• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENATAAN TAPAK TERHADAP KENYAMANAN TERMAL DI RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENATAAN TAPAK TERHADAP KENYAMANAN TERMAL DI RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

________________________________________________________

PENGARUH PENATAAN TAPAK

TERHADAP KENYAMANAN TERMAL

DI RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG

Disusun oleh:

MIRA DEWI PANGESTU

Bandung, Februari 2009

(2)

1

ABSTRAK

Selain melakukan kegiatan perkuliahan di ruangan tertutup, mahasiswa juga melakukan kegiatan di ruang terbuka. Ruang-ruang ini dapat berupa ruang di antara bangunan atau di jalur-jalur sirkulasi, seperti teras, selasar dan koridor. Kondisi kecepatan gerakan udara seringkali di luar batas nyaman sehingga kenyamanan termal di ruang luar umumnya tidak memadai untuk beraktivitas. Kenyamanan termal di ruang luar dipengaruhi oleh topografi, bangunan sekitar dan kinerja dari temperatur, kelembapan, arah dan kecepatan gerakan udara. Selain itu juga dipengaruhi oleh elemen-elemen pembentuk ruang luar, tingkat keterbukaan ruang, dimensi serta bentuk ruang, dan kondisi elemen-elemen penunjang lainnya.

Kenyamanan termal dapat dicapai dengan melakukan pengendalian arah dan kecepatan gerakan udara di ruang luar melalui desain penataan tapak secara optimal, melalui desain bentuk dan tata letak bangunan dan tanaman, serta pengolahan permukaan tanah dan elemen tapak lainnya, yang mampu mengkondisikan gerakan udara di ruang luar dengan memanfaatkan perbedaan tekanan udara.

Penelitian bertujuan untuk menemukan pengaruh penataan tapak terhadap kenyamanan termal di ruang luar melalui pengukuran pada ruang luar bangunan dengan metode deskriptif - kuantitatif – interpretatif.

Berdasarkan pengamatan dari penelitian sebelumnya (September 2008), keberadaan ruang luar bangunan rektorat berada dalam kondisi tidak nyaman hingga sangat tidak nyaman; bangunan, tanaman dan pengolahan permukaan tanah umumnya tidak berperan secara optimal dalam mengendalikan pergerakan udara. Berdasarkan hasil pengukuran di ruang luar bangunan rektorat, bangunan sekitar dan pepohonan pada tapak dapat mengendalikan aliran udara yang menuju ke bangunan rektorat, sedangkan pagar terali terbuka tanpa semak tidak efektif dalam menurunkan kecepatan gerakan udara pada tapak, dan bentuk bangunan rektorat menyebabkan efek venturi yang dapat meningkatkan kecepatan gerakan udara, dengan rentang penghayatan dari nyaman optimal - dingin tidak nyaman dan dalam rentang kecepatan gerakan udara (AV) dari 0,1 – 5,1 m/detik.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk elemen ruang luar bangunan rektorat dapat semakin meningkatkan AV yang lajunya hanya sedikit terhambat oleh elemen-elemen tapak yang telah dilalui sebelumnya, kecuali pada ruang luar di lokasi belakang bangunan. Tanaman dalam jumlah sedikit yang berada di sekitar ruang luar tidak dapat secara signifikan menyaring dan menghambat AV, karena tanaman hanya berfungsi sebagai elemen estetis, dan ruang luar diprioritaskan sebagai area penerima serta jalur sirkulasi dengan lebih banyak perkerasan. Permukaan lantai yang rata dan bertekstur hanya dapat sedikit menghambat laju aliran udara. Hal ini menunjukkan tidak berperannya desain penataan tapak dalam mengendalikan pergerakan udara yang berlebihan sehingga tidak dapat menciptakan kenyamanan termal di ruang luar bangunan Jadi desain penataan tapak di ruang luar bangunan dapat atau tidak dapat mengendalikan pergerakan udara, terutama tergantung dari bentuk elemen-elemen ruang luar dan posisi ruang luar terhadap arah datangnya aliran udara, apakah pada sisi muka angin atau pada daerah bayangan angin.

Kata kunci : penataan tapak, kenyamanan termal, ruang luar bangunan rektorat UNPAR, arah dan kecepatan gerakan udara.

(3)

2

KATA PENGANTAR

Penelitian mengenai Pengaruh Penataan Tapak terhadap Kenyamanan Termal di Ruang Luar Bangunan Rektorat Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini merupakan kegiatan penelitian yang dilakukan pada semester genap tahun akademik 2007 / 2008.

Diawali dari pengalaman pribadi sebagai dosen dalam aktivitas keseharian saat melintas di lorong bangunan rektorat UNPAR Bandung. Gerakan udara seringkali berhembus dengan kencang, membuat udara terasa dingin di wajah, rambut terganggu, dan ketidaknyamanan mulai terasa. Sementara banyak mahasiswa berkumpul untuk melakukan berbagai aktivitas seperti bersantai sambil bersosialisasi atau menunggu kuliah, diskusi, koneksi internet hingga kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan secara berkelompok. Lalu terbersit pertanyaan bagaimanakah kondisi kenyamanan termal terutama pergerakan udara di ruang luar bangunan utama dari kampus UNPAR tersebut. Penelitian ini merupakan jawaban dari rasa keingintahuan tersebut, melalui suatu penelusuran olah pikir yang masih perlu terus dikembangkan lebih lanjut.

Proses pengerjaan penelitian yang dimulai dari pengamatan dan pengukuran di lapangan, hingga penyusunan dan penulisan laporan, tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, disampaikan rasa terima kasih kepada : Para narasumber, Rekan-rekan di Laboratorium Fisika Bangunan Jurusan Arsitektur UNPAR, Seluruh staf perpustakaan UNPAR, dan pihak-pihak yang telah memungkinkan terselesaikannya penelitian ini.

Dengan keterbatasan waktu, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, maka disadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Saran dan kritik untuk lebih menyempurnakannya sangatlah diharapkan. Kiranya hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan, khususnya bagi mereka yang mendalami bidang dan topik penelitian sejenis.

Bandung, Februari 2009, Penyusun

(4)

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAK ... 1 KATA PENGANTAR ... 2 DAFTAR ISI ... 3 1. PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 4

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 8

1.6.1 Variabel Penelitian ……… .. 9

1.6.2 Penentuan Pengukuran ………. 9

1.6.3 Peralatan yang Digunakan ………. 10

1.6.4 Cara pengukuran ……… .. 11

1.6.5 Tahapan Analisis - Kesimpulan ... 12

2. RUANG LUAR DAN GERAKAN UDARA ... 12

2.1 Ruang Luar ... 12

2.2 Karakteristik Iklim Tropis Hangat Lembap Kota Bandung ……… .. 16

2.3 Kenyamanan Termal ……… . 16

2.4 Zona Kenyamanan Termal ………. . 18

2.5 Gerakan Udara ... 20

3. PENGARUH PENATAAN TAPAK TERHADAP KENYAMANAN TERMAL DI RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT UNPAR BANDUNG ... 29

3.1 Bangunan Rektorat UNPAR Bandung ... 29

3.2 Karakteristik Iklim Ruang Luar Bangunan Rektorat UNPAR ……… .. 35

3.3 Kondisi Kenyamanan Termal Ruang Luar Bangunan Rektorat UNPAR ……… .. 43

3.3.1 Lokasi Depan Bangunan Rektorat ... 44

3.3.2 Lokasi Lorong Bangunan Rektorat ... 48

3.3.3 Lokasi Belakang Bangunan Rektorat ... 54

3.3.4 Temuan dan Kesimpulan ... 58

4. KESIMPULAN dan SARAN ... 62

(5)

4

1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

PERANAN RUANG LUAR BANGUNAN KAMPUS

Lingkungan kampus disebut juga sebagai lingkungan ’masyarakat belajar’. Selama menuntut ilmu, mahasiswa umumnya menghabiskan hari-harinya di lingkungan kampus. Berbagai bentuk aktivitas dilakukan mahasiswa di lingkungan kampus, sehingga keberadaan ruang luar kampus menjadi penting maknanya bagi mahasiswa. Pada ruang luar kampus, mahasiswa terlihat secara aktif berkomunikasi antar sesama mereka, saling berbagi informasi, mengadakan diskusi kelompok, sekedar bercengkrama, atau melakukan tugas-tugas individual mandiri. Setelah perkuliahan yang sebagian besar dilaksanakan di dalam ruang kuliah tertutup, mahasiswa sangat membutuhkan ruang luar yang bersifat terbuka dan tidak formal, untuk menghilangkan kejenuhan serta menyegarkan raga dan pikiran, agar dapat kembali melanjutkan kegiatan perkuliahan dengan kondisi yang lebih baik. Di tempat-tempat inilah mahasiswa menghabiskan waktunya menjelang atau setelah sesi perkuliahan.

Ruang luar kampus merupakan bagian luar dari bangunan, terdiri dari ruang luar (outdoor space) dan ruang terbuka (open space). Ruang luar umumnya terlindung atap dan tampil dalam bentuk :

- teras atau selasar, berfungsi sebagai area penerima dan area peralihan antara ruang luar dan ruang dalam

- koridor, berfungsi sebagai jalur sirkulasi dan penghubung antara massa bangunan - ruang yang terbentuk di antara bangunan dan direncanakan sebagai simpul aktivitas

Sedangkan ruang terbuka (open space) merupakan bagian dari lansekap yang terlindung atau tidak terlindung oleh tanaman. Ruang luar pada tata ruang kampus bukan hanya bernilai estetis yang mendukung penampilan bangunan, namun juga mewadahi secara fungsional keberlangsungan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di luar konteks perkuliahan.

