• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI VIRUS HEPATITIS C (HCV) PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA BERBASIS NESTED PCR PADA REGIO E1-E2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI VIRUS HEPATITIS C (HCV) PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA BERBASIS NESTED PCR PADA REGIO E1-E2"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI VIRUS HEPATITIS C (HCV) PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA BERBASIS NESTED PCR PADA REGIO E1-E2

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Sofina Kusnadi G0008171

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2011

(2)

iv ABSTRAK

Sofina Kusnadi. G0008171. 2012. Deteksi Virus Hepatitis C (HCV) pada Komunitas Gigolo Surakarta Berbasis Nested PCR pada Regio E1-E2. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Deteksi virus hepatitis C (HCV) dilakukan untuk mengetahui status infeksi HCV pada komunitas gigolo Surakarta.

Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan

cross-sectional. Subjek penelitian adalah 30 gigolo di Surakarta yang diperoleh

dengan teknik quota sampling. Wawancara terstruktur dan pengambilan sampel darah dilakukan pada tiap responden. Plasma darah kemudian dideteksi anti-HCV dengan metode particle agglutination assay. Sampel dengan anti-HCV positif kemudian dideteksi sebagian regio E1-E2 HCV dengan nested PCR.

Hasil Penelitian : Anti-HCV positif terdeteksi pada 23,3% (7/30) responden. Riwayat melakukan hubungan seksual anal dan vaginal ditemukan pada 73,4% (22/30) responden, penggunaan kondom secara inkonsisten ditemukan pada 73,3% (22/30) responden, penggunaan narkotika suntik bergantian ditemukan pada 3,3% (1/30) responden, serta riwayat tato dan tindik ditemukan pada 53,3% (16/30) responden. Sebagian regio E1-E2 HCV tidak terdeteksi pada sampel dengan anti-HCV positif.

Simpulan Penelitian : Infeksi HCV terdeteksi pada komunitas gigolo Surakarta. Data awal epidemiologi dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam manajemen infeksi HCV dalam kesehatan masyarakat.

Kata kunci: gigolo, Surakarta, HCV E1-E2

(3)

vii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI ... 4

A. Tinjauan Pustaka ... 4

1. Virus Hepatitis C (HCV) ... 4

2. Transmisi HCV ... 5

3. Deteksi Infeksi HCV ... 6

4. Regio E1-E2 sebagai Target Amplifikasi Nested PCR ... 7

B. Kerangka Pemikiran ... 8

BAB III. METODE PENELITIAN ... 9

A. Jenis Penelitian ... 9

B. Lokasi Penelitian ... 9

C. Subjek Penelitian ... 9

D. Teknik Pengumpulan Data ... 9

E. Rancangan Penelitian ... 10

F. Alat dan Bahan ... 11

G. Cara Kerja ... 13

H. Analisis Data ... 19

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 20

BAB V. PEMBAHASAN ... 25

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 32

A. Simpulan ... 32

B. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ... 41 commit to user

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Virus hepatitis C (HCV) merupakan salah satu penyebab utama penyakit hepatitis kronis, sirosis hepatis, dan karsinoma sel hepar (Drexler et al., 2009). Lima puluh hingga 80% pasien HCV akut persisten dan 4-20% pasien dengan hepatitis C kronis akan mengalami progresifitas penyakit menjadi sirosis hepatis dalam waktu 20 tahun. Pasien dengan sirosis hepatis memiliki risiko 1-5% untuk mengalami perkembangan penyakit menjadi karsinoma sel hepar (Brass et al., 2006).

Diduga terdapat sedikitnya 170 juta penduduk dunia yang terinfeksi HCV (Drexler et al., 2009). Prevalensi infeksi HCV tertinggi terdapat di wilayah Asia dan Afrika (Shepard et al., 2005). Survei yang dilakukan pada populasi masyarakat umum dan pendonor darah di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi HCV pada populasi tersebut sebesar 2,5% atau mencakup 5,31 juta jiwa. Sekitar 45.000 kasus sirosis hepatis dan 18.000 kasus karsinoma sel hepar terdeteksi di Indonesia setiap tahunnya (WHO, 2011).

Virus hepatitis C merupakan virus yang ditransmisikan melalui darah dan produk darah. Faktor risiko transmisi HCV yang sering ditemukan antara lain transfusi darah dari pendonor yang tidak ditapis terlebih dahulu, penggunaan bersama jarum suntik, injeksi medis yang tidak aman, dan prosedur layanan kesehatan lainnya. Terdapat variasi luas dari aktifitas seseorang yang melibatkan

(5)

paparan terhadap darah maupun produk darah. Oleh karena itu, ada banyak jalur transmisi HCV yang dapat terjadi. Jalur transmisi tersebut antara lain hubungan seksual dengan pasangan yang terinfeksi HCV, prosedur kosmetik dan praktik keagamaan atau kebudayaan seperti tato, tindik, cukur, praktik ritual, sirkumsisi, dan akupunktur (Shepard et al., 2005).

Virus hepatitis C dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual (Halfon et

al., 2001; Lai et al., 2004; Nakayama et al., 2005; Terrault, 2002). Individu yang

melakukan transaksi seksual memiliki frekuensi lebih tinggi dalam berhubungan dengan banyak partner seks dan cenderung terikat dalam perilaku biseksual dibanding masyarakat pada umumnya (Baseman et al., 1999; Weber et al., 2001; Weber et al., 2002). Pekerja seks komersial pria atau disebut pula gigolo merupakan pelaku transaksi seksual. Gigolo merupakan individu dengan risiko tinggi terinfeksi HCV dan menjadi sumber infeksi HCV melalui hubungan seksual. Berbeda dengan pekerja seks komersial wanita, gigolo dapat memiliki

partner seks tidak hanya wanita tetapi juga pria (Rissel et al, 2003). Dengan

demikian, peneliti lebih memilih gigolo dibanding pekerja seks komersial wanita di Surakarta sebagai subjek penelitian untuk deteksi infeksi HCV. Deteksi infeksi HCV pada komunitas gigolo ini penting untuk dilakukan agar dapat diketahui status infeksi HCV pada komunitas tersebut dan dapat dilakukan pencegahan meluasnya transmisi HCV pada masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana deteksi infeksi HCV pada komunitas gigolo di Surakarta melalui nested PCR yang mengamplifikasi sebagian regio E1-E2 HCV?

