• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI HIV PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA MENGGUNAKAN DETERMINE HIV-1/2 DAN NESTED PCR HIV GAG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI HIV PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA MENGGUNAKAN DETERMINE HIV-1/2 DAN NESTED PCR HIV GAG SKRIPSI"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

DETEKSI HIV PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA MENGGUNAKAN DETERMINE HIV-1/2 DAN NESTED PCR HIV GAG

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DENNY ADRIANSYAH G0008008

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2011

(2)

commit to user ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Deteksi HIV pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Determine HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag

Denny Adriansyah, NIM : G0008008, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Kamis, 8 Desember 2011

Pembimbing Utama

Nama : Afiono Agung Prasetyo, dr., Ph.D

NIP : 19770907 200212 1 002 ………..

Pembimbing Pendamping

Nama : Yulia Sari, S.Si., M.Si.

NIP : 19800715 200812 2 001 ……….. Penguji Utama Nama : Marwoto, dr., M.Sc, Sp.MK NIP : 19590203 198601 1 004 ……….. Anggota Penguji Nama : Mujosemedi, Drs., M.Sc. NIP : 19600530 198903 1 001 ……….. Surakarta, ………

Ketua Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes.

NIP 19660702 199802 2 001

Dekan FK UNS

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP 19510601 197903 1 002

(3)

commit to user iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 8 Desember 2011

Denny Adriansyah NIM. G.0008008

(4)

commit to user iv

ABSTRAK

Denny Adriansyah, G0008008, Afiono Agung Prasetyo, Yulia Sari, Marwoto,

Mujosemedi, 2011. Deteksi HIV pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan

Determine HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag. Skripsi. Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Tujuan penelitian: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh status dan

data epidemiologi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada komunitas gigolo Surakarta.

Metode: Sampel darah diambil pada Bulan Mei-Juni 2011 dari 30 responden

menggunakan metode respondent driven sampling. Responden diwawancarai tentang karakteristik epidemiologi terkait infeksi HIV. Deteksi serologi 30 sampel darah dilakukan dengan menggunakan Determine HIV-1/2 kemudian dikonfirmasi dengan deteksi molekuler menggunakan Nested RT PCR.

Hasil: HIV seropositif didapatkan pada tiga responden. Aktivitas seksual berisiko

yang dilakukan oleh gigolo diantaranya coitus 83,33 % (25/30), anal intercourse 86,67% (26/30), dan oral sex 96,67 % (29/30). Sebanyak 80 % (24/30) responden melakukan seks tanpa perlindungan. Riwayat tato didapatkan pada 23,33 % (7/30) sedangkan riwayat tindik didapatkan pada 36,67 % (11/30).

Simpulan Penelitian: Infeksi HIV ditemukan pada komunitas gigolo Surakarta.

Terlebih, seluruh responden berisiko tinggi menularkan HIV karena perilaku seksual yang tidak aman.

(5)

commit to user v

ABSTRACT

Denny Adriansyah, G0008008, Afiono Agung Prasetyo, Yulia Sari, Marwoto,

Mujosemedi, 2011. Human Immunodeficiency Virus Detected in the Gigolo Community in Surakarta Used Determine HIV-1/2 and Nested PCR HIV gag. Surakarta. Medical Faculty of Sebelas Maret University.

Objective: The aim of this study was to obtain Human Immunodeficiency Virus

(HIV) status and epidemiological data in gigolo community in Surakarta.

Methods: Blood specimens were collected in May-June 2011 from 30 gigolos by

respondents driven sampling method. Respondents were interviewed about epidemiological charcteristics associated with HIV infection. Serological detection from 30 blood specimens were carried out by Determine HIV-1/2 and then confirmed with molecular detection using nested RT PCR.

Results: HIV seropositive was detected in three respondents. Coitus, anal

intercourse, and oral sex histories were found in 83,33 % (25/30), 86,67 % (26/30), and 96,67 % (29/30) gigolos, respectively. Unprotected sex and history of tattoos and piercings were found in 80 % (24/30), 23,33% (7/30), and 36,67% (11/30) respondents respectively.

Conclusion: HIV infection was detected in gigolo community in Surakarta.

However, all respondents were at high risk of transmitting HIV due to their sexual behavior.

(6)

commit to user vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena dengan rahmat, karunia, dan seizinnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Deteksi HIV pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Determine HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag“ ini tepat pada waktunya.

Laporan penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tulisan ini tidaklah dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Afiono Agung Prasetyo, dr., P.hD, selaku Pembimbing Utama. 3. Yulia Sari, S.Si, M.Si, selaku Pembimbing Pendamping. 4. Marwoto, dr., M.Sc, Sp.MK, selaku Penguji Utama. 5. Mujosemedi, Drs., M.Sc, selaku Anggota Penguji. 6. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi.

7. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas (PPPBBB) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Sebelas Maret (LPPM UNS) Surakarta.

10. Kedua Orang Tua saya, Bapak Darfiansyah, Drs. dan Ibu Fauziah, BA serta adik saya Deleda Freizia.

11. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah turut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan penulis. Akhirnya penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 8 Desember 2011 Denny Adriansyah

(7)

commit to user vii

DAFTAR ISI

PRAKATA vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan masalah 3 C. Tujuan Penelitian 3 D. Manfaat Penelitian 4

BAB II LANDASAN TEORI 5

A. Tinjauan Pustaka 5

1. HIV (Human Immunodeficiency Virus) 5

a. Klasifikasi 5

b. Struktur dan Genom HIV 6

c. Penularan HIV 7

2. Gen gag (group specific antigen) 9

3. Determine HIV-1/2 9

4. Nested PCR 10

(8)

commit to user viii

BAB III METODE PENELITIAN 12

A. Jenis Penelitian 12

B. Lokasi Penelitian 12

C. Subjek Penelitian 12

D. Teknik Sampling 13

E. Rancangan Penelitian 14

F. Alat dan Bahan 15

G. Cara Kerja 16

H. Analisis Data 21

BAB IV HASIL PENELITIAN 22

BAB V PEMBAHASAN 27

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 34

A. Simpulan 34

B. Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

(9)

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama 19

(10)

commit to user x

DAFTAR GAMBAR

(11)

commit to user xi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Wawancara

Lampiran 2. Tabel Data Hasil Wawancara

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya penanggulangan masalah Human Immunodeficiency Virus

(HIV)/Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) di Surakarta masih belum dapat mengatasi angka penderita HIV/AIDS yang semakin meningkat setiap tahunnya. Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Surakarta menilai hal tersebut disebabkan sosialisasi dan upaya penanggulangan belum sepenuhnya mencapai sasaran seluruh komunitas masyarakat (Diskominfo, 2010). Perlu dilakukan pendataan tentang kasus HIV/AIDS yang terjadi di setiap komunitas masyarakat di Surakarta demi tercapainya sosialisasi dan upaya penanggulangan yang tepat sasaran.

