DAFTAR ISI
halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 2
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Definisi Operasional ... 18
F. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II BUDAYA ORANG LAUT, SAINS, DAN PEMBELAJARAN KIMIA ... 21
A. Sains dan Kimia sebagai Subudaya ... 22
B. Indigenous Science ”Sains Asli” Orang Laut ... 26
C. Peran Budaya dalam Pencapaian Tujuan Pembelajaran Sains (Kimia) ... 31
D. Program Muatan Lokal (Mulok) dan Tujuan Pembelajarannya ...…...……. 41
1. Penguasaan konsep sebagai tujuan pembelajaran ... 45
2. Keterampilan generik sains dan indikatornya ... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………....……..….……… 60
A. Paradigma Penelitian ... 61
B. Prosedur Penelitian ………...………… 63
C. Sasaran dan Subjek Penelitian ...… 74
D. Data dan Teknik Pengolahan Data ………...…. 75
1. Metode pengumpulan data ... 75
2. Teknik analisis data ... 76
3. Instrumen Penelitian ... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 82
A. Hasil Penelitian …………...………. 83
1. Hasil Studi Pendahluan ... 83
a. Gambaran Umum Orang Laut di Desa Air Kelubi .. 83
b. Tradisi Orang Laut yang bermuatan Kimia ... 87
c. Proses pembelajaran kimia di SMP ... 94
2. Deskripsi Hasil Uji Coba Terbatas ... 99
3. Deskripsi Hasil Uji Coba Luas atau Implementasi ... 101
a. Deskripsi dan analisis penguasaan konsep siswa .. 102
b. Deskripsi dan analisis penguasaan pengetahuan budaya ... 110
c. Deskripsi dan analisis penguasaan KGS ... 118
d. Deskripsi sikap siswa dan tanggapan guru pada proses pembelajaran MKBO ... 127
B. Pembahasan ... 129
1. Muatan kimia dalan tradisi budaya Orang Laut ... 129
2. Potensi dan tantangan pembelajaran kimia di SMP ... 136
3. Peningkatan penguasaan konsep melalui penerapan program MKBO ... 141
4. Peningkatan pengetahuan budaya melalui penerapan program MKBO ... 145
6. Sikap siswa setelah proses pembelajaran MKBO ... 150
7. Tanggapan guru dan siswa terhadap penerapan program MKBO ... 152
8. Karekteristik program MKBO ... 154
9. Keunggulan dan keleterbatasan penerapan program MKBO ... 155
BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI ... 157
A. Kesimpulan ………..……….………….. 157
B. Saran-saran ………..……….……... 159
C. Rekomendasi ... 160
DAFTAR PUSTAKA ……….. 163
BAB I
PENDAHULUAN
Wilayah Nusantara sebagaian besar merupakan daerah maritim dengan
sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) yang potensial dalam
mendukung pembangunan. Pembangunan manusia seutuhnya semestinya
bertumpu pada eksitensi wilayah maritim dengan peran bidang pendidikan sebagai
ujung tombak. Upaya pembangunan manusia Indonesia sebagai negara kepulauan
ini hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan agar
dihasilkan generasi penerus yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan
juga peduli terhadap kelestarian lingkungan hidupnya.
Pendidikan sains dapat berperan penting dalam upaya pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya melalui pencapaian berbagai tujuan proses
pembelajarannya. Pendidikan sains yang mempertimbangkan konteks budaya
keseharian siswa menjadi pilihan strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Pendidikan sains, terutama pembelajaran kimia yang menggali potensi lokal
dengan tujuan penguasaan materi, dan juga pemahaman budaya maritim, serta
penguasaan keterampilan generik sains sangat penting untuk diupayakan.
Budaya Orang Laut yang merupakan salah satu budaya masyarakat maritim
yang ada dapat digunakan untuk mengembangkan program Muatan Lokal pada
bidang studi kimia di sekolah. Pengembangan program dapat dilakukan untuk
meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia, pewarisan budaya, dan pelestarian
sumberdaya wilayah pesisir, maupun peningkatan pengetahuan kimia.
2
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara maritim, sebagian besar wilayah terdiri dari
laut yang menempati 61 persen dari seluruh wilayah dengan batas 12 mil laut
dengan luas 5 juta km2. Wilayah Nusantara terdiri dari 17.508 pulau dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km. Perairan pedalaman atau kepulauan seluas 2,8 juta
km2, landas kontinen dengan kedalaman 200 meter seluas 1,5 juta km2, dan laut
teritorial berdasarkan jalur 12 mil memiliki luas 0,3 juta km2 (Nontji, 1987).
Wilayah perairan dan pantai, terutama daerah pesisir mengandung berbagai
sumberdaya yang melimpah.
Sumberdaya kelautan yang melimpah terdiri atas sumberdaya dapat pulih
(renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources),
dan jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat
pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan
budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih
meliputi mineral, bahan tambang atau galian, minyak bumi dan gas. Jasa-jasa
lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut (Dahuri et al., 1996).
Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak ditangani secara optimal, karena
selama ini upaya pembangunan dilakukan tertumpu pada pengelolaan sumberdaya
di daratan yang hanya sepertiga dari seluruh luas wilayah. Potensi sumberdaya
wilayah pesisir sering diabaikan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatannya
untuk mendukung pembangunan. Masyarakat terasing di wilayah laut, pesisir, dan
pantai sebagai salah satu sumberdaya manusia potensial juga belum cukup
3
Orang Laut merupakan salah satu kelompok masyarakat terasing di
perairan Nusantara. Orang Laut memiliki kebiasaan hidup keseharian yang telah
akrab dengan laut semenjak abad ke 16 (Bellwood et al., 2006). Masyarakat
Orang laut memiliki tradisi budaya kebaharian yang mampu bertahan dalam
tantangan hidup di laut. Fenomena budaya masyarakat pesisir pada umumnya
sangat bervariasi dalam aspek-aspek sistem-sistem pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, norma, bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, pola
pemukiman, kesenian dalam berbagai wilayah di Indonesia (Lampe, 2007).
Fenomena budaya dimaksud di antaranya adalah budaya yang terdapat pada
masyarakat Orang Laut.
Orang Laut merupakan salah satu dari beberapa etnik kecil yang ada di
kawasan Asia Tenggara. Mereka bermukim di gugusan pulau terpencil atau
berpindah-pindah tempat di perairan sebagai pengembara laut, mereka terdapat
juga di wilayah Kepulauan Riau. Sebutan sebagai Orang Laut tersebut, karena
kehidupannya yang berorientasi kepada laut dan mempunyai kebiasaan berumah
tangga atau berkeluarga dalam sampan sehingga disebut juga Orang Sampan
(Lenhart, 1994; Zen, 1993; Lapian, 2009; Zacot, 2008). Orang Laut di pulau
Butun, desa Air Kelubi Kepulauan Riau merupakan salah satu komunitas suku
terasing yang ada di kepulauan Nusantara. Orang laut secara tradisional dan
turun-temurun, mampu mengembangkan kemampuan bertahan hidup di lingkungan
bahari. Kesederhanaan dalam usaha penangkapan hasil laut dan teknologi yang
digunakan tidak merusak sumberdaya laut (Cooper, 1997) sehingga dapat
4
kemampuan mengenal alam laut lingkungan hidupnya, menghadapi tantangan
hidup di laut, menggali kekayaan laut serta melestarikan sumberdaya yang ada di
laut. Kemampuan lainnya adalah dalam mengenali dan menangani jenis hewan
laut yang berbisa atau beracun (Hwang et al., 2007) untuk dikonsumsi.