(6)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Jangka Pendek

Mendapatkan data status infeksi HCV pada komunitas gigolo di Surakarta.

2. Tujuan Jangka Panjang

Mendapatkan profil epidemiologi molekuler HCV pada komunitas risiko tinggi terinfeksi HCV melalui hubungan seksual di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik

Mengetahui status infeksi HCV pada komunitas gigolo di Surakarta. 2. Manfaat Aplikatif

Mendapatkan data awal status infeksi HCV pada komunitas gigolo di Surakarta yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan kesehatan terkait infeksi HCV di Surakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya.

(7)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Virus Hepatitis C (HCV)

Virus hepatitis C tergolong dalam famili Flaviviridae dan merupakan satu-satunya anggota genus Hepacivirus (Brass et al., 2006). HCV berbentuk sferis dengan diameter 50 sampai 70 nm. HCV memiliki struktur ikosahedral serta ber-envelope (Kato, 2001). Genom HCV berupa

ribonucleic acid (RNA) untai tunggal positif berukuran 9,6 kilo basa (kb)

dan mengandung Open Reading Frame (ORF) yang diapit oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan (untranslated region atau UTR) pada masing-masing ujung 5’ dan 3’ (Choo et al., 1989; Spahn et al., 2001). Genom HCV terdiri dari regio core, E1, E2, dan p7 yang mengkode protein struktural, serta regio NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B yang akan mengkode protein non struktural (Gambar 1) (Kato, 2001).

Gambar 1. Struktur Genom Virus Hepatitis C (Kato, 2001).

(8)

2. Transmisi HCV

Virus hepatitis C dapat ditransmisikan melalui berbagai jalur. Transmisi HCV terbanyak terjadi melalui transfusi darah dan penggunaan bersama jarum suntik untuk narkotika (Murphy et al., 2007). Prosedur layanan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialisis, maupun operasi dapat menjadi jalur transmisi HCV. Transmisi HCV juga dapat terjadi melalui paparan parenteral lain seperti tato, tindik, dan akupunktur (Ishi et

al., 2001; Shepard et al., 2005; Terrault, 2002).

Virus hepatitis C dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual meskipun efisiensi infeksinya lebih rendah dibanding virus lain dengan jalur transmisi serupa seperti hepatitis B virus (HBV) dan human

immunodeficiency virus (HIV) (Terrault, 2002). Ribonucleic acid (RNA)

HCV dapat dideteksi pada cairan semen, sekret vagina, dan usapan serviks meskipun titernya rendah (Bélec et al., 2003; Leruez-Ville et al., 2000; Manavi et al., 1999; Pekler et al., 2003). Ada beberapa laporan kasus yang menunjukkan bahwa pasangan seksual dari individu dengan infeksi HCV mengalami serokonversi anti-HCV dalam plasma darahnya. Dalam kasus tersebut, berdasarkan penelusuran riwayat kesehatan, tidak ditemukan faktor risiko transmisi HCV selain melalui jalur seksual. Pemeriksaan terhadap genom HCV pada pasangan yang menjadi subjek studi tersebut pun menunjukkan strain HCV yang ditemukan memiliki homologi tinggi (Halfon et al., 2001; Lai et al., 2004; Nakayama et al., 2005). Selain itu, sejak tahun 1995 hingga tahun 2000 di Amerika Serikat, 18% kasus infeksi

(9)

HCV akut terjadi pada pasien yang memiliki riwayat kontak seksual dengan orang lain yang memiliki status positif terinfeksi HCV sebagai satu-satunya faktor risiko terinfeksi HCV (Terrault, 2002).

Transmisi HCV melalui hubungan seksual terjadi ketika darah atau sekret tubuh orang yang terinfeksi HCV mengalami kontak melalui permukaan mukosa tubuh pasangan seksualnya. Hubungan seksual tanpa penggunaan kondom sebagai pengaman merupakan faktor risiko terjadinya transmisi HCV (Irfan dan Arfin, 2004). Transmisi HCV lebih mudah terjadi melalui hubungan seks anal dibanding seks vaginal karena lapisan mukosa rektum merupakan lapisan yang tipis. Seks anal dapat menimbulkan luka kecil pada lapisan mukosa rektum sehingga dapat terjadi kontak darah (Hershow et al., 1998; Ndimbie et al., 1996; Thomas et al., 1995). Seks oral, baik yang dilakukan terhadap pria (fellatio) maupun yang dilakukan terhadap wanita (cunnilingus) dapat menjadi jalur transmisi HCV. HCV dapat ditransmisikan melalui jalur ini jika seseorang memiliki luka di daerah mulut, perdarahan di gusi, infeksi tenggorokan, atau terdapat darah saat berlangsungnya aktivitas seks oral. Seseorang dengan penyakit menular seksual lebih mudah mengalami transmisi HCV karena penyakit tersebut menimbulkan luka pada daerah genital sehingga memungkinkan terjadinya kontak darah (Franciscus, 2010).

3. Deteksi Infeksi HCV

Deteksi anti-HCV atau disebut juga tes serologi direkomendasikan sebagai tes rutin untuk individu yang tidak menunjukkan gejala infeksi

(10)

HCV (Moyer et al., 1999). Namun, infeksi virus dalam tubuh seseorang dapat mengalami window period. Window period dalam infeksi HCV merupakan masalah utama bagi keamanan darah seseorang. Selama periode tersebut, antibodi spesifik HCV belum bisa dideteksi walaupun sebenarnya terdapat virus dalam darah. Oleh karena itu, tes antibodi tidak mampu mengidentifikasi status infeksi seseorang yang berada pada fase awal infeksi HCV (Ré et al., 2005). Deteksi genom HCV merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan sebagai gold standard (Colin et al., 2001). Deteksi genom dapat dilakukan melalui teknik biologi molekuler dasar yang meliputi ekstraksi asam nukleat, polymerase chain reaction (PCR), dan elektroforesis (Prasetyo, 2011).

4. Regio E1-E2 HCV sebagai Target Amplifikasi Nested PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik amplifikasi

DNA selektif in vitro yang meniru fenomena replikasi DNA in vivo. Nested

PCR berarti reaksi PCR dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah

untuk amplifikasi awal segmen DNA target, sedangkan tahap kedua menggunakan sebagian produk PCR tahap pertama. Pasangan primer tahap pertama berbeda dengan tahap kedua. Tahap PCR kedua bertujuan untuk mengamplifikasi daerah bagian dalam dari daerah yang diamplifikasi PCR tahap pertama (Prasetyo, 2011).

