URGENSI PENDIDIKAN NON FORMAL
DALAM KONSEP PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT M. Yusuf1
Abstract:
In this paper, we will examine how non-formal education contributes to reviving and implementing the concept of life long education, because it is a part of the education system which has a very important role in the service of life long education, which is very much needed now and in the future. Non-formal education units consist of course institutions, training institutions, study groups, community learning centers (PKBM), and majelis taklim, and similar education units. As is well known, students learn about the world of formal education and their learning is limited to certain times, at that time also, students in learning control, meaning that all academic activities are monitored directly by the teachers or educators.
But as stated at the outset, the learning time is limited, after school, the teacher's task seems to have been completed in escorting the learners, the only one who can be relied upon is parents who are tasked with controlling and supervising them in learning. But with various reasons that emerged such as busyness, educational background and so on. So education must always get serious escort while the student lives, the education control relay baton must not break up only during school hours, but must also be passed on to parents, if parents are unable, then it can be thrown at tutors who located in non-formal institutions that are now popping up by including students in these institutions. The concept of lifelong education by utilizing non-formal educational institutions will supply energy and enthusiasm that humans should not stop learning even though age has begun to increase, because in this concept education does not recognize age and place, because humans are created as human learners who must not be bored and stop to learn.
Keyword: non formal education, life long education
A. Pendahuluan
Pendidikan luar sekolah yang biasa disebut sebagai pendidikan non formal dan juga informal, merupakan sebuah bagian dari sistem pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat, yang sangat
▸ Baca selengkapnya: contoh perkaderan non formal
(2)35 dibutuhkan saat ini dan ke depan. Pendidikan luar sekolah dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani oleh pendidikan formal. Ahmed (Wahyudi Ruwiyanto, 1994: 40) menjelaskan bahwa dalam konteks sosio-ekonomi bagi individu dari suatu program pendidikan (termasuk pendidikan luar sekolah) adalah memberikan kebermanfaatan atau perbaikan dari segi penghasilan, produktivitas, kesehatan dan partisipasi.2
Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU 20/2003) pasal 13 ayat 1 menegaskan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling mengganti dan memperkaya. Berdasarkan definisi dari pasal 1 ayat 11, 12, dan 13 masing- masing jalur pendidikan mempunyai kejelasan makna dan pengertian. Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.3 Dari penjelasan ini, peran dan fungsi dari pendidikan non formal memang tidak bisa dianggap remeh.
Dan kini, layanan pendidikan non formal memang tengah memiliki tempat di hati masyarakat, karena dengan adanya layanan pendidikan itu, seolah menjadi penyempurna peningkatan keterampilan peserta didik yang tidak dapat diperoleh di bangku sekolah yang dalam hal ini adalah lembaga pendidikan formal.
Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,
2I Ketut Sudarsana, “Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan
Sumber Daya Manusia” Jurnal Penjamin Mutu, (N.D.), 1–14.
3Ida Kintamani, Dewi Hermawan, And Sekretariat Jenderal Kemdikbud, “The Performance Of
36
dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan juga hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.4
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup (long life education). Pendidikan tidak melulu hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi mencakup pula non formal. Pendidikan juga merupakan proses, dalam mengembangkan potensi-potensi (kemampuan, kapasitas) manusia yang mudah dipengaruhi oleh lingkungan dan kebiasaan-kebiasaan di mana si terdidik tumbuh dan berkembang.5 Dari sini perhatian beberapa pakar pendidikan mulai terfokus pada kondisi lingkungan peserta didik dalam kemajuan proses pendidikannya.
Pendidikan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas itu sangat penting pada zaman kemajuan yang serba cepat ini, lebih-lebih pada abad yang akan datang. Dari sekarang telah terasa kuatnya persaingan antara orang perorang, antara kelompok, juga antar bangsa agar mampu bertahan dalam kehidupan yang serba dinamis. Hidup pada zaman seperti itu tidaklah mudah anak-anak harus disiapkan sedini mungkin, terarah, teratur, dan berdisiplin. Dalam kehidupan seperti itu godaan dan hal-hal yang dapat merusak mental serta moral manusia sungguh amat dahysat. Dan menghadapi zaman itu agama akan terasa lebih diperlukan.6
Lebih lanjut dikatakan, Pendidikan adalah upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani. Itu artinya, pendidikan adalah proses merealisasikan (self
4Ibid.