Orang Laut di pulau Butun, desa Air Kelubi merupakan sekelompok
masyarakat yang sebelumnya tersebar di pulau-pulau sekitarnya dengan tradisi
kehidupan asli Orang Laut yang berpindah-pindah. Pemukiman Orang Laut di
desa Air Kelubi merupakan salah satu program pemerintah di Kepulauan Riau
pada tahun 1989 yang dilaksanakan oleh Camat Pembantu Bupati Wilayah IV
Bintan. Orang Laut desa Air Kelubi yang telah dimukimkan dan meninggalkan
kehidupan berpindah-pindah tersebut memiliki tradisi atau cara hidup yang belum
banyak berubah (Lenhart, 1994; Lenhart, 1997).
Sains dalam tradisi budaya Orang Laut (Etnosains) merupakan suatu
sistem pengetahuan “ilmu” yang memiliki aspek pengetahuan, sains dan magis
yang saling berkaitan (Cynthia, 1997). Etnosains pada masyarakat Orang Laut,
merupakan tradisi masyarakat secara turun temurun, diajarkan, diwarisi dari
generasi ke generasi berikutnya dalam suatu sistem pembelajaran asli masyarakat
Orang Laut (Zen, 2002). Survei pendahuluan yang telah dilakukan di masyarakat
Orang Laut desa Air Kelubi mengungkap bahwa Orang Laut memiliki
pengetahuan sains yang bermuatan kimia. Pengetahuan kimia dimaksud dalam hal
menggunakan campuran zat tertentu untuk menetralkan racun sengatan ikan
berbisa seperti lepu “Scorpaena guttata” dan berbagai kemampuan hidup lainnya
5
Pengetahuan kimia lainnya yaitu pengetahuan tentang pemilihan jenis bahan
logam yang digunakan ditinjau dari sifat ketahanannya terhadap proses perkaratan
bila terkena air laut. Pengetahuan Orang laut diperoleh berdasarkan pewarisan
tradisi secara turun-temurun dari generasi ke gerarsi selanjutnya.
Sumberdaya kelautan sangat penting dalam mendukung pembangunan,
khususnya masyarakat wilayah pesisir maupun masyarakat Nusantara pada
umumnya. Sumberdaya yang terdapat pada wilayah perairan pantai dan laut
tersebut membutuhkan pengelolaan yang bijaksana, bukan sekedar
mengeksploitasinya. Eksploitasi berlebihan hasil laut yang telah dilakukan serta
secara serampangan terhadap sumberdaya perairan mengakibatkan kerusakan dan
mengancam kelestarian, kelangsungan hidup masyarakat. Eksploitasi terjadi
disebabkan oleh peningkatan usaha dan teknologi yang dapat menghabiskan
sejumlah persediaan sumberdaya laut (Cooper, 1997). Pencegahan eksploitasi
sumberdaya laut secara berlebihan perlu dilakukan dengan keterlibatan secara
efektif berbagai pihak melalui pengembangan alternatif aktivitas perikanan dan
membentuk jaringan sosial-ekonomi bagi nelayan sehingga akses dan keuntungan
berkembang (Vermonden, 2006).
Eksploitasi berlebihan sumberdaya juga harus dihindari dan pengelolaan
sumberdaya laut secara bijaksana perlu dimasyarakatkan melalui peran
pendidikan yang berkualitas seiring dengan penguatan nilai-nilai budaya setempat.
Penguatan berbagai aspek praktek tradisi budaya masyarakat perlu dilakukan
dalam pengelolaan sumberdaya perairan. Pemanfaatan kekayaan perairan secara
6
muda untuk mencapai kemakmuran rakyat dapat dilakukan melalui proses
pembelajaran asli maupun pembelajaran di sekolah secara berkesinambungan.
Proses pembelajaran dimaksud dapat diupayakan dalam lingkup sistem
pembelajaran asli (Indigenous learning) berupa pembelajaran sains asli
(Indigenous science) khususnya bagi masyarakat nelayan wilayah pesisir (Hickey,
2006).
Pemerintah Indonesia telah berupaya melestarikan sumberdaya laut
dengan membentuk enam taman nasional laut ”Marine Protected Area” (MPA)
seluas 41.129 km2. Taman nasional dimaksud adalah taman nasional Kepulauan
Seribu seluas 1.080 km2, Karimun Jawa seluas 1.116 km2, Taka Bone Rate seluas
5.308 km2, Wakatobi seluas 13.900 km2, Bunaken Manado Tua seluas 891 km2,
dan taman nasional laut Teluk Cenderawasih seluas 14.530 km2 (Julian, 2003).
Pengelolaan taman nasional melibatkan berbagai komponen yaitu pemerintah
daerah, tokoh masyarakat, nelayan hingga masyarakat lokal sehingga bermanfaat
dalam pendidikan masyarakat setempat. Luas taman nasional dibanding luas
wilayah perairan pedalaman dan kepulauan Indonesia hanya sebesar sekitar 1,5%,
serta manfaat pendidikan bagi masyarakat dalam pelestarian sumberdaya laut
bersifat lokal. Eksploitasi berlebihan atas sumberdaya perairan untuk
wilayah-wilayah di luar taman nasional sangat potensial terjadi bila pengelolaan yang
mempertimbangan penyediaan sumberdaya yang berkesinambungan diabaikan.
Pemerintah beserta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2007
telah meloloskan undang-undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
7
dan pengendalian sumberdaya maritim. Pengelolaan diupayakan melibatkan pihak
pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan dunia usaha, antar sektor, meninjau
ekosistem darat dan laut serta ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil ini memiliki salah
satu tujuan yaitu meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya (Tunggal, 2007).
Undang-Undang ini menyiratkan peran penting pendidikan yang menggali
nilai-nilai budaya setempat dalam hal pengelolaan wilayah perairan. Hal ini
menunjukkan peran penting pendidikan yang berdimensi luas. Pendidikan harus
dilangsungkan secara menyeluruh bagi masyarakat terutama generasi muda.
Pendidikan dibutuhkan dalam upaya membentuk generasi yang memiliki
pengetahuan, keluhuran sikap, budi pekerti dalam pengelolaan wilayah secara
bijaksana ketika memanfaatkan sumberdaya maritim secara berkesinambungan.
Pendidikan berorientasi kemaritiman bagi sebagian besar masyarakat,
terutama yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya laut sangat penting.
Upaya pendidikan dilakukan dengan mempertimbangkan wawasan kelautan yang
telah dibakukan dalam sistem belajar asli sehingga mendapatkan nilai tambah dan
bermakna dalam sistem sosialnya (Zen, 2002). Pendidikan yang dapat
meningkatkan nilai tambah terkait dengan peran pendidikan pada lingkup sekolah
maupun masyarakat. Nilai tambah pendidikan terhadap generasi muda maupun
masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung dengan laut berupa peningkatan
8
diharapkan dapat diwujudkan melalui salah satu bidang kajian pendidikan yaitu
pendidikan sains dalam berbagai aspek pembelajarannya.
Pendidikan sains (kimia) yang telah dilangsungkan dan berlangsung saat
ini cenderung menekankan penguasaan materi sains bagi siswa sekolah menengah
(Depdiknas, 2007a). Siswa merasa kesulitan menguasai hukum maupun
konsep-konsep penting saat mengikuti pembelajaran dan bertanggapan negatif terhadap
kimia maupun pembelajaranya (Jong, 2000). Meskipun diberikan keleluasaan
bagi guru untuk menyusun muatan materi pembelajaran sains yang dapat
menggali dan memanfaatkan potensi daerah namun terbentur pada keterbatasan
kemampuan guru untuk melakukannya. Guru sains terjebak pada penyajian materi
sains yang terlepas dari pengalaman, latar belakang, kebutuhan kehidupan
keseharian, serta mengabaikan kebutuhan siswa bila kelak menjadi anggota
masyarakat.
