• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG-UNDANG AGRARIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEH DI BANDUNG SELATAN 1870-1929.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UNDANG-UNDANG AGRARIA DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEH DI BANDUNG SELATAN 1870-1929."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR PETA ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ... 1

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

1.5 Definisi Istilah ... 11

1.6 Metode dan Teknik Penelitian ... 14

1.7 Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS ... 19

2.1 Sumber-Sumber Berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah Kolonial Terhadap Perkebunan ... 19

2.2 Sumber-Sumber Berkaitan dengan Undang-Undang Agraria 1870 ... 29

2.3 Sumber-Sumber yang Berkaitan dengan Perkebunan Teh ... 35

2.4 Teori yang Berkaitan dengan Masalah Penelitian ... 38

2.4.1 Teori Ekonomi Dualistis ... 39

2.4.2 Teori Akumulasi Kapital ... 41

2.4.3 Teori Kedaulatan Negara ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

(2)

3.1.1 Metode Penelitian ... 46

3.1.2 Teknik Penelitian ... 50

3.2 Persiapan Penelitian ... 51

3.2.1 Penentuan Tema Penelitian ... 51

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 53

3.2.3 Mengurus Perizinan ... 54

3.2.4 Proses Bimbingan ... 55

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 56

3.3.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 57

3.3.2 Kritik Sumber ... 59

3.3.2.1 Kritik Eksternal ... 60

3.3.2.2 Kritik Internal ... 62

3.3.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi) ... 64

3.4 Laporan Hasil Penelitian ... 66

BAB IV BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG AGRARIA DAN PERKEMBAGAN PERKEBUNAN TEH DI BANDUNG SELATAN TAHUN 1870-1929 ... 69

4.1 Latar Belakang Berlakunya Kebijakan Undang-Undang Agraria 1870 ... 70

4.1.1 Keadaan Hindia Belanda pada Masa Cultuurstelsel ... 70

4.1.2 Keadaan Politik Kerajaan Belanda ... 75

4.2 Undang-Undang Agraria 1870 ... 81

4.2.1 Berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 di Hindia Belanda ... 81

4.3 Masuknya Modal Swasta ke Hindia Belanda ... 92

4.3.1 Kemunculan Perusahaan-Perusahaan Swasta di Hindia Belanda ... 92

4.4 Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan ... 97

4.4.1 Perkebunan-Perkebunan yang Berada di Bandung Selatan ... 111

(3)

Daerah Bandung Selatan ... 118

BAB V KESIMPULAN ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 129

LAMPIRAN

(4)

DAFTAR TABEL

4.1 Nilai Komparatif Ekspor Barang Dagangan Negara

dan Swasta Tahun 1856-1870 ... 78 4.2 Perkiraan Nilai Penanaman Modal Perusahaan

Tahun 1885-1939 ... 91 4.3 Jumlah Perusahaan Teh dan Luas Lahan tahun 1923 ... 93 4.4 Luas Lahan Perkebunan Teh di Bandung Selatan

(5)

DAFTAR PETA

(6)

DAFTAR BAGAN

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Agrarische Wet merupakan undang-undang (dalam bahasa Belanda disebut

„wet‟) yang dibuat oleh kerajaan Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini

berisi mengenai hukum tanah administratif yang diberlakukan kepada Hindia

Belanda. Undang-undang ini merupakan landasan hukum bagi aturan-aturan yang

akan dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dalam kaitan pembagian atas

penguasaan tanah-tanah baik oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun

nonpribumi. “Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum

bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan” (Harsono, 2008: 5).

Berlakunya kebijakan ini, selain sebagai dasar hukum atas kepemilikan

tanah, juga merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah

terutama masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi dilindungi haknya atas

kepemilikan tanah dan dibebaskan dalam penggunaannya. Orang-orang Eropa

tidak bisa dengan leluasa menguasai tanah masyarakat pribumi dengan alasan

apapun. Larangan tersebut berlaku juga bagi pejabat pemerintah kolonial kecuali

dalam hal-hal tertentu, seperti untuk pembangunan sarana atau perluasan kota dan

(8)

dengan Undang-Undang Agraria 1870, yaitu sistem sewa dan jual beli (Muchsin

et al, 2010: 14).

Dengan pengertian tersebut, pada intinya Undang-Undang Agraria 1870

merupakan peraturan dasar bagi liberalisasi ekonomi di jajahan Belanda, dimana

penguasaan tanah tidak sepenuhnya berada ditangan pemerintah kolonial. Berbeda

sekali dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya, seperti

landrent (pajak tanah) dan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang menempatkan

tanah sebagai hak milik pemerintah sepenuhnya.

Undang-Undang Agraria 1870 merupakan awal dari liberalisasi ekonomi

yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan ini merupakan bentuk

perubahan asas ekonomi dari monopoli menjadi ekonomi liberal. Maksud dari

ekonomi liberal sebagaimana yang diungkapkan oleh Deliarnov (2007: 32)

bahwa:

“...menghendaki agar pemerintah sedapat mungkin tidak terlalu banyak campur tangan mengatur perekonomian. Biarkan sajalah perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan pemerintah. Nanti akan ada suatu tangan tak kentara (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut kearah keseimbangan”.

Kekuasaan pemerintah kolonial terhadap perekonomian sedikit demi sedikit

dikurangi dengan pembatasan kekuasaan atas tanah dan berlakunya sewa dan jual

beli tanah. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah kolonial secara bertahap

menyerahkan perekonomian kepada pihak swasta.

Berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 adalah akibat dari

perkembangan paham liberal di Kerajaan Belanda. Berkembangnya liberalisme di

(9)

Liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa pada abad ke 19 dan dianggap sebagai

paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung

tinggi kebebasan. Berkembangnya paham ini dipicu oleh terjadinya Revolusi

Prancis, yang berhasil menggulingkan kekuasaan absolut raja Louis XVI pada

tahun 1789. Keluarnya Undang-Undang Dasar 1791 di Prancis menjadi awal

pengakuan atas kebebasan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan

menulis, kebebasan memeluk agama, kebebasan berpolitik dan kebebasan bekerja.

Poin kebebasan bekerja menjadi tonggak awal dari munculnya gerakan liberalisasi

ekonomi yang diikuti dengan dihapuskannya monopoli perdagangan,

dihormatinya hak milik atas tanah dan kebebasan dalam penggunaannya (Malet

dan Isaac, 1989: 44).

Paham liberal masuk ke Kerajaan Belanda pada awal abad ke 19 dengan

tokohnya yaitu G. K. Van Hogendorp. Masuknya ideologi liberal memberikan

pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan Kerajaan Belanda, baik dalam politik

maupun ekonomi. Namun pada masa ini, liberalisme hanya sedikit memberikan

pengaruh terhadap kebijakan raja William. Kekuasaan besar tetap dipegang oleh

raja William seperti wewenang menyatakan perang dan damai, manajemen

keuangan, kontrol eksklusif atas koloni-koloni dan mentri negara

bertanggungjawab terhadapnya (Furnivall, 2009: 88).

Perubahan berarti yang ditimbulkan oleh paham liberal terjadi pada tahun

1860, dimana menguatnya dominasi kaum Liberal dalam parlemen Belanda.

Kaum Liberal berhasil mengimbangi kaum Konservatif dan berhasil menduduki

(10)

diungkapkan oleh Furnivall (2009: 174) bahwa “Pada tahun 1860 dan 1861

pemimpin Konservatif mengangkat Liberal untuk memimpin Kantor Kolonial”.

Beralihnya kontrol negara kolonial kepada kaum Liberal, memberikan

pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Secara bertahap

mereka melakukan perubahan-perubahan kebijakan menuju liberalisasi ekonomi

di negara-negara jajahannya termasuk Hindia Belanda. Seperti yang diungkapkan

oleh Burger (1962: 207) bahwa “Hal ini berarti pula berobahnja politik kolonial

jang didjalankan antara tahun 1850 dan 1860...”.

