DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR PETA ... xi
DAFTAR BAGAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ... 1
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 10
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
1.5 Definisi Istilah ... 11
1.6 Metode dan Teknik Penelitian ... 14
1.7 Sistematika Penulisan ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS ... 19
2.1 Sumber-Sumber Berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah Kolonial Terhadap Perkebunan ... 19
2.2 Sumber-Sumber Berkaitan dengan Undang-Undang Agraria 1870 ... 29
2.3 Sumber-Sumber yang Berkaitan dengan Perkebunan Teh ... 35
2.4 Teori yang Berkaitan dengan Masalah Penelitian ... 38
2.4.1 Teori Ekonomi Dualistis ... 39
2.4.2 Teori Akumulasi Kapital ... 41
2.4.3 Teori Kedaulatan Negara ... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46
3.1.1 Metode Penelitian ... 46
3.1.2 Teknik Penelitian ... 50
3.2 Persiapan Penelitian ... 51
3.2.1 Penentuan Tema Penelitian ... 51
3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 53
3.2.3 Mengurus Perizinan ... 54
3.2.4 Proses Bimbingan ... 55
3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 56
3.3.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 57
3.3.2 Kritik Sumber ... 59
3.3.2.1 Kritik Eksternal ... 60
3.3.2.2 Kritik Internal ... 62
3.3.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi) ... 64
3.4 Laporan Hasil Penelitian ... 66
BAB IV BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG AGRARIA DAN PERKEMBAGAN PERKEBUNAN TEH DI BANDUNG SELATAN TAHUN 1870-1929 ... 69
4.1 Latar Belakang Berlakunya Kebijakan Undang-Undang Agraria 1870 ... 70
4.1.1 Keadaan Hindia Belanda pada Masa Cultuurstelsel ... 70
4.1.2 Keadaan Politik Kerajaan Belanda ... 75
4.2 Undang-Undang Agraria 1870 ... 81
4.2.1 Berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 di Hindia Belanda ... 81
4.3 Masuknya Modal Swasta ke Hindia Belanda ... 92
4.3.1 Kemunculan Perusahaan-Perusahaan Swasta di Hindia Belanda ... 92
4.4 Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan ... 97
4.4.1 Perkebunan-Perkebunan yang Berada di Bandung Selatan ... 111
Daerah Bandung Selatan ... 118
BAB V KESIMPULAN ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 129
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
4.1 Nilai Komparatif Ekspor Barang Dagangan Negara
dan Swasta Tahun 1856-1870 ... 78 4.2 Perkiraan Nilai Penanaman Modal Perusahaan
Tahun 1885-1939 ... 91 4.3 Jumlah Perusahaan Teh dan Luas Lahan tahun 1923 ... 93 4.4 Luas Lahan Perkebunan Teh di Bandung Selatan
DAFTAR PETA
DAFTAR BAGAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Agrarische Wet merupakan undang-undang (dalam bahasa Belanda disebut
„wet‟) yang dibuat oleh kerajaan Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini
berisi mengenai hukum tanah administratif yang diberlakukan kepada Hindia
Belanda. Undang-undang ini merupakan landasan hukum bagi aturan-aturan yang
akan dikeluarkan oleh pemerintah kolonial dalam kaitan pembagian atas
penguasaan tanah-tanah baik oleh pemerintah, masyarakat pribumi maupun
nonpribumi. “Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum
bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan” (Harsono, 2008: 5).
Berlakunya kebijakan ini, selain sebagai dasar hukum atas kepemilikan
tanah, juga merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah
terutama masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi dilindungi haknya atas
kepemilikan tanah dan dibebaskan dalam penggunaannya. Orang-orang Eropa
tidak bisa dengan leluasa menguasai tanah masyarakat pribumi dengan alasan
apapun. Larangan tersebut berlaku juga bagi pejabat pemerintah kolonial kecuali
dalam hal-hal tertentu, seperti untuk pembangunan sarana atau perluasan kota dan
dengan Undang-Undang Agraria 1870, yaitu sistem sewa dan jual beli (Muchsin
et al, 2010: 14).
Dengan pengertian tersebut, pada intinya Undang-Undang Agraria 1870
merupakan peraturan dasar bagi liberalisasi ekonomi di jajahan Belanda, dimana
penguasaan tanah tidak sepenuhnya berada ditangan pemerintah kolonial. Berbeda
sekali dengan kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya, seperti
landrent (pajak tanah) dan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang menempatkan
tanah sebagai hak milik pemerintah sepenuhnya.
Undang-Undang Agraria 1870 merupakan awal dari liberalisasi ekonomi
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Kebijakan ini merupakan bentuk
perubahan asas ekonomi dari monopoli menjadi ekonomi liberal. Maksud dari
ekonomi liberal sebagaimana yang diungkapkan oleh Deliarnov (2007: 32)
bahwa:
“...menghendaki agar pemerintah sedapat mungkin tidak terlalu banyak campur tangan mengatur perekonomian. Biarkan sajalah perekonomian berjalan dengan wajar tanpa campur tangan pemerintah. Nanti akan ada suatu tangan tak kentara (invisible hands) yang akan membawa perekonomian tersebut kearah keseimbangan”.
Kekuasaan pemerintah kolonial terhadap perekonomian sedikit demi sedikit
dikurangi dengan pembatasan kekuasaan atas tanah dan berlakunya sewa dan jual
beli tanah. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah kolonial secara bertahap
menyerahkan perekonomian kepada pihak swasta.
Berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 adalah akibat dari
perkembangan paham liberal di Kerajaan Belanda. Berkembangnya liberalisme di
Liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa pada abad ke 19 dan dianggap sebagai
paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung
tinggi kebebasan. Berkembangnya paham ini dipicu oleh terjadinya Revolusi
Prancis, yang berhasil menggulingkan kekuasaan absolut raja Louis XVI pada
tahun 1789. Keluarnya Undang-Undang Dasar 1791 di Prancis menjadi awal
pengakuan atas kebebasan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan
menulis, kebebasan memeluk agama, kebebasan berpolitik dan kebebasan bekerja.
Poin kebebasan bekerja menjadi tonggak awal dari munculnya gerakan liberalisasi
ekonomi yang diikuti dengan dihapuskannya monopoli perdagangan,
dihormatinya hak milik atas tanah dan kebebasan dalam penggunaannya (Malet
dan Isaac, 1989: 44).
Paham liberal masuk ke Kerajaan Belanda pada awal abad ke 19 dengan
tokohnya yaitu G. K. Van Hogendorp. Masuknya ideologi liberal memberikan
pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan Kerajaan Belanda, baik dalam politik
maupun ekonomi. Namun pada masa ini, liberalisme hanya sedikit memberikan
pengaruh terhadap kebijakan raja William. Kekuasaan besar tetap dipegang oleh
raja William seperti wewenang menyatakan perang dan damai, manajemen
keuangan, kontrol eksklusif atas koloni-koloni dan mentri negara
bertanggungjawab terhadapnya (Furnivall, 2009: 88).
Perubahan berarti yang ditimbulkan oleh paham liberal terjadi pada tahun
1860, dimana menguatnya dominasi kaum Liberal dalam parlemen Belanda.
Kaum Liberal berhasil mengimbangi kaum Konservatif dan berhasil menduduki
diungkapkan oleh Furnivall (2009: 174) bahwa “Pada tahun 1860 dan 1861
pemimpin Konservatif mengangkat Liberal untuk memimpin Kantor Kolonial”.
Beralihnya kontrol negara kolonial kepada kaum Liberal, memberikan
pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Secara bertahap
mereka melakukan perubahan-perubahan kebijakan menuju liberalisasi ekonomi
di negara-negara jajahannya termasuk Hindia Belanda. Seperti yang diungkapkan
oleh Burger (1962: 207) bahwa “Hal ini berarti pula berobahnja politik kolonial
jang didjalankan antara tahun 1850 dan 1860...”.
