DIMENSI ESTETIS HURUF KOREA;
PERSPEKTIF TEORI ESTETIKA MONROE BEARDSLEY
Tesis
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Tugas Akhir Untuk Meraih Gelar Master
diajukan oleh:
Andhika Djalu 13/359440/PFI/00373
Kepada
PROGRAM MASTER
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2016
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan
Bangsa Korea, khususnya Korea Selatan dalam beberapa tahun ini menunjukan kemajuan yang luar biasa dalam berbagai hal, di antaranya adalah produk elektronik, makanan, kosmetik, kendaraan bermotor, aksesoris, film, dan lain sebagainya. Produk-produk asal Korea yang masuk ke Indonesia tersebut biasanya berlabel atau bertuliskan dalam bahasa atau huruf Korea. Bentuk dari huruf atau bahasa Korea yang tertera dalam label produk-produk Korea tersebut bermacam-macam, ada yang berbentuk tulisan biasa, ada pula yang memiliki bentuk yang unik. Huruf Korea atau huruf Korea tersebut dikenal dengan nama Hangeul (한글). Hangeul (한글) dianggap sebagai salah satu huruf yang sangat
efisien di dunia dan mendapat pujian dari para ahli bahasa berkat keunggulan dan bentuk ilmiahnya (Ihm dkk., 1988:3).
Perkembangan pembelajaran dan penelitian mengenai huruf Hangeul (한글) di Universitas Gadjah Mada dalam kurun waktu beberapa tahun ini hampir sebagaian besar hanya terpusat pada ilmu bahasa saja. Penelitian yang dimaksud di atas dapat kita jumpai dalam bentuk sebuah karya ilmiah berupa tugas akhir, skripsi, tesis atau bahkan disertasi yang ditulis oleh para mahasiswa dari fakultas atau jurusan yang mempelajari ilmu bahasa Korea. Aspek bahasa dan yang terkandung di dalamnya sesungguhnya memiliki cakupan yang cukup luas dan dalam. Bahasa bisa dikaitkan dengan perkembangan pendidikan, dapat pula dikaitkan dengan perkembangkan teknologi dan gaya hidup, atau bahkan sangat masuk akal dan sangat erat pula kaitannya dengan dunia bisnis.
Berdasarkan hal tersebut diatas, pada kesempatan ini penulis akan mencoba mengkaji bahasa Korea, dalam hal ini huruf Hangeul (한글) dalam sebuah perspektif yang lain, yaitu filsafat. Salah satu cabang dari ilmu filsafat yang akan dijadikan sebagai landasan dalam mengkaji huruf Hangeul (한글) tersebut adalah filsafat seni. Melalui filsafat seni, huruf Hangeul (한글) yang unik dan berbentuk seperti sebuah simbol atau sebuah karakter dalam suatu bahasa, sangat memungkinkan memiliki unsur keindahan. Unsur-unsur keindahan tersebut akan dikaji menggunakan suatu teori seni tertentu yang pada akhirnya diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai keindahan yang terdapat dalam huruf tersebut, kemudian kemungkinan-kemungkinan yang lain seperti perubahan bentuk dan peran penelitian ini bagi ilmu-ilmu yang lain.
Pada awal mula diciptakan, Hangeul (한글) terdiri atas 17 huruf konsonan dan 11 huruf vokal (Yang, 1995:29). Akan tetapi dalam perkembangannya, setelah mengalami beberapa kali perubahan, Hangeul (한글) berjumlah 40 huruf (Yang, 1995:29). 40 huruf Hangeul (한글) tersebut terdiri dari 24 huruf yang merupakan huruf dasar, dan sisanya, yaitu 16 huruf merupakan gabungan dari huruf dasar.
Huruf dasar yang berjumlah 24 huruf tersebut terdiri atas 10 huruf vokal dan 14 huruf konsonan (Yang, 1995:31).
