• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Identifikasi

1. Rancangan Undang – Undang

Pengertian Undang-Undang menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), adalah Peraturan Perudang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam kalimat definisi tersebut undang-undang dapat dibedakan ke dalam dua pengertian yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formil.

Dirangkum dari Jurnal Legislasi Indonesia (Aziz, 2009), arti formil dalam sebuah undang-undang yang termaktub di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 4 ayat (2). Di dalamnya tersirat arti landasan formil perundang-undangan yaitu dalam pembentukan peraturan perundang- undangan diberikan legitimasi prosedural dimana hal-hal yang dicantumkan dalam dasar hukum harus “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya (Aziz, 2009). Masih dalam pasal yang sama, pengertian landasan materiil konstitusional peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk memberikan rambu atau pengingat bagi peraturan perundang-undangan yang akan atau sedang dibentuk, dan merupakan penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945 yang juga nantinya digunakan sebagai dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan yang baru (Aziz, 2009).

Sedangkan Rancangan Undang-Undang adalah usulan undang-undang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dari website DPR (dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020) mengenai Pembuatan Undang-Undang, Rancangan undang-undang dari DPR dapat diajukan oleh anggota, komisi, atau gabungan komisi. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh pemerintah melalui presiden.

Maupun dapat diajukan oleh DPD dalam hal berkaitan dengan otonomi daerah, commit to user

(2)

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(www.dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020).

Dalam pembentukannya undang-undang dituntut untuk memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum. Asas keadilan bahkan tertulis di dalam Pembukaan Undang-Undang 1945. Dewan Perwakilan rakyat menyebutkan keadilan meliputi dua hal yaitu yang menyangkut keadilan dan isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu. Selain itu, Wijayanti (2013) di dalam karya ilmiahnya mengungkapkan, penegakkan hukum harus memenuhi ketiga unsur, yaitu: unsur kepastian hukum; kemanfaatan; dan keadilan dalam proposional dan seimbang. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kedua, hukum adalah untuk kesejahteraan manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Unsur kertiga adalah keadilan dalam proporsional seimbang (Wijayanti, 2013).

DPR menyebutkan indikator adil dapat diwujudkan dengan beberapa hal ini (www.dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020):

a. Tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi;

b. Terwujudnya institusi dan apparat hukum yang bersih dan professional;

c. Terwujudnya keadilan gender;

d. Terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan sumber daya ekonomi dan penguasaan asset ekonomi, serta hilangnya praktek monopoli.

Mengutip dari Susanti (dalam Wijayanti, 2013), “Asas Keadilan Konsep dan Implementasinya dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Barat”, commit to user

(3)

hukum pada dasarnya adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan merupakan esensi dari roh yang merupakan perwujudan hukum, sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya. Dari hal tersebut dalam sebuah pembentukan undang-undang, Pemerintah maupun Badan legislatif yang berwenang seharusnya mempertimbangkan dan mengukur dengan cermat keadilan sebuah produk hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, sebelum memutuskan kebijakan.

2. Omnibus Law

Omnibus law secara terminologi diambil dari bahasa latin yang artinya

“untuk semuanya”. Dalam jurnal Anggraeni (2020), yang mengutip dari Black’s Law Dictionary, Omnibus Law memiliki makna banyak hal sekaligus yang disatukan, dan banyak benda atau memiliki banyak variasi tujuan (Anggraeni, 2020). Gluck dan Connell (2015) menyatakan tidak ada makna tunggal dalam perundang-undangan omnibus, namun terdapat konsensus bahwa omnibus law adalah “packages together severall measures into one or combines diverse subjects into a single bill”, yang diartikan bahwa undang- undang omnibus mengemas beberapa ukuran atau aturan menjadi satu, atau menggabungkan beragam subjek menjadi satu hukum (Gluck & Connell, 2015). Dalam pengartian tersebut omnibus law dapat dipahami sebagai regulasi yang dibuat untuk menyelesaikan permasalahan besar dengan menyederhanakan undang-undang yang telah ada sebelumnya menjadi bentuk yang sederhana.

Barbara Sinclair (2001) mendefinisikan omnibus law sebagai

“Legislation that addresses numereous and not necessarily related subjects, issues, and programs, and therefore is usually highly complex and long, is reffered to as omnibus legislation”. Dalam pengertian dari Barbara (2001), omnibus law merupakan peraturan atau UU yang menangani banyak subjek dan masalah menjadi satu acuan hukum, namun dalam aturan yang disederhanakan tersebut tidak selalu terkait oleh masalah dan program yang

commit to user

(4)

dibutuhkan, oleh karena itu biasanya undang-undang omnibus law sangat kompleks dalam waktu lama (Barbara dalam Krutz, 2001:3).

Implementasi omnibus law dalam undang-undang memiliki manfaat untuk meningkatkan produkivitas dalam pembentukan UU (Krutz, 2001:141).

Peningkatan produktivitas yang dimaksud oleh Krutz adalah ketika dalam situasi pembuatan keputusan dalam parlemen tidak ada mayoritas dominan yang memilih karena adanya perbedaan kepentingan, pengambilan keputusan seringkali mengalami kemacetan, untuk itu dengan adanya omnibus law memungkinkan memberikan solusi dalam situasi tersebut karena bisa mengakomodir banyak kepentingan sehingga UU dapat disetujui semua pihak.

(Krutz, 2001:141). Kepentingan tersebut dapat terakomodir dalam satu undang-undang karena melalui satu UU tersebut berisikan banyak materi yang kompleks dan menjadi opsi untuk diterima dan ditolak, maka anggota parlemen dapat memasukan substansi yang diinginkan.

Bayu Dwi Anggara (2020: 26) merangkum dari para akademisi mengenai manfaat digunakannya teknik legislasi dengan model omnibus law yaitu:

a) Mempersingkat proses legislasi, dikarenakan dalam pembuatan UU tidak memerlukan perubahan terhadap banyak UU melainkan mampu menggunakan satu rancangan yang menggabungkan banyak materi dari berbagai UU.

b) Mencegah kebuntuan dalam pembahasan RUU di Parlemen sebagai akibat banyak substansi yang dimuat dalam omnibus law, sehingga anggota parlemen memiliki kesempatan untuk melakuakan kompromi dan saling bertukar kepentingan

c) Efisiensi biaya proses legislasi, dikarenakan dengan omnibus law perubahan masing-masing UU tidak digunakan.

d) Harmonisasi pengaturan akan terjaga mengingat perubahan atas banyak ketentuan yang tersebar di berbagai UU dilakukan dalam satu waktu oleh omnibus law.

commit to user

(5)

Pemerintahan Indonesia turut memberikan pemaknaan mengenai kelebihan digunakannya konsep omnibus law dalam menyelesaikan sengketa regulasi di Indonesia yang disampaikan dalam Portal Informasi Indonesia (Indonesia.go.id, diakses pada 18 November 2020), antara lain ialah:

a) Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien.

b) Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi;

c) Memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;

d) Mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit;

e) Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;

f) Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan.

