• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA

Memasuki tahun 1940-an meletus perang besar antara Jerman-Italia dengan negara- negara sekutu (Inggris dan Prancis). Pada September 1940 Jepang menjalin hubungan militer dengan Jerman-Italia, hal tersebut semakin meningkatkan suhu politik dunia, keadaan ini juga berimbas kepada Asia.

Perang Asia Timur Raya (1942-1945), menjadikan Jepang berhadapan dengan ABCD Front atau dengan Amerika, British, Cina, Dutch. Setelah Jerman berhasil menduduki Prancis, Jepang diizinkan untuk membangun pangkalan militernya di Indo China. Hal tersebut juga menuntut supaya pemerintah kolonial Belanda mengizinkan Jepang untuk mendirikan pangkalan militernya di Indonesia.1

Di bawah pimpinan Admiral Kurita, Jepang melancarkan serangan guritanya ke Indonesia. Diarahkan terlebih dahulu ke Tarakan yang mengandung tambang minyak, kemudian melanjutkan penyerangannya ke Balikpapan, Banjarmasin, pada Januari dan Februari 1942. Setelah Menado berhasil dikuasai, penyerangan dilanjutkan ke Kendari, Makasar, dan Bali. Penguasaan Jepang atas wilayah-wilayah di Indonesia diteruskan ke Ambon, Timor Kupang dan Timor Dili. Serangan-serangan Jepang yang dilancarkan melalui armada laut dan udara ini menjadikan pertahanan ABDA (American-British-Dutch- Australian) tidak berdaya. Dampaknya, panglima tertinggi angkatan perang Belanda, Jenderal Hein ter Poorten, bersama Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbergh Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa syarat kepada Letnan Jenderal Immamura, dalam Kapitulasi Kalijati Subang, Jawa Barat pada 8 Maret 1942.2 Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang dibangun sejak akhir abad ke-18, dan diambil alih oleh penguasa baru, Jepang.

Peristiwa Kapitulasi Subang, 8 Maret 1942 merupakan awal keberhasilan Jepang dalam melancarkan propagandanya untuk menguasai Indonesia. Dalam peristiwa tersebut kolonial Belanda mengaku kalah pada pasukan Jepang dan menyatakan menyerah tanpa syarat. Peristiwa runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dalam analisis Harry

1Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Bandung: Salamadani, 2010, hlm. 2.

2Ibid., hlm. 19-20.

(2)

J. Benda, merupakan pembebasan rakyat dengan pencapaian luar biasa setelah dijajah pemerintahan Kristen yang berabad-abad menindas umat Islam.

Pada masa-masa awal pendudukannya di Indonesia, Jepang mendapat sambutan yang baik dari pihak Indonesia, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, yang bersedia untuk bekerja sama dengan Jepang. Sikap seperti ini sangat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan keduanya pada masa Hindia Belanda. Kesediaan ini muncul dikarenakan adanya keyakinan bahwa Jepang akan mendukung upaya mewujudkan kemerdekaan bagi Indonesia.

Propaganda Jepang sebagai pembebas rakyat dari penindasan penjajah Belanda, menjadikan rakyat Indonesia menyambut baik kedatangan balatentara Jepang. Hal tersebut dibuktikan setelah seminggu pasukan Jepang menduduki Jakarta, di Masjid Kwitang hadir tentara Jepang yang ikut berjamaah shalat, diikuti hadirnya Kolonel Horie bersama tentara Jepang yang beragama Islam Muhammad Abdul Muniam Inada yang memberikan pidatonya dalam bahasa Jepang.3 Memang, sebelum pasukan Jepang mendarat di Indonesia, selama beberapa bulan radio Tokyo telah mendengung-dengungkan propaganda bahwa mereka membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Lagu Indonesia Raya hampir setiap hari menggema lewat radio Indonesia yang dikuasai Jepang.4

Secara politis, propaganda Jepang sepintas ingin mengembangkan slogan Revolusi Prancis fraternite – persaudaraan, equalite – persamaan dan liberte – kemerdekaan sesama bangsa Asia, dengan membahasakan dirinya sebagai Saudara Tua. Dengan propagandanya tersebut, Jepang sebagai Saudara Tua akan diterima sebagai pemimpin, pelindung, dan cahaya yang menerangi bangsa-bangsa Asia.5 Sikap bersahabat tersebut, sebenarnya hanya sebagai propaganda awal pendudukan Jepang di Indonesia. Selanjutnya dalam rangka memenangkan perangnya, Jepang melakukan penindasan sebagaimana yang pernah dilakukan penjajah Belanda.

Kemenangan gemilang yang diperoleh tentara Jepang dalam waktu yang sangat singkat memang menakjubkan, hal tersebut memunculkan kepercayaan rakyat Indonesia kepada tentara Jepang. Keberhasilan tentara Jepang mengusir kaum imperialis Barat yang

3Ibid., hlm. 21.

4 Nino Oktorino, Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941-1945, Jakarta: PT Gramedia, 2016, hlm. 200.

5Ahmad Mansur Suryanegara, Op. cit., hlm. 24.

(3)

telah berabad-abad di berbagai negara di Asia dan membebaskan rakyat jajahan dari belenggu kaum imperialis, pada hakikatnya, rakyat jajahan hanya berganti tuan karena mereka masih tetap meringkuk di bawah kaki kaum penjajah.

