• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN DAN PERAN POLITIK HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMIKIRAN DAN PERAN POLITIK HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)"

Copied!
263
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN DAN PERAN POLITIK

HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH (HAMKA)

Ujian Promosi

DISERTASI

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang

Pemikiran Politik Islam

Oleh:

Ahmad Khoirul Fata NIM. 31161200000066

Pembimbing:

Prof. Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

PROGRAM DOKTOR PEMIKIRAN POLITIK ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441/2020

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Disertasi ini merupakan kajian bidang pemikiran politik Islam yang berusaha memahami konsep, teori, hingga paradigma Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) tentang politik dan kebangsaan Indonesia. Kajian ini juga membahas tindakan politik Hamka sebagai aktor politik. Karena itu termasuk studi pemikiran politik Islam, di mana dalam hal ini pemikiran dan peran politik Hamka menjadi objek bahan yang digunakan dalam laboratorium pemikiran politik Islam. Tujuannya adalah menguji dan mengembangkan teori-teori paradigma politik Islam yang telah dikonstruk oleh tokoh pemikir muslim Indonesia. Perspektif itulah yang diharapkan dan telah diupayakan dengan maksimal oleh peneliti, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Memang tidak ada yang sempurna tetapi bukan berarti membiarkan sifat ketelitian, ketepatan, dan ilmiah menjadi kabur.

Penulis bersukur kepada Allah Swt., Penguasa alam semesta, karena hanya dengan kuasa, bantuan dan izin-Nya penulis hidup dan dapat menempuh studi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada kedua guru dan sekaligus promotor penulis; Prof. M. Din Syamsuddin, MA. Ph.D. dan Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah atas kesabarannya membimbing dan mengarahkan penulis, hingga tugas akhir akademik ini dapat diajukan dan sampai pada tahap ujian pendahuluan. Penulis juga berterima kasih kepada para dosen yang telah menguji, memberi masukan dan arahan secara kritis disertasi ini dalam proses ujian-ujian sejak seminar proposal dan WIP 1&2, serta Ujian Pendahuluan.

Penelitian ini juga memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas selama studi di SPs. Karena itu, penulis berterima kasih kepada para pimpinan, dosen, dan staf akademik selama kuliah di SPs Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku direktur SPs saat ini, dan para direktur-direktur sebelumnya: Prof. Dr. Jamhari, MA. dan Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA., Dr. Hamka Hasan, Lc.MA., Dr. Asmawi, Dr. Arif dan seluruh staf SPs yang telah dengan sepenuh hati membantu mahasiswa SPs. Semoga amal shalih mereka dicatat sebagai kebaikan oleh Allah Swt.

Penulis juga berterimakasih kepada rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo Dr. H. Lahaji, beserta wakil-wakil rektor dan dekan Fakultas Ushuluddin & Dakwah Dr. Mashadi, para wakil dekan, dan Ketua Jurusan Sosiologi Agama, yang telah mengizinkan penulis untuk tugas belajar di Jakarta. Juga kepada pengelola perpustakaan riset SPs, perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Nasional, perpustakaan DDII Kramat Raya, dan perpustakaan PP Muhammadiyah Menteng Raya.

Terimakasih juga untuk keluarga penulis: kedua orang tua, istri dan anak-anak, mertua, dan saudara-saudara penulis semua. Ucapan terima kasih juga layak diberikan untuk semua teman angkatan 2016, dan teman-teman di kos Gg Buni dan Walridho, khususnya ajengan Pepen Irpan yang banyak memberi masukan-masukan dan tuanku Rifki yang telah menemani perjalanan ke Maninjau. juga teruntuk Bekti Khudhori yang membantu mencarikan referensi, mas Wijayanto, Ust. Sugeng, dan Mufkirul Iqdam yang telah membantu memperbaiki dan

(3)

iii

menerjemahkan abstrak, teman-teman di SP JICT yang banyak membantu perjalanan ke Sumbar dan Sumut sembari bedah buku. Semoga kebaikan kalian semua dibalas dengan yang lebih baik oleh Allah Swt.

Meski banyak pihak yang memberikan kontribusi bagi penulisan disertasi ini, namun semua hal di dalamnya tetap menjadi tanggung jawab penulis. Maka masukan dan kritik dari pembaca akan sangat membantu dalam perbaikan disertasi ini selanjutnya.

Billahi Hidayah wa tawfiq,

Ciputat, Juli 2020 Penulis

(4)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin digunakan dalam karya ilmiah ini merujuk pada modal berlaku pada Pedoman SPs UIN Syarif Hidayatullah.

A. Konsonan

ا

:

A

ز

:

Z

ق

:

q

ب

:

B

ش

:

S

ك

:

k

ت

:

T

ش

:

Sh

ل

:

l

ث

:

Th

ص

:

s}

م

:

m

ج

:

J

ض

:

d}

ن

:

n

ح

:

h}

ط

:

t}

ه

:

h

خ

:

Kh

ظ

:

z{

و

:

w

د

:

D

ع

:

ء

:

ذ

:

Dh

غ

:

Gh

ي

:

y

ر

:

R

ف

:

F

B. Vokal 1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf

Latin

َ

Fath}ah a>

َ

Kasrah i>

َ

D}ammah u>

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan

Huruf

Nama

ى

Fath}ah dan ya a dan i ai

و

Fath}ah dan

waw

a dan w aw

C. Maddah

Tanda Nama Huruf

Latin

Nama

ات

Fath}ah dan

alif a> di atas a dan garis

ىي

Kasrah dan ya i> i dan garis di atas

و

D}amma dan

waw

u> u dan garis di atas

(5)

xii

D. Ta Marbut}ah

Ta mabut}ah ditulis dengan huruf ‚h‛, baik dirangkai dengan kata sesudahnya, maupun tidak, seperti mar’ah (

ةأرم

) atau madrasah (ةضردم)

Contoh:

ةرونملا ةنيدملا

Madi>nah al-Munawwarah

E. Shaddah

Shaddah / tashdi>d dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf sama dengan huruf

ber-shaddah. Contoh:

لسن

Nazzala

F. Kata Sandang

Kata sandang ‚

لا

‛ dilambangkan berdasarkan huruf mengikutinya, jika huruf al-shamsiyah, maka ditulis sesuai haruf tersebut, sedangkan ‚al‛ jika diikuti huruf qamaiyah. Kemudian, ‚‛ ditulis lengkap.

Contoh:

صمشلا

al-Shams

رمقلا

al-Qamar G. Pengecualian

Penulisan transliterasi tidak digunakan pada kosa kata Arab telah menjadi baku dan masuk pada kamus bahasa Indonesia, seperti lafaz ‚Allah‛, kecuali berkaitan dengan konteks tertentu mengharuskan untuk menggunakan transliterasi pada isitilah tersebut.

(6)

xiii

ABSTRACT AHMAD KHOIRUL FATA

Hamka's Political Thought and Role

This study examines the political side of Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), with a focus on studies of political thought, the idea of nationality and Indonesian-ness, as well as the political activities that were played during the era of parliamentary democracy, the Old Order, and the New Order. This theme was taken bearing in mind that all this time the study of HAMKA is still around him as an ulama or writer. While studies that place him as a thinker and political actor are still relatively rare. This is a library research with a historical approach, and uses rational choice theory and elective affinity as an analysis tool. Primary data were collected from Hamka's works that are directly related to political themes. While secondary data is obtained from various works that discussed the politics of Hamka or about Islamic politics in Indonesia. Data is collected, sorted and selected, classified based on predetermined themes, then analyzed holistically to obtain conclusions as intended by Hamka.

Hamka's political thoughts and actions are built on the paradigm of "the interrelation between religion and politics and the freedom to determine the political format in accordance with the demands of the times." With this paradigm Hamka conducted an Islam-democracy synthesis through the concept of "Democracy of

Taqwa"; to expressly reject the ideas of secularism and communism; and generally

accepted the concepts of human rights and nationalism, albeit with various notes. Regarding nationalism, Hamka required it to be limited by human values so that the national spirit does not lead to colonialism and exploitation of other nations. In the context of Indonesianism, Hamka emphasized the importance of religion (Islam) for the building of Indonesian nationality.

In the practical political practices of the parliamentary democracy era and the Old Order, Hamka's important position as a thinker and political actor was seen in his role in fighting for Islam as the basis of the state in the Constituent Assembly, as well as its opposition to Guided Democracy. As for Communism, Hamka has a greater role as a thinker and ideologist. The role as an ideologist is very evident in his work in the MASBI/ Majelis Seni Budaya Islam which encourages the HSBI/ Himpunan Seni Budaya Islam in promoting arts in accordance with Islamic values in order to stem the "red art" promoted by communists. In addition, Hamka also uses mosques and mass media as a practical non-political struggle tool.

