• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRUKTUR PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA. ( ), masa peralihan ( ) ketika Belanda diduduki oleh tentara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II STRUKTUR PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA. ( ), masa peralihan ( ) ketika Belanda diduduki oleh tentara"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II

STRUKTUR PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

Pembentukan pemerintahan dan wilayah kekuasaan di Hindia Belanda mengalami tiga tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain yaitu masa VOC (1602-1795), masa peralihan (1795-1800) ketika Belanda diduduki oleh tentara revolusioner Prancis, dan masa Hindia Belanda (1800-1942). Memasuki tahun 1800 pengaruh Belanda mulai bertambah dan struktur tata-pergaulan hidup masyarakat mengikuti cara pandangan orang Barat atau modern. Hal ini disebabkan kedatangan Belanda ke Hindia Belanda bukan lagi untuk berdagang melainkan menjalankan pemerintahan kolonial yang sebenarnya. Gubernur Jenderal H.W. Deandels merupakan gubernur jenderal pertama memerintah di Hindia Belanda yang membentuk pembaharuan administrasi tidak korupsi dan efisien.1

A. Sistem Kepegawaian dalam Tatanan Pemerintahan Hindia Belanda Sebelum Abad Ke-20

Penyelenggaraan Pemerintahan Hindia Belanda ditentukan dalam Pasal 71 Regeringsreglement 1854 dengan sistem sentralistis. Hal ini jelas berbeda dengan sistem negara Belanda sendiri yang desentralistis. Ini menjelaskan bahwa dalam wilayah jajahan kolonial Hindia Belanda tidak diberikan kesempatan atas partisipasi dari masyarakat lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun

1 A. Daliman, 2012, Sejarah Indonesia Abad XIX - Awal Abad XX: Sistem Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda, Yogyakarta: Ombak, halaman 2-4.

(2)

wilayah-wilayah di Hindia Belanda dibagi secara administratif yang diperintah oleh ambtenaren (pejabat), tetap perintah langsung berasal dari pusat. Arus pemerintahan Hindia Belanda yang ekstrim sentralistis hanya berjalan satu arah:

dari atas ke bawah. Segala sesuatu perintah berasal dari pusat, baik itu permasalahan sederhana maupun krusial. Bagi Belanda, sistem terbaik untuk memerintah Hindia Belanda adalah sentralistis, hal ini didasari dengan kekhawatiran Belanda akan lepasnya Hindia Belanda sebagai wilayah sumber keuntungan. Mengenai otonomi hanya sebatas perangkat lokal yang mengatur sendiri kepentingan daerah terutama dalam bidang pemerintahan asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melanggar kepentingan umum.2

Tertulis dalam Regeringsreglement bahwa gubernur jenderal memiliki wewenang dalam: memegang kekuasaan legislatif di negeri kolonial (pasal 20 dst.), melaksanakan peraturan yang ada (pasal 27 dst.), mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi di jajaran pemerintahan kolonial (pasal 49), berkedudukan sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut di Hindia Belanda (pasal 41-42), dan memiliki wewenang untuk memberikan grasi (pasal 51). Mengenai pertemuan-pertemuan atau perhimpunan yang mengarah pada kegiatan politik untuk mengintervensi ranah ketatanegaraan tidak

2 Bayu Surianingrat, Bayu Surianingrat, 1981, Sejarah Pemerintahan di Indonesia: Babak Hindia Belanda dan Jepang Jilid I, Jakarta: Dewaruci Press, halaman 11.

(3)

diperkenankan (pasal 111).3 Besarnya wewenang gubernur jenderal membuat sulitnya mengontrol kekuasaan tersebut, hingga muncul tekanan-tekanan untuk menuntut suatu perubahan oleh orang-orang Belanda swasta. Orang-orang Belanda swasta yang bergerak dalam berbagai bidang usaha menginginkan untuk berpartisipasi dalam tatanan pemerintahan karena banyaknya masalah di pelosok daerah. Bagi mereka masalah-masalah rumit di pelosok daerah tidak bisa diselesaikan dan ditangani secara jarak jauh oleh kekuasaan sentralistis.4

Pejabat-pejabat Belanda modern5 atau biasa disebut nederlands burgerij menuntut adanya desentralisasi di tanah jajahan dengan mengirim surat kepada Gubernur Jenderal.6 Desentralisasi dianggap sebagai langkah bagus untuk mengurus daerah jajahan Hindia Belanda yang begitu luas dengan memberikan otonomi sesuai dengan batas-batas daerah tertentu. Tuntutan kelompok nederlands burgerij menginginkan penyelenggaraan pemerintahan juga melibatkan partisipasi masyarakat khususnya mereka sebagai pemilik dan pegawai perkebunan besar di Hindia Belanda. Pemerintah harus membuka mata mengenai perkembangan tanah di Hindia Belanda dan mulai merombak tatanan

3 Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda: Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-1940), Malang: Bayumedia, halaman 2.

4 Ibid, halaman 4.

5 Pejabat modern merupakan masyarakat Belanda yang membangun tata niaga di tanah koloni dengan satu kesatuan di bawah naungan komunitas yang sama sebagai elemen penting partikuler Tanah Hindia.

6 Wewenang Gubernur Jenderal yang terpusat hanya berlaku di kawasan- kawasan direct bestuuurd gebied yaitu daerah yang langsung dipegang oleh penguasa Hindia Belanda. Wewenang Gubernur Jenderal tidak berlaku di daerah het indirect atau het inlandsch bestuur gebied yaitu daerah dibawah wewenang penguasa pribumi sejak awalnya.

(4)

pemerintahan sebagai suatu langkah yang diperlukan. Hal ini dengan mengamandemen peraturan wewenang gubernur jenderal yang tertulis dalam Regeringsreglement 1854.