Pembelajaran sains di sekolah yang dilangsungkan saat ini berlandaskan
pada pengembangan sains Barat. Pembelajaran sains yang merupakan hasil
pengembangan budaya barat menempatkan siswa yang berasal dari budaya
non-barat pada batas wilayah budaya dengan cara pandang berbeda. Hal ini menuntut
siswa untuk dapat melintasi batas budaya “border crossing” agar dapat menerima
sains barat sebagai cara pandang dunia siswa di sekolah. Upaya melintasi batas
budaya ini menyulitkan bagi siswa dalam belajar sains (Jegede & Aikenhead,
1999). Pembelajaran tersebut terlepas dari konteks lingkungan budaya keseharian
9
bagi siswa dalam hidup bermasyarakat, kelak dapat menghasilkan
generasi-generasi pembentuk masyarakat yang mengabaikan lingkungan hidupnya.
Pendidikan sains yang bermuatan budaya agraris penting bagi siswa di
wilayah masayarakat berbudaya agraris, demikian juga bagi siswa yang berasal
dari masyarakat berbudaya bahari daerah pesisir, sains berbasis budaya bahari
akan lebih bermakna serta bermanfaat bila kelak ia berkecimpung di masyarakat.
Pernyataan tersebut sejalan dengan penyeimbangan pendekatan budaya,
sebagaimana pendapat Cobern dan Aikenhead (1996) yaitu suatu subkultur sains
modern (Barat) yang diajarkan di sekolah secara terintegrasi dengan subkultur
kehidupan keseharian siswa berakibat pada pengajaran sains memiliki
kecenderungan memperkuat pandangan siswa tentang alam lingkungan hidupnya
sebagai suatu pembudayaan (enculturation). Pendidikan sains yang berbasis
budaya bahari bagi sebagian besar siswa yang berada dan berasal dari masyarakat
Indonesia di wilayah pesisir amat penting untuk dikembangkan.
Pendidikan sains bagi siswa yang berasal dari masyarakat nelayan pesisir,
dapat diisi dengan pengetahuan kemaritiman terutama dalam mengelola
sumberdaya kelautan yaitu bidang kajian biologi, kimia, fisika maupun geografi.
Ilmu kimia beserta ilmu sains lainnya dapat dilaksanakan dalam bentuk program
pembelajaran yang mengupayakan siswa untuk dapat berpikir sains, menguasai
konsep kimia (Beer & Whitlock, 2009; Elkins et al, 2009; Riggs et al., 2007;
Nuangchalerm, 2007). Pembelajaran kimia bagi siswa di wilayah pesisir,
khususnya untuk masyarakat terasing hendaknya juga dapat berperan dalam
10
cara-cara tradisional pada masyarakat dengan pengetahuan serta keterampilan
pengolahannya sehingga dapat menghasilkan produk yang bersaing serta dijual
untuk menambah penghasilan, pada akhirnya aktivitas perikanan secara
sosial-ekonomi bagi nelayan dan memiliki keuntungan yang semakin berkembang
(Vermonden, 2006). Pendidikan sains, khususnya ilmu kimia di sekolah harus
dapat menjawab tantangan pengembangan sumberdaya manusia masyarakat
pesisir tersebut.
Peran pendidikan sains di sekolah memiliki posisi strategis dalam
peningkatan sumberdaya manusia wilayah pesisir. Masyarakat Indonesia yang
sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, menjadi alasan
kuat untuk mengembangkan program pembelajaran yang bermuatan pembekalan
keterampilan berpikir, bertindak maupun bersikap bagi siswa di tingkat satuan
pendidikan dasar hingga pendidikan menengah. Salah satu kemampuan berpikir
yang diperlukan tersebut dapat dicapai melalui keterampilan generik kimia. Oleh
karena itu, keterampilan generik kimia perlu dibekalkan bagi siswa. Keterampilan
generik kimia dapat digunakan untuk memahami konsep, fenomena kimia, dan
dapat dikembangkan dalam pembelajaran kimia.
Keterampilan generik memiliki karakteristik yang membedakan dan
menyerupai kelompok keterampilan terkait, namun memenuhi kebutuhan dan
tantangan yang meningkat di tempat kerja pada waktu yang berbeda sebagai
kemajuan perubahan teknologi, sosial, dan perubahan konteks (Salganik dan
Stephens, 2003). Tujuan generic skill adalah agar pengetahuan dan keterampilan
11
sosial, teknologi atau pada setiap perubahan konteks, namun yang lebih utama
adalah menghasilkan efisiensi yang lebih besar melalui pengetahuan dan
penggunaan keterampilan yang lebih efektif (Down, 2000; Hills, 2004).
Keterampilan generik juga diartikan sebagai keterampilan dasar yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran tertentu. Pengembangan keterampilan generik
pada materi pembelajaran sains (kimia) akan menghasilkan keterampilan generik
kimia tertentu sesuai karakteristik materi pembelajaran kimia.
Pengembangan keterampilan generik sains siswa dapat dilakukan melalui
pembelajaran muatan lokal kimia yang berbasis budaya. Pembelajaran ini jauh
lebih baik dibanding hanya dengan proses pembelajaran konvensional melalui
ceramah dan tanya jawab. Keterampilan generik sains siswa yang berkembang
memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep sains. Keterampilan generik
sains yang dapat dikembangkan juga tergantung pada disiplin ilmu yang diberikan
melalui penerapan proses pembelajaranya. Pembelajaran fisika dan kimia lebih
mengembangkan keterampilan generik sains dibanding pembelajaran biologi
(Liliasari, 2009).
Sains, tanpa terkecuali kimia terutama dalam proses pembelajaran kimia
yang sarat dengan kegiatan menggunakan kemampuan berpikir dapat
mengupayakan pembiasaan menerapkan keterampilan generik kimia.
Pembelajaran kimia dapat digunakan sebagai wahana meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia (SDM) Indonesia, terutama dalam membangun keterampilan
berpikirnya. Pembentukan keterampilan berpikir siswa melalui pelaksanaan
12
sangat menentukan dalam membangun kepribadian dan pola tindakan dalam
kehidupan setiap manusia Indonesia, oleh sebab itu pembelajaran sains tanpa
terkecuali pembelajaran kimia perlu diberdayakan (Liliasari, 2005).
Program Muatan Lokal (Mulok) salah satu alternatif yang dapat digunakan
karena pelajaran muatan lokal bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan berpikir dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki
wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat
sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung
kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Program Mulok,
secara khusus bertujuan mengupayakan siswa agar: mengenal dan menjadi lebih
akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya; memiliki bekal
kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang
berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya; memiliki
sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di
daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya
setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional; menyadari lingkungan
dan masalah-masalah yang ada di masyarakat serta dapat membantu mencari
pemecahannya (Depdiknas, 2006).
Pembelajaran sains di sekolah yang berlandaskan pada praktek budaya
sangat disarankan dan dapat lebih membelajarkan siswa melalui suatu pendekatan
konsep dalam kerangka konteks sistem holistik seperti bidang kajian ilmu
13
berbagai kajian ilmu lainnya telah diketahui kemanfaatannya berdasarkan hasil
[image:16.595.113.514.183.688.2]studi seperti diperlihatkan pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya
Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti 2002 Interpretasi dampak aktivitas
budaya dan tradisi pada belajar dan mengajar sains, melintasi batas budaya dalam belajar sains dan pembelajaran kolateral siswa sekolah dasar di Jepang
Bahasa dan informasi dalam buku teks secara kultural sangat
berorientasi budaya barat, demikian juga suasana kelas dan sumber belajar mengajar tidak cukup banyak memuat mainan dan permainan tradisi Jepang.
Pembelajaran sains mengakibatkan siswa termasuk pada kelompok sebagai petualang berbahaya “hazardously adventurous” dan siswa “managed” saat belajar sains barat modern dan pengetahuan asli yang diparalelkan (Omoifo & Ogawa).