5Asmal May, “Melacak Peranan Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Islam” Tsaqafah, Jurnal
Peradaban Islam, vol 2, no. 2 (2015), 209–222.
6Zulhaini, “ Peranan Keluarga Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Kepada
37
realization) atau menampilkan diri sebagai pribadi yang utuh (Muslim sejati). Proses
pencapaian realisasi diri tersebut dalam istilah psikologi disebut becoming, yakni proses menjadikan diri dengan keutuhan pribadi. Sedangkan untuk sampai pada keutuhan pribadi diperlukan proses perkembangan tahap demi tahap yang disebut proses development. Tercapainya self realization yang utuh itu merupakan tujuan umum pendidikan Islam yang proses pencapaiannya melalui berbagai lingkungan atau lembaga pendidikan, seperti yang dikatakan Ramayulis: (a) pendidikan keluarga, (b) sekolah, dan (c) masyarakat, secara formal, non-formal, maupun informal.7
Pendidikan agama dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus dapat perhatian penuh dari keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama dan spritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak melalui bimbingan agama dan pengamalan ajaran-ajaran agama.8 Dari segi kegunaan, pendidikan agama dalam rumah tangga berfungsi sebagai berikut:
a. Penanaman nilai dalam arti pandangan hidup yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya.
b. Penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai hidup dan pengetahuan di sekolah.
Dengan kedua fungsi tersebut, pelaku pendidikan akan dengan senantiasa siap menghadapi segenap problematika kehidupan karena telah ditempa pendidikan agama yang baik di tengah-tengah keluarga mereka.
B. Pembahasan
1. Pendidikan non Formal
a. Pengertian Pendidikan non Formal
7May, “Melacak Peranan Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Islam.”
8Zulhaini, “Peranan Keluarga Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Kepada
38
Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara berjenjang dan terstruktur (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Karena sifatnya adalah untuk mengganti, menambah, dan melengkapi pendidikan formal, pendidikan ini dapat diselenggarakan oleh lembaga khusus yang ditunjuk oleh pemerintah dengan berpedoman pada standar nasional pendidikan. Dan karena berpedoman pada standar nasional pendidikan maka hasil dari pendidikan non formal tersebut dapat dihargai setara dengan pendidikan formal.
Secara historis, pendidikan non formal memiliki kedudukan yang kuat dalam berbagai jalur birokrasi pemerintahan maupun jalur kehidupan masyarakat lainnya. Namun, seiring dengan berkembang waktu, jalur pendidikan non formal perlu untuk melakukan revitalisasi pada komponen-komponen program yang dianggap penting untuk dikembangkan. Tak perlu ragu untuk menghapuskan berbagai pola-pola yang dianggap sudah tertinggal
(out of date) dalam percaturan pembangunan dan pengembangan masyarakat,
karena, bila hal tersebut dibiarkan akan mengakibatkan adanya stagnansi dalam pengembangan program-program pendidikan non formal.9
b. Tujuan dan sasaran pendidikan non Formal.
Tujuan pendidikan non-formal adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik di lembaga pendidikan dengan menekan meningkatnya masyarakat keaksaraan untuk memusatkan perhatian pada pelayanan bagi warga masyarakat yang tergolong kurang beruntung disebabkan faktor ekonomi, dan kurangnya sarana dan prasana.10 Jadi dengan adanya lembaga
pendidikan non formal, kesempatan masyarakat akan lebih luas dalam mengakses layanan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.
9 Dinno Mulyono, “Menegaskan Karakter Pendidikan Nonformal” 1, No. 1 (2012), 63–68.
10Ijis Indonesian Journal, “Data Processing Information System For Non-Formal Students” 2, No.
39 Tujuan kedua adalah dengan adanya pendidikan non formal, maka keberadaan peserta didik akan selalu terpantau dan selalu dalam keadaan belajar di mana saja. Sebagaimana diketahui bersama, bahwasannya peserta didik yang mengenyam dunia pendidikan formal pembelajarannya hanya terbatas pada waktu-waktu tertentu, di waktu itu pula, peserta didik dalam kontrolan pembelajaran, artinya segala aktivitas akademiknya dipantau secara langsung oleh para guru atau pendidiknya.