Huruf Hangeul (한글) dalam hal tata cara penulisannya dapat dikategorikan kedalam sebuah seni menulis indah atau kaligrafi yang dikenal dengan sebutan Seoye. Pada awal mula Seoye, huruf Hangeul (한글) ditulis menggunakan kuas, dan itu bukan hal yang mudah karena harus dengan kesabaran dan ketelitian. Setiap goresan kuas yang membentuk satu karakter dari huruf Hangeul (한글) harus ditulis dengan struktur yang baik karena pada dasarnya
huruf Hangeul (한글) memiliki unsur-unsur filosofis yang unik. Salah satu dari unsur-unsur filosofis tersebut yang relevan dengan penulisan huruf Hangeul (한글) adalah estetika. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa huruf Hangeul (한글) merupakan sebuah teknik menulis yang indah, maka estetika sebagai salah satu cabang filsafat dapat mengkaji huruf Hangeul (한글) dari segi keindahan dalam penulisannya.
Huruf Hangeul (한글) yang pada dasarnya merupakan gabungan dari unsur garis yang membentuk suatu karakter yang digunakan sebagai media komunikasi oleh masyarakat Korea baik secara tulisan maupun lisan, merupakan suatu kesatuan unsur yang memiliki nilai estetis tersendiri.
Cabang estetika yang digunakan dalam mengkaji huruf Hangeul (한글) adalah estetika tradisional, khususnya teori bentuk indah yang bersifat kualitatif (teori Monroe Beardsley). Satu karakter dalam huruf Hangeul (한글) memiliki dimensi unity (kesatuan), complexity (kerumitan), dan intensity (intensitas).
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang diambil oleh penulis adalah:
1. Unsur-unsur atau dimensi-dimensi estetis apa saja berdasarkan teori keindahan yang terdapat pada huruf Hangeul (한글)?
2. Melalui huruf Hangeul (한글) tersebut yang didalamnya terdapat unsur- unsur atau dimensi-dimensi estetis dapatkah diwujudkan dalam bentuk seni yang lain?
3. Bagaimana sumbangsih kajian unsur-unsur atau dimensi-dimensi estetis dalam huruf Hangeul (한글) bagi pembelajaran estetika, filsafat timur, serta ilmu-ilmu terkait yang lainnya di Indonesia?
3. Keaslian Penelitian
Sejauh ini penulis masih belum menemukan sebuah karya ilmiah yang membahas tentang huruf Hangeul (한글) dalam perspektif estetika khususnya dengan menggunakan teori dari Monroe Beardsley. Beberapa jurnal dan karya ilmiah yang pernah mengkaji huruf/huruf Korea dan bahasa Korea adalah:
1. Judul: Adverbia Mimetik Penjelas Verba \"Berjalan\" Dalam Bahasa Korea
Penulis dan Program studi : Fitri Achiriani/ S2 Ilmu Linguistik UGM Pembimbing: Dr.Suhandano, M.A.
2. Judul: Analisis Kesalahan Pelafalan Bahasa Korea oleh Orang Indonesia Perubahan Konsonan Letup menjadi Konsonan Sengau
Penulis dan program studi: Melizza Fonastia/D3 Bahasa Korea UGM Pembimbing: Achmad Rio Dessiar, M.A
3. Judul: Analisis dan disain short messaging service (SMS) sebagai support kamus Bahasa Korea (Kamkornik)
Penulis dan program studi: Subandiati, Dyastriningrum/S2 Magister Manajemen UGM
Pembimbing: Surahyo, B.Eng., M.Eng.Sc 4. Judul: Huruf kuno Korea
Penulis dan penerbit: Lim Kim-hui/INAKOS 5. Judul: Dimensi-Dimensi Filosofis Bahasa Korea
Penulis dan penerbit: Dr. Mukhtasar Syamsuddin/INAKOS
Beberapa karya ilmiah di atas membahas mengenai huruf Korea dan bahasa Korea dikaji melalui berbagai macam ilmu pengatahuan, namun di Indonesia, sejauh ini penulis belum menemukannya dalam perspektif estetika.
Oleh karena itu penulis berharap dengan adanya kajian mengenai huruf Hangeul (한글) yang dikaji dalam perspektif estetika dapat menjadi sebuah pengetahuan dan pembelajaran yang baru di bidang kajian filsafat seni dan filsafat timur di Indonesia.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti: Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan filsafat seni serta filsafat timur, khususnya estetika dan Korean
Philosophy.
2. Bagi pengembangan penelitian filsafat: Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pandangan filsafat khususnya mengenai kajian filsafat seni, filsafat timur, Korean Philosophy dan studi lain mengenai Korea.