Sebuah praktik penggunaan peraturan tentu memiliki kekurangan dan kritik. Arron Wherry (dalam Buana, 2017: 312) menyatakan kritiknya mengenai omnibus law bahwa peraturan dengan pendekatan ini menjadi praktik hukum yang pragmatis dan kurang demokratis. Alasannya karena omnibus law mengganti dan mengubah norma beberapa UU yang memiliki inisiatif politik yang berbeda (Buana, 2017). Berkaitan dengan teori demokrasi, Krutz (2001) dengan menggunakan teknik omnibus law, mengubah proses demokrasi deliberatif dalam pembuatan undang-undang. Demokrasi dliberatif adalah model demokrasi yang legitimasi hukumnya diperoleh dari diskursus yang terjadi dalam dinamika masyarakat sipil, agar partisipasi masyarakat dalam membentuk aspirasi dapat dihargai secara setara. (pmb.lipi.go.id, diakses pada 18 November 2020). Penyimpulan oleh Kurtz mengenai kelemahan penggunaan omnibus law tersebut dapat dilihat dari situasi dimana jumlah rapat dengar pendapat dalam parlemen saat poembahasan omnibus law commit to user

(6)

secara kuantitas berbeda dengan penyusunan UU dengan cara lain, hal tersebut dikarenakan omnibus law dibutuhkan untuk segera diselesaikan karena adanya target tertentu yang akan diselesaikan segera (Anggono, 2020: 27).

Dibalik keinginan kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk menyederhanakan undang-undang dengan pendekatan omnibus law, Indonesia memiliki masalah dengan banyaknya regulasi yang dimilikinya. Pusat Hukum dan Kebijakan Studi mencatat sejak Oktober 2014 hingga Oktober 2018, terdapat kurang lebih terbit 8.945 regulasi, yang terdiri dari 107 Undang-Undang, 452 Peraturan Pemerintah, 765 Peraturan Presiden, dan 7.621 Perturan Menteri (indonesia.go.id, diakses pada 18 November 2020). Presiden Joko Widodo mengungkapkan (Indonesia.go.id, 2020) Banyaknya regulasi yang tumpang tindih dalam suatu negara menjadi salah satu faktor penghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.

Pada jabatan kedua kalinya ini Presiden Joko Widodo, hendak meningkatkan investor masuk ke Indonesia dengan gagasannya mengeluarkan omnibus law. Dalam rencananya Presiden Joko Widodo ingin mengajak DPR merancang dua UU besar yaitu UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Peningkatan investasi di Indonesia didorong dengan data yang tercatat dalam Regulatory Quality Index yang dikeluarkan Bank Dunia.

Sepanjang tahun 1996 – 2019 skor Indonesia selalu tercatat berada di bawah nol atau minus (www.govdata360.worldbank.org, diakses pada 18 November 2020). Dalam websitenya, skala indeks kualitas regulasi yang dirumuskan Bank Dunia menempatkan skor 2.5 poin sebagai indeks tertinggi dan menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Sementara skor paling rendah yaitu -2.5 poin. Untuk indikator tersebut, nilai rata-rata Indonesia selama 1996 hingga 2018 adalah -0.33 poin dengan minimal -0.8 poin pada tahun 2003 dan maksimal -0.05 poin pada tahun 1996. Nilai terbaru dari 2018 adalah -0.07 poin. Sebagai perbandingan, rata-rata dunia pada tahun 2018 berdasarkan 193 negara adalah -0.02 poin. Dengan nilai tersebut Indonesia berada di peringkat commit to user

(7)

92 dari 193 Negara pada tahun 2018. (www.theglobaleconomy.com, diakses pada 18 November 2020).

Dalam hal ini, Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan bentuk undang-undang yang mengatur banyak hal sekaligus di dalamnya. Sejak disiarkan di media oleh Presiden pada Oktober 2019, dan tercatat pada masuk ke DPR yang 17 Desember 2019 (www.dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020). Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), memiliki 79 UU dengan 1244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15 bab dan 174 pasal dan menyasar 11 klaster di undang-undang yang baru, dengan 79 UU sebelumnya yang terdampak. Penggunaan regulasi menggunakan pendekatan Omnibus Law juga dilakukan di berbagai negara maju dan berkembang lainnya, diantaranya: Amerika Serikat, Turki, Seandia Baru, Kanada Irlandia, Vietnam, Filipina, dan lain-lain. Keputusan Indonesia mengambil langkah yang sama dengan beberapa negara tersebut adalah untuk mengembnagkan negara Indoonesia menjadi negara maju dengan menyederhanakan undang-undang.

Indonesia memiliki beberapa latar belakang dalam pembuatan omnibus law salah satunya adalah untuk meningkatkan pendapatan negara dan menjadi 5 (lima) besar kekuatan ekonomi dunia dengan menjadi negara pendapatan tinggi pada tahun 2040. (www.dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020).

Dalam Naskah Akademis RUU Cipta Kerja yang diberikan badan eksekutif kepada DPR (www.dpr.go.id, diakses pada 27 Oktober 2020), alasan lain diajukannya rancangan undang-undang omnibus law yaitu untuk memajukan perekonomian yang dimulai dari UMKM yang paling kecil dengan mempermudah perizinan usaha dan juga dengan membuka lruang bagi investor mendirikan bisnis di Indonesia.

Dalam pengajuan RUU Omnibus Law yang dinilai mampu menyederhanakan UU sebelumnya ini, rancangan mengenai ketenagakerjaan atau RUU Cipta Kerja merupakan usulan dari pemerintah yang ditentang oleh banyak kalangan khususnya buruh. Penolakan terhadap rancangan undang-commit to user

(8)

undang ini memiliki berbagai macam alasan seperti yang disampaikan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) dalam Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik oleh Fakhrur dan Ferdyansyah (2020), bahwa buruh tidak dilibatkan dalam penyusunan omnibus law.

Beberapa pasal yang menjadi kontroversi tentang ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja yang di rangkum oleh tirto.id ini diantaranya: (tirto.co.id, diakses pada 5 Oktober 2020)

a) Pasal 77A

Dalam pasal 77A pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu. RUU ini juga akan menghapuskan batas waktu maksimal otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap. Dengan ketentuan ini pengusaha memiliki kekuasaan untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

b) Pasal 88C

Pasal ini menghapuskan upah minmum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minmum pekerja. Hal ini mampu menyebabkan kesenjangan dalam beberapa daerah karena tidak semua daerah memiki biaya hidup yang sama.

c) Pasal 88D

Dalam pasal ini tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. Dalam artikel tirto.co.id, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (Organisasi non pemerintahan tentang HAM) menyampaikan, penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua. Hal tersebut akan menurunkan taraf hidup masyarakat dan bertentangan dengan standar HAM internasional. commit to user

(9)

d) Pasal 91

Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapuskan. Sebelumnya pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peratuan perundang-undangan.

e) Pasal 93 Ayat 2

RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. Dalam rancangan omnibus law ini cuti yang sebelumnya ada pada UU Ketenagakerjaan dihapuskan seperti: izin tak masuk pada haid hari pertama dihapuskan (huruf a); cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, membatiskan anak, isteri mehahirkan/keguguran kandungan, serta bila ada angggota keluara dalam satu rumah meninggal dunia tidak di berikan cuti (huruf b);

ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari pengusaha (huruf h).

Selain mengenai ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja mendapat beberapa kontroversi yang berkaitan dengan pers yang dijelaskan oleh Harry Siswoyo, Ketua AJI Bengkulu dalam tirto.co.id (tirto.co.id, diakses pada 5 Oktober 2020). Harry Siswoyo mengatakan RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers. Perubahan pada pasal ini menurut Harry berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999. Selain itu terdapat perubahan pada Pasal 18 UU Pers, diantaranya dalam poin yang mengatakan bahwa apabila perusahaan pers melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta, berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 milliar. Kemudian dalam Pasal 9 ayat

commit to user

(10)

(2) dan Pasal 12 dipidna dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- berubah menjadi peusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. Harry dalam tirto.co.id menilai perubahan tersebut melanggar semangat UU Pers sebelumnya, yang mengatur bahwa sengketa pers lebih didorong pada upaya korektif dan edukasi. Jika pun berkaitan dengan denda, maka itu dibuat seprofesional mungkin, dengan kata lain tidak bermaksud membangkrutkan perusahaan pers.