Penyebaran HIV melalui hubungan seksual seharusnya menjadi sasaran pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Sebanyak 78 % kasus HIV yang dilaporkan di Jawa Tengah diakibatkan penularan melalui hubungan seksual. Kebanyakan dari orang yang terinfeksi adalah penjaja seks yang melakukan perilaku seksual tidak aman (Depkes dan KPA, 2010). Pendekatan terhadap komunitas penjaja seks dapat menjadi upaya yang baik untuk mengurangi insidensi HIV/AIDS di Jawa Tengah khususnya di Surakarta. Untuk itu diperlukan studi epidemiologi untuk mengetahui kondisi komunitas tersebut agar penanggulangan lebih tepat sasaran.

(13)

commit to user

2

Sub Direktorat AIDS dan Penyakit Menular Seksual Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Kementrian Kesehatan Indonesia (2010) melaporkan kasus AIDS berjumlah 21.770 dengan penambahan kasus baru tahun 2010 sebanyak 1.206 kasus di Indonesia. Sedangkan kasus HIV positif berjumlah 44.292 kasus dengan jumlah kasus baru sebanyak 3.916 kasus. Di Surakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Surakarta, hingga Oktober 2010 tercatat 447 kasus yang terdiri dari 187 kasus HIV positif dan 260 kasus AIDS (Diskominfo, 2010). Kelompok masyarakat yang dilaporkan terinfeksi HIV di Provinsi Jawa Tengah terdiri dari pengguna narkoba suntik/penasun (35 %), pelanggan Wanita Pekerja Seks/WPS (21 %), Lelaki yang Suka Lelaki/LSL (22 %), WPS (6 %), pasangan penasun (5 %), pasangan pelanggan WPS (5 %), waria (4 %), dan narapidana (2 %) (Depkes dan KPA, 2010). Surveilans Terpadu – Biologis Perilaku (STBP) pada kelompok pria berisiko tinggi di Indonesia menunjukkan 3 % pekerja pelabuhan, 1 % tukang ojek, 0,5 % anak buah kapal, dan 0,2 % supir truk telah terinfeksi HIV (KPA, 2007).

Publikasi data tentang HIV pada komunitas gigolo (pria pekerja seks) di Indonesia sangat minim, padahal komunitas ini termasuk kelompok pria berisiko tinggi. Hal tersebut terbukti dari hasil pencarian di pubmed search engine pada tanggal 26 September 2011 dengan kata kunci “HIV Indonesia”, hanya menampilkan satu publikasi tentang HIV pada komunitas gigolo di Indonesia. Publikasi tersebut melaporkan bahwa 3,6 % gigolo di Jakarta anti HIV positif

(14)

(Pisani et al., 2004). Sampai saat ini, sejauh yang peneliti tahu, belum ada data tentang HIV pada komunitas gigolo di Surakarta. Oleh karena itu untuk mengetahui status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta perlu dilakukan kegiatan penelitian untuk mendeteksi HIV pada komunitas ini. Determine

HIV-1/2 dan Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) dipilih karena spesifisitas dan

sensitivitasnya yang tinggi dalam mendeteksi HIV.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta menggunakan

Determine HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Jangka Pendek

Tujuan jangka pendek penelitian dengan judul “Deteksi HIV pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Determine HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag” adalah untuk mengetahui status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta.

2. Tujuan Jangka Panjang

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah sebagai bagian dari usaha membuat data epidemiologi molekuler HIV di Surakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

(15)

commit to user

4

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian dengan judul “Deteksi HIV pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Determine

HIV-1/2 dan Nested PCR HIV gag” adalah untuk mengetahui data awal tentang

status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta.

2. Manfaat Aplikatif

Manfaat aplikatif yang diperoleh berupa data yang dapat digunakan untuk

membantu para klinisi, dinas kesehatan, dan pemerintah kota setempat dalam upaya penanggulangan infeksi HIV. Hasil tes serologi anti-HIV akan disampaikan kepada gigolo yang ingin mengetahui. Jika hasilnya positif maka diberikan saran untuk memeriksakan diri ke rumah sakit yang memiliki pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT). Isolat HIV yang telah didapatkan juga bisa digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut seperti pembuatan vaksin dan keperluan diagnosis.

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. HIV (Human Immunodeficiency Virus) a. Klasifikasi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang tergolong ke dalam genus Lentivirus famili Retroviridae (Büchen-Osmond, 2004). Virus ini memiliki RNA untai tunggal berorientasi positif. Terdapat dua jenis HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah jenis HIV yang pertama kali ditemukan dan sebelumnya dinamakan LAV atau HTLV-III. Virus jenis ini sangat virulen dan infektif karena penularan HIV-1 lebih dominan dibandingkan dengan HIV-2. Berdasarkan HIV-1 Nomenclature Proposal (1999) HIV tipe 1 diklasifikasikan menjadi tiga grup yaitu: grup “major” (M), grup “outlier” (O), dan grup N (non M/non O). Lebih dari 95 % infeksi HIV-1 berasal dari grup M. HIV-1 grup M sendiri memiliki subtipe berdasarkan analisis filogenik regio env dan regio gag yaitu subtipe A, B, C, D, F, G, H, J dan K (Louwagie et al., 1993; Janssens et al., 1994; Kostrikis

et al., 1995; Leitner et al., 1995; Louwagie et al., 1995; Triques et al., 2000).

Terkadang kedua virus dari subtipe yang berbeda dapat menginfeksi satu sel yang sama dan material genetik kedua virus tersebut bercampur sehingga muncul virus baru yang memiliki material genetik campuran antara dua

(17)

commit to user

6

subtipe virus. Banyak strain virus baru yang muncul dari proses hibridisasi virus ini tidak mampu bertahan lama tetapi ada juga strain virus yang mampu bertahan lama dikenal dengan “Circulating Recombinant Form” atau disingkat CRF (Burke, 1997). Berdasarkan laporan hasil penelitian pada penderita HIV-1 seropositif yang dilakukan di Jakarta, strain HIV-1 yang banyak ditemukan yaitu CRF01_AE, subtipe B, CRF01_AE/B, dan CRF33_01B (Sahbandar et al., 2009).

b. Struktur dan Genom HIV

Human Immunodeficiency Virus berbentuk bulat dengan diameter 120

nm atau sekitar enam puluh kali lebih kecil dari eritrosit (McGovern et al., 2002). Virus ini memiliki kapsid tersusun dari dua ribu protein p24 dan matriks tersusun dari protein p17 yang mengelilingi kapsid sehingga memperkuat integritas partikel virion (Robertson et al., 1999). Envelope virus ini terdiri dari dua lapis fosfolipid yang didapat dari membran sel manusia. Pada envelope virus terdapat protein “Env” yang terdiri dari tiga molekul glikoprotein (gp) 120 dan tiga molekul gp41.

