• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN PENGKAJIAN TIM POKJA RENCANA PENYUSUNAN RANPERDA BANGUNAN GEDUNG PENYUSUN NI LUH GEDE ASTARIYANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN PENGKAJIAN TIM POKJA RENCANA PENYUSUNAN RANPERDA BANGUNAN GEDUNG PENYUSUN NI LUH GEDE ASTARIYANI"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

PENGKAJIAN TIM POKJA RENCANA PENYUSUNAN RANPERDA BANGUNAN GEDUNG

PENYUSUN

NI LUH GEDE ASTARIYANI

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

(2)

KATA PENGANTAR

Peraturan Daerah (Perda) tentang Bangunan Gedung (BG) merupakan instrumen penting untuk mengendalikan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah. Perda BG menjadi sangat penting karena pengaturan yang dimuat mengakomodasi berbagai hal yang bersifat administratif dan teknis dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di Indonesia serta dilengkapi dengan muatan lokal yang spesifik untuk setiap daerah.

Perda BG perlu dibuat sebagai peraturan yang bersifat operasional di setiap daerah, sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalam penjelasan umum UU-BG paragraf terakhir berbunyi: “... Undang-undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam pelaksanaan undang-undang ini”.

Untuk membantu Pemerintah Daerah dalam proses penyusunan Perda BG, pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, menyiapkan Model Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung. Hal ini dilakukan sesuai amanah pasal 106 ayat 3 dari PP Nomor 36 tahun 2005 yang

(3)

berbunyi: “Pemerintah dapat memberikan bantuan teknis dalam penyusunan peraturan dan kebijakan daerah di bidang Bangunan Gedung yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 106 ayat 3 berbunyi bahwa yang dimaksud dengan bantuan teknis antara lain memberikan Model Perda BG dan/atau bantuan teknis penyusunan rancangan peraturan daerah tentang Bangunan Gedung.

(4)

WALIKOTA DENPASAR

PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR TAHUN 2014

T E N T A N G

BANGUNAN GEDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA DENPASAR,

(5)

Menimbang :

Mengingat : a.

b.

c.

d.

1.

2.

bahwa untuk terciptanya pengendalian pemanfaatan ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar perlu dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang;

bahwa agar bangunan gedung dapat menjamin keselamatan penghuni dan lingkungannya harus diselenggarakan secara tertib, sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinva persyaratan administrasi dan teknis bangunan gedung;

bahwa agar bangunan gedung dapat terselenggara secara tertib dan terwujud sesuai dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan upaya pembinaan;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung.

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Nomor 3186);

Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik

(6)

3.

4.

5.

6.

7.

Indonesia Nomor 3317);

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011, Tentang Rumah Susun Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

(7)

8.

9.

10 .

11 .

Pembentukan Peraturan, Perundang-undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445);

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838 );

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

(8)

12 .

13 .

14 .

15 .

16

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali tahun 2009 Nomor 57, Seri C Nomor 1);

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009);

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3/PD/DPRD/1974 Tentang Lingkungan Khusus ( Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1977 Nomor 58, Seri C nomor 2);

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 4//PD/DPRD/1974 tentang Bangun - Bangunan ( Lembaran Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1977 Nomor 59, Seri C nomor 3);

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 4 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2005);

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009);

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005,

(9)

.

17 .

18 .

19 .

20 .

Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4 );

Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar 2011-2031 (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011 Nomor 27).

Peraturan Walikota Denpasar Nomor 25 Tahun 2010 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

(10)

21 .

22 .

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA DENPASAR

dan

(11)

WALIKOTA DENPASAR

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Kota adalah Kota Denpasar.

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Denpasar.

3. Walikota adalah Walikota Denpasar.

(12)

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.

5. Badan / Dinas / Instansi teknis yang menangani adalah badan / dinas / instansi terkait yang menangani pembangunan gedung Kota Denpasar.

6. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri.

7. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial dan budaya, maupun kegiatan khusus .

8. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

9. Bangunan tradisional Bali adalah bangunan yang dirancang dan dibangun berdasarkan norma - norma tradisional Bali, baik tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun.

10. Bangunan permanen adalah bangunan gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur teknis diatas 20 Tahun.

11. Bangunan semi permanen adalah bangunan gedung yang karena fungsinya direncanakan mempunyai umur teknis 5 sampai dengan 20 Tahun.

12. Bangunan sementara / darurat adalah bangunan yang ditinjau dari segi konstruksi dari umur bangunan yang dinyatakan sampai dengan 5 Tahun.

13. Bangunan gedung fungsi hunian adalah bangunan gedung yang digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana bagi pembinaan keluarga.

14. Bangunan gedung fungsi keagamaan adalah bangunan gedung yang digunakan sebagai pelaksanaan ibadah.

15. Bangunan gedung fungsi usaha adalah bangunan gedung yang digunakan sebagai tempat untuk kegiatan usaha.

16. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya adalah bangunan gedung yang digunakan sebagai tempat untuk kegiatan pelayanan sosial dan kegiatan interaksi manusia dengan lingkungan serta kehidupannya.

17. Bangunan gedung fungsi khusus adalah bangunan gedung yang mempunyai tingkat kerahasiaan yang tinggi dan atau yang mempunyai potensi resiko bahaya.

(13)

18. Bangunan gedung fungsi campuran adalah bangunan gedung yang memiliki lebih dari satu fungsi.

19. Basement adalah lantai dasar ruang bawah tanah atau beberapa tingkat dari bangunan yang keseluruhan atau sebagian terletak di bawah tanah yang merupakan bagian dari bangunan gedung. (sdh dikoreksi tgl 24 april’14)

20. Persil adalah bidang tanah yang bentuk dan ukurannya berdasarkan suatu rencana yang disahkan oleh Pemerintah Kota untuk mendirikan bangunan.

21. Rumah tinggal sederhana adalah bangunan gedung fungsi hunian yang dibangun dengan fungsi persyaratan teknis minimal, dengan jumlah lantai sampai dengan 2 (dua) lantai, baik rumah tinggal tunggal maupun deret. (dicari sumber pengertian rumah tinggal sederhana)

22. Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun, atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan tersebut.

23. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah perijinan yang diberikan oleh pemerintah Kota kepada calon pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, dan atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan teknis yang berlaku.