The struggle through non-political channels continued in the New Order era by using the MUI as its vehicle. It was through this forum that Hamka took the path of "politics through da'wah". Under the control of Hamka MUI became a partner as well as a pressure for the government. Hamka's struggle through MUI was intended for the purpose of making Islam an important factor for Indonesia's development.

Keywords: Hamka, Secularism, Communism, Human Rights, Taqwa Democracy, Masjumi, Constituents, Pancasila, Indonesian Nationality, Da'wah Politics.

(7)

xiv ما حصإلخ ا ح دي ىذفما سٌخ الله سىأ ًًسك كنيما دتع جاحما يساٌصما زودماو سكفما الله سىأ ًًسك كنيما دتع جاحنم يساٌصما ثٍاخما حشازدما ِره لواَذد (HAMKA) عى ، سكفما لىح خاشازد ىنع زٌكسذما هذٌنيعو ،اهذٌصٌٍودٍإو حٌَطىما زاكفألاو يساٌصما حٌطاسقيًدما رصع ٍف يساٌصما اره و .دًدخما واظَماو ًًدقما واظَماو حٌٍايمستما ءاسعش و ءاينع ُى هٍأ ىمإ حتصَماة فوسعى هٍأل جسذفما ِره ٍف ثشاَى عىضىيما ازداٍ إلإ يساٌصما ِسكف ٍف عن ّطً ًم و ،حٌصٌٍودٍألا . حٌتذكيما جءاسقما ُى ثحتما اره ،هدسٌش ثًسقذة و ٍنقعما زاٌذخؤلا ٍف هذًسظٍ و حفمأ ذخا دقف .حٌَطىما و حشاٌصما ُع حٌينعما همايعأ ُى لاَد حٌئادذةؤلا خاٍاٌتما .هٌنحذنم حًزاٌ ٍف هداشكاَى و هدارضاحى و هدإلاقى و هتذك ُى ٌىكد KONSTITUANTE ٌئف ٍماذماة و . بزح ُع و ,هذشاٌش ُع حٌينعما حٌمايعألا ُى لاَد حًىٍاثما خاٍاٌتما Masyumi ُع و ، ألا ءاينعما ضنخى يسٌٍودٍ (MUI) , و خاٍاٌتما عيخد . اىىيع حٌىإلشؤلا حشاٌش ُع و ،ددحيما عىضىيما ىمإ حتصَماة ًّصقد و ىفطصد لىصحنم حٌمىيشما حقًسطة هّنحد ًث بىنطيما فدهما ىنع . حٌشاٌصما لاعفألاو زاكفألا Hamka ًُدما ٌُة طةاسذما" جذىيٍ ىنع ٍَتى فو يساٌصما هكشما دًدحد حًسحوحشاٌصماو واك جذىيَما ارهة ." حتقح ثماطيما ق Hamka وىهفى لإلخ ُى حٌطاسقيًدما ٍىإلشؤلا فٌمىذة " عتطماة ضفسٌف ."يىقذما حٌطاسقيًد عى رٍاك ىمو حٌَطىما و حٌٍاصٍؤلا قىقحما ساشأ قفىً و ،حٌعىٌشما و حٌٍاينعما ساشأ .خاظحإليما صد إل ٌأل حٌٍاصٍؤلاة جدودحى اهٍأ يسً حٌَطىما ٍف و ه ٌاطوألااة لإلذحؤلا ىمإ يسخألا اٌصٌٍودٍأ ٍف ححزدما حًىصد يسٌف .اٌصٌٍودٍأ ٌوؤش ءاَتم وإلشؤلا حٌيهأة يسً و . " حٌّصح اهَى دمىذً و،اٌصٌٍودٍأ عيذخى ُى سٌثك هعتذً يرما وإلشؤلا ًُد ُى فٍأذصد ىً ىمإ " اصٌٍودٍأ" ب "حًواح حٌصَح "فسعد سخآلا ثٍاخما ٍف و ." حًواح حٌصَح اره اَى . حٌنيع سهظد ،ًًدقما واظَماو حٌٍايمستما حٌطاسقيًدما ٍف حٌنيعما حٌشاٌصما قٌتطد و Hamka حٌطاسقيًدما ُع هذتغز و ،اٌصٌٍودٍأل ازىذشد وإلشؤلا ذاخدإل ِدهح لرة ٍف حٌشائسما Demokrasi) (Terpimpin و . ثعنً حٌعىٌشما ُع هذتغز Hamka ستكأ از ود اره و .دٌقعو سكفيك حفاقثم ٌىَفما ضنخى ٍف هنيع ٍف حًاغنم حضاو ٍحىمىًدًأك زودما حٌيماصمإا (MASBI) حٌيماصمإا حٌفاقثما ٌىَفما حٌعيح عخشد ٍذما (HSB) ُفما دًوسد ٍف حٌعىٌشما هذحّوز ٍذما "سيحألا ُفما" ُع اعافد وإلشإلا ًُدة زٌيذيما . كمذ عىو Hamka دخصيما اضًأ ودخذصً ايذحإلا هصاىذما و ٍع حشاٌصما سٌغ ٍف وإلشؤلم دهخما لرتم . و ٌٌُصٌٍودٍألا ءاينعما ضنخى ذاخداة ثًدحما واظَما ٍف ّرصً حشاٌصما سٌغ ٍف ِدهح (MUI) . هعى سٌصذم حنٌشو " جىعدما لإلخ ُى حشاٌصما " ىنع سٌصً اهعيف . رحد و هذًاعز اكًرش ٌٌُصٌٍودٍألا ءاينعما ضنخى حتصأ جىكو ٍف حىىكحنم طغض . ححفاكى Hamka ُى لإلخ MUI فدهً ىمإ هعح وإلشؤلا هىاىعك حيهى حٌيَذم .اٌصٌٍودٍإ حٌصٌئسما خاينكما قىقحما ،حٌعىٌشما ، حٌٍاينعما ،الله سىأ ًًسك كنيما دتع جاحما : يىقذما حٌطاسقيًد ،حٌٍاصٍؤلا ,Masyumi, Konstituante , ضشأ حصيخ (Pancasila) ،حٌصٌٍودٍألا حٌَطو، حشاٌش جىعدما

(8)

xv

ABSTRAK

AHMAD KHOIRUL FATA

Pemikiran dan Peran Politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Penelitian ini mengkaji sisi politik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dengan fokus kajian pada pemikiran politik, gagasan kebangsaan dan keindonesiaannya, serta aktivitas politik yang diperankannya selama era demokrasi parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru. Tema ini diambil mengingat selama ini kajian tentang HAMKA masih di seputar dirinya sebagai ulama atau sastrawan. Sementara kajian yang menempatkannya sebagai pemikir dan aktor politik masih relatif langka.

Penelitian ini merupakan library research dengan pendekatan historis, serta menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory) dan elective affinity sebagai alat analisisnya. Data primer dikumpulkan dari karya-karya Hamka yang terkait langsung dengan tema politik. Sementara data sekunder diperolah dari berbagai karya yang membahas tentang politik Hamka, Masyumi, MUI, atau tentang politik Islam secara umum. Data-data dikumpulkan, dipilah dan dipilih, diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang telah ditentukan, kemudian dianalisis secara holistik agar diperoleh kesimpulan sesuai dengan yang dimaksudkan Hamka.

Pemikiran dan tindakan politik Hamka dibangun atas paradigma “kesalingterkaitan agama dengan politik dan keleluasaan menentukan format politik yang sesuai dengan tuntutan zaman.” Dengan paradigma inilah Hamka melakukan sistesis Islam-demokrasi melalui konsep “Demokrasi Takwa.” Paradigma ini juga menempatkan Hamka untuk secara tegas menolak ide sekularisme dan komunisme; dan secara umum menerima konsep HAM dan nasionalisme, meski dengan berbagai catatan. Terhadap nasionalisme, Hamka mengharuskannya dibatasi oleh nilai-nilai kemanusiaan agar semangat kebangsaan tidak membawa kepada penjajahan dan eksploitasi terhadap bangsa lain. Dalam konteks keindonesiaan, Hamka menekankan pentingnya agama (Islam) bagi bangunan kebangsaan Indonesia.

Dalam praktik politik praktis era demokrasi parlementer dan Orde Lama, posisi penting Hamka sebagai pemikir dan aktor politik terlihat pada perannya dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Konstituante, serta oposisinya terhadap Demokrasi Terpimpin. Sementara terhadap Komunisme, Hamka lebih berperan sebagai pemikir dan ideolog yang tampak pada kiprahnya di Majelis Seni Budaya Islam (MASBI) dalam mempromosikan kesenian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam demi membendung “seni merah”. Selain itu Hamka juga menggunakan masjid dan media massa sebagai alat perjuangan non-politik praktisnya.