Namun seperti yang dikemukakan di awal, waktu pembelajarannya terbatas. Sepulang sekolah, tugas guru seolah telah selesai dalam mengawal para peserta didik belajar, satu-satunya yang dapat diandalkan adalah orang tua yang bertugas mengontrol dan mengawasi mereka dalam belajar. Namun dengan berbagai alasan yang mengemuka seperti kesibukan, latar belakang pendidikan dan sebagainya, seolah semakin menegaskan bahwa orang tua kini kurang mendapat peran dalam mengawal mereka agar terus belajar. Dalam posisi ini, keberadaan orang tua seperti tidak berpengaruh lagi, tongkat estafet pengawalan akademik seolah terputus hanya sampai di sini.
c. Fungsi-fungsi pendidikan non Formal.
Pendidikan non formal tumbuh berkembang seiring dengan pelbagai problematika kehidupan dan perjalanan pendidikan di Indonesia. Adapun fungsi-fungsi dari pendidikan non formal adalah :
1) Sebagai jalur pendidikan pelengkap atau penambah jalur pendidikan formal. Sebagaimana tujuan dari diterapkannya pendidikan non formal, maka posisinya adalah mengawal kegiatan akademis peserta didik ketika telah usai pada jam sekolah.
2) Sebagai pendidikan penguat yang bergerak sejajar dan setara dengan jalur-jalur pendidikan lainnya. Fungsi ini senada dengan amanat presiden tentang prioritas pendidikan di tahun 2012, yaitu “Meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau, baik melalui
40
jalur formal maupun non-formal di semua jenjang pendidikan” (Kopertis XII, 2012).11
3) Sebagai pendidikan penumbuh dan pengembang bakat non akademik. Hal itu terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang bermunculan dengan spesifikasi kegiatan berdasarkan kemampuan dasar calon peserta didik.
4) Pengasah Keterampilan. Dengan adanya pendidikan non formal, maka pengetahuan-pengetahuan peserta didik yang diterima di sekolah namun belum menyentuh pada taraf psikomotorik, maka pendidikan non formal menjadi alternatif para peserta didik dalam mengasah dan mengembangkan beragam keterampilan.
d. Jenis-jenis pendidikan non Formal.
Lingkungan pendidikan non-formal merupakan lembaga kemasyarakatan dan atau kelompok sosial di masyarakat, baik langsung maupun tak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi edukatif (Tirtarahardja dan Sula). Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 12 Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Adapun bentuk dan jenis penyelenggaraan pendidikan non formal secara terstruktur dan berjenjang antara lain;
1) Kelompok belajar paket A (setara dengan SD), kelompok belajar paket B (setara dengan SMP), paket C (setara dengan SMA) yang merupakan lembaga kursus yang mempunyai tingkat kecakapan.
2) Lembaga Kursus dan Pelatihan
Lembaga kursus dan pelatihan adalah pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh sekelompok masyarakat untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental tertentu kepada peserta didik. contoh; lembaga
41 kursus computer, lembaga kursus bahasa asing, lembaga kursus seni musik, lembaga kursus kerajinan tangan, dan sebagainya.
3) Kelompok Belajar
Kelompok belajar adalah pendidikan non formal yang terdiri dari sekelompok masyarakat yang saling berbagi pengalaman dan kemampuan satu sama lain. Tujuan dari kelompok belajar ini adalah untuk meningkatkan mutu dan taraf hidup setiap anggota kelompok belajar.
4) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
Menurut Sutaryat, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat adalah pendidikan non formal yang berfungsi sebagai tempat untuk belajar dari/oleh/dan untuk masyarakat, tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap, hobi, dan bakat anggota masyarakat sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya.
5) Majlis Ta’lim
Majlis Ta’lim adalah pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap hidup, yang berhubungan dengan agama Islam, seperti kelompok yasinan, kelompok pengajian, pengajian kitab kuning, salafiah, dan sebagainya.