3. Bagi masyarakat umum: Tesis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan baru mengenai sudut pandang dari sebuah aspek bahasa yang dikaji menggunakan sebuah kajian estetika yang merupakan cabang dari filsafat.
B. Tujuan Penelitian
1. Menguji keberlakuan sebuah teori keindahan tertentu untuk mendapatkan pengetahuan ada tidaknya sebuah nilai estetis yang terkandung dalam sebuah huruf dalam suatu bahasa tertentu.
2. Memperjelas persoalan kualitas sebuah huruf dalam suatu bahasa khususnya aspek estetika untuk mendapatkan rumusan estetika yang memungkinkan bisa diwujudkan dalam bentuk karya seni yang lain.
3. Memberikan sebuah pengetahuan baru mengenai kaitan antara estetika dengan suatu huruf salah satu negara di Asia Timur.
C. Tinjauan Pustaka
Bahasa Korea adalah bahasa yang dipakai oleh bangsa yang terdapat di Semenanjung Korea, yaitu bangsa Korea. Wilayah Semenanjung Korea memang tidak begitu luas, namun penggunaan bahasa yang dipakai sebagai bahasa resmi di negara Korea Selatan dan Korea Utara ini, perlahan-lahan semakin menunjukan peningkatan dari segi jumlah.
Berdasarkan data yang ada, sebanyak 73 juta orang di Semenanjung Korea, sekitar 50 juta orang di Korea Selatan, dan kurang lebih 23 juta orang di Korea Utara menggunakan bahasa Korea sebagai bahasa ibu. Penggunaan bahasa Korea tidak hanya dipakai di Semenanjung Korea saja, sebut saja AS, China, Jepang, Rusia, bahkan hingga Indonesia pun terdapat jumlah pengguna bahasa Korea yang cukup banyak. Bahkan, diprediksi angka tersebut bisa terus melonjak seiring dengan mulai dikenalnya bahasa Korea di Amerika Selatan, Australia dan negara-negara lainnya. Peningkatan jumlah pengguna bahasa Korea tersebut tentunya tidak lepas dari prestasi dibidang ekonomi dan politik, khususnya bagi Korea Selatan. Atas dasar luas jangkuan wilayah pemakaian beserta banyaknya penutur yang menggunakannya, saat ini bahasa Korea menduduki peringkat ke 13- 15 sebagai bahasa paling banyak digunakan di seluruh dunia (Lee, 2008:21).
Sejak akhir abad 19 hingga sekarang, asal mula bahasa Korea masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi. Terdapat dua teori mengenai asal usul bahasa Korea. Sebagian ahli bahasa mengklasifikasi bahasa Korea ke dalam rumpun bahasa Jepang. Hal ini disebabkan secara struktural banyak ditemukan kesamaan antara keduanya. Namun demikian, menurut G. J. Ramstedt, yang kemuadian diikuti oleh Poppe (1960) serta beberapa linguis lainnya mengklasifikasikan bahasa Korea sebagai bahasa dalam rumpun Altik.
Pengelompokan ini dilatarbelakangi ditemukannya kesamaan ciri-ciri tata bahasa dan sistem fonetik yang sistematik diantara bahasa Korea dengan bahasa Turki, Mongol, dan bahasa Manchu-Tungus, tiga bahasa yang terlebih dahulu didefinisikan sebagai bahasa Altik (dikutip oleh Yuliawati Dwi Widyaningrum dari Sohn, 2001).
Penggunaan bahasa Korea di kalangan masyarakat Korea sendiri juga terdapat beberapa jenis, yaitu bahasa standard dan baku (bahasa yang dipakai di ibukota, Seoul), lalu bahasa Korea dengan berbagai macam dialek. Macam-macam dialek yang terdapat dalam bahasa Korea yang terkenal terdiri dari 8 macam berdasarkan daerahnya, yaitu dialek Provinsi Gyeonggi, Gangwon, Chungcheong, Jeolla, Gyeongsang, Pyeongan, Hamgyeong, dan dialek Pulau Jeju.
Bahasa Korea menggunakan huruf yang disebut Hangeul (한글). Hangeul (한글) tersebut dianggap sebagai salah satu huruf yang sangat efesien di dunia dan mendapat pujian mutlak dari para ahli bahasa berkat keunggulan dan bentuk- bentuk ilmiahnya (Korean Heritage Series 1:3). Abjad Korea atau Hangeul (한글) ini pertama kali diciptakan oleh Raja Sejong pada masa pemerintahan Dinasti Joseon (1392-1910). Hangeul (한글) secara resmi diumumkan pada tanggal 9 Oktober 1446 dengan nama Hunninjeongeum yang secara literal berarti “mendidik rakyat dengan abjad yang benar” (Korean Heritage Series 1:3, Yang, 1995:28).