Selain mengenai pers dan ketenagakerjaan, rancangan undang-undang ini dinilai bermasalah dalam hal pendidikan, seperti yang disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tirto.co.id mengenai pasal 71 yang berbunyi “Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000”. Selain itu pada Pasal 62 ayat (1) yang berbunyi syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan. Menurut Hidayat Nur Wahid, hal ini bertentangan dengan peraturan pesantren mengenai penyelengara satuan pendidikan formal dan nonformal, termasuk pendidikan keagamaan seperti pesantren, yang didirikan masyarakat haris berbadan hukum, maka wajib memenuhi perizinan dari pemerintah pusat. Dikarenakan untuk Pesantreb sudah ada UU tersendiri yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantreb yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sangksi administratif. (tirto.co.id, diakses pada 5 Oktober 2020).

3. Media Baru

Munculnya teknologi komunikasi dalam jaringan atau internet yang menyatukan antara teknologi komputer dan telekomunikasi menciptakan media baru yang sangat memudahkan manusia dalam melakukan komunikasi. commit to user

(11)

Di Indonesia, internet bermula pada tahun 1990-an yang diawali proyek sejumlah orang yang tertarik komputer. Menurut sejarah kemunculan internet yang dirangkum buku Media Online oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia (Margianto & Syaefullah, 2011:15), nama-nama yang selalu disebut dalam sejarah internet di Indonesia yaitu Rahmat M. Samik-Ibrahim, Suryono Adisoemantra, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu Surya, Firman Siregar, Adi Indrayanto, Onno W. Purbo.

Kemudahan dan kecepatan pertukaran informasi dalam internet memunculkan sebuah era baru yang disebut globalisasi. Globalisasi diartikan sebagai dunia tanpa tapal batas oleh Thomas L. Friedman, dimana manusia dapat melakukan apapun dan membuat dunia menjadi bidang yang datar dengan mempelajari proses dalam ideologi (kapitalisme dan pasar bebas) dan teknologi (teknologi informasi) (Abowitsz & Roberts, 2007). Era globalisasi merupakan sutau proses yang mendorong kemajuan iptek dan mampu mempengaruhi pedoman hidup bahkan nilai-nilai dari sebuah budaya.

Perubahan kebiasaan dan kebutuhan dari dampak globalisasi dan meningkatnya teknologi semakin lama mampu merubah dasar dari suatu konsep yang telah lama terbentuk. Salah satu teori yang menjelaskan perubahan dalam kehidupan adalah teori disrupsi. Eriyanto dalam jurnalnya yang berjudul Disrupsi (Eriyanto, 2018) menjelaskan disrupsi tidak hanya sekedar perubahan, tetapi perubahan besar yang mengubah tatanan. Dengan media, publik mampu melakukan sesuatu di luar kebiasaannya, bahkan berpresepsi sesuai agenda media.

Globalisasi dan disrupsi dapat dikaitkan sebagai faktor penyebab dan dampak yang dihasilkan. Adanya perkembangan internet dan globalisasi dalam dunia digital dapat memunculkan istilah dari disrupsi atau dalam KBBI bermakna hal tercabut dari akarnya (KBBI, 2020). Sama seperti globalisasi, disrupsi dapat terjadi dalam beberapa aspek kehidupan. Dalam dunia bisnis dan komunikasi disrupsi menjelaskan kian majunya bisnis dalam jaringan saat ini, warga lebih dipermudah dengan adanya pilihan di genggaman tangan mereka commit to user

(12)

tanpa harus mendatangi store produk yang diinginkan. Disrupsi juga terjadi pada dunia media dan komunikasi dengan kehadiran media baru “new media”.

Dalam karya ilmiahnya, Eriyanto mengangkat penyimpulan bahwa media baru mengacu pada penyebaran dan penerimaan informasi yang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja secara realtime selama terkoneksi dengan perangkat terkomputerisasi dan jaringan internet. Pada awal berkembanganya media baru atau media online mengambil pasar bawah (low- end) dengan menawarkan kecepatan dengan biaya yang murah bahkan gratis.

Kualitas tidak begitu diperhatikan dalam penggunaanya, seperti informasi yang disebarkan tidak berdasarkan fakta atau keamanan privasi pengguna. Seperti dalam dunia jurnalisme di Indonesia, pada awal perkembangannya media massa online tidak mendapat perhatian publik karna kualitasnya yang “buruk”.

Setelah memiliki pijakan yang kuat dan banyak perhatian dari warganet media online atau media baru ini mulai memperbaiki diri dan kualitas tulisan hingga mengarah mengarah ke pasar atas dan bersaing dengan media konvensional (Eriyanto, 2018).

a) Sejarah Media Baru

Denis McQuail mendefinisikan new media atau media baru sebagai perangkat teknologi elektronik yang berevolusi dan berbeda penggunaannya dari media konvensional. Media elektronik baru ini mencakup beberapa sistem teknologi seperti: sistem transmisi (melalui kabel atau satelit), sistem miniaturisasi, sistem penyimpanan dan pencarian informasi, sistem penyajian gambar (dengan menggunakan kombinasi teks dan grafik secara lentur), dan sistem pengendalian (oleh komputer). (McQuail, 2011: 16).

Dalam penggunaannya, media baru atau teknologi komunikasi baru memiliki kaitan dengan teori difusi dan inovasi, seperti yang dikatakan Everett M. Rogers (1986:147), “The adoption and implementation of the new communication technologies can be studied and understood in light of the theory of the diffution of innovation”. Everett menyimpulkan hal tersebut dari adanya elemen di dalam teori difusi dan inovasi (ide dan penyebaran), yang commit to user

(13)

sesuai dengan penggunaan media massa. Elemen tersebut adalah: (1) Sifat masa kritisnya (critical mass nature) yang berarti bahwa setiap pengguna yang berurutan meningkatkan nilai teknologi komunikasi baru untuk semua pengguna sebelumnya. (2) Penemuan kembali (re-invention) yaitu sejauh mana inovasi diubah atau dimodifikasi oleh pengguna dalam proses adopsi dan implementasinya, yang sering terjadi karena media baru adalah teknologi alat yang dapat diterapkan dalam berbagai cara. (3) Fokus pada implementasi dan penggunaan, bukan hanya pada keputusan untuk mengadopsi. (Rogers, 1986:147).

Sebagai sebuah media penghubung komunikasi media baru memiliki beberapa jenis seperti yang dituliskan dalam McQuail (2011:127) media baru dikelompokan menjadi empat kategori. Pertama, media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telepon, handphone, e-mail. Kedua, media bermain interaktif seperti komputer, videogame, atau permainan dalam internet. Ketiga, media pencarian informasi yang berupa portal atau search engine (mesin pencari). Keempat, media partisipasi kolektif seperti penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman seperti media sosial (facebook, twitter, Instagram), serta media jurnalisme online.