2002 Pengungkapan pandangan siswa sekolah menengah di Jepang dan Nigeria terhadap manfaat dan pentingnya sains, serta pola transisi antar budaya “sains barat dan sains asli” selama belajar sains
Pandangan siswa tentang
pentingnya sains untuk karir masa depan bervariasi antara siswa di kedua negara. Sulit mengklasifikasi siswa dalam hal pola sebagai saintis masa depan dan transisinya. Latar belakang pandangan siswa
berpengaruh penting pada belajar sains dan kemampuan melintasi batas budaya dalam belajar sains. Sebagian besar siswa dekat dengan karateristik siswa sebagai ”Other
Smart Kids dan ”I Don’t Know”
(Ogawa & Omoifo). 2006 Pengembangan pola dasar
integrasi pengetahuan tradisi orang asli Hawai dengan pendidikan sains kebumian
Program pembelajaran “Kaha Ki’i
‘Aina” yang mengintegrasikan sains
14
Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya (lanjutan)
Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti 2007 Pengembangan program intensif
yang menyiapkan potensi siswa sekolah menengah pedesaan di Alaska dalam menghadapi tantangan sosial dan akademik saat melanjutkan ke perguruan tinggi bidang sains kebumian
Program intensif RAHI “Rural
Alaska Honours Institte” efektif
menyiapkan potensi siswa sekolah menengah pedesaan di Alaska dalam bidang sains kebumian (Hanks et al.).
2007 Pengembangan model pembelajaran sains asli
Model LADDA (Learning,
Analyzing, Deciding, Doing, and Application) dalam pembelajaran
sains yang dapat mengupayakan siswa meningkatkan: kemampuan, sikap terhadap keselarasan sains-budaya, sikap terhadap pelestarian lingkungan melalui integrasi pembelajaran sains dengan budaya lokal (Nuangchalerm).
2007 Penerapan model program mentor siswa yang melibatkan masyarakat asli dan ahli geosains
Program mentor siswa yang
melibatkan masyarakat asli dan ahli geosains dapat meningkatkan gain pemahaman sains dan tanggapan serta sudut pandang yang positif (Riggs et al.).
2008 Pengungkapan integrasi sains asli pada kurikulum sains sekolah menengah di Malawi
Guru menghadapi berbagai tantangan disain kurikulum, latar belakang akadmik sains,
pengeteahuan pedagogi, dan landasan budaya. Hasil
pembelajaran dipengaruhi secara negatif oleh disain kurikulum, pengetahuan guru sains yang minim, dan pandangan negatif terhadap beberapa pengetahuan asli (Phiri).
2008 Peningkatan penguasaan konsep sains melalui pogram ”Field trip
GeoJourney” yang memadukan
disiplin studi budaya asli Amerika dan studi lingkungan pada pembelajaran geologi untuk siswa tingkat awal di perguruan tinggi.
Program ”GeoJourney” dapat meningkakan penguasaan konsep geosains oleh siswa secara
signifikan dalam kerangka konteks kelas geosains tradisional (Elkins et
15
Tabel 1.1 Hasil penelitian pendidikan sains yang berkaitan dengan budaya (lanjutan)
Tahun Fokus Penelitian Hasil dan Peneliti 2009 Pendidikan geografi yang
fokus pada pengalaman sehari-hari masyarakat yang sesuai dengan integrasi pengetahuan asli dan teknologi
Integrasi materi dan metode secara pedagogi penting untuk meningkatkan ketertanggapan sosial,
kewarganegaraan, patriotisme, dan relevansi sosial di antara tujuan utama pembelajaran geografi (Kagoda).
2009 Strategi pembelajaran biologi yang
mengintegrasikan
pengetahuan asli dan sains barat di kelas
Siswa memberi tanggapan yang sangat positif terhadap pendekatan
pembelajaran, terinspirasi untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi pada studi etnobotani, meningkatkan hasil belajar secara efektif, dan pendekatan pembelajaran menyenangkan bagi siswa (Beer & Whitlock).
2009 Disain program yang dapat meningkatkan jumlah siswa asli Amerika dalam
memasuki disiplin ilmu geosains
Disain pembelajaran utama
mengintegrasikan proses alamiah bumi, pengalaman penting siswa melalui eksplorasi studi kasus yang
menggambarkan keterkaitan antara pengetahuan asli dan proses bumi, dan menunjukkan proses praktis sains. Pendekatan disain pembelajaran sangat bermanfaat memberikan informasi bagi siswa, integrasi geosains dan budaya asli berhasil dengan baik (Palmer, et al.).
Ilmu kimia sebagai kajian sains merupakan suatu sistem pengetahuan yang
mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa berpikir dan mengemukakan hasil
pikirannya sesuai dengan praktek budaya asal keseharianya (Aikenhead, 2005).
Pembelajaran ilmu kimia di sekolah harus mempertimbangkan aspek latar
belakang budaya siswa. Pembelajaran sains (kimia) di sekolah yang
16
dalam pembudayaan sains bagi siswa. Pendekatan lintas budaya ini dapat
dilakukan dengan cara menyelaraskan sains barat dan sains asli (Stanley &
Brickhouse, 2001).
Program dan proses pembelajaran kimia yang berlangsung saat ini pada
tingkat pendidikan dasar maupun menengah belum memanfaatkan aspek tradisi
budaya setempat dalam bentuk pembelajaran muatan lokal. Penggalian sains asli
pada masyarakat Orang Laut yang dapat digunakan untuk mengembangkan
program Mulok kimia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dipandang penting
untuk dilakukan. Pengembangan program diupayakan untuk meningkatkan
sumberdaya manusia Indonesia dan pewarisan budaya dan pelestarian sumberdaya
wilayah pesisir. Pengungkapan muatan sains asli di masyarakat Orang Laut,
selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman pengembangan program
pembelajaran sains di sekolah khusunya pembelajaran Mulok kimia yang dapat
meningkatkan penguasaan konsep, pengetahuan budaya, keterampilan generik
kimia, menumbuhkan sikap peduli lingkungan, maupun sikap positif siswa SMP
terhadap pembelajaran kimia.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan penting yang perlu dikaji berdasarkan latar belakang
masalah di atas adalah: ”Bagaimana program muatan lokal kimia berbasis budaya
Orang Laut (MKBO) yang dapat meningkatkan penguasaan konsep, aspek
17
kepedulian siswa SMP terhadap lingkungan ?”. Permasalahan penelitian diuraikan
dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana keterkaitan aspek budaya Orang Laut dengan ilmu kimia?
2. Bagaimana peningkatan pemahaman konsep siswa SMP melalui proses
pembelajaran MKBO?
3. Bagaimana peningkatan pengetahuan budaya Orang Laut oleh siswa SMP
melalui proses pembelajaran MKBO?
4. Bagaimana peningkatan keterampilan generik sains siswa SMP melalui proses
pembelajaran MKBO?
5. Bagaimana sikap siswa setelah pembelajaran, tanggapan siswa dan guru
terhadap MKBO yang dikembangkan?
6. Apa karakteristik program MKBO?
7. Apa keunggulan dan keterbatasan program MKBO?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang pegembangan program muatan lokal kimia yang
bermuatan sains asli (Indigenous Science) Orang Laut bertujuan:
1. Mengungkapkan tradisi Orang Laut yang bermuatan kimia dan dapat
digunakan sebagai isi materi pembelajaran kimia di SMP.
2. Mengembangkan program MKBO yang tepat bagi siswa SMP dan dapat
meningkatkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep, dan
pemahaman budaya, serta penumbuhan sikap peduli lingkungan bagi siswa.
18
4. Meningkatkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep, dan
pengetahuan budaya, serta penumbuhan sikap peduli lingkungan siswa SMP.
5. Mengungkap karekteristik, kelebihan, dan kelemahan program MKBO hasil
pengembangan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk:
1. Pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat wilayah pesisir khususnya budaya
bahari Orang Laut.
2. Masukan bagi guru kimia dalam pelaksanaan proses pembelajaran kimia di
sekolah khususnya di SMP.
3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik pembelajaran kimia
dalam penyusunan kurikulum, perancangan model pembelajaran yang berbasis
pada potensi budaya Orang Laut.
