6 BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Logistics Services Quality
Menurut Kotler (2002), layanan atau jasa merupakan setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.
Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik.
Pelayanan dilakukan dengan tujuan utama untuk mendapatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Pelayanan atau jasa yang diberikan dapat berupa kemudahan, kecepatan, hubungan, kemampuan dan keramahtamahan yang ditujukan melalui sikap dan sifat dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan.
Dalam Logistics Services Quality konvensional, untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, para penyedia jasa memperhatikan beberapa karaktersistik jasa diantaranya:
a) Intangibility (Tidak terwujud)
Jasa tidak terwujud, tidak dapat dilihat, dicicipi, dirasakan dan didengar sebelum dibeli.
b) Inseparability (Tidak dipisahkan)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari pemberi jasa itu, baik pemberi jasa itu adalah orang maupun mesin. Jasa tidak dapat dijejerkan pada rak-rak penjualan dan dibeli oleh pelanggan kapan saja dibutuhkan.
c) Variability (Keanekarupaan)
Jasa sangat beraneka rupa, karena tergantung siapa yang menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali pembeli jasa menyadari akan keanekarupaan yang besar ini dan membicarakan dengan yang lain sebelum memilih satu peyediaan jasa.
d) Perishability (Tidak dapat tahan lama)
Jasa tidak dapat tahan lama, karenanya tidak dapat disimpan untuk
penjualan atau penggunaan di kemudian hari. Sifat jasa yang tidak tahan
lama ini bukanlah masalah kalau permintaan tetap/teratur, karena jasa- jasa sebelumnya dapat dengan mudah disusun terlebih dahulu, kalau permintaan berfluktasi, perusahaan jasa akan dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit (Moeller, 2010).
Karakterisik layanan para penyedia jasa modern yang dikembangkan oleh Hirata (2019) yang berisi 3 karakteristik terpenting untuk mencapai kepuasan pelanggan, yaitu sebagai berikut :
1. Proses digitalisasi seluruh informasi yang ada pada seluruh proses logistic yang ada
2. Kualitas staf yang bekerja di penyedia layanan jasa
3. Kualitas layanan pelanggan yang diberikan penyedia jasa kepada pelanggan
Selama ini kualitas pelayanan penyedia jasa pada bidang logistik telah diteliti dalam dua perspektif berbeda. Perspektif pertama menghubungkan kualitas dengan mengadaptasi layanan untuk spesifikasi yang ditentukan oleh penyedia jasa pelayanan (Gil Saura et al., 2008). Kualitas layanan dianggap sebagai bahan evaluasi dari seluruh tahapan operasi untuk memberikan pelayanan pada pembuatan suatu produk dengan mempertimbangkan layanan sebagai objek fisik yang dapat diamati dan dengan atribut yang dapat dievaluasi.
Perspektif kedua mentransfer evaluasi kualitas kepada pelanggan, yaitu kualitas subjektif. Dari perspektif ini, layanan kualitas adalah sikap global mengenai sifat superior dari layanan (Gil Saura et al., 2008).
Dari perspektif penyedia jasa layanan logistik, Abbasi dan Nilsson (2016) menyebutkan bahwa biaya dan waktu menjadi sangat penting bagi pelanggan. Sehingga para penyedia jasa layanan logistik membuat prioritas pertama adalah untuk memberikan kepuasan pada pelanggan melalui kualitas layanan yang baik. Pada penelitian ini menyimpulkan faktor terpenting penyedia layanan jasa pengiriman adalah kualitas layanan yang tinggi terhadap pelanggan. Dengan tujuan akhir adalah kepuasan pelanggan.
Di bidang layanan jasa transportasi umum, Morton et al. (2016)
mengidentifikasi variabel objektif yang diukur melalui persepsi pelanggan
sehubungan dengan harapan mereka (komponen subjektif) sebagai komponen utama LSQ. Pada penelitian tersebut menyebutkan pentingnya frekuensi layanan, ketersediaan, keandalan, dan stabilitas akan meningkatkan kemungkinan kepuasan yang dirasakan oleh penumpang. Pada tingkat yang lebih umum, penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan tambahan yang mana dapat dicapai melalui analisis yang lebih rinci dari data kebijakan transportasi yang ada. Studi terbaru (Millen and Maggard, 2010, Sohal et al., 1999, John T. Mentzer, 2001, Morton et al., 2016) mempertimbangkan LSQ sebagai perbedaan antara layanan yang diharapkan dan yang didapatkan oleh pelanggan. Hal ini membuat kualitas mudah berubah karena bersifat variatif dalam setiap tempat dan waktu (Morton et al., 2016). Kasiri et al., (2017) membedakan dua komponen dalam kualitas layanan:
1. kualitas teknis dinyatakan sebagai layanan yang secara teknis dapat diterima dan mengarah ke hasil nyata
2. kualitas fungsional yang mencakup cara pelanggan diperlakukan selama proses penyediaan layanan.
Kim et al., (2019) menyebutkan ada lima dimensi kualitas yang berpengaruh besar terhadap para penyedia jasa layanan dan berguna untuk memperoleh kepuasan pelanggan. Adapun kelima dimensi kualitas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reliability (Keandalan/kemampuan mewujudkan janji)
Kemampuan perusahaan dalam memberikan layanan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja yang harus sesuai dengan harapan pengguna berarti ketepatan waktu.