Kebijakan yang diinginkan dalam sidang Tweede Kamer7 atas perubahan ini ialah pemberian kebebasan kepada pengemban kekuasaan di Hindia Belanda untuk membuat peraturan sendiri yang tidak harus bergantung pada raja dan/ataupun pada representasinya yaitu gubernur jenderal. Dalam sidang lanjutan Tweede Kamer disampaikan mengenai persiapan dalam rancangan undang- undang desentralisasi. Namun masih ada perdebatan mengenai hal ini sebab jika desentralisasi diterapkan konsekuensi selanjutnya ialah anggaran untuk layanan pemerintahan ikut berkurang.8 Dalam struktur pemerintahan akhir abad ke-19 tidak memberikan kesempatan masyarakat pribumi untuk partisipasi dalam tatanan pemerintahan.9 Hal ini juga turut mendasari tuntutan desentralisasi oleh nederlandse burgerij yang selain berkaitan dengan kebijakan bidang perkebunan

7 Parlemen Belanda menganut sistem bikameral (Dewan Bangsawan dan Dewan Rakyat). Parlemen Belanda terdiri dari: Tweede Kamer (Majelis Rendah/House of Presentative/Second Chamber) dan Eerste Kamer (Majelis Tinggi/Senat/First Chamber). Tweede Kamer memiliki ketertarikan dalam bidang kemasyarakatan. Salah satunya dengan melaksanakan rapat dengar/debat publik untuk mengetahui gambaran keinginan masyarakat. Tweede Kamer juga melaksanakan sidang dengan eksekutif untuk menanyakan terkait kebijakan strategis yang sudah dilakukan. Anggota Tweede Kamer berasal dari partai politik yang dipilih langsung oleh masyarakat.

Tim CEPP UI, 2015, Mengenal Lebih Dekat Parlemen Belanda, Majalah Parlementaria, Edisi 122 TH. XLV, halaman 74.

8 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 6.

9 Hanif Nurcholis, Hubungan Pusat Daerah: Antara Efisiensi Administrasi dan Demokratisasi Lokal, Artikel disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Sastra Universitas Jember, Jember, 17-20 Mei 2011.

(5)

dan perdagangan. Tuntutan desentralisasi ini menghasilkan Decentralisatie Wet 1903.

Pada akhir abad ke-19 sistem kepegawaian yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda ialah dengan membentuk satuan-satuan pemerintahan di bawah penguasa-penguasa yang mengontrol wilayah-wilayah di Hindia Belanda.

Susunan pemerintah yang ditentukan antara lain: residen, asisten residen, controlir, bupati, patih, wedana, dan camat.

Bagan 1. Struktur Pemerintahan Jabatan dan Kekuasaannya (Hindia Belanda) Gubernur Jenderal

(Pemerintahan Daerah) Residen

(Afdeeling) Asisten Residen

(Onder-Afdeeling) Controleur Bupati (Kabupaten)

Patih (Daerah Kabupaten)

Wedana (Distrik)

Camat (Onder-Distrik)

Sumber: Bayu Surianingrat, 1981, Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang, Jakarta: Dewaruci Press, halaman 52-54. Lihat juga pada B. Alkema, 1917, Ons Insulinde: Hoe We’t Verkregen en Wat Het Door Ons

Werd, Deventer: Charles Dixon, halaman 191-195.

(6)

Struktur pemerintahan di Hindia Belanda tertinggi adalah Gubernur Jenderal dengan wilayah kekuasaannya adalah Hindia Belanda yang dibantu oleh residen.

Residen memiliki wewenang kekuasaan dalam wilayah karesidenan yang bertugas untuk mengurus jalan, jembatan, pekerjaan umum, bangunan, pendidikan pribumi, kesehatan, peternakan, dan pengairan.10 Residen di luar Jawa-Madura disebut dengan kepala wilayah atau kepala gewest. Residen juga dibantu dengan asisten residen yang wilayah kekuasaannya adalah kota administratif dan controleur yang kekuasaan wilayahnya kabupaten. Asisten residen dan controleur berada di bawah perintah residen. Sistem pemerintahan korps pangreh praja tertinggi adalah bupati dengan wilayah kekuasaannya adalah kabupaten. Bupati bertugas sebagai menjaga masyarakat pribumi agar tidak tertindas dan sebagai pemimpin agama Islam dibantu oleh seorang patih yang menjadi wakilnya.11 Kabupaten dibagi menjadi distrik-distrik yang dipimpin oleh wedana, tiap-tiap wilayah distrik dibagi menjadi beberapa kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat. Sebutan untuk jabatan-jabatan pangreh praja di luar Jawa-Madura menyesuaikan dengan kondisi adat yang ada, seperti di Sumatera dan Kalimantan untuk kedudukan seorang wedana bisa disebut sebagai demang dan camat disebut districtshoofd (Lihat lampiran 1. Gubernur Jenderal pada tahun 1905 adalah Johannes Benedictus van Heutz yang menjabat pada 1 Oktober 1904 - 18 Desember 1909, dan Andries

10 Bayu Suryaningrat, op. cit, halaman 52-54.

11 “Aanteekeningen Nopens Het Voormalige Regentschap Tjaringin”, De Bestuursgids: voor Inlandsche Ambtenaren, No. 11, Mei 1928, Weltevreden, halaman 12. Lihat juga pada B. Alkema, op. cit, halaman 194.

(7)

Cornelis Dirk de Graeff yang memerintah pada 7 September 1926 - 11September 1931.12

Gambar 1. Peta umum Hindia Belanda abad ke -19

Sumber: J. Smulders, “Algeemene kaart van Nederlandsch Indië”, 1896-1870, diakses dari <https://www.loc.gov/item/2014589521/>, pada 29 Januari 2022.