Awal mula Hangeul (한글) diciptakan, jumlah huruf vokal terdiri dari 11 huruf, dan jumlah huruf konsonan terdiri dari 17 huruf (Yang, 1995:29). Akan tetapi, dalam perkembangannya setelah mengalami beberapa kali perubahan, huruf Hangeul (한글) berjumlah 40 huruf (Yang, 1995:29). Dari 40 huruf Hangeul
(한글) tersebut, 24 huruf merupakan huruf dasar, dan sisanya, yaitu 16 huruf lainnya merupakan gabungan dari huruf dasar. Huruf dasar yang berjumlah 24 huruf tersebut terdiri atas 10 vokal dan 14 konsonan (Yang, 1995:31).
D. Landasan Teori
Penelitian ini adalah sebuah penelitian filsafat seni yang mengkaji tentang
sebuah huruf yang berasal dari Korea, yaitu Hangeul (한글) dari sudut pandang estetika. Pembahasan mengenai Hangeul (한글) pada dasaranya telah banyak dikaji dari sudut pandang keilmuan yang lain, namun apabila dikaji dari sudut pandang filsafat seni, khususnya estetika tampaknya masih menjadi sesuatu hal baru. Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetis filsafati yang khusus menelaah tentang seni. Lucius Garvin berpendapat, filsafat seni adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni, pengalaman seni, dan kritik seni. Joseph Brennand merumuskan: “penelaahan mengenai asas-asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni” (The Liang Gie, 1983:59). Selanjutnya, sesuatu yang memiliki unsur estetis jika dirumuskan melalui sudut pandang filsafat seni yang berhubungan dengan teori keindahan, dapat memberikan definisi bahwa keindahan memberi tahu orang yang mengenali apa arti keindahan itu dan teori keindahan yang menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar dari keindahan, apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut.
Terdapat dua kelompok teori yang terkenal dalam sejarah estetika, yaitu teori subyektif dan teori obyektif tentang keindahan. Teori obyektif dianut oleh Plato, Hegel, dan Bernard Bosanquet. Para filsuf itu disebut obyectif aestheticiaus (ahli-ahli estesis obyektif). Teori subjektif didukung antara lain Henry Home, Earl of Shaftesburi, dan Edmund Burke. Filsufnya disebut subjektif aestheticiaus (ahli- ahli estesis subjektif).
Teori obyektif berpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estesis adalah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang
hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya.
Persoalannya adalah ciri-ciri khusus manakah yang membuat suatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estesis. Salah satu jawabannya adalah perimbangan antara bagian-bagian indah dalam benda itu. Sebagian filsuf seni dewasa ini memberikan jawaban nilai estesis itu tercipta dengan terpengaruhinya asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnys karya seni yang diciptakan oleh seseorang).
Teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari pengamat tersebut. Kalaupun dipertanyakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estesis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estesis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Selain dua teori di atas masih ada satu teori lagi oleh The Liang Gie disebut teori campuran. Teori campuran, keindahan terletak dalam suatu hubungan diantara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya, misalya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerapan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda itu. (The Liang Gie, 1983:41-42).
Terdapat pula teori yang lain, yaitu teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewiez disebut Teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty) atau dapat juga teori agung mengenai mengenai estetika Eropa.
Teori agung tentang kendahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta hubungannya satu sama lain.
Contoh, arsitektur orang-orang Yunani. Keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran, jumlah dan susunan dari pilar-pilar yang menyangga atap itu. Pilar-pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam berbagai semestinya.
Bangsa Yunani menemukan bahwa hubungan matematis yang cermat sebagaimana terdapat dalam ilmu ukur dan berbagai pengukuran proporsi ternyata dapat diwujudkan dalam benda-benda bersusun yang indah. Menurut teori proporsi, keindahan yang terdapat dalam suatu benda adalah terdapat bagian- bagian yang memiliki hubungan satu sama lain sebagai bilangan-bilangan kecil.
