KONSEP FATRAH DALAM QS. AL-MĀIDAH [5]: 19 (STUDI KOMPARATIF MUFASIR KLASIK DAN MODERN)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh Rifa Nurwiladati NIM 11140340000004
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KONSEP FATRAH DALAM QS. AL-MĀIDAH [5]: 19 (STUDI KOMPARATIF MUFASIR KLASIK DAN MODERN)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh Rifa Nurwiladati NIM: 11140340000004 Pembimbing, Muslih, Lc., MA. NIP. 19721024 200312 1 002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ix
ABSTRAK Rifa Nurwiladati, NIM 11140340000004.
Konsep Fatrah dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19: Studi Komparatif Penafsiran Mufasir Klasik dan Modern
Fatrah merupakan istilah yang diangkat dari sebuah ayat Al-Qur’an dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 yang berbunyi ‘Alā fatratin min al-Rasul, dimaknai dengan keterputusan, yang artinya ketika terputusnya (pengiriman) rasul-rasul, yakni (ketika terjadi masa) kekosongan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana sumber teks tafsir berbicara mengenai konsep Fatrah dan mengetahui bagaimana penafsiran Fatrah menurut Mufasir klasik dan modern. Maka metode penelitian skripsi yang digunakan peneliti adalah metode analisis-komparatif. Metode ini bermaksud menganalisis perbandingan penafsiran klasik dan modern. Penafsiran klasik menyajikan banyak makna Fatrah yang bersumber pada riwayat, sementara Mufasir modern lebih menekankan dalam konteks masa kini dan juga sejarah dalam penafsirannya.
Berdasarkan objek yang diteliti, penulis telah menemukan beberapa temuan terkait tersebut. Fatrah dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 dimaknai dengan keterputusan, baik oleh Mufasir klasik maupun modern. Dalam tafsir al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr diartikan diam, maksudnya adalah diamnya kedatangan rasul. Makna serupa dikatakan oleh Quraish Shihab, bahwa fatrah yang berarti melemah, sehingga mempengaruhi keadaan tidak seperti keadaan awal yang relatif semangat. Begitu pun Hamka yang menjelaskan makna fatrah dengan berlandaskan akal, dengan menilai dari sejarah. Adapun mengenai jarak masa Fatrah Mufasir klasik dan modern dominan menyebutkan sekitar 600 tahun.
xi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah subhānah wa ta’āla. yang telah memberikan rahmat, taufik serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita semua yaitu Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam. Manusia utusan Allah, dengan perantaranya lah kita mendapat nikmat Iman dan Islam.
Teriring rasa syukur atas nikmat Allah subhānah wa ta’āla, penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul : “Konsep Fatrah dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 (Studi Komparatif Mufasir Klasik dan Modern)”. Penyusunan skripsi ini diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Agama (S.Ag) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2024, yang telah memimpin dan mengelola penyelenggaraan pendidikan sebagaimana mestinya. 2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya yang telah mengkoordinir penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat di Fakultas.
3. Dr. Eva Nugraha, MA. Ketua program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir juga Dr. Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH. Sekretaris program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, yang selalu memfasilitasi, ikhlas, memberikan
contoh yang baik dan tak pernah lelah memotivasi, semoga Allah subhānah wa ta’āla membalas kebaikan beliau dan memberikan keberkahan.
4. Muslih, Lc., MA. dosen pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya dan bersedia membimbing dan memberikan arahan selama penyusunan skripsi serta memberikan banyak ilmu dan solusi pada setiap permasalahan dan penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA. dosen pembimbing akademik yang telah berkenan memberikan masukan dan meluangkan waktunya ditengah kesibukannya sebagai dosen.
6. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang ikhlas, tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berintelektual. 7. Saudara kandung penulis Ahmad Fawaid, S.Pd. dan Tajul Arifin, S.I.Kom. dan satu kakak ipar, Hilda Lisdianti, S.Ag. yang selalu memberikan dukungan serta do’a yang tiada henti-hentinya selama proses penyusunan skripsi.
8. Kepada saudara persepupuan Doublethree Brother, Zahira, Indah, Ulfah, Neng Muma, Rara, Ikmal, Abang, Uul, Hilmi, Iki yang selalu memberikan semangat kepada penulis, juga kepada Sahabat Akademik Neng Muma dan Syifa Dzihni yang selalu support penulis dikala suka maupun duka, teman-teman kosan Rawa Indah, Cucu, Neng Muma, Zahra, Messa, yang selalu menemani penulis selama tinggal jauh di perantauan, semangat kalian sungguh sangat berarti bagi penulis.
xiii 9. Seluruh teman-teman jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014. Khusus nya teman-teman terdekat saya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan satu sama lain demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. Teruntuk kedua orang tua tercinta, Bapak Drs. H. Dadang A Syuja’i, M.Ag. dan Mamah Paridah S.Ag yang tak terhitung jasa mereka berdua serta telah sepenuh jiwa dan raganya senatiasa selalu mendo’akan, memberikan semangat, memotivasi dan mendukung baik moril dan materil, yang tidak pernah menuntut apapun serta tak henti-hentinya mengirim do’a kepada penulis. Semoga senantiasa Allah subhānah wa ta’āla sehatkan badannya, panjangkan usianya, dimurahkan rezekinya dan selalu dalam lindungan Allah subhānah wa ta’āla. Āmīn.
Akhir kata, semoga segala bentuk bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan pahala dari Allah subhānah wa ta’āla. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca. Āmīn Yā Robbal ‘Alamīn. Jazakumullāh Ahsanal jazā.
Ciputat, 04 Februari 2021
Rifa Nurwiladati NIM 11140340000004
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543b/u/1987. Adapun perinciannya sebagai berikut:
A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Arab Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkan Tidak dilambangkanب
b beت
t teث
ṡ es (dengan titik di atas)ج
j jeح
ḥ ha (dengan titik di bawah)خ
kh ka dan haد
d deذ
ż zet (dengan titik di atas)ر
r erز
z zetس
s esش
sy es dan yeص
ṣ es (dengan titik di bawah)ض
ḍ de (dengan titik di bawah)ط
ṭ te (dengan titik dibawah)ع
‘ apostrop terbalikغ
g geف
f efق
q qiك
k kaل
l elم
m emن
n enو
w wه
h haء
’ apostropي
y yeHamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun, jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).
B. Tanda Vokal
Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau disebut dengan diftong, untuk vokal tunggal sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َ ا
Fatḥah a aَ ا
Kasrah i iَ ا
Ḍammah u uAdapun vokal rangkap sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷ
xvii
ﹷ
و
au a dan uDalam Bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اى
ā a dengan garis di atasيى
ī i dengan garis di atasوى
ū u dengan garis di atasC. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan (al-) yang diikuti huruf: syamsiyah dan qamariyah.
Al-Qamariyah
َ رْي ن
لما
Al-MunīrAl-Syamsiyah
َ لا ج رلا
Al-RijālD. Syaddah (Tasydid)
Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydid dilambangkan dengan ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah, akan tetapi, itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah terletak setel kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
al-Qamariyah
َ ة و
قْلا
al-Quwwahal-Syamsiyah
َ ة ر ْو ر َّضلا
al-ḌarūrahE. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta martujah yang hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah, transliterasi adalah (t), sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah (h), kalau pada kata yang berakhir dengan ta
marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al-ser bacaan yang kedua kata itu terpisah, maka ta marbūtah ditransliterasikan dengan ha (h) contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1
َ ة قْي ر
َّطلا
Ṭarīqah2
َ ةَّي م
لَ ْس
ْالْ ة ع ما ج ْلا
al-Jāmi’ah al-Islāmiah3
َ د ْو ج و
ْلا ة دْح و
Waḥdat al-WujūdF. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini juga mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal Nama tempat, nama bulan nama din dan lain-lain, jika Nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abu Hamid, al-Gazali, al-Kindi.
Berkaitan dengan penulisan nama untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab, misalnya ditulis Abdussamad al-palimbani, tidak “Abd al-Samad al-Palimbani. Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri.
G. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia, Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas, Misalnya kata al-Qur’an
xix (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan umum, namun bila mereka harus ditransliterasi secara utuh.
Contoh: Fī Zilāl Qur’ān, Al-‘Ibrah bi ‘umūm lafżi lā bi khusūs al-sabab.
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv
DAFTAR ISI ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan Pustaka ... 7
E. Metodologi Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TEORI TENTANG FATRAH DALAM AL-QUR’AN ... 13
A. Tinjauan Umum Fatrah ... 13
1. Definisi Fatrah ... 13
2. Ahl Fatrah dan Klasifikasinya ... 18
B. Pandangan Ulama tentang Fatrah ... 21
C. Tinjauan Fatrah dalam al-Qur’an ... 22
BAB III PERKEMBANGAN TAFSIR KLASIK HINGGA TAFSIR MODERN ... 27
A. Tafsir klasik : al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr ... 28
1. Ibn Jarīr al-Ṭabarī. ... 28
2. Ibn kaṡīr ... 29
B. Tafsir Modern : Buya Hamka dan Quraish Shihab ... 33
1. Buya Hamka-Tafsir al-Azhar ... 34
BAB IV KONSEP FATRAH DALAM QS. AL-MĀIDAH/ 5: 19 MENURUT MUFASIR KLASIK DAN MODERN ... 39 A. Teks Ayat dan Terjemah ... 39 B. Asbabun Nuzul Ayat dan Munasabah Ayat ... 39 C. Tafsir Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 Menurut Mufasir Klasik dan Modern ... 41 1. Mufasir Klasik : al-Ṭabarī ... 41 2. Mufasir Klasik: Ibn Kaṡīr ... 44 3. Mufasir Modern: Buya Hamka ... 47 4. Mufasir Modern: Quraish Shihab ... 50 D. Ayat-ayat lain yang Membahas peran “utusan” dalam menyampaikan dakwah di masa Fatrah antara diangkatnya Isa as hingga kenabian Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam. ... 51
1. Tiga utusan yang di datangkan kepada suatu kaum ... 51
2. Kaum Hawāriyyun (12 Murid Nabi Isa as) ... 57
BAB V KESIMPULAN ... 67 A. Kesimpulan ... 67 B. Saran dan masukan ... 68 DAFTAR PUSTAKA ... 69
xxiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nama-nama Nabi beserta Tahun Kelahiran-Wafat dan
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an al-Karim memperkenalkan diri dengan beragam ciri-ciri dan sifatnya. Salah satu di antaraya, merupakan kitab suci dengan keautentikkan yang telah dijamin oleh Allah subhānah wa ta’āla. dan senantiasa Allah pelihara sesuai dengan kandungan makna Qs. al-Ḥijr/ 15: 9.1
Allah subhānah wa ta’āla mengutus para Nabi dan Rasul ke dunia sebagai pembawa kalam Allah untuk dipahami sebagai pedoman hidup, agar tetap pada koridor dan perilaku yang semestinya, sebagai hamba-Nya. Tugas bagi para utusan (Rasul) yang beragam, di berbagai tempat, waktu
masing-masing bagi mereka ditentukan oleh Allah.2 Masa lamanya
pengutusan Nabi dan Rasul yang beragam dari zaman ke zaman, antara setiap Nabi yang satu dengan yang lain bermacam-macam, terdapat jangka yang relatif panjang dan begitu pun sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, masa tersebut biasa disebut masa kekosongan (fatrah).
Fatrah secara bahasa artinya hening.3 Kata fatrah beserta derivasinya dalam al-Qur’an terdapat sebanyak tiga kali dengan makna yang beragam. Pada Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 dengan lafaz (
ٍ ةَرْ تَ ف
), yang bermakna terputus, pada Qs. al-Anbiyā’/ 21: 20, dengan lafaz)َنْوُرَ تْفَ ي
( yang berarti mereka1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), 5.
2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 41.
3 Al-Ragib al-Ashfahani, Kamus al-Qur’an : Penjelasan Lengkap Makna Kosakata Asing (Garib) dalam al-Qur’an, terj. Ahmad Zaini Dahlan (Depok: Pustaka Fawa’id, 2017), 16.
diam/henti-hentinya. Serta pada Qs. al-Zukhruf/ 43: 75, (
ٍُرَّ تَفُ ي
) artinya, diringankan.Kata Fatrah yang disebutkan dalam al-Qur’an yaitu dalam firman Allah subhānah wata’āla.
ٍُقَ تٍنَأٍِلُسُّرلاٍَننمٍ ةَرْ تَ فٍٰىَلَعٍْمُكَلٍُنيَِّ بُ يٍاَنُلوُسَرٍْمُكَءاَجٍْدَقٍِباَتِكْلاٍَلْهَأاَي
ٍاَََءاَجٍاَمٍاوُلو
ٍ ريِذٍََ َلََوٍ يرِشَبٍنِم
ۖ
ٍ
ٍِذَََوٌٍيرِشَبٍمُكَءاَجٍْدَقَ ف
ٌٍري
ۖ
ٍ
ٍنلُكٍٰىَلَعٍُهَّللاَو
ٌٍريِدَقٍ ءْءَيٍ
١٩
ٍ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”4 (Qs. al-Mā’idah/ 5: 19)
Masa ketika tidak ada Nabi dan Rasul (utusan) Allah yang pada akibatnya menimbulkan ke tidak sinambungan keadaan umat Islam, karena selain dakwah Islam yang berkemungkinan meredup, dan timbulnya pertikaian yang dikhawatirkan kurang baiknya penanganan. Karena seperti yang kita ketahu, adanya Rasul sebagai panutan yang baik (uswah hasanah), penengah yang bijak, dan petunjuk untuk memahami segala
permasalahan manusia menuju petunjuk Allah subhānah wata’āla.5
Sedangkan kalimat fatrah dalam ayat di atas bermakna masa
kekosongan nabi, pada umumnya ia disebut untuk menunjukkan jeda sesudah (diangkatnya) Nabi Isa alaihisallam hingga kerasulan Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam. Pada masa jeda itu, risalah yang dibawa Nabi Isa alaihisallam telah terlupakan. Cahaya yang ia bawa tidak sampai kepada
4 Kementerian Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Qur’an, 2019), 149.
5 M. Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid Al-Nūr 1, cet.1 (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), 892.
3 masa Rasul ṣallahu’alaihiwasallam. Akhirnya, manusia berada dalam kegelapan yang pekat, sehingga terjadi kekosongan yang gelap. Inilah yang
disebut dengan masa fatrah.6
Terkait dengan masa fatrah dengan akibatnya, salah satunya perihal pertanyaan seseorang (penduduk Arab) mengenai tempat terakhir (ganjaran) bagi orang tua Nabi ṣallahu’alaihiwasallam yang telah wafat lebih dahulu sebelum turunnya perintah atau tugas Muhammad sebagai seorang Rasul, sedangkan Rasul yang ada (sebelum Muhammad) telah ratusan tahun kembali kepada Allah. Maka, dapat dinilai bahwa orang tua Nabi ṣallahu’alaihiwasallam hidup pada masa fatrah.
Adapun hadis yang berkaitan dengan hal di atas penulis menemukan pada sarḥ Abu Dawud. Dalam hadis tersebut Rasulullah
ṣallahu’alaihiwasallam bersabda: “sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di neraka.”7 Hadis ini merupakan jawaban beliau atas pertanyaan seorang laki-laki kepadanya mengenai nasib dari ayah laki-laki tersebut, lalu beliau menjawabnya dengan hadis tersebut. Dalam jawabannya tersebut, beliau menegaskan bahwa yang masuk neraka tidak hanya ayah dari laki-laki tersebut, tetapi ayah beliau juga sama-sama menjadi penghuni neraka.
Dengan vonis tersebut maka muncullah beberapa pertanyaan dan pernyataan yang meragukan kualitas hadis tersebut, mengapa divonis sebagai penghuni neraka, padahal ia hidup di masa fatrah dan meninggal dunia di masa tersebut? Hadis tersebut dinilai bertentangan dengan pernyataan Allah subhānahu wa ta’āla yang menyatakan tidak akan menyiksa siapa saja sebelum adanya seorang utusan dari-Nya yang
6 Rofik Maftuh, “Insklusifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; Studi Atas Konsep Ahl al-Fatrah dalam Tafsir Marah Labid” Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol.3, no.1 (Juni 2018): 120.