24. Merobohkan bangunan adalah pekerjaan memindahkan sebagian atau seluruh bagian bangunan ditinjau dari fungsi bangunan dan atau konstruksi.

25. Ijin Merobohkan Bangunan adalah ijin yang diberikan untuk merobohkan bangunan secara total baik secara fisik maupun secara fungsi yang tertera dalam Ijin Merobohkan Bangunan.

26. Mengubah bangunan adalah pekerjaan mengganti, dan atau menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut.

27. Garis sempadan adalah garis pada pekarangan yang ditarik sejajar dengan as jalan, tepi sungai / pantai / danau / jurang, atau as pagar dan merupakan batas antar bagian kavling / pekarangan yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun bangunan.

28. Tinggi bangunan adalah jarak tegak lurus yang diukur dari rata-rata permukaan as jalan akses utama di mana bangunan tersebut didirikan sampai kepada garis pertemuan antara tembok luar atau tiang struktur bangunan dengan atap.

29. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat (KDB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas kavling / pekarangan.

(14)

30. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat (KLB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan antara total luas lantai bangunan dengan luas kavling / pekarangan.

31. Koefisien Tapak Basement yang selanjutnya disingkat (KTB) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan antara total luas proyeksi tapak basement bangunan terhadap luas kavling / pekarangan.

32. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat (KDH) adalah angka prosentase berdasarkan perbandingan antara total luas daerah hijau dengan luas kavling / pekarangan.

33. Bagian Wilayah Kota yang selanjutnya disingkat (BWK) adalah bagian dari wilayah Kota Denpasar yang bertujuan untuk menetapkan jangkauan wilayah pelayanan fasilitas terhadap bagian wilayah kota yang setara dengan wilayah kecamatan atau sebagian wilayah kecamatan, dan tidak terikat pada wilayah administrasi.

34. Kavling adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut pertimbangan pemerintah kota dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan.

35. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.

36. Penyelenggara bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung, dan pengguna bangunan gedung.

37. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang atau perkumpulan yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung.

38. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan / atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan / atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

39. Pemanfaatan adalah kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.

40. Pelestarian adalah kegiatan pemeliharaan, perawatan serta pemugaran bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keindahan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.

41. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung

(15)

beserta prasarana dan sarananya agar tetap laik fungsi.

42. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan / atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.

43. Pemugaran bangunan gedung yang di lestarikan adalah kegiatan memperbaiki / memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya.

44. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar / merobohkan seluruhnya / atau sebagian bangunan, komponen, bahan bangunan dan / atau prasarana dan sarananya.

45. Laik Fungsi adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.

46. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Daerah ini dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung.

47. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara, standar spesifikasi dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun Standar Internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

48. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung yang disusun secara tertulis dan professional terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan, pelestarian maupun pembongkaran gedung.

49. Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas dan juga masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus perkasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu.

50. Aksesibilitas adalah derajat kemudahan yang dicapai oleh orang terhadap suatu objek, pelayanan atau lingkungan. Kemudian akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya. Aksesibilitas juga difokuskan pada kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan fasilitas seperti pengguna kursi roda, pemakai tongkat harus bisa berjalan dengan mudah di trotoar ataupun naik ke atas angkutan umum.

51. Persyaratan keandalan bangunan gedung adalah pemenuhan persyaratan yang meliputi aspek-aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan

(16)

aksesibilitas.

52. Peran masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan, menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

BAB II

ASAS, TUJUAN DAN LINGKUP BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Asas Pasal 2

Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, aksesibilitas serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 3

Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk :

1. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya.

2. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan aksesibilitas.

3. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan

(17)

gedung.

Bagian Ketiga

Lingkup Bangunan Gedung Pasal 4

Pengaturan tentang bangunan gedung meliputi fungsi, klasifikasi, persyaratan, penyelenggaraan, perijinan, pengawasan, peran masyarakat, pembinaan, sanksi pelanggaran dan banding.

BAB III

FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Fungsi Bangunan Gedung Pasal 5

(1) Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus.

(2) Fungsi bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.

(3) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.

(4) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pura, masjid, mushola, gereja, kapel, vihara dan klenteng.

(18)

(5) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal dan jenis usaha lainnya.

(6) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk bale banjar, bale desa, pendidikan dan kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium dan pelayanan umum.

(7) Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri terkait.

(8) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi. (dihapus) (9) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar dan/atau Rencana Detail Tata Ruang Kota Denpasar dan/atau Peraturan Zonasi Kota Denpasar.

(10) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Kota dan dicantumkan dalam Ijin Mendirikan Bangunan.

(11) Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) harus mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Kota.

Pembahasan : Kamis, 17 April 2014 jam 16.30 wita

Bagian Kedua

Klasifikasi Bangunan Gedung Pasal 6

(1) Untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung secara efektif sesuai dengan tingkatan pemenuhan persyaratan teknisnya perlu diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat ketahanan terhadap kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, kepemilikan dan atau penampilan bangunan.

(2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitasnya, meliputi :

(19)

a. Bangunan gedung sederhana;

b. Bangunan gedung tidak sederhana; dan c. Bangunan khusus.

(3) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi, meliputi : a. Bangunan gedung permanen;

b. Bangunan gedung semi permanen; dan c. Bangunan gedung darurat / sementara.

(4) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran, meliputi : a. Bangunan gedung dengan tingkat risiko kebakaran tinggi;

b. Bangunan gedung dengan tingkat risiko kebakaran sedang; dan c. Bangunan gedung dengan tingkat risiko kebakaran rendah.

(5) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi tingkat zonasi gempa yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

(6) Klasifikasi berdasarkan lokasi, meliputi :

a. Bangunan gedung di lokasi tanah keras / padat;

b. Bangunan gedung di lokasi tanah sedang; dan

c. Bangunan gedung di lokasi tanah lunak / renggang.

(7) Klasifikasi berdasarkan ketinggian bangunan, meliputi : a. Bangunan gedung bertingkat tinggi;

b. Bangunan gedung bertingkat sedang; dan c. Bangunan gedung bertingkat rendah.

(8) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan, meliputi : a. Bangunan gedung milik negara;

b. Bangunan gedung milik badan usaha;

c. Bangunan gedung milik perorangan; dan d. Bangunan gedung milik sosial.