Sejarah media jurnalisme dalam jaringan di Indonesia diawali oleh Republika Online dengan nama website www.republika.co.id yang dipublikasikan pada 17 Agustus 1994. Satu tahun setelahnya Tempo yang sempat dibredel oleh rezim orde baru pada tahun 1994, mendirikan tempointeraktif.com pada tahun 1996, yang sekarang mengganti nama website menjadi www.tempo.co. Pada tahun yang sama surat kabar “Bisnis Indonesia”

yang memiliki segmentasi bisis dan ekonomi turut meluncurkan situsnya pada September 1996 dengan nama situs www.bisnis.com. Selanjutnya media massa dari Sumatra Utara membuat “Waspada Online” dengan nama www.waspada.co.id pada 11 Juli 1997. Media cetak kompas mengikuti peluncuran situsnya pada 22 Agustus 1997 dengan nama situsnya commit to user

(14)

www.kompas.com. Pada tahun-tahun tersebut berita yang ditayangkan dalam media online merupakan berita yang ditayangkan pula pada surat kabar cetaknya. Media massa online saat itu belum berorientasi dengan bisnis dan masih hanya mengikuti perkembangan agar makin mudah diakses. (AJI, 2008:16)

Generasi media online pertama yang disebutkan diatas hingga kini masih mempertahankan media cetaknya. Namun setelah perkembangan dan kemudahan teknologi semakin meningkat, banyak media online baru yang menyediakan berita hanya berbasis online. Dimulai dari www.detik.com, Detik muncul sebagai media online yang otonom. Dengan banyaknya pengunjung situsnya tanpa dukungan media cetak seblumnya, detik menawarkan kemudahan mendapat informasi dengan cepat dan gratis. Dari kemunculan Detik para pelaku jurnalisme dan profesi lainnya mulai bersatu dan membuat situs jurnaslime online seperti www.tirto.com, www.kapanlagi.com, www.Katadata.co.id, dan lain-lain.

Dengan konsep internet yang bermakna penghubung, media online juga memanfaatkan teknologi komunikasi tersebut dengan memberikan kesempatan bagi khalayak dan warga turut membagikan informasi. Beberapa media online membuka kolom komentar dan tombol respon yang dapat digunakan audience untuk mengomentari dan bertukar pikiran dalam informasi yang diberikan.

Salah satu bentuknya media online memberikan peluang bagi khalayak untuk menulis artikel maupun essay dan opini untuk dipublikasikan. Beberapa diantaranya yang memberikan ruang opini tersebut adalah Detik.com dengan Detikblog, dan Kompas.com dengan Kompasiana.

b) Media Baru dan Teknologi Komunikasi

McQuail (2011) menjelaskan bahwa media baru adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi ciri yang sama yang mana selain baru dimungkinkan dengan digitalisasinya dan ketersediaannya yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi. McQuail dalam Ardianto (2011:14) menguraikan ciri-ciri utama yang menandai perbedaan antara media commit to user

(15)

baru dengan media lama (konvensional) berdasarkan perspektif pengguna, yaitu:

a. Interactivity; Diindikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari pengguna terhadap ‘tawaran’ dari sumber/pengirim (pesan).

b. Social presence (sociability); Dialami oleh pengguna, sense of personal contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui penggunaan sebuah medium. Media richness: media (baru) dapat menjembatani adanya perbedaan kerangka referensi, mengurangi ambiguitas, memberikan isyarat-isyarat, lebih peka dan lebih personal

c. Autonomy; Seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber.

d. Playfulness; Digunakan untuk hiburan dan kenikmatan

e. Privacy; Diasosiasikan dengan penggunaan medium dan atau isi yang dipilih.

f. Personalization; Tingkatan dimana isi dan penggunaan media bersifat personal dan unik.

Dalam penggunaan media baru banyak kelebihan yang didapat oleh khalayak. Diantaranya pengguna media mampu mengontrol paparan media yang didapatkannya dengan memilih informasi yang diinginkan dan memblokir informasi yang tidak dibutuhkan. Sedangkan sebagai pemilik situs dan pengusaha media, mereka memiliki peluang besar untuk mengembangkan perusahaan. Publikasi dan pengenalan produk dapat dengan mudah dilakukan.

Bagi penerbit, mereka mampu memanfaatkan teknologi untuk melakukan komunikasi dan publikasi sehingga mudah melakukan editing dan validasi atas publikasinya. Produksi dan distribusi dalam media online kini tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu, bahkan tidak ada batasan dalam mempublikasikan informasi dalam jumlah yang besar ke tempat yang luas dengan waktu yang sama. Namun dalam sisi penerima informasi, dapat terjadi perubahan dalam menerima informasi. Karena dalam hubungan antara pengirim dan penerima informasi, para penerima dituntut untuk membuat commit to user

(16)

berbagai pilihan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang harus diintergrasikan agar mampu melakukan komunikasi (Kurnia. 2005).

Tabel 1. 1 Teknologi Media Baru Communicatio

n Worker

Product Structure Society Intende

d Conseq

uence

Efficiency, Lower Cost, Greater speed

Interactivity User Control

Multimedia Freedom Flexibility

Decentralizati on Virtual Newsroom Telecommuting

Content

Economic Benefit

Uninten ded/

Unexpe cted Conseq

uence

Health effect Fewer Jobs

Information more costly, Intelectual Property Rights

hard to define

Redefined Roles Organization

Privacy Lost, Pace

of Tech change faster than

society’s ability to

cope Sumber : “Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Media Baru:

Implikasi terhadap Teori Komunikasi”, Vol. 6, No. 2 pp 295. Diakses tanggal 21 Oktober 2020 dari

ejournal.unisba.ac.id

Tabel penggolongan teknologi media baru di atas menjelaskan teknologi komunikasi yang mengembangkan media baru dapat memberikan banyak perbedaan yang signifikan terhadap media lama. Diantaranya media baru dapat mengunggah banyak informasi dalam satu waktu, sedangkan media konvensional memiliki keterbatasan dalam produksi. Hoterogenitas konten, dalam media baru konten yang disajikan dapat lebih beragam dibanding dengan media baru. Pengguna yang tefragmentasi dan aktif, media baru dapat menjuruskan segmentasi pasar yang akan dijangkau, serta dapat dengan mudah mendapat balasan dan efek yang lebih bervariasi daripada media konvensional.

Media baru merupakan suatu bentuk penggabungan media yang menempatkan diri pada satu platform yang mengandung semua media atau memanfaatkan perluasan indera manusia. Dengan demikian, media yang cerdas dan terinformasi memungkinkan penggunanya untuk waspada dalam commit to user

(17)

pemilihan informasi yang diterima. Secara teknologi, media baru merupakan transformasi dalam media massa dari komunikasi satu arah menjadi dua arah yang tidak pernah dilakukan media lama namun dengan aturan yang belum terkristal atau terstruktur (Kumar, 2016).

4. Jurnalisme Online

Memasuki dunia dalam jaringan (online), informasi selayaknya berita yang ada dalam media cetak ikut ditransformasi ke dalam internet. Perbedaan media tersebut menambah ilmu baru dalam dunia komunikasi yaitu jurnalisme online. Jurnalisme online yang disebut juga sebagai cyber journalisme memiliki kelebihan yang menawarkan peluang untuk menyampaikan berita jauh lebih besar cakupannya dibanding bentuk jurnalisme konvensional seperti surat kabar. Santana dalam bukunya Jurnalisme Kontemporer mengutip Deuze (Santana, 2005:137) menyatakan bahwa perbedaan jurnalisme online dengan konvensional terletak pada keputusan yang harus dihadapi oleh para waratawan cyber. Perbedaan tersebut terdapat pada bagaimana reporter mengukapkan kisah dengan mempertimbangkan cara untuk menghubungkan dengan cerita lainnya, mencari dan memberikan arsip, sumber, dan lainnya melalui hyprelinks.

Salah satu karya jurnalistik yang ditulis berdasarkan fakta adalah berita.