Perjuangan melalui jalur non-politik praktis terus dilakukannya di era Orde Baru dengan menjadikan MUI sebagai kendaraannya. Melalui wadah inilah Hamka menempuh jalan “berpolitik lewat dakwah”. Di bawah kendali Hamka MUI menjadi mitra sekaligus kekuatan penekan bagi pemerintah. Perjuangan Hamka melalui MUI dimaksudkan untuk tujuan menjadikan Islam sebagai faktor penting bagi pembangunan Indonesia.

Kata Kunci: Hamka, Sekularisme, Komunisme, HAM, Demokrasi Takwa,

(9)

xvi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... v

PENGESAHAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

ABSTRAK ... xiii

DAFTAR ISI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 5

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 5

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM ... 13

A. Transformasi Politik Islam di Era Modern ... 13

B. Dinamika Politik Islam di Indonesia ... 23

C. Paradigma Politik Islam Indonesia ... 28

BAB III RIWAYAT HIDUP HAMKA ... 38

A. Nasab dan Keluarga Hamka ... 38

B. Perkembangan Pribadi dan Intelektual Hamka ... 40

C. Karya-karya Hamka ... 47

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK DAN KEBANGSAAN HAMKA ... 50

A. Hubungan Agama-Negara Menurut Hamka ... 51

B. Gagasan Hamka Tentang Kebangsaan Indonesia ... 58

1. Kebangsaan yang Sesuai Islam Menurut Hamka ... 58

2. Islam Sebagai Ruh Kebangsaan Indonesia ... 68

C. Sintesis Islam-Demokrasi Menurut Hamka ... 78

1. Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi ... 81

2. Musyawarah Sebagai Pondasi Hidup Bermasyarakat ... 87

3. Takwa Sebagai Landasan Moral Masyarakat ... 90

D. Respons Hamka Terhadap Konsep Politik Barat Modern... 94

1. Respons Terhadap Sekularisme ... 94

2. Respons Terhadap Komunisme ... 116

(10)

xvii

BAB V

PERAN HAMKA DI PENTAS POLITIK NASIONAL ... 133

A. Hamka Dalam Dinamika Politik Masyumi ... 133

B. Perjuangan Hamka Di Konstituante ... 145

1. Perdebatan Tentang Islam dan Pancasila di Konstituante ... 145

2. Sikap Hamka Terhadap Pancasila ... 157

C. Peran Politik Hamka Di Era Demokrasi Terpimpin ... 164

1. Respons Hamka Terhadap Demokrasi Terpimpin... 164

2. Perjuangan Melalui Jalur Non-Politik ... 176

D. Peran Politik Hamka Di Era Orde Baru ... 198

BAB VI KESIMPULAN ... 215 DAFTAR PUSTAKA ... 218 GLOSARIUM ... 235 INDEKS ... 237 Lampiran I SK Pembimbing ... 253

Lampiran II Ujian Proposal ... 254

Lampiran III Ujian WIP I ... 255

Lampiran IV Ujian Komprehensif ... 256

Lampiran V Ujian WIP II ... 257

Lampiran VI Ujian Pendahuluan ... 258

Lampiran VII Daftar Hadir Konsultasi Akademik... 259

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Panggung sejarah Indonesia pra dan pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menampilkan sejumlah tokoh dengan karakter dan peran yang berbeda-beda. Salah satu tokoh yang turut memberikan warna dalam sejarah keindonesiaan dan keislaman adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang biasa dikenal sebagai HAMKA. Dari sekian banyak tokoh yang hadir, putra Minangkabau ini memiliki sisi keunikan tersendiri atas perannya yang berbeda-beda dalam panggung sejarah Indonesia.

Hamka hadir dalam sejarah Indonesia dengan beragam peran. Syafii Maarif menyebutnya sebagai pengarang, pemikir bebas, sastrawan, sejarawan publik, dan mufasir.1 James R Rush menempatkan Hamka sebagai seorang cendekiawan

publik,2 sementara Taufik Abdullah melihatnya sebagai tokoh Kaum Muda

generasi kedua ‚yang melakukan usaha ideologisasi Islam – bagaimanakah ajaran agama dijadikan sebagai landasan strategi perjuangan dan paradigma untuk memahami realitas?‛.3

Namun demikian, Abdurrahman Wahid melihat Hamka bukan sebagai aktor terpenting dalam peran-peran yang dimainkannya tersebut, karena masih banyak tokoh-tokoh lain yang lebih hebat darinya. Sisi kehebatan Hamka dalam sejarah Indonesia, ujar Wahid, terletak pada ‚kemampuannya menjadikan diri berharga dan berarti bagi aneka ragam manusia... Bukan secara manipulatif, karena ia melakukannya melalui sikap yang sangat positif dan konstruktif.‛ Dalam rumusan yang lebih sederhana, Wahid menempatkan Hamka sebagai tokoh penghubung bagi semua pihak.4

Meski dikenal sebagai sosok multitalenta dengan beragam peran, namun sisi Hamka sebagai pemikir dan aktor politik kurang begitu dikenal. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai sastrawan dan ulama. Syafii Maarif pun menyebut Hamka hanya menulis sedikit tentang politik.5 Menurut Yusril Ihza Mahendra, hal ini wajar karena memang Hamka lebih menonjolkan dirinya sebagai sastrawan dan

1 Lihat A Syafii Maarif, ‚Hamka: Pribadi Multitalenta, Minangkabau dan

Indonesia,‛ Kata Pengantar untuk buku karya James R Rush, Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, penerjemah Zia Anshor (Jakarta: Gramedia, 2017), h. ix-xviii; Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Minangkabau, dan Indonesia,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 20-27.

2 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxvi,

3 Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas Sejarah Pemikiran Islam di

Indonesia,‛ dalam Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati Umat, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 1-

4 Lihat Abdurrahman Wahid, ‚Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah

Pengantar,‛ dalam Afif Hamka, dkk (ed), Buya Hamka, (Jakarta: Uhamka Press, 2008), h. 1-19

(12)

2

ulama daripada sebagai politisi, sebagaimana yang pernah dinyatakannya, ‚siasat (politik) bukanlah medanku.‛ Demikian pula, tulisan-tulisan Hamka tentang politik banyak ditulis di era Revolusi Fisik, yang belum sistematis dan masih bersifat umum.6

Walaupun bukan tokoh terpenting dalam panggung politik nasional, namun bukan berarti Hamka tidak memberikan sumbangan penting bagi negara yang masih berusia muda saat itu. Hamka dikenal sebagai penulis produktif. Ide-idenya mengalir lewat tulisan-tulisannya yang tersebar ke seantero negeri dan dikonsumsi oleh masyarakat luas. Tindakan-tindakan politiknya pernah mewarnai praktik politik dan kenegaraan Indonesia. Penahanan Hamka di era Orde Lama menjadi salah bukti pengaruh tindakan politiknya. Kehebohan tentang Fatwa Natal Bersama di era Orde Baru juga bukti lain dari tindakan politiknya. Sementara di aspek pemikiran, gagasan politik Hamka yang menarik adalah upayanya mensintesiskan antara Islam dengan demokrasi melalui konsep ‚Demokrasi Takwa.‛ 7 Dari segi istilah saja konsep tersebut terasa unik dan berbeda dari upaya

serupa yang pernah dilakukan pemikir lain semisal ‚Teistik Demokrasi‛-nya Mohammad Natsir atau ‚Teo-demokrasi‛-nya Mawdudi. 8

Hamka lahir tahun 1908, dan mulai memasuki dunia pergerakan politik-keagamaan di tahun 1924 ketika dia mengikuti kegiatan Sarekat Islam (SI) dan Jong Islamieten Bond (JIB) di Yogyakarta. Perkembangan intelektual dan aktivitas pergerakannya semakin terasah saat dia pindah ke Medan tahun 1936, di mana dia menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat dan pimpinan Muhammadiyah di sana. Sementara aktivitas politiknya di tingkat nasional terjadi pada periode 1950-1960-an saat dia tinggal di Jakarta dengan menjadi aktivis Masyumi dan Muhammadiyah.

Dengan demikian perkembangan intelektual dan aktivitas pergerakan Hamka terjadi pada periode menjelang dan di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Di periode ini Indonesia sedang mengalami gelombang perubahan besar di berbagai aspek. Di aspek sosial-keagamaan muncul gagasan dan gerakan-gerakan yang berorientasi pembaharuan. Sementara di ranah politik, ide-ide tentang kebangsaan Indonesia dan kemerdekaannya sedang mengalami proses pematangan. Kondisi itu diiringi dengan tumbuhnya banyak gerakan sosial-politik dengan ideologi yang beragam dan saling bersaing. Karena itu Taufik Abdullah menyebutnya sebagai dasawarsa ideologi.9

Dalam periode itu diskursus yang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat adalah persoalan hubungan agama (Islam) dengan negara atau nasionalisme Indonesia (tahun 1920-1930-an), lalu berlanjut menjadi keseimbangan antara keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1940-1950-an)

6 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, (Jakarta: Pro

Deleader, tt.) h. 299

7 Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta: GIP, 2015), h. 31.