Kaum liberal yang mengusung azas kebebasan dalam kebijakannya ingin
menggantikan azas paksaan yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah
kolonial. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Hindia Belanda harus
ditangani oleh pihak swasta. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burger (1962:
204) bahwa, “...pendapat ini pada pokoknya pemerintah harus mendjauhkan diri
dari tjampur tangan dalam kehidupan ekonomi”.
Dalam hal ini kewenangan pemerintah kolonial hanya mengawasi saja,
tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Pemerintah dilarang ikut
campur dalam perekonomian secara langsung, namun wajib menyelenggarakan
fasilitas-fasilitas yang menunjang terhadap kemajuan ekonomi. Senada dengan
pendapat Giersch (1961: 160) bahwa, “Beberapa orang dari mereka beranggapan
bahwa kepada negara lebih banjak diserahkan tugas-tugas selain dari pada hanja
memainkan peranan sebagai seorang pendjaga malam”.
Kemenangan kaum Liberal atas Konservatif dalam parlemen diperoleh
pengusaha-pengusaha besar Belanda yang berkeinginan menanamkan modalnya
di Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1870 tanam paksa sebagai kebijakan
ekonomi di Hindia Belanda sebelumnya dapat dihapuskan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Poesponegoro dan Notosusanto (1993: 118) bahwa, “Oleh sebab itu, dan pula oleh adanya keinginan pihak swasta Belanda untuk memegang
peranan utama dalam eksploitasi sumber-sumber alam Hindia-Belanda, akhirnya
sekitar tahun 1870 Sistem Tanam Paksa dihentikan”.
Pada tahun 1870 di Hindia Belanda dilaksanakan politik ekonomi liberal
atau sering disebut “Politik Pintu Terbuka” (Open Door Policy). Pelaksanaan
politik liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria dan
Undang-Undang Gula. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Simbolon (2006:
142) bahwa, “Dampak dari revolusi liberal hanya terasa lambat-laun di Nusantara, dan baru memuncak setelah keluarnya UU Agraria (Agrarische Wet) dan UU
Gula (Suiker Wet) pada 1870”.
Dengan kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang Agraria 1870
dalam hal sewa dan jual beli tanah, maka para pemilik modal mulai berdatangan
ke Hindia Belanda dan menanamkan modalnya dengan membuka
perkebunan-perkebunan. Menurut Wiyanarti (2007: 154) “Undang-Undang Agraria yang
identik dengan liberalisasi ekonomi pada kenyataannya berintikan kegiatan
perkebunan swasta”. Pihak swasta melakukan sewa tanah secara besar-besaran
dan dalam jangka waktu yang cukup lama dibeberapa daerah Hindia Belanda yang
Salah satu jenis perkebunan yang berkembang pesat dengan masuknya
modal swasta ke Hindia Belanda adalah adanya perkebunan teh. Menurut Tim
Telaga Bakti Nusantara (1997: 15) “...pada akhir abad ke 19 di Indonesia
masing-masing telah ada 100 perkebunan teh dan 82 perkebunan kina walaupun sebagian
besar ada di Jawa Barat”. Jawa Barat dijadikan daerah perkebunan teh
dikarenakan kondisi geografisnya yang menunjang. Sebagian besar daerah Jawa
Barat merupakan dataran tinggi dan memiliki gunung-gunung berapi sehingga
kondisi tanahnya subur. Kondisi geografis ini cocok bagi tanaman teh dan
menghasilkan komoditas teh yang unggul. Sebagaimana yang diungkapkan
Setiawati dan Nasikun (1991: 33) bahwa, “Tanaman teh berasal dari daerah subtropis, karenanya teh harus ditanam di lereng-lereng gunung. Ketinggian
tempat yang ideal biasanya antara 450-1.200 meter diatas permukaan laut”. Daerah Bandung adalah salah satu penghasil teh utama di Karesidenan
Priangan selain Cianjur. Besarnya kontribusi teh daerah ini tidak terlepas dari
penanaman teh yang berkembang di wilayah pegunungan Bandung sejak tahun
1870. Menurut Hardjasaputra (2000: 128) bahwa “Akibat keluarnya Undang -Undang Agraria, banyak pengusaha Eropa yang membuka perkebunan (kina, teh,
dan karet) disekitar kota Bandung”.
Salah satu wilayah persebaran perkebunan teh di Bandung adalah daerah
Bandung Selatan. Pertumbuhan pesat perkebunan teh milik swasta di daerah
Bandung Selatan terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870.
Persebaran perkebunan teh di Bandung Selatan hampir ada disemua distrik,
196). Bandung Selatan merupakan daerah dataran tinggi yang subur dan terletak
pada ketinggian 600 meter sampai 2.300 meter di atas permukaan laut dengan
tingkat kelembaban udara yang rendah, menjadi faktor utama dibukanya
perkebunan-perkebunan teh milik swasta.
Perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan tidak bisa dilepaskan
dari pengusaha swasta seperti K. A .R. Boscha, R. A. Kerkhoven, Van der Huchts
dan keluarga Holle. Mereka dijuluki “Theeplanters” (penanam teh) atau “de
Theejonkers van de Praenger”(para pangeran kerajaan teh di Priangan) oleh
masyarakat dan pemerintah kolonial. Hal ini dikarenakan banyaknya keuntungan
yang didapat oleh para “Theeplaters”, sehingga mereka bisa memperluas areal
perkebunan dan mendapatkan kehidupan yang sangat mewah, bahkan melebihi
kemewahan pejabat pemerintah kolonial (Kunto, 1984: 45).
Perkebunan teh juga menghasilkan keuntungan yang besar bagi pemerintah
kolonial. Keuntungan yang didapat oleh pemerintah kolonial berasal dari
penerimaan pajak dan besarnya nilai ekspor teh. Perkembangan ekspor teh
semakin meningkat (melihat diagram dari Setiawati dan Furnivall) dari tahun
1870 yang hanya menghasilkan sekitar 3 ton dan pada tahun 1930 menjadi 71,9
ton (Setiawati dan Nasikun: 1991; Furnivall: 2009).
Beberapa alasan penulis meneliti penerapan Undang-Undang Agraria 1870
di Hindia Belanda khusunya mengenai perkebunan teh di Bandung Selatan.
Pertama, diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 sebagai sebuah
kebijakan yang liberal sangat menarik untuk dikaji. Dikarenakan Undang-Undang
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial sebelumnya, dan hal ini melambangkan perubahan
situasi politik di Kerajaan Belanda.
Kedua, penulis ingin melihat perubahan yang terjadi pada perekonomian
Hindia Belanda yang sebelumnya memakai sistem monopoli dan cultuurstelsel
yang sudah jelas mendatangkan keuntungan yang besar bagi kas Belanda.
Diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870 merupakan bentuk keberanian
dari pemerintah kolonial dalam hal pengelolaan sumberdaya alam Hindia Belanda
dan peningkatan keuntungan.
Ketiga, pasca diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, modal
swasta mulai masuk ke Hindia Belanda dalam bentuk pembukaan
perkebunan-perkebunan, salah satunya adalah perkebunan teh. Pengusaha swasta merupakan
pelaku ekonomi baru dalam perekonomian di Hindia Belanda. Meskipun sebagai
pelaku ekonomi baru, para pengusaha swasta langsung mendapatkan peranan
yang penting dalam perekonomian di Hindia Belanda. Penulis ingin melihat
seberapa penting kontribusi pengusaha swasta dalam perekonomian Hindia
Belanda pasca 1870.
Keempat, Undang-Undang Agraria adalah kebijakan yang diberlakukan
diseluruh jajahan Belanda. Oleh karena itu, penulis merasa harus menentukan
daerah kajian dengan tujuan supaya pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas.
Bandung Selatan sebagai salah satu daerah di bawah kekuasaan pemerintah
kolonial sudah barang tentu merasakan dampak dari diberlakukannya
Undang Agraria 1870. Penulis ingin melihat bagaimana penerapan
Keterkaitan antara penerapan Undang-Undang Agraria 1870 sebagai dasar
hukum masuknya pengusaha swasta di Bandung Selatan sangat menarik untuk
dikaji lebih dalam. Mengingat pengetahuan penulis, sedikit sekali hasil penelitian
maupun tulisan tentang sejarah Bandung yang dikaitkan dengan segi ekonomi.