Dalam penelitian ini, sebagian daerah dalam regio E1-E2 HCV yang mengandung daerah hypervariable region 1 (HVR1) dipilih sebagai target amplifikasi PCR (Kageyama et al., 2009; Zhang et al., 2004). Analisis

(11)

sekuen regio HVR1 dapat mengungkapkan heterogenitas strain HCV (Ray

et al., 2000). Regio HVR1 dapat digunakan untuk menentukan genotipe

HCV dan dapat menjadi diskriminan antar tipe dan subtipe HCV (Murphy

et al., 2007).

B. Kerangka Pemikiran

Risiko transmisi HCV:

1. Riwayat hubungan seksual dengan pasangan seksual terinfeksi HCV.

2. Riwayat tidak menggunakan kondom dalam berhubungan seksual.

3. Riwayat seks anal.

4. Riwayat penggunaan bersama narkotika suntik. 5. Riwayat bertato dan bertindik.

(Hershow et al., 1998; Irfan dan Arfeen, 2004; Ishi et al., 2001; Murphy et al., 2007; Ndimbie et al., 1996; Shepard et al., 2005; Terrault, 2002; Thomas et al., 1995).

Komunitas gigolo di Surakarta

Sampel darah

Plasma darah

Deteksi anti-HCV

Anti-HCV positif Anti-HCV negatif

Amplifikasi sebagian regio E1-E2 HCV dengan Nested PCR

Analisis produk PCR dengan elektroforesis

Hasil PCR positif

Analisis data epidemiologi HCV pada komunitas gigolo di

Surakarta

(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan cross-sectional. B. Lokasi penelitian

Uji serologi plasma darah dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan deteksi molekuler dilaksanakan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah komunitas gigolo di Surakarta yang menandatangani informed consent dan surat persetujuan menjadi partisipan studi. D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

quota sampling dengan jumlah responden 30 orang.

(13)

E. Rancangan Penelitian

Sampel darah

Uji serologi aliquot plasma dengan kit Ortho HCV Ab

PA II ®

Anti-HCV negatif

Anti-HCV positif

Ekstraksi RNA HCV dari aliquot plasma darah

Sintesis cDNA HCV

Nested PCR sebagian genom E1-E2

HCV

Elektroforesis Aliquot plasma darah

Fraksinasi

Didapatkan plasma darah

(14)

F. Alat dan Bahan 1. Alat

a. spuit injeksi 5 ml

b. cool box dan cool pack

c. tabung EDTA

d. centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Jerman)

e. tube rack

f. micropipette (P1000, P200, P10) (Gilson, Middleton, WI)

g. magnetic stirrer (Biomega, Redding, CA)

h. viral spin column

i. collection tube

j. wash tube (2 ml)

k. recovery tube (1,5 ml)

l. thermocycler (Eppendorf, Hamburg, Jerman)

m. vortex (Thermo Fisher Scientific, Worcester, MA)

n. autoclave (Hirayama, Saitama, Jepang)

o. waterbath (Thermo Fisher Scientific, Worcester, MA)

p. gel documentation (BioRad, Los Angeles, CA)

q. digital scale (Mettler Toledo, Greifensee, Switzerland)

r. aparatus elektroforesis (chamber, comb, dan power supply) (BioRad, Los Angeles, CA)

s. refrigerator (Sharp, Osaka, Jepang)

t. deep freezer (New Brunswick Scientific, Edison, NJ)

(15)

u. class II safety cabinet (ESCO, Portland, OR)

2. Bahan

a. sampel darah

b. kit Ortho HCV Ab PA II® (Fujirebio, Tokyo, Japan)

c. kit PureLink™ Viral RNA/DNA (Invitrogen, Carlsbad, CA)

d. kit SuperScript III First-Strand Synthesis SuperMix

(Invitrogen, Carlsbad, CA)

e. primer oligonukleotida (primer forward dan primer backward)

f. nuclease-free water

g. bufer Tris-EDTA (TE) pH 8

h. loading dye

i. agarosa

j. larutan Tris-Acetate-EDTA (TAE) 1X

k. ethidium bromide (EtBr) 10 mg/ml

l. Loading quick® λ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo, Osaka,

Japan)

m. Loading Quick® ФX174/ Hae III (Toyobo, Osaka, Japan)

n. etanol 70% dan 96%

o. tip filter (10 ml, 200 ml, dan 1000 ml)

p. microcentrifuge tube 1,5 ml

q. tabung PCR dan cap tabung PCR

r. polypropylene (PP) tube 15 ml

s. 96 MicroWell™ Plates (Nunc, Rochester, NY)

(16)

t. tisu u. parafilm v. handscoen w. masker G. Cara Kerja 1. Preparasi Sampel

Preparasi sampel dimulai dengan mengambil darah subjek penelitian sebanyak 5 ml dan memasukkannya ke dalam tabung EDTA. Tabung EDTA kemudian dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi

cool pack. Sampel darah dalam tabung EDTA dipindahkan ke dalam polypropylene (pp) tube lalu difraksinasi melalui sentrifugasi pada

kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Setelah dilakukan fraksinasi, akan terbentuk tiga lapisan pada sampel darah. Bagian paling atas merupakan plasma darah, bagian tengah merupakan peripheral blood mononuclear

cells (PBMC), dan lapisan terbawah merupakan kumpulan sel darah

merah. Plasma darah diambil dengan mikropipet untuk dibuat aliquotnya ke dalam microcentrifuge tube.

2. Uji Serologi Plasma Darah

Deteksi anti-HCV dalam plasma darah dilakukan dengan metode

particle agglutination menggunakan kit Ortho HCV Ab PA II® (Fujirebio).

Komponen kit ini terdiri dari reconstituting solution, sample diluent,

sensitized particle, lyophilized control particles, positive control, dan negative control. Reconstituting solution sebanyak 1 ml dimasukkan ke

(17)

dalam tabung berisi lyophilized control particles, lalu dicampur dengan menggunakan mikropipet.