Kaum liberal yang mengusung azas kebebasan dalam kebijakannya ingin

menggantikan azas paksaan yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah

kolonial. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Hindia Belanda harus

ditangani oleh pihak swasta. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burger (1962:

204) bahwa, “...pendapat ini pada pokoknya pemerintah harus mendjauhkan diri

dari tjampur tangan dalam kehidupan ekonomi”.

Dalam hal ini kewenangan pemerintah kolonial hanya mengawasi saja,

tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Pemerintah dilarang ikut

campur dalam perekonomian secara langsung, namun wajib menyelenggarakan

fasilitas-fasilitas yang menunjang terhadap kemajuan ekonomi. Senada dengan

pendapat Giersch (1961: 160) bahwa, “Beberapa orang dari mereka beranggapan

bahwa kepada negara lebih banjak diserahkan tugas-tugas selain dari pada hanja

memainkan peranan sebagai seorang pendjaga malam”.

Kemenangan kaum Liberal atas Konservatif dalam parlemen diperoleh

(11)

pengusaha-pengusaha besar Belanda yang berkeinginan menanamkan modalnya

di Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1870 tanam paksa sebagai kebijakan

ekonomi di Hindia Belanda sebelumnya dapat dihapuskan. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Poesponegoro dan Notosusanto (1993: 118) bahwa, “Oleh sebab itu, dan pula oleh adanya keinginan pihak swasta Belanda untuk memegang

peranan utama dalam eksploitasi sumber-sumber alam Hindia-Belanda, akhirnya

sekitar tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihentikan”.

Pada tahun 1870 di Hindia Belanda dilaksanakan politik ekonomi liberal

atau sering disebut “Politik Pintu Terbuka” (Open Door Policy). Pelaksanaan

politik liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria dan

Undang-Undang Gula. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Simbolon (2006:

142) bahwa, “Dampak dari revolusi liberal hanya terasa lambat-laun di Nusantara, dan baru memuncak setelah keluarnya UU Agraria (Agrarische Wet) dan UU

Gula (Suiker Wet) pada 1870”.

Dengan kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang Agraria 1870

dalam hal sewa dan jual beli tanah, maka para pemilik modal mulai berdatangan

ke Hindia Belanda dan menanamkan modalnya dengan membuka

perkebunan-perkebunan. Menurut Wiyanarti (2007: 154) “Undang-Undang Agraria yang

identik dengan liberalisasi ekonomi pada kenyataannya berintikan kegiatan

perkebunan swasta”. Pihak swasta melakukan sewa tanah secara besar-besaran

dan dalam jangka waktu yang cukup lama dibeberapa daerah Hindia Belanda yang

(12)

Salah satu jenis perkebunan yang berkembang pesat dengan masuknya

modal swasta ke Hindia Belanda adalah adanya perkebunan teh. Menurut Tim

Telaga Bakti Nusantara (1997: 15) “...pada akhir abad ke 19 di Indonesia

masing-masing telah ada 100 perkebunan teh dan 82 perkebunan kina walaupun sebagian

besar ada di Jawa Barat”. Jawa Barat dijadikan daerah perkebunan teh

dikarenakan kondisi geografisnya yang menunjang. Sebagian besar daerah Jawa

Barat merupakan dataran tinggi dan memiliki gunung-gunung berapi sehingga

kondisi tanahnya subur. Kondisi geografis ini cocok bagi tanaman teh dan

menghasilkan komoditas teh yang unggul. Sebagaimana yang diungkapkan

Setiawati dan Nasikun (1991: 33) bahwa, “Tanaman teh berasal dari daerah subtropis, karenanya teh harus ditanam di lereng-lereng gunung. Ketinggian

tempat yang ideal biasanya antara 450-1.200 meter diatas permukaan laut”. Daerah Bandung adalah salah satu penghasil teh utama di Karesidenan

Priangan selain Cianjur. Besarnya kontribusi teh daerah ini tidak terlepas dari

penanaman teh yang berkembang di wilayah pegunungan Bandung sejak tahun

1870. Menurut Hardjasaputra (2000: 128) bahwa “Akibat keluarnya Undang -Undang Agraria, banyak pengusaha Eropa yang membuka perkebunan (kina, teh,

dan karet) disekitar kota Bandung”.

Salah satu wilayah persebaran perkebunan teh di Bandung adalah daerah

Bandung Selatan. Pertumbuhan pesat perkebunan teh milik swasta di daerah

Bandung Selatan terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870.

Persebaran perkebunan teh di Bandung Selatan hampir ada disemua distrik,

(13)

196). Bandung Selatan merupakan daerah dataran tinggi yang subur dan terletak

pada ketinggian 600 meter sampai 2.300 meter di atas permukaan laut dengan

tingkat kelembaban udara yang rendah, menjadi faktor utama dibukanya

perkebunan-perkebunan teh milik swasta.

Perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan tidak bisa dilepaskan

dari pengusaha swasta seperti K. A .R. Boscha, R. A. Kerkhoven, Van der Huchts

dan keluarga Holle. Mereka dijuluki “Theeplanters” (penanam teh) atau “de

Theejonkers van de Praenger”(para pangeran kerajaan teh di Priangan) oleh

masyarakat dan pemerintah kolonial. Hal ini dikarenakan banyaknya keuntungan

yang didapat oleh para “Theeplaters”, sehingga mereka bisa memperluas areal

perkebunan dan mendapatkan kehidupan yang sangat mewah, bahkan melebihi

kemewahan pejabat pemerintah kolonial (Kunto, 1984: 45).

Perkebunan teh juga menghasilkan keuntungan yang besar bagi pemerintah

kolonial. Keuntungan yang didapat oleh pemerintah kolonial berasal dari

penerimaan pajak dan besarnya nilai ekspor teh. Perkembangan ekspor teh

semakin meningkat (melihat diagram dari Setiawati dan Furnivall) dari tahun

1870 yang hanya menghasilkan sekitar 3 ton dan pada tahun 1930 menjadi 71,9

ton (Setiawati dan Nasikun: 1991; Furnivall: 2009).

Beberapa alasan penulis meneliti penerapan Undang-Undang Agraria 1870

di Hindia Belanda khusunya mengenai perkebunan teh di Bandung Selatan.

Pertama, diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 sebagai sebuah

kebijakan yang liberal sangat menarik untuk dikaji. Dikarenakan Undang-Undang

(14)

kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya, dan hal ini melambangkan perubahan

situasi politik di Kerajaan Belanda.

Kedua, penulis ingin melihat perubahan yang terjadi pada perekonomian

Hindia Belanda yang sebelumnya memakai sistem monopoli dan cultuurstelsel

yang sudah jelas mendatangkan keuntungan yang besar bagi kas Belanda.

Diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 merupakan bentuk keberanian

dari pemerintah kolonial dalam hal pengelolaan sumberdaya alam Hindia Belanda

dan peningkatan keuntungan.

Ketiga, pasca diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, modal

swasta mulai masuk ke Hindia Belanda dalam bentuk pembukaan

perkebunan-perkebunan, salah satunya adalah perkebunan teh. Pengusaha swasta merupakan

pelaku ekonomi baru dalam perekonomian di Hindia Belanda. Meskipun sebagai

pelaku ekonomi baru, para pengusaha swasta langsung mendapatkan peranan

yang penting dalam perekonomian di Hindia Belanda. Penulis ingin melihat

seberapa penting kontribusi pengusaha swasta dalam perekonomian Hindia

Belanda pasca 1870.

Keempat, Undang-Undang Agraria adalah kebijakan yang diberlakukan

diseluruh jajahan Belanda. Oleh karena itu, penulis merasa harus menentukan

daerah kajian dengan tujuan supaya pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas.