(9) Klasifikasi berdasarkan penampilan bangunan, meliputi : a. Keserasian bangunan dengan lingkungan;

b. Penerapan dan pemakaian bahan natural;

(20)

c. Menampilkan ragam hias berkearifan lokal; dan

d. Susunan bangunan sesuai dengan triangga (kepala, badan dan kaki).

Pasal 7

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan bangunan gedung.

(2) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis bangunan gedung sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar dan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK) dan/atau Peraturan Zonasi Kota Denpasar.

(3) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(4) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh Pemerintah Kota dalam izin mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah dan melalui persetujuan Pemerintah Kota.

BAB IV

PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG Bagian Kesatu

Persyaratan Umum Pasal 8

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

(21)

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi :

a. Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. Status kepemilikan bangunan gedung; dan

c. Izin mendirikan bangunan gedung.(perlu penjelasan bangunan kumuh)

(3) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.

(4) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis untuk bangunan adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Kota Denpasar sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. (konsultasi dengan bag. Hukum)

Bagian Kedua

Persyaratan Administratif Pasal 9

(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi :

a. Status hak atas tanah, dan/atau ijin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah (surat kuasa yang berkekuatan hukum).

b. Status kepemilikan bangunan.

c. Ijin mendirikan bangunan (IMB).

(2) Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung.

(3) Pemerintah Kota Denpasar melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatannya.

(22)

Bagian Ketiga Status Hak Atas Tanah

Pasal 10

(1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun hak orang lain.

(2) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis dihadapan pejabat yang berwenang / notaris antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat dengan jelas pihak - pihak yang mengadakan perjanjian, status tanah, luas tanah, fungsi bangunan yang akan dibangun, waktu berlakunya perjanjian dan hal - hal lain yang disepakati oleh kedua belah pihak dengan tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.

Bagian Keempat

Status Kepemilikan Bangunan Gedung Pasal 11

(1) Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dengan persetujuan Pemerintah Kota.

(2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain. (Perlu Penjelasan)

(23)

(3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan pemilik tanah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti kepemilikan bangunan gedung diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 12

(1) Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung.

(2) Pemilik bangunan gedung wajib memberikan data yang diperlukan oleh Pemerintah Kota dalam melakukan pendataan bangunan gedung.

(3) Berdasarkan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat(1) Pemerintah Kota mendaftar bangunan gedung tersebut untuk keperluan sistem informasi bangunan gedung. (belum ada dan perlu dibuat)

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendataan bangunan gedung diatur dengan Peraturan Walikota. (belum ada dan perlu dibuat)

Kamis, 24 April 2014, jam : 16.00 wita

Bagian Kelima

Izin Mendirikan Bangunan Gedung Pasal 13

(1) Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin mendirikan bangunan gedung.

(24)

(2) Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Kota, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung.

(3) Pemerintah Kota wajib memberikan surat keterangan rencana kota untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung.

(4) Surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi :

a. Fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

b. Ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;

c. Jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;

d. Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;

e. KDB maksimum yang diizinkan;

f. KLB maksimum yang diizinkan;

g. KDH minimum yang diwajibkan;

h. KTB maksimum yang diizinkan; dan i. Jaringan utilitas kota.

(5) Dalam surat keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.

(6) Keterangan rencana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.

Pasal 14

(25)

(1) Setiap orang dalam mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib melengkapi dengan:

a. Tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

b. Data pemilik bangunan gedung.

c. Rencana teknis bangunan gedung, dan

d. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

(2) Untuk proses pemberian perijinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.

(3) Permohonan ijin mendirikan bangunan yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis disetujui dan disahkan oleh Walikota.

(4) Ijin mendirikan bangunan merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas umum kota.

Bagian Keenam

Persyaratan Tata Bangunan Pasal 15

(1) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.

(26)

(2) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan oleh Pemerintah Kota Denpasar. (RTBL harus segera dibuat)

(3) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan Walikota.

Bagian Ketujuh

Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Pasal 16

(1) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung yang terdiri atas : persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, sempadan dan jarak antar bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

(2) Pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar atau Rencana Detail Tata Ruang Kota atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan.

(3) Peruntukan lokasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan peruntukan utama, sedangkan apabila pada bangunan tersebut terdapat peruntukan penunjang harus dikonsultasikan kepada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar atau kepada pihak lain yang ditunjuk oleh Walikota.

(27)

(4) Setiap pihak yang memerlukan informasi tentang peruntukan lokasi atau ketentuan tata bangunan dan lingkungan lainnya, dapat memperolehnya pada Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar atau kepada pihak lain yang ditunjuk oleh Walikota.

(5) Untuk pembangunan - pembangunan gedung yang dibangun di atas jalan umum, saluran atau sarana lain, atau yang melintasi sarana dan prasarana jaringan kota atau di bawah tanah / air atau pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan fungsi lindung kawasan dan harus mendapat persetujuan khusus dari Walikota.

Pasal 17

(1) Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan harus memenuhi kepadatan bangunan yang diatur dalam Koefisien Dasar Bangunan (KDB) sesuai yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

(2) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan / resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran.

(3) Ketentuan besarnya KDB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang berlaku atau yang diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan - undangan lain yang berlaku.

(4) Apabila KDB belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan seperti tersebut dalam ayat (3) Pasal 16 atau belum ditetapkan oleh Walikota, maka dapat ditentukan KDB bangunan gedung sebagai berikut :

a. KDB tinggi (50 – 75 %) diterapkan pada kawasan pada pusat-pusat fasilitas pelayanan dan kawasan permukiman di BWK Tengah Kota;

(28)

b. KDB sedang (40 – 50 %) diterapkan pada kawasan permukiman diluar BWK Tengah Kota;

c. KDB rendah (20 – 30 %) diterapkan pada kawasan permukiman perdesaan;

d. KDB rendah (5 – 10 %) diterapkan pada kawasan RTHK fungsi agrowisata dan ekowisata;

e. Tidak boleh ada bangunan, kecuali bangunan terkait kegiatan pertanian dan pengolahannya diterapkan pada kawasan RTHK fungsi pertanian intensif murni.