Genom RNA untai tunggal HIV terdiri dari tujuh landmark (LTR, TAR, RRE, PE, SLIP, CRS, dan INS) dan sembilan gen (gag, pol, env, tat,

rev, nef, vif, vpr, vpu). Sembilan gen tersebut ditemukan di 1 dan

HIV-2. Terdapat tambahan gen kesepuluh yaitu tev yang merupakan gabungan dari tat, env, dan rev dan hanya ada pada isolat HIV-1 meskipun tidak semua

(18)

isolat HIV-1 memiliki gen ini. HIV-2 memiliki gen tambahan yaitu vpx yang tidak ditemukan pada HIV-1 (Ueno et al., 2003). Tiga dari sembilan gen tersebut, yaitu gag, pol, dan env, akan menyandi protein yang berfungsi dalam pembentukan struktur virus baru. Keenam gen yang lain (tat, rev, nef,

vif, vpr, dan vpu) adalah gen yang menyandi protein yang mengatur

kemampuan HIV untuk menginfeksi, replikasi, dan menimbulkan penyakit (Robertson et al., 1999).

c. Penularan HIV

Hubungan seksual yang tidak aman menjadi salah satu penyebab utama penyebaran HIV selain penggunaan jarum suntik secara bergantian, dan transmisi virus dari ibu ke anak (Depkes dan KPA., 2010). Hal ini disebabkan mudahnya transmisi virus melalui sekret alat genital dari penderita yang mengenai membran mukosa oral, genital, atau rektal pasangan heteroseksual atau homoseksual (Jin et al., 2010; Boily et al., 2009). Karena jumlah virus yang terdapat pada sekret alat genital lebih banyak dibandingkan jumlah di darah tepi, maka terpapar sekret alat genital ketika berhubungan seksual melalui anal, oral, atau vaginal akan menimbulkan risiko terinfeksi HIV yang tinggi (Stephens dan Heimer, 1998).

Di negara maju risiko penularan HIV melalui hubungan heteroseksual dari wanita ke pria adalah 0,04 % sedangkan dari pria ke wanita 0,08 %

(19)

commit to user

8

setiap melakukan aktivitas seksual. Persentase ini meningkat empat sampai sepuluh kali lebih tinggi di negara berkembang dan negara miskin. Persentase risiko setiap melakukan hubungan seksual secara anal insertif 0,62 % sedangkan pada anal reseptif 1,7 % (Boily et al., 2009). Di Jawa Tengah faktor risiko penularan kasus AIDS yang terjadi melalui hubungan heteroseksual paling tinggi yaitu 74 % sedangkan homoseksual hanya 4 % (Depkes dan KPA, 2010).

Pendataan HIV di Indonesia melalui STBP di delapan propinsi (Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Bali, dan Papua) pada kelompok WPS menunjukkan 25 % telah terinfeksi HIV. Pada kelompok waria dan LSL yang dilakukan di tiga kota (Jakarta, Bandung, dan Surabaya) menunjukkan sekitar 73,2 % waria dan 15,7 % LSL terinfeksi HIV (KPA, 2007). Hasil deteksi HIV pada kelompok pria berisiko tinggi yang dilakukan di Deli, Batang, Batam, Medan, Semarang, Surabaya, Jakarta, Merauke, dan Sorong menunjukkan 0,2 % supir truk, 0,5 % anak buah kapal, 3 % pekerja pelabuhan, dan 1 % tukang ojek telah terinfeksi HIV (KPA, 2007). Terakhir, data kasus HIV pada kelompok gigolo di Indonesia yang dilakukan di Jakarta menunjukkan 3,6 % HIV positif (Pisani,

et al., 2004). Semua data ini telah menunjukkan kasus penularan HIV

(20)

2. Gen gag (group specific antigen)

Gen gag (group specific antigen) merupakan salah satu dari tiga gen penyandi protein pembentuk struktur HIV yang mengatur pembentukan partikel virus baru (Adamson dan Freed, 2007; Adamson dan Jones, 2004). Gen gag terdiri dari 1.503 pasang basa dan menyandi poliprotein prekursor Gag oleh ribosom di sitosol. Poliprotein prekursor Gag terdiri atas empat regio struktur utama yaitu matriks (MA), kapsid (CA), nukleokapsid (NC), p6 dan dua regio peptida spacer (SP) yaitu SP1 dan SP2. Protease virus selanjutnya akan memotong poliprotein ini menjadi protein p17, p24, p7, p1, p2, dan p6 (Henderson et al., 1992).

Regio gag merupakan daerah terkonservasi pada genom HIV yang banyak digunakan dalam bidang klinis untuk melakukan deteksi virus maupun provirus HIV dari berbagai subtipe (Locker et al., 2011; Saito et al., 1995). Analisis filogenetik sekuens gag pada daerah ini dapat digunakan untuk membedakan isolat virus dari berbagai subtipe (Louwagie et al., 1993; Bhanja et al., 2005; Sawadogo et al., 2003; Naroeni et al., 2009). Pada penelitian ini semua produk PCR positif nantinya akan disekuens untuk selanjutnya dilakukan analisis filogenetik.

3. Determine HIV-1/2

Determine HIV-1/2 adalah kit serologi untuk mendeteksi secara kualitatif antibodi terhadap HIV-1 dan atau HIV-2 pada plasma/serum darah manusia.

(21)

commit to user

10

Prosedur yang digunakan sangat mudah, cepat, tidak membutuhkan ketrampilan khusus atau alat tertentu, dan hanya dalam 15 menit hasil sudah dapat dilihat. Kit ini dapat mendeteksi semua subtipe HIV yang telah diketahui sehingga akan memudahkan untuk mendiagnosis, memonitor prevalensi, dan skrining HIV. Spesifisitas alat ini adalah 99,75 % dengan sensitivitas 100 % saat diuji coba di Indonesia (Donegan et al., 2004). Kemasan Determine HIV-1/2 dapat disimpan dalam suhu 4 oC.

4. Nested PCR

Nested PCR adalah suatu teknik amplifikasi DNA dengan metode PCR

yang menggunakan dua pasang primer dan menggunakan dua kali reaksi PCR. Reaksi PCR pertama akan mengamplifikasi daerah yang diinginkan dengan sepasang primer sedangkan reaksi PCR kedua akan mengamplifikasi produk PCR yang pertama dengan pasangan primer yang berbeda. Dengan menggunakan Nested PCR, jika terdapat daerah yang salah diamplifikasi pada reaksi pertama maka dapat dihilangkan dengan reaksi PCR yang kedua. Hasil yang didapatkan lebih spesifik dan lebih minim kesalahan amplifikasi dibandingkan dengan menggunakan PCR biasa (Drago et al., 2004; O’Neill et

(22)

B. Kerangka Pemikiran 1. Perilaku berisiko tertular HIV 2. Riwayat pribadi 3. Riwayat kesehatan 4. Pemahaman terhadap HIV/AIDS Terinfeksi HIV Tidak terinfeksi HIV HIV Positif HIV Negatif Isolat HIV Gigolo

(23)

commit to user

12

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan pendekatan cross

sectional, yang merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan oleh

Laboratorium Mikrobiologi FK UNS, Laboratorium Biomedik FK UNS, dan

Division of Virology Faculty of Medicine Tottori University, Japan, dengan judul

“Studi Epidemiologi Molekuler Human Blood Borne Viruses di Indonesia”. Untuk keperluan skripsi, data yang akan dilaporkan adalah status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta dilanjutkan dengan data epidemiologi dan perilaku seksual yang disajikan secara deskriptif.