Bandung Selatan sebagai salah satu daerah di bawah kekuasaan pemerintah

kolonial sudah barang tentu merasakan dampak dari diberlakukannya

Undang Agraria 1870. Penulis ingin melihat bagaimana penerapan

(15)

Keterkaitan antara penerapan Undang-Undang Agraria 1870 sebagai dasar

hukum masuknya pengusaha swasta di Bandung Selatan sangat menarik untuk

dikaji lebih dalam. Mengingat pengetahuan penulis, sedikit sekali hasil penelitian

maupun tulisan tentang sejarah Bandung yang dikaitkan dengan segi ekonomi.

Selain itu, penulis sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah merasa

terpanggil untuk melakukan suatu penelitian berkaitan dengan penerapan

Undang-Undang Agraria 1870 di daerah Bandung Selatan.

Berangkat dari alasan yang penulis paparkan di atas, timbulah keinginan

untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai dinamika yang ditimbulkan oleh

Undang-Undang Agraria 1870 terhadap perkembangan perkebunan teh di

Bandung Selatan 1870-1929. Dengan demikian, judul yang penulis ambil adalah

“Undang-Undang Agraria Dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan

Teh Di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”.

1.2Rumusan dan Batasan Masalah

Dalam skripsi ini yang menjadi masalah utama adalah “Bagaimana dampak dari kebijakan Undang-Undang Agraria 1870 terhadap perkembangan perkebunan

teh di Bandung Selatan?”

Sementara untuk membatasi kajian penelitian ini, maka diajukan beberapa

pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi

ini adalah:

(16)

2. Bagaimana dampak Undang-Undang Agraria 1870 terhadap masuknya modal

swasta asing ke Hindia Belanda?

3. Bagaimana dampak dari Undang-Undang Agraria terhadap perkembangan

perkebunan teh di daerah Bandung Selatan tahun 1870-1929?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan dan pembatasan masalah yang telah dibahas pada

poin sebelumnya, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Menjelaskan latar belakang keluarnya Undang-Undang Agraria 1870.

2. Mendeskripsikan dampak Undang-Undang Agraria 1870 terhadap masuknya

modal swasta asing ke Hindia Belanda.

3. Menjelaskan dampak dari Undang-Undang Agraria terhadap perkembangan

perkebunan teh di Bandung Selatan tahun 1870-1929.

1.4Manfaat Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh Di Bandung Selatan Tahun

1870-1929”, terdapat beberapa manfaat yang dirasakan penulis, diantaranya adalah:

1. Memperkaya penulisan mengenai sejarah perekonomian Indonesia pada masa

kolonial, terutama pada akhir abad 19.

2. Memberikan kontribusi dalam penelitian sejarah mengenai penerapan

(17)

3. Memberikan gambaran mengenai perkembangan perkebunan teh khususnya di

Bandung Selatan 1870-1929.

1.5Definisi Istilah

Permasalahan yang penulis kaji dalam penulisan skripsi ini mengambil

judul “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh Di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Adapun penjelasan istilah-istilah yang terdapat di dalam judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Agraria

Undang-Undang Agraria adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur

sistem pertanahan disebuah negara. Di Indonesia, Undang-Undang Agraria

pertama kali muncul pada tahun 1870 ketika masa penjajahan Belanda. Menurut

Setiawan (2008: 400) menjelaskan bahwa, “Ketika penjajah bercokol, hukum

agraria yang diberlakukan secara efektif bersumber pada sebuah undang-undang

yang disebut Agrarische Wet (1870).

Segala peraturan mengenai sistem pertanahan di Hindia Belanda seluruhnya

diatur oleh Undang-Undang Agraria, mulai dari hak kepemilikan atas tanah

sampai mekanisme penyewaan tanah oleh pihak swasta. Hal ini senada dengan

pendapat Simbolon (2006: 148):

(18)

Munculnya Undang-Undang Agraria pada intinya adalah peralihan menuju

sistem ekonomi liberal dengan berazaskan kebebasan. Penguasaan sumber daya

alam sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial yang tercermin dari kebijakan

tanam paksa mulai ditinggalkan dan beralih dengan melibatkan pihak swastsa

dalam pengolahan sumber daya alam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Caldwell dan Utrech (2011: 73) bahwa, “Hukum Agraria 1870 menghapuskan

larangan terhadap pewarisan kontrak dan dengan demikian meratakan jalan bagi

pelaksanaan perkebunan swasta berskala-besar”. 2. Dampak

Definisi dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 290)

yaitu, “pengaruh kuat yang mendatangkan akibat”. Dalam skripsi ini yang dimaksud dengan dampak adalah dampak ekonomi, bagaimana pengaruh suatu

penyelenggaran kegiatan terhadap perekonomian. Penulis ingin memperdalam

akibat yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Agraria 1870 terhadap sistem

pertanahan di Hindia Belanda sehingga berkembangannya perkebunan teh di

Bandung Selatan.

3. Perkembangan

Definisi perkembangan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:

662) yaitu, “perihal berkembang”. Maksud dari perkembangan dalam skripsi ini adalah bagaimana perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan setelah

(19)

4. Perkebunan

Perkebunan adalah jenis usaha berupa penglolahan tanah untuk ditanami

salah satu jenis tanaman dengan jumlah yang banyak dan tanah yang luas serta

berada di daerah tertentu. Sedangkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004

Tentang Perkebunan, mendefinisikan perkebunan sebagai berikut:

“Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”. 5. Bandung Selatan

Bandung merupakan ibukota Karsidenan Priangan sejak 1864 setelah

dipindahkan dari Cianjur. Perpindahan ini berdampak terhadap ekonomi dengan

dijadikannya Bandung sebagai pusat perekonomian di Karesidenan Priangan. Hal

ini terutama terjadi setelah Undang-Undang Agraria 1870 disahkan, banyak

pemodal swasta membuka hutan untuk mendirikan perkebunan-perkebunan teh

terutama di daerah selatan Bandung (Hardjasaputra, 2000: 128).

“Bandung Selatan (yang sekarang menjadi Kabupaten Bandung) secara

geografis terletak pada koordinat 60,41‟ sampai dengan 70,19‟ Lintang Selatan dan 1070,22‟ sampai dengan 1080,5‟ Bujur Timur. Daerah Bandung Selatan memiliki karakteristik alam berupa dataran tinggi dengan ketinggian 600 meter sampai

2.300 meter di atas permukaan laut”

(http://bpmpbandung.blogspot.com/2011/05/gambaran-umum-wilayah-kabupaten-bandung.html). Karakteristik Bandung Selatan yang berupa dataran tinggi dengan

(20)

Sehingga pasca diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, para pengusaha

swasta membuka lahan-lahan perkebunan teh di Bandung Selatan.

6. Kurun Waktu 1870-1929

Tahun 1870 penulis jadikan sebagai awal periodisasi karena pada tahun ini

Undang-Undang Agraria diberlakukan, yang menandai liberalisasi ekonomi di

Hindia Belanda. Undang-Undang Agraria 1870 mendorong partisipasi swasta

dalam mengolah sumber daya alam di Hindia belanda dengan mekanisme sewa

tanah. Sedangkan tahun 1929 dijadikan sebagai akhir periodisasi karena pada

tahun ini terjadi depresi ekonomi dunia. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

komoditi ekspor Hindia Belanda yang mengalami kejatuhan. Menurut Burger

(1962: 16) bahwa, “Dalam tahun 1930 timbullah Depresi Ekonomi besar

diseluruh dunia, jang mengakibatkan djatuhnya harga-harga pada semua sektor,

diperketjilnya produksi ekspor dan merosotnya pendapatan rakjat”.

1.6Metode dan Teknik Penelitian

Metode yang akan digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah metode

historis yang merupakan suatu metode yang lazim dipergunakan dalam penelitian

sejarah. Metode historis yaitu, suatu proses pengkajian, penjelasan, dan

penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau

(Sjamsuddin, 2001: 17-19).