2. Konsep Pendidikan sepanjang hayat
a. Pengertian Pembelajaran sepanjang hayat
Pembelajaran sepanjang hayat atau yang biasa dikenal istilah pendidikan seumur hidup (Life Long Education) adalah pendidikan yang menekankan bahwa proses pembelajaran serta pendidikan berlangsung terus menerus sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia, baik dilaksanakan di jalur pendidikan formal, non formal maupun informal.12 Karena memang Pendidikan sebagai semua pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan (dalam keluarga/sekolah dan atau
42
masyarakat) dan berlangsung sepanjang hidup. Melalui pendidikan ada ranah dalam diri manusia yang akan dikembangkan pada anak didik yaitu ranah kognisi yaitu cipta otak (pikiran), ranah afeksi (rasa dan karsa) atau yang lazim disebut perasaan dan kemauan, dan ranah psikomotor yaitu keterampilan. Pendidikan yang berlangsung terus menerus akan mendukung keseimbangan hidup antara jasmani dan rohani, kemudian akan melahirkan manusia yang beriman dan berpengetahuan sehingga dapat menjalankan misi penciptaannya sebagai khalifah yang dapat mengelola alam dengan penuh pengabdian kepada penciptanya.13
Para pakar pendidikan memberikan beberapa pengertian terhadap Pendidikan Sepanjang Hayat (Life Long Education), di antaranya;
1) Menurut Sthepens: pokok dalam pendidikan sepanjang hayat (Life
Long Education) adalah seluruh individu harus memiliki kesempatan
yang sistematik, terorganisir untuk instruksi, studi dan belajar di setiap kesempatan sepanjang hidup mereka. Adapun tujuannya adalah menyembuhkan kemunduran akan pendidikan sebelumnya sehingga memperoleh keterampilan baru, meningkatkan keahlian, dan mengembangkan kepribadian.
2) Silva menyatakan pendidikan sepanjang hayat (Life Long
Education) dengan prinsip pengorganisasian yang akhirnya
memungkinkan pendidikan untuk melakukan fungsinya yaitu proses perubahan yang menuntut perkembangan individu.
3) Menurut Croppley: Pendidikan Sepanjang Hayat (Life Long
Education) diartikan dengan tujuan atau ide formal untuk
pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan.
13Ibid.
43 Pengorganisasian dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai yang paling tua.14 b. Konsep life long education
Sejak abad ketujuh Masehi, Islam telah mencanangkan pendidikan sepanjang hayat. Islam telah mewajibkan kepada umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu pengetahuan, sejak lahir sampai meninggal dunia. Bahkan, Islam menganjurkan kepada umatnya agar menuntut ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina.15
Pendidikan sepanjang hayat atau pendidikan seumur hidup adalah sebuah sistem konsep-konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia. Pendidikan sepanjang hayat memandang jauh ke depan, berusaha untuk menghasilkan manusia dan masyarakat yang baru, merupakan suatu proyek masyarakat yang sangat besar. Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi dan informasi, yaitu masyarakat modern. Manusia harus lebih bisa menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi yang baru.16
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia untuk senantiasa belajar, oleh karenanya muncul konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (Life Long Education) yang menjamin setiap manusia untuk belajar sepanjang hidupnya. Belajar Sepanjang Hayat (Life Long Education) adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan (continuining-learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia. Oleh karena setiap fase perkembangan pada masing-masing individu harus dilalui dengan belajar agar dapat memenuhi tugas-tugas
14Hatta Moh, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tinta Mas, 1961), 28 15.
15Wawan Wahyudin, Pendidikan Sepanjang Hayat Menurut Perspektif Islam (Kajian Tafsir
Tarbawi) M (2016), 191–208.
44
perkembangannya, maka belajar itu dimulai dari buaian, masa kanak-kanak, sampai dewasa dan bahkan sampai masa tua (tutup usia). Proses Belajar Sepanjang Hayat (Life Long Education) mencakup Tri Pusat Pendidikan yaitu belajar secara informal, formal maupun non formal sehingga mencapai tujuan pendidikan khususnya tujuan pendidikan Islam di mana seseorang bermanfaat bagi orang lain serta mendapat kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.17
Pendapat ini menunjukan, pendidikan bukan hanya didapat dari bangku sekolah atau pendidikan formal, namun juga dapat diperoleh dari pendidikan informal dan non formal. Pendidikan berlangsung seumur hidup melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupan manusia. Pendidikan seumur hidup adalah sebuah sistem konsep pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa kegiatan belajar mengajar dalam keseluruhan kehidupan manusia. Proses pendidikan seumur hidup berlangsung secara kontinu dan tidak terbatas oleh waktu, dan tempat sepanjang perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga meninggal dunia baik secara formal maupun non formal. Proses pendidikan seumur hidup tidak hanya dilakukan oleh seseorang yang sedang belajar pada pendidikan formal, namun bagi semua lapisan masyarakat.18
c. Fase Pendidikan pada Kehidupan Manusia
Pendidikan pada kehidupan manusia memiliki fase yang telah diklasifikasi oleh beberapa pakar di bidangnya, Periode 1000 hari pertama kehidupan terdiri dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun. Dengan demikian, 1000 hari pertama kehidupan terjadi pada saat ibu hamil dan menyusui hingga usia anak 23 bulan. Periode 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode kritis dalam kehidupan manusia dan memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan fungsinya.19
17Hatta Moh, "Alam Pikiran Yunani".