A. Politik Penjajahan Jepang

Setelah pendudukannya di Indonesia, Jepang tampak jelas sebagai imperialis yang diselubungi dengan nama gerakan Nipponisasi yang mencoba mengubah kultur Asia menjadi kultur Jepang di segala bidang. Ketika bertemu dengan tentara Jepang, rakyat dipaksa hormat dengan membungkukkan badannya, dilarang menggunakan bahasa asing selain bahasa Jepang. Dalam upaya mensosialisasikan Nipponisasi di bidang pemerintahan, istilah- istilahnya diganti dalam bahasa Jepang, seperti Gunseikanbu – Kepala Staf Tentara yang berfungsi mengendalikan pemerintahan militer.6

Keadaan seperti ini oleh Nugroho Notosusanto dikatakan sebagai pengecoh kepada rakyat Indonesia, terutama kalangan kaum Nasionalis. Persepsi pihak Jepang terhadap Indonesia dalam jangka panjang adalah menghadirkan sebuah Indonesia yang merdeka, namun “pembebasan” dan pendudukan itu tidak lebih sebagai bagian dari rencana “Meiji- fikasi” yakni sebuah upaya modernisasi terpimpin menurut pola yang dikehendaki Jepang, di mana pelaksanaan serta realisasinya berdasarkan pada spirit restorasi Meiji yang terjadi di Jepang pada saat itu.7

Pada 4 Maret 1942, panglima pasukan Jepang di Jawa, Jenderal Imamura, mengumumkan bahwa tidak ada kemungkinan orang Indonesia akan diangkat sebagai penjabat dalam pemerintahan.8 Pada 20 Maret 1942, Gunseikan9 mengeluarkan dua peraturan yang menyatakan; 1) Semua bentuk diskusi, gerakan, saran-saran, atau propaganda mengenai pemerintahan dan struktur negeri untuk sementara waktu dilarang. 2) Larangan untuk pengibaran bendera selain bendera Jepang (Hinomaru), dengan kata lain pengibaran sang

6Ibid., hlm. 26-27.

7 Zainul Milal Bizawie, Op. cit., hlm. 115.

8 Nino Oktorino, Op. cit., hlm. 200.

9 Pemerintah Militer Jepang di Jawa. Lihat Anton Lucas, dkk, Radikalisme Lokal Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2012, hlm. 136.

(4)

saka Merah Putih juga dilarang. Dengan dikeluarkannya aturan tersebut berarti semua aktivitas politik tidak diberi ruang gerak. Selain itu, pemerintah militer juga tidak melakukan toleransi terhadap penggunaan dan publikasi simbol-simbol maupun yang lainnya yang berkaitan dengan Jepang.10

Sebuah badanpun didirikan untuk tujuan tersebut pada 29 April 1942 dengan misi utama menyokong kampanye Jepang, yaitu Gerakan Tiga A, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia. Sebagai pemimpin Gerakan Tiga A ini dipercayakan kepada seorang ahli propaganda Jepang Shimizu dan seorang dari Partai Indonesia Raya (Parindra), Mr. Syamsuddin, yang sebenarnya tidak termasuk sebagai tokoh nasional senior dan berpengaruh dalam kancah politik Indonesia. Gerakan ini tidak mendapatkan hasil sebagai mana yang diharapkan Jepang karena sosok pimpinan dari badan tersebut bukan merupakan sosok yang dikenal rakyat bangsa Indonesia.11

Meskipun Jepang menyadari jika ingin memobilisasi dan mendapat dukungan dari rakyat Indonesia maka tokoh-tokoh nasional yang populis harus sebisa mungkin dimanfaatkan, namun langkah Jepang hanya berhenti pada pembebasan sejumlah tokoh pergerakan seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, dan sebagainya yang sebelumnya diasingkan atau dipenjarakan pemerintah Hindia-Belanda. Tidak maksimalnya propaganda Gerakan Tiga A, Jepang akhirnya mencari cara yang lebih baik untuk menggalang dukungan rakyat Indonesia bagi kepentingan dan kampanye perang Jepang. Janji-janji seperti kesempatan dan keterlibatan orang-orang Indonesia dalam pemerintah memang telah mereka lakukan, namun hal ini tidak disertai dengan memberikan janji-janji kongkrit mengenai stastus bangsa Indonesia di masa depan.12

Berkenaan dengan datangnya Ir. Soekarno dari Sumatra, Gerakan Tiga A dibubarkan pada November 1942. Pada awal Maret 1943, para tentara Jepang mengumumkan berdirinya badan baru di bawah pimpinan tokoh-tokoh nasional yang telah mendapat kepercayaan rakyat. Badan baru tersebut adalah “Putera”, singkatan dari Pusat Tenaga Rakyat, yang

10 Zainul Milal Bizawie, Op. cit., hlm. 114-115.

.

11Ibid., hlm. 116.

12Ibid.

