• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MATERIIL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KETENTUAN HUKUM PIDANA MATERIIL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN TINDAK PIDANA PERIKANAN DALAM UNDANG – UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG – UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

A. Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Perikanan di Indonesia Sebelum Lahirnya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

1. Peraturan yang berasal dari zaman penjajahan

Sebelum Negara kita mempunyai peraturan perikanan nasional, berlaku peraturan-peraturan yang berasal dari zaman penjajahan Belanda, yaitu :

33

a) Algemeine regelen voor het visschen naar Parelschelpen,

Parelmoerschelpen, Teripang en Sponesen binnen de afstand van niet meer dan drie Ealeshe zeemijlen de kusten van Nederlandsch Indei (Staatsblad Tahun 1916 Nomor 157).

b) Visscherrij Bepalingen ter Bescerming van de Vitschsstand (Staatsblad tahun 1920 Nomor 396).

c) Algemeene Regeling voor de Visscherij beinnen het zeegebied van ne derlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 144).

      

33

Gatot Supramono, op. cit., hal 6.

(2)

d) Algemeene regelen voor de jacht opwalvisschen binnen den afstand van drie zemmlijlen van de kusten van Nederlandsch Indie (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 145).

e) Ketentuan mengenai perikanan dalam Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Staatblad Tahun 1939 Nomor 442), kecuali ketentuan-ketentuan yang menyangkut acara pelaksanaan penegakan hukum di laut.

Setelah Indonesia Merdeka peraturan-peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 karena sepanjang peraturan yang baru belum dibentuk, peraturan yang lama masih berlaku.

2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan

Bangsa Indonesia baru memiliki peraturan perikanan nasional setelah negaranya merdeka selama 40 tahun, dan hal itu termasuk kurun waktu yang relatif lama. Peraturan tersebut dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diberlakukan mulai tanggal 19 Juni 1985 yaitu sejak saat undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1985 No. 46 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3299.

Dengan diberlakukannya UU Perikanan tersebut maka peraturan- peraturan perikanan yang berasal dari zaman penjajahan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi.

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

(3)

Setelah berjalan lebih kurang 8 (delapan) tahun, Undang-Undang Nomor 9 Tahun diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan 2004) yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2004 No. 118 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4433, dan diberlakukan mulai tanggal 6 Oktober 2004. Adanya penggantian undang- undang tersebut dilakukan dengan alas an bahwa UU Perikanan yang lama belum menanmpung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan.

Selain itu penggantian undang-undang juga merupakan konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of Sea 1982 yang menempatkan Negarra RI memiliki hak untuk memanfaatkan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengkehendaki

terjaminnya penyelenggaraan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal

dan berkelanjutan yang diikuti dengan peningkatan peran pengawasan dan

peran serta masyarakat. Di bidang penegakan hukum dibentuk pengadilan

khusus mengenai perikanan dengan hakim yang khusus untuk mengadili

perkara tersebut. Demikian pula diatur pula pejabat yang berwenang di

(4)

tingkat penyidikan dengan penyidik khusus dan di tingkat penuntutan dengan penuntut umum khusus di bidang perikanan.

4. Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah UU Perikanan 2004 diberlakukan, negara kita mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan, maka Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan 2009) yang diundangkan tanggal 29 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara No.5073 dan berlaku sejak saat diundangkan.

Perubahan UU Perikanan 2004 ini dilakukan karena pada

kenyataannya undang-undang tersebut mempunyai kelemahan yang meliputi

3(tiga) aspek, yaitu aspek manajemen pengelolaan, aspek birokrasi, dan aspek

hukum. Untuk aspek manajemen pengelolaan pengelolaan perikanan anatara

lain belum terdapatnya mekanisme koordinasi antara instansi yang terkait

dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan aspek birokrasi, antara lain

terjadinya perbenturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Kelemahan

yang terjadi pada aspek hukum, antara lain masalah penegakan hukum,

rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relative pengadilan negeri

terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar kewenangan

pengadilan negeri tersebut.

(5)

Adapun mengenai perubahan yang diatur di dalam UU Perikanan 2009 yaitu meliputi, pertama mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi pidana (pidana penjara atau denda), hukum acara terutama mengenai batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan negara RI.