18Jannah, “Pendidikan Seumur Hidup Dan Implikasinya.”
45 Pada kehamilan 8 minggu pertama sejak pembuahan terjadi pembentukan semua cikal bakal yang akan menjadi otak, hati, jantung, ginjal, tulang, dan lain-lain. Kemudian kehamilan 9 minggu hingga kelahiran, merupakan pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut pada organ tubuh agar siap untuk hidup di dunia baru atau di luar kandungan ibu. Perkembangan penting sebagian organ terus berlanjut sampai kira- kira 2 tahun pertama kehidupan. Dengan demikian, sebagian besar organ dan sistem, masa kritisnya terjadi pada saat periode dalam kandungan.
Oleh karena itu, segala hal yang diperlukan oleh janin dan bayi pada 1000 hari pertama kehidupan tersebut harus dipenuhi, karena akan sangat besar dampaknya terhadap kehidupannya kelak. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan asuh, asah dan asih. Kekurangan gizi yang merupakan salah satu kebutuhan fisik pada masa janin dan usia dini akan memberikan dampak jangka pendek dalam perkembangan otak, pertumbuhan (IUGR), dan metabolic programing. Dampak jangka pendek tersebut, akan membawa pada dampak jangka panjang yaitu; perkembangan otak akan menyebabkan kemampuan kognitif dan pendidikan yang kurang, pertumbuhan (IUGR) akan menyebabkan stunting/pendek, dan metabolic programing akan menyebabkan berbagai penyakit seperti hipertensi, diabetes, obesitas, PJK, dan stroke.20
4. Persiapan Pembelajaran Sepanjang hayat menghadapi era 4.0
Konsep revolusi industri 4.0 pertama kali dikenalkan oleh Profesor Klaus Schwab yang merupakan seorang ahli ekonomi melalui bukunya yang berjudul “The Fourth Industrial Revolution”. Dalam bukunya Profesor Klaus menjelaskan, bahwa revolusi industri 4.0 telah mengubah hidup, pola pikir dan cara kerja manusia. Dalam perkembangannya, revolusi industri 4.0 ini memberikan tantangan sekaligus dampak bagi generasi muda bangsa
20Ibid.
46
Indonesia.21 Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa dunia telah mengalami empat tahapan revolusi, yaitu:
1) Revolusi Industri 1.0 terjadi pada abad ke 18 melalui penemuan mesin uap, sehingga memungkinkan barang dapat diproduksi secara masal, 2) Revolusi Industri 2.0 terjadi pada abad ke 19-20 melalui penggunaan
listrik yang membuat biaya produksi menjadi murah,
3) Revolusi Industri 3.0 terjadi pada sekitar tahun 1970an melalui penggunaan komputerisasi, dan,
4) Revolusi Industri 4.0 sendiri terjadi pada sekitar tahun 2010an melalui rekayasa intelegensia dan internet of thing sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin.22
Perubahan dahsyat sebagaimana penjelasan di atas sedikit banyak akan mempenaruhi kehidupan umat manusia secara drastis termasuk dalam hal pendidikan dan realita kehidupan manusia lainnya.
Realita kehidupan manusia secara fundamental juga mengubah cara hidup, bekerja dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Dalam skala ruang lingkup dan kompleksitasnya, transformasi yang sedang terjadi mengalami pergeseran gaya hidup dari sebelumnya. Kemajuan bidang informasi komunikasi dan bioteknologi hingga teknik material mengalami percepatan luar biasa dan membawa perubahan radikal di semua dimensi.23
Dampak negatif yang ditimbulkan dan dapat kita lihat sekarang ini adalah kurangnya pemahaman mengenai pendidikan multikultural bagi generasi muda kita dalam hal ini anak usia sekolah. Kurangnya pemahaman mengenai pendidikan multikultural ini juga berdampak terhadap lunturnya identitas nasional bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia mulai
21Abdul Rohman Et Al., “Pendidikan Multikultural : Penguatan Identitas Nasional Di Era,” No.
September (2018), 44–50.
22Banu Prasetyo, Umi Trisyanti, “Revolusi Industri 4.0 Dan Tantangan Perubahan Sosial” (N.D.),
22–27.