Adapun langkah-langkah yang akan penulis gunakan dalam melakukan

penelitian sejarah ini sebagaimana dijelaskan oleh Ismaun (2005: 48-50), sebagai

(21)

1. Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber sejarah yang dianggap

relevan dengan topik yang dipilih. Cara yang dilakukan adalah mencari dan

mengumpulkan sumber, buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji. Sumber penelitian sejarah terbagi menjadi tiga

yaitu sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Topik yang penulis

pilih berbentuk studi literatur sehingga sumber yang diambil merupakan

sumber literatur.

2. Kritik yaitu memilah dan menyaring keotentikan sumber-sumber yang telah

ditemukan. Pada tahap ini penulis melakukan pengkajian terhadap

sumber-sumber yang didapat untuk mendapatkan kebenaran sumber-sumber. Kritik Sumber

terbagi menjadi dua bagian yang pertama kritik eksternal dan yang kedua

kritik internal. Sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, kritik eksternal

ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek „luar‟ dari sumber sejarah (Sjamsudin, 2007:132). Kebalikan dari kritik eksternal,

kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan

aspek „dalam‟ yaitu isi dari sumber:kesaksian (testimoni) (Sjamsudin,

2007:143).

3. Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta

yang diperoleh dengan cara menghubungkan satu sama lainnya. Pada tahapan

ini penulis mencoba menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama

penelitian.

4. Historiografi yaitu tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini

(22)

menyusun dalam bentuk tulisan dengan jelas dengan gaya bahasa yang

sederhana menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.

Dalam upaya mengumpulkan bahan untuk keperluan penyusunan skripsi,

penulis melakukan teknik penelitian dengan menggunakan studi literatur, teknik

ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang dapat menunjang penelitian.

1.7Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan skripsi yang akan dilakukan oleh

penulis adalah:

BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan latar

belakang masalah mengapa memilih tema ini. Selain itu, bab ini memuat rumusan

masalah yang akan dibahas dan batasan masalah yang bertujuan agar pembahasan

dalam skripsi tidak meluas dari garis yang diterapkan. Bab ini juga memuat tujuan

penulis dan manfaatnya yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan

untuk menjawab semua permasalahan yang telah ditentukan serta manfaat apa

saja yang dapat diambil dari penulisan ini. Bab ini juga memuat definisi istilah

sebagai penjelasan dari istilah pada judul yang penulis ambil. Bab ini juga

memuat metode dan teknik penulisan yang bertujuan memberikan gambaran

tentang bagaimana langkah-langkah penulis dalam menyusun skripsi, serta

sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka skripsi.

BAB II, Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis. Dalam bab ini dijelaskan

mengenai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dikaji.

(23)

Undang-Undang Agraria 1870 dan perkembangan perkebunan teh di Bandung

Selatan.

BAB III, Metode Penelitian. Dalam bab ini diterangkan mengenai

serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian

guna mendapatkan sumber yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji

oleh penulis. Diantaranya heuristik yaitu proses pengumpulan data-data yang

dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Setelah heuristik dilakukan kritik yaitu

proses pengolahan data-data yang telah didapatkan dari langkah sebelumnya

sehingga data yang diperoleh adalah data yang reliable dan otentik, lalu

interpretasi yaitu penafsiran sejarawan terhadap data-data yang telah disaring.

Tahap yang terakhir yaitu historiografi yaitu merupakan hasil akhir dari penelitian

dan dijadikan laporan sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang

berlaku di UPI.

BAB IV, Pembahasan. Pada bab ini membahas uraian mengenai

penjelasan-penjelasan tentang aspek yang ditanyakan dalam rumusan masalah.

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan mengenai latar belakang munculnya

Undang-Undang Agraria 1870 yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Dalam

bab ini juga akan dijelaskan latar belakang masuknya penguasa swasta ke Hindia

Belanda. Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana perkembangan perkebunan teh

di Bandung setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870.

BAB V, Kesimpulan. Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan

(24)

pada bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil-hasil temuan penulis tentang

(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini merupakan penjelasan mengenai metode dan teknik penelitian yang

dipergunakan oleh penulis untuk mengkaji permasalahan dengan skripsi yang

berjudul “Undang-Undang Agraria Dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode historis atau metode sejarah dengan

menggunakan pendekatan interdisipliner.

Penulis mencoba menguraikan langkah-langkah penelitian dengan

menggunakan metode sejarah meliputi proses heuristik, kritik eksternal dan

internal, interpretasi, serta historiografi. Metode sejarah digunakan untuk

menemukan fakta-fakta sejarah yang kemudian diinterpretasi untuk disusun

kedalam sebuah historiografi sejarah. Proses penelitian ini dilakukan untuk

menyusun sebuah skripsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan

relevan dengan bidang studi penulis yaitu pendidikan sejarah. Penulis

menguraikan proses tersebut dalam bab ini yang terdiri dari tiga sub-bab utama

yaitu metode dan teknik penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan

penelitian.

3.1Metode dan Teknik Penelitian

3.1.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah,

(26)

masa lampau. Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, metode sejarah adalah

“bagaimana mengetahui sejarah” sedangkan metodologi adalah “mengetahui

bagaimana mengetahui sejarah” (Sjamsuddin, 2007: 13-14).

Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip

yang sistematis untuk mengumpulkan sumber secara efektif, menilainya secara

kritis dan menguji sintesis dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk tertulis.

Definisi metode sejarah tersebut diuraikan oleh Gottschalk (1985) dalam bukunya

yang berjudul “Mengerti Sejarah” sebagai berikut:

”Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi” (Gottschalk, 1985: 32).

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diperoleh

gambaran bahwa yang dimaksud dengan metode historis atau sejarah adalah suatu

prosedur atau langkah kerja yang digunakan untuk melakukan penelitian terhadap

sumber atau peninggalan masa lampau yang dianalisis secara kritis dan sistematis.

Metode historis ini sangat sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh penulis,

penulis berusaha mencari data dan fakta sejarah yang berhubungan dengan

permasalahan mengenai judul penelitian.

Di dalam metode historis ini terdapat langkah-langkah yang dilakukan oleh

penulis untuk melakukan penulisan mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

Menurut Ismaun (2005: 34), langkah-langkah dalam metode historis terdiri atas:

1. Heuristik, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan

(Ismaun, 2005: 49). Secara sederhana, sumber-sumber sejarah itu dapat

(27)

lagi, sumber sejarah juga dapat dibeda-bedakan ke dalam sumber resmi

formal dan informal. Selain itu, dapat diklasifikasikan dalam sumber primer

dan sekunder.

2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50).

Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh

fakta-fakta yang susuai dengan permasalahan penelitian. Fungsi dari proses

ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu

relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis. Dalam

tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:

a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas sumber

sejarah. Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya,

baik menurut isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber

otentik bisa juga salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik

isinya tidak boleh dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi

jaminan untuk dapat dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan

dan bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh

siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan

masih utuh seluruhnya atas sudah berubah.

b. Kritik intern atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber

dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab

dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan

kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian-kesaksian-kesaksian dari sumber lain.

(28)

sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti

fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah

diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber.

3. Interpretasi, adalah penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena

pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang

diteliti.