B. Lokasi Penelitian

Deteksi serologi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK UNS dan deteksi molekuler di Laboratorium Biomedik FK UNS.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah komunitas gigolo di Surakarta yang bersedia menandatangani surat persetujuan dan informed consent untuk semua tindakan yang akan dilakukan setelah dijelaskan tentang garis besar tujuan dari kegiatan penelitian. Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik

(24)

Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah respondent

driven sampling dengan batasan 30 sampel. Gigolo yang bersedia menandatangani

surat persetujuan dan informed consent dianamnesis secara terstruktur. Setelah anamnesis dilanjutkan pengambilan sampel darah dengan teknik pungsi intravena oleh perawat. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA kemudian dibawa ke laboratorium untuk dipindahkan ke polypropylene tube 15 ml dan disentrifugasi untuk memisahkan plasma dengan sel-sel dalam darah. Plasma diambil dan dibagi menjadi beberapa aliquot untuk disimpan dalam suhu -80 oC. Sebagian aliquot digunakan untuk deteksi keberadaan antibodi terhadap HIV-1 dan atau HIV-2 dengan Determine HIV-1/2. Sampel anti-HIV positif (+) kemudian dilakukan deteksi molekuler HIV dengan Nested PCR yang mengamplifikasi sebagian daerah HIV gag.

(25)

commit to user 14 E. Rancangan Penelitian tidak bersedia Bersedia Gigolo di Surakarta

Surat persetujuan dan informed consent

Ambil darah dan wawancara

Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA

Dimasukkan ke polypropylene tube 15 ml, disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm

selama 15 menit Tidak dijadikan sampel Hasil wawancara direkam dan disimpan

Deteksi serologi dengan Determine HIV-1/2

Isolasi asam nukleat

Nested PCR

HIV positif (+) HIV negatif (-)

Elektroforesis

Dilaporkan secara deskriptif Dibawa ke Laboratorium

(26)

F. Alat dan Bahan

1. Kapas alkohol

2. Tabung EDTA (BD, Franklin Lakes, New Jersey) 3. Spuit 5 ml

4. Handscoon dan Masker

5. PCR Microtube + cap (Bio-Rad, Hercules, California)

6. Polypropylene tube 15 ml (BD, Franklin Lakes, New Jersey)

7. Standard Micro Test Tube 1,5 ml (Eppendorf, Hamburg, Deutschland) 8. Centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

9. Nichipet (Nichiryo, Weldon Parkway, Maryland Heights)

10. Filter tips 100-1000 µl, 10-100 µl, dan 1-20 µl (ART, San Diego, California) 11. Determine HIV-1/2 strip test (Inverness, Princeton, New Jersey)

12. GoTaq® Green Master Mix (Promega, Madison, Wisconsin)

13. PureLink™ Viral RNA/DNA Mini Kit (Invitrogen, Carlsbad, California) 14. Gel DocTM XR (Bio-Rad, Hercules, California)

15. Mastercycler Personal® PCR (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

16. Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo, Osaka, Japan)

17.SuperScript III First-Strand Synthesis SuperMix (Invitrogen, Carlsbad, California)

18. Gel agarosa

18. Sampel plasma darah

(27)

commit to user

16

21. Bufer TE (Tris-EDTA) pH 8,0 22. Etanol 70 % dan 100 % 23. Mesin Elektroforesis 24. Submarine gel apparatus

25. EtBr (etidium bromida) 10 mg/ml 26. Autoclave

27. Loading quick ϕX174/Hae III digest, DNA-112 (Toyobo, Osaka, Japan)

G. Cara Kerja

1. Mendapatkan Plasma Darah

Darah di dalam tabung Ethylenediamine-tetraacetic acid (EDTA) dimasukkan ke dalam polypropylene tube 15 ml kemudian disentrifus dengan kecepatan 2.000 rpm selama 15 menit. Setelah terbentuk tiga lapisan, ambil lapisan atas (plasma) dengan hati-hati. Plasma yang telah diambil dibuat aliquot dan dilabel. Sebagian aliquot disimpan dalam suhu -80 oC dan sebagian lain digunakan untuk deteksi (Haryanto et al., 2008).

2. Tes serologi dengan Determine HIV-1/2 (Inverness)

Satu strip kemasan Determine HIV-1/2 diambil. Sampel plasma dipipet sebanyak 50 µl dan diteteskan pada tempat tes yang disediakan. Tunggu selama lima belas menit dan hasilnya dibaca. Untuk interpretasi hasil yaitu: satu garis kontrol berarti HIV negatif, satu garis kontrol dan satu garis tes menunjukkan

(28)

HIV positif, jika tidak muncul garis atau tidak ada garis pada kontrol maka hasil tidak valid.

3. Isolasi asam nukleat

Isolasi asam nukleat menggunakan kit PureLink™ Viral RNA/DNA Mini Kit (Invitrogen) sesuai dengan protokol pada kit, sebagai berikut:

a. Mempersiapkan larutan Lysate

Sebanyak 25 µl Proteinase K dimasukkan ke dalam tabung

mikrosentrifus kemudian ditambahkan 200 µl plasma dan 200 µl lysis buffer. Tabung mikrosentrifus ditutup dan larutan di dalamnya dicampur menggunakan vortex selama 15 detik. Tabung diinkubasi pada suhu 56 oC selama 15 menit setelah itu ditambah 250 µl etanol 100 %. Larutan di dalam tabung dicampur menggunakan vortex selama 15 detik kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang.

b. Prosedur Purifikasi

Larutan Lysate dimasukkan ke dalam viral spin column yang berada di dalam tabung penampung kemudian disentrifus dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Tabung penampung dilepas dan viral spin column dimasukkan ke dalam tabung penampung baru. Viral spin column dicuci dengan memasukkan 500 µl wash buffer dan disentrifus dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Cairan di dalam tabung penampung dibuang dan dipasangkan ke viral spin column lagi untuk dicuci kembali. Setelah

(29)

commit to user

18

dicuci tabung penampung dilepaskan dan viral spin column dimasukkan ke dalam tabung penampung baru. Tabung disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama satu menit kemudian viral spin column dimasukkan ke dalam

1,7 ml Recovery Tube. Terakhir, 50 µl bufer TE pH 8 dimasukkan dan

diinkubasi pada suhu ruang selama satu menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama satu menit. Hasil purifikasi di dalam recovery

tube bisa langsung digunakan atau disimpan pada suhu -80 oC.