(5)

dipimpin oleh empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno sebagai ketuanya, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH. Mas Mansur.13

Tujuan Jepang membentuk Putera adalah agar dukungan para pemimpin dan rakyat Indonesia kepada Jepang semakin besar untuk menyelenggarakan “Kemakmuran Asia Timur Raya” di bawah pimpinan Jepang yang mengerahkan tenaga rakyat untuk kepentingan perang demi kemenangan pihak Jepang.14 Gerakan Putera hanya terbatas di pulau Jawa dan Madura, karena pada waktu itu wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga daerah pendudukan.

Sumatra menjadi daerah pendudukan tentara Jepang ketujuh, bergabung dengan Singapura.

Keinginan Ir. Soekarno untuk menyebarkan semangat nasionalisme melalui Putera. Beliau beranggapan bahwa Putera adalah jembatan yang akan menghubungkan Indonesia dengan pemerintahan sendiri alias kemerdekaan.15

B. Militerisasi Bangsa Indonesia

Pada 29 April 1943 bertepatan dengan hari lahirnya Kaisar Jepang, Hirohito, diresmikan berdirinya dua organ kepemudaan Seinendan dan Keibodan yang langsung di bawah pimpinan Gunseikan.16Awalnya Seinendan hanya beranggotakan 3.500 pemuda saja di Jawa, namun jumlah tersebut mengalami kenaikan hingga 500.000 orang dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. Para anggota Seinendan merupakan anggota yang berumur 14 hingga 20 tahun, para pemuda tersebut diberi latihan kemiliteran baik untuk kemampuan mempertahankan diri maupun teknik melakukan penyerangan.17

Sekalipun mendapatkan pelatihan dasar-dasar kemiliteran, namun anggota Seinendan tidak menggunakan senjata yang sebenarnya. Tugasnya adalah sebagai barisan cadangan

13 Slamet Muljana, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Jilid II, Yogyakarta:

LKiS, 2008, hlm. 8.

14 M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan, Jakarta: PT Mitra Aksara Panaitan, 2010, hlm. 122.

15 Slamet Muljana, Op. cit., hlm. 9.

16 Marwati Djoenoed Poeponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta:

Departemen Pendidikan &Kebudayaan dan Balai Pustaka, 1993, hlm. 31.

17 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 119.

(6)

yang mengamankan baris belakang. Untuk melatih para kader pemimpin Seinendan, dibentuklah sebuah Seinen Kunresho (Pusat Pelatihan Korps Pemuda Pusat) di Jakarta.18

Bersamaan dengan pembentukan Seinendan, Jepang membentuk Keibodan (Korps Kewaspadaan), yang bertugas sebagai barisan pembantu polisi. Barisan ini ditugaskan untuk pengamanan desa, pengaturan lalu lintas, dan berbagai pekerjaan polisi lainnya. Pada mulanya, anggota Keibodan diharuskan berusia antara 20 hingga 35 tahun. Namun, ketika orang-orang yang lebih muda semakin dibutuhkan, usia minimal anggota Keibodan dinaikkan menjadi 26 tahun. Di seluruh Jawa, Keibodan dilaporkan memiliki anggota lebih dari satu juta orang.19

Untuk meningkatkan mutu Keibodan, Jepang mengadakan pelatihan khusus bagi para kadernya di sekolah polisi di Sukabumi. Pemerintah militer Jepang berusaha keras agar Keibodan tidak dipengaruhi oleh kaum nasionalis Indonesia. Hal tersebut terlihat dari kenyataan bahwa barisan ini dibentuk di desa-desa, di mana kaum nasionalis kurang mempunyai pengaruh. Selain di Jawa, Keibodan dibentuk pula di Sumatra dan daerah Indonesia lainnya yang berada di bawah kontrol Angkatan Laut Jepang. Di Sumatra, Keibodan dikenal dengan nama Bogodan, sementara di Kalimantan disebut Borneo Konan Hokokudan.20

Pada Agustus 1943 dibentuk Fujinkai (Perkumpulan Wanita) berawal dari Bagian Wanita pimpinan Ny. Sunarjo Mangunpuspito yang berada di bawah payung Putera. Setelah Putera dibubarkan, pemerintah pendudukan Jepang kemudian mengalihkan sayap wanita dari organisasi itu ke dalam Fujinkai. Selain beranggotakan para ibu Fujinkai memiliki bagian pemudi yang disebut sebagai Josi Saimentai dan beranggotakan para gadis yang sudah berusia 15 tahun.

Pembentukan perkumpulan Fujinkai tidak didasarkan atas kemauan kaum perempuan, tetapi atas perintah. Mau tidak mau, cakap tidak cakap, semua istri para pembesar dan pemangku jabatan penting terutama istri pamong praja harus menjadi anggota Fujinkai dan bekerja demi kepentingan pertahanan. Pengumpulan harta kekayaan berupaya emas dan intan

18 Nino Oktorino, Op. cit., hlm. 229-230.

19Ibid., hlm. 227.

20Ibid., hlm. 228.