Dengan beragamnya aktivitas yang dapat dilakukan, maka sebagai salah satu sarana, keberadaan ruang luar pada kampus dapat menciptakan suasana akademik yang kondusif bagi berlangsungnya proses pendidikan, sehingga kreativitas akan tumbuh, inovasi akan dilahirkan dan semangat belajar yang tinggi akan dimiliki oleh mahasiswa.

PERENCANAAN FISIK KAMPUS

Dengan menyadari semakin pentingnya peranan ruang luar bagi kehidupan kampus, maka dalam perencanaan fisik sebuah kampus, keberadaan ruang luar

(6)

5

dipertimbangkan sebagai elemen pokok (morpho structure) yang memberi bentuk dasar pada konfigurasi tata ruang kampus.

Ruang luar dirancang sebagai fungsi jalur sirkulasi untuk menampung mobilitas dan sekuen gerakan mahasiswa yang cukup tinggi, dimana mereka bergerak dari suatu lokasi dalam kampus ke lokasi lainnya, dari suatu ruang fungsional tertentu ke ruang fungsional lainnya. Selain tersedia jalur pedestrian berupa selasar atau koridor, yang menghubungkan antar massa bangunan kampus, pada ruang luar kampus dirancang pula simpul-simpul aktivitas berupa titik-titik konsentrasi tempat mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan yang dilengkapi dengan fasilitas tempat duduk, umumnya terlindung atap, disediakan papan-papan informasi dan sebagainya.

Sebagai ruang luar, koridor kampus tidak hanya difungsikan oleh mahasiswa sebagai akses sirkulasi, tetapi juga sebagai sarana untuk melakukan berbagai kegiatan dan interaksi sosial.

KENYAMANAN TERMAL DI RUANG LUAR BANGUNAN KAMPUS

Ruang luar dengan atap berteritis yang berhubungan langsung dengan ruang terbuka umumnya mempunyai elemen pembentuk ruang yang terbatas, sehingga kecepatan gerakan udara sangat dominan, dan seringkali di luar batas nyaman. Apabila ruang luar tersebut digunakan untuk beraktivitas akan menjadi masalah bagi pengguna ruang. Atap dengan teritis yang memadai dapat menjadi pelindung dari panas terik matahari dan hujan, tapi tidak dari angin yang membawa kabut, hujan, asap atau debu. Mengingat pentingnya peranan ruang luar pada sebuah kampus, dan juga proses belajar mandiri maupun berkelompok melalui teknologi Wi-Fi dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka ruang luar perlu dikondisikan nyaman secara termal. Kenyamanan termal merupakan salah satu persyaratan bangunan yang sangat penting karena berkaitan dengan kenyamanan fisik dan psikis, serta berdampak pada kesehatan dari pengguna ruang luar.

Kenyamanan termal adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat beraktivitas dengan nyaman, tidak merasa panas dan juga tidak merasa dingin. Kenyamanan termal ini dibutuhkan oleh setiap individu termasuk mahasiswa agar dapat melakukan aktivitasnya secara optimal. Kenyamanan termal tidak hanya dipengaruhi oleh kecepatan gerakan udara tapi juga oleh elemen-elemen iklim lainnya, seperti temperatur udara, temperatur radiasi matahari serta kelembapan udara, dan juga oleh faktor-faktor subyektif seperti jenis aktivitas yang dilakukan serta jenis pakaian yang dikenakan. Dari faktor-faktor pengaruh tersebut, hanya kecepatan gerakan udara yang cenderung bersifat dinamis, mudah dan cepat berubah serta mampu mempengaruhi kondisi faktor lainnya.

(7)

6

Berdasarkan kemampuannya, gerakan udara berperan besar dalam menciptakan kenyamanan termal pada bangunan, dan sebaliknya gerakan udara yang tidak terkendali dapat menjadi masalah bagi kenyamanan termal di ruang luar. Gerakan udara secara jelas memiliki hubungan dan pengaruh yang erat terhadap desain bangunan.

PENGENDALIAN GERAKAN UDARA DI RUANG LUAR KAMPUS MELALUI

PENATAAN TAPAK

Tingkat kenyamanan termal sangat bergantung pada kondisi iklim makro dan iklim mikro. Iklim mikro yang terjadi pada sebuah tapak dipengaruhi oleh topografi dan keberadaan bangunan di sekitarnya, sehingga seringkali menyimpang dari kondisi iklim makronya. Kenyamanan termal di ruang luar selain dipengaruhi oleh iklim mikro yaitu temperatur, kelembapan, arah dan kecepatan gerakan udara, juga dipengaruhi oleh elemen-elemen pembentuk ruang luar, tingkat keterbukaan ruang, dimensi ruang, bentuk ruang dan kondisi elemen-elemen penunjang lainnya yang ada pada ruang luar tersebut.

Upaya pengendalian iklim mikro perlu dilakukan, terutama dalam mengendalikan arah dan kecepatan gerakan udara di ruang luar melalui penataan tapak secara optimal agar kenyamanan termal tercapai. Desain penataan tapak diwujudkan dalam bentuk dan tata letak bangunan, bentuk dan tata letak tanaman, pengolahan permukaan tanah dan elemen tapak lainnya, yang mampu mengkondisikan gerakan udara eksternal dengan memanfaatkan perbedaan tekanan udara.

Masalah ketidaknyamanan termal perlu segera diatasi agar pengadaan ruang luar pada bangunan kampus dapat berperan sebagai wadah aktivitas mahasiswa yang efektif, sesuai dengan tujuan perencanaannya. Tanaman tidak hanya berperan untuk maksud estetika dalam penataan lansekap serta penghijauan, mendefinisikan ruang, atau sebagai peneduh. Pagar tidak hanya berfungsi sebagai pembatas tapak atau untuk alasan keamanan, namun bersama dengan elemen-elemen ruang luar lainnya, dapat juga dimanfaatkan sebagai elemen pengendali arah dan kecepatan gerakan udara.

1.2 PERUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian sebelumnya yang berjudul Peranan Bentuk, Tata Letak Bangunan dan Tanaman, serta Pengolahan Permukaan Tanah dalam Mengendalikan Pergerakan Udara untuk Mencapai Kenyamanan termal di Ruang Luar Bangunan Kampus Universitas Katolik Parahyangan jalan Ciumbuleuit Bandung (September 2008), ditemukan bahwa ruang luar bangunan rektorat tidak didukung oleh kenyamanan termal yang memadai bagi mahasiswa untuk dapat beraktivitas dengan optimal, terutama pergerakan udara di ruang luar tersebut berada dalam kondisi tidak nyaman dan sangat tidak nyaman, bahkan seringkali berada jauh di luar batas nyaman.

(8)

7

Kebutuhan akan ruang luar tidak hanya sekadar untuk memperkuat penampilan bangunan saja, tapi juga diharapkan dapat menjadi sebuah ruang interaksi publik, yang direncanakan tidak saja menekankan pada aspek fungsi dan estetika fisik semata, tapi juga dengan memperhatikan aspek kenyamanan termal.

Temperatur udara, radiasi panas, kelembapan udara, dan terutama kecepatan gerakan udara yang cukup tinggi di ruang luar, sehingga tidak sesuai dengan persyaratan temperatur efektif yang nyaman, akan mempengaruhi efektivitas kegiatan pengguna ruang luar tersebut. Faktor lingkungan iklim setempat sudah seharusnya dipertimbangkan melalui perencanaan yang matang pada saat dilakukan proses perancangan, sehingga keberhasilan dari desain ruang luar akan diperoleh.

Dengan semakin meningkatnya peranan ruang luar bangunan rektorat dalam mewadahi kegiatan mahasiswa dan di sisi lain ada indikasi ketidaknyamanan termal di ruang luar tersebut, maka akan menimbulkan masalah yang dapat dirumuskan melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini :

- Bagaimana kondisi temperatur efektif dan tingkat kenyamanan termal di Ruang Luar Bangunan Rektorat UNPAR Bandung?

- Bagaimana pengaruh desain penataan tapak dalam mengendalikan pergerakan udara yang berlebihan, sehingga dapat menciptakan kenyamanan termal di ruang luar bangunan rektorat UNPAR Bandung?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui kondisi temperatur efektif dan tingkat kenyamanan termal di ruang luar bangunan rektorat, (2) menemukan pengaruh penataan tapak terhadap kenyamanan termal dari hasil pengukuran di ruang luar bangunan rektorat.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini dapat (1) dijadikan sebagai rekomendasi desain apabila pihak UNPAR suatu saat bermaksud untuk meningkatkan kondisi kenyamanan termal ruang luar bangunan rektorat, sehingga fungsinya menjadi lebih efektif, (2) memberi kontribusi bagi penelitian sejenis lebih lanjut, (3) memberikan gambaran bahwa aspek kenyamanan termal ruang luar bangunan kampus yang mewadahi berbagai kegiatan, harus diperhatikan sejak awal dan merupakan bagian yang integral dari perencanaan tapak dan bangunan.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini akan membahas tentang pengaruh penataan tapak terhadap kenyamanan termal di ruang luar bangunan rektorat UNPAR. Melalui

(9)

8

pengukuran dapat diketahui besaran temperatur, kelembapan udara dan juga perkiraan arah dan besaran kecepatan gerakan udara untuk menggambarkan kondisi tingkat kenyamanan termal yang ada pada ruang luar bangunan rektorat, baik pada tapak maupun pada ruang luar tersebut, sehingga dapat diketahui cara-cara pengendalian gerakan udara melalui penataan tapak, sehingga kenyamanan termal pada ruang luar dapat dicapai.