2. Responsiveness (ketanggapan dalam memberikan pelayanan)
Kemampuan untuk memberikan jasa dengan tanggap dan kesediaan penyedia jasa terutama sifatnya untuk membantu pelanggan serta memberikan pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan pelanggan.
Dimensi ini menekankan pada sikap penyedia jasa yang penuh
perhatian, cepat dan tepat dalam menghadapi permintaan, pertanyaan,
keluhan dan masalah pelanggan.
3. Assurance dan Privacy (keyakinan atau kemampuan memberikan jaminan layanan dan jaminan privasi)
Kemampuan penyedia jasa untuk membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri pelanggan bahwa pihak penyedia jasa terutama staf mampu untuk memenuhi kebutuhannya. Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, jaminan privasi dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf.
4. Empathy (memahami keinginan pelanggan)
Perhatian secara individual terhadap pelanggan seperti kemudahan untuk berkomunikasi yang baik dengan para staf dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan.
5. Quality Content (tampilan fisik pelayanan)
Kemampuan perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya pada pihak luar. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perubahan serta keadaan lingkungan sekitarnya merupakan bukti nyata dari layanan yang diberikan oleh pemberi jasa.
Valarie A. Zeithaml (1996) dan Farooq et al., (2018) berpendapat bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh kualitas layanan yang diberikan oleh sebuah perusahaan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service (A. Parasuraman, 1985, Wang et al., 2019). Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan (expected service), maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Namun sebaliknya, jika jasa yang diperoleh lebih rendah dan tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan jasa dianggap buruk.
Dikarenakan pentingnya LSQ, banyak penelitian yang membahas
tentang cara pengukuran dari LSQ. Banyak dari para peneliti menggunakan
metode SERVQUAL atau SERVPERF (Gulc, 2017). Beberapa dari mereka
membuat model untuk mengukur service quality dengan objek penelitian di
bidang logistik (Gulc, 2017, Kilibarda et al., 2012). Salah satu model bertujuan
untuk mengukur LSQ serta bertujuan untuk mendapatkan kepuasan pelanggan.
Model kedua menganalisis mengenai potensi dari LSQ, proses yang ada di dalamnya, dan pengaruhnya pada kesuksesan perusahaan. Gulc (2017) membuat cara pengukuran LSQ dengan menggunakan service map. Service map ini mengukur LSQ dengan perspektif pelanggan maupun perusahaan atau penyedia jasa. Metode ini sudah terbukti kegunaan dan keandalannya (Marhamat Hemmat Poor, 2013, Gulc, 2017).
2.2 Proses Humanitarian Logistics
Menurut Masudin dan Fernanda (2019), pada Humanitarian Logistics telah banyak jurnal yang membahas gempa bumi dan pemulihan fisik paska bencana. Pemulihan ekonomi menjadi hal yang paling sedikit dibahas, sementara pemulihan yang paling banyak dibahas adalah pemulihan yang bersifat jangka panjang. Pada 2016-2017, mayoritas jurnal bertema manajemen pemulihan, dan jurnal yang paling banyak diteliti pada tahun 2010-2012 mengenai rekonstruksi jangka panjang. Temuan ini menunjukkan bahwa pemahaman serta penelitian mengenai proses penanggulangan bencana pada Humanitarian Logistics masih perlu banyak dikembangkan.
Humanitarian Logistics adalah logistik yang bekerja pada bidang kemanusiaan yaitu dalam proses penanggulangan bencana alam. Humanitarian Logistics menyesuaikan dengan setiap keadaan. Humanitarian Logistics harus memiliki kemampuan adaptasi baik terhadap tempat yang dituju maupun waktu untuk menghadapi perubahan lingkungan dengan menggunakan sumber daya yang ada (Li et al., 2008, Zhang et al., 2019).
Proses yang terjadi dalam logistik berhubungan dengan aktivitas-
aktivitas pengadaan, manajemen permintaan, pelayanan pelanggan dan
hubungan dengan pelanggan yang seluruhnya bertujuan untuk dapat memenuhi
permintaan pelanggan dengan baik (Douglas M. Lambert, 2000, Casado-Vara
et al., 2018). Aktivitas di bidang logistik berfokus pada respon dari permintaan
pelanggan. Sementara itu pada operasi Humaniarian Logistics, beberapa
penelitian dilakukan untuk pengukuran performance. Beamon dan Balcik
(2008) serta Roh et al., (2018) mempercayai pentingnya letak gudang untuk pelaksanaan Humanitarian Logistics. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa rantai pasok dari Humanitarian Logistics, menyediakan rantai pasoknya di gudang utama (biasanya berlokasi dekat dengan bandara maupun pelabuhan). Lalu persediaan ditempatkan pada gudang permanen (biasanya dekat dengan kota). Pada tahap ini aktivitas logistik yang sama seperti aktivitas penyimpanan, pemilahan, serta pengiriman diselesaikan sebelum proses yang selanjutnya dilaksanakan. Gudang permanen yang dibuat untuk Humanitarian Logistics itu dinamai hub sebelum dikirim ke pusat distribusi lokal. Persediaan untuk Humanitarian Logistics selanjutnya didistribusikan ke gudang tersier yang lebih kecil sebelum didistribusikan ke penerima.