8 M Natsir, Capita Selecta 3, (Jakarta: PT Abadi & Panitia Peringatan Refleksi

Seabad M Natsir, 2008)h. 126.

9 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta:

(13)

3

yang menghasilkan ideologi pembaharuan, dan wacana seputar harmonisasi antara keislaman dengan keindonesiaan (dekade 1960-an) yang menghasilkan ideologi

islamis (dakwah). Pergeseran wacana tersebut terjadi sebagai respons tokoh-tokoh Muslim terhadap perkembangan sosial politik Indonesia yang terjadi saat itu.10 Di ranah politik, gagasan politik Islam yang berkembang pada periode pra-kemerdekaan adalah ‚seruan ke arah kesatuan antara Islam dan negara‛. Sementara di periode pasca revolusi fisik, gagasan politik Islam yang berkembang adalah seputar ‚perjuangan demi Islam sebagai dasar ideologi negara.‛11

Wacana politik Islam yang berkembang di Indonesia pada periode tersebut sesungguhnya merefleksikan wacana yang juga terjadi dalam dunia Islam secara umum. Munawir Sjadzali mengungkapkan, perkembangan pemikiran politik Islam semenjak akhir abad ke 19 di dipengaruhi oleh tiga hal: kemunduran dan kerapuhan dunia Islam karena faktor-faktor internal; rongrongan Barat terhadap kekuasaan politik Islam melalui penjajahan; dan keunggulan Barat di bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.12

Di tengah perubahan besar dunia Islam yang juga menerpa Indonesia inilah Hamka hidup. Sebagai aktivis pergerakan dan wartawan, Hamka selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi dan memberikan respons terhadap kondisi yang dihadapinya. Di aspek ini dia selalu berupaya mendialogkan ‚secara intens antara teks yang dihasilkannya dengan peralihan zaman dan perubahan sosial yang sedang terjadi,‛13 dan ‚juga ke cita-cita politik Indonesia merdeka,‛14

demi ‚memberikan landasan ideologis bagi kebangsaan Indonesia.‛15

Selama ini Hamka lebih dikenal sebagai seorang ulama pembaharu dan sastrawan. Padahal banyak gagasan-gagasan sosial-politik Hamka yang menarik untuk dikaji dan dikonseptualisasikan sebagai bahan kajian pemikiran politik Islam Indonesia modern. Di titik inilah letak urgensi penelitian tentang pemikiran dan tindakan politik Hamka.

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

a. Selama ini posisi Hamka sebagai pemikir politik belum banyak diungkap, padahal selain seorang ulama dia adalah pemikir yang banyak menulis tentang kondisi sosial dan politik yang terjadi di zamannya.

10 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim

Indonesia Abad Ke-20, (Jakarta: Democracy Project, 2012), h. 744-745

11 Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik

Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 69-105

12 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

(Jakarta: UI Press, 1993), h. 115

13 Taufik Abdullah, ‚Buya Hamka: Aktor di Atas Pentas...,‛ h. 6 14 James R Rush, Adicerita Hamka..., h. xxxiv

15 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta:

(14)

4

b. Hamka hidup di era di mana negara-bangsa yang baru tumbuh memerlukan energi untuk menentukan corak dan karakteristiknya. Sumbangan Hamka dalam memberikan warna bagi kenegaraan dan kebangsaan Indonesia menjadi permasalahan yang perlu diungkap.

c. Selain itu, sisi Hamka sebagai aktor politik yang berperan aktif dalam dinamika politik kebangsaan juga belum terungkap secara lebih terang. Posisinya sebagai aktor politik hanya sayup-sayup terdengar dan sepintas lalu dibicarakan.

d. Kenyataan politik praktis sering menghadirkan permasalahan tertentu yang seringkali membenturkan aktor politik pada dilema antara bersikap pragmatis dan teguh memegang nilai-nilai yang diyakininya. Pada titik ini perlu diteliti bagaimanakah Hamka menyelesaikan permasalahan tersebut. e. Lapangan politik juga dipenuhi dengan dinamika yang seringkali tidak

sesuai dengan cita-cita yang diinginkan para aktornya. Bagaimana cara dan strategi Hamka menghadapi dinamika dan perubahan-perubahan yang terjadi demi meraih tujuan politiknya merupakan permasalahan yang menarik.

2. Rumusan dan Batasan Masalah

Dari berbagai permasalahan yang teridentifikasi di atas, penelitian ini akan difokuskan permasalahan: ‚Bagaimana pemikiran politik dan kebangsaan Hamka, serta aktivitasnya dalam perpolitikan nasional?‛. Agar lebih sistematis dan mudah, permasalahan tersebut dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran politik Hamka?

2. Bagaimana pandangan Hamka tentang Islam dan kebangsaan Indonesia? 3. Bagaimana peran Hamka dalam perpolitikan nasional?

Pada kenyataannya tema tersebut mencakup tema yang cukup luas. Untuk itu penelitian ini perlu lebih dispesifikkan lagi dengan membatasinya pada hal-hal tertentu pada sisi politik Hamka. Terkait dengan aktivitas politik Hamka, penelitian ini lebih ditekankan pada aktivitas politik Hamka era Orde Lama, khususnya peranannya dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia dan oposisinya terhadap kekuasaan otoriter Soekarno. Di sini juga dibahas perlawanan Hamka terhadap komunisme yang memiliki posisi penting dalam sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno. Untuk peran yang dimainkannya dalam politik dakwah di era Orde Baru, kajian ini memfokuskannya pada langkah politiknya di Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sementara untuk pemikiran politiknya dibatasi pada ide-ide politiknya terkait dengan konsep-konsep politik modern seperti demokrasi, nasionalisme, Hak Asasi Manusia, Sekularisme dan Komunisme. Dalam konteks tema nasionalisme, penelitian ini juga membahas gagasan Hamka tentang kebangsaan Indonesia yang dikaitkan dengan spirit keislaman.

Dengan demikian kajian ini tidak membahas gagasan-gagasan Hamka terkait dengan sejarah politik Islam di masa lampau, di era kekhalifahan Islam. Jika terdapat sedikit bahasan tentang hal ini, itu dilakukan dalam konteks pembahasan seputar tema-tema konsep politik modern di atas.

(15)

5

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menjelaskan pemikiran politik Hamka dan responsnya terhadap ide-ide politik Barat modern;

b. Menjelaskan gagasan-gagasan kebangsaan dan keindonesiaan Hamka; c. Menjelaskan peran yang dimainkan Hamka dalam perpolitikan Indonesia,

khususnya di era demokrasi parlementer, Orde Lama, dan Orde Baru, dan kesesuaiannya dengan pemikiran politik yang digariskannya.

2. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini memiliki arti penting untuk:

a. Memberikan konsepsi yang lebih jelas tentang pemikiran politik Islam Indonesia modern, dalam hal ini pemikiran politik Hamka;

b. Memberikan gambaran yang lebih terang tentang posisi Hamka dalam dinamika politik nasional;

c. Memperkaya khanazah pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara.

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Sebagai pribadi yang multitalenta, dengan peran-peran berbeda yang dimainkannya di panggung sejarah, Hamka seringkali dilihat dan dikaji dalam banyak segi yang berbeda. Bukan hanya perilaku dan aksi-aksinya, kajian tentang Hamka juga menjadikan ide-ide dan gagasannya sebagai obyek penelitian. Kajian tentangnya pun telah lama dilakukan, bahkan sebelum Hamka meninggal dunia.

Kajian tentang Hamka sebagai seorang sastrawan telah dilakukan oleh Junus Amir Hamzah. Dalam Hamka Sebagai Pengarang Roman yang terbit tahun 1963,16

Junus Amir Hamzah mengulas karya-karya sastra Hamka seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van Der Wick. Junus Amir Hamzah menyebut adanya pengaruh Muhammad Abduh terhadap roman-roman Hamka tersebut, juga disebut Hamka terinspirasi oleh Manfaluthi dalam hal gaya cerita yang berisi kesengsaraan manusia yang bersifat sentimentil.