Selain itu, penulis sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah merasa
terpanggil untuk melakukan suatu penelitian berkaitan dengan penerapan
Undang-Undang Agraria 1870 di daerah Bandung Selatan.
Berangkat dari alasan yang penulis paparkan di atas, timbulah keinginan
untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai dinamika yang ditimbulkan oleh
Undang-Undang Agraria 1870 terhadap perkembangan perkebunan teh di
Bandung Selatan 1870-1929. Dengan demikian, judul yang penulis ambil adalah
“Undang-Undang Agraria Dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan
Teh Di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”.
1.2Rumusan dan Batasan Masalah
Dalam skripsi ini yang menjadi masalah utama adalah “Bagaimana dampak dari kebijakan Undang-Undang Agraria 1870 terhadap perkembangan perkebunan
teh di Bandung Selatan?”
Sementara untuk membatasi kajian penelitian ini, maka diajukan beberapa
pertanyaan sekaligus sebagai rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini adalah:
2. Bagaimana dampak Undang-Undang Agraria 1870 terhadap masuknya modal
swasta asing ke Hindia Belanda?
3. Bagaimana dampak dari Undang-Undang Agraria terhadap perkembangan
perkebunan teh di daerah Bandung Selatan tahun 1870-1929?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan pembatasan masalah yang telah dibahas pada
poin sebelumnya, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Menjelaskan latar belakang keluarnya Undang-Undang Agraria 1870.
2. Mendeskripsikan dampak Undang-Undang Agraria 1870 terhadap masuknya
modal swasta asing ke Hindia Belanda.
3. Menjelaskan dampak dari Undang-Undang Agraria terhadap perkembangan
perkebunan teh di Bandung Selatan tahun 1870-1929.
1.4Manfaat Penelitian
Dengan mengkaji pembahasan mengenai “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh Di Bandung Selatan Tahun
1870-1929”, terdapat beberapa manfaat yang dirasakan penulis, diantaranya adalah:
1. Memperkaya penulisan mengenai sejarah perekonomian Indonesia pada masa
kolonial, terutama pada akhir abad 19.
2. Memberikan kontribusi dalam penelitian sejarah mengenai penerapan
3. Memberikan gambaran mengenai perkembangan perkebunan teh khususnya di
Bandung Selatan 1870-1929.
1.5Definisi Istilah
Permasalahan yang penulis kaji dalam penulisan skripsi ini mengambil
judul “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh Di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Adapun penjelasan istilah-istilah yang terdapat di dalam judul tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Agraria
Undang-Undang Agraria adalah peraturan yang dibuat untuk mengatur
sistem pertanahan disebuah negara. Di Indonesia, Undang-Undang Agraria
pertama kali muncul pada tahun 1870 ketika masa penjajahan Belanda. Menurut
Setiawan (2008: 400) menjelaskan bahwa, “Ketika penjajah bercokol, hukum
agraria yang diberlakukan secara efektif bersumber pada sebuah undang-undang
yang disebut Agrarische Wet” (1870).
Segala peraturan mengenai sistem pertanahan di Hindia Belanda seluruhnya
diatur oleh Undang-Undang Agraria, mulai dari hak kepemilikan atas tanah
sampai mekanisme penyewaan tanah oleh pihak swasta. Hal ini senada dengan
pendapat Simbolon (2006: 148):
Munculnya Undang-Undang Agraria pada intinya adalah peralihan menuju
sistem ekonomi liberal dengan berazaskan kebebasan. Penguasaan sumber daya
alam sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial yang tercermin dari kebijakan
tanam paksa mulai ditinggalkan dan beralih dengan melibatkan pihak swastsa
dalam pengolahan sumber daya alam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Caldwell dan Utrech (2011: 73) bahwa, “Hukum Agraria 1870 menghapuskan
larangan terhadap pewarisan kontrak dan dengan demikian meratakan jalan bagi
pelaksanaan perkebunan swasta berskala-besar”. 2. Dampak
Definisi dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 290)
yaitu, “pengaruh kuat yang mendatangkan akibat”. Dalam skripsi ini yang dimaksud dengan dampak adalah dampak ekonomi, bagaimana pengaruh suatu
penyelenggaran kegiatan terhadap perekonomian. Penulis ingin memperdalam
akibat yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Agraria 1870 terhadap sistem
pertanahan di Hindia Belanda sehingga berkembangannya perkebunan teh di
Bandung Selatan.
3. Perkembangan
Definisi perkembangan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:
662) yaitu, “perihal berkembang”. Maksud dari perkembangan dalam skripsi ini adalah bagaimana perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan setelah
4. Perkebunan
Perkebunan adalah jenis usaha berupa penglolahan tanah untuk ditanami
salah satu jenis tanaman dengan jumlah yang banyak dan tanah yang luas serta
berada di daerah tertentu. Sedangkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan, mendefinisikan perkebunan sebagai berikut:
“Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat”. 5. Bandung Selatan
Bandung merupakan ibukota Karsidenan Priangan sejak 1864 setelah
dipindahkan dari Cianjur. Perpindahan ini berdampak terhadap ekonomi dengan
dijadikannya Bandung sebagai pusat perekonomian di Karesidenan Priangan. Hal
ini terutama terjadi setelah Undang-Undang Agraria 1870 disahkan, banyak
pemodal swasta membuka hutan untuk mendirikan perkebunan-perkebunan teh
terutama di daerah selatan Bandung (Hardjasaputra, 2000: 128).
“Bandung Selatan (yang sekarang menjadi Kabupaten Bandung) secara
geografis terletak pada koordinat 60,41‟ sampai dengan 70,19‟ Lintang Selatan dan 1070,22‟ sampai dengan 1080,5‟ Bujur Timur. Daerah Bandung Selatan memiliki karakteristik alam berupa dataran tinggi dengan ketinggian 600 meter sampai
2.300 meter di atas permukaan laut”
(http://bpmpbandung.blogspot.com/2011/05/gambaran-umum-wilayah-kabupaten-bandung.html). Karakteristik Bandung Selatan yang berupa dataran tinggi dengan
Sehingga pasca diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, para pengusaha
swasta membuka lahan-lahan perkebunan teh di Bandung Selatan.
6. Kurun Waktu 1870-1929
Tahun 1870 penulis jadikan sebagai awal periodisasi karena pada tahun ini
Undang-Undang Agraria diberlakukan, yang menandai liberalisasi ekonomi di
Hindia Belanda. Undang-Undang Agraria 1870 mendorong partisipasi swasta
dalam mengolah sumber daya alam di Hindia belanda dengan mekanisme sewa
tanah. Sedangkan tahun 1929 dijadikan sebagai akhir periodisasi karena pada
tahun ini terjadi depresi ekonomi dunia. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
komoditi ekspor Hindia Belanda yang mengalami kejatuhan. Menurut Burger
(1962: 16) bahwa, “Dalam tahun 1930 timbullah Depresi Ekonomi besar
diseluruh dunia, jang mengakibatkan djatuhnya harga-harga pada semua sektor,
diperketjilnya produksi ekspor dan merosotnya pendapatan rakjat”.
1.6Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang akan digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah metode
historis yang merupakan suatu metode yang lazim dipergunakan dalam penelitian
sejarah. Metode historis yaitu, suatu proses pengkajian, penjelasan, dan
penganalisaan secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau
(Sjamsuddin, 2001: 17-19).
Adapun langkah-langkah yang akan penulis gunakan dalam melakukan
penelitian sejarah ini sebagaimana dijelaskan oleh Ismaun (2005: 48-50), sebagai
1. Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber sejarah yang dianggap
relevan dengan topik yang dipilih. Cara yang dilakukan adalah mencari dan
mengumpulkan sumber, buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji. Sumber penelitian sejarah terbagi menjadi tiga
yaitu sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Topik yang penulis
pilih berbentuk studi literatur sehingga sumber yang diambil merupakan
sumber literatur.