Panjangnya proses dari rantai pasok pada Humanitarian Logistics pada dasarnya berbeda dari pendistribusian produk untuk kepentingan komersial dimana sebisa mungkin untuk membuat rantai pasok yang pendek. Konsekuensi dari rantai pasok yang semakin panjang, maka tingkat pelayanan pada pelanggan juga semakin rendah.
Dalam Humanitarian Logistics, penting bagi divisi pengadaan untuk menyediakan bantuan dalam 36 jam setelah bencana terjadi (Thomas, 2016).
Pengecekan harus dilakukan di gudang lokal untuk mengetahui apakah persediaan bantuan tersedia dalam jumlah yang cukup, jika tidak maka perlu meminta dana kepada pihak pemberi bantuan. Jika dana yang diminta berhasil didapatkan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah pengadaan yang dipasok dari sumber daya lokal. Namun terkadang pengadaan ini bisa didapatkan dari pemasok secara umum. Semakin rumit koordinasi pada divisi logistik dalam pengadaan Humanitarian Logistics dapat memperpanjang waktu untuk pengiriman bantuan logistik kepada para korban (Balcik et al., 2010), padahal logistics services harus cepat dan tepat sasaran (Chen et al., 2015a).
Namun yang sering terjadi, tidak ada proses serta kontrak formal yang
ditandatangani oleh pihak pemberi bantuan dan penyedia jasa (supplier) sesuai
dengan standart dikarenakan kondisi yang darurat. Dalam hal ini peran
pemerintah dalam mempermudah proses penanggulangan bencana sangat
penting (Beamon and Balcik, 2008, Dube et al., 2016). Perbedaan utama antara Humanitarian Logistics dan logistik komersial adalah perhatiannya dalam manajemen permintaan. Di logistic komersial, permintaan dapat diprediksi dan di atur namun permintaan pada Humanitarian Logistics tidak dapat diprediksi.
Ketika bencana terjadi, permintaan akan naik secara drastis dan akan berpengaruh terhadap seluruh jaringan dari rantai pasok pada Humanitarian Logistics. Untuk menghadapi permintaan yang tidak dapat diprediksi, waktu pengiriman yang singkat karena berhubungan dengan nyawa para korban dan antisipasi transportasi di Humanitarian Logistics, pull strategy lebih dapat diaplikasikan daripada push strategy (Riki Kawase, 2019). Kontrol mengenai segala informasi penting dilakukan.
Kedua strategi diatas untuk memenuhi kebutuhan pengguna juga berdampak pada jumlah inventori dan perencanaan kapasitas. Menurut Lee dan Wu (2006) serta Riki Kawase (2019), push strategy yang biasanya digunakan penyedia jasa logistik di Humanitarian Logistics akan menambah kuantitas inventori sehingga menambah biaya simpan selama rantai pasok. Sementara itu perencanaan kapasitas juga diubah sesuai dengan strategi yang diambil dalam rantai pasok (Wang et al., 2007, Riki Kawase, 2019).
2.3 Elemen Layanan pada Humanitarian Logistics
Jika dilihat dari proses Humanitarian Logistics, terdapat beberapa elemen layanan yang penting diantaranya adalah sebagai berikut :
2.3.1 Penyedia Jasa Layanan Logistik pada Humanitarian Logistics
Dalam bidang logistik, penyedia layanan logistic atau Logistic Service
Provider (LSP) sangat penting keberadaannya. Dengan adanya penyedia
layanan logistik, seluruh tempat dapat di akses dengan mudah (Katia
Kishchenko, 2019). Studi eksplorasi dilakukan untuk menyelidiki bagaimana
LSP di pasar negara berkembang memperoleh keunggulan kompetitif melalui
inovasi layanan yang diberikan. Studi ini meneliti inovasi layanan di empat LSP
terkemuka di Cina (Dai et al., 2019). Layanan komprehensif dan kinerja
operasional tingkat tinggi yang dimiliki oleh LSP adalah sebuah keunggulan
kompetitif. Sebagai salah satu hal terpenting dalam proses logistik, LSP harus mampu bekerja dengan unggul dan meningkatkan daya saing dalam setiap hal.
LSP harus mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk memunculkan kualitas layanan yang baik dan berujung pada kepuasan pelanggan (Rodrigues et al., 2018).
Dalam Humanitarian Logistics, LSP memiliki peran yang sangat penting dalam membantu lancarnya proses penanggulangan bencana pada Humanitarian Logistics. Sejak adanya bencana besar dan mematikan terjadi di Asia, semua elemen memberikan lebih banyak perhatian pada Humanitarian Logistics sebagai topik penelitian yang nantinya akan menjadi sumber kebijakan yang akan diambil (Kovács et al., 2011). Selain itu, LSP memiliki peran yang besar dalam penanggulangan bencana alam. Dengan bantuan dari pemerintah, LSP melakukan penanggulangan bencana alam dengan efisien.