Untuk pembagian wilayah administratif pangreh praja di Hindia Belanda ditemukan data pada abad 20, yaitu antara lain; Atjeh, Ooskust, Tapanoeli, Westkust, Riouw, Djambi, Benkoelen, Palembang, Lampoeng, Bangka, Bantam, Batavia, Buitenzorg, Priangan, Cheribon, Pekalongan, Banjoemas, Semarang, Kedoe, Rembang, Madioen, Bodjonegoro, Kediri, Soerabaja, Malang, Madoera,

12 B. Alkema, 1917, Ons Insulinde: Hoe We’t Verkregen en Wat Het Door Ons Werd, Deventer: Charles Dixon,halaman 330.

(8)

Besoeki, Jogjakarta, Soerakarta, West Borneo, South and East Borneo, Manado, Celebes, Moluccas, Timor, Bali dan Lombok.13

B. Tuntutan Desentralisasi pada Struktur Pemerintahan Hindia Belanda Awal Abad Ke-20

Merujuk pada pasal 59 Grondwet 1848: ministeriële verantwoordelijkheid14, raja adalah kekuasaan tertinggi dari seluruh tanah koloninya dan gubernur jenderal merupakan wakil raja sehingga semua yang berada di Hindia Belanda wajib menghormati dan menaati peraturan yang berlaku.15 Kekuasaan gubernur jenderal yang monopolistis merupakan bentuk konservatisme dalam ketatapemerintahan yang sulit untuk di reformasi. Memasuki tahun 1880-an mulai menguatnya tekanan perubahan dari kalangan orang-orang Belanda swasta yang bergerak dalam bidang ekonomi yang mendiami beberapa wilayah seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, dan Padang.

1. Latar Belakang Tuntutan Desentralisasi

Tuntutan dari kalangan nederlands burgerij untuk berada dalam tatanan pemerintahan dan kondisi Hindia Belanda yang semakin kompleks untuk

13 Anonim, 1938, Atlas van Tropisch Nederland, Amsterdam: Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskunding Gennotschap.

14 Grondwet atau Undang Undang Dasar tahun 1848: ministeriële verantwoordelijkheid Kerajaan Belanda merupakan undang-undang konstitusi yang mengatur tentang sistem pemerintahan Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, pendidikan, keuangan, kehakiman, pertahanan agama, amandemen, dan pengelolaan umum.

“Grondwet van 1848: ministeriële verantwoordelijkheid”, diakses dari

<https://www.denederlandsegrondwet.nl/id/vi7aaw43p5mk/grondwet_van_1848_

ministeriele>, pada 25 Januari 2022.

15 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 1.

(9)

ditangani oleh pemerintah pusat menjadi latar belakang tuntutan desentralisasi. 16 Pada sidang Tweede Kamer akhir tahun 1880, L.W.C.

Keuchenius membuka perdebatan untuk dibentuknya Gewestelijk raad17 sebagai suatu langkah yang diperlukan.18 Kemudian Gubernur Jenderal J.W.

van Lansberge pada tahun 1880 berkirim surat kepada Menteri Koloni W.

Baron van Goldstein untuk menghentikan perdebatan atas tuntutan desentralisasi dalam persidangan Tweede Kamer karena dirasa tidak ada manfaatnya sebab masyarakat Hindia Belanda belum cukup matang untuk sebuah perubahan seperti yang diusulkan.19

Persidangan selanjutnya, tahun 1881 usulan mengenai desentralisasi dilanjutkan oleh W.K. Baron van Dedem yang mengemukakan pendapatnya untuk mereformasi tata pemerintahan kolonial di Hindia Belanda. Hal ini muncul perlawanan dari penganut aliran konservatif dan dilema akan terjadinya perubahan hubungan keuangan dan penganggaran antara pemerintahan Belanda dan Hindia Belanda. J.Th. Cremer pada tahun 1887 yang membuat rancangan Undang-Undang Desentralisasi dan mengemukakan pendapat bahwa desentralisasi sebuah perubahan penting untuk seluruh penduduk di Hindia

16 Ibid, halaman 4.

17 Gewestelijk raad adalah suatu dewan berisi warga Eropa yang dapat berbicara untuk mengemukakan pendapat pribadinya.

18 H.W. van den Doel, 1922, De Stille Macht: Het Europese Binnenlands Bestuur op Java en Madura 1808-1942, Amsterdam: Bert Bakker, halaman 115.

19 Ibid, halaman 114-115.

(10)

Belanda.20 Desakan desentralisasi untuk daerah-daerah di Hindia Belanda bertujuan untuk kemudahan dalam menangani urusan dari berbagai bidang.21

Jabatan tinggi seperti jabatan menteri koloni, L.W.C. Keuchenius, W.K.

Baron van Dedem, dan J.Th. Cremer tidak dapat mewujudkan desentralisasi di Hindia Belanda. Upaya selanjutnya diteruskan oleh Mentri Koloni Belanda T.A.J. van Asch van Wijck tahun 1901 dan selanjutnya atas usul A.W.F Idenburg sebagai menteri koloni pada tahun 1903 mengajukan undang-undang desentralisasi yang tidak jauh berbeda dengan rancangan undang-undang sebelumnya yang langsung diterima oleh Belanda tanpa ada perdebatan seperti sebelumnya.22

Pada 23 Juli 1903 terbentuklah Undang-Undang Desentralisasi yang bernama Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlandsche dan dipublis melalui Nederlandsche Staatsblad tahun 1903 No. 219 dan juga melalui Indische Staasblad No. 329. 23 Undang-undang ini merombak Regeringsreglement dan mengacu pada pasal-pasal lingkungan kerja di bawah perintah pejabat tanpa keuangan sendiri. Pada pasal tersebut berubah menjadi pasal yang menentukan adanya dewan lokal yang memiliki sistem keuangan sendiri, perangkat sendiri, dan pendapatan daerah yang dapat memenuhi kebutuhan wilayah setempat.24 Disisipkan tiga pasal baru antara pasal 68 dan

20 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 8-9.

21 Handinoto, 2010, Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada masa Kolonial, Yogyakarta: Graha Ilmu, halaman 210.