Penelitian menggunakan standar kenyamanan termal pada iklim tropis hangat lembap yang berlaku untuk orang Indonesia. Tingkat kenyamanan termal dikategorikan dalam rentang Efektif Temperatur, yang diperoleh melalui proses grafik dari hasil pengolahan data pengukuran di lapangan. Area penelitian mencakup tapak dan seluruh ruang luar yang melingkupi bangunan rektorat UNPAR.

1.6 METODE PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, pengamatan dan pengukuran di lapangan, merekam dengan kamera, wawancara dengan perencana bangunan dan mendapatkan gambar-gambar desain bangunan, wawancara dengan pengguna ruang, pengukuran elemen iklim dengan alat 4 in 1 Environment Tester, dan mengumpulkan data iklim dari BMG stasiun Bandung dalam kurun waktu antara tahun 2003 – 2007.

Metode deskriptif - kuantitatif digunakan pada tahap pengumpulan data, yaitu dalam mengamati kondisi nyata dan dan pengukuran langsung di ruang-ruang luar bangunan rektorat. Hasil pengukuran digunakan untuk mengetahui kondisi tingkat kenyamanan termal yang ada pada ruang luar tersebut.

Pengolahan Data dilakukan dengan menggunakan Psychrometric Chart dan ET (Effective Temperature) Nomogram, Standar SNI T-14-1993-03, software Microsoft Excel, SketchUp, Adobe Photoshop, dan AutoCad 2000.

Metode deskriptif - interpretatif digunakan pada tahap analisis data terutama untuk memperkirakan arah gerakan udara, dengan membandingkan kondisi yang ada di lapangan melalui peta, foto-foto dan pengamatan fisik dengan literatur terkait.

(10)

9 1.6.1 VARIABEL PENELITIAN

Gambar 1.1 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian

1.6.2 PENENTUAN PENGUKURAN DI RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT

Studi awal melalui pengamatan perlu dilakukan untuk menentukan batasan-batasan dalam pengukuran di lapangan. Pengamatan dilakukan di ruang luar bangunan rektorat UNPAR, dari hari Senin hingga hari Sabtu, dari pk. 7.00 hingga pk. 17.00, disesuaikan dengan jadwal kuliah, untuk :

- Mendata area-area tempat mahasiswa berkumpul untuk menentukan dan memetakan titik-titik ukur dari elemen-elemen iklim, yaitu suhu, kelembapan dan kecepatan gerakan udara. Didapatkan 30 titik ukur dari area yang dipilih oleh pengguna ruang di lokasi depan, lorong dan belakang bangunan rektorat.

- Mengamati posisi tubuh mahasiswa dalam beraktivitas di area-area berkumpul untuk menentukan ketinggian pengukuran. Didapatkan setinggi kepala dalam posisi duduk di lantai, yaitu 75 cm.

- Mendata waktu/jam-jam penggunaan ruang luar dan jumlah pengguna ruang pada masing-masing area berkumpul. Waktu/jam-jam penggunaan yang terbanyak akan ditentukan sebagai waktu untuk pengukuran. Didapatkan yaitu pada pk. 10.00, pk. 12.00 dan pk. 15.00. Berdasarkan karakteristik umum iklim kota Bandung, temperatur udara maksimum harian terjadi pada jam 14.00, kecepatan angin rendah pada pagi hari dan akan mencapai maksimum setelah jam 13.00 sampai jam16.00. Bila merujuk pada data iklim tersebut dan pengukuran dilakukan dalam dua hari berselang satu minggu, maka pemilihan waktu-waktu pengukuran sudah tepat karena akan diperoleh nilai fluktuasinya dan nilai pengukuran rata-rata yang lebih valid.

Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data iklim dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) stasiun Bandung dalam kurun lima tahun terakhir, yaitu tahun 2003,

(11)

10

2004, 2005, 2006 dan 2007, untuk menentukan bulan-bulan pengukuran. Setelah dipelajari maka ditentukan bulan Februari sebagai bulan pengukuran musim hujan, merupakan salah satu bulan dengan kecepatan gerakan udara terbesar, dan arah gerakan udara terbanyak datang dari barat. Juga ditentukan bulan Juli sebagai bulan pengukuran musim kemarau, merupakan bulan dengan temperatur yang tinggi, kecepatan gerakan udara sedang, dan arah gerakan udara terbanyak datang dari timur. Hal ini sesuai dengan karakteristik umum iklim kota Bandung bahwa musim hujan umumnya terjadi antara bulan Nopember sampai April, dan musim kemarau antara bulan Mei sampai Oktober. Pengukuran dilakukan pada dua musim, bertujuan untuk menentukan tingkat kenyamanan yang ekstrim.

Pengukuran suhu radiasi tidak dapat dilakukan karena jumlah Globe Thermometer yang ada hanya dua buah, sedangkan titik ukur (TU) yang ada berjumlah 30 TU. Pembacaan hasil ukur dengan Globe Thermometer membutuhkan waktu adaptasi selama 15 menit untuk satu TU. Berarti membutuhkan waktu 450 menit atau 7 jam 30 menit atau 3 jam 45 menit per alat untuk satu kali putaran pengukuran, sedangkan rentang waktu antar satu putaran pengukuran dalam satu hari hanya dua sampai tiga jam, yaitu pada pk. 10.00, pk. 12.00 dan pk. 15.00.

Pengukuran dilakukan tanpa melibatkan responden, karena bertujuan hanya untuk mengetahui karakteristik fisik termal dari ruang luar, secara kuantitatif.

1.6.3 PERALATAN YANG DIGUNAKAN

- Pengambilan data lapangan

o pengukuran temperatur, kelembapan dan kecepatan gerakan udara sebagai data kuantitatif, dengan menggunakan 4 in 1 Environment Tester, Anemometer, Hygrometer, Lightmeter dan Thermometer.

Gambar 1.2 Alat 4 in 1 Environment Tester

Merk Lutron, model : LM-8000, mempunyai sertifikat kalibrasi berdasarkan ISO 9001:2000. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur temperatur udara dan kelembapan udara dalam satu tampilan monitor, serta mengukur kecepatan gerakan udara dan kuat pencahayaan. Kemampuan pencapaian untuk rentang pengukuran temperatur adalah diantara 0-50°C dengan tingkat akurasi 99%. Rentang pengukuran kelembapan 10-95% RH dengan tingkat akurasi 96%. Rentang pengukuran kecepatan gerakan udara 0,4-30,0 m/det dengan tingkat akurasi 97%.

(12)

11 o data dari BMG stasiun Bandung dalam kurun tahun 2003- 2007, sebagai

pelengkap data kuantitatif termal.

o pengambilan gambar di lapangan dengan kamera digital merk Canon A-610 untuk mendapatkan foto dokumentasi.

- Pengolahan data lapangan

o Tabulasi data kuantitatif dari hasil pengukuran termal dan tabulasi data dari BMG dengan software Microsoft Excel 2000.

o Psychrometric Chart digunakan untuk mencari besaran WBT.

o ET Nomogram dengan kondisi pakaian normal (1 clo) digunakan untuk memperoleh Temperatur Efektif (Effective Temperature/ET) yang menggambarkan kondisi tingkat kenyamanan termal yang ada.

o Standar tingkat kenyamanan termal untuk orang Indonesia SNI T-14-1993-03, sebagai gambaran pengkategorian dari tingkat kenyamanan termal yang ada. o Tabulasi data besaran Temperatur Efektif dengan software Microsoft Excel 2000. o Pengolahan gambar-gambar studi literatur dan pembuatan gambar-gambar objek

studi dengan software Adobe Photoshop, SketchUp dan AutoCad 2000.

1.6.4 CARA PENGUKURAN

Pengukuran dilakukan oleh dua orang surveyor. Setiap surveyor menggunakan dua alat 4 in 1 Environment Tester. Alat pertama digunakan untuk mengukur temperatur dan kelembapan udara, sedangkan alat kedua untuk mengukur kecepatan gerakan udara. Kedua alat ini digunakan secara bersamaan, agar data dari ketiga elemen iklim tersebut diperoleh dari kondisi yang sama pada setiap titik pengukuran.

- Sebelum pengukuran perlu dilakukan pencatatan kondisi cuaca pada setiap waktu/jam-jam pengukuran.

- Data temperatur dan kelembapan udara, secara digital dapat dibaca langsung dalam satu tampilan monitor. Pencatatan data tersebut dilakukan setelah angka dalam kondisi stabil, umumnya membutuhkan waktu adaptasi selama  5 menit.

- Data kecepatan gerakan udara dapat dibaca setelah dilakukan perekaman untuk mendapatkan nilai minimal dan maksimal. Gerakan udara terjadi secara berselang dengan waktu yang tidak menentu. Perekaman telah dilakukan sejak sebelum adanya gerakan udara, sehingga nilai minimal akan selalu sebesar 0 m/det untuk setiap pengukuran. Pencatatan nilai maksimal dan arah datangnya aliran udara dilakukan setelah selesainya satu putaran gerakan udara.

Dengan hanya mempunyai 4 buah alat, maka pengukuran terhadap 30 titik ukur tidak mungkin dilakukan secara serentak, masing-masing surveyor menangani 15 titik

(13)

12 ukur, sehingga akan ada perbedaan waktu, kondisi dan cuaca yang akan mempengaruhi hasil pengukuran.