(sumber Perda RTRW Kota Denpasar pasal 88 ayat 5) Pasal 18

(1) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) ditentukan atas dasar kepentingan pengendalian kepadatan populasi, kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan, serta keselamatan dan kenyamanan umum.

(2) Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan - undangan yang berlaku.

(3) Bila belum ditentukan, maka KLB diatur sebagai berikut : a. Pada kawasan pusat kota KLB maksimum = 4 x KDB.

b. Pada kawasan diluar pusat kota, KLB maksimum = 3 x KDB.

c. Pada kawasan perdagangan dan jasa pada jalur jalan arteri primer, KLB maksimum = 4 x KDB. (perlu konsultasi dengan pak kadis, penghapusan ayat 3 karena sudah diatur dalam pasal 88 ayat 6 RTRW)

Pasal 19

(1) Koefisien Tapak Basement (KTB) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian dan lingkungan / resapan air permukaan tanah, kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, serta keselamatan dan kenyamanan bangunan / lingkungan.

(29)

(2) Untuk keperluan penyediaan ruang terbuka hijau pekarangan yang memadai, lantai basement pertama tidak diizinkan dibenarkan keluar dari dasar bangunan.

(3) Atap basement kedua yang di luar dasar bangunan harus berkedalaman maksimal sekurang-kurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah tempat penanaman, serta tepi tapak basement tidak boleh melewati sempadan.

(dasar pertimbangan diatur 2 meter kerena tidak diinginkan basemen keduanya penuh)

(4) Pada kawasan pusat kota, kawasan perdagangan dan jasa pada jalur jalan arteri primer, kolektor primer dan jalan arteri sekunder pemanfaatan lebih dari 2 (dua) lantai basement harus didukung dengan kajian teknis, atau KLB maksimum 5 x KDB

(Dasar pertimbangan ayat(4) dihapus atau dicoret karena tidak konsisten dengan ayat (3))

(5) Ketentuan besarnya KTB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, bila belum ditentukan, maka KTB diatur maksimum sama dengan KDB.

(Dasar pertimbangan ayat (5) dihapus atau dicoret karena sudah diatur pada ayat (1)sampai(4))

Pasal 20

(1) Koefisien Daerah Hijau (KDH) ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan / resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan dan lingkungan umum.

(2) Ketentuan besarnya KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, serta Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan atau sesuai dengan kententuan peraturan perundangan - undangan yang berlaku.

(3) Apabila tidak ditentukan lain, KDH ditetapkan sebagai berikut : a. Daerah perkotaan padat, KDH minimum 15%.

(30)

b. Daerah perkotaan tidak padat, KDH minimum 20%.

(perlu konsultasi dengan pak kadis) Kamis, 8 Mei 2014, 17,30 wita

Pasal 21

(1) Ketinggian bangunan ditentukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar.

(2) Ketinggian bangunan sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1), secara umum harus mengikuti persyaratan :

a. Struktur dan ketinggian maksimum bangunan dan bangunan- bangunan pada radius daerah penerbangan harus mengikuti ketentuan dan peraturan yang berlaku;

b. Ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara diatas permukaan bumi dibatasi maksimum 15 meter, dihitung dari rata- rata permukaan tanah asal di lokasi bangunan tersebut, kecuali bangunan khusus, setelah mendapat persetujuan Walikota;

c. Pada kawasan perdagangan dan jasa jumlah lantai bangunan maksimum 5 (lima) lantai diatas permukaan tanah dan

pemanfaatan lebih dari 2 (dua) lantai basement harus didukung dengan kajian teknis, atau KLB maksimum 5 X KDB; dan

d. Pada kawasan lainnya di luar sebagaimana dimaksud pada ayat huruf c diatas, jumlah lantai bangunan/KLB akan diatur lebih detail dalam Peraturan Zonasi.

(3) Persyaratan jumlah lantai bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan dan daya dukung lingkungan yang dipersyaratkan. Bila tidak ditentukan lain maka pengaturan kedalaman bangunan ditetapkan sebagai berikut :

a. Basement tidak boleh menganggu aliran air tanah dalam.

b. Kedalaman basement ditetapkan maksimum 2 (dua) lantai di bawah permukaan tanah.

c. Kedalaman penggunaan ruang di dalam bumi yang melebihi 2 (dua) lantai dapat ditetapkan lain oleh Walikota setelah diadakan kajian teknis para ahli dan mendapat rekomendasi DPRD.

(31)

(4) Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan harus berjarak dengan persil tetangga sesuai peraturan sempadan yang berlaku.

Pasal 22

(1) Garis sempadan muka bangunan atau bagian bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan (rencana jalan) / tepi sungai / tepi danau / tepi pantai ditentukan berdasarkan lebar jalan / rencana jalan, lebar dan kondisi sungai, kondisi pantai, fungsi jalan dan peruntukan kavling / kawasan.

(2) Letak garis sempadan muka bangunan tersebut pada ayat (1), bilamana tidak ditentukan lain adalah sama dengan lebar daerah milik jalan (damija) dihitung dari as jalan.

(3) Untuk lebar jalan yang kurang dari 6 (enam) meter, letak garis sempadan bangunan adalah sama dengan lebar daerah milik jalan dihitung dari as jalan, tetapi tidak boleh kurang dari 2,5 (dua koma lima) meter dihitung dari tepi daerah milik jalan.

(4) Letak garis sempadan samping dan belakang bangunan yang berbatasan dengan tetangga bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 2 meter dari batas kavling untuk bangunan satu lantai, minimal 2,5 (dua koma lima) meter untuk bangunan dua lantai, minimal 3 (tiga) meter untuk bangunan tiga lantai, serta minimal 3,5 (tiga koma lima) meter untuk bangunan 4 lantai, atau atas dasar kesepakatan dengan tetangga yang saling berbatasan.

Kamis, 12 Juni 2014, Jam 12.03

(5) Lebar telajakan atau jarak pagar pekarangan dengan tepi luar got dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Untuk lebar jalan sampai 6 (enam) meter minimum 0,5 (nol koma lima) meter

(32)

b. Untuk lebar jalan diatas 6 (enam) meter sampai 8 (delapan) meter minimum 0,75 (nol koma tujuh puluh lima) meter

c. Untuk lebar jalan diatas 8 (delapan) meter sampai 12 (dua belas) meter minimum 1 (satu) meter

d. Untuk lebar jalan diatas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) meter minimum 1,5 ( satu koma lima) meter

e. Untuk lebar jalan diatas 18 (delapan belas) meter minimum 2 (dua) meter.