4. Sintesis cDNA dengan reaksi transkripsi balik

Sintesis cDNA menggunakan kit SuperScript III First-Strand Synthesis

SuperMix (Invitrogen). Langkah kerja sesuai dengan protokol pada kit tersebut.

Pertama, 6 µl asam nukleat (RNA) dimasukkan ke dalam tabung PCR dan ditambahkan 1 µl primer random hexamer dan 1 µl buffer annealing. Kedua, tabung PCR diinkubasi pada suhu 65 oC selama 5 menit kemudian diinkubasi 4 o

C selama 1 menit. Ketiga, tambahkan 10 µl reaction mix dan 2 µl enzim untuk transkripsi balik. Terakhir, tabung PCR diinkubasi pada suhu 25 oC selama 10 menit, 50 oC selama 50 menit, 85 oC selama 5 menit, dan disimpan dalam suhu 4 oC.

5. Amplifikasi dengan Nested PCR

Pembuatan reaksi PCR menggunakan kit GoTaq® Green Master Mix

(30)

bufer reaksi, 1 µl primer forward, 1 µl primer backward, 2,5 µl cetakan cDNA, dan 8 µl nuclease-free water. Primer yang digunakan pada putaran pertama yaitu primer forward H1G777 (5′-TCACCTAGAACTTTGAATGCATGGG-3′) dan primer backward H1P202 (5′-CTAATACTGTATCATCTGCTCCTGT-3′). Ukuran produk PCR putaran pertama adalah 830 bp. Primer yang digunakan pada putaran kedua yaitu primer forward H1Gag1584

(5′-AAAGATGGATAATCCTGGG-3′) dan primer backward g17

(5′-TCCACATTTCCAACAGCCCTTTTT-3′). Ukuran produk PCR putaran kedua adalah 460 bp (Miura et al., 1990). Tahapan siklus Nested PCR dicantumkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Denaturasi awal 95 ºC 2 menit 1 siklus

Denaturasi 95 ºC 1 menit 35 siklus

Annealing 45 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi 72 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi akhir 72 ºC 5 menit 1 siklus

(31)

commit to user

20

Tabel 2. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Kedua

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Denaturasi awal 95 ºC 2 menit 1 siklus

Denaturasi 95 ºC 1 menit 35 siklus

Annealing 55 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi 72 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi akhir 72 ºC 5 menit 1 siklus

Final hold 4 ºC

6. Elektroforesis menggunakan media gel agarosa 1,5 %.

Mula-mula tiga gram agarosa dimasukkan ke dalam glass beaker dan ditambah bufer TAE 1 x sampai 200 ml. Agarosa dicairkan dengan menggunakan autoclave kemudian dicampur dengan magnetic stirrer dalam keadaan panas. Sambil didinginkan sampai 55 oC, EtBr ditambahkan sampai konsentrasi 0,5 µg/ml dan diaduk dengan magnetic stirrer. Selanjutnya cairan dituangkan ke dalam cetakan gel yang sudah dipasangi sisir dan dibiarkan dalam suhu kamar selama 15-20 menit sampai menjadi padat. Setelah padat, sisir diambil secara hati-hati dan diletakkan ke dalam bak elektroforesis. Gel digenangi (sampai cukup tergenang) dengan bufer TAE 1 x. Terakhir, 5 µl

Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo) dimasukkan ke dalam

(32)

(Toyobo) dimasukkan ke dalam sumur kedua, dilanjutkan 2,5 ml produk Nested PCR ke dalam sumur berikutnya secara urut sesuai nomor sampel. Setelah semua sampel dimasukkan, mesin elektroforesis disetel 100 Volt selama 30 menit kemudian dinyalakan (Prasetyo, 2011).

H. Analisis Data

(33)

commit to user

22

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Didapatkan 30 gigolo dan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan darah sekaligus wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 25, 26, 27, 30, 31 Mei 2011 dan 8 Juni 2011. Responden yang ikut serta dalam penelitian ini memiliki rentang usia antara 19 tahun sampai 49 tahun (rata-rata 30,5 tahun) dan merupakan WNI yang berasal dari suku Jawa. Daftar pertanyaan wawancara dapat dilihat pada Lampiran 1 dan data tabel hasil wawancara dapat dilihat pada Lampiran 2.

Dari hasil wawancara didapatkan seluruh responden mengaku sudah disirkumsisi, tidak memiliki pekerjaan yang berkontak dengan darah, tidak pernah menerima transfusi darah, cuci darah, dan transplantasi organ. Responden dapat melayani dan menjajakan seks kepada pria, wanita, dan waria. Sebanyak 90 % (27/30) responden berorientasi biseksual, 10 % (3/30) mengaku berorientasi seksual sejenis. Memenuhi kebutuhan ekonomi karena belum memiliki pekerjaan atau penghasilan yang kurang mencukupi menjadi alasan 86,67 % (26/30) dari mereka untuk menjalani pekerjaan sebagai gigolo, sedangkan 13,33 % (4/30) lainnya mengaku hanya ‘iseng’ untuk memenuhi kebutuhan biologis.

Aktivitas seksual berisiko berupa anal intercourse, oral seks, coitus, dan petting dilakukan oleh 36,67 % (11/30) responden. Sebanyak 30 % (9/30) responden melakukan anal intercourse, oral seks, dan coitus; sedangkan 16,67 % (5/30) responden lainnya pernah melakukan anal intercourse, oral seks, dan petting. Selain

(34)

itu, terdapat 3,33 % (1/30) responden yang tidak pernah melakukan oral seks dan 13,33 % (4/30) responden sisanya tidak pernah melakukan anal intercourse.

Hasil wawancara tentang pemakaian kondom saat berhubungan seksual menunjukkan sebanyak 86,67 % (26/30) mengaku kadang-kadang saja menggunakan kondom dan sisanya mengaku tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seks anal maupun vaginal. Hanya terdapat 23,08 % (6/26) responden yang selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks melalui anal, 53,85 % (14/26) lainnya mengaku jarang, dan 23,08 % (6/26) sisanya tidak pernah menggunakan kondom.

Dari riwayat tato dan tindik yang dilakukan responden, didapatkan sebanyak 53,33 % (16/30) memiliki tato dan atau tindik, 46,67 % (14/30) sisanya tidak pernah ditato atau ditindik. Dari 53,33 % gigolo yang memiliki tato atau tindik, 31,25 % (5/16) menggunakan jarum yang dipakai secara bergantian dan sisanya 68,75 % (11/16) tidak menggunakan jarum yang dipakai secara bergantian.

Dari tiga puluh responden, hanya satu responden yang pernah tinggal di dalam lembaga koreksional. Responden tersebut tinggal di lembaga koreksional di Surakarta selama 2 bulan 1 minggu di dalam sebuah kamar yang berisi tujuh orang. Di dalam penjara, responden pernah menggunakan jarum suntik bersama dan berhubungan seksual dengan sesama narapidana tanpa menggunakan kondom.