7 Abū Dawūd Sulaimān ibn Asy’aṭ Sijistānī, Sunan Abī Dawūd (Beirut: al-Maktabah al-Aṣriyyah, t.th.), 230.
menyampaikan ajaran-ajaran-Nya (Qs. al-Isrā/ 17: 15). Ayah Rasulullah hidup dan meninggal di masa fatrah, yaitu masa yang tidak seorang pun utusan Allah datang di masa tersebut.
Dalam perdebatan ini tentu tidak jauh dengan apa yang disebut dengan ahl al-fatrah. Adapun ahl al-fatrah adalah orang-orang yang hidup di zaman fatrah. Dengan demikian, kedua orang tua Nabi ṣallahu’alaihiwasallam hidup di zaman fatrah. Syaikh Masyhūr ibn Hasan Alu Salmān hafizhahullah mengatakan,
“Yang benar, ahlu fatrah adalah orang-orang yang hidup di antara dua rasul. Rasul yang pertama tidak diutus kepada mereka (yakni dakwahnya tidak sampai ke masa hidup mereka), dan mereka belum
menemui rasul yang kedua.”8
Definisi ahl al-fatrah inilah yang kemudian menyebabkan perbedaan pandangan mengenai siapa yang termasuk golongan ahl al-fatrah. Orang-orang yang hidup di zaman fatrah, ada yang sudah sampai kepadanya dakwah Rasul, ada yang belum. Bagi yang sudah, maka Allah subhānah wa ta’āla tidak akan menimpakan siksa kepadanya. Sebagaimana firman-Nya,
ٍوُسَرٍَثَعبٍَََّٰتََّحٍَيِِّبنذَعُمٍاَّنُكٍاَمَوٍ...
ٍالَ
ٍ
“... dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al-Isrā/ 17: 15)
Mengenai orang-orang yang hidup di zaman fatrah yang belum sampai kepada mereka dakwah, para ulama berselisih pendapat tentang keadaan mereka di akhirat. Disebutkan dalam sebuah hadis berikut ini:
“Pada hari kiamat ada empat orang yang akan mengadu kepada Allah yaitu seorang yang tuli, tidak mendengar sesuatu pun; seorang
8 Allāmah Ali ibn Sulṭān Muhammad Qāri, Adillatu Mu’taqad Abi Ḥanifah al-A’ẓām fî Abawai al-Rasūl, taḥqīq Syaikh Masyhūr ibn Hasan ibn Salmān, 10.
5 yang pandir; seorang yang pikun; dan seorang yang meninggal
dunia di zaman fatrah.” (HR. Bukhari) 9
Dalam diskursus ini, banyak ulama memberikan argumennya, terutama para mufasir dalam kitab tafsirnya ketika bersentuhan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan umat terdahulu. Untuk itu penulis akan mengkaji ayat tentang masa fatrah serta mengumpulkan penafsiran-penafsiran dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir klasik dan modern.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa identifikasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Definisi fatrah. 2. Konsep fatrah. 3. Masa fatrah.
4. Kata fatrah yang terdapat dalam tiga surah dalam al-Qur’an, Qs. al-Mā’idah/ 5: 19, Qs. al-Anbiyā’/ 21: 20, Qs. az-Zukhruf/ 43: 75. 5. Pendapat mufasir klasik dan modern mengenai penafsiran kata
fatrah.
2. Pembatasan Masalah
Agar dalam penelitian ini tersusun dengan baik, penulis memberikan batasan masalah, yaitu hanya fokus pada ayat yang paling menerangkan tentang Fatrah yaitu Qs. al-Mā’idah/ 5: 19, dengan merujuk kepada kitab tafsir klasik dan modern. Adapun kitab tafsir yang penulis gunakan dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada kitab, 1). Tafsīr Jami’ Bayān ‘an Ta’wīl ay Qur’ān karya Ṭabarī, 2). Tafsīr Qur’ān
9 Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mugirah Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dār al-Kitāb), 512.
Ażīm Karya Ibn Kaṡīr 3). Tafsīr Azhar Karya Buya Hamka dan, 4). Al-Misbaḥ Karya Quraish Shihab.
Peneliti menggunakan tafsir tersebut karena, dalam tafsir klasik yaitu al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr untuk melihat dari sisi penafsiran yang menekankan kecenderungan tekstual yang berkaitan dengan kebahasaan, karena aspek tersebut menyediakan berbagai macam tafsiran yang diakses melalui jalur riwayat dan qiraat. Selain itu penulis menggunakan penafsiran dari Hamka dan Quraish Shihab untuk melihat dari sisi sosial atau adab al-ijtima’i.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, ada satu poin penting yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu “Bagaimana penafsiran mufasir klasik dan modern terhadap Fatrah dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dihasilkan dari penelitian ini sekurang-kurangnya adalah untuk mengetahui penafsiran tentang Fatrah dalam Qs. al-Mā’idah/ 5: 19 menurut mufasir klasik dan modern.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara umum memberikan pengetahuan atas penafsiran fatrah dalam tafsir klasik dan modern.
b. Selain itu juga sebagai bahan khazanah keilmuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna fatrah dalam berbagai literatur tafsir klasik dan modern.
7
D. Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa kajian terdahulu berupa skripsi, jurnal, dan artikel yang relevan dengan tema penelitian, di antaranya :
Skripsi yang berjudul Konsep Keselamatan Orang Tua Nabi Muhammad menurut Syiah Isna Asyariyah yang ditulis oleh Agus Setiadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di dalam skripsi ini Agus Setiadi memfokuskan penelitiannya pada konsep keselamatan orang tua Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam yang diusung oleh kalangan syiah asyariyah dalam tafsir Majma’ al-Bayān karya Abu Ali al-Fadl ibn
Hasan al-Tabrisi.10
Jurnal, Menakar Nasib Ayah Rasulullah ṣallahu’alaihiwasallam (Studi Terhadap Pendapat Yusuf al-Qarḍāwī dalam Kitabnya “Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah” Tentang Validitas dan Makna Hadis Shahih Muslim “Sesungguhnya Ayahku dan Ayahmu di Neraka”) yang ditulis oleh Moh. Jufriyadi Sholeh. Di dalam jurnal ini, Moh Jufri menjelaskan bagaimana nasib ayah Rasulullah ṣallahu’alaihiwasallam di akhirat perspektif kualitas sanad dan matan hadis serta pendapat Yusuf al-Qarḍāwī. Kesimpulannya, al-Qarḍāwī meragukan validitas hadis Shahih Muslim tersebut dengan pertanyaan, apa dosa yang telah diperbuat oleh Abdullah ibn Abd al-Muṭalib sehingga harus masuk neraka, sedangkan ia termasuk ahli fatrah, yaitu orang-orang yang selamat (dari siksa neraka)?. Dengan alasan tersebut, al-Qarḍāwī akhirnya lebih mengambil sikap tawaqquf. Ia tidak berani menerima hadis tersebut dan juga tidak berani menolaknya. Padahal hadis tersebut merupakan hadis sahih, baik sanad maupun matan-nya.11
10 Agus Setiadi, “Konsep Keselamatan Orang Tua Nabi Muhammad menurut Syiah Isna Asyariyah” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2017).
11 Moh. Jufriyadi Sholeh, “Menakar Nasib Ayah Rasulullah (Studi terhadap pendapat Yusuf Qarḍāwī.” Jurnal Reflektika, vol. 10 (Agustus 2015): 71-97.
Jurnal, Inklusisifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; studi atas penafsiran ahl fatrah dalam Tafsir Maraḥ Labid yang ditulis oleh Rofiq Maftuh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam jurnal ini penulis hanya membahas ahl fatrah dengan merujuk satu sumber kitab yaitu karya Syaikh
Nawawi al-Bantani.12
E. Metodologi Penelitian
Untuk mendapatkan kajian yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan metodologi sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa kata-kata tertulis dari suatu objek yang dapat diamati
dan diteliti.13 Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan metode
penelitian kepustakaan (library research), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan cara pengumpulan data mengenai tema pembahasan yang diperoleh dari data-data tertulis baik berupa buku-buku, jurnal, artikel, skripsi dan literatur-literatur lain.