(6) Garis terluar suatu tritis / oversteak yang menghadap ke arah tetangga, tidak boleh melewati batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga.

(7) Apabila garis sempadan bangunan ditetapkan berimpit dengan garis sempadan pagar, cucuran atap atau suatu tritis / oversteak harus diberi talang dan pipa talang harus disalurkan sampai ke tanah.

(8) Dilarang menempatkan lubang angin / ventilasi / jendela pada dinding yang berbatasan langsung dengan tetangga.

(9) Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah permukaan tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan bangunan.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung diatur lebih lanjut mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku dan / atau diatur secara rinci dengan Surat Keputusan Walikota.

Pasal 23

(1) Garis Sempadan Pantai (GSP) apabila belum ditetapkan lain dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan dan / atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang sudah dibuat, mengikuti ketentuan sebagai berikut :

(33)

a. Kawasan sempadan pantai sepanjang 36,6 ( tiga puluh enam koma enam) km, yang terdiri dari kombinasi pantai berpasir alami, pantai hasil penimbunan, pantai berhutan bakau, pantai bertembok / rivetment dan pantai hasil reklamasi.

b. Pengaturan sempadan pantai adalah :

1. Sempadan pantai Koridor Pantai Biaung – Pantai Padang Galak dengan kondisi pantai hasil rivetment minimal 75 (tujuh puluh lima) meter.

2. Sempadan pantai Koridor Pantai Padang Galak – Pantai Matahari Terbit yang dibatasi oleh jaringan jalan di sepanjang pantai, pengaturannya mengikuti ketentuan garis sempadan bangunan di pinggir jalan dan pada segmen yang tidak dibatasi jaringan jalan dengan kondisi pantai hasil rivetment minimal 75 (tujuh puluh lima) meter.

3. Sempadan pantai Koridor Pantai Matahari Terbit – Pantai Mertasari yang memiliki jalan setapak (pedestrian), pengaturannya mengikuti pengaturan sempadan bangunan khusus tepi pantai yang memiliki jalan setapak, seperti ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, ayat ini

4. Sempadan pantai Koridor Pantai Mertasari – Pantai Muara Kilap dengan kondisi pantai berhutan bakau minimal 75 (tujuh puluh lima) meter;

5. Sempadan pantai Koridor Pantai di Permukiman Pulau Serangan dengan kondisi pantai hasil revetment minimal 20 (tujuh puluh) meter;dan

6. Sempadan pantai Koridor Pantai pada reklamasi Pulau Serangan dengan kondisi pantai hasil penimbunan minimal 50 (lima puluh) meter.

c. Pada ruang sempadan pantai yang memiliki jalan setapak (pedestrian), atau akan dikembangkan jalan setapak, maka pengaturan sempadan pantai mengikuti pengaturan sempadan bangunan khusus di tepi pantai yang memiliki jalan setapak yaitu :

1. Bangunan diatas 2 (dua) lantai, sempadan bangunan ditetapkan 100 meter dari jalan setapak;

2. Bangunan 2 (dua) lantai, sempadan bangunan ditetapkan 50 (lima puluh) meter dari jalan setapak;

3. Bangunan tidak bertingkat memakai dinding tembok, sempadan bangunan ditetapkan 25 (dua puluh lima) meter dari jalan setapak;

4. Bangunan tidak bertingkat dan terbuka, sempadan bangunan ditetapkan 5 (lima) meter dari jalan setapak; dan

5. Pagar halaman dibangun dengan jarak 1,50 (satu koma nol lima) meter dari jalan setapak yang dapat dipergunakan sebagai telajakan.

(34)

d. Pengaturan bangunan di kawasan sempadan pantai adalah :

1. Ruang kawasan sempadan pantai atau ruang antara pantai dengan jalan setapak adalah ruang terbuka untuk umum dan bangunan yang diperkenankan adalah bangunan-bangunan fasilitas penunjang wisata non permanen dan temporer, bangunan umum terkait keagamaan, bangunan untuk pengawasan dan pengamanan umum (pengunjung), dan bangunan terkait pertahanan dan keamanan;

2. Bangunan-bangunan yang telah ada serta tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud angka 1, wajib dibongkar dan agar ditata kembali untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

e. Kawasan - kawasan tertentu yang sempadan pantainya telah ditetapkan oleh Walikota, tetap dapat diberlakukan.

(2) Garis Sempadan Sungai (GSS) sesuai ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, dan / atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Apabila tidak ditentukan lain, maka sempadan sungai diatur sebagai berikut :

a. Pada kawasan tanpa bahaya banjir, lebar sempadan sungai : 1. 3 (tiga) meter untuk sungai bertanggul;

2. 10 (sepuluh) meter untuk kedalaman lebih dari 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) meter;

3. 15 (lima belas) meter untuk kedalaman 10 (sepuluh) sampai 20 (dua puluh) meter; dan

4. 30 (tiga puluh) meter untuk kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter.

b. Pada kawasan dengan bahaya banjir, lebar sempadan sungai:

1. 3 (tiga) meter untuk sungai bertanggul.

2. 25 (dua puluh lima) meter untuk banjir ringan.

3. 50 (lima puluh) meter untuk banjir sedang.

4. 100 (seratus) meter untuk banjir besar.

c. Untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, garis sempadan ditetapkan minimal 100 (seratus) meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau.

d. Untuk masing - masing sempadan sungai disediakan lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai telajakan dan inspeksi minimal 10% (sepuluh persen) dari lebar sempadan dan tidak boleh kurang dari 3 (tiga) meter.

(35)

(3) Sempadan danau / waduk sesuai ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, dan / atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Apabila tidak ditentukan lain, maka sempadan danau / waduk diatur sebagai berikut :

a. Waduk Muara I (estuary dam I) dimuara Tukad Badung dengan radius kawasan sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) meter dari pinggir waduk ke arah darat pada kawasan di luar Kawasan Lindung.

b. Rencana Waduk Muara II (estuary dam II) di perairan Teluk Benoa hanya dapat dibangun kegiatan terkait bangunan penunjang air baku, air minum dan stop over untuk rekreasi pasif secara terbatas.