2. Kritik yaitu memilah dan menyaring keotentikan sumber-sumber yang telah
ditemukan. Pada tahap ini penulis melakukan pengkajian terhadap
sumber-sumber yang didapat untuk mendapatkan kebenaran sumber-sumber. Kritik Sumber
terbagi menjadi dua bagian yang pertama kritik eksternal dan yang kedua
kritik internal. Sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, kritik eksternal
ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek „luar‟ dari sumber sejarah (Sjamsudin, 2007:132). Kebalikan dari kritik eksternal,
kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan
aspek „dalam‟ yaitu isi dari sumber:kesaksian (testimoni) (Sjamsudin,
2007:143).
3. Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta
yang diperoleh dengan cara menghubungkan satu sama lainnya. Pada tahapan
ini penulis mencoba menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh selama
penelitian.
4. Historiografi yaitu tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan ini
menyusun dalam bentuk tulisan dengan jelas dengan gaya bahasa yang
sederhana menggunakan tata bahasa penulisan yang baik dan benar.
Dalam upaya mengumpulkan bahan untuk keperluan penyusunan skripsi,
penulis melakukan teknik penelitian dengan menggunakan studi literatur, teknik
ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang dapat menunjang penelitian.
1.7Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan skripsi yang akan dilakukan oleh
penulis adalah:
BAB I, Pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan latar
belakang masalah mengapa memilih tema ini. Selain itu, bab ini memuat rumusan
masalah yang akan dibahas dan batasan masalah yang bertujuan agar pembahasan
dalam skripsi tidak meluas dari garis yang diterapkan. Bab ini juga memuat tujuan
penulis dan manfaatnya yang menjelaskan tentang hal-hal yang akan disampaikan
untuk menjawab semua permasalahan yang telah ditentukan serta manfaat apa
saja yang dapat diambil dari penulisan ini. Bab ini juga memuat definisi istilah
sebagai penjelasan dari istilah pada judul yang penulis ambil. Bab ini juga
memuat metode dan teknik penulisan yang bertujuan memberikan gambaran
tentang bagaimana langkah-langkah penulis dalam menyusun skripsi, serta
sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka skripsi.
BAB II, Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis. Dalam bab ini dijelaskan
mengenai literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dikaji.
Undang-Undang Agraria 1870 dan perkembangan perkebunan teh di Bandung
Selatan.
BAB III, Metode Penelitian. Dalam bab ini diterangkan mengenai
serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian
guna mendapatkan sumber yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji
oleh penulis. Diantaranya heuristik yaitu proses pengumpulan data-data yang
dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Setelah heuristik dilakukan kritik yaitu
proses pengolahan data-data yang telah didapatkan dari langkah sebelumnya
sehingga data yang diperoleh adalah data yang reliable dan otentik, lalu
interpretasi yaitu penafsiran sejarawan terhadap data-data yang telah disaring.
Tahap yang terakhir yaitu historiografi yaitu merupakan hasil akhir dari penelitian
dan dijadikan laporan sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah yang
berlaku di UPI.
BAB IV, Pembahasan. Pada bab ini membahas uraian mengenai
penjelasan-penjelasan tentang aspek yang ditanyakan dalam rumusan masalah.
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan mengenai latar belakang munculnya
Undang-Undang Agraria 1870 yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Dalam
bab ini juga akan dijelaskan latar belakang masuknya penguasa swasta ke Hindia
Belanda. Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana perkembangan perkebunan teh
di Bandung setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870.
BAB V, Kesimpulan. Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa kesimpulan
pada bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil-hasil temuan penulis tentang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini merupakan penjelasan mengenai metode dan teknik penelitian yang
dipergunakan oleh penulis untuk mengkaji permasalahan dengan skripsi yang
berjudul “Undang-Undang Agraria Dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode historis atau metode sejarah dengan
menggunakan pendekatan interdisipliner.
Penulis mencoba menguraikan langkah-langkah penelitian dengan
menggunakan metode sejarah meliputi proses heuristik, kritik eksternal dan
internal, interpretasi, serta historiografi. Metode sejarah digunakan untuk
menemukan fakta-fakta sejarah yang kemudian diinterpretasi untuk disusun
kedalam sebuah historiografi sejarah. Proses penelitian ini dilakukan untuk
menyusun sebuah skripsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
relevan dengan bidang studi penulis yaitu pendidikan sejarah. Penulis
menguraikan proses tersebut dalam bab ini yang terdiri dari tiga sub-bab utama
yaitu metode dan teknik penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan
penelitian.
3.1Metode dan Teknik Penelitian
3.1.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah,
masa lampau. Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, metode sejarah adalah
“bagaimana mengetahui sejarah” sedangkan metodologi adalah “mengetahui
bagaimana mengetahui sejarah” (Sjamsuddin, 2007: 13-14).
Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip
yang sistematis untuk mengumpulkan sumber secara efektif, menilainya secara
kritis dan menguji sintesis dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk tertulis.
Definisi metode sejarah tersebut diuraikan oleh Gottschalk (1985) dalam bukunya
yang berjudul “Mengerti Sejarah” sebagai berikut:
”Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebut historiografi” (Gottschalk, 1985: 32).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas dapat diperoleh
gambaran bahwa yang dimaksud dengan metode historis atau sejarah adalah suatu
prosedur atau langkah kerja yang digunakan untuk melakukan penelitian terhadap
sumber atau peninggalan masa lampau yang dianalisis secara kritis dan sistematis.
Metode historis ini sangat sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh penulis,
penulis berusaha mencari data dan fakta sejarah yang berhubungan dengan
permasalahan mengenai judul penelitian.
Di dalam metode historis ini terdapat langkah-langkah yang dilakukan oleh
penulis untuk melakukan penulisan mengenai permasalahan dalam penelitian ini.
Menurut Ismaun (2005: 34), langkah-langkah dalam metode historis terdiri atas:
1. Heuristik, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan
(Ismaun, 2005: 49). Secara sederhana, sumber-sumber sejarah itu dapat
lagi, sumber sejarah juga dapat dibeda-bedakan ke dalam sumber resmi
formal dan informal. Selain itu, dapat diklasifikasikan dalam sumber primer
dan sekunder.
2. Kritik, yaitu suatu usaha menilai sumber-sumber sejarah (Ismaun, 2005: 50).
Semua sumber dipilih melalui kritik eksternal dan internal sehingga diperoleh
fakta-fakta yang susuai dengan permasalahan penelitian. Fungsi dari proses
ini adalah untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang diperoleh itu
relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis. Dalam
tahap ini kritik sumber terdapat dua macam, yaitu:
a. Kritik ekstern atau kritik luar, yakni untuk menilai otentitas sumber
sejarah. Sumber otentik tidak mesti harus sama dengan sumber aslinya,
baik menurut isinya yang tersurat maupun yang tersirat. Jadi sumber
otentik bisa juga salinan atau turunan dari aslinya. Dokumen otentik
isinya tidak boleh dipalsukan, tetapi otentisitasnya belum tentu memberi
jaminan untuk dapat dipercaya. Dalam kritik ekstern dipersoalkan bahan
dan bentuk sumber, umur, dan asal dokumen, kapan dibuat, dibuat oleh
siapa, instansi apa, atau atas nama siapa. Sumber itu asli atau salinan, dan
masih utuh seluruhnya atas sudah berubah.
b. Kritik intern atau kritik dalam, yakni untuk menilai kredibilitas sumber
dengan mempersoalkan isinya, maupun pembuatannya, tanggung jawab
dan moralnya. Isinya dinilai dengan membandingkan
kesaksian-kesaksian di dalam sumber dengan kesaksian-kesaksian-kesaksian-kesaksian dari sumber lain.
sumber dengan mempersoalkan hal-hal tersebut. Kemudian dipunguti
fakta-fakta sejarah melalui perumusan data yang didapat, setelah
diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber.