Namun ketidakterlibatan warga sipil membuat ketergantungan terhadap peran dan fungsi LSP yang membantu proses penanggulangan bencana alam (Sandra Carrasco, 2018). Pemerintah baik internasional maupun nasional, serta organisasi lokal non pemerintah (NGO) berusaha meningkatkan kemampuan divisi Humanitarian Logistics yang mereka miliki. Hal ini karena pemerintah menyadari bahwa Humanitarian Logistics tidak mampu menyelesaikan penanggulangan bencana alam sendiri tanpa adanya dukungan dari pihak yang lainnya. Penyedia layanan Humanitarian Logistics melakukan beberapa tugas diataranya pengadaan, pergudangan, dan transportasi untuk pemerintah, organisasi lokal non pemerintah dan komunitas-komunitas peduli terhadap bencana lainnya (Schulz et al., 2010, Fathalikhani et al., 2019).
Dari perspektif bisnis, LSP harus mampu menekan biaya logistik dan
bersikap responsif terhadap permintaan yang tinggi sehingga akan mendapatkan
keuntungan yang maksimal. Namun Humanitarian Logistics memiliki peran
yang berbeda. Respon yang tinggi dan biaya yang rendah tidak lagi relevan
karena para penyedia jasa harus mengirimkan layanan yang darurat kepada para
korban. Sehingga aktivitas yang dilakukan berupa pergudangan, manajemen
inventori, packaging dan aktivitas distribusi hanya berdasar kemampuan
responsif yang tinggi. Humanitarian Logistics harus memiliki kualitas layanan logistic yang tinggi dan tidak menghiraukan masalah keuntungan (Vega et al., 2015).
Dari perspektif Humanitarian Logistics, Vega et al., (2015) menyebutkan bahwa keterlibatan LSP pada penanggulangan bencana dapat dibagi menjadi 3 peran yaitu anggota (penyedia layanan jasa logistik sebagai bagian dari rantai pasok Humanitarian Logistics), operator (penyedia layanan jasa logistik bekerja di pemerintahan atau komunitas organisasi lokal non pemerintah) dan aktor (penyedia layanan jasa logistic bekerja secara aktif dalam pengembangan operasi-operasi Humanitarian Logistics). Vega et al., (2015) juga menyebutkan bahwa keterlibatan LSP sebagai anggota adalah bentuk kontribusi terkecil yang mampu dilakukan dalam Humanitarian Logistics.
Peran kedua sebagai operator berarti penyedia layanan jasa logistic menggunakan kepemilikannya sendiri misalnya adalah gudang untuk pengumpulan barang (Richey et al., 2009, Roh et al., 2018). Peran terakhir adalah sebagai aktor atau pelaku, penyedia layanan jasa terlibat secara aktif dalam Humanitarian Logistics sebagai pengambil keputusan untuk mengatur sendiri operasi penanggulangan bencana dengan basis yang dimiliki. Peran ini mampu mengatur mengenai kemampuan mereka untuk merespon situasi darurat karena bencana alam (Schulz et al., 2010, Rodrigues et al., 2018).
Dalam tahapan manajemen bencana alam, Charter (2008) membagi
menjadi 3 tahapan yaitu kesiapan, respon, dan penanggulangan. Peran yang
dimiliki LSP pada tahapan bencana alam berbeda tergantung pada level
keterlibatannya pada proses operasi Humanitarian Logistics. Vega et al., (2015)
mengklasifikasikan LSP pada tahapan bencana alam seperti tabel 2.1 dibawah
ini.
Tabel 2. 1 Peran LSP pada Humanitarian Logistics
Anggota Operator Aktor
Kesiapan Penyedia jasa layanan logistik berada pada basis
Corporate Social
Responsibility (CSR) serta memberikan donasi.
Penyedia jasa layanan logistik memberikan pelayanan yang diperlukan berupa transportasi untuk barang, pergudangan untuk stok barang yang dimiliki.
Penyedia jasa layanan logistik sebagai 4PL mengatur sendiri Humanitarian Logistics berupa pengadaan, manajemen inventori, serta penggunaan transportasi.
Respon Memfasilitasi para staf sukarelawan, baik dalam hal transportasi maupun pergudangan.
Manajemen kendaraan, bea masuk, perpindahan material, pusat logistik dan distribusi last mile.
Logistik secara utuh, solusi rantai pasok, sebagai penengah antara organisasi lokal non pemerintah ataupun penyedia jasa logistik, koordinasi dengan respon penanggulangan bencana alam.
Penanggulangan bencana
Memberikan dan mengatur donasi, Humanitarian Logistics sebagai penanggung jawab CSR.
Transportasi, pergudangan, pengadaan dan Humanitarian Logistics sebagai sumber perjanjian ad hoc.
Rantai pasok untuk penanggulangan bencana dari organisasi lokal non pemerintah maupun pemerintah.
Humanitarian Logistics sebagai unit bisnis strategis.