(4) Sempadan kawasan sekitar mata air, ditentukan sebagai berikut :

Kawasan sekitar mata air ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter terkecuali bagi bangunan yang telah ada dan bangunan yang terkait dengan pengamanan dan pemanfaatan mata air dapat kurang dari 200 (dua ratus) meter dan sebarannya meliputi : Mata air Tukad Ayung 1 (Banjar Cengkilung – Desa Peguyangan Kangin); Mata Air Tukad perbatasan Kota Denpasar dengan Gianyar (Desa Kesiman Kertalangu, Jalan Gumitir); Mata Air Tukad Ayung 2 (Banjar Kehen, Jalan Sulastri – Kesiman Petilan); Mata Air Tukad Ayung 3 (Barat Balitex – Kesiman Petilan); Mata Air Tukad Ayung 4 (Barat Balitex sebelah Utara jembatan – Kesiman); dan Mata Air Tirta Belong (Banjar Wangaya Kaja – Desa Dauh Puri Kaja).

(5) Kawasan sempadan jurang minimum 2 (dua) kali kedalaman jurang dihitung dari bibir jurang ke arah bangunan dengan tinggi sekurang- kurangnya 11 (sebelas) meter dihitung dari batas jurang.

(6) Sempadan kawasan atau radius kesucian pura apabila tidak ditentukan lain, ditetapkan sebagai berikut :

a. Untuk Pura Sad Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 (lima) km dari sisi luar tembok penyengker pura)

b. Untuk Pura Dang Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2(dua) km dari sisi luar tembok penyengker pura)

c. Untuk Pura Khayangan Tiga dan lain - lain dipakai ukuran Apenimpung ( minimal 25 (dua puluh lima) meter dari sisi luar tembok penyengker pura) untuk yang berada di luar perumahan dan Apanyengker (minimal 5 (lima) meter dari sisi luar tembok penyengker

(36)

pura) untuk yang di dalam perumahan di hitung sampai penyengker rumah yang bersebelahan, atau ditetapkan berdasarkan paruman krama adat setempat.

(7) Besarnya garis sempadan pantai / sungai / danau / waduk / kawasan sekitar mata air / jurang / kawasan kesucian pura di luar ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (6) ditetapkan oleh Walikota berdasarkan hasil kajian para ahli dan setelah mendapat rekomendasi dari DPRD.

Pasal 24

(1) Jarak antara masa / blok bangunan umum satu lantai yang satu dengan lainnya dalam satu kapling minimum adalah 4 (empat) meter.

(2) Setiap bangunan umum harus mempunyai jarak masa / blok bangunan dengan bangunan disekitarnya sekurang - kurangnya 6 (enam) meter dan minimal 3 (tiga) meter dengan batas kapling.

(3) Ketentuan lebih rinci tentang jarak antar bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.

Bagian Kedelapan

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 25

(1) Setiap bangunan gedung harus mempertimbangkan minimal persyaratan fungsional, persyaratan keamanan dan kenyamanan, serta persyaratan keindahan, ruang dan hubungan ruang di dalamnya;

(2) Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi : a. Penampilan luar (eksterior) bangunan gedung;

b. Tata ruang dalam (interior);

c. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya; dan

(37)

d. Pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai - nilai sosial budava setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa serta berlandaskan konsep Tri Hita Karana.

Pasal 26

(1) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) harus memperhatikan kaidah - kaidah bentuk dan karakteristik Arsitektur Tradisional Bali dengan pengutamaan gaya / langgam arsitektur setempat dan / atau yang dimiliki Kota Denpasar dan yang selaras dengan lingkungan fisik dan budaya Bali yang ada di sekitarnya.

(2) Penampilan bangunan gedung di kawasan cagar budaya, harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah pelestarian dan / atau sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.

(3) Penampilan bangunan gedung yang didirikan berdampingan dengan bangunan gedung yang dilindungi dan dilestarikan, harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah estetika bentuk dan karakteristik dari arsitektur bangunan gedung yang dilestarikan dan / atau sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

(4) Pemerintah Kota Denpasar menetapkan kaidah - kaidah arsitektur tertentu / khusus untuk bangunan gedung pada kawasan tertentu / khusus setelah mendapatkan pertimbangan teknis Tim Ahli Bangunan Gedung, mempertimbangkan pendapat publik, dan mendapat rekomendasi DPRD Kota Denpasar.

Pasal 27

(1) Persyaratan tata ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung dan keandalan bangunan gedung.

(2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi dan efektivitas tata ruang dalam.

(3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan dalam

(38)

pemenuhan tata ruang dalarn terhadap kaidah - kaidah arsitektur bangunan gedung secara keseluruhan.

(4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan tata ruang dalam.

Pasal 28

(1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (2) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

(2) Pertimbangan terhadap ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung.

Pasal 29

(1) Ketentuan - ketentuan dalam Peraturan Daerah ini pada dasarnya tidak berlaku bagi pendirian bangunan tradisional Bali, sepanjang yang pembangunannya telah didasarkan atas prinsip – prinsip peraturan - peraturan bangunan tradisional Bali, dan pola ruang bangunan Bali, dan dikendalikan / dilaksanakan oleh tenaga ahli bangunan tradisional Bali.

(2) Perbaikan, perubahan, pembangunan kembali sebagian atau seluruhnya bagi bangunan-bangunan yang bernilai sejarah budaya dan tradisional yang belum diatur oleh peraturan peraturan yang berlaku harus dengan ijin Walikota.

(3) Pejabat yang berwenang untuk memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) wajib mengarahkan agar kegiatan pembangunan mengarah kepada

(39)

usaha untuk mempertahankan serta memperkembangkan inti dan gaya Arsitektur Tradisional Bali yang sekaligus mencerminkan falsafah hidup tradisional masyarakat setempat, serta wajib memahami prinsip - prinsip Arsitektur Tradisional Bali.