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli serta
menurut informasi atau data penelitian.14 Dalam penulisan skripsi ini,
12 Rofik Maftuh, “Inklusisifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; Studi atas Konsep Ahl al-Fatrah dalam Tafsir Marah Labid.” Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qu’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Purwokerto, vol. 3, no. 1 (Juli 2008): 119-133.
13 Lexy J. Moeling, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 3.
14 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 132.
9 sumber data primer yang digunakan oleh penulis yaitu kitab tafsir. Adapun kitab tafsir yang akan diteliti yaitu, Tafsīr Jami’ Bayān ‘an Ta’wil ay al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-al-Qur’ān al-Ażīm Karya Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Azhar Karya Buya Hamka, dan al-Miṣbaḥ Karya Quraish Shihab.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua dari data
yang diperlukan dalam penelitian,15 merupakan catatan-catatan yang
“jaraknya” telah jauh dari sumber orisinil.16 Data sekunder merupakan data
pendukung, biasanya sudah tersusun dalam dokumen-dokumen, buku-buku, kitab tafsir, kitab hadis, kamus, artikel di majalah dan internet, maupun media informasi lainnya yang berkaitan dengan pokok pada permasalahan ini.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode Analisis-Komparatif. Metode komparatif sendiri terdapat tiga aspek yang dapat diperbandingkan, yaitu ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya, baik redaksinya sama maupun membandingkan ayat yang seolah-olah saling bertentangan, membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis-hadis nabi, dan membandingkan berbagai penafsiran ulama tafsir dengan pendapat
lainnya.17
Dalam hal ini, penulis membandingkan penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Ibn Kaṡīr, Hamka, dan Quraish Shihab mengenai makna fatrah. Karena yang menjadi sasaran pembahasan adalah pendapat ulama tafsir, maka metodenya adalah : 1) menyajikan ayat yang dijadikan objek studi beserta
15 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik serta ilmu-ilmu sosial lainnya, cet. 4 (Jakarta: Kencana, 2009), 122.
16 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cet. VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 50. 17 Nasaruddin Baidan, Wawasan Baru al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 33.
sebab turunnya ayat tersebut; 2) mengumpulkan dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, dalam hal ini penafsiran ulama klasik dan modern yang dijadikan objek kajian; 3) membandingkan pendapat mereka untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya.
4. Teknis Penulisan
Secara teknis, penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.18 Kemudian Pedoman
Contoh Penulisan Footnote, Daftar Pustaka dan Ayat al-Qur’an dalam Penulisan Skripsi yang dicetak untuk memudahkan Mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang disusun oleh ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Kemudian untuk penulisan Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor :0543b/u/1987. Keempat Buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Oleh Tim pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, edisi keempat Jakarta : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam penyusunan skripsi, penulis membagi penjelasannya menjadi beberapa bab dengan sistematika berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub bab yaitu latar belakang masalah, permasalahan yang terdiri dari identifikasi, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
18 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
11 pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Struktur yang telah direncanakan, kemudian berlanjut pada tahap awal yang menyajikan gambaran universal sebagai;
Bab II bagian dari landasan teori yang menjadi penjelasan umum tentang pembahasan definisi fatrah, pandangan ulama mengenai fatrah dan tinjauan fatrah dalam al-Qur’an. kemudian dilengkapi dengan data mufasir sebagai data primer yang kemudian;
Bab III akan difokuskan mengenai gambaran umum tentang mufasir klasik dan modern, biografi kedua mufasir, latar belakang penulisan kitab, metode serta corak tafsirnya. Setelah seluruh bab menyajikan data yang telah siap dan lengkap untuk menjelaskan poin penting, beranjak kepada;
Bab IV pokok kajian yaitu penafsiran mengenai fatrah menurut mufasir klasik dan modern. Aspek pertama, menyajikan teks ayat dan terjemah. Kedua, terkait asbabun nuzul dan munasabah ayat. Ketiga, Konsep fatrah, berdasarkan tafsir atas kandungan pokok ayat serta perbandingan mufasir, keempat, menyajikan ayat lain yang membahas peran utusan dalam masa Fatrah, dan
Bab V merupakan bab penutup, yang isinya terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan penelitian. Kritik dan saran sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
13
BAB II
TEORI TENTANG FATRAH DALAM AL-QUR’AN A. Tinjauan Umum Fatrah
1. Definisi Fatrah
Menurut bahasa, Fatrah yang berasal dari kata
َروتفلا
-
رتف
maknanyaadalah hening.1 Kata tersebut berangkat dari sebuah ayat yang berbunyi
‘Alā fatratin min al-Rasul,2 yang artinya ketika terputusnya (pengiriman)
rasul-rasul, yakni (ketika terjadi masa) kekosongan. “Fatara as-Syai’u”
(sesuatu kosong/berhenti).3 Jika ditinjau secara lebih luas mengenai definisi
Fatrah, di dalam kamus Munjid, al-Fatratu diartikan dengan titik,
pembiasaan, kelemahan.4 Sedangkan dalam kamus al-Munawwir, Fatrah
diartikan dengan masa, periode, maksudnya zaman di antara dua Nabi.5
Menurut ahli bahasa, Raghib al-Asfahani juga mengatakan, makna hening di sini bisa juga tenang setelah ribut, lembut setelah keras, dan lemah
setelah kuat. Yakni keadaan kosong (sepi) dari datangnya utusan Allah.6
Lebih jelasnya bahwa rentang masa di antara dua Nabi, yang pada masa
1 Al-Raghib al-Ashfahani, Kamus Al-Qur’an: Penjelasan Lengkap Makna Kosakata Asing (Gharib) dalam al-Qur’an jilid 3, terj. Ahmad Zaini Dahlan, Lc., Cet. I (Depok: Pustaka Fawa’id, 2017), 16.
2 Qs. al-Māidah/ 5: 19.
3 Penulis menyajikan makna Fatrah/Kekosongan merujuk pada penafsiran al-Qurthubi terhadap Qs. Al-Māidah/ 5: 19. Lihat Abī Bakr al-Qurṯubī, Tafsir al-Qurṯubī jil. 6, terj. Ahmad Khotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 408.
4 Louis Ma’luf, al-Munjid wa al-Lugah wa al-A’lām (Bairūt : Dār al-Masyrīq, 1986), 459.
5Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), 1031.
tersebut tidak ada seorang Rasul pun yang diutus oleh Allah subhānah wata’āla kepada manusia.7
Sebagian literatur mengidentikkan masa fatrah dengan masa yang di dalamnya telah hilang suatu ajaran yang otentik dari nabi terdahulu, misalnya yang disampaikan Zamakhsyarī “Terutusnya rasul di masa fatrah
karena masa itu telah terhapus bekas dari wahyu.” 8
Masa fatrah adalah jeda antara dua Nabi. Pada umumnya ia disebut untuk menunjukkan jeda sesudah diangkatnya Nabi Isa alaihisallam hingga dibangkitkannya Rasul ṣallahu’alaihiwasallam. Pada masa jeda itu, sendi-sendi yang dibawa Nabi Isa alaihisallam telah terlupakan. Cahaya yang ia bawa tidak sampai kepada masa Rasul ṣallahu’alaihiwasallam. Akhirnya, manusia berada dalam kegelapan yang pekat. Atau, ia adalah jeda ketika cahaya yang dibawa Nabi Isa alaihisallam tidak bersambung dengan cahaya yang dibawa Rasul ṣallahu’alaihiwasallam sehingga terjadi kekosongan yang gelap. Inilah yang disebut dengan masa fatrah. Orang-orang yang
hidup pada masa tersebut disebut dengan ahl fatrah.9 Dalam penjelasan lain
mengemukakan pendapat yang sama bahwa masa fatrah adalah masa kekosongan antara Nabi ʼIsa dan Nabi Muhammad, ditambah kondisi dimana isi atau syariat dari kitab Taurat dan Injil sudah banyak yang hilang kurang diketahui karena teks yang sulit dipahami, ajaran inti yang diubah,
dan dilupakan, baik disengaja maupun tidak disengaja.10
7 Ibrahim Musṭafa, al-Mu’jam al-Wasīṭ (Mesir: Maktabah al-Syurūq al-Dauliyyah, 2004), 310.
8 Abū Qasim Mahmud ibn ‘Umar Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, juz 1 (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arābī, 1407 H), 618.