2.3.2 Sistem Informasi Humanitarian Logistics
Sistem informasi adalah salah satu hal mendasar dan penting untuk
diperhatikan dalam proses logistik. Ketidakteraturan sistem informasi serta
sistem informasi yang buruk dapat memunculkan banyak kerugian. Diantara
kerugian tersebut adalah emisi gas rumah kaca yang tinggi, kebisingan dan
polusi lainnya (Maja Kiba-Janiak, 2019). Menyadari pentingnya sistem
informasi yang baik, Guerlain et al., (2016) mengembangkan Sistem
Informasi Geografis (SIG) mendorong diskusi di sekitar topik tertentu dan
untuk membuat keputusan kolektif mengenai transportasi untuk bidang
logistik. Bae (2016) memverifikasi efek moderasi Sistem Informasi Logistik
(SIL) pada kolaborasi antar organisasi dan kinerja. Penelitian ini
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa Sistem Informasi Logistik yang
dibangun dapat meningkatkan kualitas kinerja para staf yang bekerja di
bidang logistik.
Dari perspektif bisnis terutama pada penyedia jasa online shop, sistem informasi menjadi faktor terpenting untuk meningkatkan kepuasan loyalitas pelanggan. Rita et al., (2019) menyebutkan bahwa tiga dimensi kualitas layanan elektronik, yaitu desain situs web, keamanan/privasi dan pemenuhan mempengaruhi kualitas layanan elektronik secara keseluruhan dan berujung terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Sebuah studi dengan analisis data mempertimbangkan teknik pemodelan persamaan struktural dengan struktur formatif telah dilakukan. Hasil empiris menunjukkan bahwa terdapat dua faktor penting untuk mempengaruhi pembelian kembali dari seorang pelanggan. Dua faktor tersebut adalah penggunaan sistem informasi dan teknologi terbarukan serta kepercayaan pelanggan. Dengan demikian, akan diperoleh kepuasan dan loyalitas pelanggan (Wu et al., 2016). Fu et al., (2019) menjelaskan bahwa berbagai jenis informasi dari sebuah sistem online shop seperti adanya ulasan, pemberian rating dan lain-lain telah meningkatkan jumlah pelanggan dan memicu pembelian kembali oleh pelanggan di kemudian hari. Selain itu informasi lengkap yang ada pada online shop juga memicu kepuasan serta loyalitas pelanggan. Penelitian mengenai hubungan belanja secara online terhadap frekuensi pembelian produk oleh pelanggan telah dilakuakan oleh Lee et al., (2017). Pada penelitian tersebut menjelaskan bahwa penjualan secara online berpengaruh secara signifikan dengan pembelian kembali produk-produk oleh pelanggan. Hal ini dikarenakan pada sistem informasi, pelanggan dapat membaca deskripsi produk dan informasi lainnya sehingga meyakinkan pembeli untuk membeli produk dan berujung pada pembelian kembali produk-produk tersebut di kemudian hari.
Dalam perspektif Humanitarian Logistics, sistem informasi memegang peranan penting baik pada bisnis maupun pada penanggulangan bencana. Sistem informasi dikembangkan di bisnis logistik hanya dipengaruhi oleh pelanggan terakhir. Sehingga struktur informasi mudah untuk dibangun berdasarkan hierarki rantai pasok logistic dari pelanggan terakhir ke pemasok.
Dalam Humanitarian Logistics, jumlah permintaan tidak hanya berdasarkan
kebutuhan nyata dari pelanggan namun juga penyedia jasa eksternal dan
pemberi bantuan baik pemerintah maupun organisasi lokal non pemerintah yang mendukung operasi dari penanggulangan bencana alam tersebut.
Mereka adalah pembuat keputusan untuk memprioritaskan keadaan seperti apa yang akan diberikan bantuan oleh para penyedia jasa logistik. Hal ini tidak dapat diprediksi semudah sistem logistik konvensional. Struktur informasi di proses penanggulangan bencana sangat penting untuk menyediakan informasi yang tepat waktu dan akurat berdasar apa yang dibutuhkan, mengenai kapan barang-barang perlu disediakan dan dimana lokasi tersebut berada (Howden, 2009, Silva et al., 2019).
Sistem informasi merupakan dukungan yang mendasar pada semua operasi pada Humanitarian Logistics baik pada transportasi, pergudangan maupun seluruh aktivitas logistik lainnya. Dukungan dari sistem informasi ini bukan hanya dukungan secara teknis melainkan menghubungkan semua pelaku-pelaku logistik seperti pemerintah, pemberi sumbangan, NGO, penyedia jasa logistik, komunitas peduli bencana maupun korban bencana alam. Komunikasi dan informasi adalah hal yang paling penting untuk menghubungkan pelaku logistik terutama dalam Humanitarian Logistics.
Ketika bencana alam terjadi, teknologi informasi tidak bisa dioperasikan, seluruh pelaku logistik harus membangun kembali sistem informasi untuk menghubungkan para pelaku logistik pada Humanitarian Logistics dan korban sehingga akhirnya diperoleh manfaat yang maksimal (Maiers et al., 2005, Silva et al., 2019).