E. Definisi Operasional
Penelitian pengembangan program muatan lokal kimia berbasis budaya
Orang Laut (MKBO) ini menggunakan definisi operasional sebagai berikut:
1. Program muatan lokal kimia berbais budaya Orang Laut (MKBO) merupakan
serangkaian kegiatan pembelajaran kimia bagi siswa SMP untuk
mengembangkan keterampilan generik sains, penguasaan konsep,
pengetahuan budaya Orang Laut, dan penumbuhan sikap peduli lingkungan
19
dengan keunggulan budaya bahari Orang Laut, dengan isi materi kimia yang
merupakan muatan tradisi Orang Laut. Program MKBO terdiri dari deskripsi
program yang memuat rasional, deskripsi muatan lokal kimia, tujuan, Standar
Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan perangkat pembelajaran
berupa silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja
Siswa (LKS), dan instrumen evaluasi dalam bentuk tes dan non-tes.
2. Keterampilan generik sains adalah keterampilan dasar dalam bidang sains
(kimia) yang dapat diaplikasikan atau diadaptasikan pada situasi yang baru
dan berbeda, berupa keterampilan dalam hal pengamatan langsung dan tak
langsung, kesadaran tentang skala besaran, bahasa simbolik, kerangka logis,
inferensi logika, hukum sebab akibat, pemodelan matematik, dan membangun
konsep.
3. Penguasaan konsep adalah kemampuan memahami sebagian atau keseluruhan
atribut-atribut atau karakteristik umum yang terkait dengan objek, peristiwa,
atau ide-ide yang dikelompokkan berdasarkan tipe, jenis, atau kategori serta
kepastian karakteristik berdasarkan contoh dan bukan contoh tentang
perubahan materi; komposisi materi; partikel materi; sifat materi; lambang
unsur dan senyawa; campuran dan larutan; dan pemisahan campuran.
4. Pengetahuan budaya adalah pengetahuan tentang beberapa fakta pada tradisi
budaya Orang Laut yang berkaitan dengan mencari nafkah dan mengolah hasil
laut, pengobatan tradisional, pantang larang, pandangan terhadap lingkungan.
5. Sikap kepedulian terhadap lingkungan merupakan suatu sikap yang
20
terhadap kerusakan lingkungan, serta perhatian dan penghargaan terhadap
lingkungan, khususnya lingkungan pesisir.
F. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri atas lima bab disertai daftar pustaka dan lampiran.
Pendahuluan dalam BAB I menguraikan tentang latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional,
hingga sistematika penulisan ini. BAB II memuat uraian tentang budaya Orang
Laut, sains, dan pembelajaran kimia. Sains dan kimia sebagai subbudaya, sains
asli Orang Laut, peran pembelajaran berbasis budaya dalam upaya pencapaian
tujuan pembelajaran sains, program muatan lokal kimia dan tujuan
pembelajarannya merupakan subab yang termuat dalam BAB II. Metodologi
penelitian yang termuat dalam BAB III terdiri atas uraian subab tentang
paradigma penelitian, prosedur penelitian, sasaran dan subjek penelitian, serta
data dan teknik pengolahan data. Hasil penelitian dan pembahasan pada BAB IV
mengurai tentang hasil studi pendahuluan dan pengembangan program muatan
lokal kimia. BAB V memuat kesimpulan yang diperoleh dalam menjawab
pertanyaan penelitian, saran-saran yang diberikan agar program muatan lokal
kimia hasil pengembangan dapat lebih baik saat diimplementasikan serta
rekomendasi yang penting bagi berbagai pihak terkait dengan penerapan program
BAB V
KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Peningkatan kualitas proses pembelajaran kimia di SMP telah dilakukan
melalui pengembangan program muatan lokal kimia berbasis budaya Orang Laut
(MKBO). Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan analisis data hasil
penelitian, temuan, dan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Tradisi budaya Orang Laut memiliki muatan kimia dalam aspek konten dan
konteks terkait pandangan tentang lingkungan kehidupan di laut, sistem tabu
“pantang larang” yang berlaku di masyarakat, kegiatan mencari nafkah di laut
dan pengolahan hasil laut, serta cara-cara pengobatan tradisional.
2. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan penguasaan
konsep siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran MKBO
dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa pada setiap kategori meskipun
masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori sekolah.
Penguasaan konsep dengan rata-rata %N-gain yang diperoleh siswa pada
pembelajaran MKBO, tertinggi pada konsep sifat materi (44) dan terendah
pada konsep partikel materi (26).
3. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan pengetahuan
budaya siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran MKBO
dapat meningkatkan pengetahuan budaya siswa pada setiap kategori meskipun
masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori sekolah.
158
Penguasaan pengetahuan budaya dengan rata-rata %N-gain yang diperoleh
siswa pada pembelajaran MKBO, tertinggi pada aspek pengobatan tradisional
(47) dan terendah pada aspek pengolahan hasil laut (32).
4. Program pembelajaran MKBO sangat efektif meningkatkan keterampilan
generik sains siswa dibanding pembelajaran konvensional. Pembelajaran
MKBO dapat meningkatkan keterampilan generik sains siswa pada setiap
kategori meskipun masih menunjukkan pemeringkatan sesuai dengan kategori
sekolah. Penguasaan keterampilan generik sains dengan rata-rata %N-gain
yang diperoleh siswa pada pembelajaran MKBO, tertinggi pada keterampilan
bahasa simbolik (43) dan terendah pada keterampilan pengamatan langsung
dan tak langsung (36).
5. Pembelajaran MKBO dapat menumbuhkan sikap positif terhadap kimia dan
sikap kepedulian terhadap lingkungan. Siswa merasa senang, mudah
memahami, terpacu minat belajarnya dalam mengikuti proses pembelajaran
MKBO karena terkait dengan pengalaman keseharian. Guru memberikan
tanggapan positif terhadap proses pembelajaran MKBO karena mengaitkan
budaya, menarik, memudahkan guru dalam menyajikan materi, mudah
mengarahkan siswa, dan terkait dengan kegiatan keseharian guru.
6. Karakteristik program MKBO adalah: a) berpusat pada siswa “student
centered” dengan berbagai latar belakang kemampuan; b) menciptakan
interaksi awal dua konflik skemata melalui upaya pengungkapan konsep awal
siswa yang berkaitan dengan budaya; c) menghadapkan fenomena budaya,
159
pengetahuan baru; d) beraktifitas fisik secara langsung “hands-on” dan
berpikir secara langsung “minds -on”; e) mengajukan fenomena budaya untuk
memfasilitasi konflik skemata melalui proses pembelajaran kolateral simultan;
f) pemantapan pembentukan struktur pengetahuan baru dan penumbuhan sikap
siswa.
7. Program MKBO memiliki keunggulan: a) menyenangkan bagi siswa sehingga
dapat membangkitkan dan meningkatkan minat serta motivasi belajar
sehingga terbentuk proses belajar kolateral simultan, b) isi dan muatan materi
mengaitkan kehidupan sehari-hari masyarakat wilayah pesisir dan terkait
dengan kegiatan keseharian siswa, c) praktikum yang dilakukan
mengupayakan peningkatan keterampilan berpikir, d) mempertimbangkan
kemampuan awal siswa terkait latar belakang budaya keseharian masyarakat
pesisir, e) dapat diterapkan untuk siswa pada berbagai kategori sekolah, e)
tugas-tugas yang diberikan tidak membebani siswa, f) alat dan bahan
percobaan mudah diupayakan guru. Keterbatasan program MKBO yang
dikembangkan adalah: kurang tepat diimplementasikan pada siswa pendatang
yang budaya kesehariannya belum mengenal lingkungan pesisir dan proses
pembelajaran dengan praktikum membutuhkan lebih banyak waktu dalam
persiapannya.