1.6.5 TAHAPAN ANALISIS SAMPAI PADA KESIMPULAN

Analisis akan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

- Analisis hasil ukur temperatur, kelembapan dan kecepatan gerakan udara untuk memperoleh gambaran kondisi iklim dari ruang luar pada lokasi depan, lorong dan belakang dari bangunan rektorat UNPAR. Hasil analisis akan menyimpulkan sejauh mana kolerasi antara kondisi iklim tersebut dengan karakteristik umum iklim kota Bandung, dan juga dengan data iklim rata-rata dalam lima tahun terakhir dari Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Bandung.

- Analisis temperatur efektif sebagai hasil pengolahan dari data pengukuran temperatur, kelembapan dan kecepatan gerakan udara pada lokasi depan, lorong dan belakang bangunan rektorat. Analisis akan mempelajari apakah kondisi temperatur efektif dari setiap titik ukur pada masing-masing lokasi, masuk dalam zona nyaman atau tidak, kemudian mengkategorikannya ke dalam standar kenyamanan termal untuk orang Indonesia. Hasil analisis akan menemukan lokasi ruang luar dengan kondisi temperatur efektif yang mayoritas titik ukurnya keluar dari zona nyaman, terutama disebabkan oleh kecepatan gerakan udara yang berada di luar batas nyaman.

- Temuan dan kesimpulan penelitian merupakan rangkuman dari keseluruhan kesimpulan yang telah dinyatakan pada akhir dari setiap tahapan analisis. Kesimpulan akan menjawab permasalahan penelitian mengenai sejauh mana penataan tapak dapat dilakukan untuk mengoptimalkan gerakan udara yang dapat menunjang kenyamanan termal di ruang luar bangunan kampus.

- Saran-saran yang berkaitan dengan hasil penelitian akan diberikan sebagai rekomendasi redesain bagi pihak kampus, sebagai masukan untuk dapat menyempurnakan penelitian sejenis yang akan dilakukan di kemudian hari, dan juga sebagai masukan bagi dunia rancang bangun untuk kasus serupa.

2. LANDASAN TEORI

2.1 RUANG LUAR

Menurut Dober (1996:226), pendekatan perencanaan fisik kampus yang mendukung dan memajukan misi institusi, diantaranya adalah :

- Mengenali dan memanfaatkan potensi tapak, seperti iklim, topografi, infrastruktur, unsur estetik tapak dan batas-batas di sekelilingnya,

- Mengembangkan hubungan, komunikasi dan kolegialitas di antara komunitas kampus melalui perletakan bangunan, pengadaan area ruang luar, dan sistem sirkulasi, untuk

(14)

13 mencapai tujuan institusi dan mengembangkan partisipasi di dalam kehidupan kampus

- Menciptakan keamanan dan kenyamanan secara fisik dan psikologis.

Bangunan kampus yang baik dirancang agar membuat orang-orang dapat bersirkulasi melalui ruang dalam dan ruang luar, sehingga dapat menyaksikan aktivitas-aktivitas yang sedang berlangsung dan memilih untuk berpartisipasi. Sirkulasi utama memberikan akses ke seluruh area dengan aktivitas utama, melalui sekuen ruang yang diatur dengan tahapan bervariasi sehingga cocok untuk topografi lereng bukit.

Ruang luar dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu ruang untuk bergerak dan ruang untuk tinggal di tempat. Ruang gerak atau jalur sirkulasi dapat digunakan untuk menuju ke tempat penting dan berjalan jalan dengan bebas. Sedangkan ruang tinggal atau simpul aktivitas digunakan untuk duduk-duduk, istirahat, menikmati pemandangan, membaca buku, menunggu kawan, bercakap cakap, atau sebagai tempat diskusi, pidato, pertemuan, upacara umum, makan dan minum.

Dengan demikian, ruang luar arsitektural adalah ruang yang tercipta dengan cara membatasi alam yang luas dengan elemen-elemen tertentu, misalnya fasad bangunan, tanaman, perbedaan ketinggian kontur, maupun elemen-elemen artifisial lainnya.

Secara arsitektural, ruang luar berfungsi sebagai pembatas atau pemberi jarak antara massa bangunan, penghargaan terhadap penampilan bangunan, ruang aksesibilitas, ruang peralihan, dan sebagainya. Dengan demikian ruang luar, baik yang terlindung maupun yang berupa ruang terbuka, dapat difungsikan sebagai tempat berkumpul, berinteraksi, jalur sirkulasi, tempat beristirahat, olahraga, bermain, rekreasi, dan sebagainya.

UNSUR-UNSUR PEMBENTUK RUANG LUAR

Norman K. Booth (1975) menjelaskan bahwa secara umum elemen-elemen utama pembentuk ruang luar terdiri dari unsur bangunan, unsur tanaman dan pengolahan permukaan tanah. Unsur bangunan merupakan unsur perancangan fisik utama dari ruang luar. Bangunan merupakan struktur pembentuk ruang luar yang mempengaruhi pemandangan, memodifikasi iklim mikro dan mempengaruhi organisasi fungsional dari tata ruang luar (lansekap).

Selain unsur massa bangunan, maka unsur tanaman merupakan unsur fisik penting lainnya dalam perancangan dan pengolahan ruang luar. Bersama-sama dengan unsur bangunan dan permukaan tanah, unsur tanaman merupakan komponen utama yang dipakai untuk membentuk dan memecahkan masalah ruang luar.

Unsur tanaman memenuhi tiga fungsi utama dalam tata ruang luar. Pertama, sebagai elemen ’struktural’ yang membentuk ruang (space) atau ruang kegiatan (room)

(15)

14 pada ruang luar, pembatas pandangan yang jelek, menstabilkan lereng-lereng yang curam, mengarahkan gerakan dalam tapak. Kedua, sebagai fungsi ’ekologis’ (penyangga lingkungan), seperti membersihkan udara, mempertahankan kelembapan tanah, mencegah erosi dan kehilangan tanah, memodifikasi penyinaran matahari, gerakan udara dan suhu udara, serta menyediakan habitat untuk burung dan binatang lain (sanctuary). Ketiga, memberi ’efek visual estetis’ tertentu, mengarahkan pergerakan, pelembut karakter bangunan dan sebagainya.

Selain unsur bangunan dan tanaman, aspek pengolahan permukaan tanah (topografi) memiliki pengaruh besar terhadap tata ruang luar. Permukaan tanah disebut sebagai pembentuk struktur dasar dari tatanan ruang luar, sebagai titik awal dari proses pemecahan perancangan ruang luar, dan sebagai dasar untuk merumuskan semua bentuk dan lay-out pada lingkungan tapak.

Roger Trancik (1977) mengklasifikasikan ruang luar menjadi dua tipe karakter : - Hard space, yaitu ruang yang didominasi oleh dinding arsitektural dan umumnya

digunakan sebagai tempat untuk kegiatan bersama (ruang komunal). Hamparannya ditutupi oleh perkerasan, seperti ubin, aspal, plesteran, atau paving stone.

- Soft space, yaitu ruang yang lebih didominasi oleh lingkungan alam, berupa hamparan rumput atau jenis tanaman lainnya.

RUANG LUAR SEBAGAI FUNGSI SIRKULASI DAN SIMPUL AKTIVITAS

Roger Tracik (1977:106) menegaskan bahwa ruang luar sebagai ruang publik seharusnya berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu, yang dapat menciptakan kesatuan antar bangunan, ruang luar dan fungsi-fungsi di dalamnya, baik secara fungsional maupun secara perseptual. Sirkulasi dan simpul aktivitas merupakan dua elemen ruang luar yang penting dalam mewujudkan fungsinya sebagai pengikat.

Kevin Lynch (1960:46,49) mendefinisikan sirkulasi sebagai jalur/path, yang berfungsi sebagai penghubung dari satu tempat ke tempat lain, sedangkan simpul aktivitas merupakan ruang tempat aktivitas terkonsentrasi.

Sirkulasi sebagai pengikat antar bangunan tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara suatu tempat dengan tempat lainnya, namun juga berfungsi sebagai wadah aktivitas, sebagaimana pendapat Christoper Alexander (1977:590). Secara fisik, karakter ruang sirkulasi ditentukan oleh derajat ketertutupan yang dimiliki, oleh kontinuitas ruang sirkulasi, baik Gambar 2.1 Ruang luar beratap pada

Universiti Teknologi Petronis di Malaysia (Newman, 2003: 122)

(16)

15 secara visual maupun fisik, oleh orientasi terhadapnya dan bentuk dari sirkulasi itu.

Menurut Christoper Alexander (1977:456), keberadaan simpul aktivitas sebagai ruang pengikat antar bangunan pada ruang luar merupakan pusat terjadinya aktivitas dan interaksi sosial antar pengguna ruang. Hubungan secara fungsional dengan jalur sirkulasi yang ada menentukan seberapa tinggi konsentrasi kegiatan yang akan terjadi di dalamnya. Semakin banyak jalur sirkulasi yang berpangkal kepadanya, semakin tinggi tingkat konsentrasi aktivitas yang terjadi di dalamnya.

Simpul aktivitas terbagi menjadi tiga kategori sebagai berikut : - Simpul aktivitas yang terletak pada ujung sirkulasi

mempunyai peran sebagai tujuan. Hal ini membutuhkan suatu motivasi yang kuat bagi orang untuk datang kepadanya. - Sirkulasi memotong bagian tengah simpul aktivitas, jika ruang

jalan tersebut terlalu kuat maka dapat merusak keberadaan simpul aktivitas.