(7)

sebagai sumbangan wajib penduduk untuk dana perang. Penanaman pohon jarak dan pengerahan tenaga romusha dilakukan oleh para pembesar dengan bantuan istrinya, di bawah pengawasan Jepang. Demi keselamatan pribadi dan keselamatan suaminya, para perempuan Fujinkai bekerja tanpa protes.21

Pembentukan dan pengarahan potensi kaum muda tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan atas tersedianya suatu barisan yang secara efektif bisa diterjunkan ke medan pertempuran dalam mempertahankan wilayah dari serangan sekutu. Di banyak front tempur seperti di Pasifik, pasukan Jepang sudah terdesak oleh tekanan yang dilakukan pasukan Amerika Serikat. Sementara di wilayah daratan, di Burma gerakan pasukan Inggris semakin massif melakukan serangan terhadap pasukan Jepang.22

Posisi Jepang yang semakin terjepit, pada April 1943 Gunseikan membuka kesempatan bagi pemuda Indonesia untuk bisa masuk dan diterima menjadi personil militer dengan status sebagai prajurit bantu Jepang yang disebut dengan Heiho. Heiho secara struktural dan keberadaannya diposisikan dalam struktur organisasi militer Jepang. Dalam dokumen mengenai Heiho yang ditulis oleh Kepala Seksi Operasi Tentara ke-16, Letnan Kolonel Mizhuo Miyamoto disebutkan Heiho adalah prajurit Indonesia yang berdinas dalam ketentaraan Jepang dengan status sebagai prajurit bantu. Pada kenyataannya, keberadaan Heiho ini hanya dikerahkan untuk kawasan yang menjadi wilayah operasi Tentara Wilayah ke-7 atau Tentara selatan (Nampo Gun) meskipun mereka setelah mendapatkan pendidikan dan latihan militer dikerahkan ke berbagai medan tempur di Malaya, Muangthai (Thailand), Birma, Indochina, bahkan ke wilayah yang berhadapan langsung dengan pertahanaan pasukan Australia seperti ke Manokwari, Sorong, Halmahera dan daerah-daerah di sekitarnya bahkan dimungkinkan juga mereka telah dikirim ke Papua Nugini.23

Jumlah pemuda Indonesia yang masuk ke Heiho hingga menjelang menyerahnya Jepang tahun 1945 diperkirakan mencapai 42.000 personil dengan perincian 24.873 personil Heiho di Jawa, 2.504 personil di Timor, dan daerah-daerah lain sekitar 15.000 personil.

21 Slamet Muljana, Op. cit., hlm. 15.

22 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 117.

23Ibid., hlm. 118.

(8)

Berbeda dengan catatan yang diungkapkan oleh MC. Ricklefs yang menyatakan keseluruhan jumlah personil Heiho hingga berahirnya perang pasifik tercatat 25.000 personil.24

Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang mengeluarkan Osamu Osirei No. 44 mengenai pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang terdiri atas 65 batalyon di Jawa dan Bali. Letnan Jenderal Kumakichi Harada menyampaikan bahwa Perang Asia Timur Raya adalah perang bagi seluruh bangsa Asia dan kemenangan dalam perang ini berarti juga akan menjadi kemenangan Asia, untuk itu telah menjadi kewajiban bersama bagi bangsa Asia untuk turut serta dalam usaha mencapai kemenangan akhir tersebut. Jenderal Harada juga menghubungkan pembentukan kesatuan Peta dengan janji Perdana Menteri Tojo yang memiliki rencana untuk memberikan hak dan pemerintahan kepada orang Indonesia.25 Dengan Osamu Osirei No. 44 tersebut para ulama dilatih sebagai calon Daidancho atau Komandan Batalyon.26 Program pengerahan dan rekrutmen berbagai badan tersebut semakin memberikan kesadaran rakyat dan kesiapan mereka dalam mewujudkan kemerdekaan.

Tujuan balatentara Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air-Peta adalah:

Pertama, menanamkan semangat Nippon melalui organisasi kesenjataan modern. Kedua, memanfaatkan loyalitas ulama yang memiliki ketrampilan dan kekuatan juang. Ketiga, meningkatkan rasa kebencian ulama terhadap sekutu. Keempat, menanamkan keyakinan Perang Asia Timur Raya sebagai perang suci. Kelima, menumbuhkan kepercayaan bahwa Jepang benar-benar sebagai Saudara Tua.27

Program pengerahan dan rekrutmen berbagai badan tersebut semakin memberikan kesadaran rakyat dan kesiapan mereka untuk mewujudkan kemerdekaan. Peluang yang dimanfaatkan bangsa Indonesia ini rupanya dinilai kontraproduktif dengan kepentingan Jepang, sehingga pihak Jepang membubarkan Putera pada 8 Januari 1944. Sebagai gantinya dibentuk Jawa Hookokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa), sebagaimana yang dituturkan Jenderal Harada, pendirian Jawa Hookokai dilakukan karena semakin dahsyatnya ekskalasi peperangan. Adapun dalam struktur Jawa Hookokai menempatkan Ir. Soekarno dan KH.

24Ibid.

25Ibid., hlm. 119.

26Ahmad Mansur Suryanegara, Op. cit., hlm. 60.

27Ibid., hlm. 64.