(4) Prinsip - prinsip Arsitektur Bali dipakai sebagai acuan untuk mewujudkan bangunan yang bergaya / berlanggam dan bercitra Arsitektur Tradisional Bali, meliputi :

Filosofi Tri Hita Karana sebagai inti Arsitektur Bali a. Prinsip - prinsip tata ruang dan orientasi.

b. Prinsip - prinsip tata letak / setting massa bangunan.

c. Prinsip - prinsip tata bangunan tradisional.

d. Prinsip - prinsip struktur dan konstruksi tradisional.

e. Prinsip - prinsip utilitas dan ergonomi tradisional.

f. Prinsip - prinsip penggunaan bahan bangunan lokal, tekstur, warna, dan ornamen tradisional.

g. Prinsip - prinsip pemagaran dan gerbang halaman tradisional Bali.

Pasal 30

(1) Pada samping jalan - jalan tertentu di wilayah Kota Denpasar diwajibkan pembangunan serta pemeliharaan pagar tembok tradisional Bali setinggi lebih kurang 1,80 (satu koma delapan puluh) meter beserta pintu - pintu gebangnya yang berbentuk atau bergaya tradisional Bali dengan pengutamaan langgam khas bercirikan Arsitektur Tradisional Bali seperti angkul - angkul, kori agung atau candi bentar vang dipilih sesuai dengan status bangunan. Ketentuan lebih lanjut tentang pagar dan gerbang pekarangan akan diatur dengan Peraturan Walikota Denpasar.

(2) Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) tidak diwajibkan untuk bangunan pertokoan, bengkel pompa bensin dan terminal.

(40)

Pasal 31

(1) Pagar pekarangan yang terletak di tepi jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan umum, harus mencerminkan prinsip bentuk pagar tradisional Bali.

(2) Setiap pintu yang terdapat pada pagar pekarangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diusahakan mundur minimal 1,20 (satu koma dua puluh) meter dari garis pagar.

(3) Setiap bangunan yang dibangun berdasarkan Peraturan Daerah ini, yang terletak di tepi jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan umum, harus dilengkapi dengan pagar sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2).

Pasal 32

(1) Setiap bangunan tidak diperbolehkan menghalangi pandangan lalu lintas.

(2) Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak diperbolehkan mengganggu atau menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan umum, keseimbangan / pelestarian lingkungan dan kesehatan lingkungan.

(3) Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak diperbolehkan dibangun / berada di atas saluran sungai, selokan parit pengairan.

Bagian Kesembilan

Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan Pasal 33

(1) Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan berlaku bagi

(41)

bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak penting yang buruk terhadap lingkungan.

(2) Setiap pemohon yang akan mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan, bila jenis usaha dan kegiatan dalam bangunannya potensial menganggu dan menimbulkan dampak penting yang buruk terhadap lingkungan harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), sesuai yang dipersyaratkan dalam peraturan perundang - undangan yang berlaku.

(3) Jenis bangunan gedung yang wajib dilengkapi dengan kajian lingkungan (AMDAL, UKL - UPL) adalah usaha dan / atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak penting yang buruk terhadap lingkungan adalah bila rencana kegiatan tersebut akan :

a. Menyebabkan perubahan pada sifat - sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut perundang - undangan yang berlaku.

b. Menyebabkan perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah.

c. Mengakibatkan spesies - spesies yang langka dan atau endemik, dan atau dilindungi menurut peraturan perundang - undangan yang berlaku terancam punah atau habitat alaminya, mengalami kerusakan.

d. Menimbulkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan lindung, cagar alam, taman nasional, suaka marga satwa dan sebagainya) yang telah ditetapkan menurut peraturan perundang - undangan.

e. Merusak atau memusnahkan benda - benda dan bangunan peninggalan sejarah yang bernilai tinggi.

f. Mengubah atau memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi.

g. Mengakibatkan / menimbulkan konflik atau kontroversi dengan masyarakat dan atau pemerintah.

(4) Penilalan terhadap dokumen hasil kajian lingkungan (AMDAL, UKL - UPL) dilakukan oleh Komisi Penilai yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Walikota, sedangkan pelaksanaan dan pengawasan terhadapnya ditangani oleh Dinas / Instansi teknis yang menangani

(42)

masalah Lingkungan Hidup.

(5) Permohonan ljin Mendirikan Bangunan yang potensial menimbulkan dampak penting harus disertai dengan rekomendasi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dari instansi yang menangani masalah lingkungan hidup.

(6) Persyaratan pengendalian dampak lingkungan pada bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan dalam peraturan yang berlaku.

(7) Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan Ijin Mendirikan Bangunannya dapat dicabut oleh Walikota.

Bagian Kesepuluh

Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Pasal 34

(1) Persyaratan tata bangunan untuk suatu kawasan, lebih lanjut perlu disusun dan ditetapkan dalam Rencana Tata Banguman dan Lingkungan (RTBL).

(2) Dalam menyusun RTBL, Pemerintah Kota Denpasar mengikutsertakan masyarakat, pengusaha dan para ahli agar didapat RTBL yang sesuai dengan kondisi kawasan dan masyarakat setempat.

(3) RTBL disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan akan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun atau disesuaikan dengan kebutuhan.

(4) RTBL digunakan untuk pengendalian pemanfaatan ruang suatu lingkungan / kawasan, menindaklanjuti rencana rinci tata ruang dalam rangka perwujudan kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang berkelanjutan dan aspek fungsional, sosial, ekonomi dan lingkungan

(43)

bangunan gedung termasuk ekologi dan kualitas visual.

(5) Penyusunan RTBL didasarkan pada pola penataan bangunan gedung dan lingkungan yang meliputi perbaikan, pengembangan kembali, pembangunan baru dan / atau pelestarian untuk

a. Kawasan terbangun.

b. Kawasan yang dilindungi dan dilestarikan.

c. Kawasan baru yang potensial berkembang dan.

d. Kawasan yang bersifat campuran.

Bagian Kesebelas

Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung Pasal 35

(1) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan.

(2) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung.

Bagian Keduabelas Persyaratan Keselamatan

Pasal 36

Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk

mendukung beban muatan, serta

kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.

(44)

Pasal 37

(1) Setiap bangunan gedung strukturnya harus direncanakan kuat kokoh dan stabil dalam memikul beban / kombinasi beban dan memenuhi persyaratan kelayakan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan, lokasi, keawetan dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

(2) Struktur bangunan gedung harus direncanakan dan dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pada kondisi pembebanan melampaui batas maksimum bila terjadi keruntuhan, kondisi struktur masih dapat memberi kemudahan evakuasi bagi penghuni dan pengamanan harta benda.