- Perletakan sirkulasi pada salah satu sisi simpul aktivitas. Hal ini memungkinkan orang untuk memilih tinggal atau berlalu.

Newman (2003:230-231) menjelaskan umumnya ruangan yang paling penting pada bangunan kampus bukanlah sebuah ruangan, melainkan ruang yang menghubungkan ruangan-ruangan yang ada, seperti lobby, selasar dan tangga. Sebagai contoh, kegiatan belajar lebih banyak dilakukan di campus center lebih daripada di perpustakaan, karena mahasiswa mencari tempat yang nyaman dengan tingkat selingan yang masih dapat ditolerir untuk bersosialisasi dan makan-makan. Ruang-ruang tersebut tampil sebagai perluasan dari lobby dan hall yang juga merupakan bagian dari ruang sirkulasi.

Sirkulasi bangunan dengan demikian mempunyai sasaran dalam hal kejelasan, pengorganisasian untuk melibatkan keragaman aktivitas yang ada, serta kejelasan antara area sirkulasi dan area aktivitas untuk mendorong penggunanya dapat saling bertemu.

Ruang luar sebagai tempat beraktivitas adalah kombinasi antara kegiatan dan ruang,

Gambar 2.2 Pintu masuk utama dari Center for Clinical Sciences Research pada Standford University

di California (Newman 2003: 56)

Gambar 2.3 Central courtyard dari Center for Clinical Sciences Research pada

Standford University di California (Newman, 2003: 56)

(17)

16 tatanan lingkungan, hubungan antara lingkungan dan aktivitas penggunanya dan waktu pemakaian. Ruang luar adalah ruang-ruang (spatial) yang terbentuk di luar konteks ruang solid (enclosing space) pada bangunan kampus. Terdiri dari ruang terbuka (open space) pada tapak, tanpa atap, umumnya difungsikan sebagai taman, plasa, lapangan olah raga, area parkir dan sebagainya, serta ruang luar dengan atap (outdoor space) sebagai jalur sirkulasi, pengikat antar bangunan dan juga berpotensi untuk menampung berbagai aktivitas mahasiswa.

2.2 KARAKTERISTIK IKLIM TROPIS HANGAT LEMBAP KOTA BANDUNG

Indonesia terletak di sekitar daerah katulistiwa dengan iklim tropis hangat lembap. Karakteristik iklim ini biasanya tidak berbeda jauh sepanjang tahun, kecuali curah hujan.

Givoni (1976:305) berpendapat bahwa untuk menciptakan kenyamanan termal pada bangunan di daerah hangat lembap adalah dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan gerakan udara serta proteksi maksimum terhadap radiasi matahari.

Bandung terletak pada 10736’ Bujur Timur dan 655’ Lintang Selatan. Berada di antara pegunungan, sehingga udara yang bertiup relatif dingin. Ketinggian rata-rata adalah 791 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan analisis data iklim kota Bandung yang dilakukan Soegijanto (1999:26), didapatkan karakteristik umum sebagai berikut : - Perubahan temperatur diurnal (perbedaan siang dan malam) adalah sekitar 8°C-9°C,

dan perubahan temperatur annual hanya sekitar 2°C,

- Temperatur udara maksimum harian terjadi pada jam 14.00 dan minimum sekitar jam 6.00,

- Kelembapan udara maksimum harian terjadi pada jam 6.00 dan minimum pada jam 14.00. Dapat disimpulkan bahwa bila temperatur udara maksimum maka kelembapan udara akan mencapai nilai yang minimum,

- Perubahan kelembapan udara diurnal adalah 30%, dengan maksimum rata-rata 90% dan minimum rata-rata 60%, dan perubahan kelembapan udara annual sekitar 20%, - Kecepatan angin rendah pada pagi hari dan makin siang makin bertambah, dan akan

mencapai maksimum setelah tengah hari sampai sore hari (jam 13.00-16.00), kemudian menurun terus sampai malam dan dini hari (jam 2.00-6.00),

- Musim hujan umumnya terjadi antara bulan Nopember sampai April dan musim kemarau antara bulan Mei sampai Oktober.

2.3 KENYAMANAN TERMAL

Kenyamanan termal menurut Watson (1983:96) adalah kondisi lingkungan memuaskan yang dirasakan fisik manusia sehingga dapat melakukan aktivitas dengan baik secara maksimal. Sedangkan menurut Givoni (1976:54) adalah suatu kondisi yang diinginkan, mencakup rasa nyaman akan panas atau dingin, atau hilangnya gangguan

(18)

17 dan ketidaknyamanan akibat panas atau dingin. Kenyamanan termal juga diartikan oleh Lechner (2001:51) sebagai kondisi pikiran yang menyatakan kepuasan terhadap lingkungan termal. Prinsip dasar kenyamanan termal adalah membentuk suatu keseimbangan, yaitu berusaha untuk menyesuaikan kondisi lingkungan di sekitar manusia agar mendekati kondisi yang dibutuhkan manusia.

Koenigsberger (1975:13), Lippsmeier (1980:37), Evans (1980:19), dan Amirudin (1989:7) menyatakan bahwa elemen-elemen iklim utama yang berpengaruh dalam menentukan kenyamanan termal di daerah iklim tropis hangat lembap, adalah temperatur udara, radiasi matahari, kelembapan udara, dan gerakan udara.

Temperatur udara yang tinggi akan menambah panas tubuh, sedangkan kelembapan udara yang tinggi akan menghambat proses evaporasi sehingga badan akan merasa gerah. Sebaliknya, temperatur dan kelembapan udara yang rendah akan menyebabkan tubuh menggigil dan kulit terasa kering. Kelembapan udara dapat mengalami fluktuasi yang tinggi, karena sangat tergantung terutama pada perubahan temperatur udara. Semakin tinggi temperatur udara maka semakin tinggi pula kemampuan udara menyerap air, sehingga kelembapan akan berkurang. Kelembapan udara yang nikmat untuk tubuh berkisar 30-70%.

Gerakan udara sangat berpengaruh dalam menentukan kenyamanan termal. Pada keadaan temperatur dan kelembapan udara tinggi, gerakan udara sangat diperlukan untuk mencapai keseimbangan panas tubuh manusia, dengan adanya pelepasan kelebihan panas dari tubuh, terutama terjadi melalui perpindahan panas antara kulit tubuh dengan udara (konveksi), dan adanya pendinginan tubuh oleh penguapan keringat dari kulit (evaporasi). Konveksi terjadi hanya jika temperatur udara lebih rendah dari temperatur kulit (antara 31-34°C). Sedangkan evaporasi terjadi hanya jika udara yang bersentuhan dengan kulit tidak jenuh. Olgyay (1992:19) berpendapat, gerakan udara akan mempengaruhi pendinginan tubuh, karena terjadinya proses konveksi dan evaporasi dari tubuh, tapi tidak menurunkan temperatur udara. Di ruang luar bangunan, kecepatan gerakan udara yang tinggi pada temperatur dan kelembapan yang tinggi dapat menimbulkan pendinginan pada tubuh yang akan mempengaruhi kenyamanan. Gerakan udara ini hanya dirasakan mengganggu jika sampai membuat udara terlalu dingin, dan mengganggu aktivitas yang sedang berlangsung.

Kenyamanan termal dapat tercapai bila kondisi ke empat faktor lingkungan ini tidak mengganggu keseimbangan pertukaran panas tubuh. Kenyamanan termal tidak hanya dipengaruhi oleh elemen-elemen iklim, tapi juga oleh faktor-faktor subyektif atau manusia, diantaranya yaitu jenis aktivitas yang dilakukan serta jenis pakaian yang dikenakan, demikian pendapat Koenigsberger (1975:44-45).

(19)

18

2.4 ZONA KENYAMANAN TERMAL

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui efek-efek kondisi iklim terhadap proses pelepasan panas tubuh. Skala yang sering digunakan dan paling mudah dimengerti, serta cukup baik untuk diterapkan dalam berbagai kondisi adalah skala Temperatur Efektif (TE) atau Effective Temperature (ET). Skala yang dikemukakan oleh Houghton dan Yaglou ini, digunakan sebagai metode untuk menterjemahkan data iklim regional/tapak di daerah tropis menjadi suatu petunjuk yang menggambarkan kondisi tingkat kenyamanan termal pada bangunan.

Menurut Olgyay (1992:18), temperatur efektif merupakan penggabungan pengaruh dari temperatur, kelembapan dan gerakan udara. Soegijanto (1999:240) mendefinisikan temperatur efektif sebagai temperatur dari udara jenuh dalam keadaan diam atau mendekati diam (≤ 0,1m/detik). Temperatur efektif tercapai pada kondisi ketika gerakan udara yang melalui bangunan, menggantikan udara panas dengan udara yang lebih dingin dan sekaligus mengeluarkan kelembapan dari bangunan, demikian pernyataan Surjamanto (2002:208).

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor iklim tersebut terhadap kenyamanan termal, dapat digunakan Psychrometric Chart dan ET Nomogram. Psychrometric Chart digunakan untuk mencari Wet Bulb Temperature (WBT), dengan data Dry Bulb Temperature (DBT) dan Relative Humidity (RH) yang telah diukur di lapangan. WBT umumnya lebih rendah dari DBT yaitu suhu udara, karena kelembapan dapat memberikan efek pendinginan. Setelah nilai WBT diketahui, dan nilai DBT serta kecepatan gerakan udara telah diukur di lapangan, dengan menggunakan ET Nomogram akan didapatkan besaran Temperatur Efektif (TE), yang menggambarkan tingkat kenyamanan termal yang ada.

