• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir klasik : al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr

BAB III PERKEMBANGAN TAFSIR KLASIK HINGGA TAFSIR

A. Tafsir klasik : al-Ṭabarī dan Ibn Kaṡīr

Tafsir dengan judul Jami’ Bayān ‘an Ta’wil ay Qur’ān karya al-Ṭabarī, penulis gunakan sebagai rujukan, di mana penafsiran Ṭabarī tentang Fatrah dijelaskan di jilid XIX, Halaman 571-574.3 Kemudian untuk Tafsir Ibn Kaṡīr, Penjelasan tentang Fatrah terdapat pada Jilid IV Halaman 216-221.4

1. Ibn Jarīr al-Ṭabarī.

Al-Ṭabarī mempunyai nama asli Ja’far Muhammad ibn Jarīr ibn Yazīd Ibn Kaṡīr ibn Ghālib al-Ṭabarī. Seorang ulama yang ahli dalam ilmu fiqh dan sejarah. Beliau dilahirkan di Amol, sebuah daerah yang terletak

Ṭabaristan pada tahun 224 H/839 M.5

Al-Ṭabarī adalah seorang ulama tafsir yang bermazhab Syāfi’ī, akan tetapi beliau juga mempunyai mazhab sendiri yang diberi nama dengan

mazhab al-Jarīriyyah.6 Dalam masalah teologi, beliau menganut teologi Ahl

al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Perjalanan hidupnya, beliau sangat giat menuntut ilmu, bahkan di umur yang ke tujuh tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Beliau banyak sekali menguasai bidang keilmuan, hari-harinya hanya diisi dengan menulis, mengajar dan membaca, sampai-sampai

2 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalisasi Tafsir Muhamad Abduh (Jakarta: Para Madina, 2002), 97-105.

3 Abu Ja’far Muhamad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 75.

4 Syaikh Ahmad syakir, Mukhtasar Tafsir Ibn Kaṡīr (Jakarta: Dār al-Sunnah, 2014), 37.

5 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), 1.

6 Alī Iyazī, Mufasirūn Hayatūhum wa Manhajuhum (Taheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr wazārāt al-Tsaqāfah wa al-Irsyād al-Islamiy, 8373 H/ 1953 M), 400.

29 Ṭabarī tidak pernah mempunyai pendamping hidup atau istri selama

hidupnya.7

Dari kegemaran dan keuletannya membaca dan menulis buku dalam setiap harinya al-Ṭabarī banyak menghasilkan karya, di antara karya-karyanya adalah Tārikh al-Umām wa al-Mulūk yang dikenal dengan Tārikh Ṭabarī, Iktilāf Fuqahā, Tahżīb Aṡār, Kitab Qirā’āt, Jamī’ Bayān ‘an Ta’wil ay Qur’ān yang biasa dikenal dengan Tafsīr al-Ṭabarī.8

Dalam menulis tafsirnya, al-Ṭabarī menggunakan metode tahlilī, dimana ini merupakan metode dengan cara menafsirkan al-Qur’an dari segala aspeknya dan dalam penjelasannya mengikuti urutan sesuai dengan mushaf ‘Uṡmānī. Al-Ṭabarī menjelaskan Munāsabah atau hubungan antar ayat dan antar surah, dilengkapi dengan dalil-dalil dari sahabat maupun tābi’īn dengan metode tahlilī. Ia juga menjelaskan asbāb al-Nuzūl ayat atau

sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an.9 Sistematika penafsiran Tafsīr

al-Ṭabarī, tergolong menggunakan tertib mushafi, tafsir yang sering digunakan oleh mayoritas mufasir.