(The Liang Gie, 1983, hlm. 42-45). De Witt H. Parker menjelaskan ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi enam asas, yaitu sebagai berikut.
a. Asas Kesatuan Utuh
Asas ini berarti setiap unsur dalam karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu, sebaliknya mengandung semua yang tidak diperlukan. Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur tersebut, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur lainnya.
b. Asas Tema
Dalam setiap karya seni terdapat satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu. Ini menjadi
kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni itu.
c. Asas Variasi Menurut Tema
Tema dari karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus- menerus mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan pengungkapan tema harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam berbagai variasi.
d. Asas keseimbangan
Keseimbangan merupakan kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun ada unsur-unsur yang tampaknya bertentangan, tetapi sesungguhnya saling memerlukan karna menciptakan suatu kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah keasamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis.
e. Asas perkembangan
Asas ini dimaksudkan oleh Parker bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya, dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali-temali yang perlu ciri pokok berupa pertumbuhan atau himpunan dari makna keseluruhan.
f. Asas tata jenjang
Asas yang terakhir ini merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas tersebut. Dalam karya seni yang rumit kadang-kadang terdapat satu unsur yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih
besar dari pada unsu-unsur lainnya. (the Liang Gie, 1976, hlm. 45-48)
Dari keenam asas di atas menurut Parker diharapkan menjadi unsur dari logika tentang bentuk estetis. Teori lain dikemukakan Monroe Beardsley, yang menjelaskan bahwa dalam setiap unsur estetis dalam suatu karya terdapat sebuah proses kreatif. Pembahasan mengenai hal itu, sebernarnya harus dimulai dalam pengertian proses kreatif itu sendiri. Proses kreatif adalah luasnya kegiatan mental dan fisik mulai dari dorongan awal hingga sentuhan terakhir; yaitu antara kita bermaksud mencapai sesuatu hingga karya seni itu selesai (Sachari 1987:182).
Pola proses kreatif menurut Monroe secara garis besar dapat dibagi atas beberapa kelompok:
a. Adanya karakteristik yang sama pada setiap seni apapun medianya; gejala ini tampak karena hampir setiap karya seni selalu menggunakan topik utama.
Dengan demikian pendekatan pola kreatif terutama karya-karyanya mempunyai hasil akhir akibat proses kreatif yang sama.
b. Adanya analogi pengalaman estetis; gejala ini terbukti karena adanya apresiasi dan penghargaan untuk dinilai. Dengan demikian tentu ada pula pola kreatif yang dapat dipergunakan guna mencapai hal tersebut.
c. Adanya analogi antara satu kegiatan kreatif dengan kegiatan kreatif lainnya.
Hal ini diungkapkan secara klasik oleh Dewey dengan mencoba mengadakan penelitian bagaimana sebenarnya manusia berpikir (Sachari 1987:183). Ada sumber utama yang dapat kita kaji, terutama berkaitan dengan pengalaman dan persepsi kreatif. Ketiga sumber tersebut adalah seniman, ahli psikologi atau ahli filsafat.
Monroe Beardsley dalam Problems in the Philosophy of Criticism menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat ‘membuat baik (indah)’ dari
benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu adalah sebagai berikut.
a. Keasatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni kaya akan isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan-perbedaan yang halus
c. Intensitas (intensity)
Benda estetis yang abik harus mempunyai kualitas tertentu yang menonjol bukan sekedar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira, sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensif atau sungguh-sungguh (The Liang Gie, 1983, hlm. 46-48).
Penjelasan mengenai teori-teori estetis telah dijelaskan dalam penjabaran diatas. Teori-teori mengenai unsur-unsur atau dimensi-dimensi yang terkandung dalam sebuah kaya seni tentunya sangat banyak dan sangat memungkinkan untuk dikaji menggunakan teori-teori tersebut. Dalam penelitian yang berjudul Huruf/Huruf Korea (Hangeul); Perspektif Teori Estetika Monroe Beardsley ini, landasan teori yang dipakai oleh penulis untuk mengkaji dimensi-dimensi estetis dari huruf Korea (Hangeul) adalah teori estetika tradisional, khususnya teori bentuk indah yang bersifat kualitatif dari Monroe Beardsley, yang menjelaskan bahwa ada 3 ciri-ciri yang membuat indah dari suatu karya seni, yaitu unity (kesatuan), complexity (kerumitan), dan intensity (intensitas).