B. Saran-saran
Saran-saran yang diajukan untuk memperbaiki keterbatasan yang ditemui
160
1. Pelatihan guru sebelum implementasi program hendaknya diupayakan agar
benar-benar menguasai pengetahuan aspek budaya dan konten materi kimia
yang termuat.
2. Program MKBO perlu dipertimbangkan untuk dimanfaatkan dalam upaya
menaikkan peringkat sekolah
3. Pelaksanaan program MKBO harus menerapkan disiplin waktu yang ketat
hingga tidak menganggu proses pembelajaran pada mata pelajaran lainnya.
4. Pemahaman awal siswa tentang budaya berperan penting dan terkait dengan
keberhasilan penguasaan konsep. Pemilihan konteks budaya Orang Laut
penting untuk dipertimbangkan pada pembelajaran sains di daerah pesisir.
C. Rekomendasi
Hasil-hasil penelitian tentang pengembangan dan implementasi program
MKBO pada proses pembelajaran kimia dapat diformulasikan dan menjadi
beberapa rekomendasi. Rekomendasi diajukan untuk berbagai pihak yang terkait
dengan pembelajaran kimia dan peneliti selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran MKBO hendaknya diterapkan di sekolah sebagai suatu upaya
pelestarian kearifan lokal budaya masyarakat pesisir dan menanamkan sikap
peduli lingkungan serta menumbuhkan sikap positif siswa terhadap sains.
2. Pembelajaran kimia melalui implementasi program MKBO hendaknya
dimanfaatkan oleh guru dalam mengupayakan penguasaan konsep,
161
3. Guru hendaknya menggunakan strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran
yang telah dikembangkan dalam program MKBO, sehingga memungkinkan
munculnya aktivitas belajar kolateral simultan oleh siswa melalui pelaksanaan
kegiatan eksperimen, diskusi, dan peyelesaian masalah yang diajukandalam
penyajian materi kimia di SMP.
4. Tahapan pengembangan program MKBO hendaknya digunakan sebagai
model pengembangan program pembelajaran sains terutama pembelajaran
kimia yang berbasis budaya lokal dalam upaya penguasaan konsep,
peningkatan pengetahuan budaya, dan peningkatan KGS serta pelestarian
kearifan lokal budaya masyarakat pesisir dan menanamkan sikap peduli
lingkungan serta menumbuhkan sikap positif siswa terhadap sains.
5. Penggalian tradisi budaya Orang Laut yang bermuatan kimia, perancangan
program pembelajaran, hingga implementasi program dapat mengungkap
konsep pengawetan ikan dengan asap dan merangkai suatu alat sederhana
pembuatan asap cair. Asap cair sangat bermanfaat sebagai pengganti formalin
yang digunakan untuk zat pengawet hasil laut atau bahan makanan lain yang
dapat membahayakan kesehatan. Perangkaian alat pirolisis dalam pembuatan
asap cair telah diuji coba dalam penelitian. Metode perangkaian alat pirolisis
ini hendaknya digunakan sebagai bahan pengembangan pendidikan atau
pelatihan keterampilan kecakapan hidup “Life Skills” bagi siswa SMP seiring
dengan penguasaan konsep kimia.
6. Riset lanjutan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain
162
keseharian ke budaya sains, b) efetivitas penerapan program muatan lokal
kimia berbasis budaya Orang Laut pada materi pokok lain ataupun satuan
pendidikan lainnya, c) pengembangan muatan materi pelajaran kimia berbasis
163
DAFTAR PUSTAKA
Adesoji, A.F & Ibraheem, L.T. (2009). Effects of Student Teams-Achievement Divisions Strategy And Mathematics Knowlegde on Learning Outcomes in Chemical Kinetics. The Journal of International Social Research. Vol. 2(6). pp-15-25.
Agboghoromai, E.T. (2009). Interaction Effects of Instructional Mode and School Setting on Students’ Knowledge of Integrated Science. International
Journal of Scientific Research in Education. Vol. 2(2). pp. 67-75.
Aikenhead, G. S. (2005). Cultural Influences on the Dicipline of Chemistry. Saskatoon: University of Saskatchewan.
Aikenhead, G. S. (2001). Students’ Ease in Crossing Cultural Borders into School Science. Science Education. Vol. 85. pp 180-188.
Aikenhead, G.S & Jegede, O.J. (1999). Cross-Cultural Science Education: A Cognitive Explanation of a Cultural Phenomenon. Journal of Researh in
Science Teaching. Vol. 36(3). pp 269-287.
Aminrad, Z., Azizi, M., Wahab, M., Huron, R., Nawawi, M. (2010).
Environmental Awareness and Attitude among Iranian Students in
Malaysian Universities.Environment Asia. Vol. 3. pp 1-10.
Ali, M. (2007). Filsafat Pendidikan. Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana, D., Rasjidin, W (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press (halaman 1-32).
Anderson, W. L & Krathwohl, R. D. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching
and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives.
New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Arybowo, S. (2007). Kehidupan Anak Negeri: Tradisi Orang Laut di Riau Lingga. [on-line]. Tersedia. http://www.kompas.co.id. (24 Nopember 2007).
Baker, D. (1995). The Effect of Culture on Learning of Science in non-Western Countries: The Results of a Integrated Research Review. International
Journal Science Education. Vol. 17(6).
164
Basuki, A & Zen, M. (2008). Identifikasi Pengetahuan Asli Masyarakat Orang Suku Laut untuk Pembelajaran Kimia.Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia. FMIPA UNS-UNDIP-UNNES. Surakarta.
Beer, D. J & Whitlock, E. (2009). Indigenous Knowledge in the Life Science Classroom: Put on Your de Bono Hats!. The American Biology Teacher. Vol. 71(4). pp.209-216.
Bellwood, P; Fox, J.J; Tryon, D (Eds). (2006). The Austronesians: Historical and
Comparative Perspectives. Canberra: The Australian National University
Press.
Biehler, F.R. & Snowman J. (1990). Psychology Applied to Teaching (Sixth
edition). Boston: Houghton Mifflin Company.
Boyd, J. (1994). Understanding the Primary Curriculum. London: Hutchinson & Co. Ltd.
Brotosiswoyo, B.S, (2000). Kiat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Buntod, C.P., Suksringam, P., Singseevo, A. (2010). Effects of Learning
Environmental Education on Science Process Skills and Critical Thinking of Mathayomsuksa 3 Students with Different Learning Achievements. Journal
of Social Sciences. Vol. 6(1). pp 60-63.
Canning, R. D & Cox, R. J. (2001). Teaching The Structural Nature of Biological Molecules: Molecular Visualization In Theclassroom And In The Hands of Students. Journal Chemistry Education Research and Practice.
Vol.2(2).p.109-122.
Carpecken, P. F. (1996). Critical Ethnography in Educational Researh. A
Theoretical and Practical Guide. New York: Routldge.
Cobern, W. W & Aikenhead, G. S. (1996). Cultural Aspect of Learning Science. SLCSP Working paper#121. Tersedia. [on-line]
http://www.wmich.edu/slcsp/121.htm (11 Februari 2007).
Cokelez, A & Dumon, A. (2005). Atom and molecule: upper secondary school French students’ representations in long-term memory. Journal Chemistry
Education Research and Practice. Vol.6(3).p.119-179.
Cooper, N.R. (1997). Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya bagi Ekonomi
165
Cornford, I. R. (2002). Two Models for Promoting Transfer: A Comparison and Critical Analysis. Journal of Vocational Education and Training. Vol. 21: pp. 357-368
Cornford, I. R. (2005). Challenging Current Policies and Policy Makers’ Thinking on Generic Skills. Journal of Vocational Education and Training. Vol. 30: pp. 257-267.
Cox, B.D, (1997). The Rediscovery of the Active Learner in Adaptive Contexts: A Developmental-Historical Analysis Of The Transfer Of Training.
Educational Psychologist. Vol. 32: pp. 41-55.
Cynthia, C. (1997). Contesting the Tenure of Territoriality The Orang Suku Laut.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition. Vol.153
(4). pp. 605-629.