9 Fethullah Gullen, “Mereka Berbicara Tentang Masa Fatrah, 2015,” Di akses 13 Maret, 2021 https://www.fgulen.com/id/karya/islam-rahmatan-lil-alamin/mereka-berbicar a-tentang-masa-fatrah.
15 Karena tidak adanya Utusan Allah pada masa itu, sedangkan lamanya masa fatrah berkisar 500 tahun lebih, hanya tersisa ajaran Nabi Isa yang tertulis dalam salah satu Kitab-Nya Allah subhānah wa ta’āla maka timbul kekhawatiran terhadap manusia yang tidak mendapat informasi perihal ajaran Allah sebagai pedoman hidup manusia. Selain itu, hal demikian menjadikan manusia pada masa itu berkemungkinan besar hidup dalam kesesatan dan melakukan dosa yang menjadikan mereka akan tinggal di Neraka kelak. Anggapan ini sesuai dengan Firman Allah dalam Qs. al-Isrā’/ 17: 15.
ٍِزاَوٍُرِزَتٍ َلََوٍاَهْ يَلَعٍُّلِضَيٍاََّنَِّإَفٍَّلَضٍنَمَوٍِهِسْفَ نِلٍيِدَتْهَ يٍاََّنَِّإَفٍٰىَدَتْهاٍِنَّم
ٍَرْزِوٌٍةَر
ٍٰىَرْخُأ
ٍالَوُسَرٍَثَعْ بَ ٍََّٰتََّحٍَيِِّبنذَعُمٍاَّنُكٍاَمَو
ٍ
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Pendapat yang mengemukakan bahwa adanya sebutan ahl al-fatrah karena kondisi terputusnya kerasulan antara dua Rasul. Maksudnya, bukan antara Nabi Isa alaihisallam dan Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam hal demikian terjadi pula pada masa antara Nabi Nuh alaihisallam dan Nabi Idris alaihisallam sebagai contoh yang signifikan adalah sebagian penduduk Arab badui yang kepada mereka tidak sampai ajaran Nabi Isa alaihisallam akan tetapi mereka pun tidak bertemu dengan Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam maka dari itu masa fatrah (kekosongan) di antara dua Nabi dapat dilihat dari lokasi tinggal dan masa hidup masing-masing Nabi dan Rasul.
Adapun hal tersebut dapat diketahui dari tabel di bawah ini :11
Tabel 2.1 Nama-nama Nabi beserta Tahun Kelahiran-Wafat dan Wilayah nya
No Nama
Nabi Usia
Periode
Sejarah Lokasi diutus
Tempat Wafat Sebutan Kaumnya 1 Adam AS 930 Tahun 5872-4942 SM India;Mekah India;Mekah Zuriat Adam Pertama 2 Idris Ibn Yarid 345 Tahun 4533-4188 SM Irak Kuno (Babylon, Babilonia) Allah mengangkat nya ke langit Zuriat Qabil 3 Nuh Ibn Lamak 130 Tahun 3993-3043
SM Selatan Irak Mekah Kaum Nuh 4 Hud Ibn Abdullah 130 Tahun 2450-2320 SM al-Ahqaf (antara Yaman dan Oman) Bagian timur Hadramaut (Yaman) Kaum 'Ad 5 Saleh Ibn 'Ubaid 70 Tahun 2150-2080 SM Daerah al-Hijr (Madain Salih, antara Madinah dan Syiria) Mekah Kaum Tsamud 6 Ibrahim Ibn Azar 175 Tahun 1997-1822 SM Ur, di daerah selatan Babylon (Irak) al-Khalil (Hebron, Palestina/Isr ael) Bangsa Kaldan 7 Luth Ibn Haran 80 Tahun 1950-1870 SM Sodom dan ‘Amurah (laut mati atau Danau
Luth) Desa Shafrah di Syam (Syiria) Kaum Luth 8 Ismail Ibn Ibrahim 137 Tahun 1911-1774 SM Mekah Mekah Amaliq dan Kabilah Yaman 9 Ishaq Ibn Ibrahim 180 Tahun 1897-1717 SM Kota al-Khalil (Hebron) di daerah Kan'an (Kana'an) al-Khalil (Hebron) Kaum Kan'an 10 Ya'qub Ibn Ishaq 147 Tahun 1837-1690 SM Syam (Suriah/Syiria) Al-Khalil (Hebron) Bangsa Kan'an 11 Yusuf Ibn Ya'qub 110 Tahun 1745-1635 SM Mesir Nablus Heksos dan Bani Israil
11 Sami Ibn Abdullah Ibn Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah (Jakarta: al-Mahira, 2008).
17 12 Syu'aib Ibn Mikail 110 Tahun 1600-1490 SM Madyan (di pesisir Laut Merah di Tenggara Gunung Sinai) Madyan Madyan dan Ashabul Aikah 13 Ayub Ibn Amush 120 Tahun 1540-1420 SM Dataran Hauran Dataran Hauran Bangsa Arami dan Amori di daerah Syiria dan Yordania 14 Dzulkifli 75 Tahun 1500-1425 SM Damaskus dan sekitarnya Damaskus Bangsa Arami dan Amori di daerah Syiria dan Yordania 15 Musa Ibn Imran 120 Tahun 1527-1407 SM Sinai di Mesir Gunung Nebu di Jordania Bani Israil dan Fir'aun (gelar raja Mesir) 16 Harun Ibn Imran 123 Tahun 1531-1408 SM Sinai di Mesir Gunung Nebu di Jordania Bani Israil dan Fir'aun (gelar raja Mesir) 17 Daud Ibn Isya 100 Tahun 1063-963 SM Palestina Baitul
Maqdis Bani Israil
18 Sulaiman
Ibn Daud 66 Tahun
989-923 SM
Palestina (dan Israel)
Baitul
Maqdis Bani Israil 19 Ilyas Ibn Yasin 60 Tahun 910-850 SM Ba'labak (daerah di Lebanon) Diangkat Allah ke Langit Bangsa Fenisia 20 Ilyasa' Ibn Akhtub 90 Tahun 885-795 SM Jaubar, Damaskus Palestina Bangsa Arami dan Bani Israil 21 Yunus Ibn Matta (nama Ibu) 70 Tahun 820-750
SM Ninawa, Irak Ninawa, Irak
Bangsa Assyiria, di Utara Irak 22 Zakaria Ibn Dan 122 Tahun 91 SM-31 M Palestina Halab
(Aleppo) Bani Israil 23
Yahya Ibn Zakaria
32 Tahun 1 SM-31
24 Isa Ibn Maryam 33 Tahun 1 SM-32 M Palestina Diangkat Allah ke Langit Bani Israil 25 Muham mad Ibn Abdullah
62 Tahun 571-632 M Mekah Madinah
Bangsa Arab/ Quraisy Jazirah Arab/ Makkah Irak Syam/Palestina Mesir
2. Ahl Fatrah dan Klasifikasinya
Ahl al-fatrah terbagi menjadi dua kelompok antara lain:12
a) Mereka yang tidak bertemu mendengar kabar tentang utusan Allah dan tidak pula bertemu dengan Rasul.
b) Mereka yang terkena hujjah. Dalam artian ajaran Rasul sebelumnya sampai kepada mereka, akan tetapi karena ke tidak tauan mereka (uzur) maka mereka tidak menerima kerasulan yang selanjutnya.