Untuk yang kedua, masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhan perikanan dan konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran, dan yang ketiga mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan negara RI.

B. Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Perikanan Sebagaimana Diatur Dalam Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.

Beberapa macam tindak pidana di bidang perikanan ( IUU Fishing : Illegal Fishing, Unregulated, Unreported Fisihing) dapat dibedakan atas :

1. Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan

wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara dengan tidak

memiliki izin dari Negara pantai.

(6)

2. Unregulated Fishing adalaha kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di Negara tersebut.

3. Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu Negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.

Mengenai IUU fishing (illegal, unreported and unregulated fishing), maka yang dimaksud dengan kegiatan perikanan yang dianggap melanggar hukum adalah :

1. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal maupun asing di perairan yang berada dalam pengaturan Negara tanpa memperoleh izin ataupun bertentangan dengan hukum Negara yang bersangkutan.

2. Kegiatan yang dilakukan kapal ikan anggota suatu organisasi pengolahan perikanan regional yang melakukan pengolahan/pemanfaatan sumber daya yang bertentangan dengan aturan pengolahan dan konservasi bagi Negara – Negara yang menjadi anggotanya, ataupun bertentangan dengan aturan dalam hukum internasional lainnya yang relevan.

3. Kegiatan yang bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk kewajiban Negara – Negara anggota organisasi manajemen perikanan regional.

Kegiatan tindak pidana dalam bidang perikanan yang paling sering

kita jumpai terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah

(7)

tindakan pencurian oleh kapal-kapal ikan asing mulai dari perairan ZEE Indonesia hingga masuk ke perairan kepulauan. Jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh kapal-kapal ikan asing adalah jenis trawl.

Secara umum berdasarkan Pasal 103 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan di bidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan.

Ketentuan pidana perikanan diatur secara khusus di dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan perikanan yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa dan Negara.

34

Tindak pidana dibidang perikanan yang diatur di dalam Undang- Undang tersebut hanya ada 2 (dua) macam delik yaitu delik kejahatan (misdrijven) dan delik pelanggaran (overtredingen). Disebut delik kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara.

35

      

34

Marlina dan Faisal Riza, op.cit., hal 27.

35

Ibid hal 28.

(8)

Mengenai tindak pidana kejahatan di bidang perikanan diatur dalam pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu :

1. Setiap orang (nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal, pemilik perusahaan perikanan, penanggub jawab perusahaan perikanan atau operator kapal perikanan, pemilik perusahaan pembudidayaan ikan) dengan sengaja melakukan penangkapan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan dengan mengguanakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, dan/atau cara dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84.

2. Dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

3. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.

4. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia

membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan

dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia.

(9)

5. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia.

6. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia.

7. Dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

8. Dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/alat yng membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan.

9. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP.

10. Memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang

tidak memiliki SIPI.

(10)

11. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan dan kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIPI.

12. Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI.

Mengenai tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan diatur dalam

Pasal 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, dan Pasal 100 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang meliputi :

1. Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).

2. Setiap orang yang karena kelalainnya di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

3. Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, system jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.

4. Dengan sengaja melakukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil

perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak

dilengkapai sertifikat kesehatan konsumsi manusia.

(11)

5. Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1).

6. Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan republic Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia.

7. Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka.

8. Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya.

9. Nahkoda yan mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyipmpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolan perikanan Republik Indonesia.

10. Nahkoda kapal perikanan yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar

kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

(12)

11. Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki surat izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).

12. Melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).

Tindak pidana dibidang perikanan yang termasuk delik kejahatan diatur dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 94, Pasal 100A dan Pasal 100B, sedangkan yang termasuk delik pelanggaran diatur dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 100C. Dari ketentuan pidana yang diatur tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :

36

1. Tindak Pidana pengunaan bahan yang membahayakan kelestarian sumber daya ikan/lingkungannya.

Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Perikanan yang mengatur agar orang atau perusahaan melakukan penangkapan ikan secara wajar sehingga sumber daya ikan dan lingkungan tetap sehat dan terjaga kelestariaannya. Kejahatan dalam Pasal 84 tersebut selalu berhubungan dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 1 sampai dengan Ayat 4 yang merupakan peraturan larangan penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak atau cara lain untuk penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan yang dapat merugikan atau membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya.