22 H.W. van den Doel, op. cit, halaman 154-155.

23 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 13.

24 Bayu Surianingrat, op. cit, halaman 13.

(11)

pasal 69 yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Undang-Undang Desentralisasi hanya terdiri dari dua pasal. Pasal 1 terdiri dari tiga pasal baru tersebut, lebih jelasnya adalah berikut:

Pasal 1

Di dalam reglement tentang pokok-pokok kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda yang ditetapkan dengan Undang-Undang tanggal 2 September 1854 (staatsblad No. 129), setelah pasal 68 disisipkan tiga pasal:

Pasal 68a.

Jika keadaan memungkinkan untuk wilayah atau bagian-bagian dari wilayah akan diberikan uang dari daerah yang bersangkutan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah itu. Penunjukan wilayah atau bagian dari wilayah, di mana ketentuan di atas akan diterapkan, sejumlah uang dipisahkan dan kebutuhan yang bersangkutan tidak akan dibiayai lagi dari keuangan umum Hindia Belanda, diselenggarakan dengan ordonansi.

Pasal 68b.

Pengurusan dan pertanggung jawaban dari keuangan sendiri dari wilayah atau bagian wilayah diatur dengan peraturan umum dan pengawasan atas pertanggung jawaban dari bendaharawan tidak diatur dengan cara lain. Pengurusan pengeluaran tersebut sedapat mungkin diserahkan kepada dewan yang akan dibentuk dengan ordonansi untuk tiap wilayah, di mana ditetapkan ketentuan dari ayat satu pasal 68a.

Atas beban satu wilayah atau bagian dari wilayah tidak dapat diadakan pinjaman uang atau dijaminkan kecuali dengan syarat penguatan dari keputusan tersebut dengan ordonansi.

Pasal 68c.

Dewan-dewan yang dimaksud dalam ayat dua dari pasal 68b, berwenang untuk memperjuangkan kepentingan daerah, untuk mana dibentuk, kepada Gubernur Jenderal.25

Pasal-pasal di atas bertujuan untuk menjelaskan secara detail mengenai aturan desentralisasi yang ingin diterapkan. Bagaimanapun hasil yang dicapai

25 Ibid, halaman 13-14.

(12)

dalam penerapan asas desentralisasi dalam Undang-Undang Desentralisasi memberikan perubahan dalam pemerintahan. Undang-Undang Desentralisasi merupakan undang-undang pertama yang dikeluarkan di Hindia Belanda.26

2. Implementasi Decentralisatie Wet 1903

Motif utama perundang-undangan desentralisasi adalah untuk membuka peluang terbentuknya pemerintahan lokal dan mengalihkan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah-daerah tertentu27 dan juga kepada bagian-bagian dalam suatu wilayah tertentu28 untuk melaksanakan pemerintahan sendiri.29 Penerapan desentralisasi memerlukan waktu yang lama baik dalam implementasi undang-undanganya maupun perwujudannya di lapangan. Tidak memungkinkan dalam jangka waktu 5-10 tahun hasilnya akan langsung terlihat. Ada faktor lain atas keterlambatan penerapan desentralisasi, antara lain disebabkan kurang cakapnya pejabat pembuat keputusan dan pejabat birokrasi pemerintahan yang hanya mengenal asas sentralisme.30

Setelah dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Konninklijke Besluit pada akhir tahun 1904 yang berisi tentang pokok-pokok pembentukan, susunan kedudukan, dan wewenang dewan

26 Teti Hestiliani, “Decentralisatie Wet Van Nederland Indies 1903”, ISTORIA, Vol. 15 No. 2, 2019, halaman 212.

27 Disebut dengan istilah gewesten yang setingkat dengan provinsi.

28 Disebut dengan istilah gedeelten van gewesten yang kemudian sering dirujuk dengan istilah afdelingen yang setingkat dengan kota.

29 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 16-23.

30 Ibid, halaman 25.

(13)

lokal31 terhadap pengelolaan uang yang terpisah dari pusat. Selain itu juga dibentuk Local Raden Ordonnantie yang menjelaskan tentang susunan, tugas, dan tata kerja dewan lokal.32 Undang-undang dan aturan dasar tersebut sebagai syarat diubahnya status untuk menjadi daerah otonom sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Decentralisatie Wet 1903. Decentralisatie Wet 1903 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutz (1904- 1909)33 menciptakan dewan-dewan lokal (dewan kerasidenan atau lokal dan dewan kota) 34 sebagai lembaga hukum yang memiliki wewenang atas pembuatan peraturan. Secara garis besar desentralisasi mencakup tiga hal, antara lain:

a. Pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat di Belanda ke pemerintah Hindia Belanda, berlanjut dari pemerintahan ke departemen, pejabat lokal, dan dari pejabat Belanda ke pejabat pribumi.

b. Menciptakan daerah otonom yang dapat mengurus urusan daerahnya sendiri.

c. Memisahkan keuangan negara dan keuangan pribadi.35

31 Dewan lokal tidak dibentuk di seluruh wilayah, hanya wilayah-wilayah yang memungkinkan saja dibentuknya dewan lokal. Dewan lokal bukan perwakilan rakyat dan hanya terdiri dari beberapa orang pejabat pemerintah.

Dewan lokal juga bukan Pemerintah Daerah.

32 Ibid, halaman 27.

33 Gerry van Klinken, 2003, Minorities, Modernity, and the Emerging Nation:

Christians in Indonesia A Biograpichal Approach, Leiden: KITLV Press, halaman 40. Lihat juga pada Bayu Surianingrat, op. cit, halaman 23.