3. Interpretasi, adalah penafsiran terhadap fakta yang telah ditemukan karena
pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang
diteliti.
4. Historiografi, tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang
merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan interdisipliner, yaitu
penelitian yang menggunakan ilmu bantu lainnya dalam satu rumpun ilmu. Dalam
hal ini penulis menggunakan pendekatan dalam satu rumpun ilmu sosial yaitu
ilmu politik dan ekonomi agar lebih memudahkan dalam proses penelitian. Selain
menggunakan ilmu sejarah sebagai alat analisis maka ilmu bantu lainnya akan
membantu mempertajam analisis tersebut. Pendekatan ilmu politik digunakan
dalam menguraikan teori Kedaulatan Negara sebagai salah satu alat analisis untuk
mengidentifikasi fungsi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Teori ini
dipergunakan untuk melihat sejauh mana kewajiban serta hak negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Adapun ilmu ekonomi digunakan untuk
menguraikan teori Dualistik Ekonomi dan teori Akumulasi Kapital sebagai alat
analisis terhadap kemunculan Undang-Undang Agraria 1870. Teori Ekonomi
Dualistik digunakan untuk melihat perkembangan kebijakan Undang-Undang
Sedangkan teori Akumulasi Kapital digunakan untuk melihat peran modal swasta
dalam perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan.
3.1.2 Teknik Penelitian
Teknik penelitian merupakan langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis
dalam upaya mengumpulkan data dan informasi mengenai penulisan skripsi ini.
Dalam penelitian mengenai Undang-Undang Agraria 1870 serta perkembangan
perkebunan teh di Bandung Selatan, penulis menggunakan teknik penelitian studi
kepustakaan (studi literatur). Penjelasan mengenai teknik penelitian yang
digunakan oleh penulis secara lebih lengkapnya dipaparkan dalam uraian berikut
ini:
1. Studi kepustakaan (studi literatur)
Di dalam studi kepustakaan akan diperoleh data yang bersifat primer dan
sekunder. Penulis melakukan studi kepustakaan dengan mengumpulkan sumber
dari arsip tertulis, buku-buku, surat kabar, serta sumber-sumber internet.
Sumber-sumber yang digunakan tersebut tentunya dapat dipercaya kebenarannya setelah
melalui tahap seleksi.
Dalam upaya mengumpulkan sumber literatur ini, penulis mengadakan
kunjungan dibeberapa perpustakaan, lembaga, dan beberapa tempat terkait untuk
mendapatkan informasi dan sumber literatur dibutuhkan. Setelah sumber tersebut
didapatkan kemudian penulis mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan
serta memilih sumber yang relevan dan dapat digunakan sebagai sumber dalam
penulisan skripsi ini melalui tahapan kritik. Adapun beberapa tempat yang
a. Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia.
b. Arsip Nasional Republik Indonesia.
c. Perpustakaan Universitas Padjadjaran.
d. Perpustakaan Kantor P.T. Kereta Api Indonesia.
e. Perpustakaan TNI AD.
f. Perpustakaan Gedung Sate.
3.2Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian adalah tahapan yang dilakukan penulis sebelum
melakukan penelitian. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu
penentuan tema penelitian, menyusun rancangan penelitian dan melaksanakan
ujian proposal skripsi, mengurus perizinan, dan proses bimbingan.
3.2.1 Penentuan Tema Penelitian
Pada tahap ini, langkah awal yang dilakukan adalah menentukan tema
penelitian. Sebagaimana Kuntowijoyo (2003: 91) berpendapat bahwa, “Pemilihan
topik sebaiknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional dan kedekatan
intelektual”. Hal ini mengungkapkan bahwa suatu topik dipilih berdasarkan dua
aspek yaitu karena adanya kegemaran dan keterkaitan penulis dengan disiplin
ilmu tertentu. Sebagai seorang mahasiswa sejarah maka penulis sangat tertarik
untuk memilih topik berkaitan dengan disiplin ilmu sejarah yang terkait dengan
unsur manusia, ruang, dan waktu tertentu. Adapun mengenai tema penelitian,
sejak awal penulis sangat tertarik mengkaji sejarah perekonomian pada masa
Hindia Belanda. Penulis merasa kurangnya perhatian mahasiswa sejarah terhadap
ekonomi pada masa kolonial bisa dijadikan sumber refleksi terhadap keadaan
ekonomi kontemporer. Kejayaan beberapa komoditi perkebunan seperti kopi,
tebu, teh, tembakau dan lainnya menjadi faktor utama dalam menghasilkan
keuntungan. Pengelolaan ekonomi Hindia Belanda yang memberikan keuntungan
kepada kerajaan Belanda patut dijadikan pelajaran untuk saat ini.
Pada tahap awal menentukan tema penelitian, penulis melakukan beberapa
kegiatan seperti membaca literatur yang berkaitan dengan sejarah Indonesia
khususnya pada masa Hindia Belanda. Setelah membaca banyak literatur, penulis
merasa tertarik untuk meneliti Undang-Undang Agraria 1870. Setelah melakukan
konsultasi dengan Bapak Wawan Darmawan, S.Pd M.Hum yang merupakan
pembimbing akademik, penulis mendapatkan petunjuk untuk mengangkat
pengaruh Politik Pintu Terbuka 1870 terhadap perkebunan teh di Bandung
Selatan, karena penelitian tentang permasalahan tersebut masih sangat sedikit,
khususnya di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI masih belum ada.
Penulis merasa tertarik untuk mengkaji tentang Politik Pintu Terbuka
khusunya terhadap Undang-Undang Agraria 1870 yang dikaitkan dengan
perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan. Diberlakukannya
Undang-Undang Agraria 1870 merupakan tonggak awal liberalisasi ekonomi Hindia
Belanda. Kebijakan ekonomi ini sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi
pemerintah kolonial sebelumnya seperti Sewa Tanah dan Tanam Paksa. Kebijakan
ini memberikan kekuasaan terhadap pihak pemodal swasta untuk berpartisipasi
jauh keberhasilan kebijakan ini, mengingat kebijkan ini merupakan hal baru bagi
Hindia Belanda.
Setelah melakukan pencarian literatur ke beberapa perpustakaan akhirnya
penulis memperoleh rumusan judul “Politik Pintu Terbuka 1870 dan Dampaknya
Terhadap Kemunculan Perkebunan Teh di Bandung Selatan”. Tema penelitian
yang telah diperoleh kemudian diajukan kepada dosen TPPS (Tim Pertimbangan
Penulisan Skripsi) jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Langkah selanjutnya
setelah judul tersebut disetujui oleh TPPS, penulis mulai menyusun suatu
rancangan penelitian yang dituangkan ke dalam bentuk proposal skripsi.
3.2.2 Penyusunan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan langkah awal yang harus dilakukan
sebelum melakukan penelitian. Rancangan penelitian ini dapat dijadikan sebuah
acuan dalam penyusunan skripsi. Rancangan ini berupa proposal skripsi yang
diajukan kepada TPPS untuk dipresentasikan dalam seminar proposal skripsi.
Pada dasarnya proposal tersebut memuat judul penelitian, latar belakang masalah
yang merupakan pemaparan mengenai deskripsi masalah yang akan dibahas,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode dan teknik
penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada tahap ini penulis terlebih dahulu melakukan studi literatur, yakni
meneliti dan mempelajari buku yang relevan dengan judul penelitian. Pada tahap
ini penulis mencari bahan pustaka sebagai sumber data awal, dikarenakan sumber
tertulis merupakan sesuatu yang umum digunakan sebagai bahan kajian sejarah.
usulan penelitian kedalam sebuah bentuk proposal skripsi. Proposal tersebut
disetujui dan dipertimbangkan dalam seminar pra-rancangan penelitian/penulisan
skripsi/karya ilmiah melalui surat keputusan yang dikeluarkan TPPS dengan No.
043/TPPS/JPS/2011, serta penunjukan calon pembimbing I yaitu Ibu Dr. Erlina
Wiyanarti, M.Pd dan calon pembimbing II Bapak Eryk Kamsory, S.Pd. Seminar
pra rancangan penelitian/penulisan skripsi dilaksanakan tanggal 19 September
2011.
