai dari “sangat tidak setuju” sampai “sangat setuju”. Uji reliabilitas yang dilakukan oleh Greenglass pada 316 partisipan menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,86. Pengujian reliabilitas akan dilakukan lagi pada penelitian ini dengan menggunakan data yang didapat dari sampel ketika pengambilan data dilakukan (try out terpakai). Hasil uji daya diskriminasi aitem menunjukkan bahwa tidak ada aitem

yang gugur, dengan reliabilitas sebesar 0,970.

Resilience Scale for Athelete adalah skala yang digunakan untuk mengukur

(22)

13

HASIL Uji Asumsi

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan. Namun sebelum dilakukan uji korelasi, peneliti harus melakukan uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik parametrik atau non-parametrik yang akan digunakan untuk uji korelasi.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan skala proactive coping (K-S-Z = 1,297, p = 0,069, p > 0,05) dan resiliensi pada atlet (K-S-Z = 1,759, p = 0,004, p < 0,05). Hasil ini menunjukkan data proactive coping yang didapat berdistribusi normal dan data resiliensi tidak

berdistribusi normal.

2. Uji Linearitas

Hasil uji linearitas menunjukkan adanya hubungan yang linear antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet dengan deviation from

linearity sebesar F = 0,819 p = 0,679 (p > 0,05).

Analisa Deskriptif

Tabel 1. Statistik deskriptif skala proactive coping dan resiliensi pada atlet

No. Skala N Min Max M SD

1. Proactive

Coping 69 14 56 39,55 9,72

2. Resiliensi 32 128 87,35 19,00

(23)

14

ditentukan dengan menggunakan rumus interval dalam Hadi (2000). Tabel 2 dan 3 menunjukkan jumlah partisipan untuk setiap kategori pada masing-masing variabel.

Tabel 2. Kriteria skor proactive coping.

No. Interval Kategori F Persentas

e

Tabel 3. Kriteria skor resiliensi pada atlet.

No. Interval Kategori F Persentase

Hasil dari tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa secara umum tingkat proactive coping partisipan cenderung berada pada kategori tinggi dan sangat tinggi,

sedangkan tingkat resiliensi pada atlet cenderung berada pada kategori sedang.

Tabel 4. Kriteria skor proactive coping setiap cabang.

No. Interval Kategori Voli Basket Sepakbola

1. 47,6 ≤ x ≤ 56 Sangat tinggi 7 9 -

Tabel 5. Kriteria skor resiliensi pada atlet pada setiap cabang.

No. Interval Kategori Voli basket Sepakbola

1. 108,8 ≤ x ≤ 128 Sangat tinggi 3 4 -

2. 89,6 ≤ x < 108,8 Tinggi 12 14 10

(24)

15

Hasil dari tabel 4 dan 5 menunjukkan tingkat proactive coping dan resiliensi atlet pada masing-masing cabang olahraga.

Uji Korelasi

Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan, diketahui bahwa salah satu variebel yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan variabel-variabel penelitian linear maka uji korelasi dilakukan dengan menggunakan statistik non-parametrik. Uji korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Spearman rho. Tabel 4 menunjukkan hasil dari uji korelasi.

Tabel 6. Korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet RESILIENSI Spearman's

rho PROACTIVE Correlation Coefficient .688

*

Sig. (1-tailed) .000

N 69

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

Hasil dari uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan, dengan r = 0,688 dan p < 0,05. Hal ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) 2016, Sulawesi Selatan. Korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet berada pada kisaran 0,30 sampai 0,69

Sehingga dapat dikatakan proactive coping dengan resiliensi memiliki korelasi yang sedang (Jackson, 2006).

Sebagai data tambahan peneliti juga menguji korelasi antara proactive coping dengan ketiga aspek dari resiliensi pada atlet.

4. 51,2 ≤ x < 70,4 Rendah 6 3 12

5. 32 ≤ x < 51,2 Sangat rendah - - 1

(25)

16

Tabel 7. Hubungan proactive coping dengansetiap aspek resiliensi pada atlet.

determination 0,701** 0,000 0,4914 49,14%

Physical

(**) signifikan pada level 0,01.

PEMBAHASAN

Hasil uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan (rxy =

0,688; p < 0,05). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi proactive coping maka semakin tinggi resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan. Sebaliknya, semakin rendah proactive coping maka semakin rendah resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan.

