• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN ORGANOLOGI INSTRUMEN GONRANG SIPITU-PITU BUATAN BAPAK SAHAT DAMANIK DI DESA SIRPANG DALIG RAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN ORGANOLOGI INSTRUMEN GONRANG SIPITU-PITU BUATAN BAPAK SAHAT DAMANIK DI DESA SIRPANG DALIG RAYA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ORGANOLOGI INSTRUMEN GONRANG SIPITU-PITU BUATAN BAPAK SAHAT DAMANIK DI DESA SIRPANG DALIG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

ERIK FERDANI S. PANE NIM : 110707022

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

KAJIAN ORGANOLOGI INSTRUMEN GONRANG SIPITU-PITU BUATAN BAPAK SAHAT DAMANIK DI DESA SIRPANG DALIG RAYA KABUPATEN SIMALUNGUN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ERIK FERDANI S. PANE NIM : 110707022

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Drs. Fadlin, M.A

NIP : 19560828 1986 01 1 001 NIP : 19610220 1989 03 1 003

(3)

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujuan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(4)

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA

Dr. Muhammad Takari, M.Si NIP : 19660527 1994 03 2 010

(5)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada

Tanggal : Desember 2016 Hari :

DEKAN FAKULTAS ILMUBUDAYA USU Dr. Drs. Budi Agustono, MS

NIP : 19600805 1987 03 1 001 Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1 Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si (………)

2 Drs. Fadlin, M.A (………)

3 Dr. Muhammad Takari, M.Si (………)

4 Dra.Heristina Dewi, M.Pd (………)

5 Drs. Perikuten Tarigan, M.A (………)

(6)

ABSTRAKSI

Kabupaten Simalungun secara geografis terletak diantara 02 0 36’ – 03 0 18’Lintang Utara dan 98 0 32’ – 99 0 35’ Bujur Timur, luas wilayahnya adalah 4.486,60 Km2 atau sekitar 6,12% dari luas wilayah Sumatera Utara. Wilayah ini terbagi atas 31 Kecamatan dan 345 Kelurahan/Desa, 22 Kelurahan, Letak diatas permukaan laut 20 m s.d 1400 m, jumlah penduduk 1.039.244 jiwa. Perbatasan wilayahnya adalah: di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karo, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Samosir.

Dalam kebudayaan masyarakat Simalungun, terdapat instrumen gonrang sipitu-pitu yang biasanya digunakan pada upacara-upacara tradisional masyarakat Simalungun. Namun pada masa sekarang ini, penggunaan instrumen gonrang sipitu- pitu mengalami penurunan. Selain itu, pengerajin atau pembuat instumen gonrang sipitu-pitu juga semakin berkurang.

Menurut Pengklasifikasian alat musik oleh Curt sach dan HornBostel, gonrang sipitu-pitu termasuk ke dalam klasifikasi membranophone, dan lebih spesifik lagi tergolong alat musik membranophone single headatau memiliki satu membran.

Alasan penulis mengangkat judul “Kajian Organologi Instrumen Gonrang sipitu-pitu buatan Bapak Sahat Damanik di Desa Sirpang Dalig Raya Kabupaten Simalungun” adalah karena bahan-bahan pembuatan gonrang sipitu-pitu buatan Bapak Sahat Damannik masih terbuat dari bahan-bahan alami dan proses pembuatannya juga masih sangat sederhana. Selain itu, motivasi lain Bapak Sahat

(7)

Damanik menjadi pengrajin atau pembuat gonrang sipitu-pitu adalah untuk melestarikan kebudayaan musik tradisional Simalungun. Tulisan ini juga sebagai syarat kelulusan Sarjana dari Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kasih dan kemurahan-Nya yang begitu besar untuk semua umat manusia. Penulis berterimakasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan, pelajaran hidup dan juga perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti kepada penulis mulai dari dahulu hingga sampai saat ini.

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologi Instrumen Gonrang sipitu-pitu buatan Bapak Sahat Damanik di Desa Sirpang Dalig Raya Kabupaten Simalungun”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak hambatan yang penulis alami dan rasakan., begitu juga dengan kejenuhan yang sempat berteman baik dengan penulis. Namun, berkat orang-orang yang ada di sekitar penulis, membuat penulis kembali semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua orang tua saya yaitu , bapak Pasar Sitorus Pane, ST dan mama tercinta, St.Astri Herdawati Sinaga. Terimakasih atas segala cinta kasih serta ketulusan hati kalian mulai dari saya kecil hingga sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putusnya, juga kepercayaan yang telah kalian berikan kepada saya. terimakasih buat motivasi-motivasi yang selalu penulis rasakan sehingga penulis tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, Terimakasih buat doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan, Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih

(9)

kepada kakak terbaik Pasti Prisella Elsemoren Sitorus Pane ( Echi ) yang juga memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi. Dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada adik tersayang Graceela Sitorus Pane, Ivan Enriko Sitorus Pane, Elok Niquita Bunga Rani Sitorus Pane , Etha Ciquita Twelita Sitorus Pane yang selalu siap memberikan dukungan Doa dan Penghiburan yang sangat luar biasa kepada penulis.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr.

Drs. Budi Agustono, MS selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi dan juga sebagai pembimbing akademik selama penulis mengikuti perkuliahan. Kepada yang terhormat Ibu Drs. Heristina Dewi, M.Pd selaku sekretaris Departemen Etnomusikologi.

Kepada Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, selaku dosen pembimbing I saya, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian skripsi, juga telah membuat penulis bisa lebih mengenal lagi suku Simalungun.