(3) Dalam perencanaan struktur bangunan gedung terhadap pengaruh gempa, semua unsur struktur bangunan gedung, baik bagian dari sub struktur maupun struktur gedung, harus diperhitungkan memikul pengaruh gempa yang intensitasnya diprediksi sesuai dengan zona gempa.

(4) Struktur bangunan gedung harus direncanakan secara detail sehingga pada kondisi pembebanan maksimum yang direncanakan, apabila terjadi keruntuhan kondisi strukturnya masih dapat memungkinkan pengguna bangunan gedung menyelamatkan diri.

(5) Tiap bangunan dan bagian konstruksinya yang dinyatakan mempunyai tingkat gaya angin atau gempa yang cukup besar harus direncanakan dengan konstruksi yang sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku.

(6) Setiap bangunan bertingkat, dalam pengajuan perijinan mendirikan bangunannya harus menyertakan perhitungan strukturnya sesuai pedoman dan strandar teknis yang berlaku.

(7) Dinas / Instansi teknis yang menangani di Kota Denpasar mempunyai kewajiban dan wewenang untuk memeriksa konstruksi bangunan yang

(45)

dibangun/ akan dibangun baik dalam rancangan bangunannya, maupun pada masa pelaksanaan pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap bahaya gempa.

Pasal 38

(1) Pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melindungi semua bagian bangunan gedung termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya sambaran petir.

(2) Sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan instalasi penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan yang karena, letak, sifat geografis, bentuk, ketinggian, dan penggunaannya mempunyai resiko terkena sambaran petir.

(3) Sistem penangkal petir yang dirancang dan dipasang harus dapat mengurangi secara nyata resiko kerusakan yang disebabkan sambaran petir terhadap bangunan gedung dan peralatan yang diproteksinya, serta melindungi manusia dalamnya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, dan pemeliharaan instalasi sistem penangkal petir mengikuti pedoman dan standart teknis yang berlaku.

Pasal 39

(1) Setiap bangunan gedung yang dilengkapi dengan instalasi listrik termasuk sumber daya listriknya harus dijamin aman, andal dan akrab lingkungan.

(46)

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan, pemasangan, pemeriksaan dan pemeliharaan instalasi listrik mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Bagian Ketigabelas Persyaratan Kesehatan

Pasal 40

Persyaratan kesehatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1) meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan bangunan gedung.

Pasal 41

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem penghawaan setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan atau ventilasi mekanik / buatan sesuai dengan fungsinya.

(2) Kebutuhan ventilasi diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan volume, sirkulasi dan pertukaran udara dalam ruang sesuai dengan fungsi ruang.

(3) Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat dibuka sesuai dengan kebutuhan dan standar teknis yang berlaku.

(4) Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela, bukaan, pintu, ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang bersebelahan.

(5) Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5% (lima persen) dari luas lantai ruangan yang diventilasi.

(47)

(6) Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami tidak dapat memenuhi syarat.

(7) Penetapan kipas (fan) sebagai ventilasi alami harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar atau sebaliknya.

(8) Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni.

(9) Penggunaan ventilasi buatan harus memperhitungkan pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.

(10) Penerapan sistem ventilasi alami / buatan harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip - prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung.

(11) Ketentuan tata cara perencanaan dan pemasangan sistem ventilasi pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 42

(1) Untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan, setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.

(2) Kebutuhan pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk ruangan di dalam bangunan, daerah luar bangunan, jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan.

(3) Pemanfaatan pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal pada

(48)

bangunan gedung, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung dan fungsi masing - masing ruang di dalam bangunan gedung.

(4) Pencahayaan buatan pada bangunan gedung harus dipilih secara fleksibel, efektif dan sesuai dengan tingkat iluminasi yang dipersyaratkan sesuai dengan fungsi ruangan dalam gedung, dengan mempertimbangkan efisiensi dan konservasi energi yang digunakan

(5) Besarnya kebutuhan pencahayaan alami dan atau buatan dalam bangunan gedung dihitung berdasarkan pedoman dan standar teknis yang berlaku.

Pasal 43

Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sistem air bersih, sistem pembuangan air kotor, dan atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.

Pasal 44

(1) Jenis, mutu, sifat dan peralatan instalasi air minum harus memenuhi standard dan ketentuan teknis yang berlaku

(2) Pemilihan sistem dan penempatan instalasi air minum harus disesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan - bangunan lain, bagian - bagian lain dari bangunan dan instalasi - instalasi lain sehingga tidak saling membahayakan, mengganggu, dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan pemeliharaan;

(3) Pengadaan sumber air minum diambil dari sumber yang dibenarkan secara resmi oleh yang berwenang.

(4) Ketentuan mengenai tata cara perencanaan, pemasangan dan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data ketuntasan indikator literasi sains siswa (Tabel 3) terdapat 4 indikator yang diukur, persentase ketuntasan terendah terdapat pada indikator

Dari hasil perbandingan tersebut, metode vorteks dapat menunjukkan struktur aliran vortisitas yang mirip dan konsisten dengan yang ditunjukkan oleh eksperimen

untuk pengirim 3928218: Surat dukungan dan jaminan purna jual adalah salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam dokumen pengadaan, sehingga harus dimasukkan dalam

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Pemahaman Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Pelatihan, Akuntabilitas, dan Transparansi Terhadap Penyusunan Laporan

(2) Introduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan oleh Pemerintah Desa. dan dapat pula dilakukan oleh perorangan atau

Dalam penelitian ini sampel yang mewakili populasi terdiri dari petani jagung dengan pembiayaan modalnya yaitu hutang legal (bank), hutang ijon (tengkulak) dan

Hadits-hadits Nabi SAW banyak membicarakan bentuk rendah hati dan tanda-tanda yang menunjukkan sikap rendah hati seseorang.. Pertama, mau mengajak bicara dengan anak

KATA PENGANTAR Puji syukur patut kita haturkan kehadirat Allah SWT, sebagai penguasa yang akbar bagi seluruh alam semesta karena atas rahmat dan berkat-Nyalah sehingga penelitian