Dahuri, R., J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. (1996). Pengelolaan Sumberda
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Depdikbud. (1997). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. (2006). Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal. Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).
Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik: Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran IPA. Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).
Depdiknas. (2007b). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Novindo Pustaka
Mandiri.
De Jong,O, dan Van Driel, (2005). Teachers’. Exploring The Development of Student PCK of The Multiple Meanings of Chemistry Topics. International
Journal of Science and Mathematics Education. Vol. 2: pp 477–491.
D. Dimitriadou D., Zotos A., Petridis D., Taylor, A.K.D. (2008).Improvement in the Production of Smoked Trout Fillets (Salmo Gairdnerii) Steamed with Liquid Smoke. Food Science and Technology International; Vol. 14; pp. 67-77.
Dobbert, M. L. (1982). Ethnographic research: Theory and Application for
Modern School and Societies. New York: Praeger Publishers.
Down, C, (2000). Key Competencies in Training Packages, in Conference
166
Ehrenberg, D.S. (1981). Concept Learning: How To Make It Happen In The Calssroom. Educational Leadership. Vol. 39(1). pp 36-43.
Engelhardt, P. V and Beichner, R. J. (2004). “Students’ Understanding of Direct Current Resistive Electrical Circuit”. American Journal Physics. Vol. 72, (1), 98-15.
Elkins, J., Elkins, M.L.N., Hemmings, N.J.S. (2008). GeoJourney: A Field-Based Interdiciplinary Approach to Teaching Geology, Native American Culture, and Environmental Studies. Journal of College Science Teaching. Vol. 37(3). Pp. 18-28.
Evawarni & Galba, S. (2005). Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di
Kepulauan Riau. Jakarta: Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata.
Ezeife, N.A. (2003). The Pervading Influence of Cultural Border Crossing and Collateral Learning on the Learner of Science and Mathematics. Canadian
Journal of Native Education. Vol. 27(2). pp 179-194.
Gall D.M., Gall P.J., Borg R.W. (2003). Educational Research: An Introduction. Boston: Allyn and Bacon.
Gibson, A.B & Puniwai, N. (2006). Developing an Archetype for Integrating Native Hawaiian Traditional Knowledge with Earth System Science Education. Journal of Geoscince Education. Vol.54. No.3. pp 287-294.
Goatz, J. P & LaComte, M. D. (1984). Ethnography and Qualitative Design in
Educational Research. Orlando Florida: Academic Press. Inc.
Goldberg, E.D. (2005). Theory and Problems of Beginning Chemistry. New York: McGraw-Hill Company.
Gredler, E.M. (1992). Learning and Instruction: Theory into Practice (Second
edition). New York: Macmillan Publishing Company.
Guba, E.G. (1978). Menuju Metodologi Inkuiri Naturalistik dalam Evaluasi
Pendidikan. Terjemahan Sultan Santi Arbi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. Tersedia. [online].
http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=aera-d&P=R6855.[22 April 2008].
167
Haskell, R. E, (2001). Transfer of Learning. San Diego: Academic Press
Haviland, A.W. (1988). Anthropology. Alih bahasa oleh R. G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga.
Heckler, A. F. (2004). Measuring Student Learning by Pre and Post testing: absolute gain vs nornalized gain. American Journal of Physics. Vol. 72. pp 742-761.
Heddy Shri, A.P. (1985). Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan.
Masyarakat Indonesia. Tahun ke-XII. No.2.
Hickey, R. F. (2006). Traditional Marine Resources Management in Vanuatu: Acknowledging, supporting, and strengthening indigenous management system. SPC Traditional Marine Resources Management and Knowledge
Information Bulletin. Vol 20. pp.11-23.
Hills, G, (2004). In from The Cold – The Rise of Vocational Education, RSA
Journal, pp 22-25.
Hunter, C., Mccsoh, R., Wilkins, H. (2003). Integrating Learning and Assessment in Laboratory Work. Journal Chemistry Education Research and Practice. Vol.4(1).p.67-75.
Hwang, P., Noguchi T., Hwang, D. (2007). Paralytic shellfish poison as an attractant for toxic snails. Fisheries Science. No.73 p.202-207.
Jaya, IK., Darmadji, P., Suhardi. (1997). Penurunan Kandungan Benzo(A)Pyrene Asap Cair Dengan Zeolit Dalam Upaya Meningkatkan Keamanan Pangan.
Prosiding Seminar Teknologi Pangan. Yogyakarta: PPS, UGM.
Jegede, J. O & Aikenhead, S. G. (1999). Transcending Culural Border: Implication for Science Teaching. Journal for Science & Technology
Education. Vol 17 (1). pp 45-66.
Jeronen, E & Kaikkonen, M. (2002). Thoughts of Children and Adults about the Environment and Enviromental Education. International Research in
Geographical and Environmental Education. Vol. 11(4). pp 341-350.
Johnson, B.E. (2002). Contextual Teaching and Learning: what it is and why it’s
here to stay. California: Corwin Press Inc.
Johnson, D. P.(1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: P.T. Gramedia.
Johnstone, H.A & Selepeng D. (2001). A Language Problem Revisited. Journal
168
Jong, de Onno. (2000). Crossing the borders: Chemical education research and teaching practice. University Chemistry Education. Vol. 4(1). Pp.31-34.
Joyce, B., Weil, M., Calhoun, E. (2000). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon.
Julian, C. (2003). Prospects for co-management in Indonesia’s marine protected areas. Marine Policy. Vol. 27. pp. 389–395.
Kagoda, M.A. (2009). Integrating Appropriate Indigenous Knowledge in the Geography Lessons in Secondary Schools of Uganda. Research Journal of
Social Sciences. Vol 1 (3). pp 117-122.
Kajiura S.M & Holland K.M. (2002). Electroreception in juvenile scalloped hammerhead and sandbar sharks. Journal of Experimental Biology.Vol. 205. pp. 3609–3621.
Kammeyer C.W.K., Ritzer G., Yetmen R.N. (1990). Sociology: Experiencing
Changing Societies. Boston: Allyn and Bacon.
Kemeny, G.J. (1959). A Philosopher Looks at Science. New York: D. Van Nostrand Company.
Klemke, D., Hollinger, R., Rudge, W. D., Kline, D. A. (1998). Introductory
Readings in The Philosophy of Science. New York: Prometheus Books.
Klos, L.M. (2006). Using Cultural Identity to Improve Learning. The Educational
Forum. Vol. 70. pp.363-370.
Knight, J. (2002). Science Of Everyday Things: Real-Life Chemistry. Michigan: Gale Group.
Lambert, J. (2005). Students’ Conceptual Understandings of Science After Participating in a Hight School Marine Science Course. Journal of
Geoscience Education. Vol 53 (5). Pp 531-539.
Lampe, M. (2007). Budaya Bahari dalam Konteks Global dan Modern: Kasus komuniti-komuniti Nelayan di Indonesia. [on-line]. Tersedia:
http://www.Melayonline.com. (9 Januari 2008).
Lapian, A.B., (2009). Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut
169
Lee, L. K. (1999). A comparison of university lecturers' and pre-service teachers' understanding of a Chemical Reaction at the Particulate Level. Journal of
Chemical Education. Vol. 76(7): pp. 1008 – 1012.
Lenhart, L. (1994). Orang Suku Laut: Konsep Etnik – Basis Konstruksi dan Identitas Situasional. Dawat Jurnal Kebudayaan. Vol. 1. pp 11-21.
Lenhart, L. (1997). Orang Suku Laut Ethnicity and Acculturation. Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition. Vol. 153(4). Pp
577-604.
Liliasari. (2005). Membangun Keterampilan Berpikir Manusia Indonesia Melalui
Pendidikan Sains. Naskah pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu
Pendidikan IPA. Bandung: UPI.