Faktor Manfaluthi yang mempengaruhi karya sastra Hamka dan pengaruh ajaran Abduh juga disebut oleh S.I Poeradisastra. Namun itu bukan berarti roman-roman Hamka, khususnya Tenggelamnya Kapal van Der Wick, sebagai hasil plagiasi dari karya Manfaluthi sebagaimana yang pernah dipolemikkan seniman Lekra. Poeradisastra menyebut, dalam karya sastranya Hamka selalu memasukkan

16 Peneliti belum menemukan buku ini. Pembahasan tentang karya Junus Amir

Hamzah tersebut bersumber dari karya Dwi Susanto, Lekra, Lesbumi, Manifes Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965, (Yogyakarta: CAPS, 2018), h. 179-183

(16)

6

unsur dakwah dalam pesan-pesannya.17 Kajian sisi Hamka sebagai sastrawan juga

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lain semisalAlfi Julizun Azwar.18

Sementara sisi Hamka sebagai ulama, mufasir, dan pembaharu Islam juga dikaji oleh banyak peneliti. Abd Haris mengkaji pemikiran Hamka tentang etika19, M Jamil meneliti aspek hukum dalam Tafsir Al-Azhar karya Hamka,20 Muhammad

Amin juga meneliti tentang Tafsir Al-Azhar namun mengambil fokus pada kualitas asbabun nuzulnya, 21 kajian Utang Ranuwijaya berfokus pada kualitas hadis

tentang hukum perkawinan di Tafsir Al-Azhar,22 dan Yunan Nasution yang

meneliti aspek teologinya.23 Sedangkan kajian tentang Hamka sebagai pendakwah

dilakukan oleh M Nazar.24

Kajian tentang Hamka dari aspek lainnya juga banyak dilakukan,25

sementara sisi politiknya relatif belum sebanyak bila dibanding dari segi sastra dan

17 SI Poeradisastra, ‚Dalam Karya Sastra Pun Berdakwah dan Berkhotbah,‛ dalam

Nasir Tamara, dkk (ed), Hamka Di Mata Hati..., h. 121-136

18 Alfi Julizun Azwar, ‚Dimensi Tasawuf Dalam Karya Hamka: Analisis Roman ‘Di

Bawah Lindungan Ka’bah’ dan ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

19 Abd Haris, ‚Etika Islam: Studi Pemikiran Hamka‛, disertasi, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2005.

20 M Jamil, ‚Metode Istinbat Hukum Hamka: Studi Terhadap Ayat-ayat Ahkam

Tafsir al-Azhar‛, disertasi, SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

21 Muhammad Amin, ‚Kualitas Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir al-Azhar‛, disertasi,

SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007

22 Utang Ranuwijaya, ‚Hadis-hadis Pada Kitab Tafsir al-Azhar Hamka: Analisis

Sanad Pada Ayat-ayat Hukum Bidang Perkawinan,‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998

23 M Yunan Yusuf, ‚Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah

Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989.

24 Muhammad Nazar, ‚Intelektualitas Dakwah Prof Dr Hamka: Kajian Tentang

Konsep Dan Pendekatan‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

25 Sebagai contoh: Muhammad Hilmi Jalil dan Fakhrul Adabi Abdul Kadir,

‚Kepentingan Kesihatan Diri Dalam Pembangunan Insan: Analisis Karya Falsafah Hamka‛,

Jurnal Hadari, vol 5, no 2 2013, h. 69-84; M Roem Rowi, ‚Hamka Wuju>duhu fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m bi Indu>ni>sy> fi> Kita>bihi al-Azha>r‛, Journal of Indonesian Islam, vol 03, no 2, 2009, h. 421-451; Imam Taufiq, ‚Membangun Damai Melalui Mediasi: Studi terhadap Pemikiran Hamka Dalam Tafsir al-Azhar‛, Jurnal al-Tahrir, vol 14, no 2, 2014, h. 297-320; Zul `Azmi Yaakob, ‚Falsafah Alam Dalam Konteks Falsafah Ketuhanan Menurut Hamka‛,

International Journal of Islamic Thought, vol 1, June 2012, h. 74-86; Abdul Nashir, ‚Buya Hamka dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam‛, At-Ta’dib, vol 3, no 1, Shafar 1428, h. 59-81; dan masih banyak lagi.

Ada beberapa artikel untuk forum ilmiah yang membahas Hamka, contohnya: Abdul Hafiz bin Abdullah & Mohd Ya’qub Zulkifli bin Mohd Yusoff, ‚Islam dan Keadilan Sosial Menurut Pandangan Hamka Dalam Tafsir al-Azhar: Tumpuan Khusus Kepada Kepentingan Zakat‛, paper dipresentasikan di Seminar Sarantau Islam & Kesejahteraan Sejagat, Fakultas Usuluddin, Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam, pada 24-25 Februari 2010.

(17)

7

agama. Menurut Maarif, hal itu karena memang Hamka hanya sedikit menulis tentang politik.26

Kesimpulan Maarif ini dibantah oleh Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, Hamka banyak menulis tema-tema tentang Islam dan politik, khususnya di era Revolusi Fisik. Gagasan politik Hamka itu termuat dalam beberapa buku dan artikel yang berserakan di berbagai media massa. Dalam tulisan-tulisannya itu, ungkap Mahendra, Hamka berupaya memberikan landasan ideologis bagi kebangsaan Indonesia.27 Meski demikian Mahendra juga mengakui jika tulisan-tulisan Hamka tentang politik masih belum sistematis dan bersifat umum.28

Adanya kesan tentang Hamka sebagai bukan tokoh pemikir dan aktivis politik, lanjut Mahendra, karena dalam banyak kesempatan Hamka sendiri mengaku bahwa ‚siasat (politik) bukanlah medanku.‛ Juga, di kemudian hari Hamka lebih menonjolkan sisi dirinya sebagai sastrawan dan ulama.29

Sebenarnya peran dan pemikiran politik Hamka pernah dikaji oleh beberapa peneliti. Shobahussurur telah memberikan gambaran awal pemikiran politik Hamka tentang ketidakterpisahan antara agama dengan negara.30 Kesimpulan

serupa juga diperoleh Marsudi Fitro Wibowo dalam penelitiannya tentang hubungan antara agama dengan negara menurut Hamka.31 Penelitian lain dilakukan

Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah tentang konsep kepemimpinan Islam dalam Tafsir al-Azhar, serta Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah Santoso tentang partisipasi politik perempuan. Karya-karya ini hanya mengkaji satu tema tertentu tentang gagasan politik Hamka dan menempatkan Hamka sebagai ulama yang ‚sekedar‛ menulis tentang politik, bukan memposisikannya sebagai aktor politik. Namun demikian, karya-karya itu menjadi kajian pendahuluan bagi penelitian tentang pemikiran politik Hamka.32

Kajian sisi politis Hamka lainnya dilakukan Abd Khair dalam disertasinya di IAIN Syarif Hidayatullah,33 dan Nurwajah Ahmad EQ.34 Namun bahasan tentang

26 Ahmad Syafii Maarif, ‚Hamka, Pribadi Multitalenta...‛, h. xiv

27 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra 3, (Jakarta:

Pro Deleader, tt), h. 298-299

28 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 299 29 Yusril Ihza Mahendra, Ensiklopedi Pemikiran Yusril..., h. 298

30 Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka‛, Jurnal

Asy-Syir’ah, vol 43, no 1, 2009, h. 231-245.

31 Marsudi Fitro Wibowo, ‚Relasi Agama dan Negara Perspektif Ulama Indonesia

(Konstruksi Gagasan Politik Islam Hamka Pada Tahun 1928-1981)‛, disertasi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2018.

32 Lihat Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, ‚Pemimpin Menurut

Pandangan Hamka: Satu Tinjauan Dalam Tafsir Al-Azhar‛, Jurnal Al-Tamaddun, vol 8, no 1, 2013, h. 17-38; dan Sarah Larasati Mantovani dan M Abdul Fattah Santoso, ‚Pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Tentang Partisipasi Politik Perempuan di Tahun (1949-1963)‛, Profetika, vol 16, no 1, 2015, h. 83-92.

33 Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan

(18)

8

gagasan politik Hamka dalam dua karya ilmiah itu masih belum mendalam. Hal ini wajar mengingat pemikiran politik Hamka tersebut hanya dijadikan sebagai sub-bagian dari penelitian mereka. Pun demikian yang dibahas masih seputar tema hubungan agama-negara. Sementara tema-tema lainnya dalam pemikiran politik dan kebangsaan Hamka relatif belum tersentuh.