Pemeriksaan serologi dilaksanakan dengan menggunakan 96

microwell plate U shape. Well yang digunakan berjumlah tiga well untuk

setiap sampel. Reagen dimasukkan ke dalam setiap well. Well pertama dimasukkan 75 µL sample diluent. Well kedua dan ketiga dimasukkan masing-masing 25 µL sample diluent. Plasma darah sebanyak 25 µL dimasukkan ke dalam well pertama lalu dicampur dengan menggunakan mikropipet. Setelah itu dilakukan transfer antar well. Dari well pertama, 25 µL larutan diambil menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke well kedua lalu dicampur dengan menggunakan mikropipet. Dari well kedua, 25 µL larutan diambil dan dimasukkan ke well ketiga lalu dicampur dengan menggunakan mikropipet. Dua puluh lima mikroliter larutan dari

well ketiga diambil lalu dibuang. Selanjutnya, 25 µL control particle

ditambahkan ke dalam well kedua dan 25 µL sensitized particle ditambahkan ke well ketiga. Plate kemudian digoyangkan secara perlahan, lalu diinkubasi selama 2 jam dan kemudian dilakukan interpretasi terhadap pola aglutinasi yang terjadi di dasar well. Apabila partikel yang teraglutinasi menyebar secara seragam di dasar well dan dikelilingi lingkaran merah, berarti hasil adalah positif dua (++). Jika partikel membentuk pola cincin dengan garis terluar berbentuk kasar dan tidak teratur serta dikelilingi lingkaran merah kecil berarti hasil adalah positif satu (+). Hasil positif negatif (+/-) berarti partikel membentuk pola cincin

(18)

bergaris luar halus dengan lubang di tengah. Pada hasil demikian, pemeriksaan harus diulang. Hasil negatif (-) berarti partikel membentuk titik di tengah dasar well dengan garis luar halus atau partikel membentuk pola cincin dengan lubang sangat kecil di tengahnya dan bergaris luar halus.

3. Ekstraksi asam nukleat HCV menggunakan Kit PureLink™

Viral RNA/DNA (Invitrogen, Carlsbad, CA)

Ekstraksi asam nukleat HCV dimulai dengan persiapan lisat. Dua puluh lima mikroliter proteinase K, 200 µL plasma darah, dan 200 µL lysis

buffer dimasukkan ke dalam microcentrifuge tube steril lalu dicampur

menggunakan vortex selama 15 detik. Selanjutnya, 250 µL etanol 100% ditambahkan ke dalam microcentrifuge tube lalu dilakukan vortex selama 15 detik dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruangan. Lisat tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam viral spin column dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Supernatan dan collection

tube kemudian dibuang. Selanjutnya dilakukan tahap pencucian dengan

cara memasukkan 500 µL wash buffer ke dalam column lalu disentrifugasi dan supernatan dibuang. Langkah pencucian diulang satu kali. Untuk membuang wash buffer yang masih ada dalam spin column, dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm selama satu menit. Spin column dipindahkan ke dalam recovery tube berukuran 1,7 ml. Spin column ditambahkan TE RNase DNase free water sebanyak 50 µL dan dilakukan inkubasi pada suhu ruangan selama satu menit. Selanjutnya dilakukan

(19)

sentrifugasi selama satu menit pada kecepatan 14.000 rpm untuk mengelusi asam nukleat ke recovery tube. Asam nukleat virus yang telah diekstraksi dapat disimpan pada suhu -80oC atau digunakan langsung untuk langkah berikutnya (Invitrogen, 2006).

4. Sintesis Complementary DNA (cDNA)

Sintesis cDNA terhadap asam nukleat yang telah diekstraksi dilakukan dengan menggunakan kit SuperScript III First-Strand Synthesis

SuperMix (Invitrogen). Sebelum digunakan, dilakukan mix dan spin down

pada setiap reagen kit. Enam mikroliter asam nukleat, 1 µL primer random heksamer, dan 1 µL bufer annealing dimasukkan ke dalam tabung PCR berukuran 0,2 ml dan diinkubasi pada suhu 65oC selama lima menit. Setelah inkubasi, campuran didinginkan pada suhu 4oC selama satu menit dan dilakukan spin down. Kemudian, ditambahkan 10 µl 2X First-Strand

Reaction Mix dan 2 µl SuperScript™ III/RNaseOUT™ Enzyme Mix lalu

dilakukan pipetting serta spin down. Selanjutnya campuran tersebut diinkubasi selama 10 menit pada suhu 25oC dan dilanjutkan pada suhu 50oC selama 50 menit. Reaksi diakhiri pada suhu 85oC selama lima menit. Setelah reaksi selesai, tabung PCR didinginkan pada suhu 4oC. Hasil reaksi sintesis cDNA dapat disimpan pada suhu -20oC atau langsung digunakan dalam tahap PCR (Invitrogen, 2010a).

5. Nested Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi nested PCR dilakukan dengan menggunakan kit Platinum®

PCR SuperMix (Invitrogen). Ke dalam tabung PCR, dimasukkan 45 µL

(20)

Platinum® PCR SuperMix, primer hingga mencapai konsentrasi akhir

200nM, dan template DNA. Kemudian, tabung PCR yang telah ditutup dimasukkan ke dalam thermal cycler (Invitrogen, 2010b). Kondisi PCR yang digunakan ditampilkan di Tabel 1.

Tabel 1. Pengaturan Kondisi PCR Sebagian Regio HCV E1-E2

Putaran Tahap Suhu Waktu Siklus

Pertama

Denaturasi awal 94oC 10 menit 1 Denaturasi 94oC 30 detik 45

45 45

Annealing 50ºC 30 detik

Elongasi 72ºC 1 menit

Elongasi akhir 72ºC 10 menit 1

Kedua

Denaturasi awal 94oC 10 menit 1 Denaturasi 94oC 30 detik 45

45 45

Annealing 50ºC 30 detik

Elongasi 72ºC 1 menit

Elongasi akhir 72ºC 10 menit 1

Primer yang digunakan dalam putaran PCR pertama adalah primer

sense Lqz188 (5’-CAY CGB ATG GCH TGG GAY ATG ATG ATG AA) dan

primer antisense Lqz187 (5’-CCY ACB ACM ACD GGG CTN GGD GTG AAR CAR TA). Untuk putaran PCR kedua, primer yang digunakan adalah primer sense Lqz189 (5’-TGG GAY ATG ATG ATG AAY TGG TC) dan primer antisense Lqz187 (Zhang et al., 2004). commit to user