Pelaksanaan seminar pra-rancangan penulisan skripsi berjalan dengan
lancar, penulis mendapatkan masukan dari calon pembimbing dan beberapa dosen
lainnya mengenai proposal yang telah dibuat khususnya berkaitan dengan latar
belakang dan rumusan masalah. Proposal kemudian disetujui, maka turun SK
(Surat Keputusan) penunjukan pembimbing dari TPPS jurusan Pendidikan Sejarah
dengan nomor yang sama dengan SK seminar proposal yaitu No.
043/TPPS/JPS/2011. Ditetapkan bahwa pembimbing pertama adalah Ibu Dr.
Erlina Wiyanarti, M.Pd dan pembimbing kedua adalah Bapak Eryk Kamsory,
S.Pd.
3.2.3 Mengurus Perizinan
Pada tahap ini, penulis mulai memilih lembaga/instansi yang dapat
memberikan data dan fakta terhadap penelitian yang dilakukan. Pengurusan surat
perizinan dilakukan di jurusan Pendidikan Sejarah yang kemudian diserahkan
kepada bagian akademik FPIPS untuk memperoleh izin dari dekan FPIPS.
Adapun surat-surat perijinan penelitian tersebut ditujukan kepada instansi-instansi
1. Arsip Nasional Republik Indonesia.
2. Perpustakaan Kantor P.T. Kereta Api Indonesia.
3. Perpustakaan TNI AD.
Untuk tahap ini penulis melakukan proses mencari, menemukan, dan
mengumpulkan data-data mengenai Undang-Undang Agraria 1870 serta
perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan.
3.2.4 Proses Bimbingan
Proses bimbingan merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan oleh
penulis selama penyusunan skripsi. Proses bimbingan ini dapat membantu dalam
menentukan langkah yang tepat dari setiap kegiatan penelitian yang dilakukan.
Proses bimbingan juga merupakan kegiatan yang berguna untuk berkonsultasi
mengenai berbagai masalah yang dihadapi dalam penyusunan skripsi. Selama
proses penyusunan skripsi penulis melakukan proses bimbingan dengan
pembimbing I dan pembimbing II sesuai dengan waktu dan teknik bimbingan
yang telah disepakati bersama sehingga bimbingan dapat berjalan lancar dan
diharapkan penyusunan skripsi dapat memberikan hasil sesuai dengan ketentuan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis dibimbing oleh Ibu Dr. Erlina
Wiyanarti, M.Pd selaku pembimbing I dan Bapak Eryk Kamsory, S.Pd selaku
pembimbing II. Setiap hasil penelitian yang penulis temukan dilaporkan kepada
pembimbing untuk dikonsultasikan agar penulis lebih memahami, dan mendapat
petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan
Dalam proses bimbingan penulis mendapatkan beberapa masukan dari
Pembimbing I dan Pembimbing II diantaranya mengenai redaksional judul skripsi,
penajaman latar belakang masalah, pengarahan fokus masalah yang lebih spesifik
serta masukan untuk membaca beberapa sumber literatur yang beliau sarankan
berkenaan dengan penulisan skripsi ini. Sehingga judul yang penulis ambil diganti
menjadi “Undang-Undang Agraria dan Dampaknya Terhadap Perkembangan Perkebunan Teh di Bandung Selatan Tahun 1870-1929”. Perubahan judul ini dimaksudkan untuk mengkerucutkan pembahasan dalam skripsi ini baik tempat
dan kurun waktu.
Penulis beranggapan bahwa kegiatan bimbingan ini sangat diperlukan
untuk dapat menemukan langkah yang paling tepat dalam proses penyusunan
skripsi. Kegiatan bimbingan yang dilakukan dengan cara diskusi dan bertanya
mengenai permasalahan yang sedang dikaji serta untuk mendapatkan petunjuk
atau arahan mengenai penulisan skripsi maupun dalam melaksanakan proses
penelitian. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan dengan
masing-masing pembimbing dan tercatat dalam lembar bimbingan.
3.3Pelaksanaan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh penulis yaitu heuristik, kritik, dan interpretasi. Kegiatan-kegiatan ini
memiliki peranan penting yang menentukan terhadap hasil penyajian penulisan
dalam bentuk sebuah tulisan, adapun kegiatan yang dilakukan dalam tahap-tahap
3.3.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Heuristik merupakan tahap awal dalam penelitian sejarah, yaitu proses
penelusuran, pencarian, dan pengumpulan sumber-sumber sejarah yang relevan
dengan permasalahan penelitian. Menurut Sjamsuddin (2007) yang dimaksud
dengan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung
menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada
masa lalu. Sumber-sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah sejarah yang
mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia
yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata
yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan secara lisan (Sjamsuddin, 2007: 95).
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mencari dan
mengumpulkan berbagai macam sumber tertulis berhubungan dengan tema yang
dikaji berupa sumber primer, sekunder, dan tersier. Jenis-jenis sumber sejarah
yang digunakan penulis antara lain seperti buku, arsip, surat kabar dan sumber
internet. Hal ini dilakukan karena penulis menggunakan teknik studi literatur
sebagai salah satu teknik dalam pengumpulan data. Dalam proses ini, penulis
mengunjungi berbagai perpustakaan baik yang berada di kota Bandung maupun
Jakarta.
Perpustakaan yang pertama dikunjungi adalah perpustakaan Universitas
Pendidikan Indonesia. Buku-buku yang ditemukan di perpustakaan UPI berkaitan
dengan ilmu ekonomi pada masa Hindia Belanda, diantaranya “Politik Ekonomi.”
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa” karangan Setiawan (2008), “Mengerti Sejarah” karangan Gottschalk (1986) serta “Menjadi Indonesia” karangan Simbolon (2006).
Perpustakaan lain yang dikunjungi adalah perpustakaan Fakultas Sastra di
Universitas Padjadjaran, di perpustakaan ini penulis menemukan buku “Sejarah
Perkebunan di Indonesia” karangan Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1994),
“Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” karangan Haryoto Kunto (1984), “Sejarah
Kota-Kota Lama di Jawa Barat” karangan Nina Lubis dkk (2000) serta buku
“Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942” karangan Nina Lubis (1998).
Penulis kemudian melengkapi sumber-sumber tersebut dengan mencari
literatur tambahan dibeberapa toko buku seperti Gramedia, Togamas, dan
Palasari yang berada di daerah Bandung. Penulis menemukan beberapa buku yang
relevan dari toko-toko buku tersebut diantaranya “Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Djilid Pertama” karangan Burger (1962), “Sejarah Alternatif Indonesia” karangan Caldwell dan Utrecht (2011), “Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah” karangan Muchsin dkk (2010) dan buku “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya” karangan Boedi Harsono (2008).
Penulis juga memiliki buku koleksi pribadi yang dianggap relevan yaitu
buku “Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk” karangan Furnivall
(2009), “Beberapa Fasal Ekonomi” karangan Hatta (1960), “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid I” karangan Sartono Kartodirdjo (1993), “Pengantar Sejarah
Sejarah Indonesia” karangan Vlekke (2008), “Pengantar Ilmu Sosial” karangan
Dadang Supardan (2008), “Dasar-Dasar Ilmu Politik” karangan Budiardjo (1989), “Sejarah Sebagai Ilmu” karangan Ismaun (2005), “Penjelasan Sejarah”
karangan Kuntowijoyo (2008), serta buku “Metodologi Sejarah” karangan Helijus Sjamsuddin (2007).
Selain itu, Penulis juga mendapatkan pinjaman buku dari Ibu Dr. Erlina
Wiyanarti, M.Pd selaku pembimbing I yang berjudul “Sejarah Ekonomis
Indonesia” karangan G. Gonggrijp dan diterbitkan oleh De Erven F. Bohn tahun
1928. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari bahasa Belanda dengan judul
“Schets Eener Economische Geschidenis Van Nederlandsch-Indie”.