47 ditinggalkan oleh generasi muda kita. Hal tersebut menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan yang berakibat pada terhambatnya perkembangan kualitas pendidikan itu sendiri. Dimulai dari munculnya radikalisme secara langsung ataupun melalui media sosial, tawuran antar sekolahan, tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak usia sekolah, lunturnya nilai budaya bangsa pada diri generasi muda, dan intoleransi antar sesama serta diskriminasi dalam dunia pendidikan yang masih saja terjadi sampai saat ini.24
Jadi, dengan berkembangnya kemajuan teknologi yang tak terbendung lagi ini, mau tidak mau pendidikan harus juga mengikuti perkembangannya, upaya menjauhkan diri dan sikap konservatif terhadap perkembangan teknologi dikarenakan kekhawatiran akan dampak dan efek negatif kepada pendidikan agaknya harus mulai dirubah karena itu menjadi suatu hal yang tak beralasan.
Pendidikan harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk pengembangan dan fasilitas media pembelajaran, apalagi sekarang untuk bersentuhan dengan teknologi itupun dapat dilakukan dengan mudah dan murah, artinya akses pengetahuan dan wawasan berbasis internet menjadi sangat mudah untuk dilakukan baik di sekolah maupun di rumah, kapanpun dan di manapun.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulan bahwasannya memegang konsep pendidikan sepanjang hayat, pendidikan harus selalu mendapatkan pengawalan secara serius di mana peserta didik itu tinggal, tongkat estafet pengontrolan pendidikan tidak boleh putus hanya sampai pada saat jam sekolah saja, namun juga harus diteruskan kepada orang tua, jika orang tua tidak sanggup, maka bisa dilemparkan kepada para tutor yang berada pada lembaga-lembaga non formal
48
yang sekarang banyak bermunculan dengan memasukkan putra putrinya pada lembaga-lembaga tersebut.
Konsep pendidikan sepanjang hayat dengan memanfaatkan lembaga pendidikan non formal akan mensuplai energi dan semangat bahwasannya manusia tidak boleh berhenti belajar kendati usia telah mulai bertambah, karena dalam konsep tersebut pendidikan tidak mengenal usia dan tempat, karena manusia tercipta sebagai manusia pembelajar yang tidak boleh bosan dan berhenti untuk belajar.
Daftar Pustaka
Gazali. Erfan, “Pesantren di Antara Generasi Alfa Dan Tantangan” 2, No. 2 (2018): 94–109.
Jannah, Fathul. “Pendidikan Seumur Hidup Dan Implikasinya” 13, No. 1 (2013). Journal, Ijis Indonesian. “Data Processing Information System For Non-Formal
Students” 2, No. April 2017 (N.D.).
Kintamani, Ida, Dewi Hermawan, And Sekretariat Jenderal Kemdikbud. “The Performance Of Equality Education As A Type Of Non Formal,” No. September 2011 (2012): 65–84.
Hatta, Moh. “Alam Pikiran Yunani , (Jakarta: Tinta Mas, 1961), Hal. 28 15” (1961): 15–32.
May, Asmal. “Melacak Peranan Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Islam” 2, No. 2 (2015): 209–222.
Mulyono, Dinno. “Menegaskan Karakter Pendidikan Nonformal” 1, No. 1 (2012): 63–68.
Prasetyo, Banu. dan Umi Trisyanti, “Revolusi Industri 4.0 Dan Tantangan Perubahan Sosial” (N.D.).
Qulub, Siti Tatmainul. “1000 Hari Pertama Kehidupan Perspektif Hukum Islam” 2 (2016).
Rohman, Abdul, Yenni Eria Ningsih, Magister Pendidikan Sejarah, Universitassebelasmaret Surakarta, Kota Surakarta, And Identitas Nasional. “Pendidikan Multikultural : Penguatan Identitas Nasional Di Era,” No. September (2018): 44–50.
Sudarsana, I Ketut. “Peningkatan Mutu Pendidikan Luar Sekolah Dalam Upaya Pembangunan Sumber Daya Manusia” (N.D.): 1–14.
Wahyuddin, Wawan. “Pendidikan Sepanjang Hayat Menurut Perspektif Islam ( Kajian Tafsir Tarbawi )” M (2016): 191–208.
Zulhaini, “Peranan Keluarga Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam Kepada Anak” Jurnal al Hikmah, vol. 1, No. 1, 2019 (N.D.): 1–15.