(9)

Hasyim Asy’ari sebagai penasehat utamanya, sementara tanggung jawab pengelolaannya dipercayakan pada Moh. Hatta dan KH. Mas Mansyur. Dengan struktur ini, Jawa Hookokai merupakan organisasi resmi pemerintahan militer Jepang.28

Pembubaran Putera yang dilakukan Jepang, merupakan usaha untuk membendung perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia. Munculnya perlawanan tersebut salah satunya diakibatkan karena sikap dan kebijakan Jepang yang menyengsarakan rakyat, terutama kebijakan bidang ekonomi, di mana Jepang telah gagal mewujudkan janji tentang kemakmuran Asia sebagaimana yang dipropagandakannya.29

C. Sikap Jepang terhadap Politik Islam di Jawa

Di Jawa, Kantor Urusan Agama (Shumubu) sebagai kantor setingkat departemen didirikan dalam Gunseikanbu untuk menangani masalah Islam. Di Jepang sendiri tidak ada kantor urusan Agama yang independen tetapi masalah itu ditangani oleh Departemen Pendidikan. Maka dengan adanya Shumubu yang independen mencerminkan betapa Jepang mementingkan masalah itu. Di kantor ini ditempatkan 5 orang muslim Jepang selain pegawai biasa. Kegiatan yang pertama kali oleh muslim Jepang di Shumubu adalah berkunjung ke kiai-kiai terkenal. Kiai-kiai ditempatkan di alun-alun dalam pertemuan tersebut dijelaskan sikap Jepang terhadap agama Islam. Setelah pertemuan di alun-alun, petugas Shumubu mengunjungi masjid dan pesantren.30

Satu keluhan yang disampaikan oleh pemimpin Islam dalam kesempatan itu adalah bahwa mereka tidak diizinkan memakai bahasa Arab. Sebab, Jepang melarang semua bahasa asing. Hanya bahasa Jepang yang diperkenankan. Al-Qur’an harus dibaca dalam bahasa Arab. Larangan memakai bahasa Arab, berarti larangan untuk mempelajari Al-Qur’an.

Petugas Jepang Shumubu baru menyadari masalah itu dan memperbaiki aturan tersebut.

Berdasarkan kegiatan safari, petugas Shumubu menyimpulkan karena pengaruh guru agama

28 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 121.

29Ibid., hlm. 121-122.

30 Aiko Kurasawa, Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya, Depok: Komunitas Bambu, 2016, hlm.

183-184.

(10)

sangat kuat, maka lebih baik mengambil hati mereka. Kiai-kiai pada zaman Belanda selalu dicurigai sebagai kaum anti-pemerintah.31

Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang diresmikan Maret 1942, awalnya dipimpin oleh seorang Jepang, Kolonel Hori Choso. Kolonel Hori kemudian digantikan oleh Husein Jayadiningrat sebelum akhirnya jabatan ini dipangku KH. Hasyim Asy’ari pada 1 Agustus 1944. Penunjukan KH. Hasyim Asy’ari menyalahi kebiasaan di mana seorang kiai tidak berpendidikan Barat diangkat sebagai direktur Shumubu. Di sinilah dirasakan betapa Jepang mulai menunjukkan ketergantungan terhadap para pemimpin Islam.32

Pemerintah militer Jepang mencoba menarik hati kiai dengan cara sebagai berikut:

Jepang memakai logika bahwa perang Asia Pasifik adalah perang suci dan jihad terhadap kafir, yaitu kepada negara-negara sekutu. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Jepang betul- betul mementingkan umat Islam, mereka membagikan makanan ke pesantren-pesantren, mengangkat kiai sebagai pegawai pemerintahan militer, khususnya di Kantor Urusan Agama baik di pusat maupun di daerah, dan juga memberi peranan penting dalam organisasi massa.33

Pada zaman Belanda, ada peraturan yang melarang para kiai yang menyinggung hal- hal politik dalam khotbah dan pengajaran. Sebaliknya, Jepang mencabut peraturan itu dan mendorong para kiai menyampaikan pesan politik Jepang dalam pengajaran agama. Artinya, Jepang memanfaatkan kiai untuk melakukan propaganda terhadap rakyat. Jepang meminta kiai menjelaskan kepada rakyat mengapa Jepang berperang terhadap Amerika, Belanda dan Inggris, serta mengapa rakyat perlu menyetor padi kepada pemerintah Jepang, atau mengapa rakyat bekerja sebagai romusha.

Pada Juli 1943 dimulailah mobilisasi sekitar 60 kiai ke Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus latihan selama kurang lebih 1 bulan. Setelah sesi latihan yang pertama ini, selanjutnya diselenggarakan latihan-latihan lanjutan yang secara keseluruhan

31Ibid., hlm. 184.

32 Ario Helmy, KH. Zainul Arifin Pohan Panglima Santri Ikhlas Membangun Negeri, Tangerang:

Pustaka Compass, 2015, hlm. 37.

33 Aiko Kurasawa, Op. cit., hlm. 185.

(11)

diselenggarakan sebanyak 17 kali.34 Dalam catatan Riklefs hingga bulan Mei 1945 terhitung lebih 1000 kiai telah menyelasaikan kursus dan pelatihan tersebut.35

Sebaliknya, Jepang mengalami kekecewaan dalam kerjasamanya dengan kaum Nasionalis. Jepang menilai kerjasamanya dengan kaum Nasionalis hanya memberikan sedikit keuntungan bagi kepentingan kampanye dan propaganda kaum Nasionalis, sementara kaum Nasionalis sendiri beranggapan dalam melaksanakan kerjasama itu mereka mengalami pembatasan yang membuatnya tidak bisa maksimal dalam menggalang potensi rakyat.