34 B. Alkema, op. cit, halaman 197.

35 Teti Hestiliani, op. cit, halaman 213.

(14)

Pada tahun 1905 dibentuk suatu gementeen atau gewest yang terdiri dari Batavia, Meester-Cornelis (Jatinegera), dan Buitenzorg (Bogor) serta disusul berturut-turut Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, dan Makassar yang dibentuk pada 1906.36 Daerah-daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah yang sudah disetujui untuk diterapkan asas desentralisasi yang cukup banyak dihuni oleh nederlands burgerij. Pada akhirnya tujuan desentralisasi tidak mudah dilaksanakan terlebih untuk meringankan tugas-tugas pemerintah pusat. Decentralisatie Wet hanya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan para nederlands burgerij demi kepentingan dalam membangun dinasti politik di daerah-daerah Hindia Belanda.

Kompleksitas dalam kehidupan masyarakat dan pengembangan kebutuhannya sendiri menumbuhkan tingkat kepentingan yang berbeda-beda hingga muncul benturan pada desentralisasi. Setelah bertahun-tahun menerapkan desentralisasi dan membentuk gemeente dan gewest, ditetapkan bahwa pada tanggal 1 Januari 1926 provinsi West-Java atau yang dulu disebut Pasoendan diresmikan dan difungsikan sebagai daerah pertama penerap konsep desentralisasi di tanah kolonial. Provinsi Pasoendan membawahi empat keresidenan, yaitu Banten, Batavia, Preanger, dan Chirebon. Dilanjut oleh Provinsi Oost-Java pada 1 Januari 1929 dan Provinsi Midden Java pada 1 Januari 1930.37

36 Soetandyo Wignjosoebroto, op. cit, halaman 28-29.

37 Ibid, halaman 86-87.

(15)

C. Kedudukan Birokrasi Binnenlandsch Bestuur dan Pangreh Praja pada Struktur Pemerintahan Hindia Belanda Awal Abad ke-20 Tatanan tertinggi sistem pemerintahan di Hindia Belanda ditetapkan kekuasaan-kekuasaan antara lain Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal), Dewan Hindia (Raad van Nederlands-Indie), dan Dewan Rakyat (Volksraad).38 Gubernur jenderal dalam lingkar pusat pemerintahan modern Hindia Belanda memegang kendali seluruh wilayah. Perintah gubernur jenderal merupakan tolok ukur bagi birokrasi-birokrasi yang tersusun di bawahnya. Gubernur jenderal wajib memberikan laporan hasil pengamatan keadaan Hindia Belanda dan pemerintahan Hindia Belanda kepada Parlemen Belanda (Staten-Generaal). Perihal urusan internal wewenang sepenuhnya ada pada gubernur jenderal dan dewan rakyat.

Gubernur jenderal juga mempunyai penasihat yang juga ditunjuk oleh Raja Belanda, walaupun tetap dalam pengambilan keputusan berada di tangan gubernur jenderal. Selain penasihat, gubernur jenderal juga dibantu oleh residen yang berkedudukan di provinsi serta asisten residen berkedudukan di kabupaten bersamaan dengan controleur. Asisten residen dan controleur diangkat oleh gubernur jenderal yang bertugas untuk mengawasi bupati dan wedana dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Pada penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda mencakup kesatuan wilayah yang dapat dibedakan antara lain:

1. Wilayah gubernemen adalah wilayah yang diperintah secara langsung oleh pejabat-pejabat gubernemen.

38 A. Daliman, op. cit, halaman 82.

(16)

2. Wilayah swapraja (zelfs bestuurende Landschappen) adalah wilayah yang pemerintahannya diserahkan kepada raja-raja pribumi yang tunduk dan mengakui Pemerintahan Belanda sebagaimana yang tertuang dalam verklaring.39

Penyesuaian tata pemerintahan dibuat untuk memperingan beban kerja pemerintah pusat dengan memberi sebagian urusan kepada perangkat pemerintahan daerah (administrative hervorming) dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk andil dalam tata penyelenggaraan pemerintahan (staatkundige hervorming). Korps kepegawaian di Hindia Belanda yang disusun dengan hirarki dan digaji sehingga terdapat jurang pemisah antara kepentingan pribadi dan jabatan.40

Sistem pemerintahan Hindia Belanda menganut dualistik yang bertujuan untuk memanfaatkan struktural yang efektif dan efisien. Pemanfaatan ini juga bertujuan untuk mempertahankan hegemoni dan memberikan otoritas kepada penguasa lokal.41 Sistem dualistik yang diterapkan dibagi menjadi dua antara lain pemerintahan Belanda yaitu Binnenlandsch Bestuur dan pemerintahan pribumi

39 Verklaring yang dimaksud adalah pernyataan. Verklaring ini ada dua, ialah korte verklaring (pernyataan pendek) dan lang contract (kontrak panjang). Pada korte verklaring disampaikan bahwa kepala swapraja (raja atau sultan dan/atau istilah gelar lainnya) mengakui kekuasaan tertinggi di tangan Raja Belanda dan tunduk dalam aturan-aturan yang berlaku, menaati perintah gubernemen, dan tidak melakukan perjanjian dengan kekuasaan atau negara lain. Lainnya dalam lang contract mengatur satu persatu hak dan kewajiban kepala swapraja dan gubernemen. B. Alkema, op. cit, halaman 190-191.

40 Heather Sutherland, 1983, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta:

Sinar Harapan, halaman 8.