(20)

19 Koenigsberger (1975:59) menjelaskan bahwa kombinasi temperatur udara, kelembapan dan kecepatan gerakan udara yang membentuk Temperatur Efektif dengan rentang suhu tertentu disebut sebagai zona nyaman. Zona nyaman mendefinisikan kondisi yang dianggap nyaman oleh 80% jumlah orang yang berpakaian normal pada umumnya di iklim tropis, yaitu pada rentang Temperatur Efektif antara 22-27°C, optimal pada 25°C dan dengan kecepatan angin antara 0,15-1,5 m/detik. Bila kecepatan gerakan udara  0,15 m/detik, walaupun kondisi sudah memuaskan tetapi kebanyakan orang akan merasa sumpek, dan bila kecepatan gerakan udara  1,5 m/detik, gerakan udara akan menyebabkan kertas berterbangan dan debu-debu akan naik. Sedangkan batasan penghayatan kecepatan gerakan udara menurut Lippsmeier (1980:61), untuk kecepatan 0,25m/det tidak dirasakan adanya gerakan udara; 0,25-0,5 m/det nyaman, tanpa dirasakan adanya gerakan udara; 0,5-1,0 m/det nyaman, dengan adanya gerakan udara; 1,0-1,5 m/det aliran udara ringan sampai tidak menyenangkan; di atas 1,5 m/det tidak menyenangkan sehingga diperlukan pengkondisian pada bangunan. Untuk kondisi kecepatan angin di ruang terbuka, Evans (1980:20) menyatakan bahwa bila di atas 2,0 m/det dapat membantu untuk mencapai kenyamanan dalam kondisi panas, terutama jika tingkat kelembapan tinggi. Kecepatan 5,0 m/det adalah batas maksimum dari kecepatan angin di ruang terbuka yang masih dapat dirasakan nyaman, tapi batasan ini lebih berhubungan dengan tekanan angin daripada kenyamanan itu sendiri.

Berdasarkan penelitian dari Houghten dan Yaglow untuk kenyamanan termal orang di daerah tropis (1923), Mom dan Wiesebron (1936-1940) untuk kenyamanan termal orang Indonesia, dan juga Webb (1960) di Singapura untuk kenyamanan termal orang yang biasa hidup di daerah ekuator (Soegijanto,1999:243), maka SNI T-14-1993-03 yang disusun secara team (1993:38) mengkategorikan standar tingkat kenyamanan termal untuk orang Indonesia dalam Temperatur Efektif (TE) sebagai berikut :

- Sejuk nyaman : 20,5°C - 22,8°C TE - Nyaman optimal : 22,8°C - 25,8°C TE - Hangat nyaman : 25,8°C - 27,1°C TE

Untuk mendukung tercapainya kenyamanan termal ini, rancangan bangunan harus disesuaikan dengan kondisi cuaca dan iklim setempat yang berlaku, agar dapat mengambil keuntungan dari kondisi iklim dan mengurangi efek yang merugikan, seperti yang disarankan oleh Evans (1980:59). Dengan mengandalkan bentuk rancangan bangunan beserta lingkungannya, temperatur udara dan kelembapan udara merupakan faktor yang sulit untuk diubah. Pada iklim Indonesia yang tropis hangat lembap, gerakan udara menjadi faktor yang harus dikendalikan dalam distribusi, arah dan kecepatannya, agar dapat memberikan kenyamanan termal pada bangunan.

(21)

20

2.5 GERAKAN UDARA

Gerakan udara terjadi disebabkan oleh pemanasan lapisan-lapisan udara yang berbeda-beda. Udara bergerak dari daerah dengan suhu yang lebih rendah dengan tekanan lebih tinggi (positif) ke daerah dengan suhu yang lebih tinggi dengan tekanan lebih rendah (negatif), seperti yang dijelaskan oleh Mangunwijaya (1980:56).

Gambar 2.5 Udara bergerak dari daerah bertekanan positif ke negatif (Boutet 1987:5)

Dalam daerah bertekanan positif, kumpulan udara bergerak ke atas karena meningkatnya kepadatan, kemudian mengalir ke bawah dan ke bagian luar dengan gerakan spiral. Dalam daerah bertekanan negatif, udara mengalir ke bawah dan ke bagian dalam juga dengan gerakan spiral, sehingga udara di atasnya naik serta menjadi dingin, membentuk awan, embun dan hujan.

Daya tekanan dan daya mengapung umumnya bekerja sama. Daya mengapung menimbulkan gerakan udara vertikal karena perbedaan suhu, sedangkan daya tekanan menimbulkan gerakan udara horisontal karena perbedaan tekanan. Dalam sistem gerakan udara inilah para arsitek dapat memanfaatkan aliran udara dengan mengendalikan dan mengubah gaya penggeraknya, sehingga akan banyak energi gratis yang dapat diperoleh.

Boutet (1987:55) juga menjelaskan bahwa bila udara di sekitar bangunan bergerak, kecepatan dan pola gerakannya dapat berkurang, bertambah, terhalang, terarah, dibelokan dan tersaring. Setiap desain bangunan akan mengubah iklim mikro daerah sekitarnya. Secara internal, gerakan udara dikendalikan oleh daya mengapung dalam arah vertikal, dan daya tekan dalam arah horisontal, yang diubah oleh inersia (kelembaman) dan pergesekan. Secara eksternal, topografi, tanaman dan bangunan mempengaruhi gerakan udara, dengan cara mengubah kecepatan dan pola aliran udara.

Pola aliran dari gerakan udara dibagi dalam empat kategori yaitu :

(22)

21 1. Laminer, adalah pola gerakan udara yang dapat diramalkan dan sering terjadi. Udara bergerak lurus sejajar dengan kerapatan massa yang sama, membentuk lapisan, dimana lapis yang satu di atas atau di samping yang lain

2. Turbulen, adalah pola gerakan udara yang tidak dapat diramalkan dan bergerak acak karena terhalang sesuatu, sehingga mengalami pembelokan, disini terjadi olakan (eddy) dan kerapatan massanya tidak sama. Udara bergerak dalam satu arah yang sama tapi dengan kecepatan yang berbeda

3. Terpisah, adalah lapisan udara yang berlainan momentum karena adanya pergesekan (friksi). Pergesekan dapat mengurangi kecepatan gerakan udara di bagian tertentu, sedangkan yang lainnya tetap. Udara bergerak lurus sejajar tanpa turbulensi internal, tetapi kerapatan massanya tidak sama

4. Eddy, adalah pola gerakan udara yang melingkar (olakan) disebabkan karena pola laminer menemui penghalang sehingga merubah kecepatan gerakan udara dan juga menimbulkan daerah olakan dengan pola turbulen di sekelilingnya.

Gambar 2.7 Perubahan pola gerakan udara dari kategori a ke b, c dan d (Boutet, 1987:43)

Gerakan udara dapat berubah dalam satu periode waktu dan jarak tertentu. Pola laminer dapat berubah menjadi pola turbulen bila permukaan topografi menjadi bertambah kasar. Bangunan juga dapat menyebabkan pola gerakan udara turbulen dan pola terpisah.

Ada keterkaitan antara kecepatan gerak udara dengan ketinggian dari permukaan tanah. Pada daerah tanpa penghalang, gerakan udara akan mencapai kecepatan 100% pada ketinggian yang lebih rendah dari pada kondisi perkotaan dengan banyak gedung-gedung tinggi. Menurut Brown (1990:75) di daerah terbuka, gerakan udara dapat mencapai kecepatan maksimal, dan pengurangan yang terjadi bila mendekati bangunan dapat mencapai 75% hingga 80% dari semula.

Gambar 2.8 Pergesekan udara dengan kekasaran permukaan tanah akan mengurangi kecepatan gerakan udara (Boutet, 1987:44) dan Diagram besar kecepatan gerakan udara berdasarkan ketinggian

(23)

22 Moore (1993) menguraikan prinsip-prinsip dasar yang perlu diketahui untuk dapat mengendalikan gerakan udara dalam perancangan, yaitu :

(a) Udara akan selalu mengalir dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekan rendah

(b) Udara mempunyai massa dan

momentum, cenderung untuk

terus bergerak pada arahnya dan

arahnya akan berubah bila

menemui penghalang

(c) Efek gerakan udara pada tapak sangat besar, sehingga bila

dibelokkan oleh suatu

penghalang, misalnya oleh pohon atau bangunan cenderung akan kembali ke arah dan kecepatan semula

(d) Gerakan udara laminer akan bergerak dengan kecepatan yang sama bersama arus udara di dekatnya. Halangan kecil tidak akan banyak mengubah arus laminer, tapi halangan besar akan mengubah arus laminer menjadi

turbulen. Arus udara yang

berdekatan akan berputar

(olakan/arus eddy) dengan arah yang tidak dapat ditentukan

(e) Efek Bernouille

menyebabkan tekanan udara

turun bila arusnya dipercepat.

Seperti pada sayap pesawa

terbang, udara bagian atas harus menempuh jarak lebih besar sehingga tekanannya menurun

dibandingkan dengan di sisi

bawahnya. Perbedaan ini yang membuatt sayap terangkat

(f) Efek Venturi membuat kecepatan udara bertambah bila arus udara laminer melewati lubang yang lebih kecil, karena volum udara yang ada tetap sama. Bila terjadi turbulensi,

penurunan tekanan dan

pertambahan kecepatan akan

berkurang

Gambar 2.9 Prinsip-prinsip dasar dalam mengendalikan gerakan udara (Moore 1993:178-179)

GERAKAN UDARA DAN BANGUNAN

Desain arsitektural membentuk daerah olakan tekanan positif (positive pressure eddy) di sisi muka angin (windward) dan daerah olakan tekanan negatif (negative pressure eddy) di sepanjang sisi dinding yang mempunyai posisi paralel dengan arah gerakan udara, dan di sisi bayangan angin (leeward).