(21)

6. Elektroforesis

Elekroforesis dilakukan untuk analisis produk nested PCR. Untuk elektroforesis, digunakan gel agarosa 1,5% dalam larutan Tris-Acetate-EDTA (TAE) I X. Agarosa dibuat melalui penambahan 3 gram agarosa ke dalam 200 ml TAE 1X dalam tabung Erlenmeyer. Agarosa dicairkan lalu dicampur menggunakan magnetic stirrer dalam keadaan panas, kemudian didinginkan hingga 55 ºC. EtBr ditambahkan hingga mencapai konsentrasi 0,5 µg/ml lalu dicampur menggunakan magnetic stirrer. Agarosa selanjutnya dituang ke dalam gel tray yang sudah dipasangi comb dan disimpan dalam suhu kamar selama 15-20 menit hingga menjadi solid. Setelah solid, comb diambil lalu gel diletakkan ke dalam electrophoresis

chamber dan digenangi TAE. Marker Loading Quick® λ/ Hind II sebanyak

5 µl dimasukkan ke dalam sumur pertama gel agarosa. Sumur kedua diisi dengan marker Loading Quick® ФX174/ Hae III sebanyak 5 µl. Kemudian

2,5 µL produk PCR yang terlebih dahulu dicampur dengan loading dye dimasukkan ke dalam sumur selanjutnya. Voltase yang digunakan untuk elektroforesis adalah 100 volt selama 30 menit.

Untuk melakukan interpretasi hasil elektroforesis, gel agarosa diambil dari bak elektroforesis lalu diletakkan ke dalam UV gel

documentation. Modus cahaya “trans UV” kemudian dipilih untuk

visualisasi DNA pada gel agarosa. Setelah itu akan didapatkan gambaran pita DNA. Pita DNA yang terbentuk kemudian dibandingkan dengan ukuran marker sehingga dapat diketahui ukuran pita DNA (Prasetyo,

(22)

2011). Panjang pita DNA yang diharapkan berukuran 538 bp (Kageyama

et al., 2006).

H. Analisis Data

Data yang meliputi risiko transmisi HCV dan hasil PCR positif disajikan secara deskriptif. Risiko transmisi HCV yang dimaksud antara lain riwayat berhubungan seksual dengan pasangan seksual terinfeksi HCV, riwayat tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual, riwayat seks anal, riwayat penggunaan bersama jarum suntik untuk narkotika, serta riwayat bertato dan bertindik.

(23)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data dan spesimen darah dari 30 gigolo di Surakarta telah dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2011. Data diperoleh melalui wawancara terpimpin dengan pertanyaan yang telah divalidasi. Wawancara dilakukan secara personal dan jawaban responden direkam dengan alat MP4 untuk kemudian dianalisis. Spesimen darah diambil oleh tenaga kesehatan terlatih. Karakteristik sosiodemografi gigolo di Surakarta ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Sosiodemografi Gigolo di Surakarta

Karakteristik Total (%) Umur 18-25 tahun 26-30 tahun 31-35 tahun 36-40 tahun >40 tahun 30 (9/30) 26,7 (8/30) 20 (6/30) 10 (3/30) 13,3 (4/30) Etnis Jawa Luar Jawa 93,3 (28/30) 6,7 (2/30) Status Marital Menikah Tidak menikah 30 (9/30) 70 (21/30) Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD SMP SMA/SMK S1 10 (3/30) 13,3 (4/30) 33,3 (10/30) 40 (12/30) 3,3 (1/30) Pendapatan < Rp 500.000,00 Rp 500.000,00-Rp 1.000.000,00 Rp 1.000.000,00-Rp 3.000.000,00 Rp 3.000.000,00-Rp 5.000.000,00 33,3 (10/30) 30 (9/30) 33,3 (10/30) 3,4 (1/30) Pekerjaan Gigolo saja

Gigolo dan pekerjaan lain

13,3 (4/30) 86,7 (26/30) commit to user

(24)

Dalam laporan penelitian ini, data yang disajikan secara deskriptif meliputi riwayat berhubungan seksual dengan pasangan seksual terinfeksi HCV, riwayat tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual, riwayat seks anal, riwayat penggunaan bersama jarum suntik untuk narkotika, serta riwayat bertato dan bertindik.

A. Riwayat Hubungan Seksual dengan Pasangan Seksual Terinfeksi HCV Pada penelitian ini tidak didapatkan responden yang memiliki riwayat berhubungan seksual dengan pasangan seksual terinfeksi HCV.

B. Riwayat Tidak Menggunakan Kondom dalam Berhubungan Seksual Dalam melakukan hubungan seksual, 83,3% (25/30) responden menggunakan kondom, sedangkan 16,7% (5/30) responden tidak pernah menggunakan kondom. Kondom berbahan lateks digunakan oleh 88% (22/25) responden. Sebanyak 12% (3/25) responden tidak mengetahui jenis kondom yang digunakannya. Didapatkan 32% (8/25) responden menggunakan kondom secara konsisten, sedangkan 68% (17/25) responden menggunakan kondom secara inkonsisten.

C. Riwayat Seks Anal

Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 73,4% (22/30) responden melakukan hubungan seksual baik vaginal maupun anal. Didapatkan 13,3% (4/30) responden yang melakukan hubungan seksual vaginal saja dan 13,3% (4/30) yang melakukan hubungan seksual anal saja.

D. Riwayat Penggunaan Bersama Narkotika Suntik

Di antara ketiga puluh responden dalam penelitian ini, didapatkan satu

(25)

responden yang memiliki riwayat tinggal di lembaga koreksional di Surakarta. Responden tersebut pernah menggunakan narkotika suntik bersama dengan sesama narapidana. Dalam penelitian ini, riwayat penggunaan bersama jarum suntik untuk injeksi narkotika ditemukan pada 3,3% (1/30) responden.