4. Historiografi, tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang

merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu

penelitian yang menggunakan ilmu bantu lainnya dalam satu rumpun ilmu. Dalam

hal ini penulis menggunakan pendekatan dalam satu rumpun ilmu sosial yaitu

ilmu politik dan ekonomi agar lebih memudahkan dalam proses penelitian. Selain

menggunakan ilmu sejarah sebagai alat analisis maka ilmu bantu lainnya akan

membantu mempertajam analisis tersebut. Pendekatan ilmu politik digunakan

dalam menguraikan teori Kedaulatan Negara sebagai salah satu alat analisis untuk

mengidentifikasi fungsi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Teori ini

dipergunakan untuk melihat sejauh mana kewajiban serta hak negara dalam

menyelenggarakan pemerintahan dan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Adapun ilmu ekonomi digunakan untuk

menguraikan teori Dualistik Ekonomi dan teori Akumulasi Kapital sebagai alat

analisis terhadap kemunculan Undang-Undang Agraria 1870. Teori Ekonomi

Dualistik digunakan untuk melihat perkembangan kebijakan Undang-Undang

(29)

Sedangkan teori Akumulasi Kapital digunakan untuk melihat peran modal swasta

dalam perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan.

3.1.2 Teknik Penelitian

Teknik penelitian merupakan langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis

dalam upaya mengumpulkan data dan informasi mengenai penulisan skripsi ini.

Dalam penelitian mengenai Undang-Undang Agraria 1870 serta perkembangan

perkebunan teh di Bandung Selatan, penulis menggunakan teknik penelitian studi

kepustakaan (studi literatur). Penjelasan mengenai teknik penelitian yang

digunakan oleh penulis secara lebih lengkapnya dipaparkan dalam uraian berikut

ini:

1. Studi kepustakaan (studi literatur)

Di dalam studi kepustakaan akan diperoleh data yang bersifat primer dan

sekunder. Penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengumpulkan sumber

dari arsip tertulis, buku-buku, surat kabar, serta sumber-sumber internet.

Sumber-sumber yang digunakan tersebut tentunya dapat dipercaya kebenarannya setelah

melalui tahap seleksi.

Dalam upaya mengumpulkan sumber literatur ini, penulis mengadakan

kunjungan dibeberapa perpustakaan, lembaga, dan beberapa tempat terkait untuk

mendapatkan informasi dan sumber literatur dibutuhkan. Setelah sumber tersebut

didapatkan kemudian penulis mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan

serta memilih sumber yang relevan dan dapat digunakan sebagai sumber dalam

penulisan skripsi ini melalui tahapan kritik. Adapun beberapa tempat yang

(30)

a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia.

b. Arsip Nasional Republik Indonesia.

c. Perpustakaan Universitas Padjadjaran.

d. Perpustakaan Kantor P.T. Kereta Api Indonesia.

e. Perpustakaan TNI AD.

f. Perpustakaan Gedung Sate.

3.2Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian adalah tahapan yang dilakukan penulis sebelum

melakukan penelitian. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu

penentuan tema penelitian, menyusun rancangan penelitian dan melaksanakan

ujian proposal skripsi, mengurus perizinan, dan proses bimbingan.

3.2.1 Penentuan Tema Penelitian

Pada tahap ini, langkah awal yang dilakukan adalah menentukan tema

penelitian. Sebagaimana Kuntowijoyo (2003: 91) berpendapat bahwa, “Pemilihan

topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan

intelektual”. Hal ini mengungkapkan bahwa suatu topik dipilih berdasarkan dua

aspek yaitu karena adanya kegemaran dan keterkaitan penulis dengan disiplin

ilmu tertentu. Sebagai seorang mahasiswa sejarah maka penulis sangat tertarik

untuk memilih topik berkaitan dengan disiplin ilmu sejarah yang terkait dengan

unsur manusia, ruang, dan waktu tertentu. Adapun mengenai tema penelitian,

sejak awal penulis sangat tertarik mengkaji sejarah perekonomian pada masa

Hindia Belanda. Penulis merasa kurangnya perhatian mahasiswa sejarah terhadap

(31)

ekonomi pada masa kolonial bisa dijadikan sumber refleksi terhadap keadaan

ekonomi kontemporer. Kejayaan beberapa komoditi perkebunan seperti kopi,

tebu, teh, tembakau dan lainnya menjadi faktor utama dalam menghasilkan

keuntungan. Pengelolaan ekonomi Hindia Belanda yang memberikan keuntungan

kepada kerajaan Belanda patut dijadikan pelajaran untuk saat ini.

Pada tahap awal menentukan tema penelitian, penulis melakukan beberapa

kegiatan seperti membaca literatur yang berkaitan dengan sejarah Indonesia

khususnya pada masa Hindia Belanda. Setelah membaca banyak literatur, penulis

merasa tertarik untuk meneliti Undang-Undang Agraria 1870. Setelah melakukan

konsultasi dengan Bapak Wawan Darmawan, S.Pd M.Hum yang merupakan

pembimbing akademik, penulis mendapatkan petunjuk untuk mengangkat

pengaruh Politik Pintu Terbuka 1870 terhadap perkebunan teh di Bandung

Selatan, karena penelitian tentang permasalahan tersebut masih sangat sedikit,

khususnya di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI masih belum ada.

Penulis merasa tertarik untuk mengkaji tentang Politik Pintu Terbuka

khusunya terhadap Undang-Undang Agraria 1870 yang dikaitkan dengan

perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan. Diberlakukannya

Undang-Undang Agraria 1870 merupakan tonggak awal liberalisasi ekonomi Hindia

Belanda. Kebijakan ekonomi ini sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi

pemerintah kolonial sebelumnya seperti Sewa Tanah dan Tanam Paksa. Kebijakan

ini memberikan kekuasaan terhadap pihak pemodal swasta untuk berpartisipasi

(32)

jauh keberhasilan kebijakan ini, mengingat kebijkan ini merupakan hal baru bagi

Hindia Belanda.

Setelah melakukan pencarian literatur ke beberapa perpustakaan akhirnya

penulis memperoleh rumusan judul “Politik Pintu Terbuka 1870 dan Dampaknya

Terhadap Kemunculan Perkebunan Teh di Bandung Selatan”. Tema penelitian

yang telah diperoleh kemudian diajukan kepada dosen TPPS (Tim Pertimbangan

Penulisan Skripsi) jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Langkah selanjutnya

setelah judul tersebut disetujui oleh TPPS, penulis mulai menyusun suatu

rancangan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk proposal skripsi.

3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan langkah awal yang harus dilakukan

sebelum melakukan penelitian. Rancangan penelitian ini dapat dijadikan sebuah

acuan dalam penyusunan skripsi. Rancangan ini berupa proposal skripsi yang

diajukan kepada TPPS untuk dipresentasikan dalam seminar proposal skripsi.

Pada dasarnya proposal tersebut memuat judul penelitian, latar belakang masalah

yang merupakan pemaparan mengenai deskripsi masalah yang akan dibahas,

perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode dan teknik

penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada tahap ini penulis terlebih dahulu melakukan studi literatur, yakni

meneliti dan mempelajari buku yang relevan dengan judul penelitian. Pada tahap

ini penulis mencari bahan pustaka sebagai sumber data awal, dikarenakan sumber

tertulis merupakan sesuatu yang umum digunakan sebagai bahan kajian sejarah.

(33)

usulan penelitian kedalam sebuah bentuk proposal skripsi. Proposal tersebut

disetujui dan dipertimbangkan dalam seminar pra-rancangan penelitian/penulisan

skripsi/karya ilmiah melalui surat keputusan yang dikeluarkan TPPS dengan No.

043/TPPS/JPS/2011, serta penunjukan calon pembimbing I yaitu Ibu Dr. Erlina

Wiyanarti, M.Pd dan calon pembimbing II Bapak Eryk Kamsory, S.Pd. Seminar

pra rancangan penelitian/penulisan skripsi dilaksanakan tanggal 19 September

2011.

Pelaksanaan seminar pra-rancangan penulisan skripsi berjalan dengan

lancar, penulis mendapatkan masukan dari calon pembimbing dan beberapa dosen

lainnya mengenai proposal yang telah dibuat khususnya berkaitan dengan latar

belakang dan rumusan masalah. Proposal kemudian disetujui, maka turun SK

(Surat Keputusan) penunjukan pembimbing dari TPPS jurusan Pendidikan Sejarah

dengan nomor yang sama dengan SK seminar proposal yaitu No.