2. Ibn kaṡīr

Nama lengkap Ibn Kaṡīr adalah ‘Imāduddīn Ismaīl ibn ‘Umar ibn Kaṡīr adalah seorang tokoh mufasir yang lahir pada tahun 700 H/1300 M. sejak kecil ia diasuh oleh kakaknya dan tinggal di Damaskus, karena semenjak kecil Ibn Kaṡīr ditinggal oleh ayahnya. Setelah bertahun-tahun ia menuntut ilmu di Damaskus, karir intelektualnya mulai dikenal di mata orang banyak. Berkat dari kecerdasannya, pada tahun 1348 H. Ibn Kaṡīr diangkat sebagai kepala Dār al-Hadiṡ al-Syarāfiyah (sebuah lembaga

7 Syaiful Anam Ghafur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 64.

8 ‘Iyāzi, al-Mufasirūn Hayātuhum, 400. 9 Faizah dan Jauhar, Membahas Kitab Tafsir, 6.

pendidikan yang concern dalam bidang hadis) menggantikan gurunya yang

ketika itu meninggal dunia.10

Kontribusi Ibn Kaṡīr terhadap perkembangan keilmuan sangatlah banyak, terbukti dengan karya-karyanya antara lain: 1) Dalam bidang Hadis, Ia mengarang sebuah kitab dengan judul Jāmi’ Masānid wa al-Sunan (sebuah kitab yang merangkum sejumlah nama-nama perawi hadis), Adillah Tanbīh li Ulūm Hadiṡ yang biasa dikenal dengan Bāis al-Hadiṡ dan al-Kutūb al-Sittah, al-Mukhtashār (ringkasan Muqodimah Ibn al-Ṣalāh). 2) Dalam bidang Tafsir. Ia juga menghasilkan sebuah karya monumental dan masih selalu dipakai di seluruh penjuru dunia, yaitu Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm yang biasa dikenal dengan Tafsīr Ibn Kaṡīr.11 Karya-karya lain yang dihasilkan oleh Ibn Kaṡīr di antaranya, Bidāyah wa al-Nihāyah fī al-Tarīkh Ṭabat al-Fuqahā’ al-Syāfi’iyyīn, Risālah fī al-Jihād, Nihāyah Bidāyah wa Nihāyah (Kitab lanjutan dari Bidāyah wa al-Nihāyah fī al-Tarīkh), Faḍāil al-Qu’an wa Tarīkh Jamī’ihi wa Kitābihi wa Lughatihī, al-Fuṡūl fī Ikhtisār Sirah al-Rasūl.12

Dari sekian banyak karya Ibn Kaṡīr, yang paling dikenal adalah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm. Tafsir ini mempunyai metode khusus yang ditawarkan oleh Ibn Kaṡīr. Ia menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Ia menegaskan dalam muqadimah tafsirnya. Bahwa apabila seorang mufasir tidak melakukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, maka hendaknya seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an dengan hadis, karena posisi hadis adalah sebagai penjelas bagi al-Qur’an. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa, apabila dalam hadis tidak dapat ditemukan alasannya, maka mufasir

10 Syaiful, Profil Mufasir, 106. 11 Syaiful, Profil Mufasir, 107.

31 hendaknya mengambil pendapat dari para sahabat, dan sebagai pijakan

terakhir adalah pendapat para tabiin.13

Menurut para penulis sejarah tafsir al-Qur’an seperti Muhammad Ḥusain al-Żahabī dan Muhammad Ali al-Ṣabuni menyebutkan tafsir Ibn Kaṡīr dengan nama Tafsir al-Qur’ān al-`Aẓīm, namun ada pula yang memakai judul Tafsir Ibn Kaṡīr. Namun yang paling populer terutama di Indonesia menyebutnya dengan Tafsir Ibn Kaṡīr. Tafsir ini ditulis pada abad ke-8 H/14 M dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1342 H/1932 M.

Metode penafsiran Tafsir Ibn Kaṡīr termasuk dalam metode tafsir tahlīlī yang bentuknya bi al-Ma’ṡūr.Pada awal muqadimah tafsirnya ia memberi keterangan bagaimana cara menafsirkan al-Qur’an:

“Metode penafsiran yang paling benar, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan Qur’an. Jika tidak dapat menafsirkan Qur’an dengan al-Qur’an, maka hendaklah menafsirkannya dengan hadis. Jika tidak menemukan penafsirannya di dalam al-Qur’an dan hadis, maka merujuk pada pendapat para sahabat, karena mereka lebih mengetahui

berdasarkan konteks dan kondisi yang hanya mereka

menyaksikannya. Selain itu mereka juga memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar dan amal saleh. Namun jika tidak ditemukan juga dari pendapat sahabat, maka para imam merujuk

kepada pendapat para Tabi’in dan ulama sesudahnya.14

Penjelasan sekitar surat dan ayat al-Qur’an, Ibn Kaṡīr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, beliau menyebutkan satu ayat yang ditafsirkan dengan redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadis. Ia juga menyebutkan satu ayat yang ditafsirkan dengan