E. Riwayat Bertato dan Bertindik

Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa 16,7% (5/30) responden memiliki riwayat bertato. Sebanyak 30% (9/30) responden memiliki riwayat tindik. Ditemukan 6,7% (2/30) responden dengan riwayat tato dan tindik. Sebanyak 46,67% (14/30) responden tidak memiliki riwayat tato maupun tindik. Pembuatan tato dan tindik di tempat komersial dilakukan oleh 37,5% (6/16) responden, sedangkan 62,5% (10/16) responden melakukanya di tempat non-komersial, yaitu dilakukan sendiri di rumah atau lembaga koreksional. Penggunaan alat tato dan tindik steril dan tidak dipakai bergantian diklasifikasikan menjadi konsisten dan inkonsisten. Data tempat pembuatan tato dan riwayat penggunan alat tato dan tindik ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Konsistensi Penggunaan Alat Steril dan Tidak Dipakai Bergantian pada Responden Bertato dan Bertindik

20% 80% Tempat Komersial Konsisten Inkonsisten 17% 83% Tempat Non-Komersial Konsisten Inkonsisten commit to user

(26)

F. Angka Positif HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Aliquot plasma yang didapat melalui fraksinasi dideteksi keberadaan anti-HCV nya menggunakan kit Ortho anti-HCV Ab PA II®. Dari pemeriksaan tersebut,

didapatkan angka anti-HCV positif sebesar 23,3% (7/30). G. Karakteristik Responden dengan Anti-HCV Positif

Setiap responden memilki risiko paparan HCV yang berbeda berdasarkan karakteristik yang diteliti dalam penelitian ini. Seluruh responden dengan anti-HCV positif tidak memiliki riwayat berhubungan seksual dengan pasangan terinfeksi HCV. Karakteristik secara lengkap terangkum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Responden dengan Anti-HCV Positif Responden dengan Anti-HCV Positif Karakteristik Riwayat Hubungan Seksual dengan Pasangan Terinfeksi HCV Riwayat Tidak Mengunakan Kondom Riwayat Seks Anal Riwayat Penggunaan Narkotika Suntik Bergantian Riwayat Bertato dengan Alat Tidak Steril dan Dipakai Bergantian Riwayat Bertindik dengan Alat Tidak Steril dan Dipakai Bergantian AK1911052503 – P P – – P AK1911053003 – – – – – – AK1911053104 – P P – P – AK1911053106 – P P – – P AK1911060803 – P P – – – AK1911060804 – – P – – – AK1911060805 – P P P P P Keterangan: P = memiliki kriteria – = tidak memiliki kriteria

(27)

H. Deteksi RNA HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Dari keseluruhan sampel plasma darah dalam penelitian ini, didapatkan 7 sampel dengan anti-HCV positif. Aliquot dari 7 sampel plasma darah tersebut kemudian diekstrak asam nukleatnya, disintesis complementary DNA (cDNA)-nya, dan dilakukan deteksi molekuler melalui nested PCR yang mengamplifikasi sebagian genom E1-E2 HCV. Dari 7 sampel tersebut tidak terdeteksi RNA HCV. Visualisasi hasil hasil elektroforesis produk PCR dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Visualisasi Hasil Elektroforesis Produk PCR Sebagian Regio HCV E1-E2 Keterangan: Sumur 1 berisi marker Loading Quick® λ/ Hind II; Sumur 2

berisi marker Loading Quick ® ФX174/ Hae III; Sumur 3 berisi kontrol positif produk PCR sebagian regio E1-E2 (538 bp) dengan interpretasi

hasil positif; Sumur 4-10 berisi produk PCR sampel nomor 1-7 dengan interpretasi hasil negatif; Sumur 11 berisi kontrol

positif produk PCR regio NS5B (328 bp) dengan interpretasi hasil positif. 23.130 bp 9.416 bp 6.557 bp 2.322 bp 2.027 bp 1.353 bp 1.078 bp 872 bp 603 bp 271 bp 538 bp 328 bp commit to user

(28)

BAB V PEMBAHASAN

A. Infeksi HCV dan Perilaku Seksual pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Virus hepatitis C dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual. Risiko transmisi HCV melalui hubungan seksual dapat berkurang secara signifikan melalui penggunaan kondom lateks secara benar dan konsisten. Kondom berbahan lateks bersifat tidak permeabel terhadap agen infeksius yang terkandung dalam sekret genital (Holmes et al., 2004; United Nations Population Fund, 2004). Pada penelitian ini mayoritas responden yaitu 88,3% (25/30) menggunakan kondom dalam berhubungan seksual dan 88% (22/25) di antaranya menggunakan kondom berbahan lateks. Namun, penggunaan kondom secara konsisten hanya dilakukan oleh 32% (8/25) responden, sedangkan 68% (17/25) responden inkonsisten.

Hubungan seksual tanpa penggunaan kondom tidak selalu menyebabkan seseorang tertular HCV (Villena, 2006). Hal ini dikarenakan titer HCV pada cairan semen maupun vaginal rendah, yaitu sekitar 102 kopi RNA HCV per ml. Oleh karenanya, risiko transmisi HCV secara seksual sangat kecil jika dibandingkan dengan agen infeksius lain seperti HBV dan HIV. Selain itu, rendahnya tingkat transmisi HCV melalui hubungan seksual dapat disebabkan oleh ketiadaan sel target yang tepat atau mukosa yang abnormal di traktus genitalia untuk memulai terjadinya infeksi HCV (Terrault, 2002). Risiko terinfeksi

(29)

HCV bagi seseorang yang memiliki hubungan seksual tanpa pengaman selama 20 tahun dengan pasangan yang terinfeksi HCV adalah sebesar 2,5% (Villena, 2006).

Responden dalam penelitian ini pada umumnya melakukan hubungan seksual baik vaginal maupun anal. Hubungan seksual anal merupakan jalur transmisi HCV yang lebih mudah dibanding vaginal karena lapisan mukosa anorektal lebih tipis dibanding mukosa vaginal. Hubungan seks anal dapat menimbulkan luka pada lapisan mukosa anorektal sehingga dapat terjadi kontak darah. Darah merupakan medium penularan HCV yang lebih baik dibanding cairan semen. Lesi mukosa anorektal karena hubungan seksual anal dapat berperan sebagai pintu masuk maupun sumber infeksi HCV. Dalam aktivitas seks berkelompok, penis pasangan seksual yang melakukan insersi dapat berperan sebagai vektor tansmisi HCV untuk pasangan reseptif. Hal ini terjadi jika kondom tidak digunakan atau tidak diganti untuk setiap pasangan yang ada dalam aktivitas seks berkelompok tersebut (Schmidt et al., 2011).