      

36

Ibid.

(13)

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud , pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.

37

2. Tindak pidana dengan sengaja menggunakan alat penangkap ikan yang merusak dan mengganggu sumber daya ikan.

Pasal 85 Undang-Undang Perikanan disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggudan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan dipidanadengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda sebanyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Tindak pidana tersebut hanya dapat dilakukan di perairan wilayah perikanan, dapat terjadi di laut, sungai maupun danau di kapal penangkap ikan. Jika kapalnya hanya sebagai pengangkut hasil tangkapan ikan, bukan kapal penangkap ikan.

3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran lingkungannya.

Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam laut oleh kegiatan manusia atau       

37

 Ibid hal 29. 

(14)

proses alam, sehingga menyebabkan lingkungan laut menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut konvensi Marpol 73/78, sumber-sember pencemaran di laut adalah sebagai berikut :

a. Pencemaran yang disebabkan oleh minyak.

b. Pencemaran yang disebabkan zat cair beracun.

c. Pencemaran yang disebabkan oleh zat beracun dalam kemasan.

d. Pencemaran oleh kotoran (tinja).

e. Pencemaran oleh sampah.

f. Pencemaran oleh udara.

4. Tindak pidana pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat.

Pengelolaan perikanan pada dasarnya wajib dilakukan dengan baik, agar memperoleh hasil yang baik. Pengelolaan perikanan dengan cara menyimpang berakibat akan merugikan masyarakat karena hasil penangkapan ikan kualitasnya kurang/tidak dapat dikonsumsi. Apabilaikan tersebut diekspor ke luar negeri juga kurang/tidak ada peminatnya.

Sehubungan dengan itu terdapat larangan yang diatur dalam Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Perikanan bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

5. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengolahan ikan yang kurang/tidak

memenuhi syarat.

(15)

Pengolahan hasil perikanan adalah kegiatan yang dilakukan secara bertahap, berurutan, bersih serta higienik, dan memenuhi persyaratan mutu guna mengubah bahan mentah hasil perikanan menjadi produk akhir.

Sebagaimanan produk pangan lainnya, persyaratan pengolahan produk perikanan pada dasarnya harus mengikuti Good Manufacturing Practices (GMP) yaitu cara produksi pangan olahan yang baik sebagaimana diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Men.Kes/SK/I/1978.

Agar dalam pengolahan perikanan dapat diharapkan berdayaguna dan berhasil guna, maka setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sestem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.

Ketentuan mengenai persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 20 Ayat 3 Undang-Undang Perikanan. Tujuannya adalah agar hasil perikanan tidak membahayakan atau mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat.

6. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melaksanakan pengolahan ikan.

Banyak diantara pengusaha di bidang perikanan yang memasarkan

hasil olahannya agar awet dan penampilannya menarik pembeli, sering kali

dibarengi dengan kecurangan dalam melakukan pengolahannya dengan

menggunakan bahan-bahan yang bukan seharusnya digunakan untuk

pengolahan ikan antara lain formalin dan pewarna pakaian. Bahan-bahan

yang digunakan tersebut tergolong membahayakan kesehatan manusia.

(16)

Formalin adalah bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet.

Sebanrnya formalin berfungsi sebagai desinfektan, tapi salah digunakan oleh sebagian orang untuk mengawetkan ikan demi mencegah kerugian. Formalin berguna sebagai desinfektan karena membunuh sebagian besar bakteri dan jamur. Berikut ini adalah cirri-ciri ikan yang mengandung formalin :

1. Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25 derajat Celsius).

2. Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar.

3. Warna daging ikan putih bersih.

4. Batu menyengat, bau formalin, dan kulit terlihat cerah mengkilat.

5. Daging kenyal.

6. Lebih awet dan tidak mudah busuk walau tanpa pengawet seperti es.

7. Ikan berformalin dijauhi lalat.

Tidak terasa bau amis ikan.

C. Sanksi Pidana yang Dijatuhkan dalam Tindak Pidana Perikanan Menurut Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Dalam kajian hukum pidana dikenal jenis sanksi yang berupa pidana (straf) dan tindakan (maatregel).Satochid mengemukakan dalam M.

Sholehuddin, bahwa di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan

bersifat siksaan (pemberian nestapa), yang disebut dengan tindakan

(17)

(matregel).