41 Anak Agung Gde Putra Agung, 2001, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 3.

(17)

yaitu Inlands Bestuur atau disebut juga pangreh praja. Birokrasi Binnenlandsch Bestuur (direct rule) terdiri dari Gubernur, Residen, Asisten Residen, dan Controleur. Pada Inlands Bestuur atau pangreh praja (indirect rule) terdiri dari Bupati, Patih, Wedana, dan Camat. Salah satu contoh daerah indirect rule seperti Surakarta, Yogyakarta,42 Bali, dan Lombok.43 yang sebelum kedatangan Belanda sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri.44 Daerah direct rule adalah daerah yang sistem pemerintahan dipimpin langsung oleh pegawai Eropa, contohnya adalah Batavia, Jawa Barat, Jawa Timur. Pangreh praja berada di bawah pengawasan Binnenlandsch Bestuur dengan membantu melaksanakan sistem pemerintahan atas orang Eropa, Timur Asing dan Jepang.45

Pangreh praja memiliki signifikansi di luar Pulau Jawa-Madura dengan 6 juta penduduk yang tinggal di wilayah mereka sendiri dari 14 juta penduduk. Jawa sendiri 7% wilayah ditempati oleh Native States 46 yang disebut dengan Vorstenlanden.47 Upaya Belanda dengan mendekati para raja atau kepada adat untuk mengikuti keinginan Belanda yaitu tunduk dalam pemerintahan Belanda.

Hal ini bertujuan mempertahankan kerajaan dan mengembangkannya dengan wilayah-wilayah yang tergabung dalam perintah secara langsung. Demikian

42 Bayu Surianingrat, op. cit, halaman 52.

43 Ide Anak Agung Gde Agung, 1993, Kenangan Masa Lampau: Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, halaman 67.

44 Eka Yuli Prasetya, “Kehidupan dan Pendidikan Belanda Kaum Priyayi Jawa Abad XX”, Skripsi, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2009), halaman 17.

45 Bayu Surianingrat, op. cit, halaman 53.

46 Native States adalah pemerintahan lokal pribumi atau kerajaan.

47 Dr. J. Stroomberg (diterjemahkan oleh Heri Apriyono), 2018, Hindia Belanda 1930, Yogyakarta: IRCiSoD, halaman 106.

(18)

dengan kerajaan-kerajaan kecil yang tidak penting digabung untuk menjadi kerajaan besar supaya dapat mengembangkan wilayah yang lebih luas lagi.

Kinerja ini dilakukannya dengan pengawasan melalui para pejabatnya yang kemudian dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Binnenlandsch Bestuur merupakan pemegang kekuasaan atas segalanya yang kebanyakan pegawainya berasal dari Negeri Belanda dengan standarisasi pendidikan tinggi.48 Binnenlandsch Bestuur juga menjadi sendi utama dari pemerintahan kolonial yang membentuk kelancaran sistem kerja pemerintahan Hindia Belanda yang nantinya akan melangsungkan sistem kolonial modern sebagai jaminan atas kolonialisme Belanda di Indonesia. Tugas dari Binnenlandsch Bestuur mulai dari gubernur, residen, asisten residen sampai controleur, dan pegawai-pegawai pertanian irigasi, kesehatan rakyat dan seterusnya berada di lapangan.49 Binnenlandsch Bestuur adalah instansi yang mengurus birokrasi-birokrasi dengan penanganan pelayanan masyarakat hingga daerah dan juga korps kepegawaian kolonial Belanda melakukan hubungan kerjasama dengan inlandse vorsten en groten (raja dan petinggi pribumi)50

Hal ini dapat diamati dari struktur organisasi Departemen Binnenlandsch Bestuur abad ke-19 dan perubahannya pada awal abad ke-20.

48 OngHokHam, 2014, Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, halaman 58.

49 Ibid, halaman 62.

50 Francien van Anrooij, 2009, De Koloniale Staat 1854-1942, Den Haag:

Nationaal Archief, halaman 11.

(19)

Bagan 2. Struktur Organisasi Departemen Binnenlandsch Bestuur abad 19

Sumber: Inventaris Arsip Binnenlandsch Bestuur Serie Toegangen (1887-1949).

Kepala Inspektur Penanaman

Sekretaris Pegawai

pengaturan penanaman Penasihat kehormatan

pemerintah kolonial Belanda untuk urusan pribumi

Urusan Budidaya Kopi Urusan Budidaya

Gula dan Beras, Sistem Pedesaan dan apa yang

terdapat di dalamnya

Direktur

(20)

Bagan 3. Struktur Organisasi Departemen Binnenlandsch Bestuur abad 20

Sumber: Inventaris Arsip Binnenlandsch Bestuur Serie Toegangen (1887-1949).

Sekitar tahun 1917-1921 banyak lapisan pribumi dan non-Eropa mulai memahami cara berorganisasi dan memiliki kesadaran nasional yang penuh. Hal ini dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah yang menuntut adanya partisipasi masyarakat dari dua kalangan tersebut untuk menduduki kursi yang lebih terstruktur dan terorganisir dalam susunan pemerintahan Hindia Belanda. Namun tidak ada kesempatan bagi masyarakat pribumi untuk menjabat dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda sebab kurangnya kemampuan masyarakat pribumi dalam mengatur wilayahnya sendiri. Perbedaan pemahaman makna atas

(21)

pembaharuan struktur pemerintahan kolonial ini antara golongan pegawai Eropa dan pangreh praja rupanya membawa kesan yang juga berbeda. Bagi pegawai Eropa hal tersebut merupakan sebuah peluang politik, sedangkan bagi pangreh praja merupakan peluang kultural, sosial, dan pendidikan. Hanya melalui taraf pendidikan tinggi mereka dapat memperoleh pengakuan sejajar dengan orang- orang Eropa. Proses pendidikan yang harus ditempuh wajib dilewati atas dasar eropanisasi atau disebut vernederlansing.51

Seiring dengan mulai majunya pendidikan di tanah kolonial yang diupayakan oleh pemerintah dalam memenuhi rangkaian politik etik, menimbulkan kekhawatiran besar bagi pemerintah Belanda atas keseimbangan kekuasaan di Hindia Belanda antara Binnenlandsch Bestuur dan Pangreh Praja. Menurut Ritsema van Eck dua pemerintahan di Hindia Belanda antara lain Binnenlandsch Bestuur dan pangreh praja memiliki asasi yang berbeda dan terpisah dengan ciri khas masing-masing.52 Binnenlandsch Bestuur yang menonjolkan pemerintahan ala barat dengan peradaban maju dengan kekuatan ekonominya yang bersifat formal. Bagi pangreh praja sesekali dipengaruhi oleh orang-orang Eropa dalam menjabat, karena masih primitif dan belum banyak perbedaan sehingga harus menyeimbangkan tanpa adanya keterlibatan dari asing.