Kiranya Tuhan selalu membalas semua kebaikan dan arahan yang bapak berikan.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Fadlin, M.A. dosen pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimkasih untuk perhatian, ilmu dan semua kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan bapak

Kepada seluruh dosen di departemen Entomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A.,

(10)

Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs.

Dermawan Purba, M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian juga kepada seluruh dosen praktik musik ter khusus kepada udak Tahan Perjuangan Manurung S.Sn ( B.T ), dan juga kepada ibu Wawa yang banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang saya dapatkan dari bapak-ibu sekalian bisa saya aplikasikan dalam kehidupan dan pendidikan selanjutnya. Biarlah Tuhan membalaskan semua jasa- jasa bapak-ibu sekalian.Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sahat damanik dan keluarga yang banyak memberikan informasi dalam tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan kunci, sehingga data yang diperoleh mendukung penulisan skripsi ini, terimakasih atas waktu, ilmu dan kesabarannya selama penulis melakukan penelitian lapangan.

Terimakasih yang special kepada abangda Daniel Gurning, S.Sn (bahgoer) yang selalu mendukung dan siap membantu penulis mulai dari penelitian lapangan hingga proses penulisan skripsi ini, terimakasih buat waktu, saran, dukungan, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis, juga kepada Benny Purba, S.Sn (blur) teman penulis berjuang setiap malam hingga pagi, dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terimakasih buat semangat dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis. Terimakasih juga kepada Badan Pengurus Harian Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi terkhusus kepada ketua IME Nevo Kaban yang selalu siap sedia membantu penulis dalam urusan-urusan perkuliahan dan selama proses penyelesaian skripsi, penulis juga mengucapkan terimaksih kepada seluruh teman-teman se-

(11)

angkatan stambuk 2011 terkhusus kepada Zulaikha Benaya Karo-Karo, S.Sn ( zube ), Roy Sinaga, Gopas Aruan Ryan Situmorang, Gok Malau, Mona Sidabutar, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis.

Terimakasih juga kepada abangda Ivan sianipar S.Sn, Freddy Purba, Fuad Tahan Simarmata S.Sn, Batoan Sihotang S.Sn, Tumpal Saragih S.Sn, Jupalman Welly Simboon S.Sn. Franseda Sitepu, S.Sn atas segala motivasi dan semngat yang selalu diberikan kepada penulis, terimaksih juga kepada adik-adik tercinta, Deny siregar, Arnold Manaek Sitorus, Pranata Sitanggang, Cahyadi manulang, Josua Nababan, Paima Sipayung, Sintong Pasaribu, Felix Sianipar, Ion, Salomo Sianturi, Tulus Saragih, Tumpal Sitorus, Sanga Pajumpang Band, Black Canal Community, Komunal Primitif Percussion, River, Equaliz, Selaras, Roemah Kardoes, SK Merkunjo, juga kepada Dongan Sanga Pajumpang, David Simanungkalit, Yusuf Silaban, Amsal Siburian, Ade Pasaribu, Tanaka Manalu, Gogo, yang sudah menemani bermain musik bersama.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi. Semoga saja disiplin etnomusikologi akan terus berkembang, baik itu di tingkat Sumatera Utara, Indonesia.

(12)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAKSI ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pokok Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Konsep dan Teori ... 5

1.4.1. Konsep ... 5

1.4.2. Teori ... 6

1.5. Metode Penelitian ... 9

1.5.1. Studi Kepustakaan ... 9

1.5.2. Kerja Lapangan ... 10

1.5.3. Wawancara ... 11

1.5.4. Kerja Laboratorium ... 12

1.5.5. Lokasi Penelitian ... 12

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK SAHAT DAMANIK ... 13

2.1. Asal-usul Simalungun ... 13

2.1.1. Letak Geografis Simalungun ... 15

2.1.2. Luas Wilayah Kabupaten Simalungun ... 17

2.1.3. Letak Lokasi Penelitian ... 17

2.1.4. Keadaan Desa Sirpang Dalig Raya ... 18

2.2. Masyarakat dan Kebudayaan ... 19

2.2.1. Sistem Kepercayaan ... 19

2.2.2. Bahasa … ... 21

2.2.3. Sistem Kekerabatan ... 22

2.2.4. Marga-marga Simalungun ... 24

2.3. Kesenian ……. ... 26

2.3.1. Seni Musik ... 27

2.3.2. Seni Suara (Doding) ... 28

2.3.3.Seni Tari (Tor-tor) ... 29

2.4. Mata Pencaharian ... 30

2.4.1. Pertanian dan Perkebunan ... 30

2.4.2. Pariwisata ... 31

2.5. Biografi Singkat Bapak Sahat Damanik ... 31

2.5.1. Profile Bapak Sahat Damanik ... 33

2.5.2. Jenjang Pendidikan ... 34

2.5.3. Pengalaman Bermain Musik ... 34

(13)