Hasil pemeriksaan serologi anti-HIV dari tiga puluh responden didapatkan tiga responden (10 %) yang HIV seropositif. Berdasarkan hasil wawancara, ketiga responden tersebut tidak pernah tertusuk benda yang terkontaminasi darah, tidak pernah menerima transfusi darah, tidak memiliki riwayat penggunaan jarum suntik

(35)

commit to user

24

bersama, dan tidak pernah tinggal di lembaga koreksional. Dari ketiga responden tersebut, responden pertama pernah melakukan hubungan seksual dengan Warga Negara Asing (WNA) sebanyak lebih dari seratus orang yang berasal dari Perancis, Kanada, Australia, dan Malaysia tanpa pernah menggunakan kondom. Hubungan seksual tersebut dilakukan 4-5 kali dalam satu minggu. Aktivitas seksual yang biasa dilakukan dengan WNA tersebut di antaranya french kiss, oral seks, anal intercourse, dan petting. Responden ini juga pernah melakukan operasi plastik di sebuah salon kecantikan di Bali karena indikasi kosmetik. Bagian wajah yang dioperasi yaitu hidung, bibir, dan dagu. Saat di Bali pula, tepatnya di sebuah mall, responden mendapatkan tindik di telinga dengan alat yang digunakan secara bergantian. Selain dengan WNA, responden tersebut juga telah melakukan aktivitas seksual komersial dengan ratusan WNI laki-laki karena alasan memenuhi kebutuhan ekonomi sebagai tulang punggung keluarga. Responden ini tidak pernah melakukan pemeriksaan HIV sebelumnya dan tidak pernah menggunakan obat antiretrovirus (ARV). Bulan Oktober 2010 (7 bulan sebelum wawancara tanggal 31 Mei 2011) responden pria berusia 45 tahun ini dirawat di rumah sakit selama 6 bulan karena TB paru.

Responden HIV seropositif yang kedua mengaku berkali-kali melakukan pesta seks dan telah melakukan hubungan seksual dengan lebih dari 500 pria. Hubungan seksual dilakukan secara rutin hampir setiap hari. Responden jarang menggunakan kondom karena menuruti permintaan pelanggannya. Aktivitas seksual yang biasa dilakukan di antaranya french kiss, anal intercourse, dan oral seks. Responden pria berusia 32 tahun ini pernah menggunakan narkotika ganja dan sabu-sabu selama 10

(36)

tahun sejak usia 10 tahun. Saat usia tersebut responden juga memiliki tato dan tindik dengan jarum yang menurut pengakuan responden tidak steril dan digunakan secara bergantian. Responden juga memiliki riwayat berhubungan seksual dengan pemakai sabu-sabu namun responden tidak tahu apakah pasangannya juga menggunakan jenis narkoba suntik. Sebelumnya responden juga pernah dirawat di rumah sakit karena flek pada paru-paru. Responden tersebut memiliki riwayat pemeriksaan HIV sebanyak dua kali dengan pemeriksaan terakhir tahun 2004 namun hasil pemeriksaan tidak pernah diambil. Responden ini tidak mengetahui hasil pemeriksaannya dan tidak pernah menggunakan obat ARV.

Responden ketiga baru berusia 19 tahun namun telah berhubungan seksual komersial dengan lebih dari 10 pria dan lebih dari 5 wanita. Aktivitas seksual yang biasa dilakukannya yaitu coitus, oral seks, petting, dan anal intercourse. Aktivitas seksual tersebut selalu dilakukan dengan menggunakan kondom. Responden ini memiliki tindik di telinga yang diperolehnya pada tahun 2007 dan dilakukan di rumahnya sendiri dengan alat yang menurutnya steril dan hanya sekali pakai. Responden juga tidak pernah menggunakan narkoba suntik, tidak bertato, dan mengaku tidak pernah menggunakan alat cukur maupun sikat gigi secara bergantian. Tidak ada riwayat pemeriksaan HIV sebelumnya dan tidak pernah mengonsumsi obat ARV.

Plasma darah ketiga responden tersebut kemudian dilakukan ekstraksi asam nukleat untuk mengisolasi RNA di dalam plasma. RNA tersebut selanjutnya ditranskripsi balik untuk memperoleh cDNA yang selanjutnya digunakan untuk

(37)

commit to user

26

deteksi molekuler dengan nested PCR. Deteksi molekuler gen HIV gag dengan

Nested PCR memberikan hasil negatif pada ketiga responden HIV seropositif,

ditunjukkan dengan tidak terbentuknya pita sebesar 460 bp pada hasil elektroforesis produk PCR. Hasil negatif juga ditunjukkan pada deteksi molekuler gen HIV pol (Gambar 1).

Gambar 1. Hasil Deteksi Molekuler HIV gag.

Ketiga sampel (S1, S2, S3) merupakan responden HIV seropositif. Pemeriksaan menggunakan kontrol positif untuk HIV gag (gag kon+) dan kontrol positif untuk

HIV pol (pol kon+). Marker 1 (M1) menggunkan Loading quickλ/Hind III digest

DNA-110 dan marker 2 (M2) menggunakan Loading quick ϕX174/Hae III digest DNA-112. M1 M2 gag kon+ pol kon+ S1 S2 S3 23.130 bp 9.416 bp 6.557 bp 2.322 bp 2.027 bp 1.353 bp 1.078 bp 872 bp 603 bp 271 bp 460 bp 288bp

(38)

BAB V PEMBAHASAN

Pelaku utama penularan HIV melalui hubungan seksual adalah para pekerja seks komersial (Depkes dan KPA, 2010; UNAIDS, 2010). Salah satunya adalah komunitas pria pekerja seks yang lebih dikenal dengan nama gigolo yang diduga menjadi pelaku penularan HIV di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan 10 % dari komunitas tersebut terjangkit HIV.

Dari hasil wawancara didapatkan semua responden HIV seropositif tidak memiliki riwayat kontak dengan darah. Selain itu, dari tiga responden HIV seropositif hanya satu yang memiliki riwayat tato dan pernah menggunakan narkoba. Ketiga responden memiliki tindik namun hanya dua yang mengaku menggunakan jarum yang digunakan bergantian. Kemungkinan terbesar penularan HIV dalam komunitas gigolo berasal dari hubungan seksual yang berisiko karena ketiga responden tersebut memiliki riwayat berhubungan seksual dengan banyak pasangan pria dan wanita. Hasil ini sesuai dengan data risiko penularan kasus AIDS di Jawa Tengah yang dilakukan oleh Depkes dan KPA (2010).