043/TPPS/JPS/2011. Ditetapkan bahwa pembimbing pertama adalah Ibu Dr.

Erlina Wiyanarti, M.Pd dan pembimbing kedua adalah Bapak Eryk Kamsory,

S.Pd.

3.2.3 Mengurus Perizinan

Pada tahap ini, penulis mulai memilih lembaga/instansi yang dapat

memberikan data dan fakta terhadap penelitian yang dilakukan. Pengurusan surat

perizinan dilakukan di jurusan Pendidikan Sejarah yang kemudian diserahkan

kepada bagian akademik FPIPS untuk memperoleh izin dari dekan FPIPS.

Adapun surat-surat perijinan penelitian tersebut ditujukan kepada instansi-instansi

(34)

1. Arsip Nasional Republik Indonesia.

2. Perpustakaan Kantor P.T. Kereta Api Indonesia.

3. Perpustakaan TNI AD.

Untuk tahap ini penulis melakukan proses mencari, menemukan, dan

mengumpulkan data-data mengenai Undang-Undang Agraria 1870 serta

perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan.

3.2.4 Proses Bimbingan

Proses bimbingan merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan oleh

penulis selama penyusunan skripsi. Proses bimbingan ini dapat membantu dalam

menentukan langkah yang tepat dari setiap kegiatan penelitian yang dilakukan.

Proses bimbingan juga merupakan kegiatan yang berguna untuk berkonsultasi

mengenai berbagai masalah yang dihadapi dalam penyusunan skripsi. Selama

proses penyusunan skripsi penulis melakukan proses bimbingan dengan

pembimbing I dan pembimbing II sesuai dengan waktu dan teknik bimbingan

yang telah disepakati bersama sehingga bimbingan dapat berjalan lancar dan

diharapkan penyusunan skripsi dapat memberikan hasil sesuai dengan ketentuan.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Ibu Dr. Erlina

Wiyanarti, M.Pd selaku pembimbing I dan Bapak Eryk Kamsory, S.Pd selaku

pembimbing II. Setiap hasil penelitian yang penulis temukan dilaporkan kepada

pembimbing untuk dikonsultasikan agar penulis lebih memahami, dan mendapat

petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan

(35)

Dalam proses bimbingan penulis mendapatkan beberapa masukan dari

Pembimbing I dan Pembimbing II diantaranya mengenai redaksional judul skripsi,

penajaman latar belakang masalah, pengarahan fokus masalah yang lebih spesifik

serta masukan untuk membaca beberapa sumber literatur yang beliau sarankan

berkenaan dengan penulisan skripsi ini. Sehingga judul yang penulis ambil diganti

menjadi “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Perubahan judul ini dimaksudkan untuk mengkerucutkan pembahasan dalam skripsi ini baik tempat

dan kurun waktu.

Penulis beranggapan bahwa kegiatan bimbingan ini sangat diperlukan

untuk dapat menemukan langkah yang paling tepat dalam proses penyusunan

skripsi. Kegiatan bimbingan yang dilakukan dengan cara diskusi dan bertanya

mengenai permasalahan yang sedang dikaji serta untuk mendapatkan petunjuk

atau arahan mengenai penulisan skripsi maupun dalam melaksanakan proses

penelitian. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan dengan

masing-masing pembimbing dan tercatat dalam lembar bimbingan.

3.3Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan

oleh penulis yaitu heuristik, kritik, dan interpretasi. Kegiatan-kegiatan ini

memiliki peranan penting yang menentukan terhadap hasil penyajian penulisan

dalam bentuk sebuah tulisan, adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap-tahap

(36)

3.3.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Heuristik merupakan tahap awal dalam penelitian sejarah, yaitu proses

penelusuran, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan

dengan permasalahan penelitian. Menurut Sjamsuddin (2007) yang dimaksud

dengan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung

menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada

masa lalu. Sumber-sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah sejarah yang

mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia

yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata

yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan secara lisan (Sjamsuddin, 2007: 95).

Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mencari dan

mengumpulkan berbagai macam sumber tertulis berhubungan dengan tema yang

dikaji berupa sumber primer, sekunder, dan tersier. Jenis-jenis sumber sejarah

yang digunakan penulis antara lain seperti buku, arsip, surat kabar dan sumber

internet. Hal ini dilakukan karena penulis menggunakan teknik studi literatur

sebagai salah satu teknik dalam pengumpulan data. Dalam proses ini, penulis

mengunjungi berbagai perpustakaan baik yang berada di kota Bandung maupun

Jakarta.

Perpustakaan yang pertama dikunjungi adalah perpustakaan Universitas

Pendidikan Indonesia. Buku-buku yang ditemukan di perpustakaan UPI berkaitan

dengan ilmu ekonomi pada masa Hindia Belanda, diantaranya “Politik Ekonomi.

(37)

Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa” karangan Setiawan (2008), “Mengerti Sejarah” karangan Gottschalk (1986) serta “Menjadi Indonesia” karangan Simbolon (2006).

Perpustakaan lain yang dikunjungi adalah perpustakaan Fakultas Sastra di

Universitas Padjadjaran, di perpustakaan ini penulis menemukan buku “Sejarah

Perkebunan di Indonesia” karangan Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1994),

“Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” karangan Haryoto Kunto (1984), “Sejarah

Kota-Kota Lama di Jawa Barat” karangan Nina Lubis dkk (2000) serta buku

“Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942” karangan Nina Lubis (1998).

Penulis kemudian melengkapi sumber-sumber tersebut dengan mencari

literatur tambahan dibeberapa toko buku seperti Gramedia, Togamas, dan

Palasari yang berada di daerah Bandung. Penulis menemukan beberapa buku yang

relevan dari toko-toko buku tersebut diantaranya “Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djilid Pertama” karangan Burger (1962), “Sejarah Alternatif Indonesia” karangan Caldwell dan Utrecht (2011), “Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah” karangan Muchsin dkk (2010) dan buku “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya” karangan Boedi Harsono (2008).

Penulis juga memiliki buku koleksi pribadi yang dianggap relevan yaitu

buku “Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk” karangan Furnivall

(2009), “Beberapa Fasal Ekonomi” karangan Hatta (1960), “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid I” karangan Sartono Kartodirdjo (1993), “Pengantar Sejarah

(38)

Sejarah Indonesia” karangan Vlekke (2008), “Pengantar Ilmu Sosial” karangan

Dadang Supardan (2008), “Dasar-Dasar Ilmu Politik” karangan Budiardjo (1989), “Sejarah Sebagai Ilmu” karangan Ismaun (2005), “Penjelasan Sejarah”

karangan Kuntowijoyo (2008), serta buku “Metodologi Sejarah” karangan Helijus Sjamsuddin (2007).

Selain itu, Penulis juga mendapatkan pinjaman buku dari Ibu Dr. Erlina

Wiyanarti, M.Pd selaku pembimbing I yang berjudul “Sejarah Ekonomis

Indonesia” karangan G. Gonggrijp dan diterbitkan oleh De Erven F. Bohn tahun

1928. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari bahasa Belanda dengan judul

“Schets Eener Economische Geschidenis Van Nederlandsch-Indie”.

Sumber tertulis yang telah terkumpul kemudian dibaca, dipahami, dan

dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan permasalahan dalam penelitian.

Penulis melakukan pencatatan terhadap berbagai temuan sumber baik daftar

pustaka, tema-tema penting, maupun konsep-konsep yang terdapat dalam sumber

tersebut. Hal itu dilakukan oleh penulis agar lebih mudah dalam proses penulisan

sejarah, penulis menggunakan sumber-sumber tersebut sebagai bahan rujukan dan

sumber informasi utama dalam menulis fakta-fakta sejarah. Dengan demikian

penulisan karya ilmiah ini dapat dilakukan sesuai dengan prosedur penulisan yang

layak.