BAB III : TEKNIK PEMBUATAN GONRANG SIPITU-PITU ... 37

3.1. Bahan Baku Yang Digunakan ... 37

3.1.1. Pohon Nangka ... 37

3.1.1.1. Beberapa Manfaat Lain Pohon Nangka ... 38

3.1.1.2. Ekologi dan Ragam Jenis Tanaman Nangka ... 39

3.1.2. Kulit Kambing ... 40

3.1.2.1. Beberapa Manfaat Lain Dari Kambing ... 41

3.1.2.2. Jenis-jenis Kambing ... 44

3.1.3. Rotan …………. ... 46

3.2. Alat dan Bahan Pembuatan Gonrang Sipitu-pitu ... 47

3.2.1. Pukkor (Bor) Berbentuk “T” ... 48

3.2.2. Pukkon (Pahat Besi) ... 48

3.2.3. Pahat Panjang ... 49

3.2.4. Pahat Besar ... 50

3.2.5. Kikir ……… ... 50

3.2.6. Martil Besi ... 51

3.2.7. Pisau ……. ... 51

3.2.8. Parang ……. ... 52

3.2.9. Tuhil (Pahat Besi) ... 52

3.2.10. Gergaji ... 53

3.2.11. Busur (Jangka) dan Pensil ... 53

3.2.12. Besi Lurus ... 54

3.2.13. Kayu Bakar, Korek Api, dan Kipas Angin ... 54

3.2.14. Amplas (Kertas Pasir) ... 54

3.2.15. Paku ……... 55

3.2.16. Gunting ... 56

3.2.17. Lem Kayu ... 56

3.2.18. Kuas, Anti Rayap, dan Cat ... 57

3.3. Proses Pembuatan Gonrang Sipitu-pitu ... 57

3.3.1. Proses Pencarian dan Penjemuran Kulit Kambing ... 58

3.3.2. Proses Penebangan Pohon Nangka ... 60

3.3.3. Proses Pengukuran Gonrang sipitu-pitu ... 60

3.3.4. Proses Melubangi Kedua Sisi Gonrang sipitu-pitu Untuk Resonator ... 61

3.3.5. Proses Pembentukan Badan Gonrang sipitu-pitu ... 62

3.3.6. Proses Pembuatan Lubang Resonator ... 63

3.3.7. Proses Pembuatan Penutup Bagian Bawah Gonrang Sipitu- pitu……. ... 64

3.3.8. Proses Pembuatan Pengikat Gonrang sipitu-pitu ... 66

3.3.9. Proses Pembuatan Pinggol-pinggol Gonrang sipitu-pitu ... 66

3.3.10. Proses Pemasangan Membran Gonrang sipitu-pitu ... 67

3.3.11. Proses Pengecatan ... 69

BAB IV : FUNGSI DAN KAJIAN ORGANOLOGI GONRANG SIPITU- PITU SIMALUNGUN ... 70

4.1. Persefektif Sejarah ... 70

4.2. Defenisi Gonrang sipitu-pitu ... 71

4.3. Fungsi Gonrang sipitu-pitu ... 74

4.3.1. FungsiPengungkapan Emosional ... 75

4.3.2. Fungsi Hiburan ... 75

(14)

4.3.3. Fungsi Penghayatan Estetika ... 76

4.3.4. Fungsi Komunikasi ... 76

4.3.5. Fungsi Perlambangan ... 77

4.3.6. Fungsi Reaksi Jasmani ... 78

4.3.7. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Keagamaan . 78 4.3.8. Fungsi Kesinambungan Budaya ... 79

4.3.9. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ... 79

4.4. Peranan Gonrang sipitu-pitu Dalam Musik Simalungun ... 80

4.5. Klasifikasi Gonrang sipitu-pitu ... 82

4.6. Konstruksi Gonrang sipitu-pitu ... 83

4.7. Ukran Pada Bagian Gonrang sipitu-pitu ... 85

4.7.1. Badan Gonrang sipitu-pitu ... 85

4.7.2. Membran Gonrang sipitu-pitu ... 86

4.7.3. Pengikat Gonrang sipitu-pitu ... 87

4.7.4. Pamalu (Pemukul) Gonrang sipitu-pitu ... 88

4.7.5. PenutupBagian Bawah Gonrang sipitu-pitu ... 90

4.7.6. Pinggol-pinggol Gonrang sipitu-pitu ... 91

4.7.7. Stem Gonrang sipitu-pitu ... 91

4.8. Fungsi Bagian-bagian Gonrang sipitu-pitu ... 92

4.8.1. Badan Gonrang sipitu-pitu ... 92

4.8.2. Fungsi Membran Gonrang sipitu-pitu ... 93

4.8.3. Fungsi Pengikat Gonrang sipitu-pitu ... 93

4.8.4. Fungsi Pinggol-pinggol Gonrang sipitu-pitu ... 93

4.8.5. Fungsi Penutup Bagian Bawah Gonrang sipitu-pitu ... 94

4.8.6. Fungsi Stem Gonrang sipitu-pitu ... 94

BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan …… ... 95

5.2. Saran ………….. ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97

DAFTAR INFORMAN ... 98

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1………... 16

Gambar 2 ………. 36

Gambar 3……….. 40

Gambar 4 ……….. 46

Gambar 5 ……….. 47

Gambar 6 ……… 48

Gambar 7 ………... 48

Gambar 8 ……… 49

Gambar 9 ………. 49

Gambar 10 ……….. 50

Gambar 11 ……….. 50

Gambar 12 ………. 51

Gambar 13 ……….. 51

Gambar 14……….. 52

Gambar 15 ……….. 52

Gambar 16 ………. 53

Gambar 17 ………... 54

Gambar 18 ……… 54

Gambar 19 ……….. 55

Gambar 20 ………... 57

Gambar 21 ……,……….. 58

Gambar 22 ……..………. 59

Gambar 23 ……… 60

Gambar 24……….. 61

(16)

Gambar 25 ……….……… 61

Gambar 26 ……….……… 63

Gambar 27……….………. 64

Gambar 28………….………. 64

Gambar 29 ……….………. 65

Gambar 30 ……….. 66

Gambar 31……… 67

Gambar 32………. 83

Gambar 33……….……… 83

Gambar 34 …….. ………. 84

Gambar 35…….……… 85

Gambar 36 ……… 86

Gambar 37……….. 86

Gambar 38……….. 87

Gambar 39……….. 88

Gambar 40……….. 88

Gambar 41……….. 89

Gambar 42……….. 90

Gambar 43……….. 91

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang Masalah

Etnis Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu etnis asli dari Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur etnik Simalungun berasal dari daerah India Selatan.