Risiko terbesar transmisi virus melalui hubungan seksual adalah lewat anal, kemudian vaginal, dan yang terkecil adalah lewat oral (Jin et al., 2010; UNAIDS, 2010; Boily et al., 2009; Gray et al., 2001). Tingginya konsentrasi virus dan adanya ulserasi merupakan penyebab utama kemungkinan terinfeksi HIV lewat hubungan seksual (Gray et al., 2001). Mukosa anus lebih tipis dan lebih rentan terjadi ulserasi

(39)

commit to user

28

dibandingkan dengan mukosa vagina. Selain itu, mukosa anus juga memiliki banyak pembuluh darah sehingga mudah terjadi perdarahan sehingga penularan HIV menjadi lebih mudah lewat hubungan seksual melalui anal (Jin et al., 2010; Boily et al., 2009). Sekret genital memiliki konsentrasi virus tertinggi pada orang yang baru terinfeksi HIV namun masih lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi di plasma darah (Fideli et al., 2001; Quinn et al., 2000). Hasil penelitian yang dilakukan di Uganda membuktikan bahwa peningkatan konsentrasi virus akan meningkatkan faktor risiko penularannya (Quinn et al., 2000). Konsentrasi virus dalam sekret genital juga dipengaruhi oleh jumlah virus dalam plasma darah. Sehingga, semakin banyak jumlah virus dalam plasma darah akan semakin meningkatkan konsentrasi virus dalam sekret genital (Pilcher et al., 2007; Hart et al., 1999).

Aktivitas seksual yang sering dilakukan oleh para gigolo tersebut adalah anal seks dan oral seks. Hal ini dikarenakan pelanggan terbanyak berasal dari kaum pria. Sebanyak 83,33 % (25/30) responden gigolo juga mengaku sering melakukan coitus dikarenakan gigolo sudah memiliki istri atau mengaku sebagai pengguna jasa WPS. Ada pula seorang dari gigolo yang tidak pernah berhubungan seksual dengan pria tetapi memiliki sekitar 500 pelanggan wanita yang dilayani secara rutin tanpa menggunakan kondom. Pelanggan wanitanya biasa protes dan merasa tersinggung apabila responden menggunakan kondom. Sebagian besar alasannya tidak menggunakan kondom karena faktor kenikmatan atau kepuasan seksual yang akan berkurang dan atau permintaan pelanggannya yang tidak ingin menggunakan kondom.

(40)

Termasuk ke dalam hubungan seksual berisiko adalah hubungan seksual dengan WNA karena sampai saat ini banyak WNA di Indonesia yang telah mengidap HIV/AIDS. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali menyampaikan bahwa bulan Mei 2011 lalu terdata 29 WNA penderita HIV/AIDS berada di Pulau Bali (Antaranews, 2011). Dalam penelitian ini, responden HIV seropositif juga memiliki riwayat berhubungan seksual dengan WNA. Hal tersebut juga menjadi kemungkinan penyebab infeksi HIV pada responden terutama bila WNA tersebut berasal dari daerah yang terus mengalami peningkatan kasus HIV seperti Negara Eropa Timur dan Asia Tengah (UNAIDS, 2010). Terlebih, responden mengaku tidak mengetahui tentang risiko tertular HIV jika berhubungan dengan WNA tersebut sehingga edukasi kepada para pekerja seksual tentang bahaya berhubungan seks dengan WNA yang berisiko perlu dilakukan dan direkomendasikan kepada aktivis dan pemerintah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual dipengaruhi pula oleh sirkumsisi (Siegfried et al., 2009). Dari hasil penelitian ini seluruh responden sudah disirkumsisi (dan saat diperiksa seronegatif untuk HIV). Pria yang sudah disirkumsisi memiliki risiko luka akibat coitus yang rendah dibandingkan pria yang tidak disirkumsisi (Mehta et al., 2010). Keuntungan lain dari sirkumsisi juga ditunjukkan oleh penelitian di Afrika Selatan yang menunjukkan penurunan infeksi HIV melalui hubungan heteroseksual sebanyak 38 % sampai 66 % pada pria yang telah disirkumsisi. Lebih dari tiga puluh penelitian lainnya juga membuktikan keuntungan

(41)

commit to user

30

sirkumsisi dalam mencegah penularan HIV (Siegfried et al., 2009; Szabo dan Short, 2000).

Sebanyak 86,67% (26/30) responden telah terbiasa menggunakan kondom ketika berhubungan seksual. Responden menggunakan kondom karena ingin terhindar dari penyakit menular seksual walaupun ada juga yang beralasan supaya tidak hamil. Kondom telah terbukti dan diterima secara luas sebagai pilihan pencegahan transmisi virus melalui hubungan seksual (Weller dan Davis, 2002; de vincenzi, 1994). Sesuai dengan hasil penelitian bahwa penggunaan kondom yang konsisten mampu mengurangi penularan HIV melalui hubungan seksual sampai 85 % (NIAID, 2001). Responden yang mengaku selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual memberikan hasil negatif dalam tes serologi HIV. Banyaknya pekerja seks komersial yang menggunakan kondom menunjukkan keberhasilan pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam mempromosikan kondom di kalangan pekerja seks.

Riwayat tato dan tindik yang dilakukan secara tidak steril dengan jarum yang bergantian oleh responden seropositif HIV awalnya memberikan kecurigaan bahwa hal tersebut juga menjadi penyebab responden terinfeksi HIV. Walaupun belum ada kasus HIV/AIDS dilaporkan akibat tindakan tato dan tindik yang tidak steril atau bergantian, Centers for Disease Control and Prevention (2010) merekomendasikan untuk melakukan sterilisasi dan menggunakan jarum sekali pakai.

Determine HIV-1/2 merupakan jenis pemeriksaan serologi yang dapat

mendeteksi HIV dengan cepat dan berbasis imunologi. Determine HIV-1/2 hanya dapat digunakan untuk skrining, bukan untuk diagnosis pasti HIV (Constantine et al.,

(42)

2005; Branson, 2003). Setelah dilakukan skrining, pemeriksaan Western blot dan

Indirect fluorescence assays (IFA) digunakan sebagai konfirmasi untuk

mengeliminasi hasil positif palsu dari pemeriksaan skrining. Diagnosis pasti infeksi HIV yang telah mendapat persetujuan dari US Food and Drug Administration (FDA) adalah pemeriksaan berbasis molekuler Nucleic Acid Test (NAT) yang dapat mendeteksi RNA virus (Darko et al., 2007). Pemeriksaan NAT ini di antaranya dilakukan dengan teknik isolasi DNA, PCR, dan elektroforesis. Selain itu, secara klinis sering digunakan pemeriksaan CD4+ dan viremia untuk menentukan stadium infeksi HIV (Simon et al., 2006).

Hasil deteksi molekuler untuk ketiga responden HIV seropositif tersebut memberikan hasil negatif yang ditunjukkan dengan tidak didapatkannya pita pada hasil elektroforesis. Hasil negatif yang didapat bukan berasal dari kesalahan teknis laboratorium karena peneliti telah mengulang pemeriksaan dan telah menggunakan kontrol amplifikasi eksternal. Kontrol amplifikasi eksternal menggunakan sampel yang sudah diketahui HIV positif dengan menggunakan kit dan metode deteksi yang sama menunjukkan hasil positif pada PCR dan elektroforesis. Selain itu, dalam deteksi molekuler HIV juga dilakukan deteksi gen pol menggunakan kit dan sampel yang sama namun tetap memberikan hasil negatif meskipun kontrol ekternal untuk amplifikasi gen HIV pol memberikan hasil positif. Hal tersebut menunjukkan tidak ada kesalahan dalam teknik, kit, dan primer yang digunakan dalam penelitian.