Berita dalam media konvensional atau media online sebaiknya memenuhi syarat-syarat penulisan berita yang baik dan benar. Beberapa syarat penulisan berita oleh adalah harus objektif, akurat, fairliness (keadilan), lengkap, netral, dan berimbang. Meskipun demikian dengan meningkatnya persaingan bisnis dan media dibawah perusaan yang mementigkan bisnis dan ekonomi, seringkali pemberitaan di media massa terkesan tidak objektif. Hal tersebut diungkapkan oleh H.L Mencken disebabkan karena ada kepentingan yang melatarbelakangi penulisan sebuah berita. Selain itu kemampuan wartawan media tidak sama dalam memproduksi berita yang objektif (Merrill, 1977:25).

Nurudin menyatakan tidak ada sebuah berita yang benar-benar objektif murni.

Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Dalam hal ini Mursito (dalam commit to user

(18)

Nurudin, 2009: 78) memberikan pembatasan dalam penulisan berita untuk mendekati syarat objektif suatu berita, bahwa yang perlu dipahami dalam sebuah pembangunan realitas media harus berdasarkan syarat-syarat dan aturan-aturan tertentu atau adanya oembatasan. Batasan tersebut diantaranya adalah nilai berita, format penulisan, etika dan undang-undang.

Jurnalisme online memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan beragam media sekaligus (teks, visual dan audio). Rafaeli dan Newhagen mengidentifikasi 5 perbedaan utama antara jurnalisme online dan media massa tradisional, yaitu kemampuan internet untuk mengombinasikan sejumlah media, kurangnya tirani penulis atas pembaca, tidak seorangpun dapat mengendalikan perhatian khalayak, internet dapat membuat proses komunikasi berlangsung sambung, dan interaktivitas web (dalam Santana, 2005:137).

Karakteristik jurnalisme online yang menjadikannya berbeda dan dapat dikatakan sebagai kelebihannya dibandingkan dengan media konvensional menurut Mike Ward (dalam Judhita, 2013: 153) yaitu: Immediacy (kesegaran atau kecepatan penyampaian informasi); Multiple Pagination (ratusan halaman terkait satu sama lain dan juga bisa dibuka tersendiri); Multimedia (menyajikan gabungan teks, gambar, audio, video dan grafis sekaligus); Archieving (terarsipkan, dapat dikelompokkan berdaarkan kategori/rubric atau kata kunci, juga tersimpan lama yang dapat diakses kapan saja); Relationship with Reader (kontak atau interaksi dengan pembaca dapat langsung saat itu juga melalui kolom komentar dan lain-lain.

5. Konstruksi Realitas Media

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality:

A Treatise in the Sociological of Knowledge 1996. Peter menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, di mana indvidu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan commit to user

(19)

memisahkan pemahaman antara “kenyataan” dan “pengetahuan” (Sobur, 2002:91). Peter dan Thomas mengartikan realitas sebagai hubungan timbal balik yang terdapat di dalam realitas atau kenyataan yang diakui memiliki keberadaan yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik secara spesifik.

Dalam membangun sebuah berita yang mengangkat realitas sosial pemilihan bahasa juga sangat diperhitungkan. Dalam skripsi Mawardi (2012) yang mengutip buku John Hartley menyatakan, struktur sosial tidak akan ada jika tidak terdapat interaksi oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya melalui proses penggunaan bahasa. Masih dalam karya ilmiahnya Mawardi mengutip tulisan Hamad bahwa bahasa tidak hanya mampu merefleksikan realitas tapi sekaligus mampu menciptakan realitas itu sendiri. Melalui bahasa tersebut wartawan sebagai pelaku media massa mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas.

Media sendiri mampu membangun sebuah kenyataan dalam kumpulan kalimat berita yang disebut sebagai realitas media. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004:11). Namun realitas yang ditampilkan oleh media tidak selalu dapat dilihat sebagai fakta melainkan adalah hasil persepsi atau cara pandang media terhadap fakta yang kemudian ditulis dalam berita.

Produk media memang didasarkan pada kejadian di dunia nyata, namun media mampu menampilkan dan menonjolkan elemen tertentu sesuai keinginan dan kebutuhannya. Logika struktural media digunakan sebagai penonjolan elemen tersebut. Bahkan, media tertentu cenderung membatasi dan menyeleksi sumber berita, menafsirkan komentar-komentar sumber berita, dan memberi porsi yang berbeda terhadap perspektif lain, yang kemudian terjadi adalah penonjolan tertentu terhadap pemaknaan suatu realitas (Hamad, 2004:31).

commit to user

(20)

Menurut Shoemaker dan Reese (1996:223), berita yang ditulis media dipengaruhi oleh pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media itu sendiri, institusi di luar media, dan oleh ideologi. Faktor individu pekerja media mempengaruhi teks dalam fungsi yang ditentukan oleh rutinitas media. Fungsi yang dijalankan rutinitas media harus berada dalam fungsi yang ditetapkan organisasi media. Demikian pula kebijakan yang diambil oleh organisasi media, banyak ditentukan oleh institusi di luar media. Dan tingkat paling atas keseluruhan faktor tersebut dipengaruhi oleh ideologi yang ada dalam masyarakat.

6. Komunikasi Politik dalam Media Massa

Sebagai dampak dari hubungan media massa dengan ilmu dan kepentingan lainnya, dalam berkomunikasi di media massa terdapat setidaknya dua teori penting yaitu teori perseptual dan teori fungsional. Seperti yang ditulis Apriyanto (2011) dari gagasan Dan Nimmo, teori perseptual pada dasarnya memiliki pengertian bahwa media merupakan perpanjangan dari indera manusia. Maka dengan adanya media, komunikasi manusia dapat diperluas dengan media sebagai alat penghubung. Sedangkan teori fungsional memiliki arti bagaimana media merubah persepsi khalayak. Menyerupai komunikasi langsung, penggunaan media sebagai alat pembantu tidak menjamin akan terciptanya persepsi yang sama antara komunikator dan komunikan.

Dan Nimmo mengemukakan pengertian komunikasi politik adalah kegiatan komunikasi yang memiliki konsekuensi-konsekuensi yang mengatur perbuatan manusia di dunia dalam kondisi-kondisi konflik (Nimmo, 1993:9).

Hampir sama dengan komunikasi secara umum, jenis pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan politik.

Manusia memiliki beragam saluran komunikasi politik yang dapat digunakan, salah satunya menggunakan media massa. Saluran komunikasi politik tidak hanya mencakup alat, sarana dan mekanisme seperti mesin cetak, radio, televisi, dan sebagainya, tetapi yang paling penting adalah manusia itu sendiri. commit to user

(21)

Manusia sebagai otak perumusan pesan politik melalui sarana yang ada di media massa. (Nimmo, 1993:166-167).

Komunikasi politik di media massa erat kaitannya dengan opini publik, yaitu upaya membangun sikap dan tindakan khalayak mengenai suatu masalah politik atau aktor politik (Nimmmo, 1993:5). Nimmo menjelaskan dalam komunikasi politik, media massa menjadi penggerak utama dalam usaha mempengaruhi individu terhadap terpaan berita yang diterimanya. Dengan bantuan media tersebut, pemegang kepentingan dalam politik yang memiliki akses dalam media massa mampu menciptakan panggung politik bagi dirinya dan menggambarkan profilnya untuk kemudian dikemas oleh media massa.

Menurut Arbi Sanit, komunikasi politik diabdikan kepada kepentingan kaum politisi yang secara struktural adalah bagian utama dari kaum elit yang porsinya disekitar 3-5 % penduduk. (Sanit, Arbit. 2002: 52).

Menurut Andrik Purwasito, inti dari politik adalah “sistem kompetisi”, sehingga studi komunikasi politik juga harus berkembang karena dalam menggunakan komunikasi sebagai alat politik selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman atau apa yang terjadi pada zaman itu agar komunikasi sebagai alat politik dapat sesuai dengan sistem kompetisi pada suatu zaman dan dapat memberi pengaruh. (Purwasito, 2011: 4).