Sikap yang sama juga ditunjukkan terhadap Islam modernis di mana dengan pengaruhnya yang hanya terbatas di perkotaan akan kesulitan mendapatkan dukungan secara meluas dari masyarakat muslim yang kebanyakan tinggal di pedesaan. Jepang akhirnya memberikan ruang dan kesempatan kepada kalangan Islam terutama kalangan Islam tradisional yang tersebar di pedesaan, untuk mendapatkan jaminan yang diharapkan.

Dengan upaya aktif yang dilakukan sosok muda Islam tradisional, KH. Wahid Hasyim, pada September 1943 Jepang secara resmi mulai mengizinkan dan mengaktifkan kembali organisasi NU dan Muhammadiyyah. Kejadian ini bisa dianggap sebagai permulaan yang sangat penting bagi kaum Islam untuk mengambil peranan yang lebih berbobot di masa-masa selanjutnya. Satu bulan setelah aktifnya dua organisasi Islam berpengaruh itu, atas inisiatif para tokoh NU dan Muhammadiyyah kemudian dibentuk wadah yang dinamakan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Oktober 1943. Kehadiran Masyumi ini dianggap sebagai pengganti dari badan sebelumnya yakni MIAI yang dibubarkan bersamaan dengan lahirnya Masyumi tersebut. Sebagai organisasi yang diharapkan membantu kelangsungan kampanye perang, Jepang memberikan kemudahan atas berdirinya cabang-cabang di setiap karesidenan di Jawa. Kepemimpinan Masyumi ini dipercayakan kepada para tokoh NU dan Muhammadiyyah dengan menetapkan KH. Hasyim Asy’ari, sebagai ketua. Pengangkatan KH. Hasyim Asy’ari ini sifatnya hanya formal karena

34 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 130.

35 Mc. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008, hlm. 419.

(12)

dalam pelaksanaan kerja teknis keseharian sebagai ketua dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim, sosok kiai dan politisi muda yang tidak lain adalah putra dari KH. Hasyim Asy’ari.36

Pemerintah Jepang tampaknya melihat potensi yang sangat besar yang dimiliki oleh organisasi-organisasi Islam Indonesia. Hal tersebut tidak hanya didasarkan oleh fakta bahwa umat Islam mayoritas dari penduduk Indonesia, melainkan mereka dianggap sebagai kekuatan yang sangat anti-Barat sehingga bisa dimanfaatkan untuk kemenangan Jepang dalam Perang Asia Pasifik.

D. Kebijakan Eksploitasi Jepang

Di bidang ketenagakerjaan rakyat, pemerintah Jepang juga menyelenggarakan program yang menyengsarakan dengan melakukan langkah pengerahan tenaga rakyat yang mengakibatkan penderitaan penduduk desa. Program Romusha37 yang ditujukan untuk mengerahkan tenaga rakyat untuk mendukung kampanye perang ini memberikan catatan- catatan yang sangat tragis. Ratusan ribu romusha mengalami nasib yang sangat buruk karena minimnya fasilitas kesehatan dan makan, sementara mereka harus mengalami kewajiban kerja paksa di bawah pengawasan pasukan Jepang yang besikap keras.38

Pada mulanya, tenaga romusha bersifat sukarela dan terdiri atas para pengangguran yang mencari kerja. Gelombang pertama rombongan romusha dilepas dengan upacara kebesaran, tetapi rombongan berikutnya tanpa upacara lagi. Ketika kebutuhan akan tenaga romusha semakin meningkat, Jepang tidak lagi mengandalkan tenaga sukarelawan tetapi memerintahkan para kepala desa untuk menyediakan warganya guna menjalankan tugas itu.

Bahkan pasukan Jepang melakukan razia dan mengambil siapapun yang tertangkap di jalan untuk memperkuat barisan romusha.39

36 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 132.

37Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti “serdadu pekerja”. Perekrutan “serdadu pekerja” di Indonesia hanyalah kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Jepang di berbagai wilayah yang telah dikuasai sebelumnya, di mana mereka secara teratur membentuk kelompok-kelompok penduduk pribumi untuk menjadi buruh kasar di bawah pengawasan militer. Lihat Nino Oktorino, Op. cit., hlm. 244-245.

38 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 123.

39 Nino Oktorino, Op. cit., hlm. 245.

(13)

Di tempat kerjanya, mereka harus bekerja berat tanpa mengenal batas waktu. Adapun pekerjaan yang harus mereka lakukan adalah membuat kubu-kubu pertahanan, terowongan bawah tanah di daerah perbukitan, lapangan terbang, dan bangunan militer. Jumlah mereka cepat sekali menyusut, di mana sebagian besar mati karena kelaparan dan penyakit, sementara sisanya dibunuh oleh Jepang setelah menyelesaikan instalasi rahasia ataupun terkena bom sekutu. Di perkirakan selama perang, Jepang mengerahkan 2,6 juta orang romusha, di mana puluhan hingga ratusan ribu orang di antaranya kehilangan nyawanya.