E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif serta penelitian kepustakaan (library research). Data kepustakaan untuk kajian teoritis tentang estetika dan perkembangannya diperoleh di Yogyakarta antara lain di Universitas Gadjah Mada, Fakultas Filsafat UGM, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Pusat Studi Korea-UGM, dan beberapa dari buku-buku koleksi pribadi penulis serta beberapa sumber gambar dari internet. Sumber gambar penulis unduh dari internet dikarenakan cukup sulit untuk menemukan gambar yang diinginkan oleh penulis di Indonesia. Sehingga untuk memudahkan dalam melakukan penelitian, semua sumber gambar diunduh dari internet.
2. Cara Penelitian
Adapun cara penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah melakukan pengumpulan data pada sumber-sumber utama yang berkaitan dengan judul tesis tersebut. Sedangkan untuk penelitian kepustakaan melalui kajian teks yaitu jurnal tentang estetika, jurnal tentang bahasa atau huruf Korea, aliran filsafat seni, pemikiran dan persoalan mengenai estetika, berita koran, majalah, buku panduan akademik, dan dokumen pendukung lainnya yang terkait dengan judul penelitian.
3. Proses Penelitian
a. Tahap pengumpulan data
Proses pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap untuk mendapatkan data primer dan data sekunder sebagai berikut: Data primer dari penelitian ini adalah huruf atau huruf Korea dan teori estetis dari Monroe Beardsley. Penulis akan mengumpulkan semua huruf dan huruf Korea dan akan
dipilah-dipilah berdasarkan pembagian jenis huruf dalam bahasa Korea. Kemudian penulis juga mengumpulkan teori-teori estetis dari Monroe Beardsley. Data sekunder yaitu data yang diambil dan diperoleh dari berbagai tulisan ilmiah baik berupa artikel, jurnal, dan penelitian yang telah diterbitkan maupun unpublished works serta sumber gambar dari internet.
b. Tahap analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Verstehen: Dalam tahap ini peneliti mencoba untuk memahami unsur-unsur estetis yang terdapat dalam huruf atau huruf Korea. Metode verstehen ini digunakan untuk memahami dimensi-dimensi filosofis khususnya dalam filsafat seni.
2. Interpretasi: Peneliti berusaha menafsirkan, mengungkapkan substansi dan esensi dari data primer maupun sekunder melalui teori estetis untuk ditemukan suatu gagasan atau rumusan yang terkait dengan judul penelitian.
3. Heuristik: Artinya mencoba menemukan hal-hal baru yang terkait dengan estetika yang terdapat dalam data primer dan sekunder. Diharapkan dengan ada penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam kajian filsafat seni maupun kajian filsafat timur di Indonesia.
F. Hasil Yang Dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman yang komprehensif tentang sebuah teori seni dalam kajian estetika dan pemahaman yang substansial dalam dimensi-dimensi filosofis yang terdapat dalam huruf atau huruf Korea.
2. Pemahaman teori filsafat seni, khususnya teori estetika tradisional yang bersifat kualitatif.
3. Kajian teori estetika tradisonal yang bersifat kualitatif yang terdapat dalam huruf atau huruf Korea serta sumbangannya bagi pembelajaran filsafat seni dan filsafat timur di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak di Jawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori, dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian.
Bab kedua berisi tentang huruf atau huruf Korea yang meliputi pengertian, sejarah, perkembangan, dimensi-dimensi atau unsur-unsur filosofis apa saja yang terdapat dalam huruf tersebut.
Bab ketiga berisi tentang pemikiran teori-teori seni atau estetika menyangkut pengertian, sejarah pemikiran, serta orientasi dan permasalahan- permasalahan dalam sebuah kajian estetika.
Bab keempat merupakan uraian tentang tinjauan mengenai dimensi- dimensi estetika dalam huruf atau huruf Korea. Dalam bab ini akan dikaji sebuah teori estetika tradisional yang bersifat kualitatif dalam sebuah huruf atau huruf Korea. Serta sumbangsih penelitian ini bagi proses pembelajaran filsafat seni dan filsafat timur di Indonesia.
Bab kelima berisi tentang kesimpulan dari penelitian.