(24)

23 Gambar 2.10 Gerakan udara di sekitar bangunan akan membentuk zona tekanan positif dan negatif

(Boutet, 1987:51 dan Evans, 1980:65)

Daerah eddy adalah daerah di bawah gerakan udara (downwind) atau daerah di atas gerakan udara (upwind), tempat terjadinya gerakan-gerakan partikel udara yang sebagian bergerak berlawanan arah dengan arah gerakan semula. Tepat pada titik balik arah gerakan udara, disebut ’titik diam’ atau area relatif tenang. Daerah eddy disebut juga sebagai daerah bayangan angin, dimana kecepatan gerakan udara menurun dan terjadi arus eddies, bisa terbentuk pada sisi windward dan juga pada sisi leeward. Daerah eddy pada sisi leeward umumnya lebih besar daripada di sisi windward. Secara mendasar, panjang daerah bayangan angin ditentukan oleh kedalaman bangunan dari arah datangnya angin, tinggi, sudut atap, dan bentuk permukaan windward dari bangunan.

Percobaan melalui terowongan angin yang dilakukan Olgyay (1992:101) membuktikan bahwa bangunan yang berderet akan membentuk kantong-kantong udara turbulensi, dan lorong aliran udara yang sempit di antara bangunan, sehingga bangunan berikutnya tidak menerima aliran udara yang cukup. Sedangkan pada susunan bangunan yang berselang seling, aliran udara dibelokkan dan mencapai masing-masing bangunan.

Bangunan berderet membentuk area tenang di bawah gerakan udara

yang mempengaruhi bangunan

berikutnya

Bangunan dengan susunan

linier akan menghalangi aliran

udara pada bangunan

berikutnya

Susunan bangunan yang

berselang seling dapat

meningkatkan aliran udara pada bangunan berikutnya

(25)

24 Gambar 2.12 Ketinggian bangunan akan

mempengaruhi panjang daerah bayangan angin (Boutet, 1987:62)

Pada saat lebar bangunan menjadi sembilan kali dari tingginya, maka lebar bangunan tidak lagi akan mempengaruhi pola gerakan udara, dan ketinggian bangunan menjadi faktor utama yang berperan.

Bangunan tinggi yang bagian dasarnya diangkat sehingga terbentuk kolong di bawah bangunan, akan mengurangi tekanan tinggi pada daerah windward, karena sebagian udara dapat mengalir melalui kolong bangunan tersebut.

Gambar 2.13 Bangunan tinggi dengan bagian dasarnya diangkat (Moore, 1993:181)

Gambar 2.14 Bila sudut atap meningkat maka tinggi dan kedalaman area tenang akan

meningkat (Boutet, 1987:64)

Kemiringan atap akan menentukan volum, kecepatan dan pola gerakan udara di sekitar bangunan. Sejalan dengan meningkatnya sudut atap, volum udara yang mengalir di atas bangunan semakin besar. Panjang daerah eddy dipengaruhi oleh besaran sudut atap, dan oleh meningkatnya ketinggian bangunan.

Lorong pada bangunan dapat menangkap, menyalurkan dan melajukan aliran dari gerakan udara. Bila aliran udara memasuki lorong dalam arah sebaliknya dari yang diperkirakan, massa udara akan menyebar dan mengganggu, sehingga dapat atau tidak dapat menghasilkan efek seperti yang diharapkan.

Gambar 2.15 Untuk mencapai gerakan udara yang optimal pada lorong maka ukuran inlet dan outlet harus sama atau ukuran outlet lebih besar darpada inlet (Boutet, 1987:72)

(26)

25 Olgyay (1992:100) menjelaskan bahwa bangunan dengan posisi tegak lurus terhadap arah aliran udara akan menerima seluruh kecepatannya pada sisi windward. Sedangkan pada posisi 45° terhadap arah aliran udara, kecepatannya akan berkurang sampai 50%, dan dalam perhitungan umumnya digunakan faktor koreksi sebesar 66%.

GERAKAN UDARA DAN TANAMAN

Olgyay (1992:100) menyatakan, elemen lansekap seperti pepohonan, semak, dinding dan pagar dapat menciptakan area-area dengan tekanan tinggi dan rendah. Dengan demikian maka hal mendasar adalah tetap mempertahankan aliran udara seperti yang diinginkan, dengan cara mengarahkan dan mengurangi atau meningkatkan kecepatan gerakan udara di sekitar tapak dan bangunan melalui elemen lansekap.

Efektivitas tanaman dalam mengendalikan gerakan udara tergantung dari bentuk, kerapatan, kekakuan dan karakteristik lainnya dari tanaman. Tanaman dengan kerapatan sedang dapat mengurangi kecepatan gerakan udara di sepanjang permukaan tanah, maksimal sebanyak 70%. Pengurangan ini berbanding lurus dengan volume kerapatan dari daun, ranting, cabang dan batang pohon. Pola gerakan udara ditentukan oleh panjang, lebar dan bentuk mahkota pohon, dan kerapatan serta variasi jenis pohon.

Ketidakteraturan dari campuran berbagai jenis pohon akan lebih efektif dalam mengurangi kecepatan aliran udara daripada kumpulan pohon yang sejenis. Bila di bawah pohon hanya terdapat sedikit semak, maka akan lebih banyak aliran udara yang melalui bawah pohon daripada melalui mahkota pohon.

Bayangan angin dari kumpulan tanaman yang tebal lebih pendek daripada kumpulan tanaman yang tipis

Lebar daerah bayangan angin ditentukan oleh lebar kumpulan tanaman. Panjangnya ditentukan oleh tinggi,

lebar dan bentuk mahkota dari kumpulan tanamannya

Gambar 2.17 Ketebalan dan lebar tanaman mempengaruhi dimensi bayangan angin (Boutet, 1987:50, 49)

Gambar 2.16 Peran tanaman dalam mengendalikan gerakan udara dan mempengaruhi pola gerakan udara (Boutet, 1987:48, 77)

(27)

26 Sebuah penahan angin menurut Olgyay (1992:98) akan membelokkan aliran udara ke arah atas, dan saat kembali pada permukaan tanah, akan membentuk sebuah area yang relatif tenang. Daerah bayangan angin akan semakin melebar jaraknya dari penahan angin sampai mencapai titik dimana aliran udara kembali pada kecepatan penuh seperti semula. Terdapat juga area kecil yang relatif tenang pada sisi muka angin, terutama bila kondisi penahan angin agak rapat. Sebaliknya, bila kondisi penahan angin lebih terbuka maka udara yang mengalir melaluinya akan mengurangi daerah yang terlindung dari sisi muka angin. Penahan angin yang padat seperti dinding akan menyebabkan arus-arus eddy di sekitarnya dan efektivitasnya akan berkurang. Secara umum, penahan angin yang rapat dan tipis dapat memberikan pengaruh yang besar dalam perlindungan terhadap aliran udara.

Gambar 2.18 Pengaruh tinggi penahan angin terhadap panjang daerah bayangan angin (Watson1983:84)

Pada daerah bayangan angin, pengurangan sebesar 62-78% akan terjadi pada jarak lima kali dari ketinggian penahan angin yang mempunyai tingkat kerapatan sedang. Pada lokasi 20 kali ketinggiannya, terjadi pengurangan hanya sebesar 10-13%.

Gambar 2.19 Pengurangan kecepatan aliran udara dengan tanaman (Brown, 2001:130)

Sebuah bukaan pada penahan angin yang memanjang akan mempengaruhi kecepatan gerakan udara pada daerah sisi muka angin dan daerah bayangan angin. Kecepatan gerakan udara yang melalui bukaan akan mencapai 120% dari kecepatan gerakan udara bebas.

(28)

27 Semak berperan sebagai pagar alami, namun tidak menciptakan arus eddy yang tidak dapat diramalkan dan tidak terkendali, sebagaimana pagar pada umumnya. Semak tidak menahan gerakan udara tapi memecahkan gaya dorong aliran udara saat udara disaring dan bersirkulasi melaluinya.

Gambar 2.21 Penempatan semak dari pohon mempengaruhi gerakan udara (Melaragno, 1982:346)

GERAKAN UDARA DAN TOPOGRAFI

Kecepatan gerakan udara akan berubah sejalan dengan perubahan topografi. Pada permukaan tanah yang cekung seperti lembah dapat menarik arus angin ke bawah, sehingga kecepatan gerakan udara melambat dan kembali melaju cepat ketika mencapai ketinggian permukaan semula. Sedangkan permukaan yang cembung seperti bukit atau pegunungan cenderung mengarahkan arus angin ke puncak, sehingga kecepatan gerakan udara meningkat menuju puncak dan kembali melambat setelah meninggalkan puncak. Informasi ini dapat menentukan apakah bangunan akan dilokasikan untuk dapat menerima atau menghindari aliran udara.

Gambar 2.21 Arah dan kecepatan gerakan udara dipengaruhi oleh bentuk permukaan tanah (Boutet, 1987:45-46,74)

Udara yang bergerak menurun pada permukaan yang cekung akan mengambil kelembapan dan membawanya ke permukaan cembung yang cenderung panas. Sehingga udara yang datang dari permukaan cekung akan menurunkan temperatur udara di daerah cembung, dan dapat untuk menentukan orientasi bangunan di daerah berkontur.