Para romusha tidak hanya ditempatkan di wilayah Indonesia, tetapi juga diangkut ke Birma, Malaya, Siam, Filipina dan kepulauan Solomon. Diperkirakan 160.000 hingga 200.000 orang romusha Indonesia dikirim ke luar negeri selama perang.40

Dalam bidang produksi, petani dianjurkan meningkatkan pangan demi kepentingan bala tentara Jepang. Pada musim panen, padi petani dijual kepada pemerintah dengan harga yang sangat murah, dikumpulkan di tempat-tempat tertentu. Para petani tidak bisa lolos dari tuntutan tersebut, karena organisasi pemerintah yang menangani masalah ini sangat ketat.

Selain itu apabila ada petani yang berani melanggar ketentuan tersebut akan dikenai hukuman yang berat.41

Ukuran sawah yang digarap oleh petani Jawa rata-rata kecil karena kurang dari 0,5 hektar. Hasilnya pun hampir semua untuk konsumsi sendiri, mereka hanya menjual sebagian hasilnya untuk membayar pajak dan membeli kebutuhan sehari-hari. Apabila petani tersebut dipaksa menjual 30-50% pada pemerintah militer Jepang, mereka pasti mengalami kekurangan pangan. Pemerintah bala tentara Jepang memberikan harga yang sangat murah kepada petani yang menjual hasil panennya. Meskipun kekurangan pangan, petani tidak bisa membeli beras, karena hampir tidak ada beras yang dijual di pasar.42 Meskipun tanah perkebunan telah banyak diubah menjadi ladang jagung untuk menambah hasil pangan, persediaan makan bagi rakyat sama sekali tidak mencukupi. Sebagian besar dari rakyat desa yang semula hidup dari hasil perburuhan di perkebunan, mereka menjadi pengangguran.43

40Ibid.

41 Slamet Muljana, Op. cit., hlm. 15.

42 Aiko Kurasawa, Op. cit., hlm. 146.

43Slamet Muljana, Ibid.

(14)

Penduduk kota tertimpa kelaparan karena beras cadangan hanya 150 gr/hari untuk setiap orang tidak mencukupi. Oleh kaena itu, timbul bahaya kelaparan di berbagai tempat.

Banyak orang mati kelaparan di tepi-tepi jalan. Rakyat gelandangan yang badannya kurus kering hanya berpakaian goni setengah telanjang, berkeliaran mencari pakaian di tempat- tempat pembuangan sampah. Padi yang menggunung dan sayur-mayur yang berlimpah tidak diperuntukkan bagi rakyat, namun untuk bala tentara Jepang, makanan tersebut diangkut ke markas pada malam hari secara sembunyi-sembunyi.44

Sebagai akibat kekurangan beras, penduduk mengalami kekurangan gizi dan menurun kondisi kesehatannya. Penduduk didorong makan bahan makanan alternatif, seperti singkong, jagung, dan ubi. Ibu-ibu Fujinkai (perkumpulan wanita) memperkenalkan resep bubur campuran yang dinamakan ”bubur perjuangan”, “bubur Asia Timur Raya” dan lain- lain. Namun, upaya tersebut tidak cukup untuk mencegah kekurangan gizi yang menyebabkan banyak penduduk mulai kehilangan tenaga dan jatuh sakit.45

Kebijakan yang tidak memedulikan kebutuhan hidup penduduk Indonesia ini segera mengundang bencana ketika arah peperangan semakin merugikan Jepang pada akhir tahun 1944. Kondisi ini semakin diperburuk oleh blokade ekonomi secara total oleh pihak Sekutu terhadap semua kepentingan Jepang. Akibatnya, banyak komoditas yang menjadi primadona wilayah ini tidak dapat dijual ke pasar. Bahkan yang diperlukan Jepang pun tidak dapat dikapalkan secara memadai. Sebagai contoh, pada tahun 1943, produksi karet Indonesia merosot seperlima produksi tahun 1941.46

Tingkat inflasi yang tinggi serta langkanya barang kebutuhan menimbulkan kesengsaraan di kalangan rakyat biasa.Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan tentara Jepang secara perlahan-lahan mengikis kekaguman serta rasa hormat rakyat Indonesia kepada Jepang. Akibat kegelisahan dan penderitaan yang semakin menekan, keinginan tunggal yang membara dalam hati rakyat adalah bebas dari siksaan Jepang. Rentetan pemberontakan bermunculan baik di Jawa maupun luar Jawa. Pada 18 Februari 1944

44Ibid., hlm. 15-16.

45 Aiko Kurasawa, Op. cit., hlm. 149.

46Ibid., hlm. 250.

(15)

pecahlah protes sosial petani muslim47 yang dipimpin oleh KH. Zainal Mustofa dari Sukamanah, Tasikmalaya. Dua bulan kemudian, di Kabupaten Indramayu terjadi pemberontakan petani secara spontan terhadap petugas pemerintah daerah yang datang membeli padi.48

Pada November, meletus pemberontakan Peta di Aceh, di bawah pimpinan Teuku Hamid dari Meureudu. Pihak Jepang mengambil tindakan menawan keluarga-keluarga yang ditinggalkan dengan ancaman akan dibunuh jika Teuku Hamid dan kawan-kawannya tidak turun. Hal tersebut membuat Teuku Hamid menyerah. Di Banjarmasin, timbul pemberontakan kaum terpelajar yang diselenggarakan oleh Parindra. Pemberontakan ini menelan korban lebih dari 16.000 orang, dibunuh secara kejam oleh pihak Jepang. Pada 1943, terjadi pemberontakan di Biak, yang menelan korban sebanyak 800 orang.