Penelitian tentang pemikiran politik Hamka yang terbatas pada tema tertentu juga dilakukan Achmad Suja’i yang membahas tentang pengertian konsep ‚khilafah‛ dalam Tafsir al-Azhar dengan memperbandingkannya dengan tafsir karya Sayyid Quthb. Maka pembahasan pemikiran politik Hamka dalam karya ini masih terbatas pada tema itu.35 Fokus pada tema tertentu pada pemikiran politik

Hamka dalam tafsirnya juga dilakukan Ahmad Hakim dan M Thalhah,36 Sidik37

dan Akmal Rizki Gunawan.38 Kajian Hakim dan Thalhah lebih ditekankan pada

etika politik menurut Hamka, dan terbatas pada karya tertentu Hamka, yaitu Tafsir al-Azhar. Sementara Karya Sidik hanya membahas pengertian negara dan konsep jihad menurut Hamka dalam tafsirnya. Demikian pula karya Gunawan yang hanya mengeksplorasi gagasan politik Hamka dalam Tafsir al-Azhar, padahal selain dalam tafsirnya, gagasan politik Hamka juga banyak tersimpan dalam karya-karya tulisnya yang lain.

Sebetulnya terdapat penelitian yang secara apik mengungkap Hamka. James R Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern memberikan gambaran secara komprehensif tentang Hamka dan posisinya dalam sejarah Indonesia. Menurut Rush, Hamka merupakan cendekiawan Muslim publik yang secara konsisten menautkan Islam ke keresahan sosial dan perubahan zaman, serta ke cita-cita politik Indonesia merdeka. Dengan kekayaan literatur primernya, karya ini mengungkap pribadi Hamka dalam segala seginya, termasuk segi politik. Namun sebagai sebuah karya biografis yang mencoba menceritakan sosok Hamka secara utuh, karya Rush ini hanya membahas aspek-aspek tertentu

34 Nurwajah Ahmad EQ, ‚Pemahaman Hamka dan TM Hasbi Ash-Shidiqy Mengenai

Ayat Yang Berkaitan dengan Politik, Ekonomi, dan Ilmu Pengetahuan‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1998.

35 Achmad Suja’i, ‚Konsep Khilafah Dalam Tafsir Sayyid Quthb dan Tafsir

Hamka‛, disertasi, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000.

36 Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka,

(Yogyakarta: UII Press, 2005).

37 Sidik, ‚Deradikalisasi Pemaknaan Negara dan Jihad Dalam Tafsir Al-Azhar‛,

Jurnal Analisa, Vol 19, No 1, 2012, h. 69-82

38 Akmal Rizki Gunawan, Dimensi Politik Tafsir al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai

Pancasila (Ciputat: Cinta Buku Media, 2016). Terdapat beberapa artikel ilmiah yang membahas tentang politik Hamka, di antaranya: Fokky Fuad, ‚Moral Hukum dan Nilai-nilai Kebangsaan: Sebuah Refleksi Pemikiran Buya Hamka‛, Mimbar Demokrasi, vol 16, no 1, 2016, h. 71-85; Nunu Burhanuddin, ‚Konstruksi Nasionalisme Religius: Relasi Cinta dan Harga Diri Dalam Karya Sastra Hamka‛, Episteme, vol 10, no 2, 2015, h. 353-384; Fokky Fuad, ‚Kehancuran Nilai Kemanusiaan Reaktualisasi Pemikiran Hamka Dalam Hukum‛, Lex Jurnalica, vol 13, no 1, 2016, h. 35-45; Abdul Wahid, ‚Sosial Politik Dalam Tafsir Hamka‛, Conference proceedings, Ar-Raniry International Conference on Islamic Studies (ARICIS) I, Banda Aceh, 26-27 Oktober 2016, h. 328-340.

(19)

9

pada diri sang tokoh secara ‚seperlunya.‛ Di titik ini aspek politik Hamka dibahas sesuai kebutuhannya sehingga kurang mendalam. 39 Namun demikian, karya Rush

yang kaya dengan data-data sejarah Hamka yang diperoleh dari sumber-sumber primer ini menjadi salah satu sumber penting bagi penelitian ini.

Dengan demikian, penelitian ini sesungguhnya mencoba memenuhi satu hal penting, yaitu: mengisi dan memperkaya kajian tentang Hamka yang telah banyak dilakukan peneliti-peneliti lain. Di aspek ini penelitian ini dimaksudkan untuk mengisi lobang yang belum sempat dikaji peneliti Hamka, yaitu aspek pemikiran dan aksi politiknya.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) di mana data-datanya diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis, dan kualitatif karena permasalahan yang dikaji adalah seputar konsep-konsep, ide-ide, gagasan, atau pemikiran seseorang beserta aktivitas politiknya. Karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis untuk melihat konteks sosial dan politik saat sang aktor hidup, serta untuk melihat perubahan dan kontinuitas yang terjadi sepanjang sejarah hidup sang aktor.

Sumber data penelitian ini diperoleh dari pengumpulan dokumen-dokumen tertulis dan berbagai publikasi (akademik dan populer) yang dikelompokkan atas sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber primer adalah karya-karya tulis Hamka yang terkait dengan tema politik, di antaranya: Islam dan Demokrasi,40

Urat Tunggang Pantjasila,41 Keadilan Sosial Dalam Islam,42 Umat Islam

Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekularisasi,43 Dari Hati Ke Hati:

Tentang Agama, Sosial, Budaya dan Politik Islam, Studi Islam,44 Islam: Revolusi

Ideologi dan Keadilan Sosial,45 kumpulan pidato dan pernyataan Hamka di sidang

Konstituante dalam buku dokumentasi Konstituanste Indonesia berjudul Risalah Perundingan46 dan Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante

Djilid I-III, dan tulisan Hamka yang termuat dalam buku Islam dan Pancasila: Konstituante 1957.47 Termasuk sumber primer adalah tulisan-tulisan Hamka yang

tersebar dalam berbagai media massa seperti Pedoman Masjarakat, Pandji Masjarakat (Panji Masyarakat), Hikmah, Gema Islam, dan lain-lainnya.

Banyak pula pemikiran politik Hamka yang termuat dalam karya-karya lainnya yang sekilas tidak terkait dengan politik, namun ternyata di dalamnya

39 Lihat James R Rush, Adicerita Hamka...

40 Hamka, Islam dan Demokrasi, (Bukittinggi & Medan: Firma Tjerdas, 1946). 41 Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952) 42 Hamka, Keadilan Sosial Dalam....

43 Hamka, Umat Islam Menghadapi....

44 Hamka, Studi Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983).

45 Hamka, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Panjimas.

1984).

46 Buku ini memuat dokumentasi pidato, perdebatan dan situasi dalam sidang-sidang

di Konstituante sejak awal hingga dibubarkan Soekarno tahun 1959.

47 Yusran R (ed), Islam dan Pancasila... Buku ini merupakan kumpulan pidato

(20)

10

memuat bagian yang membahas tentang politik, seperti: Pelajaran Agama Islam,48

Renungan Tasawuf,49 Falsafah Hidup,50 Pandangan Hidup Muslim,51 Dari Lembah

Cita-cita,52 Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan

Kaum Agama di Sumatra,53 Lembaga Hidup,54 dan yang tidak boleh dilewatkan

adalah magnum opus-nya Hamka Tafsir al-Azhar yang pasti memuat pembahasan tentang politik, mengingat di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan tema sosial politik. Apalagi tafsir tersebut ditulis saat Hamka berada dalam kurungan sebagai tahanan politik Orde Lama. Kondisi ini sedikit banyak memberikan pengaruh dalam penafsirannya.

Sementara yang tergolong sumber sekunder adalah karya-karya orang lain yang terkait dengan pemikiran Hamka, khususnya di bidang politik, seperti:

Hamka Di Mata Hati Umat (kumpulan tulisan);55 Politik Hamka dalam buku

Bunga Rampai Dari Sejarah 3 karya Moh Roem,56Pembaharuan Pemikiran Hamka

Dalam Bidang Aqidah, Tasawuf dan Sosial Politik,57 Dimensi Politik Tafsir

al-Azhar Hamka: Kajian Nilai-nilai Pancasila,58 Politik Bermoral Agama: Tafsir

Politik Hamka,59atau Relasi Islam dan Kekuasaan Dalam Perspektif Hamka.60

Sumber sekunder lainnya adalah buku-buku atau artikel ilmiah yang terkait dengan pembahasan tentang Islam dan politik modern. Yang termasuk dalam kategori ini di antaranya: Islam dan Demokrasi: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993,61 Islam, Nationalism, and

48 Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956). Buku ini

membahas segala aspek ajaran Islam. Mulai dari pembahasan tentang kebutuhan kepada agama, filsafat ketuhanan, hingga rukun iman. Bagian yang secara langsung terkait dengan politik adalah sub bagian ‚Tanggungan Negara, Masyarakat dan Rumah Tangga.‛

49 Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002). Dalam buku ini

ada dua bab yang terkait dengan politik ‚Kewajiban dan Akhlak Kaum Muslimin Dalam Bernegara,‛ dan ‚Pemimpin Agama‛.

50 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Terdapat bagian yang terkait

dengan politik, ‚Keadilan.‛

51 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Bab yang

terkait langsung dengan politik adalah ‚Cinta Tanah Air, Kemanusiaan dan Islam.‛

52 Hamka, Dari Lembah Cita-cita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982). Bagian yang

berkaitan langsung dengan politik adalah ‚Iman dan Negara‛.