Dimensi sistem informasi berhubungan erat terhadap teknologi
informasi untuk mengintregasikan aktivitas-aktivitas logistik pada supply
chain seperti EDI, internet, extranet dan worldwide web (Lancioni et al., 2000,
Masudin, 2017, Wu et al., 2006). Penelitian lain mengenai implementasi dari
teknologi informasi dibuat oleh Tyan et al., (2003) menunjukkan bahwa
penyedia jasa layanan logistik yang menggunakan manajemen transportasi
yang kolaboratif (CTM) dapat mengurangi total waktu pengiriman dan biaya
pengiriman. Konsep 3PL yang lain menjadi penyedia jasa kualitas logistik
berisi empat dimensi pokok yang sudah diuji oleh Gunasekaran dan Ngai
(2003) yaitu fasilitas logistik, mitra jaringan global, teknologi informasi dan kualitas jaminan. Guerlain et al., (2016) menunjukkan bahwa penyedia jasa layanan logistik yang menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat mengurangi total waktu pengiriman, biaya pengiriman, serta emisi pada lingkungan.
2.3.3 Struktur Logistik Humanitarian Logistics
Menurut Ottemöller dan Friedrich (2019), struktur logistik sangat berpengaruh besar pada segala aktivitas logistik yang ada. Perubahan pada struktur logistik berpengaruh besar terhadap kebutuhan transportasi pengangkut barang. Pada logistik konvensional, struktur rantai pasok dibuat sependek mungkin. Hal ini bertujuan untuk minimasi biaya dan waktu pengiriman, parameter inventori (jumlah barang yang disimpan), service level, serta efisiensi dari seluruh aktivitas logistik yang ada (Moons et al., 2019). Struktur rantai pasok logistik berhubungan erat dengan manajemen informasi yang sistematis. Struktur logistik membutuhkan informasi untuk proses pemulihan sumber daya yang efisien dan efektif (Chileshe et al., 2019).
Pertukaran informasi sangat dibutuhkan dalam seluruh kegiatan logistik.
Logistik perlu untuk mengetahui jumlah barang dan spesifikasi barang yang diperlukan. Selain itu juga membutuhkan respon pelanggan atas kualitas layanan yang telah diberikan untuk mengetahui sejauh mana kualitas pengiriman logistik dari sebuah perusahaan (Guan et al., 2019). Agi dan Yan (2019) merancang koordinasi pada struktur logistik. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa rantai pasok terdesentralisasi dapat mencapai kinerja terbaik dibandingkan dengan struktur lainnya. Selain itu Taleizadeh et al., (2018) menjelaskan bahwa kualitas produk pada struktur rantai pasok desentralisasi lebih baik daripada kualitas produk rantai pasok sentralisasi.
Namun walaupun struktur logistik sudah dibuat sedemikian rupa, beberapa
gangguan yang tidak dapat diprediksi tetap memungkinkan terjadi. Sebuah
gangguan pada struktur rantai pasok logistik yang tidak terduga adalah situasi
yang dapat berdampak besar pada kinerja rantai pasok. Kerangka evaluasi
diusulkan oleh Jessica Olivares Aguila (2019) adalah kerangka kerja sistemik
untuk mengevaluasi struktur logistik. Indeks ketahanan pada struktur logistik yang diusulkan mempertimbangkan biaya yang terkait operasi, kinerja, serta sistem yang dibuat.
Selain sebagai salah satu faktor penentu suksesnya pelayanan logistik konvensional, struktur logistik juga menjadi fator penting pada operasi Humanitarian Logistics. Lambert dan Cooper (2000) beserta Karamanos et al., (2017) menyebutkan bahwa penting bagi seluruh organisasi untuk mengidentifikasi anggota dari struktur jaringan logistik yang dimiliki. Dalam Humanitarian Logistics, dimensi jaringan logistik memiliki peran yang penting untuk mengetahui berapa panjang struktur jaringan yang diperlukan untuk menghubungkan penyedia jasa logistic dengan korban bencana alam.
Hal ini berpengaruh pada keputusan yang harus diambil untuk menggunakan distribusi secara langsung atau sistem distribusi multi eselon. Pada distribusi secara langsung, penyedia layanan logistik menggunakan kemampuan mereka untuk mencapai dan memberikan bantuan secara langsung kepada para korban bencana alam. Sementara pada distribusi multi eselon, Humanitarian Logistics menggunakan eselon sentral, regional maupun lokal.
Pada penanggulangan bencana multi eselon, penting untuk memperhatikan
hierarki dari supply system dari kualitas pemberi layanan jasa logistik kepada
pemberi layanan jasa logistik yang lebih bawah atau pelanggan akhir. Untuk
multi hierarki supply system, selain mengirimkan barang kepada penyedia
layanan jasa yang tingkatannya lebih rendah (cabang), penyedia jasa layanan
logistic (LSP) dapat juga mengirim langsung kepada pelanggan akhir
disekitar lokasi penyedia jasa. model optimisasi bi-level dikembangkan oleh
Safaei et al., (2018) untuk jaringan bantuan distribusi-distribusi pada
Humanitarian Logistics dengan mempertimbangkan ketidakpastian dalam
parameter permintaan dan penawaran. Penelitian ini mengoptimalkan biaya
operasi bantuan serta mempertimbangkan penalty untuk ketidakpuasan
korban dengan layanan yang diberikan.