Bentuk pembicaran politik dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang di dalamnya terdapat simbol-simbol politik (Hamad, 2004:9). Oleh karena itu, media massa menjadi saluran yang sering digunakan dalam menyampaikan informasi politik. Bahkan media massa dilihat sebagai alat yang mampu menjustifikasi terhadap realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan hal itu masyarakat dapat dengan mudah tergiring ke opini yang diangkat media dan mempercayai keputusan politik hanya dengan konstruksi oleh media tersebut.

Media massa bukan sekadar sarana yang menampilkan kepada publik peristiwa politik secara apa adanya, tetapi tergantung kepada kelompok dan commit to user

(22)

ideologi yang mendominasinya. Dengan demikian apapun yang dihasilkan dan ditampilkan oleh media merupakan representasi dari ideologi media massa tersebut. dengan kekuatan yang dimiliki oleh media masa, maka lembaga- lemabaga politik seperti partai politik, organisasi pemerintah, kelompok kepentingan, serikat buruh, LSM, dan sebagainya, seringkali memanfaatkan media massa untuk tujuan-tujuan politik (Schramm, 1975:468-486).

Dalam komunikas politik yang digunakan media massa, terdapat pendekatan lain yang melihat bagaimana media mengkostruksi berita, dengan memusatkan perhatian kepada strukur ekonomi daripada muatan atau ideologi media yaitu dengan teori ekonomi politik media. Vincent Mosco menuliskan dalam bukunya (Mosco, 1996:25), bahwa ekonomi politik disorot sebagai pembelajaran mengenai hubungan sosial, khususnya hubungan kekuatan, yang biasanya berbntuk produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber. Hubungan ini muncul karena adanya hubungan timbal balik antara sumber daya alam proses produksi komunikasi sepertu surat kabar, buku, video, film, dan halayak adalah sumber daya yang utama.

7. Teori Ekonomi Politik dan Ideologi Media

Pada dasarnya media masa sejak media konvensional hingga media online merupakan sebuah hal yang dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat. Terlebih pada penggunaan media massa dengan teknologi atau disebut media online. Kecepatan dan kemudahan penerimaan serta penyebaran dan pembuatan berita yang singkat mampu mendorong masyarakat memanfaatkan media untuk keuntungan pribadinya.

Nimmo menjelaskan media juga merupakan saluran yang dimanfaatkan untuk mengendalikan arah dan memberikan dorongan terhadap perubahan sosial (dalam McQuail, 2011:3).

Teori ekonomi media merupakan sebuah pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan atau ideologi media. Teori ini memiliki fokus pada ketergantungan ideologi media, yang dibawa oleh kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada commit to user

(23)

analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Dalam teori ini, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik (McQuail, 2011:

63). Teori ini berangkat dari hubungan saling timbal balik institusional, dari produk komunikasi dengan produsen, penjual, dan konsumen. Hal tersebut dibutuhkan oleh media dan institusi untuk mempertahankan diri. Sedangkan ekonomi politik cenderung memfokuskan perhatian pada rangkaian hubungan sosial tertentu di sekitar kekuasaan atau kemampuan untuk mengontrol orang lain, proses, dan berbagai hal (Mawardi, 2012).

Kegunaan ekonomi politik dalam komunikasi adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan signifikansi dari bentuk produksi, distribusi, dan pertukaran komoditas komunikasi serta peraturan yang mengatur struktur media tersebut, khususnya oleh negara. Gaya produksi media dan hubungan ekonomi kemudian menjadi dasar atau elemen penentu dalam pikiran khalayak media. Semua hal dibentuk oleh sistem pada pikiran manusia (Berger, 1999:

46).

Hubungan timbal balik yang saling memberi sumber informasi antara media dengan institusi dalam ekonomi politik media, juga terjadi dalam konsep ideologi media, dengan kecenderungan bahwa pertahanan diri yang dilakukan media juga didasari oleh hal-hal pendorong yang ada di sekitarnya. Stuart Hall (1982) dalam Dabbous (Dabbous, 2010: 722) menyatakan “media were not independent agencies that merely reflected reality” atau media bukanlah lembaga independen yang hanya mencerminkan realitas. Dalam analisa Yasmine T Dabbous mengenai media Lebanon (2010), dia menyimpulkan bahwa sebagian besar standar etika jurnalistik bersifat kultural dan dibentuk oleh lingkungan politik, sosial dan ekonomi di sekitar media. Padahal hingga saat ini dalam penelitian dan buku mengenai jurnalisme selalu mengacu pada objektivitas, keadilan dan keseimbangan sebagai standar jurnalisme yang berkualitas. Hingga kini mulai muncul penelitian yang mempertanyakan etika

commit to user

(24)

konsep, bagaimana media memberikan kedua sisi cerita secara merata, apakah pemberitaan akan menyimpang atau tidak adil (Dabbous, 2010).

Isi pesan media yang dipengaruhi oleh faktor dari luar ideologi media dianalisis oleh Shoemer dan Reese dalam McQuail (McQuail, 2011:46)) menjadi lima faktor dibawah ini:

a. Isi media mencerminkan reallitas sosial (media massa sebagai cermin masyarakat).

b. Isi media dipengaruhi ileh sosialisasi dan perulaku para pekerja media atau pendekatan yang berpusat pada diri komunikator (communicator centred approach).

c. Isi media dipengaruhi rutinitas organisasi media.

d. Isi media dipengaruhi oleh berbagai lembaga kekuatan sosial.

e. Isi media merupakan fungsi ideologi dan upaya untuk mempertahankan status quo (pendekatan hegemoni).

McQuail sendiri memiliki gagasan yang menjuruskan tujuh pihak yang memiliki hubungan dengan media massa hingga mampu membangun sebuah realitas media dan mempengaruhi isi pesan yang disampaikan media (McQuail, 2011). Ketujuh pihak tersebut adalah:

a. Penguasa/Pemerintah

Pemerintah atau lembaga ekseutif negara mampu memberikan pengaruh atas isi berita yang akan disampaikan media. Littlejohn dan Foss pada 2005, menemukan empat tipe hubungan kekuasaan antara media dengan penguasa yaitu, high-power source, high-power media (dalam hubungan ini jika keduanya bekerja sama, maka terjadi hubungan yang saling menguntungkan namun terjadi juga jika sebaliknya, jika terjadi pertentangan akan terjadi persaingan untuk mempengaruhi agenda publik); high-power source, low- power media (dalam hal ini sumber kekuasaan luar kemungkinan akan melakukan kooptasi terhadap media, yaitu menggunakan media untuk mencapai tujuannya, misalnya dengan membeli jam tayang untuk iklan commit to user

(25)

politik maupun menjadi sponsor program dalam media); lower-power source, high-power media (media bersangkutan sendiri yang menentukan apa yang akan menjadi gendanya, media menggunakan kewenangannya untuk dapat mengabaikan, tidak memberitakan atau mengurangi realitas untuk berita yang dipublikasikan); low-power source, low-power media (dalam hubungan ini agenda public akan ditentukan oleh media atau para pemimpin politik.

b. Masyarakat Umum

Dalam hal ini media memiliki ideologi tersendiri untuk terfokus pada menarik minat masyarakat umum (public service) dan untuk sebagian media yang terfokus pada keadaan sosial, budaya dan politik dengan memiliki tujuan utama mengejar keuntungan ekonomi.

c. Kelompok Penekan

Kelompok penekan dapat berupa organisasi atau kelompok. Hal yang dapat terganti dalam keadaan ini adalah upaya media untuk menyesuaikan atau mengaburkan isu, namun media biasanya tidak mudah tunduk terhadap tekanan yang terkait dengan berita aktual (hard news).