Coping merupakan salah satu sumber resiliensi untuk meredakan stress (Taylor, 2003). Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Galli dan Vealey (2008) menyatakan bahwa seorang atlet yang memiliki coping yang baik lebih mampu untuk mencapai kesuksesan di dalam pertandingan, karena mereka mampu untuk menerima stressor. Coping memiliki hubungan yang signifikan dalam mengembangkan resiliensi (Kumpfer 1999). Penelitian yang dilakukan Steinhardt dan Dolbier (2008) menemukan jika coping meningkat maka resiliensi seseorang juga akan meningkat.

(26)

17

menjadi resilien (Galli & Vealey, 2008). Trifiletti, dkk (2009) menjelaskan bahwa individu dengan tingkat proactive coping yang tinggi cenderung relatif tidak dibatasi oleh hambatan situasional dan mereka mampu meraih perubahan yang efektif. Sedangkan individu yang memiliki tingkat proactive yang rendah akan cenderung pasif, kurang menunjukkan inisiatif, mengidentifikasi dan mengambil kesempatan untuk mengubah keadaan.

Greenglass & Fiksenbaum (2009) mengemukakan bahwa proactive coping berhubungan dengan optimism dan perasaan depresi yang rendah. Hal tersebut menurut Sarkar & Fletcher (2014) adalah faktor-faktor yang memiliki hubungan yang positif dan mampu meningkatkan resiliensi seorang atlet.

Tabel 7 menunjukkan hubungan proactive coping dan ketiga aspek dari resiliensi pada atlet. Proactive coping memiliki hubungan positif yang signifikan dengan aspek self determination (rxy = 0.701; p < 0,05). Trifiletti, dkk (2009)

menjelaskan bahwa proactive coping membantu seorang atlet untuk memiliki self determination yang baik, seperti, fokus, tekad, kepercayaan diri, perhatian, dan

mengambil sebuah keputusan secara cepat dan tepat. Menurut Sarkar & Fletcher (2014) pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, fokus, tekad, kepercayaan diri, perhatian mampu meredakan stress sehingga individu mampu beradaptasi dengan lingkungan atau stressor dan menjadi lebih resilien.

Self determination adalah salah satu pengaruh positif yang mampu menahan

stress dan tekanan dalam olahraga prestasi (Galli & Vealy, 2008). Proactive coping

(27)

18

sekitarnya dan akhirnya mempengaruhi resiliensi pada atlet (Sarkar & Fletcher, 2014).

Selain self determination, proactive coping memiliki hubungan positif signifikan dengan physical toughness (rxy = 0.631; p < 0,05). Greenglass &

Fiksenbaum (2009) menemukan bahwa proactive coping berhubungan dengan kesehatan dan kekuatan fisik yang lebih baik. Proactive coping menurunkan stress pada physical toughness, dalam proses penyembuhan cedera atau operasi sehingga membantu proses penyembuhan (Greenglass & Katter, 2013).

Tabel 7 juga menunjukkan proactive coping memiliki hubungan positif signifikan dengan emotional control and maturity (rxy = 0.677: p < 0,05). Proactive

coping dipercaya mampu membantu individu untuk mengatur emosinya, bahkan di situasi yang sangat menyebabkan stress (Burns dkk, 2006). Greenglass (2002) menyatakan bahwa proactive coping mampu meredakan perasaan marah yang timbul, hal ini mampu membantu atlet untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan. Kemampuan untuk mengatur emosi di situasi stressful membuat atlet menjadi lebih resilien (Greenglass & Katter, 2013).

(28)

19

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawasi Selatan, maka

dapat disimpulkan:

1. Ada hubungan positif yang signifikan antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawasi Selatan (rxy = 0,688; p < 0,05).

2. Atlet PON 2016, Sulawesi Selatan memiliki nilai mean proactive coping yang berada pada kategori tinggi dan nilai mean resiliensi yang berada pada kategori sedang.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memiliki beberapa saran sebagai berikut:

a. Bagi atlet

Bagi atlet yang memiliki resiliensi yang rendah dan bahkan sangat rendah disarankan agar meningkatkannya. Resiliensi dapat ditingkatkan dengan melakukan proactive coping sebagai usaha menurunkan stressor yang di hadapi atlet dan meningkatkan aspek-aspek resiliensi seperti self determination, physical toughness dan emotional control and maturity.