13 Penjelasan ini dijelaskan oleh Ibn Kaṡīr dalam Muqadimah Tafsirnya, Tafsir al-Qur’an juz I, 7.

14 Ibn Kaṡīr, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Kaṡīr, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 133.

dalil dari ayat lain sehingga maksud dan artinya jelas. Penafsiran dengan hadis Nabi. Jika ia tidak menemukan dalam ayat al-Qur’an penjelasan yang berkaitan dengan ayat yang ditafsirkan, wajib menggunakan sunah karena juga diturunkan dengan wahyu kepada Nabi untuk menjelaskan penafsiran al-Qur’an. Penafsiran dengan perkataan sahabat. Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi ṣallahu’alaihiwasallam dan mengimaninya serta meninggal dalam keadaan Islam. Pendapat sahabat merupakan hasil ijtihad mereka, berdasarkan pengetahuan dan keluasan pengetahuan sahabat. Ijtihad dilakukan setelah tidak ditemukan penafsiran dalam

Kitabullah dan sunah.15

Para mufasir yang menetapkan bahwa Tafsir Ibn Kaṡīr termasuk dalam bentuk tafsir bi ma’ṡūr antara lain Mannā’ Khalīl Qaṭṭān,

al-Zarqānī, al-Żahabī, al-Farmawi, Hasbi Al-Shiddieqy dan Ṣubḥi al-Ṣalih.16

Oleh karena itu, Tafsir Ibn Kaṡīr dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma’ṡūr. Tafsir Ibn Kaṡīr mengandung beberapa nuansa penafsiran. Hal ini disebabkan karena Ibn Kaṡīr seorang

mufasir juga sebagai ḥafiẓ. Latar belakang keilmuan itu mempengaruhi

dalam analisis ayat yang ditafsirkan. Adapun nuansa tafsir yang dimaksudkan antara lain, nuansa fiqih, dalam Tafsir Ibn Kaṡīr dapat ditemukan beberapa penafsiran terhadap ayat-ayat hukum yang dijelaskan secara luas dan panjang lebar dengan melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dan tarjih terhadap pendapat-pendapat tertentu. Dalam tarjih ia melakukan analisis terhadap dalil yang dipakai (istidlal), dengan bersikap secara netral. Selain itu ada nuansa qirā’at, dalam tafsirnya beliau

15 Syaiful, Profil Mufasir, 112.

33 menerangkan riwayat-riwayat ayat al-Qur’an dan qirā’at yang diterima dari

ahli qirā’at terpercaya17

Sebagaimana umumnya kitab klasik, Tafsir Ibn Kaṡīr termasuk kitab yang kaya materi, tidak hanya materi tafsir namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lainnya, seperti hadis, fiqih, sejarah dan ilmu qirā’at. Karena tergolong dalam bentuk tafsir bi al-ma’ṡur, hadis yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu seluk beluk keilmuan yang berkaitan

dengan hadis, misalnya ilmu jarḥ wa ta’dīl, kritik hadis dan rijāl al-hadīṡ.

Hal itu tidak terlepas karena kedudukan Ibn Kaṡīr sebagai ahli hadis (al-muhaddiṡ). Adapun karakteristik Tafsir Ibn Kaṡīr secara terperinci diuraikan sebagai berikut:

a. Mengompromikan pendapat-pendapat berbeda yang disampaikan para ulama sebelumnya. Kalau tidak memungkinkan akan dilakukan tarjih;

b. Merangkum tafsir terdahulu dengan mengutip beberapa penafsiran dari para ulama. Ia mengambil pendapat tersebut sebagai sumber tafsir, baik dari kelompok mutaqaddimin maupun muta’akhkhirin. Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam menafsirkan

al-Qur’an.18

Dokumen terkait