Etnik Simalungun memiliki budaya yang sudah diwariskan oleh para nenek moyang secara turun-temurun. Salah satu bentuk kebudayaan para leluhur masyarakat Simalungun antara lain: seni musik, seni tari, dan seni rupa. Pada masyarakat Simalungun banyak kesenian yang digunakan dalam upacara ritual, upacara adat, hiburan, dan pertunjukan seni. Pada tulisan ini penulis lebih fokus membahas aspek seni musik pada masyarakat Simalungun.

Dalam bidang seni musik etnis Simalungun terdapat dua jenis musik tradisional, yaitu instrumenal dan vocal (nyanyian). Dari segi instrumenal, berdasarkan organologinya, alat musik etnis Simalungun terdiri dari: (1) Idiofon (mongmongan, hodong-hodong, ogung, sitalasayak, dan garantung), (2) Aerofon (sarune bolon, sarune buluh, tulila, sulim, sordam, saligung, ole-ole dan ingon- ingon), (3) Mebranofon (gonrang sidua-dua, gonrang sipitu-pitu/gonrang bolon), Koedofon (arbab, husapi, tengtung). Dari segi vokal/nyanyian, masyarakat Simalungun memiliki nyanyian rakyat yang disebut sebagai doding, bernyanyi dalam bahasa etnik Simalungun disebut mandoding. Adapun jenis-jenis nyanyian rakyat

(18)

Simalungun adalah: taur-taur dan simanggei (nyanyian cinta), orlei dan mandogei (nyanyian untuk bekerja), tihtah (nyanyian permainan anak), urdo-urdo (nyanyian menidurkan anak), tangis (tangisan), mandillo tonduy dan manalunda/mangmang (nyanyian untuk pengobatan), ingou turi-turian (nyanyian bercerita), nyanyian Simalungun memiliki cirri khas tersendiri yaitu memiliki inggou (Purba, 2:2015).

Sistem kesenian tradisional masyarakat Simalungun, dikenal istilah

“gonrang” yang dapat diartikan sebagai alat musik dan dapat juga diartikan sebagai ensambel musik tradisional, yaitu: (1) ensambel gonrang sidua-dua, seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri dari satu buah sarune bolon, dua buah gonrang, dua buah mongmongan, dan dua buah ogung; (2) Ensambel gonrang sipitu- pitu, seperangkat alat musik tradisional Simalungun yang terdiri dari satu buah sarune bolon, tujuh buah gonrang, dua buah mongmongan, dan dua buah ogung. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji tentang salah satu instrumen dari ensambel gonrang bolon, yaitu gonrang sipitu-pitu, yaitu terdiri dari 7 (tujuh) buah gonrang dengan ukuran yang berbeda-beda.

Instrumen musik gonrang sipitu-pitu tergolong dalam klasifikasi membranofon karena sumber utama bunyinya berasal dari kulit yang dimainkan dengana cara dipukul dengan menggunakan sepasang alat pemukul. Gonrang sipitu- pitu pada umumnya disajikan dalam bentuk ensambel musik tradisional etnis Simalungun, yaitu ensambel gonrang bolon.

Jika kita perhatikan eksistensi gonrang sipitu-pitu di Simalungun pada masa kini, penggunaan gonrang sipitu-pitu pada upacara-upacara adat masyarakat Simalungun mengalami pergeseran nilai-nilai sebagai musik tradisional daerah. Dari hasil pengamatan penulis, banyak masyarakat Simalungun tidak lagi menggunakan

(19)

gonrang sipitu-pitu pada upacara adatnya, melainkan hanya menggunakan instrumen musik keyboard dan sulim (dalam bahasa Indonesia disebut seruling). Di sisi lain, ada juga yang menggunakan taganing (jenis gendang tradisional yang berasal dari etnis Batak Toba) untuk menggantikan peranan gonrang sipitu-pitu pada musik pengiring dalam upacara adat Etnis Simalungun.

Hal di atas tentu sangat berhubungan dengan keberlangsungan ataupun kelestarian gonrang sipitu-pitu itu sendiri. Bapak Sahat Damanik mengatakan, semakin sedikit masyarakat Simalungun yang menggunakan gonrang sipitu-pitu pada upacara adatnya, maka semakin sedikit pula orang yang berkeinginan mempelajari gonrang sipitu-pitu tersebut. Beliau juga mengatakan, tingkat kebutuhan terhadap gonrang sipitu-pitu juga semakin kecil, maka semakin kecil pula tingkat produksi instrumen gonrang sipitu-pitu, sehingga sangat berpengaruh terhadap pendapatan pengrajin atau pembuat instrumen gonrang sipitu-pitu yang pada akhirnya pengrajin ataupun pembuat gonrang sipitu-pitu tersebut beralih mata pencaharian lain.

Di sisi lain, Bapak Sahat Damanik juga mengatakan perubahan yang terjadi terhadap eksistensi gonrang sipitu-pitu di Simalungun juga dipengaruhi oleh adaptasi, dan globalisasi yang sedang berkembang pesat. Dan masyarakat pada masa kini banyak yang menginginkan yang praktis dan ekonomis, misalnya dengan hanya menggunakan keyboard dan sulim pada upacara adatnya. Menyadari telah terjadi pergeseran nilai-nilai tradisional, maka Bapak Sahat Damanik terpanggil untuk menjaga dan melestarikan kesenian tradisional Simalungun, yang salah satunya dibuktikan dari ketekunan beliau dalam hal pembuatan instrumen musik tadisional gonrang sipitu-pitu. Selain itu Bapak Sahat Damanik juga mendirikan sebuah sanggar, yaitu sanggar “Tor-tor Elak-elak”. Sanggar ini juga bekerja sama dengan pemerintah dalam hal pelestarian kesenian tradisional Simalungun.