(29)

20

b. Bagi KONI Sulsel dan pelatih

Resiliensi yang dimiliki atlet PON 2016, Sulawesi Selatan sudah baik. Bagi pihak pengurus dan pelatih sebagai pihak yang bertanggung jawab mengenai kondisi setiap atlet dapat mempertahankan dan meningkatkan resiliensi pada atlet PON 2016 dengan cara memberikan pelatihan peningkatan resiliensi secara berkesinambungan, dan melakukan pelatihan pemecahan masalah dalam berbagai kondisi dalam pertandingan sehingga membuat atlet mampu mempersiapkan diri dalam berbagai macam kondisi pada situasi nyata.

c. Bagi peneliti selanjutnya

Kontribusi variabel proactive coping yang sebesar 47,33% terhadap resiliensi pada atlet PON 2016, Sulawesi Selatan bisa menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya dengan topik resiliensi pada atlet. Penelitian selanjutnya bisa meneliti variabel lain diluar proactive coping, seperti asal stressor, motivasi, kepribadian dan jenis kelamin untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel lain terhadap resiliensi pada atlet.

(30)

21

DAFTAR PUSTAKA

Amanda, K. W. (2014). Profil atlet yang pernah mengalami cedera pada atlet liga mahasiswa regional Jawa Barat. Universitas Pendidikan Indonesia.

Anthony, E. J. (1987). Risk, vulnerability and resilliance: An overview. In E. J. Anthony & B. Kohler (Eds.), The invulnerable child (pp. 3-48). New York: Guildford Press.

Azwar, S. (2001). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barends, M. S. (2004). Overcoming adversity: an investigation of the role of resilience constructs in the relationship between socioeconomic and academic factors and academic coping. Cape Town: University of the Western Cape. Baumeister, R. F. (1991). Meanings of life. New York: Guilford Press

Belem, I. C., Caruzzo, M. N., Junior, J. R. A. N., Vieira, J. L. L., & Vieira, L. F. (2014). Impact of coping strategies on resilience of elite beach volleyball athletes. Revista Brasileria de Cineantropometria e Desempenho Humano, 447-455.

Burns, A. B., Brown, J. S., Sachs-Ericksson, N., Plant, E. A., et al. (2006). Upward spirals of positive emotion and coping: Replication, extension, and initial exploration of neourochemical substrates. Personality and Individual Differences, 44, 360-370.

Compton, W. C., & Hoffman, E. (2013). An introduction to positive psychology. United State: Wadsworth.

Daniel. (Maret 6, 2015). Sulsel terkendala sarana jelang PraPON. Retrieved from http://www.antarasulsel.com/berita/62891/sulsel-terkendala-sarana-jelang-prapon.

Edgette, J. H., & Rowan, T. (2011). Psikologi olahraga: Winning the mind game. Jakarta: Indeks.

Fickova, E. (2009). Reactive and Proactive Coping with Stress in Relation to Personality dimensions in Adolescent. Studia Psychologica, 5, 149-160.

Galli, N., & Vealey, R. S. (2008). Bouncing Back From Adversity: Athletes’ Experiences of Resilience. The Sport Psychologist, 22, 316-335.

Greenglass, E. R. (2002). Chapter 3: Proactive coping. In E. Frydenberg (Ed.), Beyond coping; Meeting goals, vision, and challenges. London: Oxford University Press.

(31)

22

Greenglass, E. R., & Katter, J. K. Q. (2013). The influence of Mood on the relation between proactive coping and rehabilitation outcomes. Canadian Journal of Aging, 32 (1), 13-20.

Gunarsa, Singgih. D. (2004). Psikologi olahraga prestasi. Jakarta: Gunung Mulia. Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hoge, A. E., Austin, D.E., & Pollack, H.M. (2007). “Resilience: Research evidence and conceptual for posttrau-matic stress disorder”. Depression and Anxiety Vol. 24, 139-152.

Jackson, S. L. (2006). Research methods and statistics: a critical thinking approach. Belmont: Thomson Wadsworth.

Kadhiravan, S., & Kumar. (2012). Enhancing Stress Coping Skills Among College Students. Researchers World Journal of Arts, Science & Commerce, vol. III, Issue 4, 49-55.

Kumpfer, L. K. (1999). Factors and processes contributing to resilience: The resilience framework. New York: Acedemic

Lopez, S. J., & Snyder, C. R. (2003). Positive psychological assessment: A handbook of models and measures. Washington, DC: American Psychological Association.