B. Infeksi HCV dan Paparan Parenteral Terhadap HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Paparan parenteral terhadap HCV, salah satunya penggunaan narkotika suntik, merupakan faktor risiko kuat dalam terjadinya infeksi HCV (Murphy et

al., 2000; Sherman et al., 2001). Pada penelitian ini didapatkan 3,3% (1/30)

responden memiliki riwayat penggunaan jarum suntik secara bergantian untuk injeksi narkotika. Selain penggunaan narkotika suntik, riwayat bertato dan bertindik secara tidak aman juga merupakan risiko paparan parenteral lain terhadap HCV. Praktik pembuatan tato secara aman tidak hanya berupa prosedur

(30)

higienis sederhana seperti mencuci tangan, tetapi juga meliputi teknik sterilisasi tepat terhadap peralatan yang dipakai ulang, dan menggunakan jarum sekali pakai (WHO, 1999). Meskipun sterilisasi tidak mahal, sterilisasi dapat meningkatkan biaya untuk setiap pembuatan tato sebesar 15% (Rauner et al., 2005). Hal ini memungkinkan tidak dilakukannya prosedur pembuatan tato dan tindik yang aman di tempat komersial. Pada penelitian ini, responden yang membuat tato di tempat komersial maupun non-komersial pada umumnya inkonsisten dalam penggunaan alat yang disterilisasi dan sekali pakai.

Lembaga koreksional (rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) merupakan tempat penting untuk transmisi virus yang ditularkan melalui darah. Para tahanan di lembaga koreksional cenderung menggunakan jarum suntik secara bergantian daripada menggunakan jarum suntik baru untuk injeksi narkotika. Kegiatan tersebut merupakan faktor risiko penting untuk transmisi HCV pada kelompok injecting drug user (IDU) (Hahn et al., 2001). Selain penggunaan narkotika suntik, perilaku yang juga berisiko menularkan HCV di lembaga koreksional antara lain pembuatan tato, tindik, dan kekerasan seksual (Hellard et

al., 2000). Sebanyak 3,3% (1/30) responden dengan riwayat tinggal di lembaga

koreksional yang ditemukan dalam penelitian ini, selain memiliki riwayat penggunaan narkotika suntik, juga memiliki riwayat pembuatan tato dan berhubungan seksual dengan sesama tahanan ketika tinggal di lembaga koreksional.

(31)

C. Kaitan Hasil Pemeriksaan Anti-HCV dan Deteksi Molekuler RNA HCV pada Komunitas Gigolo di Surakarta

Deteksi infeksi HCV dalam penelitian ini dilakukan dengan metode particle

agglutination assay dan nested PCR. Sampel dengan anti-HCV positif kemudian

dideteksi keberadaan RNA HCV-nya dengan PCR. PCR merupakan metode laboratorik yang digunakan untuk mendeteksi RNA HCV yang bersirkulasi dalam darah. Keberadaan RNA HCV mengindikasikan bahwa HCV bereplikasi aktif (bereproduksi dan menginfeksi sel baru inang) (Carithers et al., 2000; Pawlotsky, 2002).

Pada penelitian ini didapatkan hasil deteksi molekuler negatif untuk ketujuh responden dengan anti-HCV positif. Hasil negatif deteksi molekuler pada penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan karena peneliti telah melakukan kontrol amplifikasi eksternal dan mengulang pemeriksaan.

Setelah paparan akut terhadap HCV, RNA HCV umumnya lebih dahulu terdeteksi dalam darah mendahului munculnya antibodi terhadap HCV (Ghany et

al., 2009). RNA HCV dapat diidentifikasi dalam waktu dua minggu setelah

paparan, sedangkan anti-HCV tidak terdeteksi sebelum 8-12 minggu. Hasil negatif palsu untuk deteksi RNA HCV dapat terjadi apabila seseorang dengan infeksi HCV aktif mengalami viremia intermiten. Viremia intermiten berarti didapatkannya hasil negatif pada deteksi RNA HCV yang diikuti dengan hasil positif untuk deteksi RNA HCV berikutnya (Bruden et al., 2004; Scott et al., 2006). Viremia intermiten dapat terjadi sekitar dua bulan sebelum infeksi HCV masuk periode peningkatan viral load secara eksponensial (fase ramp-up) dan

(32)

fase plateau titer tinggi. Fase tersebut disebut dengan fase pre rump-up dengan durasi yang tidak diketahui. Pada kasus demikian diperlukan pengulangan uji PCR 4-6 bulan kemudian setelah uji PCR pertama (Ghany et al., 2009).

Tidak terdeteksinya RNA HCV pada individu dengan anti-HCV positif dapat pula menunjukkan bahwa infeksi HCV telah mengalami resolusi. Pasien tersebut mungkin mengalami infeksi HCV di masa lalu (Gretch, 1997; Sakugawa, 1995). Pasien dengan hepatitis C yang bersifat self-limiting dapat mengalami

clearance RNA HCV dalam 12-16 minggu dari munculnya onset klinis (Mondelli et al., 2005). Respon imun kuat dari sel T helper (Th) 1 sitopatik, sel T CD4, sel T

CD8, dan sitokin tipe 1 kemungkinan terlibat dalam clearance HCV (Mondelli et

al., 2005; Thimme et al., 2001). Setelah seseorang terinfeksi HCV, terjadi aktivasi

sel natural killer (NK) dan pemrosesan antigen virus oleh immature dendritic

cells (iDCs). Setelah maturasi, mature dendritic cells (mDCs) mengaktivasi CD4

dan sel NKT. Sel CD4 kemudian memproduksi sitokin seperti IFN-λ yang dapat meginduksi sel T sitotoksik limfosit (CTLs). CTLs dapat mengontrol replikasi HCV melalui pelisisan sel yang terinfeksi dan produksi sitokin yang dapat langsung menghambat replikasi virus. Respon sel T CD4 berhubungan dengan penurunan derajat viremia. Selain itu, akumulasi sel T CD4 spesifik HCV dalam hepar memegang peranan penting dalam resolusi infeksi HCV. Individu dengan respon sel CD4 spesifik HCV memiliki kemungkinan lebih untuk mengalami resolusi infeksi HCV, sedangkan individu yang tidak memiliki respon serupa cenderung mengalami infeksi HCV persisten (Koziel, 2005).