Klasifikasi ahl al-fatrah terbagi menjadi tiga golongan, pendapat ini diambil dari syarh muslim. Adapun tiga kelompok yang dimaksud antara lain:13
a) Orang-orang yang mendapatkan pencerahan atas keesaan Allah melalui hatinya, salah satu dari syariat Nabi, baik Nabi Muhammad ataupun Nabi ‘Isa alaihisallam.
b) Orang-orang musyrik yang dan tidak meng-Esakan Allah, tidak mencari lewat syariat dari Utusan Allah, dan tidak mencari kebenaran perihal tauhid.
12 Abdullah Abdul Aziz, “al-Jamaharah, 2021” Diakses 13 Maret 2021, https://isla mic-content.com/dictionary/word/1814/id.
13 Abdullah ibn Nuh, Saya, Muslim, Sunni, Syafi’I, terj. Ahmad Zulfikar, cet. 1 (Depok: Sahifa, 2020), 624.
19 c) Orang-orang yang mendapatkan syariat akan tetapi mengingkari syariat tersebut demi memenuhi syahwat dan kepentingan diri sendiri, bahkan menghalalkan sesuatu yang haram dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian ditambah dengan penjelasan dari Syaikh Imam Nawawi terkait orang tua Nabi yang tidak masuk Neraka karena hidup pada masa fatrah.14 Dengan demikian faktor yang menjadikan ahl al-fatrah bukan karena lamanya masa jeda yang terjadi, akan tetapi karena perihal tersampaikannya ajaran atau kabar kerasulan tersebut.
Terkait ahl fatrah, para Ulama’ berbeda perdapat, namun secara umum mereka bersepakat bahwa ahl al-fatrah adalah golongan manusia yang selamat, namun dengan mengklasifikasikan dengan ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian Hasan ko Nakata, teologi Asy’ariah berkesimpulan bahwa keselamatan tiga kategori tersebut adalah: Pertama, orang-orang yang mengadopsi monoteisme dengan penilaian mereka sendiri, meskipun tidak bersentuhan langsung dengan dakwah Islam; kedua, orang-orang yang telah menjalani ajaran Agama secara individu karena misi Islam belum datang kepada mereka; ketiga, orang-orang yang menjalani hidup mereka sebagai orang ateis yang tidak menolak Tuhan pada masa sebelum dakwah Islam
menyentuh mereka.15
Adapun pengelompokan ahl al-Fatrah adalah sebagai berikut:16
1. Suaddā (orang-orang yang selamat).
14 Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarḥ Sahih Muslim ibn Hujjāj (Beirut: Dār Ihya al-Turas al-Arabi), 1392.
15 Hasan Ko Nakata, “The Border Of Slavation; The Salvation of Non-Muslim in Islam, dalam Journal of the Interdisciplinary Study of Monotheistic Religions (Februari 2006).
16 Rofik Maftuh, “Insklusifitas Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani; Studi Atas Konsep Ahl al-Fatrah dalam Tafsir Marah Labid” Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Vol.3, no.1 (Juni 2018): 127-128.
Adapun orang-orang yang selamat di kategorikan lagi:
a. Orang-orang yang yakin bahwa Allah subhānah wata’āla (Tuhan) itu satu (monoteis) dengan cahaya petunjuk yang Allah wujudkan di dalam hati mereka.
b. Orang-orang yang bertauhid dengan pancaran Ilahiyah (tajalli) di dalam hati mereka yang tidak dapat mereka menolak hal itu. c. Orang-orang yang terbuka hatinya untuk melihat dan menyadari
akan kenabian Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam lalu beriman dengan cara gaib.
d. Orang-orang yang mengikuti agama yang benar (ajaran Nabi Isa) sebelumnya.
e. Orang-orang yang melihat kemuliaan Nabi Muhammad melalui Kitab-kitab para Nabi sebelumnya.
2. Asyqiyā’ (orang-orang yang tidak selamat)
a. Meniadakan (tidak percaya) Tuhan, tanpa adanya proses berpikir, ataupun hanya berpikir pendek dan tidak ada usaha untuk mengikuti (taqlid) kepada siapa pun.
b. Musyrik karena murni hanya mengikuti (taqlid).
c. Mengetahui kebenaran terhadap Tuhan, akan tetapi
menentangnya.
3. Taḥta al-Masyī’ah (Kehendak Allah)
a. Menetapkan bahwa tidak ada Allah setelah proses berpikir sederhana karena kapasitas kemampuan berpikir yang terbatas. b. Memilih untuk musyrik setelah proses berpikir dan keliru dalam
mengambil kesimpulan.
c. Menetapkan tidak adanya Allah setelah menjalani proses berpikir yang singkat (hanya sekedarnya saja).
21 Dari pernyataan di atas dapat menjadi bukti bahwa untuk mencapai tujuan beriman kepada Allah, manusia tidak selalu harus bergantung kepada Rasul sebagai utusan dan pembawa risālah, karena pada dasarnya manusia telah dibekali karunia akal oleh Allah untuk mencapai kebenaran tersebut.
B. Pandangan Ulama tentang Fatrah
Menurut Imam al-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir dikatakan, asal makna Fatrah adalah al-Sukūn (diam), dikatakan fatara al-Syai’u yang artinya sakana al-Syai’u (sesuatu yang diam). Dari pengertian ini muncul ungkapan fatara al-Mā’u (air terputus) apabila suasana dingin telah berlalu dan beralih ke suasana panas. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah terputus, demikian yang dikatakan oleh Abu Ali al-Farisi dan yang lain. Makna redaksi fatrah yang dimaksud ini yaitu, telah terputus pengutusan para rasul selama beberapa zaman sebelum diutus Nabi
Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam.17
Ibn Abbas mengatakan ‘ala fatrah maksudnya masa yang menunjukkan terputus utusan dari beberapa rasul dan pada zaman terputusnya wahyu. Selanjutnya, dinamakan tentang masa yang panjang antara dua rasul dari rasul Allah adalah fatrah, yang menunjukkan gugurnya (terhapusnya) anjuran melaksanakan syariat-syariat yang berlaku pada masa itu setelah datangnya syariat yang baru, misalnya masa fatrah antara ‘Isa dan Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam yang berkisar 560 atau 600 tahun.18
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa fatrah adalah fase kekosongan dari keberadaan para rasul dan ke terputusan wahyu dalam kurun waktu
17 Al-Imam Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fath al-Qadir (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 314.
18 An-Naisaburi, Gharib Qur’an wa Raghaib Furqan juz 5 (Beirut: Dār al-Kutūb al-`Ilmiyah, 1996), 70.
yang cukup lama, dan setelah rentang waktu yang panjang antara periode pengutusan beliau dan periode Nabi Isa. Sudah diketahui bersama bahwa rentang waktu antara periode Nabi Adam dengan Nabi Nuh adalah sepuluh abad, antara Nabi Nuh dengan Nabi Ibrahim adalah sepuluh abad, antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa ibn Imran adalah sepuluh abad, antara Nabi Musa dengan Nabi Isa adalah seribu tujuh ratus tahun (tujuh belas abad) dan antara kelahiran Nabi Isa dengan periode Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam.19
Menurut satu pendapat, makna ‘alā fatratin min al-rasūl “ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul” adalah ketika terhentinya (pengiriman) Nabi di antara dua orang Nabi. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Ali dan sekelompok Ahl Ilmi (lainnya). Demikianlah yang diriwayatkan oleh Al-Rumani yang dikutip oleh Imam Qurṭubi. al-Al-Rumani berkata “makna asalnya adalah terhentinya pekerjaan dari kesungguhan yang semula ada padanya, diambil dari ucapan mereka Fatara ‘an amalihi (dia berhenti dari pekerjaannya) dan fatratuh `anh (aku berhenti darinya). Contoh yang lain adalah fatara al-mā’i (air menjadi dingin). al-fitr adalah sesuatu yang ada di antara jempol dan telunjuk jika engkau merenggangkannya. Makna firman Allah tersebut adalah, ada beberapa masa yang telah berlalu,
sebelum para rasul itu diangkat menjadi rasul.20
C. Tinjauan Fatrah dalam al-Qur’an
Menurut penelusuran penulis dalam Mu’jam Mufahras li Faz al-Qur’ān al-Karīm, kata Fatrah dalam al-Qur’an hanya terdapat dalam satu
19 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munīr: Aqidah, Syari’ah, Manhaj, jil. III (Jakarta: Gema Insani, 2016), 471.