51 P.A.A. Koesoemojoeda, “Soedah 25 Tahoen Mendjadi Regent”, De Bestuursgids: voor Inlandsche Ambtenaren, No. 1, 20 Juni 1926 , Weltevreden, halaman 5-6.

52 S. Ritsema van Eck, 1912, De Reorganisatie van Het Bestuur in Nederlandsch-Oost Indie, Amsterdam: de Bussy.

(22)

D. Munculnya Perhimpunan-Perhimpunan Pribumi sebagai Badan Intervensi Sistem Birokrasi Binnenlandsch Bestuur

Kinerja pegawai dalam badan Binnenlandsch Bestuur mengalami kemajuan yang pesat namun dibalik itu juga beredar mengenai permasalahan antar pegawai ataupun antar priyayi sebagai pangreh praja. Direktur Binnenlandsch Bestuur, Simon de Graaff (1906-1910) menginginkan lingkungan pangreh praja dibatasi antara pegawai tingkat tinggi seperti asisten wedana, wedana, patih, bupati, dan jaksa dengan pegawai rendahan seperti pesuruh, manteri, dan juru tulis. Hal ini digunakan sebagai dasar penerimaan dan kenaikan pangkat pangreh praja serta menetapkan kuota yang tepat bagi mereka yang disebabkan oleh pendidikan yang dijalani. Pada jabatan bupati sangat dipentingkan sekali. Sebelumnya sudah ada suara-suara terkait perombakan sistem perekrutan bupati dengan tidak harus melalui keturunan karena cenderung melemahkan jabatan pangreh praja.

Permasalahan yang ada dalam Binnenlandsch Bestuur, pangreh praja membentuk perhimpunan-perhimpunan. Perhimpunan-perhimpunan ini dibuat dengan berbagai tujuan namun yang menjadi tujuan dasar ialah kepentingan politik masing-masing jabatan dan juga sebagai bentuk aspirasi pangreh praja.

Adapun beberapa himpunan-himpunan tersebut antara lain; Inlandsche Ambtenaren Vereeniging Mangoen Hardjo, Oud Osvianen Bond (OOB), 53 Ongediplomeerde Indlansche Bestuurambtenaren Bond (OIBA), Perhimpunan Bupati, dan gerakan Mardi Oetomo.54 Adanya perhimpunan-perhimpunan ini

53 “Voor de Autonomie van Indië”, Batavia Nieuwsblad, 30 Desember 1921.

54 Heather Sutherland, op. cit, halaman 141.

(23)

bertujuan untuk menetapkan pemerintahan pribumi bagi Indonesia.55 Hanya beberapa perhimpunan penting yang berperan untuk mewakili bagian-bagian tertentu dalam pangreh praja. Perhimpunan-perhimpunan di atas memiliki peran dalam bidang masing-masing dalam pergerakannya:

1. Inlandsche Ambtenaren Vereeniging Mangoen Hardjo

Inlandsche Ambtenaren Vereeniging Mangoen Hardjo56 merupakan perhimpunan yang lebih profesional dibanding dengan Perhimpunan Bupati yang maka dari itu bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi antar pegawai dalam semua ras. Tujuan tersebut tidak tercapai sementara disisi lain muncul gerakan-gerakan yang mementingkan kedudukan priayi. Tujuan Perhimpunan Mangoen Hardjo untuk meningkatkan pendidikan pribumi dan pada saat yang sama berusaha untuk memberikan perempuan pendidikan yang sesuai dengan laki-laki. Dengan perhimpunan ini Pangreh Praja naik selangkah lebih tinggi dari posisi lamanya. Kegiatan perhimpunan ini juga didukung oleh pejabat-pejabat Belanda, salah satunya van Deventer sebagai pejabat administrasi Eropa yang menyumbangkan 250 gulden untuk kursus arsitek yang dibuat oleh Perhimpunan Mangoen Hardjo bahkan setelah ia meninggal. Asosiasi ini terbuka untuk semua pejabat pemerintah asing, yang termasuk dalam semua cabang layanan masyarakat. Perihal gaji yang diberikan untuk pegawai pribumi tidak sepadan maka dari itu dibentuklah

55 “Autonomie”, Het nieuws van den dan voor Nederlandsch-Indië, 11 Januari 1922.

56 Dalam bahasa Indonesia arti Mangoen Hardjo adalah Membangun Kesejahteraan.

(24)

Mangoen Hardjo yang meminta kepada pemerintah untuk menaikan gaji dan ganti rugi sewa tanah.57

Begitu pula dengan Inlandsche Ambtenaren Vereeniging Mangoen Hardjo yang didirikan oleh Aboekassan Atmodirono pada 1911 beranggotakan 2000 orang dan 24 pengurus divisi di Jawa dan Madura.

Selama hampir 10 tahun didirikan banyak perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh perhimpunan Mangoen Hardjo dalam dunia pegawai pribumi (pangreh praja).58 Hal ini dilakukan sebagai bentuk proses pembangunan Hindia Belanda.

2. Oud Osvianen Bond (OOB)

Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB) dibentuk untuk mensejahterakan pegawai pribumi yang berada di naungan Binnenlandsch Bestuur seperti yang ditulis oleh Soetardjo dalam koran Locomotief dengan judul “Ingezonden Stukken” dibentuknya perhimpunan ini melihat bahwa pegawai-pegawai pribumi khususnya lulusan OSVIA mengalami ketidakadilan dalam jabatan-jabatan yang diemban sehingga membuat kinerja pegawai samakin buruk dan bahkan lebih tepatnya ‘mati’. Kebanyakan anggota perhimpunan ini ialah alumni lulusan OSVIA lama yang generasinya sudah mulai tua dan juga memiliki pandangan, ide dan minat yang sama.59

57 “Semarangsche Nieuwtjes”, De Expres, 12 Agustus 1913.