(33)

Resolusi spontan infeksi HCV dapat terjadi pada 30-50% kasus (Thomas et

al., 2000). Variasi genetik yang terlibat dalam respon imun berkontribusi dalam

kemampuan individu mengalami resolusi infeksi HCV. Variasi genetik pada gen

interleukin-28B (IL-28B) merupakan prediktor kuat clearance infeksi HCV

genotipe 1, baik pada individu dengan maupun tanpa pengobatan terhadap infeksi HCV (Grebely et al., 2010; Rauch et al., 2010; Thomas et al., 2009). Terdapat beberapa kandidat SNP pada gen IL-28B, antara lain rs4803219, rs28416813, rs8103142, rs4803217, dan rs12979860 (Di Iulio et al., 2011). SNP pada alel rs12979860 (kromososm 19q13) berhubungan erat dengan sustained virological

response (SVR) pada hepatitis C kronis dan resolusi spontan infeksi HCV akut.

SNP pada alel rs12979860 terletak 3 kb upstream dari gen interleukin-28B. Gen IL-28B berfungsi untuk mengkode interferon-λ3 (IFN-λ3). IFN-λ3 termasuk dalam kelompok interferon tipe III, selain IFN-λ1 dan IFN-λ2. IFN-λ3 memiliki aktivitas antiviral terhadap HCV genotipe 1 melalui jalur Janus kinase-signal transducer and activator of transcription (JAK-STAT) (Robek et al., 2005; Shiffman et al., 2009). Mekanisme kerja IFN-λ3 adalah meningkatkan ekspresi gen yang diinduksi interferon dan meningkatkan efikasi IFN-α sehingga dapat menghambat replikasi virus.

SNP pada alel rs12979860 berkaitan erat dengan varian pengkodean non-sinonim dalam gen IL-28B, yaitu transisi adenine (A) oleh guanine (G) 213 basa dari rs8103142 (213A>G) dan SNP pada rs8103142 yang menyebabkan substitusi

lysine (K) dengan arginin (R) (K70R). Perubahan 213A>G dapat mengubah

fungsi dari IFN-λ3. Ge et al. (2009) juga menemukan varian yang berhubungan

(34)

erat dengan rs12979860, yaitu transisi guanine (G) oleh cytosine (C) 37 basa dari rs28416813 (37 G>C) dan SNP pada rs28416813 yang menyebabkan substitusi

lysine (K) dengan arginin (R) (K70R). Selain itu, genotipe rs12979860 dengan

alel C/C ditemukan lebih banyak pada individu yang mengalami clearance spontan HCV dibanding individu dengan infeksi HCV persisten. Individu dengan genotipe rs12979860 dengan alel C/C memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar untuk mengalami clearance spontan HCV dibanding individu dengan genotipe C/T dan T/T pada alel rs12979860 (Thomas, 2009).

(35)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

1. Anti-HCV positif ditemukan pada 23,3% gigolo di Surakarta.

2. Deteksi molekuler dengan nested PCR pada sebagian regio E1-E2 memberikan hasil negatif pada seluruh gigolo dengan anti-HCV positif.

3. Pada gigolo di Surakarta ditemukan 86,7% melakukan hubungan seksual anal, 73,3% menggunakan kondom secara inkonsisten, 3,3% menggunakan narkotika suntik secara bergantian, 16,7% memiliki riwayat bertato, 30% memiliki riwayat bertindik, dan 6,7% memiliki baik tato maupun tindik.

B. Saran

1. Memberikan edukasi kepada komunitas gigolo di Surakarta untuk menggunakan kondom berbahan lateks secara benar dan konsisten dalam berhubungan seksual baik vaginal maupun anal. Selain itu, komunitas gigolo di Surakarta juga perlu diberi edukasi bahwa hubungan seksual anal lebih berisiko menularkan HCV dibanding hubungan seksual vaginal.

2. Memberikan edukasi kepada komunitas gigolo di Surakarta untuk menghindari penggunaan narkotika suntik secara bergantian, serta penggunaan alat pembuatan tato dan tindik tanpa sterilisasi yang digunakan secara bergantian.

(36)

3. Responden berstatus anti-HCV positif dengan RNA HCV yang tidak terdeteksi dalam darahnya perlu diuji ulang PCR 4-6 bulan kemudian setelah uji PCR pertama untuk memastikan status infeksi HCV. 4. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai variasi genetik

dan genomik yang dapat berpengaruh pada resolusi spontan infeksi HCV.

5. Deteksi infeksi HCV perlu dilakukan pada komunitas berisiko tinggi seperti komunitas gigolo secara berkala agar dapat dilakukan pencegahan menyebarnya infeksi HCV ke komunitas masyarakat yang lebih luas.

Gambar

Gambar 1. Struktur Genom Virus Hepatitis C (Kato, 2001).
Tabel 1. Pengaturan Kondisi PCR Sebagian Regio HCV E1-E2
Tabel 2. Karakteristik Sosiodemografi Gigolo di Surakarta
Gambar 2. Konsistensi Penggunaan Alat Steril dan Tidak Dipakai Bergantian pada  Responden Bertato dan Bertindik
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil statistik dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh sterilisasi ozon dengan penurunan angka kuman udara di ruang rawat inap di RSU PKU

Batasan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh kualitas sistem informasi akuntansi terhadap kinerja perusahaan pada Badan

Keterkaitan fisika dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak dapat disangkal, di mana fisika merupakan dasar dari perkembangan TIK dan TIK juga yang kemudian

Erosi oleh air membekaskan tiga macam bentuk, ialah erosi permukaan, yang terkikis hanya lapisan teratas yang tipis, tetapi jika terus-menerus sangat merugikan kesuburan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberadaan NPL yang tidak wajar akan menyebabkan hilangnya kesempatan oleh bank untuk memperoleh pendapatan dari kredit yang

Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik ( clinical trials), pengalaman- pengalaman terbaik (best practices) , dan hasil implementasi program penanggulangan

Untuk memperoleh daktilitas yang tinggi pada struktur gedung tinggi yang direncanakan, harus diupayakan agar sendi-sendi plastis yang terbentuk akibat beban gempa maksimum

GH manusia, hormon yang hanya efektif pada manusia, dihasilkan dari tehnik rekombinasi asam deoksiribonukleat(DNA), dapat digunakan untuk mengobati pasien dengan