38

Selain pidana (straf), seorang hakim dapat pula menjatuhkan tindakan (matregel), kepada seseorang yang terbukti bersalah telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.

39

Dalam hukum pidana kita mengenal ada dua macam sistem perumusan sanksi yaitu single track system dan double track system. Pada prinsipnya aliran klasik hanya menggunakan single track system yaitu sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana. Sistem pidana dan pemidanaan aliran klasik sangat menekankan pada pemidanaan terhadap perbuatan, bukan kepada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti, artinya penetapan sanksi dalam undang-undang tiidak mengenal sistem peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan.

40

Double track system yaitu system sanksi dengan memakai dua jalur yaitu system sanksi dengan memakai dua jalur yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Double track system tidak sepenuhnya memakai satu di       

38

M. sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hal 51.

39

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002, hal 24

40

Skripsi Oude Putera Silalahi, PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN TERHADAP TINDAK PIDANAN DI BIDANG PERIKANAN (ILLEGAL FISHING),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, HAL 33, 26 SEPTEMBER 2015. 

(18)

antara dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidanan dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsut pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsure pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting.

41

Dalam konsep perundang-undangan yang masih menganut sistem satu jalur (single track system), penjatuhan (stelsel) sanksinya hanya meliputi pidanan (straf, punishment) yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukuman, sedangkan dalam konsep perundang-undangan yang menganut sistem dua jalur (double track system), stelsel sanksinya mengatur dua hal sekaligus, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Pada prinsipnya pelaku tindak pidana adalah subjek hukum, karena perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, berupa orang dan badan hukum. Orang atau manusia perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya sejak statusnya sebagai anak sampai dewasa. Baik KUHP dan UU No. 3 Tahun 1997 mengenal anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan diadili di pengadilan anak.

42

Dalam perkembangannya tindak pidana yang dilakukan bukan manusia adalah korporasi. Istilah korporasi lebih luas daripada badan hukum , karena korporasi merupakan sekelompok orang baik yang berupa badan hukum atau bukan badan hukum. Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan

      

41

Ibid hal 33.

42

Gatot Supramono. Op.cit., hal 183 

(19)

yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan korporasi itu sendiri.

43

Pada awalnya korporasi belum diakui sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggung jawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus korporasi. Selanjutnya korporasi mulai diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya.

44

Pelaku tindak pidana di bidang perikanan dengan memperhatikan ketentuan pidana dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 100C disebutkan adalah “setiap orang”. Adapun yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 14 UU Perikanan).Jadi dalam tindak pidana di bidang perikanan yang dapat menjadi pelakunya orang maupun korporasi. Korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana karena perusahaan – perusahaan usahanya bergerak di bidang perikanan baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum seperti di atas.

Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara pemidanaan (pemidanaan). M.

Sholehuddin menyatakan, bahwa masalah saksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana karena seringkali menggambarkan nilai – nilai social budayasuatu bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai itu sendiri ada yang bersifat universal dan abadi, tetapi dari zaman ke zama ia juga dapat bersifat dinamis.

45

Pasal 10 KUHP terjimPenerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, berbunyi :

Pidana terdiri atas :

      

43

 ibid

44

ibid

45

Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, op.cit., hal 13 

(20)

a. Pidana pokok 1. Pidana mati.

2. Pidana penjara.

3. Pidana kurungan.

4. Pidana denda

Jika diklasifikasikan, sanksi pidana dan rumusan ancaman pidana terdapat dalam pasal – pasal sebagai berikut :

1. Ancaman pidana penjara.

a. Pasal 84 ayat (1), “ ………., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam Pasal 84 ini menggunakan perumusan ancaman pidana Kumulatif karena dalam pasal ini adanya akumulasi sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

b. Pasal 84 ayat (2), ”………., dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah),”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini sama dengan Pasal 84 ayat (1) yaitu menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

c. Pasal 84 ayat (3) dan (4), “………, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Perumusan ancaman pidanadalam pasal ini sama dengan Pasal 84 ayat (1) dan (2) serta Pasal 86 ayat (1) yaitu menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

d. Pasal 85, “………, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

(21)