3.3.2 Kritik Sumber

Setelah penulis memperoleh sumber-sumber, langkah selanjutnya yang

dilakukan adalah kritik terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik sumber

(39)

diselidiki kesesuaian, keterkaitan, dan keobjektifannya secara eksternal maupun

internal.

Kritik sumber bagi sejarawan erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu

dalam rangka mencari kebenaran (Sjamsuddin, 2007: 118). Kritik sumber terbagi

dalam dua bagian yaitu kritik eksternal dan internal. Tahapan kritik sangat penting

dilakukan karena menyangkut verifikasi sumber, untuk diuji tentang kebenaran

dan ketepatan sumber-sumber yang akan digunakan. Dengan demikian dapat

dibedakan yang benar dan tidak benar, serta yang mungkin dan yang meragukan.

Adapun kritik yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini untuk lebih jelasnya

sebagai berikut.

3.3.2.1Kritik Eksternal

Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu

pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua

informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak

asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak

(Sjamsuddin, 2007: 105).

Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut

sebelum mengkaji isi sumber. Penulis melakukan kritik eksternal dengan cara

melakukan penelusuran dan pengumpulan informasi mengenai penulis sumber

sebagai salah satu cara untuk melihat karya-karya atau tulisan lain yang

dihasilkannya. Sebagaimana dikatakan Sjamsuddin (1996: 106) bahwa,

(40)

Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis, baik berupa

buku. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk melakukan

penelitian asal-usul sumber. Salah satu contoh kritik eksternal yang dilakukan

penulis adalah kritik terhadap buku yang berjudul “Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia jilid I” yang ditulis oleh Prof. D. H. Burger. Buku ini pada awalnya berupa naskah berbahasa Belanda namun belum diterbitkan dalam bentuk buku.

Atas usaha Prof. Dr. Mr. Prajudi, naskah tersebut dapat diterbitkan tahun 1960

(cetakan kedua) oleh penerbit J. B. Wolters setelah mengalami alih bahasa

kedalam bahasa Indonesia. Karena buku ini diterbitkan tahun 1960, maka

penggunaan bahasa Indonesianya merupakan ejaan yang belum disempurnakan.

Selain itu kualitas dari kertasnya sebagian sudah rusak dimakan usia, namun

tulisannya masih dapat dibaca dengan jelas.

Burger merupakan orang berkebangsaan Belanda yang pernah menjadi

Guru Besar dalam mata kuliah Ekonomi Indonesia pada Fakultas Hukum dan

Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia. Jabatan sebagai Guru Besar

dalam Ilmu Ekonomi Indonesia menjadi salah satu pertimbangan penulis untuk

menggunakan buku tersebut. Penulis menganggap bahwa Burger adalah salah satu

dari sedikitnya ahli sejarah ekonomi Indonesia, khususnya pada masa Hindia

Belanda. Sebelum menjadi Guru Besar, Burger memiliki pengalaman selama 20

tahun menjadi pejabat Pamong Praja Eropa dan aktif dibidang penelitian

ekonomis dan sosiologis dimasa Hindia Belanda. Selain itu, Burger hidup pada

masa Hindia Belanda, sehingga data-data serta analisis yang terdapat dalam

(41)

Contoh kedua, penulis melakukan kritik eksternal terhadap buku karangan

Sartono Krtodirdjo yang berjudul “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid I yang

diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1993 (cetakan keempat) dan “Pengantar

Sejarah Indonesia Baru jilid II” yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1992

(cetakan kedua). Sartono Kartodirdjo merupakan salah satu sejarawan yang sangat

terkenal di Indonesia. Sartono Kartodirdjo merupakan lulusan dari jurusan Sejarah

di Universitas Indonesia tahun 1956. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke

Yale University lulus tahun 1964 dan mendapatkan gelar M. A. Selanjutnya,

Kartodirdjo masuk ke Universiteit Amsterdam di Belanda dan mendapatkan gelar

Ph. D dengan predikat cum laude. Dengan riwayat pendidikannya, penulis

menganggap bahwa buku karangan Sartono Kartodirdjo sangat layak

dipergunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini.

3.3.2.2Kritik Internal

Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal

merupakan penilaian terhadap aspek “dalam”, yaitu isi dari sumber sejarah setelah

sebelumnya disaring melalui kritik eksternal (Sjamsuddin, 2007: 143). Kritik

internal dilakukan dengan tujuan untuk mencari nilai pembuktian yang sebenarnya

dari isi sumber sejarah.

Dalam melakukan kritik internal penulis melakukan perbandingan isi buku

sebagai sumber sekunder dengan arsip sebagai sumber primer yang penulis

jadikan sumber. Contoh kritik internal yang dilakukan oleh penulis adalah

membandingkan isi buku yang berjudul “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah

(42)

karangan Boedi Harsono yang diterbitkan tahun 2008 (cetakan keduabelas) oleh

penerbit Djambatan. Arsip yang digunakan oleh penulis merupakan Staatsblad

(Lembaran Negara) yang sudah dibukukan dan terdapat di Perpustakaan Gedung

Sate dengan judul Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1854 dan

Staatsblad Van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870.

Harsono menguraikan bahwa Undang-Undang Agraria 1870 merupakan

tambahan lima ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement tahun 1854 yang

berjumlah tiga ayat, sehingga Undang-Undang Agraria 1870 menjadi delapan

ayat. Penulis juga membandingkan naskah Undang-Undang Agraria 1870 yang

terdapat dalam buku Boedi Harsono dengan arsip yang penulis peroleh. Naskah

Undang-Undang Agraria 1870 dalam buku Boedi Harsono sama dengan isi dari

arsip tersebut. Kelebihan dari arsip tersebut adalah penjelasan tentang waktu

Undang-Undang Agraria 1870 disahkan serta Gubernur Jenderal yang

mengesahkan undang-undang tersebut. Isi dari Undang-Undang Agraria 1870

sebagai berikut:

Pasal 62 Regerings Reglement 12 September 1854:

1. De Gouvernour Generaal mag geen gronden verkopen

2. In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd tot uitbreiding van steden en dropen en tot het oprichten van inrichtingen van nijverheid. 3. De Gouvernour Generaal kan gronden uitgeven in huur, volgens regels bij

ordinnantie te stellen. Onder die gronden worden niet begrepen de zoodanige door de Inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit eenigen anderen hofde tot de dorpen of dessa’s behoorende.

(Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1854 No. 2; Harsono, 2008:

33)

Tambahan Undang-Undang pada 9 April 1870:

(43)

5. De Gouvernour Generaal zorgt, dat geenerlei afstand van grond inbreuk maken op de rechten der Indlandsche bevolking.

6. Over gronden door Inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen behoorende, wordt door den Gouvernour Generaal neit beschikt dan ten algemeenen nutte, op de voet van artikel 133 en ten behoeve van de op hoog gezag ingevoerde culturen volgens de daarop betrekkelijke verordeningen, tegen behoorlijke schadeloosstelling. 7. Grond door Inlanders in erfelijk individueel gbruik bezeten wordt, op aanvraag

van den rechtmatigen bezitter, in dezen in eigendom afgestaan onder de noodige beperkingen, bij oorbinantie te stellen en in den eigendomsbrief uit te drukken, ten aanzien van de verplichting jegens den lande de gemeente en van de bevoegdheid tot verkoo[ aan neit-Inlanders.

8. Verhuur of ingebruikgeving van gornd door Inlanders aan niet-Inlanders gescheidt volgens regels bij ordinnantie te stellen.

(Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870 No. 55; Harsono, 2008:

33-34).