58 R.A van Sandick, 1921, Levensschetsen van Vooraanstaande Indonesiers:

M. Aboekassan Atmodirono, Amsterdam: Hadi Poestaka, halaman 4.

59 “Organisatie van Inlandsche B. B.-ambtenaren”, De Locomotief, 20 Desember 1917.

(25)

Tidak semua lulusan OSVIA menjadi anggota perhimpunan ini. Adapula yang tidak setuju adanya perhimpunan ini yang juga termasuk lulusan OSVIA karena tidak semua lulusan OSVIA yang memiliki visi misi tersebut dan diberkahi dengan jabatan-jabatan tinggi dalam Binnenlandsch Bestuur.

Artikel yang ditulis dalam koran De Locomotief yang bertajuk “Organisatie van Inlandsche B. B.-ambtenaren” menunjukkan ketidakberpihakkan penulis terkait pembentukkan OOB.

Pegawai pangreh praja yang lebih muda dianggap oleh para OOB tidak kompeten bukan karena biaya upah yang rendah hingga membuat administrasi publik menjadi tidak menarik melainkan perlakuan buruk yang dilakukan pegawai muda ini yang muak dengan Binnenlandsch Bestuur.60 Tujuan utama didirikannya perhimpunan OOB ini adalah memperjuangkan persatuan, mempelajari pertanyaan-pertanyaan penting, peningkatan pelatihan, dan segala sesuatu yang dapat berkontribusi pada peningkatan martabat pegawai pribumi. OOB dibentuk pada 1917 dan dibubarkan di Semarang pada 1923 (Lihat lampiran 2).

3. Ongediplomeerde Inlandsche Bestuurambtenaren Bond (OIBA)

Perhimpunan pertama yang didirikan oleh priayi yang bukan lulusan sekolah OSVIA juga menimbulkan dampak bagi struktur pemerintahan BB.

Ongediplemeerde Indlansche Bestuurambtenaren Bond atau disebut Perhimpunan Pegawai Negeri Pribumi Tak Berijazah (OIBA) yang didirikan

60 “De Oud-Osvianen-Bond, (Van een specialen verslaggever.)”, De Preanger-Bode, 7 Agustus 1920.

(26)

oleh Manteri Polisi R. Oeripan yang bertujuan untuk memajukan anggota- anggotanya dengan memperjuangkan perolehan gaji serta syarat-syarat kerja yang sesuai dan lebih baik. Perjuangan dari perhimpunan OIBA dalam praktiknya mengedepankan untuk tidak dilakukannya persyaratan pendidikan tertentu untuk berbagai kepangkatan. Selain itu juga mengajukan keadilan gaji dan pengikisan jabatan dari pegawai-pegawai yang berasal dari sekolah tak berijazah.

4. Perhimpunan Bupati

Kalangan reformasi Eropa dan kaum demokrat Hindia Belanda hanya memiliki jumlah sekutu kecil yang ada dikalangan pangreh praja. Salah satu pencetus perhimpunan pertama dalam ruang lingkup korps pribumi adalah Perhimpunan Bupati yang isinya hanya bupati-bupati dan tidak ada anggota berasal dari pangreh praja yang memiliki pandangan lebih elit daripada korps.

Fungsi dari himpunan ini semacam serikat buruh, untuk menyiapkan memorandum, melakukan lobi kepada gubernur jenderal, dewan Volksraad dan direktur BB untuk mendapat upah dan uang pensiun yang sepadan.61

5. Gerakan Mardi Oetomo

Gerakan Mardi Oetomo merupakan sebuah reaksi yang bersifat melindungi diri untuk para pejabat rendahan di Jawa Barat yang berasal dari keturunan yang tidak terlalu tinggi. Sebagian besar anggotanya memiliki gelar kebangsawanan yang rendah dan hanya menjabat sebagai juru tulis atau

61 Heather Sutherland, op. cit, halaman 138.

(27)

juru tulis pembantu.62 Gerakan ini dibentuk setelah OIBA didirikan 1918.

Tujuan gerakan ini sama seperti OIBA yang ingin memperjuangkan kemajuan anggota-anggotanya. Gerakan Mardi Oetomo pada 1920 menerbitkan majalah bulanan yang diberi nama yang sama yaitu Mardi Oetomo.

Dari perhimpunan-perhimpunan di atas, hanya empat perhimpunan yang terpenting dalam mengubah beberapa struktur pemerintah, terutama dalam Departemen Dalam Negeri. Perhimpunan-perhimpunan tersebut antara lain;

Perhimpunan Bupati, OOB, OIBA, dan gerakan Mardi Oetomo.63 Struktur Binnenlandsch Bestuur tidak langsung berubah dengan munculnya perhimpunan- perhimpunan tersebut. Namun dengan pergerakan-pergerakan yang dibuat oleh kaum-kaum nasionalis untuk kepentingan pribumi sendiri, sangat bekerja dengan baik dan memunculkan struktur Binnenlandsch Bestuur yang adil tanpa keberpihakan. Sistem birokrasi akan terus selalu diperbarui demi kepentingan administrasi Indonesia begitupun struktur di dalamnya. Penghapusan kerja magang, pengangkatan bupati dari non-keturunan, bahkan pengangkatan pegawai dengan sistem ujian bagi seluruh pengampu pendidikan di luar sekolah pegawai merupakan cara-cara maju bagi pembenahan struktur pemerintahan yang telah diperjuangkan untuk keadilan masyarakat.

62 Ibid, halaman 141.

63 Ibid, halaman 141.

Gambar

Gambar 1. Peta umum Hindia Belanda abad ke -19

Referensi

Dokumen terkait