Hasil negatif pada deteksi molekuler kemungkinan besar disebabkan virus yang tidak terambil saat pengambilan darah intravena karena jumlah RNA virus yang

(43)

commit to user

32

sedikit. Sedikitnya jumlah virus bisa disebabkan sifat virus yang kurang patogen sehingga mudah ditangani oleh sistem imun yang relatif lebih kuat (Cao et al., 1995; Pantaleo et al., 1995). Sistem imunitas yang berperan dalam hal ini adalah CD8+ yang mampu menekan replikasi virus sehingga mengurangi jumlahnya (Simon et al., 2006). Jumlah CD8+ yang telah diketahui meningkat dapat menghambat replikasi virus sampai 90 % (Cao et al., 1995). Sedangkan, monitor jumlah CD4+ lebih dari 600 sel/mm3 secara berkelanjutan dapat menetapkan individu tersebut temasuk kasus HIV non progresif (Pantaleo et al., 1995). Sayangnya, dalam penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan CD8.

Kemungkinan yang mengakibatkan hasil negatif deteksi molekuler dapat dikarenakan jumlah RNA virus di bawah batas deteksi untuk mampu memberikan tanda (pita) saat dielektroforesis yaitu 104 kopi/ml (Promega, 2011). Perjalanan penyakit yang lambat pada individu tersebut, sistem imun yang relatif kuat, adanya delesi pada gen gag yang membuat virus tersebut kurang patogen, atau terinfeksi oleh HIV subtipe lain yang belum bisa terdeteksi juga mengakibatkan hasil deteksi molekuler negatif (Kovacs, 2001). Tidak menutup kemungkinan adanya resistensi terhadap virus HIV pada responden, seperti kasus HIV non progresif yang sudah pernah dilaporkan sebelumnya akibat adanya polimorfisme atau variasi genetik dari koreseptor C-C Chemokine Receptor type 5 (CCR5) berupa delesi sebanyak 32 bp pada gen CCR5 yang dikenal dengan nama CCR5Δ32 (atau CCR5delta32 atau CCR5-D32). Individu dengan CCR5Δ32 ini memiliki proteksi terhadap infeksi virus HIV karena virus kehilangan koreseptornya (CCR5) dan tidak bisa mengenali

(44)

reseptor CCR5Δ32 ini sehingga invasi virus ke dalam sel target tidak terjadi (Simon

et al., 2006; Pantaleo et al., 1995; Ioannidis et al., 2001). Selain itu, individu dengan

mutasi koreseptor C-C Chemokine Receptor type 2 (CCR2) yang dikenal dengan CCR2-64I juga menunjukkan jumlah RNA virus yang rendah (Ioannidis et al., 2001) Di Indonesia, sejauh yang peneliti ketahui, data tentang resistensi akibat mutasi ini belum pernah diteliti.

Selain gen penyandi koreseptor CCR5 dan CCR2, terdapat genom lain yang memiliki variasi genetik terkait infeksi virus HIV pada manusia. Dalam studi yang dilakukan genome-wide association studies (GWAS) ditemukan bahwa variasi atau polimorfisme pada genom tersebut berefek pada status klinis pasien yang terinfeksi HIV, dapat mempercepat atau menghambat perjalanan penyakit dan mempengaruhi jumlah RNA atau DNA virus. Daftar gen dengan polimorfismenya dapat dilihat pada

Lampiran 3. Sampel yang diambil dalam studi GWAS ini berasal dari orang

Kaukasia, Afrika, dan Eropa (Aouizerat et al., 2011). Eksplorasi variasi genom manusia terkait status klinis pasien yang terinfeksi HIV pada orang Asia, khususnya Indonesia, masih belum ada. Oleh sebab itu, penelitian eksplorasi genom manusia ini menjadi sangat menarik untuk dilakukan guna mengetahui jumlah, distribusi, dan perjalanan penyakit orang dengan infeksi HIV di Indonesia. Jika penelitian genom manusia ini terus dilanjutkan, hasil yang didapat sangat mungkin untuk digunakan dalam pembuatan antibodi atau antagonis sebagai pencegahan dan pengobatan infeksi HIV.

(45)

commit to user

34

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Hasil pemeriksaan serologi HIV yang dilakukan dengan Determine HIV-1/2 (Inverness) memberikan hasil seropositif HIV pada tiga responden dari tiga puluh responden yang diperiksa.

2. Ketiga responden HIV seropositif memiliki riwayat risiko terinfeksi melalui hubungan seksual yang tidak aman, pemakaian tato, dan tindik.

3. Deteksi molekuler dengan Nested PCR HIV gag memberikan hasil negatif pada ketiga responden HIV seropositif.

B. Saran

1. Perlu dilakukan pemeriksaan dan monitoring CD4 dan CD8 untuk ketiga responden HIV seropositif yang rutin dilakukan setiap enam bulan sekali. 2. Perlu diadakan penelitian tentang eksplorasi variasi genom manusia terkait

status klinis pasien yang terinfeksi HIV.

3. Perlu dilanjutkan kegiatan surveillance untuk melengkapi data epidemiologi molekuler HIV pada komunitas Gigolo di Indonesia sehingga dapat digunakan dalam program pencegahan dan pemberantasan HIV di Indonesia.

Gambar

Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama  19  Tabel 2. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Kedua  20
Gambar 1. Hasil Deteksi Molekuler HIV gag  26
Tabel 1. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Pertama
Tabel 2. Tahapan Siklus Nested PCR Putaran Kedua
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Minat dalam Menggunakan Kontrasepsi

Variabel FBIR secara parsial mempunyai pengaruh positif yang signifikan. terhadap CAR pada bank sampel

(2) pengaruh penggunaan HCS dengan variasi bahan bakar bensin (Premium, Pertalite dan Pertamax) terhadap torsi dan daya sepeda motor Suzuki Satria FU150.. Penelitian ini

Dalam penelitian aliran dalam pipa ini menggunakan alat C6MKII Fluid Friction Measurements yang merupakan suatu rangkaian jaringan pipa yang dapat digunakan untuk mengukur

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 tentang Kepala Perangkat Daerah berkewajiban menjadikan Reviu RPJMD

konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan beberapa konsep yang digunakan untuk menggambarkan berbagai konsep komputasi yang melibatkan

Melalui agen sosialisasi politik yang terdapat pada teori Michael Rush dan Phillip Althoff dan teori Almond dan Verba amat berketepatan dengan kajian yang akan dijalankan iaitu

Nilai p < 0,05 dapat diinterpretasikan secara statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar magnesium dalam air dengan kejadian batu saluran kemih, sehingga