Pemberontakan merembet dari pantai Irian Barat ke pedalaman di Serui Nimrod. Pada 14 Februari 1944, meletus pemberontakan Peta di Daidan Blitar di bawah pimpinan Syoudanco Supriyadi.49

E. Meraih Kemerdekaan

Situasi Perang Dunia II sudah memasuki babak akhir. Di Eropa, Jerman sudah menyerah pada 7 Mei 1945 sementara Italia telah jauh hari menyatakan menyerah yakni di tahun 1943. Sedangkan Jepang tetap belum menyerah meski mereka mulai menyadari bahwa kekalahan adalah sesuatu yang niscaya dan kedatangannya hanya persoalan waktu.

Pendudukan terhadap pulau Saipan dan serangkaian aksi pemboman dari angkatan udara Amerika Serikat terhadap Tokyo dan kota-kota lain tetap masih belum berhasil memaksa negara itu menyerah.

Di Indonesia, meski sebagian besar penduduknya tidak mengetahui secara persis keadaan sebenarnya yang terjadi di medan perang, tidak mengetahui tentang serangkaian kekalahan yang dialami Jepang, namun harapan yang besar mengenai datangnya

47Gerakan sosial ini tidak tidak bermotifkan menuntut padi yang telah dirampas oleh tentara Jepang, melainkan lebih cenderung sebagai gerakan perlawanan politik, yaitu menuntut kemerdekaan Indonesia. Lihat Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 2, Op. cit., hlm. 89.

48 Aiko Kurasawa, Op. cit., hlm. 149.

49 Slamet Muljana, Op. cit., hlm. 17.

(16)

kemerdekaan yang telah sekian lama didambakan menjadi faktor utama terhadap semakin meningginya suhu politik saat itu.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertamanya di Hirosima, yang sedikitnya menewaskan 78.000 orang. Peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan.Pada hari berikutnya, Jepang membentuk sebuah badan baru di Jakarta yang dinamakan Dokuritsu Jumbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).50

Pada 9 Agustus 1945 Soekarno mengadakan konsultasi dengan beberapa pemuka agama Islam di antaranya KH. Hasyim Asy’ari mengenai kemungkinan hari atau tanggal diumumkannya kemerdekaan serta jaminan dari kalangan Islam tradisional jika proklamasi jadi diumumkan. KH. Hasyim Asy’ari memberikan jaminan bahwa pihaknya telah menghubungi Angkatan Laut Jepang di Surabaya dan mereka setuju jika Soekarno yang akan dijadikan sebagai pimpinan negara begitu kemerdekaan diumumkan. Jaminan dari KH.

Hasyim Asy’ari merupakan penegasan bahwa kalangan NU akan berdiri di belakang proklamasi dan akan membelanya dari pihak-pihak yang mencoba menggagalkan dan menentangnya. Dengan kesediaan seperti ini maka akan dipastikan golongan Islam tradisional sangat setuju agar proklamasi kemerdekaan segera diumumkan.51

Tepat pukul 10.00 pagi, 17 Agustus 1945, Jum’at Legi, 9 Ramadhan 1364, dibacakan teks Proklamasi oleh Bung Karno di hadapan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan rakyat, di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dengan upacara yang sangat sederhana. Bendera Merah Putih hasil penyambungannya dengan mesin jahit tangan oleh Ibu Fatmawati, dan dikibarkan di tiang bambu oleh Chudancho Latif Hendraningrat dan diiringi lagu Kebangsaan Indonesia Raya.52

Perjuangan membebaskan Indonesia dari penjajah Barat, yaitu penjajahan Belanda dan Jepang akhirnya sampai pada puncak keberhasilannya. Proklamasi terjadi pada 17 Agustus 1945, jaringan ulama-santri telah berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan bangsa. Peran para kyai dalam mengawal perjuangan tidak bisa

50 Nino Oktorino, Op. cit., hlm. 287.

51 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Op. cit., hlm. 168-169.

52Ahmad Mansur Suryanegara, Op. cit., hlm. 154-155.

(17)

dilupakan dalam narasi sejarah bangsa Indonesia. Kontribusi jaringan santri yang terbukti kokoh dalam menguatkan pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

awareness terhadap wisata Jendela Alam. Keuntungan merchandise berbayar dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi perusahaan. 4) Family member card adalah

Sedangkan nilai positip beta menjelaskan pengaruhnya bersifat searah, artinya keberhasilan rumah sakit yang telah berusaha melaksanakan kualitas layanan yang baik,

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan barier antara lambung dengan berbagai bahan yang masuk melalui saluran pencernaan, seperti makanan, produk-produk pencernaan,

Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen antara konsumen dan pelaku usaha jika mengingat Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Hasil uji distribusi data dengan uji Kolmogorov Smirnov adalah 0,947 dengan signifikansi 0,332 (p>0.05), berarti data terdistribusi secara normal, sehingga

a) SP 1 pasien : Membantu pasien mengenali halusinassi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara yang pertama yaitu

digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang. c) Media Knudson dan media Vacin

Appendix 2b CODE OF