53 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah Dan Perjuangan

Kaum Agama di Sumatra, (Jakarta: Umminda, 1982).

54 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika, 2015). Ada beberapa bab yang

terkait dengan politik di buku ini: ‚Hak dan Kewajiban,‛ ‚Kewajiban Kepada Masyarakat,‛ ‚Kewajiban Bertanah Air,‛ dan ‚Islam dan Politik.‛

55 Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari (ed), Hamka Di Mata Hati

Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)

56 Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) 57 Abd Khair, ‚Pembaharuan Pemikiran Hamka...‛

58 Akmal Rifki Gunawan, ‚Dimensi Politik Tafsir ...‛ 59 Ahmad Hakim dan M Thalhah, Politik Bermoral Agama... 60 Shobahussurur, ‚Relasi Islam dan ...‛

(21)

11

Democracy: a Political Biography of Mohammad Natsir,62 Modernisme dan

Fundamentalisme Dalam politik Islam,63 Partai Masjumi: Antara Godaan

Demokrasi & Islam Integral,64 Partai-partai Islam di Pentas Nasional,65 Gerakan

Moderen Islam di Indonesia,66 atau Piagam Jakarta 22 Juni,67 dan masih banyak

lagi sumber yang tidak bisa disebutkan di sini.

Data-data yang terkumpul kemudian dipilah dan dipilih untuk menentukan kelayakannya sebagai sumber sejarah, dengan memperhatikan otentisitas (keaslian sumber) dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi)-nya. Setelah ditentukan kelayakannya sebagai sumber sejarah, data-data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan metode analisis holistika. Menurut Bakker dan Zubair, analisis holistika merupakan upaya memahami secara menyeluruh isi sumber dengan melihat secara utuh ide-idenya yang bersifat filosofis, sehingga ide-ide itu dapat dipahami secara komprehensif dan lebih akurat.68 Dalam konteks penelitian

ini, metode ini digunakan khususnya terkait dengan pembacaan terhadap ide-ide dan pemikiran politik dan kebangsaan Hamka.

Sementara pembahasan tentang peran politik Hamka dilakukan dengan menggunakan teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori ini mengasumsikan bahwa tindakan (politik) seseorang didasari oleh pertimbangan untung rugi dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia. Dalam teori ini seorang aktor politik dianggap memiliki pengetahuan dan informasi yang cukup, serta prinsip hidup dan motivasi tertentu, sehingga pilihan politik yang diambilnya bukan karena faktor kebetulan atau kebiasaan, namun lebih karena pertimbangan dan pemikiran yang logis.69

Karena mengkaji pemikiran serta tindakan politik Hamka, penelitian ini juga menggunakan teori elektif afiniti untuk melihat bagaimana pandangan-pandangan dasar Hamka tentang politik memberikan dorongan kepadanya untuk memilih suatu tindakan yang dianggapnya paling sesuai dengan situasi konkret yang dihadapinya. Dalam teori ini terkandung asumsi bahwa tindakan-tindakan politik tertentu yang diambil aktor politik adalah pilihan yang mengandung makna tertentu yang secara subyektif dianggapnya sebagai tindakan yang ‚paling sesuai‛ dan ‚paling masuk akal‛ untuk dilakukan dalam situasi konkret tertentu, sejalan dengan pandangan dasar yang dianutnya.70

62 Audrey R Kahin, Islam, Nationalism and Democracy... 63 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme... 64 Remy Madinier, Partai Masjumi...

65 Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas... 66 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam...

67 Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni...

68 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 46

69 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 146 70 Teori elektif afiniti dalam penelitian ini dipinjam dari teori serupa yang digunakan

Mahendra untuk menganalisis tindakan politik partai Masyumi sebagai partai modernis dan Jamiat-i Islami sebagai partai fundamentalis. Meski kajian Mahendra pada kelompok politik, namun unit analisisnya adalah aktor-aktor politik di dalam partai-partai tersebut.

(22)

12

F. Sistematika Pembahasan

Bab pertama penelitian ini menyajikan gambaran umum permasalahan yang hendak diteliti, alasan kenapa perlu dan layak diteliti, apa urgensinya, manfaat dan kegunaannya, di mana letak keunikan dan kebaruan tema penelitian ini, serta metode yang digunakan.

Bab kedua membahas tentang diskursus politik dalam sejarah Islam. Di bagian ini akan dibahas dinamika dan transformasi wacana dan praktik politik di dunia Islam modern dan di Indonesia. Di bagian akhir bab ini akan dibahas paradigma politik Islam di Indonesia untuk melihat karakteristik dan kekhasan praktik dan pemikiran politik Islam di negeri ini.

Bab ketiga membahas tentang biografi Hamka, latar belakang keluarga, variabel-variabel yang mempengaruhi perkembangan kepribadian dan intelektualnya, serta konteks sejarah penulisan karya-karyanya.

Bab keempat membahas tentang pemikiran politik dan kebangsaan Hamka. Bab ini menguraikan tentang paradigma politik Hamka tentang hubungan agama dan politik. Dari pandangan dasar ini akan terlihat warna pemikiran politik Hamka yang memberikan pengaruh baginya dalam memberikan respons terhadap ide-ide politik Barat modern, termasuk upayanya dalam mensintesiskan ide-ide politik Barat seperti tentang demokrasi. Dalam bab ini juga akan dibahas ide-ide kebangsaan dan keindonesiaan Hamka.

Bab kelima membahas kiprah Hamka dalam dinamika politik nasional. Fokus bahasan bab ini adalah kiprah Hamka saat aktif sebagai eksponen partai politik Masyumi, termasuk perannya dalam memperjuangkan dasar negara Islam di Konstituante, dan peran yang dimainkannya pasca pembubaran Masyumi di era Orde Lama. Juga akan dibahas peran politik dakwahnya di era Orde Baru melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bab Keenam merupakan penutup yang berisi kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan pada pembahasan di bab-bab sebelumnya.

Menurutnya, dalam situasi konkret yang berfikir dan bertindak dalam partai politik adalah aktor-aktor yang mengendalikan partai itu, karena bagaimana pun juga partai bersifat abstrak. Sementara Mahendra sendiri mengambilnya dari Weber tentang protestanisme yang memberikan dorongan kepada perilaku kapitalisme. Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme..., h. 56

(23)

13

BAB II

DISKURSUS POLITIK DALAM ISLAM

Secara doktrinal Islam memang tidak memberikan petunjuk yang detail tentang konsep dan bentuk negara/pemerintahan, namun bukan berarti Islam melalaikan urusan tersebut. Negara sebagai institusi yang mengelola kepentingan umum menjadi bidang yang tidak bisa dilepaskan oleh Islam karena banyak ajaran syariat yang tidak bisa terlaksana dengan sempurna tanpanya. Ajaran tentang jihad, zakat, hukuman bagi pelaku kriminal, dan lainnya jelas membutuhkan institusi negara. Demikian pula dalam al-Qur’an terdapat seperangkat prinsip-prinsip yang mengimplikasikan keberadaan keteraturan tatanan sosial-politik atau penggunaan otoritas terorganisir (organised authority) untuk mewujudkannya, seperti `ahd (perjanjian), ama>nah (kepercayaan), it}a>`ah (ketaatan), dan h}ukm

(peradilan).71 Karena itulah, al-Qur’an memberikan beberapa kata kunci penting

bagi pengelolaan politik, yaitu tauhid, syariah, `ada>lah, h}urriyyah (kebebasan),

musa>wah (kesetaraan), dan shu>ra> (musyawarah, konsultasi).72

Pada bab ini akan dipaparkan diskursus tentang politik dalam Islam. Kajian ini menjadi penting untuk melihat di mana posisi politik Hamka dalam peta pemikiran politik Islam modern, khususnya dalam konteks Indonesia. Bahasan akan dimulai dari perubahan yang tengah terjadi dalam politik Islam modern, baru kemudian masuk ke bahasan tentang politik Islam di Indonesia modern. Bab ini akan diakhiri dengan sub bab yang membahas tentang paradigma politik Islam di Indonesia. Sub bab ini merupakan telaah teoritis yang memotret pola-pola penting yang khas dalam dinamika politik Islam di Indonesia modern, dan sengaja disajikan untuk melihat karakter politik Islam di Indonesia di mana menjadi bagian di dalamnya.