(20)

Selain itu, hal lain yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji hal ini adalah bagaimana cara dan proses pembuatan gonrang sipitu-pitu secara tradisional, dan bagaimana cara menghasilkan suara gonrang sipitu-pitu yang baik dan tepat.

Dalam hal pembuatan gonrang sipitu-pitu, Bapak Sahat Damanik melakukannya secara tradisional, akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Beliau tinggal di Desa Sirpang Dalig Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun.

Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji organologi akustika dari gonrang sipitu-pitu ini dalam sebuah tulisan karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Kajian Organologi Instrumen Gonrang Sipitu-pitu Buatan Bapak Sahat Damanik di Sirpang Dalig Raya, Kabupaten Simalungun”.

1.2. Pokok Permasalahan

Untuk membatasi pembahasan agar topik-topik menjadi terfokus, dan menjaga agar pembahasan nantinya tidak menjadi melebar, maka di sini penulis membuat pembatasan masalah dalam bentuk pokok permasalahan.

Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana struktur organologi Gonrang sipitu-pitu Simalungun, 2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan gonrang sipitu-pitu

Simalungun buatan Bapak Sahat Damanik,

3. Bagaimana fungsi gonrang sipitu-pitu pada masyarakat Simalungun

(21)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian gonrang sipitu-pitu adalah:

1. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan gonrang sipitu-pitu, 2. Untuk mengetahui bagaimana struktur gonrang sipitu-pitu,

3. Untuk mengetahui fungsi dari setiap struktur gonrang sipitu-pitu.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai gonrang sipitu-pitu di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

2. Sebagai bahan masukan dan bahan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas sumatera Utara.

1.4. Konsep dan Teori

1.4.1. Konsep

Koentjaraningrat (1991:21), mengemukakan konsep adalah defenisi secara singkat darisekelompok fakta atau gejala. Konsep merupakan defenisi dari apa yang

(22)

akan kita amati, konsep menentukan hubungan empiris. Sehubungandengan penulisan ini, penulis akan menguraikan beberapa konsep yang dibutuhkan,yaitu:

Kajian merupakan kata jadia darikata “kaji”yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian “kajian” dalam tulisan ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti, (Badudu, 1982:132).

Adapun pengertian organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam “ilmu”

instrumen musik, seperti teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dengan konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang social budaya,(Hood, 1982:124).

Pada sistem kesenian tradisional masyarakat Simalungun, istilah “gonrang”

(istilah bahasa Simalungun untuk “gendang”) dapat diartikan sebagai alat musik dan juga dapat diartikan sebagai ensambel musik tradisional. Gonrang merupakan salah satu instrumen musik jenis membranofon dari daerah Simalungun, yang telah lama berkembang didaerah Simalungun. Gonrang merupakan instrumen musik tradisional Simalungun yang dapat memperlihatkan makna dan fungsi yangsangat mendalam bagi kehidupan masyarakat Simalungun khususnya.

1.4.2. Teori

Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatuhal peristiwa. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1990:1041). Untuk

(23)

membahas pokok-pokok permasalahan dalam tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan tulisan ini.

Dalam tulisan ini, penulis juga membahas tentang pendeskripsian alat musik, dan penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima (1978:74), yaitu:

“Dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan structural dan fungsional. Secara structural, yaitu: aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya,dan bahan yang dipakai. Dan secara fungsional, yaitu: fungsi instrumen sebagai alat memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara”.

Berkenaan dengan fungsi musik, menurut Alan P. Meriam terdapat sekurang-kurangnya sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi pengesahan lembaga social dan upacara keagamaan, (8) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma social, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (meriam, 1964:219-226). Fungsi instrumen musik gonrang sipitu-pitu mencakup kesepuluh fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan P. Meriam.

Bapak Sahat Damanik mengatakan bahwa gonrang sipitu-pitu identik dengan tor-tor (istilah tari pada masyarakat Simalungun), dalam hal penyajian gonrang sipitu-pitu pada umumnya selalu ada tarian.dalam hal ini, penulis mengacu pada pendekatan yang dikatakan Wimbrayardi (1999:9-10) yang mengatakan bahwa hubungan musik dengan tari adalah suatu fenomeda yang berbeda tetapi dapat juga digabungkan dengan aspek yang mendukung. Musik merupakan rangkaian ritme dan

(24)

nada sedangkan tarian adalah rangkaian gerak, ritme dan ruang, dimana fenomena keduanya merupakan suatu yang berlawanan, yang mana musik merupakan yang terdengar tetapi tidak terlihat dan tarian merupakan fenomena yang terlihat tetapi tidak terdengar.

Untuk mengetahuiteknik permainan gonrang sipitu-pitu, penulis mengacu pada pendekatan yangdikemukakan oleh Nettl (1963), yaitu:

“Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat”.

Menurut teori yng dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1962), yaitu system pengklsifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. System klasifikasi initerbagi menjadiempat bagian, yaitu:

- Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,

- Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,

- Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit, - Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.

Mengacu pada teori tersebut,maka instrumen musik tradisional Simalungun gonrang sipitu-pitu adalah instrumen musik membranofon dimana penggetar utama bunyinya melalui membran atau kulit.

(25)

1.5. Metode Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:518), metode penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara atau sismatika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan gonrang sipitu-pitu buatan Bapak Sahat Damanik penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu tahap sebelum kelapangan (pra lapangan) dengan studi kepustakaan, tahap kerja lapangan dengan observasi dan wawancara, analisis data dengan kerja laboratorium, dan penulisan laporan, (Meleong, 2002:109).