d. Pemilik

Menurut MQuail, walaupun tidak dapat dibuktikan pengaruh isi media dari tekanan pemilik, namun tidak dapat dipungkiri juka para jurnalis dalam sebuah asosiasi industri tertentu tidak mendukung kepentingan asosiasi yang mendanainya, meskipun alasan didirikannya media tersebut bukan untuk membantu kepentingan asosiasi tertebut.

e. Pemasang Iklan

Gans (1979) mengungkapkan hanya elit media dan media yang secara ekonomi kuat saja yang mampu mengahadapi tekanan pemasangan iklan.

f. Audien

Menurut Schlesinger (1978), tuntutan untuk mendapatkan sebanyak mungkin audien menimbulkan ketegangan dan akhirnya menentukan isi media berdasarkan laporan peringkat acara bukan dari komunikator massa.

commit to user

(26)

g. Internal Organization

Masing-masing perusahaan media memiliki budaya kerja (work cultures) yang berbeda di antara setiap bagian dalam organisasi. Maka mereka dapat membawa preferensi masing-masing dalam menampilkan berita.

8. Teori Agenda Setting

Teori agenda setting sendiri menurut Stephan W. Littlejohn dan Karen A. Foss dalam Baran (Baran dan Dennis, 2010: 13), mengemukakan bahwa agenda setting theory adalah teori yang menyatakan bahwa media membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran. Hal ini terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita. Dari pengertian tersebut media massa mampu mengkonstruksi dan melaporkan sebuah berita dengan gambaran yang diinginkan oleh pemilik media, atau membentuk sebuah isu dalam media dengan memilih realitas dar informasi yang diterimanya. Dengan pemberitaan yang telah dikonstruksi oleh media tersbeut dan informasi yang disampaikan media menjadi agenda pembicaraan oleh masyarakat yang terpapar media.

Masyarakat menjadi terbiasakan dengan berita-berita yang disampaikan media, bahkan informasi yang tercerna khalayak mampu menjadi ilmu dan pengetahuan bahkan mampu mengubah gaya hidup, perilaku, maupun sikap masyarakat. (Ritonga, 2018).

Teori agenda setting merupakan salah satu dari sekian banyak teori tentang efek media massa bagi khalayak, baik yang termasuk kategori teori klasik seperti teori stimulus respon yang dikemukakan oleh Hovland, et al (1953) dan teori SOR (Stimulus Organisme Response) yang dikemukakan Melvin DeFleur (1970) sebagai modifikasi dari teori Stimulus Response sebelumnya, maupun yang masuk kategori teori kontemporer seperti teori Difusi Inovasi, teori Uses and Gratification, teori Defendensi Efek Komunikasi massa, teori Spiral of Silance, teori Uses and Effects, teori Spiral of Silence, teori Uses and Effect, teori The Limited Media Effects, The Bullet Theory atau teori Jarum Hipodermik, dan lain-lain. (Ritonga, 2018:35). commit to user

(27)

Adapun agenda yang dapat dibangun oleh media massa dari Kholil (Kholil, 2007: 36) adalah mengenai: a) Apa yang harus dipikirkan oleh masyarakat; b) Menentukan fakta yang harus dipercayai oleh masyarakat; c) Menentukan penyelesaian terhadap suatu masalah ; d) Menentukan tumpuan perhatian terhadap suatu masalah; e) Menentukan apa yang perlu diketahui dan dilakukan masyarakat.

9. Framing

Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari isu yang lain (Nugroho, Eriyanto & Sudiarsis, 1999:20). Alex Sobur memberikan definisi bahwa analisis framing mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan tautan fakta ke dalam berita agar pemberitaan lebih bermakna, memberi kesan menarik, berarti bagi pembaca sehingga mudah diingat, serta digunakan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2006:162).

Gagasan mengenai pembingkaian berita atau framing dicetuskan pertama kali oleh Baterson tahun 1955 (Sobur, 2002: 161). Baterson memaknai framing sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Kemudian konsep framing dikembangkan oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca sebuah realitas dalam media (Sobur, 2002: 162).

Analisis Framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi media. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagamaimana realitas tersebut dikonstruksi, serta dengan cara apa konstruksi tersebut dibentuk (Eriyanto, 2002: 43). commit to user

(28)

Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media.

Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas/peristiwa. Disini media memiliki hak untuk menseleksi, menghubungkan dan menonjolkan peristiwa sehingga makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak.

Pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita. Salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standar kebenaran, matriks objektivitas, serta batasan-batasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita.

Dalam merekonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi skemata interpretasi (schemata of interpretation). Dengan skemata ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyeleksi sumber berita, serta memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau perspektif yang muncul dalam wacana media (Sobur, 2015: 163).

Konsep analisis framing memiliki pengertian dan teori dari berbagai ahli.

Beberapa pengertian mengenai analisis framing diranngkum oleh Eriyanto sebagai berikut (Eriyanto, 2002: 67-68):

a) Menurut Robert Entman. Analisis framing merupakan proses seleksi di berbagai aspek realitas sehingga aspek tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lainnya. Ia juga menyatakan informasi- informasi dalam konteks yang khas sehingga tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi lainnya.

Berangkat dari asumsi tersebut, maka Robert N. Entman (Eriyanto, 2007: 189-191) membagi perangkat framing ke dalam empat elemen yaitu: Pertama. Define Problems (pendefinisian masalah).

Mendefinisan masalah merupakan elemen yang pertama kali dapat terlihat mengenai framing. Elemen ini merupakan bingkai yang paling commit to user

(29)

utama. Hal ini menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. Kedua. Diagnose Causes (memperkirakan penyebab masalah). Elemen inimerupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa.

Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Ketiga. Make Moral Judgement (membuat pilihan moral).

Elemen ini merupakan elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberikan argumentasi pada pendefinisian masalah yang telah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Keempat. Treatment Recommendation (menekankan penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikanmasalah. Penyelesaianitu tentu saja sangat bergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

b) Menurut Todd Gitlin. Analisis Framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

c) Menurut David Snow dan Robert Benford Pemberian makna untuk ditafsirkan peristiwa dari kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan system kepercayaan dan mewujudka dalam kata kunci tertentu, seperti anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dalam kalimat tertentu.

commit to user

(30)

d) Menurut Zhongdang dan Pan Konsicki. Sebagai konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa dihubungkan denga rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Pan dan kosicki menyatakan bahwa terdapat dua konsepsi framing yang saling berkaitan (Eriyanto, 2002:252). Pertama, dalam konsepsi psikologi yaitu bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya serta bagimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditujukan dalam skema tertentu. Kedua, konsepsi sosiologis yaitu bagaimana individu menafsirkan suatu peristiwa melalui cara pandang tertentu. Bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya (Eriyanto, 2002:253).