Sumber tertulis yang telah terkumpul kemudian dibaca, dipahami, dan
dikaji untuk melihat kesesuaiannya dengan permasalahan dalam penelitian.
Penulis melakukan pencatatan terhadap berbagai temuan sumber baik daftar
pustaka, tema-tema penting, maupun konsep-konsep yang terdapat dalam sumber
tersebut. Hal itu dilakukan oleh penulis agar lebih mudah dalam proses penulisan
sejarah, penulis menggunakan sumber-sumber tersebut sebagai bahan rujukan dan
sumber informasi utama dalam menulis fakta-fakta sejarah. Dengan demikian
penulisan karya ilmiah ini dapat dilakukan sesuai dengan prosedur penulisan yang
layak.
3.3.2 Kritik Sumber
Setelah penulis memperoleh sumber-sumber, langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah kritik terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik sumber
diselidiki kesesuaian, keterkaitan, dan keobjektifannya secara eksternal maupun
internal.
Kritik sumber bagi sejarawan erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu
dalam rangka mencari kebenaran (Sjamsuddin, 2007: 118). Kritik sumber terbagi
dalam dua bagian yaitu kritik eksternal dan internal. Tahapan kritik sangat penting
dilakukan karena menyangkut verifikasi sumber, untuk diuji tentang kebenaran
dan ketepatan sumber-sumber yang akan digunakan. Dengan demikian dapat
dibedakan yang benar dan tidak benar, serta yang mungkin dan yang meragukan.
Adapun kritik yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini untuk lebih jelasnya
sebagai berikut.
3.3.2.1Kritik Eksternal
Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu
pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua
informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak
asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak
(Sjamsuddin, 2007: 105).
Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut
sebelum mengkaji isi sumber. Penulis melakukan kritik eksternal dengan cara
melakukan penelusuran dan pengumpulan informasi mengenai penulis sumber
sebagai salah satu cara untuk melihat karya-karya atau tulisan lain yang
dihasilkannya. Sebagaimana dikatakan Sjamsuddin (1996: 106) bahwa,
Penulis melakukan kritik eksternal terhadap sumber tertulis, baik berupa
buku. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk melakukan
penelitian asal-usul sumber. Salah satu contoh kritik eksternal yang dilakukan
penulis adalah kritik terhadap buku yang berjudul “Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia jilid I” yang ditulis oleh Prof. D. H. Burger. Buku ini pada awalnya berupa naskah berbahasa Belanda namun belum diterbitkan dalam bentuk buku.
Atas usaha Prof. Dr. Mr. Prajudi, naskah tersebut dapat diterbitkan tahun 1960
(cetakan kedua) oleh penerbit J. B. Wolters setelah mengalami alih bahasa
kedalam bahasa Indonesia. Karena buku ini diterbitkan tahun 1960, maka
penggunaan bahasa Indonesianya merupakan ejaan yang belum disempurnakan.
Selain itu kualitas dari kertasnya sebagian sudah rusak dimakan usia, namun
tulisannya masih dapat dibaca dengan jelas.
Burger merupakan orang berkebangsaan Belanda yang pernah menjadi
Guru Besar dalam mata kuliah Ekonomi Indonesia pada Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia. Jabatan sebagai Guru Besar
dalam Ilmu Ekonomi Indonesia menjadi salah satu pertimbangan penulis untuk
menggunakan buku tersebut. Penulis menganggap bahwa Burger adalah salah satu
dari sedikitnya ahli sejarah ekonomi Indonesia, khususnya pada masa Hindia
Belanda. Sebelum menjadi Guru Besar, Burger memiliki pengalaman selama 20
tahun menjadi pejabat Pamong Praja Eropa dan aktif dibidang penelitian
ekonomis dan sosiologis dimasa Hindia Belanda. Selain itu, Burger hidup pada
masa Hindia Belanda, sehingga data-data serta analisis yang terdapat dalam
Contoh kedua, penulis melakukan kritik eksternal terhadap buku karangan
Sartono Krtodirdjo yang berjudul “Pengantar Sejarah Indonesia Baru jilid I yang
diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1993 (cetakan keempat) dan “Pengantar
Sejarah Indonesia Baru jilid II” yang diterbitkan oleh Gramedia tahun 1992
(cetakan kedua). Sartono Kartodirdjo merupakan salah satu sejarawan yang sangat
terkenal di Indonesia. Sartono Kartodirdjo merupakan lulusan dari jurusan Sejarah
di Universitas Indonesia tahun 1956. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke
Yale University lulus tahun 1964 dan mendapatkan gelar M. A. Selanjutnya,
Kartodirdjo masuk ke Universiteit Amsterdam di Belanda dan mendapatkan gelar
Ph. D dengan predikat cum laude. Dengan riwayat pendidikannya, penulis
menganggap bahwa buku karangan Sartono Kartodirdjo sangat layak
dipergunakan sebagai sumber dalam penulisan skripsi ini.
3.3.2.2Kritik Internal
Kritik internal merupakan kebalikan dari kritik eksternal. Kritik internal
merupakan penilaian terhadap aspek “dalam”, yaitu isi dari sumber sejarah setelah
sebelumnya disaring melalui kritik eksternal (Sjamsuddin, 2007: 143). Kritik
internal dilakukan dengan tujuan untuk mencari nilai pembuktian yang sebenarnya
dari isi sumber sejarah.
Dalam melakukan kritik internal penulis melakukan perbandingan isi buku
sebagai sumber sekunder dengan arsip sebagai sumber primer yang penulis
jadikan sumber. Contoh kritik internal yang dilakukan oleh penulis adalah
membandingkan isi buku yang berjudul “Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
karangan Boedi Harsono yang diterbitkan tahun 2008 (cetakan keduabelas) oleh
penerbit Djambatan. Arsip yang digunakan oleh penulis merupakan Staatsblad
(Lembaran Negara) yang sudah dibukukan dan terdapat di Perpustakaan Gedung
Sate dengan judul Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1854 dan
Staatsblad Van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870.
Harsono menguraikan bahwa Undang-Undang Agraria 1870 merupakan
tambahan lima ayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement tahun 1854 yang
berjumlah tiga ayat, sehingga Undang-Undang Agraria 1870 menjadi delapan
ayat. Penulis juga membandingkan naskah Undang-Undang Agraria 1870 yang
terdapat dalam buku Boedi Harsono dengan arsip yang penulis peroleh. Naskah
Undang-Undang Agraria 1870 dalam buku Boedi Harsono sama dengan isi dari
arsip tersebut. Kelebihan dari arsip tersebut adalah penjelasan tentang waktu
Undang-Undang Agraria 1870 disahkan serta Gubernur Jenderal yang
mengesahkan undang-undang tersebut. Isi dari Undang-Undang Agraria 1870
sebagai berikut:
Pasal 62 Regerings Reglement 12 September 1854:
1. De Gouvernour Generaal mag geen gronden verkopen
2. In dit verbod zijn niet begrepen kleine stukken gronds, bestemd tot uitbreiding van steden en dropen en tot het oprichten van inrichtingen van nijverheid. 3. De Gouvernour Generaal kan gronden uitgeven in huur, volgens regels bij
ordinnantie te stellen. Onder die gronden worden niet begrepen de zoodanige door de Inlanders ontgonnen, of als gemeene weide, of uit eenigen anderen hofde tot de dorpen of dessa’s behoorende.
(Staatsblad Van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1854 No. 2; Harsono, 2008:
33)
Tambahan Undang-Undang pada 9 April 1870:
5. De Gouvernour Generaal zorgt, dat geenerlei afstand van grond inbreuk maken op de rechten der Indlandsche bevolking.
6. Over gronden door Inlanders voor eigen gebruik ontgonnen, of als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot de dorpen behoorende, wordt door den Gouvernour Generaal neit beschikt dan ten algemeenen nutte, op de voet van artikel 133 en ten behoeve van de op hoog gezag ingevoerde culturen volgens de daarop betrekkelijke verordeningen, tegen behoorlijke schadeloosstelling. 7. Grond door Inlanders in erfelijk individueel gbruik bezeten wordt, op aanvraag
van den rechtmatigen bezitter, in dezen in eigendom afgestaan onder de noodige beperkingen, bij oorbinantie te stellen en in den eigendomsbrief uit te drukken, ten aanzien van de verplichting jegens den lande de gemeente en van de bevoegdheid tot verkoo[ aan neit-Inlanders.