Liliasari. (2009). The Effect of Interactive Multimedia Function to Enhance Students’ Generic Science Skills. Proceedings The 3rd International Seminar on Science Education. Science Education Program, Graduate School
Indonesia University of Education (IUE). Bandung.
Lumsden, L. (1999). Student Motivation. Cultivating a Love of Learning. Oregon University: ERIC Clearinghouse on Educational Management.
Masel, I.R. (2001). Chemical Kinetics and Catalysis. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Michie, M. (2002). Why indigenous science should be included in the school science curriculum. Australian Science Teachers Journal. Vol. 48(2): pp. 36-40.
McMillan, J,H, & Schumacher, S, (2001), Research in Education: A Conceptual
Introduction (Fiveth ed), New York: Addision Wesley Longman, Inc,
Miles, B. M dan Huberman, M. A. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta: UI-Press.
Minium, W. E., King, M. B., Bear, G. (1993). Statistical Reasoning In Psychology
and Education. New York: John Wiley and Sons Inc.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: Remadja Rosdakarya.
Nasution.(1990). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Alumni.
170
Nontji, A. (1987). Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Nuangchalerm, P. (2007). Development of Indigenous Science Instructional Model. The 1st, International Conference on Educational Reform 2007.
Mahasarakham University. Thailand.
Ogawa, M & Omoifo, C.N. (2002). Students’ Perception and Pattern of Trantition in Science Learning in Two Non-Western Cultures. Paper Presentation at
the Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.
Omoifo, C.N & Ogawa, M. (2002). Cultural Orientations and Science Teaching-Learning Process in Japanese Elementry School. Paper Presentation at the
Annual Meeting of the National Assosiation for Research in Science Teaching (NARST). New Orleans: USA.
Palmer, H.M., Elmore, D. R., Watson, J.M., Kloesel, K., Palmer, K. (2009).
Xoa:dau to Maunkaui: Integrating Indigenous Knowledge into an
Undergraduate Earth Systems Science Course. Journal of Geoscience
Education. Vol. 57 (2). pp 137-144.
Patrick, O.A., Kpangban, E., Chibue, O.O. (2007). Motivation Effects on Test Scores of Senior Secondary School Science Students. Stud. Home Comm. Sci., Vol. 1(1). pp 57-64.
Patton, M. Q. (1882). Qualitative Evaluation Methods. Baverly Hills: Sage Publications.
Phiri, D.K.A. (2008). Exploring the Integration of Indienous Science in the
Primary School Science Curriculum in Malawi. Doctor Dissertation.
Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg Virginia.
Poedjiadi, A. (2005). Pendidkan Sains dan Pembangunan Moral Bangsa. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Quanounou, G., Malo, M., Stinnakre, J., Kreger S.A., and Molgo, J. (2002). Trachynilysin, a Neurosecretory Protein Isolated from Stonefish (Synanceia
trachynis) Venom, Forms Nonselective Pores in the Membrane of
NG108-15 Cells. Journal Of Biological Chemistry. Vol. 277, No. 42, pp. 39119– 39127.
171
Riggs, M.E., Robbins, E., Darner, R. (2007). Sharing the Land: Attracting Native American Students to the Geosciences. Journal of Geoscience Education. Vol 55 (6). pp 478-485.
Rist, S & Dahdouh-Guebas, F. (2006). Ethnosciences – A step towards the integration of scientific and indigenous forms og knowledge in the
management of natural resources for the future. Environment Development
Sustainnable. Vol. 8. pp 467-493.
Ritzer, D & Goodman, J.D. (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Gramedia.
Ruseffendi, E.T. (1998). Statistik Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.
Salganik, L.H dan Stephens, M, (2003). Competence Priorities in Policy and Practice, in D.S. Rychen and L.H. Salganik (Eds) Key Competencies. Gottingen: Hogrefe and Huber.
Saputra, T.S & Setiati, D. (2000). Masyarakat dan Kebudayaan Ameng Sewang. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Saputra, T.S. (1995). Kehidupan Sosial Ekonomi Suku Laut: Kasus Desa Berakit
Kecamatan Bintan Utara. Jakarta: Depdikbud.
Sarantopoulos, P & Tsaparlis, G.(2004). Analogies In Chemistry Teaching As A Means of Attainment of Cognitive and Affective Objectives: A Longitudinal Study In A Naturalistic Setting, Using Analogies With A Strong Social Content. Journal Chemistry Education Research and Practice. Vol.5(1). p.33-50.
Schummer, J. (1998). The Chemical Core of Chemistry I: A Conceptual Approach. HYLE – International Journal for Philosophy Chemistry. Vol.4(2). pp 129-162.
Seddigi, S.Z.,Capretz, F.L., House, D. (2009). A Multicultural Comparison of Engineering Students: Implications to Teaching and Learning. Journal of
Social Sciences. Vol 5(2). pp. 117-122.
Seiger-Ehrenberg, S. (1985). Concept Development. Dalam Costa, L. Arthur. (Penyunting). Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia: ASCD. (hal 161-165).
172
Skrok, K. (2007). Formations of pupils' attitudes and behaviours in chemistry teaching. Journal of Science Education. Vol. 8(2): pp. 107-110.
Snively, G & Corsiglia, J. (2001). Discovering Indigenous Science: Implication for Science Education. Science Education. Vol 85. (1). Pp. 6-34.
Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York: Holt Rinerhart and Winston.
Stanley, W. B & Brickhouse, N. W. (2001). The Multicultural Question Revisited.
Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.
Stephens, S. (2003). Handbook for Culturally Responsive Science Curriculum. Alaska: Alaska Native Knowledge Network. Tersedia [on-line]
www.ankn.uaf.edu. Akses. [29 Mei 2008].
Sumarmo, U. (1988). Menyusun dan Menganalisis Skala Sikap. Makalah Seminar Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP Bandung, Rabu 14
Desember 1988. Tidak dipublikasikan.
Swami, S.R. (2003). Mantras: Words of Power. Mumbai: Jaico Publishing House.
Talbot, M. (2002). Mistisisme & Fisika Baru. (Alih bahasa Agung Prihantoro). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tan, K. S., Goh, K., Chia, L. S, (2006). Bridging the Cognitive-Affective Gap: Teaching Chemistry while Advancing Affective Objectives. The Singapore Curricular Experience. Journal of Chemical Education. Vol. 83(1).
Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. L. (1974). Instructional,
Development for Trainning Teacher of Exceptional Children. Minnesota:
Indiana University.
Tunggal, S.H. (2007). Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Harvarindo.
Varughese, K.V & Fehring, H. (2009). Effects of Students’ Approaches to Learning on Performance in Two Pedagogical Environments. International
Education Studies. Vol. 2(4): pp. 10-14.
Vermonden, D. (2006). Making a living from the sea: fishery activities
development and local perspective on sustainability in Bahari village (Buton islans, Southeast Sulawesi, Indonesia. Environment Development
173
Wilthshire, J.C., Sutherland, K.S., Fenner, J.P., Young, R.A. (2000). Optimzation and preliminary characterization of venom isolated from 3 medically
important jellyfish: the box (Chironex fleckeri), Irukandji (Carukia barnesi), and blubber (Catostylus mosaicus) jellyfish. Wilderness and Enviromental
Medicine. No. 11. pp-241-250.
Wongsri, P & Nuangchalerm, P. (2010). Learning outcomes between Socioscientific Issues-Based Learning and Conventional Learning Activities. Journal of Social Sciences. Vol. 6 (2): pp. 240-243.
Zacot, F (2008). Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang
Antropolog. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Zais, R.S. (1976). Curriculum Principles and Foundation. New York; Harper & Row Publishers.
Zen, M. (2002). Orang Laut. Studi Etnopedagogi. Jakarta: Yayasan Bahari Nusantara.
Zen, M. (1993). Dinamika Pendidikan ”Orang Laut”. Sebagai Suatu Profil
Operasionalisasi Pendidikan Nasional. . Disertasi. PPS IKIP Bandung:
Tidak dipublikasian.