20 Abī Bakr al-Qurṯubī, Tafsir al-Qurṯubī, jil. 6, terj. Ahmad Khotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 293.
23
ayat yaitu dalam surah al-Māidah/ 5: 19.21 Namun, jika dilihat dari asal kata
fa-ta-ra terdapat tiga ayat dalam al-Qur’an yang menggunakan asal kata ini, yaitu:
1. Yaftarūna (mereka diam/ henti-hentinya) Qs. al-Anbiyā’/ 21: 20.
ٍَنوُرُ تْفَ يٍ َلٍََراَهَّ نلاَوٍَلْيَّللاٍَنوُحنبَسُي
.
َ
“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”22
Pada ayat ini makna nya adalah mereka tidak berhenti dari aktifitas
ibadahnya. Al-Maraghi menjelaskan bahwa
ٍُرُ تْفَ ي
artinya “diringankan”.Berasal dari perkataan orang,
ىَمُعلاٍُهْنَعٍُتَرْ تَ ف
artinya demam itu agak sedikitreda. Sedangkan,
ٍَنوُرُ تْفَ يٍ َلَ
pada ayat tersebut maknanya mereka tidak lemahdan tidak pernah berhenti. Yakni, kata yang menerangkan bentuk pemujaan dan pentashbihan yang dilakukan oleh para malaikat, yang terus menerus tanpa henti.23
Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Nabi ṣallahu’alaihiwasallam :
ٍَ فٍ َّلَِاَوٍاََنٍَْدَقَ فٍِْتَِّنُسٍ َلَِاٍَرَ تَ فٍْنَمَفٌٍةَرْ تَ فٍ ةَّرِيٍنلُكِلَوٌٍةَّرِيٍ لَمَعٍنلُكِل
.َََلَهٍْدَق
ٍ
“Sesungguhnya setiap amalan itu ada waktu semangatnya, dan setiap masa semangat ada masa jenuhnya, maka barang siapa masa jenuhnya cenderung kepada sunahku sungguh dia telah beruntung, dan barang
siapa masa jenuhnya cenderung kepada selain itu maka ia celaka.” 24
21 Muhammad Fuad Abd. Baqi, Mu’jam Mufahras li Faz Qur’ān al-Karīm (Beirut: Dār al-Fikr, 1992), 511.
22 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 459.
23Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, Heri Nur Ali (Semarang: Toha Putra, 1992), 108.
24 Hadis ini shahih: dikeluarkan oleh al-Tirmiḍi dengan nomor (2453) dari hadis Abu Hurairah dan dishahihkan oleh al-Bani di dalam kitabnya al-Jami’ nomor (2151).
Maksud hadis di atas merupakan isyarat terhadap makna dari ucapan (kebatilan pasti memiliki babak - waktu di mana ia berjaya), kemudian ia akan melemah. Sedangkan kebenaran pasti memiliki masa pergantian, di mana ia tidak akan melemah dan tidak akan berkurang. Adapun jika ia merasa tenang dengan sunahku artinya sisi kelemahan yang dianggap baik, diibaratkan daerah di antara jempol dan jari telunjuk, atau yang kita kenal
dengan nama jengkal.25
2. Yufattarū (diringankan) Qs. al-Zukhruf/ 43: 75.
ٍَّ تَفُ يٍ َلَ
ٍَنوُسِلْبُمٍِهيِفٍْمُهَوٍْمُهْ نَعٍُر
َ
“Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa.”
Dalam ayat ini kata
ٍُرَّ تَفُ ي
yang berkaitan dengan azab, yakni kata yangmenerangkan azab yang diterima oleh orang-orang yang sengaja berbuat
dosa (mujrīmīn), dan mereka kekal di neraka jahanam.26
3. Fatratun (terputusnya) Qs. al-Mā’idah/ 5: 19.
ٍُلوُقَ تٍنَأٍ ِلُسُّرلاٍَننمٍ ةَرْ تَ فٍٰىَلَعٍْمُكَلٍُنيَِّ بُ يٍاَنُلوُسَرٍْمُكَءاَجٍْدَقٍ ِباَتِكْلاٍَلْهَأاَي
ٍاَََءاَجٍاَمٍاو
ٍ ريِذٍََ َلََوٍ يرِشَبٍنِم
ٍ
يِدَقٍ ءْءَيٍنلُكٍٰىَلَعٍُهَّللاَوٌٍريِذَََوٌٍيرِشَبٍمُكَءاَجٍْدَقَ ف
ٌٍر.
ٍ
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
25 Al-Raghib al-Asfahani, Kamus al-Qur’an: Penjelasan, 16.
26 M. Dhuha Abdul Jabbar dan N. Burhanudin, Ensiklopedi Makna al-Qur’an (Bandung: Fitrah Rabbani, 2012), 495.
25 ‘Ala Fatratin pada ayat di atas maksudnya ialah terputusnya para rasul dan lamanya massa turunnya wahyu, al-Rasul di sini dia-lah Muhammad seorang nabi yang ummiy, yang tidak mengenal apa-apa. Dia-lah yang menjelaskan semua yang kalian butuhkan baik urusan agama
maupun urusan kemaslahatan dunia.27
27 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Manār jil. 16, juz I (Kairo: Dār al-Manār, 1954), 898.
27
BAB III
PERKEMBANGAN TAFSIR KLASIK HINGGA TAFSIR MODERN
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang biografi mufasir yang penulis jadikan rujukan dalam penelitian ini, agar dapat diketahui latar belakang dan sepak terjang dari masing-masing mufasir. Adapun tafsir yang penulis jadikan rujukan dalam penelitian ini yaitu 1). Tafsīr Jami’ al-Bayān ‘an Ta’wil ay al-Qur’ān karya al-Ṭabarī, 2). Tafsīr al-Qur’ān al-Ażīm Karya Ibn Kaṡīr 3). Tafsīr al-Azhar Karya Buya Hamka dan, 4) al-Misbaḥ Karya Quraish Shihab.
Tafsir Klasik yang dimaksud peneliti adalah para mufasir atau kitab tafsir yang berada pada kurun waktu dari penafsiran Nabi Muhammad ṣallahu’alaihiwasallam hingga akhir para pengikut Tabi’ tabiin atau lebih dikenal dengan generasi keempat yaitu pada akhir abad ke 19 M. pola yang berkembang pada masa awal penafsiran al-Qur’an, pertama, jika yang mubayyan (jelas), kedua, mereka menafsirkan dengan hadis, ketiga, jika mereka tidak menemuinya mereka melakukan dengan ijtihad dan memahaminya, hingga masa di mana para mufasir mulai memiliki arah sendiri-sendiri yang jelas berbeda, sehingga ada tafsir yang dinamai bil ra’yi dan bil ma’ṡur, dan lahirlah macam-macam corak tafsir.1
Tafsir Modern diawali pada akhir abad 19 M. Dengan kritikan metode yang digunakan oleh para mufasir terdahulu dengan kecondongan keilmuan mereka dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga dapat mengalihkan perhatian orang banyak dari tujuan yang dimaksud al-Qur’an yakni dari segi petunjuk dan hidayah-Nya. Dan juga pada masa ini ilmu pengetahuan barat
1 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalisasi Tafsir Muhammad Abduh (Jakarta: Para Madina, 2002), 91-95.
sudah menyebar hampir keseluruhan jazirah dengan datangnya para
penjelajah dari Eropa. 2
A. Tafsir klasik : al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr
Tafsir dengan judul Jami’ Bayān ‘an Ta’wil ay Qur’ān karya al-Ṭabarī, penulis gunakan sebagai rujukan, di mana penafsiran Ṭabarī tentang Fatrah dijelaskan di jilid XIX, Halaman 571-574.3 Kemudian untuk Tafsir Ibn Kaṡīr, Penjelasan tentang Fatrah terdapat pada Jilid IV Halaman 216-221.4
1. Ibn Jarīr al-Ṭabarī.
Al-Ṭabarī mempunyai nama asli Ja’far Muhammad ibn Jarīr ibn Yazīd Ibn Kaṡīr ibn Ghālib al-Ṭabarī. Seorang ulama yang ahli dalam ilmu fiqh dan sejarah. Beliau dilahirkan di Amol, sebuah daerah yang terletak
Ṭabaristan pada tahun 224 H/839 M.5
Al-Ṭabarī adalah seorang ulama tafsir yang bermazhab Syāfi’ī, akan tetapi beliau juga mempunyai mazhab sendiri yang diberi nama dengan
mazhab al-Jarīriyyah.6 Dalam masalah teologi, beliau menganut teologi Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Perjalanan hidupnya, beliau sangat giat menuntut ilmu, bahkan di umur yang ke tujuh tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Beliau banyak sekali menguasai bidang keilmuan, hari-harinya hanya diisi dengan menulis, mengajar dan membaca, sampai-sampai
2 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalisasi Tafsir Muhamad Abduh (Jakarta: Para Madina, 2002), 97-105.