(29)

28

GERAKAN UDARA DAN PAGAR

Pagar dapat menciptakan daerah bayangan angin yang tenang, zona olakan arus eddy, meningkatkan dan menurunkan kecepatan aliran udara, dan merubah pola aliran udara.

Gambar 2.22 Arus Eddy di belakang pagar yang sama sekali rapat (Melagrano, 1982:381)

Pagar yang sama sekali rapat adalah pagar yang paling tidak efisien. Arus eddy yang keras akan terbentuk di belakang pagar dan akan terus meluas sampai jarak lima kali ketinggian pagar. Dengan meningkatnya keterbukaan pagar, arus eddy juga akan berkurang.

Pagar mempunyai dua karakteristik utama dalam hal mengendalikan gerakan udara. Pola dan kecepatan aliran udara di dekat pagar ditentukan oleh ketinggian, dan gerakan udara pada aliran bawah tergantung pada intensitas keterbukaan pagar. Bentuk dan susunan pagar tidak mempengaruhi efektivitas pagar sebagai sarana untuk mengendalikan gerakan udara.

Pengaruh pagar atau dinding terhadap kecepatan gerakan udara pada sisi muka angin dari bangunan, dipengaruhi oleh ketinggian dari muka bangunan dan jarak pagar dengan muka bangunan. Dalam hal ini, pagar atau dinding tersebut tidak masif melainkan mempunyai tingkat keterbukaan sebesar 15-25%. Semakin tinggi muka bangunan, efektivitas kecepatan gerakan udara meningkat  3%. Meskipun ketinggian pagar atau dinding tidak banyak memberi pengaruh, namun jaraknya terhadap bangunan sangat menentukan besaran kecepatan gerakan udara yang terjadi.

(30)

29

3.

PENGARUH

PENATAAN

TAPAK

TERHADAP

KENYAMANAN TERMAL DI RUANG LUAR BANGUNAN

REKTORAT UNPAR

3.1 BANGUNAN REKTORAT UNPAR BANDUNG

Bangunan rektorat menyandang misi khusus sebagai wajah kampus yang berorientasi ke arah jalan utama, sehingga merupakan satu-satunya bangunan dalam tapak dengan penataan yang berbeda. Bangunan rektorat (GD 0) mempunyai aksis ke arah utara dan selatan, antisipasi iklim terhadap bangunan dengan orientasi ke barat dan timur ini, dilakukan melalui desain bentuk dan pengolahan fasad bangunan.

Gambar 3.1 Tapak dan Tampak bangunan rektorat UNPAR

Sejak semula tapak UNPAR sudah menjadi lintasan bagi pejalan kaki dari masyarakat sekitar. Untuk tetap menjaga interaksi dengan publik, serta untuk mencerminkan wajah UNPAR yang terbuka dan tidak berkesan eksklusif, maka konsep transparan diwujudkan dengan membuat substraksi pada sebagian bangunan rektorat. Lantai bawah dari bangunan dapat dicapai langsung dari gerbang utama dan mempunyai fungsi publik sebagai kantor pos serta jasa perbankan. Area substraksi difungsikan sebagai jalan tembus berbentuk lorong pada bangunan agar masyarakat sekitar dapat melintas. Bagi mahasiswa, area ini merupakan lobby penerima dan sebagai titik orientasi untuk menuju fungsi-fungsi bangunan dan jalur-jalur sirkulasi yang ada di sekitarnya.

Simpul aktivitas terbentuk pada ruang di antara bangunan dan bersisian dengan jalur sirkulasi, menjadi ruang tempat aktivitas terkonsentrasi untuk menampung beragam kegiatan mahasiswa. Dengan semakin meningkatnya jumlah mahasiswa, mahasiswa berkumpul dan beraktivitas di tempat-tempat strategis seperti di jalur sirkulasi meskipun

(31)

30

dimensinya tidak memadai. Jalur sirkulasi kemudian berperan juga sebagai simpul aktivitas, sehingga fungsi jalur sirkulasi seringkali terganggu oleh fungsi simpul aktivitas.

Gambar 3.2 Denah dan Tampak lorong bangunan rektorat UNPAR

Posisi lorong bangunan mengacu pada ruang terbuka dari plasa gedung serbaguna yang sudah ada terlebih dahulu, dan posisi ini sekaligus dimaksudkan untuk menghindari kesan simetrikal dari bangunan rektorat. Lorong bangunan berperan sebagai area transisi antara ruang terbuka dari area parkir dengan plasa gedung serbaguna. Selain itu, lorong bangunan berperan juga untuk memisahkan zoning lobby rektorat di dalam bangunan dengan fungsi publik di luar bangunan, dan antara zoning rektorat dengan yayasan pada lantai satu yang dihubungkan dengan jembatan.

Gagasan bahwa lorong bangunan merupakan area transisi dan sebagai bagian dari ruang terbuka, menyebabkan upaya dalam mengantisipasi iklim tidak dipertimbangkan dalam desain, sekalipun sudah ada prediksi kalau area ini akan digunakan oleh mahasiswa untuk beraktivitas. Konsep perencanaan lansekap pada ruang terbuka di area parkir bangunan rektorat mengacu pada master plan dengan mempertahankan tanaman yang ada.

Ruang luar bangunan rektorat UNPAR merupakan salah satu ruang luar pada kampus UNPAR yang dimanfaatkan oleh mahasiswa, terutama sebagai ruang untuk bersosialisasi. Berdasarkan pengamatan, sekalipun di fakultas masing-masing sudah difasilitasi dengan ruang luar, namun mahasiswa dari berbagai jurusan lebih memilih ruang luar bangunan rektorat sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas. Dengan posisinya yang strategis sebagai area penerima utama, maka ruang luar bangunan rektorat hampir tidak pernah berada dalam keadaan benar-benar kosong dari aktivitas mahasiswa, sehingga dapat menciptakan suasana kehidupan akademis bagi kampus UNPAR.

Peranan ruang luar bangunan rektorat UNPAR sebagai area penerima, titik berorientasi, jalur sirkulasi dan simpul aktivitas sangatlah penting, baik bagi masyarakat UNPAR maupun bagi masyarakat di luar UNPAR.

(32)

31

(33)

32

(34)

33

(35)

34

(36)

35 3.2 KARAKTERISTIK IKLIM RUANG LUAR BANGUNAN REKTORAT UNPAR

Untuk dapat mengetahui apakah sebuah lingkungan binaan sudah dirancang tanggap terhadap iklim, maka perlu diketahui besaran elemen-elemen iklim setempat. Analisis berikut ini dilakukan berdasarkan data hasil pengukuran pada 30 titik ukur di ruang luar bangunan rektorat Unpar dengan batasan-batasan pengukuran yang telah ditentukan dalam metode penelitian, dengan tujuan untuk :

- Mencari hubungan antara karakteristik iklim ruang luar dengan karakteristik umum iklim kota Bandung

- Mencari hubungan antara iklim mikro ruang luar dengan iklim makro kota Bandung dari data BMG rata-rata dalam kurun waktu lima tahun terakhir (tahun 2003 - 2007) - Mempelajari fluktuasi besaran elemen-elemen iklim antara hasil pengukuran di musim

hujan dan di musim kemarau

Hasil analisis akan menyimpulkan sejauh mana kesesuaian antara iklim mikro yang terbentuk pada ruang luar dengan iklim makro skala kota Bandung dan dengan karakteristik umum iklim kota Bandung. Sedangkan data fluktuasi besaran elemen-lemen iklim dapat dijadikan masukan untuk mengoptimalkan kenyamanan termal di ruang luar.

TERHADAP KARAKTERISTIK UMUM IKLIM KOTA BANDUNG

Gambar

Gambar 1.1 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian
Gambar 1.2 Alat 4 in 1 Environment  Tester
Gambar 2.1 Ruang luar beratap pada  Universiti Teknologi Petronis di Malaysia
Gambar 2.2 Pintu masuk utama  dari Center for Clinical Sciences  Research pada Standford University
+7

Referensi

Dokumen terkait

alat (tools), mengandung pengertian dalam hal ini perangkat teknologi digunakan sebag ai alat bantu dalam proses pembelajaran, misalnya sebagai alat untuk mengolah

Pokok permasalahan yang ditinjau adalah bagaimanakah hubungan antara laju kenaikan head di dalam reservoir ganda h 2 ( t ) terhadap waktu pengisian reservoir t. Metode

Lama usaha secara individu berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan mustahik penerima program zakat produktif yang diberikan Badan Amil Zakat Nasional Provinsi Jawa

Jika diamati mulai dari variabel tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, polong bernas, berat 100 biji, jumlah biji dan berat biji perbedeng, genotipe

dapat beberapa ancaman yang memiliki nilai kuat seperti ancaman dari kompetitor yang sudah eksis pada pasar jasa online ride-sharing dimana terdapat beragam kompetitor dari

Pada tahun 2009 ini Kebun Raya “Eka Karya” Bali menggandeng kembali Universitas Udayana, beserta Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali

Jika Nilai Capaian yang Ananda peroleh kurang dari 75 (disesuaikan dengan KKM yang ditetapkan), Ananda harus mempelajari kembali materi yang belum dikuasai. Jika masih

Ma'arif Gunungpring Muntilan. Skripsi Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2009. Penelitian ini bertujuan untuk: Untuk mengetahui pelaksanaan pola pendidikan