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

e. Pasal 86 ayat (2), (3), (4), Pasal 88, Pasal 91, “……….., dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

f. Pasal 87 “……….., dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan sistem kumulatif dengan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda.

g. Pasal 89 dan Pasal 90, “………, dipidana dengan pidana penjara paling lama (1) tahun dan denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan ancaman secara kumulatif karena adanya akumulasi hukuman yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

h. Pasal 92, “ ……….., dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan ancaman secara kumulatif berupa pidana penjara dan pidana denda.

i. Pasal 93 ayat (1) dan (3), “………., dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 9enam) tahun dan denda paling banyak

Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

(22)

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

j. Pasal 93 ayat (2) dan (4), “………, dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

k. Pasal 94, 94A, 95, 96, 98, 99 dan juga menggunakan sistem perumusan ancaman pidana secara kumulatif yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda.

l. Pasal 100B, “ ……….., dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”

Perumusan ancaman dalam pasal ini menggunakan sistem perumusan sanksi secara alternative karena terdapat pilihan jenis sanksi pidana yang diberikan berupa pidana penjara (paling lama 1 (satu) tahun) atau pidana denda (paling banyak rp 250.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)). Pada perumusan sanksi secara alternative ancaman pidana yang diberikan berupa pilihan jenis pidana tetapi pidana yang dijatuhkan hanya salah satu dari pilihan yaitu berupa pidana penjara saja atau pidana denda saja, bukan keduanya

2. Ancaman pidana denda.

a. Pasal 97 ayat (1) dan (3), ‘ ………, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini menggunakan perumusan

sanksi secara tunggal/imperative karena hanya terdapat satu jenis

ancaman pidana saja yaitu pidana denda.

(23)

b. Pasal 97 ayat (2), “ ………., dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/Imperative berupa pidana denda saja.

c. Pasal 100, “………., dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga akan menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/ Imperative berupa pidana denda.

d. Pasal 100C, “……….., dipidana dengan pidana paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Perumusan ancaman pidana dalam pasal ini juga menggunakan perumusan sanksi secara tunggal/ Imperative yaitu berupa pidana denda saja.

Berdasarkan klasifikasi sanksi pidana dan perumusan ancaman pidana di atas, Undang – Undang nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengenal tiga sistem perumusan ancaman pidana yaitu perumusan tunggal/imperative, sistem kumulatif, dan sistem alternative.

Dilihat dari segi perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat), Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 tahun 2004 Tentang Perikanan menganut sistem fixed/indefinitive sentence system atau sistem maksimum yaitu pemberian sanksi dibatasi oleh batas maksimum hukuman. Hal ini dapat dilihat dari maksimum lamanya pidana baik pidana penjara maupun pidana denda, dengan penggunaan kata – kata paling lama/paling banyak.

Sistem fixed/indefinitive sentence system ini terlihat dalam semua

pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana, seperti Pasal 88 yang

memberikan ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 6 (enam)

tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Dana Bagi Hasil terhadap pengalokasian Belanja modal di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dengan

SimNasKBA-2011 , bahwa dengan segala keterbatasan tersebut Insha Allah dapat melaksanakan SimNasKBA ini dengan sukses, yang tentu saja semua itu atas bantuan Panitia SimNasKBA dari

Apabila uji pengguna dilakukan survei kepada unit eksternal, kepala bagian, tim perbaikan produk, ahli sistem dan manajer pada PT Petrokimia Gresik dengan menggunakan

Teorema 4.4.2 Ruang- regular jika dan hanya jika untuk setiap persekitaran terbuka dari setia titik pada , terdapat himpunan terbuka sedemikian

Pembuatan tepung biji mangga gadung memakai tahap sulfurisasi: Pembuatan tepung dengan cara ini dilakukan melalui proses sulfurisasi, yaitu merendam biji mangga di dalam

Pemilihan moda merupakan suatu tahapan proses perencanaan angkutan yang bertugas dalam menentukan pembebanan perjalanan atau mengetahui jumlah (dalam arti proporsi) orang dan

Oleh karena itu, pada penelitian kali ini akan diperluas konsep ukuran entropi IFS pada IVIFS dengan mendefinisikan sebuah fungsi bernilai rill pada koleksi dari semua him- punan

Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang fenomena yang berkembang di lingkungan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,