3 Abu Ja’far Muhamad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 75.
4 Syaikh Ahmad syakir, Mukhtasar Tafsir Ibn Kaṡīr (Jakarta: Dār al-Sunnah, 2014), 37.
5 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 1.
6 Alī Iyazī, Mufasirūn Hayatūhum wa Manhajuhum (Taheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr wazārāt al-Tsaqāfah wa al-Irsyād al-Islamiy, 8373 H/ 1953 M), 400.
29 Ṭabarī tidak pernah mempunyai pendamping hidup atau istri selama
hidupnya.7
Dari kegemaran dan keuletannya membaca dan menulis buku dalam setiap harinya al-Ṭabarī banyak menghasilkan karya, di antara karya-karyanya adalah Tārikh al-Umām wa al-Mulūk yang dikenal dengan Tārikh Ṭabarī, Iktilāf Fuqahā, Tahżīb Aṡār, Kitab Qirā’āt, Jamī’ Bayān ‘an Ta’wil ay Qur’ān yang biasa dikenal dengan Tafsīr al-Ṭabarī.8
Dalam menulis tafsirnya, al-Ṭabarī menggunakan metode tahlilī, dimana ini merupakan metode dengan cara menafsirkan al-Qur’an dari segala aspeknya dan dalam penjelasannya mengikuti urutan sesuai dengan mushaf ‘Uṡmānī. Al-Ṭabarī menjelaskan Munāsabah atau hubungan antar ayat dan antar surah, dilengkapi dengan dalil-dalil dari sahabat maupun tābi’īn dengan metode tahlilī. Ia juga menjelaskan asbāb al-Nuzūl ayat atau
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an.9 Sistematika penafsiran Tafsīr
al-Ṭabarī, tergolong menggunakan tertib mushafi, tafsir yang sering digunakan oleh mayoritas mufasir.
2. Ibn kaṡīr
Nama lengkap Ibn Kaṡīr adalah ‘Imāduddīn Ismaīl ibn ‘Umar ibn Kaṡīr adalah seorang tokoh mufasir yang lahir pada tahun 700 H/1300 M. sejak kecil ia diasuh oleh kakaknya dan tinggal di Damaskus, karena semenjak kecil Ibn Kaṡīr ditinggal oleh ayahnya. Setelah bertahun-tahun ia menuntut ilmu di Damaskus, karir intelektualnya mulai dikenal di mata orang banyak. Berkat dari kecerdasannya, pada tahun 1348 H. Ibn Kaṡīr diangkat sebagai kepala Dār al-Hadiṡ al-Syarāfiyah (sebuah lembaga
7 Syaiful Anam Ghafur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 64.
8 ‘Iyāzi, al-Mufasirūn Hayātuhum, 400. 9 Faizah dan Jauhar, Membahas Kitab Tafsir, 6.
pendidikan yang concern dalam bidang hadis) menggantikan gurunya yang
ketika itu meninggal dunia.10
Kontribusi Ibn Kaṡīr terhadap perkembangan keilmuan sangatlah banyak, terbukti dengan karya-karyanya antara lain: 1) Dalam bidang Hadis, Ia mengarang sebuah kitab dengan judul Jāmi’ Masānid wa al-Sunan (sebuah kitab yang merangkum sejumlah nama-nama perawi hadis), Adillah Tanbīh li Ulūm Hadiṡ yang biasa dikenal dengan Bāis al-Hadiṡ dan al-Kutūb al-Sittah, al-Mukhtashār (ringkasan Muqodimah Ibn al-Ṣalāh). 2) Dalam bidang Tafsir. Ia juga menghasilkan sebuah karya monumental dan masih selalu dipakai di seluruh penjuru dunia, yaitu Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm yang biasa dikenal dengan Tafsīr Ibn Kaṡīr.11 Karya-karya lain yang dihasilkan oleh Ibn Kaṡīr di antaranya, Bidāyah wa al-Nihāyah fī al-Tarīkh Ṭabat al-Fuqahā’ al-Syāfi’iyyīn, Risālah fī al-Jihād, Nihāyah Bidāyah wa Nihāyah (Kitab lanjutan dari Bidāyah wa al-Nihāyah fī al-Tarīkh), Faḍāil al-Qu’an wa Tarīkh Jamī’ihi wa Kitābihi wa Lughatihī, al-Fuṡūl fī Ikhtisār Sirah al-Rasūl.12
Dari sekian banyak karya Ibn Kaṡīr, yang paling dikenal adalah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm. Tafsir ini mempunyai metode khusus yang ditawarkan oleh Ibn Kaṡīr. Ia menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Ia menegaskan dalam muqadimah tafsirnya. Bahwa apabila seorang mufasir tidak melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, maka hendaknya seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, karena posisi hadis adalah sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa, apabila dalam hadis tidak dapat ditemukan alasannya, maka mufasir
10 Syaiful, Profil Mufasir, 106. 11 Syaiful, Profil Mufasir, 107.
31 hendaknya mengambil pendapat dari para sahabat, dan sebagai pijakan
terakhir adalah pendapat para tabiin.13
Menurut para penulis sejarah tafsir al-Qur’an seperti Muhammad Ḥusain al-Żahabī dan Muhammad Ali al-Ṣabuni menyebutkan tafsir Ibn Kaṡīr dengan nama Tafsir al-Qur’ān al-`Aẓīm, namun ada pula yang memakai judul Tafsir Ibn Kaṡīr. Namun yang paling populer terutama di Indonesia menyebutnya dengan Tafsir Ibn Kaṡīr. Tafsir ini ditulis pada abad ke-8 H/14 M dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1342 H/1932 M.
Metode penafsiran Tafsir Ibn Kaṡīr termasuk dalam metode tafsir tahlīlī yang bentuknya bi al-Ma’ṡūr.Pada awal muqadimah tafsirnya ia memberi keterangan bagaimana cara menafsirkan al-Qur’an:
“Metode penafsiran yang paling benar, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan Qur’an. Jika tidak dapat menafsirkan Qur’an dengan al-Qur’an, maka hendaklah menafsirkannya dengan hadis. Jika tidak menemukan penafsirannya di dalam al-Qur’an dan hadis, maka merujuk pada pendapat para sahabat, karena mereka lebih mengetahui
berdasarkan konteks dan kondisi yang hanya mereka
menyaksikannya. Selain itu mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar dan amal saleh. Namun jika tidak ditemukan juga dari pendapat sahabat, maka para imam merujuk
kepada pendapat para Tabi’in dan ulama sesudahnya.14
Penjelasan sekitar surat dan ayat al-Qur’an, Ibn Kaṡīr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, beliau menyebutkan satu ayat yang ditafsirkan dengan redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadis. Ia juga menyebutkan satu ayat yang ditafsirkan dengan
13 Penjelasan ini dijelaskan oleh Ibn Kaṡīr dalam Muqadimah Tafsirnya, Tafsir al-Qur’an juz I, 7.
14 Ibn Kaṡīr, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Kaṡīr, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 133.