A. Transformasi Politik Islam di Era Modern

Azyumardi Azra melihat era modern atau kontemporer merupakan masa terjadinya krisis terberat dalam sejarah peradaban Islam. Selain karena kondisi umat Islam yang sedang sakit, krisis tersebut juga disebabkan oleh benturan dengan negara-negara Barat yang menyebabkan dunia Islam terjatuh dalam jurang imperialisme dan kolonialisme. Dampak lanjutan dari itu adalah munculnya krisis identitas di kalangan umat Islam.73 Kondisi tersebut - ditambah dengan faktor

kemajuan Barat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi – telah melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang dimulai menjelang akhir abad XIX M.74

71 Abdul Rashid Moten, Political Science: an Islamic Perspective (London:

MacMillan Press, 1996), h. 86

72 Moten, Political Science, h. 87-90

73 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan

Demokrasi, (Jakarta: Prenada & PPIM UIN Jakarta. 2016), h. 23-24

74 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

(24)

14

Barat menyebarkan peradaban mereka ke seluruh dunia melalui globalisasi dan kolonialisasi. Globalisasi dimaknai Ejaz Akram sebagai intensifikasi kondisi manusia agar menjadi modern. Tujuannya adalah homogenisasi tradisi dan kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia, serta hegemoni Barat atas mereka. Globalisasi dipandang Akram telah mengakibatkan kerusakan yang sistematis pada lembaga-lembaga tradisional di negara-negara non-Eropa.75 Akram

menegaskan, sejak awal mula, modernitas dengan humanisme sekularnya telah membawa ke arah terjadinya keruntuhan agama dan moralitas. 76 Proses itu terjadi melalui kolonialisasi politik dan militer, kemudian melalui ideologi dan kebudayaan. 77

Proses penjajahan dunia Islam itu sebenarnya telah terjadi sejak abad ke 16 M. Perkembangan teknologi militer negara-negara Barat yang berbasis pada revolusi industri memberikan dorongan pada proses tersebut. Barat pun mampu membalik keadaan kaum Muslim. Jika semula kaum Muslim berada di posisi yang menang, namun kini mereka berada di posisi terjajah. Proses ini, tegas Tibbi, membawa luka abadi pada umat Islam, yang di kemudian waktu diartikulasikan dalam berbagai aksi politik dan kekerasan sebagai sebentuk respon pertahanan-budaya (a defensive-cultural response).78

Tibbi menyatakan bahwa modernitas memiliki dua dimensi yang berbeda, yaitu budaya dan kelembagaan. Budaya modernitas - yang disebut juga sebagai ‘prinsip subyektivitas’- berbasis pada peristiwa-peristiwa utama dalam sejarah Eropa semisal Renaisans, Reformasi, Pencerahan, dan Revolusi Perancis. Dimensi ini terkait erat dengan pandangan dunia (worldview) yang membawa Barat ke tingkat peradaban yang lebih tinggi, yaitu pandangan dunia bahwa manusialah yang menjadi pusat, bukan Tuhan. Sementara dimensi kelembagaan terkait erat dengan kekuasaan (power). 79 Pada dimensi yang pertama itu modernisme, seperti

yang dilihat Fuad S Naeem, merupakan pemberontakan terhadap agama di semua area kehidupan. Modernisme berupaya mengganti peran agama dengan humanisme, rasionalisme, dan sekularisme. Hasil dari upaya ini adalah transformasi dunia Barat

75 Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization: Modernity anda the Roots

of Conflict,‛ dalam Joseph EB Lumbard, Islam, Fundamentalism, and the Betrayal of Tradition, (Indiana: World Wisdom, 2004), h. 241

76 Ejaz Akram, ‚The Muslim World and Globalization...,‛ h. 237. Akram membagi

era modern terjadi dalam tiga periode. Modern periode awal terjadi pada abad ke 18 dan 19 awal. Ini periode inkubasi dan pertumbuhan modernisme Barat di mana Kristianitas telah disingkirkan dari arena publik meski moralitas Kristen masih bernyawa. Periode kedua terjadi pada akhir abad ke 19 dan 20 awal yang merepresentasikan celebration of modernity. Programnya menjadikan modernitas sebagai nasehat preskriptif bagi seluruh dunia. Periode ini juga disebut sebagai periode modern tingkat tinggi (high modern period). Periode terakhir terjadi pasca perang yang merupakan ‘kehamilan’ tanda-tanda yang nampak dari keruntuhan dunia modern.

77 Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ dalam

Lumbard, Islam, Fundamentalism, and... h. 80

78 Bassam Tibbi, Islam’s Predicament with Modernity: Religious Reform and

Cultural Change (London & New York: Routledge, 2009), h. 35

(25)

15

dari peradaban yang sangat Kristen (the deeply Christian civilization) di abad pertengahan menjadi sebagian besar peradaban humanistik sekular di era modern. 80

Di bidang ilmu pengetahuan worldview ‚manusia adalah pusat‛ melahirkan tradisi saintifik yang bercorak positivistik. Sains seperti ini, menurut Hussein Heriyanto, dibentuk oleh asumsi-asumsi paradigmatik ala Cartesian-Newtonian. Beberapa asumsi itu adalah: subyektivisme-antroposentrik melalui tagline ‚cogito ergo sum‛ (aku berfikir maka aku ada); dualisme realitas; bersifat mekanistik-deterministik; reduksionisme-atomistik; instrumentalisme; dan materialisme-saintisme. Sementara di ranah politik worldview Barat itu menghasilkan gagasan dan konsep-konsep politik yang menitikberatkan pada kemampuan manusia dan kebebasan individu.81 Dalam catatan Masykuri Abdillah, di antara akibat dari

perubahan politik modern adalah sekularisasi, rasionalisasi, komersialisasi, dan partisipasi rakyat dalam politik.82

Ide-ide yang mewarnai peradaban Barat modern itu dianggap asing dan tidak memiliki akar sejarah bagi umat Islam. Umat Islam, jelas Azra, sejak dulu sudah akrab dengan konsep da>r al-Isla>m dan da>r al-h}arb, namun kemudian dibingungkan dengan konsep nation state ala Barat.83 Nallino, seperti dikutip Hamid Enayat,

mencatat beberapa pertentangan lainnya, yaitu: Antara nasionalisme Turki versus Pan Islamisme; Antara konsep politik Barat yang berbasis kehendak rakyat dengan gagasan negara Islam yang supra-nation berdasar ikatan keagamaan; Kontradiksi antara sifat negara Barat modern yang memposisikan sederajat semua rakyatnya dengan kewarganegaraan dalam negara Islam yang lebih mengistimewakan rakyat yang beriman daripada yang non-Muslim; atau antara syariah dengan hukum buatan manusia.84

Sebagai sesuatu yang asing konsep-konsep politik Barat itu dianggap Akram telah merusak tatanan kelembagaan politik tradisional, memecah belah kesatuan umat, menyebabkan terjadinya desakralisasi dan amoralisasi proses politik, evolusi ke negara bangsa yang mengancam keamanan dunia Islam, dan munculnya problem demokrasi di dunia Islam.85 Karena berada dalam posisi yang defensif, kekuatan

politik Islam saat itu terpaksa melakukan berbagai perubahan demi menyesuaikan diri dengan perkembangan modernitas. Sejak 1730-an Turki Utsmani melakukan perubahan sistem administrasi dan militernya dengan mengadopsi sistem yang berjalan di negara-negara Eropa. Perubahan ini terus belanjut dan semakin meluas ke sistem pemerintahan daerah, perdagangan-keuangan, dan diplomasi.86 Hingga di

80 Fuad S Naeem, ‚A Traditional Response to the Rise of Modernism,‛ h. 80

81 Husain Heriyanto, Paradigma Holistik, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 30-31; Lihat

juga Ahmad Khoirul Fata dan Siti Mahmudah Noorhayati, ‚Sekularisme dan Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer,‛ Madania, vol 20, no 2, 2016, h. 216

82 Masykuri Abdillah, ‚Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi

Politik Di Era Reformasi,‛ Ahkam, vol. XIII, no. 2, Juli 2013, h. 247.

83 Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam..., h. 33

84 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Kuala Lumpur: Islamic Book

Trust, 2001), h. 81-82

85 Ejaz Akram, ‚The Muslim World,‛ h. 243

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Nasrudin Razak Iman kepada hari akhirat adalah masalah yang paling berat dari segala macam aqidah dan kepercayaan manusia. Sejak dari zaman purba manusia telah

This study tries to dissect isrâ‘îlîyât stories written by Bisri, Hamka and Quraish in the interpretation of each: Tafsîr al-Ibrîz , Tafsîr al-Azhar , and the

kerusakan. 4) Dari segi kehidupan manusia dan tujuan hidupnya, maka dakwah akan memberikan filter (penyaring), akan memberikan arah dan selalu akan meluruskan arah

Beliau merupakan salah seorang tokoh pendakwah yang disegani di rantau Nusantara, juga seorang yang bijak dan mahir dalam bidang kesusasteraan, penulisan kreatif dan prolifik,