3.3.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi)

Interpretasi adalah penafsiran terhadap fakta-fakta yang penulis dapatkan

dari sumber-sumber sehingga nantinya tercipta suatu penafsiran yang relevan

dengan permasalahan yang penulis kaji. Interpretasi perlu dilakukan agar

data-data atau fakta-fakta yang telah penulis kumpulkan sebelumnya dapat digunakan

sebagai bahan dari penulisan skripsi.

Setelah mengumpulkan sumber dan melakukan kritik terhadap

sumber-sumber tersebut, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah interpretasi atau

penafsiran sumber. Interpretasi merupakan penafsiran terhadap berbagai informasi

yang ditemukan memberikan suatu keberartian (signifikasi) kemudian dituangkan

dalam penulisan utuh. Interpretasi juga merupakan tahapan untuk menafsirkan

fakta-fakta yang terkumpul dengan mengolah fakta setelah dikritisi dengan

(44)

Interpretasi dilakukan oleh penulis sebagai usaha untuk mewujudkan

rangkaian fakta yang bersesuaian satu dengan yang lain dan menetapkan artinya.

Atau usaha untuk menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta yang

satu dengan fakta yang lain. Proses menyusun, merangkaikan antara satu fakta

sejarah dengan fakta sejarah yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang dapat

dimengerti dan bermakna.

Dalam melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis

temukan, penulis menggunakan filsafat sejarah deterministik. Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Romein dan Lucey dalam Sjamsuddin (2007: 163) bahwa:

“Filsafat determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia semacam robot; manusia ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia fisik seperti faktor geografis (luas daerah, letak daerah, iklim), faktor etnologi (faktor keturunan, fisik biologis yang rasial), faktor dalam lingkungan budaya manusia seperti sistem ekonomi dan sosial”.

Filsafat deterministik digunakan oleh penulis karena semua permasalahan yang

dibahas dalam skripsi ini dilatar belakangi oleh faktor dari luar individu manusia,

yaitu faktor ekonomi dan politik yang menyebabkan manusia atau pemerintah

kolonial Hindia Belanda mengambil kebijakan dan keputusan.

Dalam interpretasi juga penulis menggunakan pendekatan interdisipliner,

yaitu sebuah pendekatan dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan

disiplin ilmu lain (ilmu sosial) untuk mempertajam analisis kajian (Sjamsuddin,

2007: 189). Beberapa disiplin ilmu yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam

(45)

penulis menggunakan beberapa teori seperti teori Ekonomi Dualistik, teori

Akumulasi Kapital dan teori Kedaulatan Negara.

3.4 Laporan Hasil penelitian

Historiografi merupakan tahapan akhir yang dilakukan dalam prosedur

penelitian ini. Tahapan ini merupakan langkah penyusunan hal-hal yang telah

penulis dapatkan dalam bentuk penulisan skripsi. Historiografi berarti pelukisan

sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah

lalu yang disebut sejarah (Ismaun, 2005: 28). Pada penulisan ini penulis

merekonstruksi berbagai fakta yang telah ditemukan dan yang telah dipahami

serta dimengerti secara mendalam sehingga sehingga penulis dapat menjawab

segala permasalahan yang ada dalam penelitian yang telah dilakukan.

Berbagai penafsiran yang telah didapatkan, dikaitkan menjadi beberapa

fakta, disusun ke dalam sebuah skripsi. Di dalam skripsi ini tertuang berbagai hal

yang telah dilakukan dan dihadapi oleh penulis dalam melakukan penelitian.

Selain itu, dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian.

Fakta yang didapat oleh penulis tidak hanya ketika melakukan penelitian

saja, namun penulis juga mendapatkannya ketika penulisan laporan ini sedang

disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting

sehingga penulisan laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh

penulis ketika merasa ada yang kurang dalam penelitian ini.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan sesuai

(46)

Universitas Pendidikan Indonesia. Penulisan ini ditujukan sebagai salah satu tugas

akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa dalam jurusan Pendidikan

Sejarah untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.

Hasil penelitian akan disusun ke dalam lima bab, yang terdiri dari

Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Pembahasan, dan

Kesimpulan. Pembagian penyusunan kedalam lima bab ini bertujuan untuk

memudahkan pemahamam terhadap karya tulis ini.

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah

yang menjelaskan kerangka pemikiran mengenai pentingnya penelitian terhadap

Undang-Undang Agraria dan dampaknya terhadap perkembangan perkebunan teh

di Bandung Selatan. Untuk memfokuskan penelitian, maka bab ini dilengkapi pula

dengan rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian. Bab ini juga memuat mengenai definisi istilah dan metode penelitian

yang digunakan serta dilengkapi dengan uraian sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis. Dalam bab ini dipaparkan

mengenai sumber-sumber buku dan sumber lain yang digunakan oleh penulis

sebagai sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap

Undang-Undang Agraria dan dampaknya terhadap perkembangan perkebunan teh

di Bandung Selatan. Dijelaskan pula tentang beberapa teori yang digunakan

penulis berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini akan menjelaskan mengenai

serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian

(47)

penulis. Diantaranya heuristik, yaitu proses pengumpulan data-data yang

dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Kritik yaitu melakukan penilaian secara

intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya,

untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat berkaitan dengan

permasalahan yang dikaji. Interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah

ditemukan karena pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap

permasalahan yang diteliti. Historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah

penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses

penyusunan hasil penelitian.

Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan pembahasan atas jawaban

pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada bab ini akan

dijelaskan mengenai latar belakang diberlakukannya Undang-Undang Agraria

1870 di Hindia Belanda. Pada bab ini juga dijelaskan tentang masuknya modal

swasta asing ke Hindia Belanda setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria

1870. Selain itu akan dijelaskan mengenai peran modal swasta dalam

perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan tahun 1870-1929.

Bab V Kesimpulan. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan sebagai

jawaban dari pertanyaan yang diajukan serta sebagai inti dari pembahasan pada

bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil temuan penulis tentang permasalahan

(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan

dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam

kesimpulan ini penulis akan memaparkan beberapa pokok yang merupakan inti

jawaban dari permasalahan yang dikaji. Kesimpulan tersebut adalah sebagai

berikut :

Pertama, berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 di Hindia Belanda

dilatarbelakangi oleh dua hal, pertama berkaitan dengan kebijakan Cultuurstelsel,

kedua berkaitan dengan perkembangan liberalisme di kerajaan Belanda. Kedua

hal tersebut merupakan faktor utama yang mendorong berlakunya liberalisasi

ekonomi di Hindia Belanda.

Cultuurstelsel merupakan kebijakan yang diberlakukan pada tahun 1830.

Kebijakan tersebut memaksa rakyat Hindia Belanda untuk menanam beberapa

tanaman ekspor sebagai pengganti pajak tanah yang dihapuskan. Rakyat harus

membagi seperlima lahann

Referensi

Dokumen terkait

However, a few researches tried to reveal culture problems experienced by for- eign students studying in Indonesian universities since Dharmasiswa program is relatively new

Sandra began seducing me to feminist philosophy at a meeting of Midwest SWIP in Minneapolis, in 1984?. Not only was it my first encounter with Sandra, it was my

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui pengaruh kurs, inflasi, BI rate, pertumbuhan PDB, dan jumlah uang beredar terhadap indeks harga saham LQ-45 dengan menggunakan

Indikator yang paling rendah yang dicapai oleh siswa pada kelas yang mengikuti Two Stay Two Stray yaitu indikator membuat persamaan, mo- del matematik, atau

Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk

Saya/Kami mengakui dan bersetuju bahawa data peribadi, termasuk apa-apa data peribadi yang sensitif, yang dikumpulkan di sini digunakan, diproses dan dizahirkan untuk tujuan

Sampel yang diambil dalam penelitian adalah wanita hamil dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) yang di

Selain berbentuk gabungan antara buku cerita dan game dengan disisipi teknik motion graphic yang menarik, anak juga bisa berinteraksi dengan alat musik pada gamelan