Disamping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Maleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu: disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory discilpline). Hasil darikedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir ( a final study),(Meriam, 1964:37).

Untuk melengkapi pengumpulan data dengan dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (observasion) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).

1.5. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk

(26)

mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedia, jurnal, buletn, artikel, laporan penelitian dan lain- lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapatkan carayang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsiini.

Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam halini penulismempelajari skripsi-skripsi kajian orgnologis yang sudah pernah ditulis oleh para sarjana Etnomusikologi, dan buku- buku yang berhubungan tentang masyarakat etnis Simalungun yang telah ditulis oleh beberapa penulis. Penulisjuga melakukan studi kepustakaan terhadap topic-topik lain yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pendidikan, folklore, antropologi, sistem kekerabatan, linguistic, komunikasi, etnografi, dan musikologi. Selanjutnya hasil yang ddapat dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai penambahan informasi dalam penulisan skripsi ini.

1.5.2. Kerja Lapangan

Dalam hal ini, penulis langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan tiga halyang telah penulis paparkan sebelumnya, yaitu observasi, wawancara, dan pemotretan (pengambilan gambar). Dalam hal kerja lapangan, penulis akan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dan informan, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru yang menjadi bahan pertanyaan yang dianggap mendukung dalam proses penelitian ini. Semua ini

(27)

dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar untuk mendukung proses penelitian ini.

1.5.3.wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan teknik wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:131) yang mengatakan:

“Kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: persiapan wawancara, teknik wawancara, teknik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara”.

Koentjaraningrat (1981:139) juga mengemukakan bahwa wawancara itu sendiri berdiri sendiri dari beberapa bagian, yaitu wawancara terfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview). Dalam wawancara berfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi berlangsung dari suatu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pada pokok permasalahan.

Wawancara sambil lalu adalah diskusi yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah dikumpulkan.

Sedangkan menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan aplikasi kamera dan perekaman suara yang ada pada handphone untuk mempermudah perekaman dan penyimpanan data, disamping tulisan atas setiap keteangan yang diberikan informan.

(28)

Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat mengenai kegiatan wawancara maka sebelum wawancara penulis mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancaran seperti alat tulis, daftar pertanyaan, dan tape recorder untuk merekam. Teknik bertanya penulis kemukakan berdasarkan daftar pertanyaan spontanitas sesuai dengan situasi di lapangan. Pencatatan hasil wawancara penulis lakukan begitu mendapat jawaban dan yang tidak sempat ditatat masih dapat didengarkan dari hasil rekaman.

1.5.4. Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yangtelah diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis dalam kerja laboratorium agar sesuai dengan pembahasan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam melakkan penelitian. Data-data berupa gambar dan rekaman akan diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Meriam, 1995:85).

1.5.5.Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yng penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat kediaman nara sumber, yaitu Bapak Sahat Damanik yang bertempat tinggal di Desa Sirpang Dalig Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun., yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau.

(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SIMALUNGUN, LOKASI PENELITIAN, MASYARAKAT KEBUDAYAAN, DAN BIOGRAFI SINGKAT

BAPAK SAHAT DAMANIK

2.1 Asal-usul Simalungun

Kata “simalungun” dalam tulisan ini mengandung dua makna, yaitu makna yang menyatakan tempat dan makna yang menyatakan suku. Kata Simalungun berasal dari sumpah ikrar raja-raja pada tahun 1367, pada waktu itu himpunan mereka bernama Batak Timur Raya. Pada waktu itu mereka berikrar bahwa mereka menjadi

“sisada parmahanan sisada lingun” artinya: senasib sepenanggungan. Akhirnya kesatuan kerajaan mereka ini bernama Simalungun. Jadi nama itu merupakan hasil harunggunan bolon (kesepakatan raja-raja) dari raja-raja partuanon (raja) dan partuha maujana (tokoh adat) Simalungun, yaitu sesuai dengan latar belakang sejarah dan perasaan yang senasib sepenanggungan yang juga disebut ahap (rasa) Simalungun.

Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia. Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang:

1. Gelombang pertama (Simalungun Proto), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.

2. Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.

(30)

Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.

Dikutip dari Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno), bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.

Karena minimnya data-data yang tertulis mengenai asal usul masyarakat Batak Simalungun, dalam mengkaji tentang asal usul masyarakat Simalungun maka penulis mengacu dari tiga hal (1) pengertian Batak, (2) catatan sejarah mengenai Batak, (3) kisah/cerita yang berkembang pada masyarakat Batak Simalungun atau mitologi tentang lahirnya suku Batak, juga dikarenakan bila dikaji lebih dalam, khususnya pada awal terjadinya marga dalam masyarakat Simalungun, merupakan suatu hal yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat Simalungun itu sendiri. Berdasarkan mitos dan sejarah dapat dikatakan bahwa menurut persepsi mereka pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Simalungun merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan Napitupulu (1964:84).

(31)

Di Simalungun posisi raja diakui sebagai kekuatan tertinggi di Simalungun.