8. Verhuur of ingebruikgeving van gornd door Inlanders aan niet-Inlanders gescheidt volgens regels bij ordinnantie te stellen.
(Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870 No. 55; Harsono, 2008:
33-34).
3.3.3 Penafsiran Sumber (Interpretasi)
Interpretasi adalah penafsiran terhadap fakta-fakta yang penulis dapatkan
dari sumber-sumber sehingga nantinya tercipta suatu penafsiran yang relevan
dengan permasalahan yang penulis kaji. Interpretasi perlu dilakukan agar
data-data atau fakta-fakta yang telah penulis kumpulkan sebelumnya dapat digunakan
sebagai bahan dari penulisan skripsi.
Setelah mengumpulkan sumber dan melakukan kritik terhadap
sumber-sumber tersebut, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah interpretasi atau
penafsiran sumber. Interpretasi merupakan penafsiran terhadap berbagai informasi
yang ditemukan memberikan suatu keberartian (signifikasi) kemudian dituangkan
dalam penulisan utuh. Interpretasi juga merupakan tahapan untuk menafsirkan
fakta-fakta yang terkumpul dengan mengolah fakta setelah dikritisi dengan
Interpretasi dilakukan oleh penulis sebagai usaha untuk mewujudkan
rangkaian fakta yang bersesuaian satu dengan yang lain dan menetapkan artinya.
Atau usaha untuk menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta yang
satu dengan fakta yang lain. Proses menyusun, merangkaikan antara satu fakta
sejarah dengan fakta sejarah yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang dapat
dimengerti dan bermakna.
Dalam melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang penulis
temukan, penulis menggunakan filsafat sejarah deterministik. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Romein dan Lucey dalam Sjamsuddin (2007: 163) bahwa:
“Filsafat determenistik menolak semua penyebab yang berdasarkan kebebasan manusia dalam menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan menjadikan manusia semacam robot; manusia ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Tenaga-tenaga yang berada di luar diri manusia berasal dari dunia fisik seperti faktor geografis (luas daerah, letak daerah, iklim), faktor etnologi (faktor keturunan, fisik biologis yang rasial), faktor dalam lingkungan budaya manusia seperti sistem ekonomi dan sosial”.
Filsafat deterministik digunakan oleh penulis karena semua permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini dilatar belakangi oleh faktor dari luar individu manusia,
yaitu faktor ekonomi dan politik yang menyebabkan manusia atau pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengambil kebijakan dan keputusan.
Dalam interpretasi juga penulis menggunakan pendekatan interdisipliner,
yaitu sebuah pendekatan dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan
disiplin ilmu lain (ilmu sosial) untuk mempertajam analisis kajian (Sjamsuddin,
2007: 189). Beberapa disiplin ilmu yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam
penulis menggunakan beberapa teori seperti teori Ekonomi Dualistik, teori
Akumulasi Kapital dan teori Kedaulatan Negara.
3.4 Laporan Hasil penelitian
Historiografi merupakan tahapan akhir yang dilakukan dalam prosedur
penelitian ini. Tahapan ini merupakan langkah penyusunan hal-hal yang telah
penulis dapatkan dalam bentuk penulisan skripsi. Historiografi berarti pelukisan
sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah
lalu yang disebut sejarah (Ismaun, 2005: 28). Pada penulisan ini penulis
merekonstruksi berbagai fakta yang telah ditemukan dan yang telah dipahami
serta dimengerti secara mendalam sehingga sehingga penulis dapat menjawab
segala permasalahan yang ada dalam penelitian yang telah dilakukan.
Berbagai penafsiran yang telah didapatkan, dikaitkan menjadi beberapa
fakta, disusun ke dalam sebuah skripsi. Di dalam skripsi ini tertuang berbagai hal
yang telah dilakukan dan dihadapi oleh penulis dalam melakukan penelitian.
Selain itu, dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian.
Fakta yang didapat oleh penulis tidak hanya ketika melakukan penelitian
saja, namun penulis juga mendapatkannya ketika penulisan laporan ini sedang
disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting
sehingga penulisan laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh
penulis ketika merasa ada yang kurang dalam penelitian ini.
Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika penulisan sesuai
Universitas Pendidikan Indonesia. Penulisan ini ditujukan sebagai salah satu tugas
akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa dalam jurusan Pendidikan
Sejarah untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.
Hasil penelitian akan disusun ke dalam lima bab, yang terdiri dari
Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Pembahasan, dan
Kesimpulan. Pembagian penyusunan kedalam lima bab ini bertujuan untuk
memudahkan pemahamam terhadap karya tulis ini.
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah
yang menjelaskan kerangka pemikiran mengenai pentingnya penelitian terhadap
Undang-Undang Agraria dan dampaknya terhadap perkembangan perkebunan teh
di Bandung Selatan. Untuk memfokuskan penelitian, maka bab ini dilengkapi pula
dengan rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian. Bab ini juga memuat mengenai definisi istilah dan metode penelitian
yang digunakan serta dilengkapi dengan uraian sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis. Dalam bab ini dipaparkan
mengenai sumber-sumber buku dan sumber lain yang digunakan oleh penulis
sebagai sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap
Undang-Undang Agraria dan dampaknya terhadap perkembangan perkebunan teh
di Bandung Selatan. Dijelaskan pula tentang beberapa teori yang digunakan
penulis berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini akan menjelaskan mengenai
serangkaian kegiatan serta cara-cara yang ditempuh dalam melakukan penelitian
penulis. Diantaranya heuristik, yaitu proses pengumpulan data-data yang
dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Kritik yaitu melakukan penilaian secara
intern dan ekstern terhadap data yang telah diperoleh dalam langkah sebelumnya,
untuk mendapatkan berbagai informasi yang akurat berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji. Interpretasi yaitu penafsiran terhadap fakta yang telah
ditemukan karena pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap
permasalahan yang diteliti. Historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah
penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses
penyusunan hasil penelitian.
Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan pembahasan atas jawaban
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Pada bab ini akan
dijelaskan mengenai latar belakang diberlakukannya Undang-Undang Agraria
1870 di Hindia Belanda. Pada bab ini juga dijelaskan tentang masuknya modal
swasta asing ke Hindia Belanda setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria
1870. Selain itu akan dijelaskan mengenai peran modal swasta dalam
perkembangan perkebunan teh di Bandung Selatan tahun 1870-1929.
Bab V Kesimpulan. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan sebagai
jawaban dari pertanyaan yang diajukan serta sebagai inti dari pembahasan pada
bab-bab sebelumnya dan menguraikan hasil temuan penulis tentang permasalahan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan
dan mengacu pada bab pertama serta hasil analisis pada bab empat. Dalam
kesimpulan ini penulis akan memaparkan beberapa pokok yang merupakan inti
jawaban dari permasalahan yang dikaji. Kesimpulan tersebut adalah sebagai
berikut :
Pertama, berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 di Hindia Belanda
dilatarbelakangi oleh dua hal, pertama berkaitan dengan kebijakan Cultuurstelsel,
kedua berkaitan dengan perkembangan liberalisme di kerajaan Belanda. Kedua
hal tersebut merupakan faktor utama yang mendorong berlakunya liberalisasi
ekonomi di Hindia Belanda.
Cultuurstelsel merupakan kebijakan yang diberlakukan pada tahun 1830.
Kebijakan tersebut memaksa rakyat Hindia Belanda untuk menanam beberapa
tanaman ekspor sebagai pengganti pajak tanah yang dihapuskan. Rakyat harus
membagi seperlima lahann