Eriyanto dalam bukunya (2002), memberikan empat macam model analisis framing yaitu:

a) Model Murray Edelmen, dalam model ini perangkat framing adalah kategorisasi. Kategorisasi dalam hal ini adalah pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang khusus dan menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Kategorisasi merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategori membantu manusia memahami realitas yang beragam dan tidak beraturan tersebut menjadi realitas yang mempunyai makna. Kategorisasi dalam mendefinisikan peristiwa menentukan bagaimana masalah didefinisikan, apa efek yang direncanakan, ruang lingkup masalah dan penyelesaian efektif yang direkomendasikan. Rubrikasi juga merupakan salah satu aspek kategorisasi penting dalam pemberitaan:

bagaimana suatu peristiwa dikategorisasi dalam rubrik-rubrik tertentu. Rubrik menentukan bagaimana peristiwa dan fenomena harus dijelaskan.

commit to user

(31)

b) Model William A. Gamson, dalam hal ini analisis framing membutuhkan perangkat “metaphors, catchphrase, exemplar, depiction, visual image, roots, appeals to principle, and consequences”. Konsep dasar model Gamson dan Modigliani adalah analisis representasi media yaitu menganalisis berita dan artikel yang terdiri atas paket interaktif yang mengandung makna tertentu, didasarkan pada pendekatan konstruksionis. Framing model Gamson dan Modigliani memahami wacana media sebagai satu gugusan perspektif interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna suatu isu. Sistem Analisis Condensing Symbols (kondensasi simbol)

Perangkat Struktur Framing dalam model Gamson dan Modigliani:

1) Metaphors: Cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana.

Metafora berperan ganda; a) sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental, b) berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu.

2) Exemplars: Mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran. Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif.

3) Catchpharases: Bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu. Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan.

4) Depictions: Penggambaran fakta dengan memakai istilah, kata, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.

Pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif

commit to user

(32)

sebagai bentuk aksi politik. Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi.

5) Visual Images: Pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya:

perhatian atau penolakan, dibesarkan atau dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna. Visual images bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak.

c) Model Robert N. Entman, yang memiliki perangkat seleksi isu dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing memberi tekanan lebih pada cara teks komunikasi ditampilkan dan bagian yang dianggap penting (ditonjolkan) oleh pembuat teks. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: (1) seleksi isu dan (2) penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas (isu). Dalam praktiknya framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain. Media menonjolkan aspek dari isu dengan penggunaan berbagai stategi wacana, misalnya penempatan isu pada headline, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, dan pemakaian label tertentu.

Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan definisi, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Define Problems (Pendefinisain Problem): Bagaimanakah suatu peristiwa (isu) dilihat? Isu itu sebagai apa? Isu itu sebagai problem apa?

2) Diagnose Causes (Diagnosis Penyebab Problem): Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab problem?

3) Make Moral Judgement (Pembuatan Keputusan Moral): Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan Problem? Nilai commit to user

(33)

moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?

4) Treatment Recommendation (Penekanan Penyelesaian):

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi problem (isu)? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

d) Model Pan-Kosicki, yang memiliki perangkat framing struktur wacana media, yaitu meliputi: sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Pan-Kosicki berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide.

Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.

Dalam pendekatan ini, framing dapat dibagi dalam empat struktur besar. Pertama, struktur sintaksis. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa dalam bentuk susunan umum berita. Dapat diamati dari bagan berita (lead, latar, headline, kutipan yang diambil, dan sebaginya). Kedua, struktur skrip. Skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Ketiga, struktur tematik. Tematik berhubungan dengan bagamana wartawan mengungkapkan pandangan atas peristiwa ke dalam proporsi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Keempat, struktur retoris. Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita.

Struktur ini melihat bagaimana wartwan memakai pilihan kata, idiom commit to user

(34)

grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembacanya (Eriyanto, 2002:252-256).

Keempat struktur model Pan dan Kosicki tersebut dapat digambar dalam bentuk skema sebagai berikut:

Tabel 1. 2 Skema Framing Model Pan dan Kosicki

Struktur Perangkat Framing Unit yang Diamati SINTAKSIS

(Cara Wartawan Menyusun Fakta)

1. Skema Berita Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup.

SKRIP

(Cara Wartawan Mengisahkan Fakta)

2. Kelengkapan Berita 5W + 1H

TEMATIK

(Cara Wartawan Menulis Fakta)

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti

Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat

RETORIS (Cara Wartawan Menekankan Fakta)

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora

Kata, idiom,

gambar/foto, grafik

Sumber: Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Yogyakarta: LKIS. 2002, hal: 252-256.

B. Review Hasil Penelitian Terdahulu yang Terkait

Terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang menggunakan analisis framing dalam pendekatan penelitiannya. Penulis mengambil beberapa artikel jurnal maupun karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan skripsi penlis dalam hal analisis framing sebuah media massa yang dipublikasikan dalam waktu dekat commit to user

(35)

dan berkaitan dengan politik. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kajian pustaka dengan mencantumkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain:

Framing Berita Presiden Donald Trump oleh Media Asing dan Media Nasional (2019) merupakan karya tulis jurnal ilmiah oleh Dani Kurniawan dan Widodo Muktiyo, yang terbit pada Jurnal Intelektiva: Jurnal Ekonomi, Sosial

& Humaniora, dengan nomor E-ISSN 2628-5661, VOL. 01 NO.03.

30/10/2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pembingkaian berita dalam perspektif penerapan ideologi dan ekonomi politik media. Dengan membandingan framing yang digunakan oleh kedua media penelitian ini akan menemukan konsep framing yang digunakan masing- masing media dalam mengemas berita yang dipublikasikan. Objek penelitian ini adalah pemberitaan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Media Online Liputan6.com dan Sindonews.com periode bulan Februari 2017, dan media internasional Aljazeera.com dan Foxnews.com 2017. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Metode yang digunakan adalah analisis framing dengan model analisis Pan dan Kosicki. Penulis menggunakan teori utama framing, seperti yang diartikan oleh Alex Sobur (2004), “Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara padang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita”. Penulis juga menggunakan teori konstruksi realitas media, seperti yang dijelaskan oleh Hamad (2004), “Seluruh isi media bukan lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang bermakna”. Jadi apa yang dikonstuksikan media bukan semata-mata tanpa maksud dan tujuan. Semua pemberitaan dilakukan untuk menceritakan kembali realitas kepada khalayak, namun dari perspektif media. Dengan metode analisis framing yang digunakan oleh peneliti, terdapat perbedaan frame antara Sindonews.com dan Liputan6.com. Liputan6.com lebih menyoroti masalah dan kontroversi Donald Trump dengan memasangnya di halaman utama serta menggunakan bahasa yang lugas, tegas, dan menggunakan unsur grafis yang baik untuk memperkuat pandangan mereka. Sedangkan Sindonews.com tidak

commit to user

Gambar

Tabel 1. 1 Teknologi Media Baru  Communicatio
grafik  dan  gambar  yang  dipakai  bukan  hanya  mendukung  tulisan,  melainkan  juga  menekankan  arti  tertentu  kepada  pembacanya  (Eriyanto, 2002:252-256)
Gambar 2. 1 Kerangka Konseptual Pemikiran Peneliti

Referensi

Dokumen terkait

x Kegiatan plesteran & lantai durasi 35, pada unit rumah II mengalami keterlambatan 6 hari (A), maka mengakibatkan kegiatan plesteran dan lantai berpotongan dengan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Pengembangan media pembelajaran papan analisis

Pettijohn (1975) mendefinisikan sedimentasi sebagai proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan dari material pembentuk atau

Berdasarkan kategori tersebut, dalam mempelajari mataajaran ini dapat dimulai dari pulau Sumatera (antara lain: Batak, Minangkabau, Nias, Mentawai, Sakai),

Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis,

Dengan visi dan misi yang kuat yang dimiliki oleh Rovers hamster shop, maka usaha itu akan memiliki suatu landasan yang kuat untuk mencapai tujuannya. Keempat elemen ini

Telah dilakukan penelitian ekstraksi uranium dan torium dalam lase air siklus satu proses thorex menggunakan pelarut tributil postal yang diencerkan dalam diluen organik

26 Kebayoran Baru Jakarta-Selatan Paket Pekerjaan : DKI Jakarta " As National Management Consultant " - Wilayah I Nomor dan tanggal kontrak : HK... BREAKDOWN