Kekuasaan kadang-kadang bisa bersifat kejam dan sewenang-wenang sebagai mana dinyatakan dalam istilah Simalungun “ raja do adat, adat do raja”. Raja di Simalungun berhak atas sejumlah kewajiban dari kawulanya menopang kehidupan di pematang sebagai pusat pemerintahan dan kediaman raja beserta keluarganya. Konsep ini tidak ada di toba. Di Batak Toba gelar Raja memang ada, tetapi terbatas dalam pengertian, penghormatan, kepada lawan bicara. Pengertian raja di Batak Toba berarti bukan budak (ndang hatoban). S.M. Siahaan dalam makalahnya mengenai peranan dan kedudukan raja. Raja di Simalungun ada tujuh yaitu :

1. Raja Purba “Tuan Rahalim Purba Pakpak

2. Raja Raya “ Tuan Rondahaim Saragih Garingging 3. Raja Dolok Silou “ Tuan Ragaim Tambak”

4. Raja Tanah Jawa “ Tuan Sangmajadi Sinaga”

5. Raja Siantar “Tuan Sang Naualuh”

6. Raja Panei XIV “ Raja Bosar Simalam Purba Dasuha”

7. Raja Silimakuta “Tuan Pamoraidup Purba Girsang”

2.1.1 Letak Geografis Kabupaten Simalungun

Secara geografis letak Kabupaten Simalungun terletak diantara 02 0 36’ – 03 0 18’Lintang Utara dan 98 0 32’ – 99 0 35’ Bujur Timur di sebelah timur laut danau Toba. Bagian barat sebagian terdiri atas dataran tinggi, sebagian daratan pegunungan yang tidak rata, sementara bagian timur dipenuhi lereng bukit dari pinggir danau Toba sampai ke dataran rendah daerah perkebunan pemerintahan pantai timur Sumatera. Letak diatas permukaan laut 20 m s.d 1400 m, Perbatasan wilayahnya adalah: di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan, di sebelah

(32)

barat berbatasan dengan kabupaten Karo, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten serdang Bedagai, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Wilayah ini terbagi atas 31 Kecamatan dan 345 Kelurahan/Desa, 22 Kelurahan. ( sumber : google/ situs resmi kabupaten Simalungun )

Gambar 1. Peta wilayah Simalungun (Sumber: Perpustakaan Nasional RI)

Sebagian besar daerah-daerah Simalungun berada di pedalaman Sumatera Timur, dataran rendah berada di daerah yang berbatasan dengan kesultanan- kesultanan Melayu. Secara geografis daerah Simalungun bisa kita bedakan dengan daerah pegunungan yang terdiri dari dataran tinggi di dekat pesisir Danau Toba dengan kisaran tinggi dari permukaan laut antara 1200-1400 meter. Daerah pegunungan ini sebagian besar berada di sebelah Barat. Di sebelah Timur secara umum terdiri dari dataran rendah yang luas yang rata-rata ketinggiannya 100 meter dari permukaan laut. Saribu Dolog berada pada ketinggian 1400 meter cukup dingin dengan suhu antara 18,3-19,6 derajad cel

(33)

2.1.2 Luas Wilayah Kabupaten Simalungun

Luas wilayahnya adalah 4.486,60 Km2 atau sekitar 6,12% dari luas wilayah Sumatera Utara. Penetapan batas-batas Simalungun dengan Tapanuli ditetapkan dalam Staatsblad nomor 604 tahun 1908 sekaligus menetapkan batas daerah Aceh dengan Tanah Karo. Untuk ketujuh daerah kerajaan-kerajaan Simalungun batas- batasnya ditetapkan dengan beslit (surat keputusan) gubernur jenderal tanggal 27 September 1913 nomor 24 bijblad nomor 7922. Sesuai pengukuran yang dilakukan, daerah yang masuk ke dalam onderafdeeling Simeloengoen mencakup luas wilayah 441.380 hektar. Masing-masing luas ketujuh daerah swapraja Simalungun1 adalah berikut ini:

1. Siantar (93510 hektar).

2. Tanah Jawa (158.140 hektar).

3. Panei (47.400 hektar).

4. Raya (58.900 hektar).

5. Dolog Silou (35.160 hektar).

6. Purba (23.270 hektar).

7. Silimakuta (25.000 hektar).

2.1.3 Letak Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Desa Sirpang Dalig Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat pembuatan instrumen gonrang sipitu-pitu Bapak Sahat Damanik.

Menurut data yang didapat dari kantor kepala desa, Desa Sirpang Dalig Raya secara geografis adalah terletak antara 02,56oLU80,03oBT. Dengan suhu maksimum rata-

1 J. Tideman, Simeloengoen, hlm. 2.

(34)

rata 30oC, dan suhu minimum rata-rata 21oC. Adapun luas wilayah Kecamatan siantar adalah 14.536 Ha. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan Luas Wilayah 23.476 km2.

Adapun batas-batas wilayah Desa ………… adalah sebagai berikut : 1. Sebelah timur berbatasan dengan Kebun

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Dolok Hataran 3. Sebelah barat berbatasan dengan Sitalasari

4. Sebelah timur brebatasan dengan Nusa Harapan.

2.1.4. Keadaan Penduduk Desa Dalig Raya

Pada awalnya penduduk asli desa Dalig Raya didominasi oleh suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, desa Dali Raya menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Jawa, Pakpak, ,. Pada tahun 2009 penduduk desa Dalig Raya mencapai 243.768 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk desa Dalig Raya pada tahun 2010 sebesar 0,53 persen.

Penduduk perempuan di desa Dalig Raya lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2009 penduduk desa Dalig Raya. yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 117.516 jiwa dan penduduk laki-laki 127.381 jiwa. Masyarakat yang tinggal di desa Dalig Raya, kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. pesanan untuk membuat alat musik tersebut. (sumber : data statistic desa Dalig Raya)

(35)

2.2 Masyrakat dan Kebudayaan 2.2.1 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan. Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :

1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas) 2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah) 3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)

Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran”

(kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai

(36)

kemampuan sebagai perantara (paniaran). Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen”

terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan. Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan. Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang- orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang 1993:23). Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari

(37)

proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.

2.2.2. Bahasa

Suku Batak Simalungun menggunakan bahasa Simalungun (Bahasa Simalungun: Hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku disekitarnya mengakibatkan beberapa bagian suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Toba dan sebagainya. Penggunaan bahasa Batak Toba sebagian disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil yang menyebarkan agama Kristen pada suku ini. Aksara yang digunakan suku Simalungun disebut aksara surat sisapuluhsiah artinya surat yang kesembilan belas.