Mahmmud, F. (Mei 12, 2014).Timnas U-23 Cukur Tim Pra Pon Sulsel. Retrieved from http://bola.liputan6.com/read/2048924/timnas-u-23-cukur-tim-pra-pon-sulsel.

Mummery,K. W., Schofield, G., & Perry, C. (2004). Bouncing Back: The Role Of Coping Style, Social Support And Self-Concept In Resillience of Sport Performance. Athletic Insight: The Online Journal of Sport Psychology, volume 6, Issue 3, 1-18.

Narayanan, A. (2008). The Resilient Individual: A Personality Analysis. Journal of the Indian Acedemy of Applied Psychology, Vol. 34, Special Issue, 110-118. Nyomba, A. (Desember 31, 2014). KONI Sulsel Pasang Target Tinggi I PON.

Retrieved from http://sports.sindonews.com/read/944192/51/koni-sulsel-pasang-target-tinggi-di-pon-141996579.

Ouwehand, C., Ridder, D. T. D., & Bensing, J. M. (2006). Situasional aspect are more important in shaping proactive coping behavior than individual characteristic: A vignette study among adults preparing for ageing. Psychology and Health, 809-825.

(32)

23

Prince-Embury, S., & Saklofske, D. H. (2013). Resilience in children, adolescents and adults: Translating research into practice. New York: Springer Science and Business Media.

Sarkar, M., & Fletcher, D. (2014). Psychological resilience in sport performers: a review of stressors and protective factors. Journal of Sport Sciences, Vol. 32, No. 15, 1419-1434.

Steindhardt, M., & Dolbier, C. (2008). Evaluation of a resilience intervention to enchance coping strategies and protective factors and decrease symptomatology. Journal of American Colleger Health, 54: 445-453.

Strumpfer, D. J. W. (1999). Psychosocial resilience in adults. Studia Psychologica,

41, 89–104.

Subhan, S., & Ijaz, T. (2012). Resilience Scale for Atheletes. FWU Journal of Social Sciences, Vol. 6, No. 2, 171-176.

Tarmizi, T. (September 24, 2012). Jumlah cabang olahraga PON 2016 akan diciutkan. Retrieved from http://www.antaranews.com/berita/334989/jumlah-cabang-olahraga-pon-2016-akan-diciutkan.

Taylor, S. E. (2003). Health Psychology. New York: McGraw-Hill

Trifiletti, E., Capozza, D., Pasin, A., & Falvo, R. (2009). A validation of the proactive personality scale. TPM, Vol. 16, No. 2, 77-93.

Tusaie, K., Dyer, J. (2004). Resilience: A historical review of the construct. Holistic Nursing Practice, 18 (1), 3–8.

Gambar

Tabel 1. Statistik deskriptif skala proactive coping dan resiliensi pada atlet
Tabel 2. Kriteria skor proactive coping.
Tabel 6. Korelasi antara proactive coping dengan resiliensi pada atlet
Tabel 7. Hubungan proactive coping dengan setiap aspek resiliensi pada atlet.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan perpaduan antara unsur budaya tradisional Shinto yang dekat dengan alam dan pengetahuan yang didapatnya didaratan Eropa, menjadikan Ando salah seorang arsitek master yang

1.2 Hal-hal yang diperlukan dalam penilaian dan kondisi yang berpengaruh atas tercapainya kompetensi ini adalah tempat uji yang merepresentasikan tempat kerja,

FCR pakan rata-rata adalah sekitar 0,00007 (Tabel 3), nilai FCR yang sangat kecil menunjukkan bahwa kebutuhan pakan untuk usaha budidaya tidak banyak karena tergantung

pengetahuan komunitas tersebut yang terkait dengan kesehatan.. seperti tv, radio, Koran atau

(stakeholder), oleh karena itu perlu adanya suatu pengukuran kinerja yang tidak hanya melihat aspek financial tetapi juga aspek non financial, akan tetapi kebanyakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh upah di daerah tujuan, status pernikahan, umur, pendidikan, dukungan keluarga, dan jumlah tanggungan

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Prosedurnya adalah setelah logam tembaga dibersihkan dari kotoran dan minyak, kemudian direaksikan dengan amonium sulphide dengan kosentrasi dan waktu tertentu pada