2.4 Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Humanitarian Logistics
Salah satu indeks pengukuran kinerja dari sebuah produk atau
layanan adalah kepuasan pelanggan (Chen et al., 2011). Julander (2003)
mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan terhadap produk ataupun layanan
yang diberikan oleh penyedia jasa berdampak pada keinginan pelanggan
untuk menggunakan kembali layanan tersebut. Loyalitas pelanggan telah
didefinisikan oleh Oliver (1999) serta Sundström dan Hjelm-Lidholm (2019)
sebagai sebuah komitmen pelanggan untuk membeli atau menggunakan
kembali sebuah barang maupun jasa pilihan secara konsisten di masa depan,
sehingga menyebabkan pemilihan LSP yang sama berulang, meskipun
pengaruh dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan konsistensi
berubah. Sebuah model dibuat untuk menjelaskan hubungan antara kepuasan
dan loyalitas pelanggan (El-Adly, 2019). Tingkat kepuasan adalah fungsi dari
perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Hubungan antara
tingkat kualitas layanan sebanding dengan kepuasan pelanggan. Semakin
baik kualitas pelayanan yang diberikan, maka semakin tinggi pula kepuasan
pelanggan. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan erat antara kualitas
layanan dengan kepuasan pelanggan. Dengan demikian, harapan pelanggan
terhadap terpenuhinya kualitas pelayanan yang baik dari penyedia jasa
melatarbelakangi respon yang berbeda pada bisnis yang sama. Dalam konteks
kepuasan pelanggan, harapan pelanggan adalah perkiraan tentang apa yang
akan diterima oleh pelanggan. Harapan tersebut dibentuk dengan adanya
pengalaman pembelian terdahulu, kepercayaan orang sekitar yang pernah
melakukan pembelian yang sama, maupun janji dari perusahaan yang
bersangkutan. Tujuan dari seluruh aktivitas adalah untuk mendapatkan
loyalitas pelanggan. sebuah penelitian mengenai segmentasi pelanggan
pernah dilakukan oleh Ahani et al., (2019) pada hotel yang dikunjungi oleh
pelancong. Penelitian ini menyebutkan bahwa segmen pasar berbeda sesuai
dengan tingkat kepuasan pelanggan dan preferensi pelanggan. Sehingga
meningkatkan fitur hotel yang sesuai perlu dilakukan untuk meningkatkan
kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan sesuai dengan segmen pasar yang dipilih.
Dalam perspektif bisnis, kepuasan serta loyalitas pelanggan adalah dua hal penting yang ingin dicapai oleh seluruh perusahaan dan penyedia jasa.
Semua upaya dilakukan untuk memperoleh kedua hal tersebut. Oleh karena itu perlu diuraikan beberapa faktor penting yang berpengaruh dengan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Lucia-Palacios et al., (2020) menunjukkan bahwa pengaruh kompetensi tugas staf terhadap kepuasan pelanggan meningkat ketika toko penuh sesak, sedangkan efek kompetensi interaksi lebih kuat dalam kaitannya dengan permintaan konsultasi daripada permintaan bantuan. Dengan menggunakan versi model American Customer Satisfaction Index (ACSI), Hult et al., (2019) mendemonstrasikan beberapa perbedaan saluran pembelian yang penting untuk mendapatkan kepuasan pelanggan dan efek selanjutnya pada loyalitas pelanggan. Secara khusus penelitian ini menunjukkan bahwa ketika pelanggan membeli barang secara online, mereka melihat nilai pembelian sebagai atribut signifikan dalam kepuasan peringkat, dan lebih peka terhadap kepuasan saat membuat keputusan pembelian kembali daripada saat mereka membeli secara offline.
Di sisi lain, kualitas keseluruhan dari pengalaman pembelian dan harapan pelanggan adalah pendorong kuat kepuasan pelanggan dalam pembelian offline. Sejalan dengan penelitian tersebut, Gallarza et al., (2019) menyarankan strategi pemasaran yang berbeda digunakan untuk menargetkan segmen pasar yang berbeda untuk meningkatkan loyalitas pelanggan.
Dalam Humanitarian Logistics, penelitian mengenai kepuasan dan
loyalitas pelanggan juga merupakan hal yang penting untuk dibahas. Hal yang
dapat memicu kepuasan dan loyalitas pelanggan adalah waktu untuk
pengiriman bantuan logistik kepada para korban cepat dan tepat sasaran
(Chen et al., 2015a). Hal ini dikarenakan Humanitarian Logistics
mengirimkan barang-barang darurat untuk korban bencana alam. Sehingga
fatal akibatnya jika para LSP terlambat dalam mengirimkan. Karena taruhan
mereka adalah nyawa para korban bencana. Barang-barang yang dikirimkan
kepada korban bencana alam diantaranya adalah obat-obatan, air, pakaian, makanan dan lain sebagainya (Nagurney et al., 2019). Safaei et al., (2018) juga menyebutkan pada Humanitarian Logistics dengan ketidakpastian dalam parameter permintaan dan penawaran perlu mempertimbangkan pengoptimalan biaya operasi bantuan serta penalty untuk ketidakpuasan korban dengan layanan yang diberikan. Hal ini berfungsi untuk meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.