Bahasa Simalungun atau marsahap Simalungun dalam bahasa aslinya adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk yang ada di Simalungun. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asal bahasa ini. Bahasa Simalungun yang sering dikatakan orang mirip dengan bahasa Batak Toba dan mirip juga dengan bahasa Batak Karo, tetapi berbahasa Simalungun lebih lembut dan mengayun daripada Batak Toba dan Karo. Bila dikaji lebih luas lagi alunan bahasa Simalungun juga mempunyai wilayah yang berbeda tetapi khususnya Simalungun yang lebih asli dan murni yaitu Simalungun Raya. Tetapi ada bahasa yang sudah terpengaruh oleh bahasa suku budaya lain seperti daerah Kerajaan Pematang Siantar, Silimakuta, Harajaon Tanah Jawa, Harajaon Panai, Dolok Silou, Raja purba, dan Raja Raya. Berbeda daerah wilayah, maka berbeda juga bahasa dan dialog vokal dan tekanannya, karena sudah terpengaruh dengan bahasa di sekitarnya

(38)

seperti bahasa tetangga Batak Toba, Karo, Melayu, Jawa, Pakpak, dan bahasa Indonesia. Tetapi, bahasa yang masih murni terdapat di daerah Pematang Raya yang terletak di wilayah Harajaon Raja Raya (Tuan Rondahaim Saragih Garingging).

2.2.3. Sistem Kekerabatan

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan Simalungun (1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan, yaitu :

1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki- laki dan mungkin pula dari pihak perempuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental.

Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki -laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral patrilineal , yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki -laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga

(39)

yang sama dengan marga si ayah. Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:

1. Tutur Manorus / Langsung

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya:

Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda.

Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,

2. Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua).

Tondong Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia Panggilan

(40)

seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan. Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :

1. Tondong (Pemberi istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis keturunan)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.

2.2.4. Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli Simalungun yang populer dengan akronim

“Sisadapur” yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, Purba. Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara empat raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, istilahnya:

marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang mussuh. dengan tidak saling menyerang maka bentuk-bentuk kesenian khas masyarakat Simalungun dapat dilestarikan hingga sekarang.

1. Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan

(41)

dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon:

Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang. Keturunannya adalah:

 Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

 Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari

(42)

Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir.

Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.

3. Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Menurut Taralamsyah Saragh, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.3. Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat

(43)

deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (tortor).

2.3.1 Seni Musik

Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara- upacara adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensambel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:

1. Manombah2 2. Maranggir3

3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.

4. Rondang Bintang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh. Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb. Alat-

2 Manombah yaitu suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan ( kamus bahasa Simalungun)

3 Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat ( kamus bahasa Simalungun)

(44)

alat musik tersebut dimainkan untuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.

2.3.2. Seni Suara (Doding)

Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah.

Doding dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok. (Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah :

1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.

2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.

3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran.

Nyanyian ini juga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.

4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya.

Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.

5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.

(45)

6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.

2.3.3 Seni Tari (Tor-Tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu

antara lain:

1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal.

Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai kelompok adat(

tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh -oleh dari para tamu undangan.

Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk memberi

(46)

semangat. Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur tradisional. Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada buatan pabrik.

2.4. Mata Pencaharian

2.4.1. Pertanian dan Perkebunan

Selama tahun 2012, Kabupaten Simalungun menghasilkan antara lain 440.992 ton padi, 383.813 ton jagung, dan 336.555 ton ubi kayu yang menjadikan Kabupaten Simalungun sebagai penghasil padi, jagung, dan ubi kayu terbesar di Sumatera Utara. Produksi tanaman pangan lainnya yang cukup besar dari kabupaten ini adalah kedelai, kacang tanah, dan ubi jalar.

Tanaman perkebunan rakyat yang memberikan kontribusi sebesar 25,41%

terhadap PDRB Simalungun antara lain karet, kelapa sawit, kopi, aren, vanili, kelapa, cokelat, cengkeh, kulit manis, kemiri, lada, dan pinang.

Gambar

Gambar 1. Peta wilayah Simalungun  (Sumber: Perpustakaan Nasional RI)
Gambar 2. Batang nangka  yang telah dipotong sesuai ukuran  gonrang sipitu- sipitu-pitu
Gambar 3. Kulit kambing yang akan menjadi membran gonrang sipitu-pitu
Gambar 5. Pukkor (bor) berbentuk “T”
+7

Referensi

Dokumen terkait

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan yang termuat dalam SPSE [memiliki SBU SI.003, klasifikasi kecil minimal K1,

Paket Pelelangan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan yang termuat dalam SPSE[memiliki SBU SI.003,klasifikasi kecil minimal K

[r]

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan [Surat Ijin untuk menjalankan kegiatan / usaha di bidang perbaikaan kapal/ pengadaan suku

Analisis data dilakukan dengan uji T untuk mengetahui perbedaan rata-rata jumlah bakteri sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok berkumur seduhan teh hitam dengan

1) Jika t hitung > t tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti physical evidence berpengaruh secara nyata dalam meningkatkan Loyalitas Anggota Kopersi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penurunan jumlah bakteri rongga mulut berkumur seduhan teh hitam 80 mg/ml dibandingkan teh hijau 80 mg/ml.. Untuk

Perbandingan kualitas citra subyektif antara kompresi OBDD dengan YUV 4:1:1, kompresi OBDD dengan YUV 4:2:2, dan JPEG2000 mem- berikan hasil bahwa, pada kategori natural dan tekstur