2.5 Kepercayaan Pelanggan Humanitarian Logistics
Loyalitas pelanggan telah didefinisikan oleh Oliver (1999) serta Sundström dan Hjelm-Lidholm (2019) sebagai sebuah komitmen pelanggan untuk membeli atau menggunakan kembali sebuah barang maupun jasa pilihan secara konsisten di masa depan, sehingga pemilihan LSP yang sama secara berulang, meskipun pengaruh dan upaya pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku berpindah. Beberapa penelitian menunjukkan kepercayaan pelanggan menjadi salah satu faktor penting munculnya loyalitas (Yuan et al., 2018). Hasil dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa faktor heuristik memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku pembelian, sedangkan faktor sistematis memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap dan niat untuk membeli (Yeon et al., 2019). Dalam penelitiannya mengenai Green Supply Chain Management, Masudin et al.
(2018) menyebutkan bahwa faktor kepercayaan mampu memoderasi pengaruh Green Supply Chain Management terhadap kinerja organisasi.
Kepercayaan pelanggan sangat penting, hilangnya kepercayaan
pelanggan perlu dipulihkan dengan segera. Dengan menggunakan
metodologi grounded theory yang melibatkan pelanggan, Bozic dan
Kuppelwieser (2019) yang mengalami pemulihan kepercayaan dalam suatu
perusahaan maupun penyedia layanan jasa logistik, ditemukan hasil bahwa
pemulihan kepercayaan pelanggan dimulai dengan pengamatan mereka
tentang kegiatan perbaikan kepercayaan awal yang membantu pemahaman
mereka tentang pelanggaran perusahaan maupun LSP. Setelah ini, pemulihan
kepercayaan menjadi proses yang lebih didorong oleh kepercayaan, yang
melibatkan kerugian pribadi yang dirasakan dan melupakan hilangnya kepercayaan. Studi ini berkontribusi pada teori dan praktik yang masih ada.
Marakanon dan Panjakajornsak (2017) menjelaskan bahwa risiko yang dirasakan dan kepercayaan pelanggan memiliki efek langsung pada loyalitas pelanggan. Selain itu, persepsi kualitas memiliki efek langsung pada risiko yang dirasakan dan kepercayaan pelanggan. Oleh karena itu faktor kepercayaan pelanggan dianggap penting untuk memperoleh loyalitas pelanggan. Selain itu, hasil penelitian eksperimental oleh Gasparotto et al., (2018) menunjukkan bahwa mungkin untuk memulihkan kepercayaan pelanggan melalui perbaikan dalam proses organisasi (misal : regulasi) dan diskon (misal : kompensasi finansial). Regulasi dan kompensasi keuangan mengarah ke tingkat kepercayaan yang sama, yang berarti pemulihan kepercayaan ini sama-sama berhasil.
Pada Humanitarian Logistics, kepercayaan pelanggan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh ke loyalitas pelanggan belum banyak diteliti.
Namun sebuah penelitian mengenai kemampuan analisis dari Big Data pernah dilakukan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana kemampuan analisis data besar (BDAC) sebagai budaya organisasi dapat meningkatkan kepercayaan dan kinerja kolaboratif antara organisasi sipil dan militer yang terlibat dalam operasi bantuan bencana.
Hasilnya menawarkan empat implikasi penting. Pertama, BDAC memiliki efek positif dan signifikan pada kepercayaan pelanggan dan kerjasama tim para staf (Dubey et al., 2019).
2.6 Kansei Engineering
Istilah kansei berasal dari bahasa jepang yang didefinisikan sebagai
perasaan psikologis manusia. Istilah kansei kemudian diterjemahkan dalam
sebuah metode keteknikan bernama Kansei Engineering. Kansei Engineering
diperkenalkan oleh Prof. Mitsuo Nagamachi pada tahun 1970. Menurut
Nagamachi (2011), Kansei Engineering berfungsi untuk menerjemahkan
perasaan pelanggan ke dalam spesifikasi desain. Metode Kansei Engineering
mampu mengekspresikan perasaan pengguna dengan lebih baik dibandingkan dengan metode lainnya (Chen et al., 2015a).
Kansei Engineering digunakan dalam pengembangan produk/layanan untuk memperoleh kepuasan pelanggan, yaitu dengan menganalisis perasaan dan emosi manusia dengan menghubungkan perasaan dan emosi tersebut menjadi desain produk/layanan. Ada tiga poin dari Kansei Engineering, yaitu:
1. Bagaimana cara memahami selera pelanggan.
2. Bagaimana cara mencerminkan dan memahami wujud kansei ke dalam produk/layanan desain.
3. Bagaimana menciptakan suatu organisasi dan sistem kansei yang mengarah ke desain.
Kansei Engineering menerjemahkan perasaan pelanggan secara psikologis, dan selanjutnya menganalisis kansei dengan menggunakan metode-metode yang dapat menerjemahkan kansei yang telah dianalisis ke dalam bentuk elemen desain. Proses dari Kansei Engineering disajikan pada tabel 2.1 :
Kansei Investigation Kansei Analysis Product Design
Gambar 2. 1 Proses Kansei Engineering