• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN SECARA SEPIHAK PERJANJIAN KERJASMA PENGELOLAAN LAHAN PARKIR ANTARA RUMAH SAKIT KOTA MATARAM DENGAN PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBATALAN SECARA SEPIHAK PERJANJIAN KERJASMA PENGELOLAAN LAHAN PARKIR ANTARA RUMAH SAKIT KOTA MATARAM DENGAN PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBATALAN SECARA SEPIHAK PERJANJIAN KERJASMA PENGELOLAAN LAHAN PARKIR ANTARA RUMAH SAKIT KOTA

MATARAM DENGAN PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA

Jurnal Ilmiah

Oleh:

SIGIT WIDIA PUTRA NIM : D1A 114240

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

2020

▸ Baca selengkapnya: perjanjian sewa lahan parkir

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

PEMBATALAN SECARA SEPIHAK PERJANJIAN KERJASMA PENGELOLAAN LAHAN PARKIR ANTARA RUMAH SAKIT KOTA

MATARAM DENGAN PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA

Jurnal Ilmiah

Oleh:

SIGIT WIDIA PUTRA NIM : D1A 114240

Menyetujui:

Pembimbing Pertama I

Dr. Djumardin, SH., M.Hum NIP: 196308091988031001

(3)

PEMBATALAN SECARA SEPIHAK PERJANJIAN KERJASMA PENGELOLAAN LAHAN PARKIR ANTARA RUMAH SAKIT KOTA

MATARAM DENGAN PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA SIGIT WIDIA PUTRA

NIM : D1A 114240

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK

Tujuan penelitian untuk mengetahui kerjasama melalui kontrak kerjasama pengelolaan lahan parker antara Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram dengan PT. Primamitra Sejahtera dilakukan pemutusan perjanjian secara sepihak dan bagaimanakah Pola Penyelesaian Sengketa dalam kerjasama pengelolaan lahan parker antara Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram dengan PT. Primamitra Sejahtera. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yaitu: 1). Oleh karena para pihak telah sepakat bahwa apabila Pihak Kedua yang telah diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut untuk permasalahan yang sama tetapi tidak ada tindakan/usaha perbaikan dari Pihak Kedua, maka Pihak Pertama mempunyai hak mengakhiri perjanjian dengan pemberitahuaan secara tertulis 30 (tiga puluh) hari sebelumnya”, maka berdasarkan asas Pacta Surservanda (mengikatnya perjanjian sebagaimana mengikatnya Undang-Undang) Para Pihak harus patuh terhadap apa yang telah disepakati termasuk dalam hal pembatalan perjanjian kerjasama secara sepihak. 2).

Pola penyelesaian perselisihan yang ditempuh oleh para pihak dalam dalam kerjasama pengelolaan lahan parker adalah melalui musyawarah mufakat dan Pihak kedua menerima pembatalan secara sepihak yang dilakukan oleh pihak pertama.

Kata Kunci ; Perjanjian , Pembatalan Secara Sepihak.

TERMINATION UNILATERALLY OF COOPERATIVE AGREEMENT FOR PARKING AREA MANAGEMENT BETWEEN MATARAM CITY HOSPITAL AND

PT. PRIMAMITRA SEJAHTERA ABSTRAK

This research aims to find out collaboration through cooperation contract of Parking Area Management between Mataram City Hospital and PT. Primamitra Sejahtera where the agreement was terminated unilaterally and how the dispute resolution of this case. The method of this research is normative legal research. The result of this research experienced that 1.) The parties have agreed that If the second party is warned three times in a row in the same problems but there is no effort to do improvement from the second party, therefore The First Party has authority to terminate unilaterally with notification letter 30 (thrty) in advance. Base on the Pacta Sunt Servanda Principle (binding agreement as binding a law) the parties must comply with the agreement which has been made including terminate agreement cooperation unilaterally. 2.) The dispute resolution pursued by the parties in cooperative agreement for parking area management is a negotiation for consensus and the second party accepted the termination unilaterally carried out by the party.

Keywords: Agreement, Termination Unilaterally.

(4)

I. PENDAHULUAN

Kontrak di dalam dunia bisnis merupakan sebuah keharusan, kontrak yang mengatur hubungan hukum bagi pelaku bisnis penting untuk menjaga keberlangsungan transaksi serta terlaksananya prestasi yang telah dijanjikan.

Bahkan lebih jauh dapat dipahami, kontrak bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan/ hak dasar bagi para pihak.1

Kontrak perjanjian dengan melibatkan peran serta swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik (public private partnership) mengemuka cukup kuat pada beberapa tahun terakhir. Gagasan pemberian peran yang lebih besar pada swasta ini dilatarbelakangi semangat untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 194 dan Pasal 195 telah membuka kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik Pemerintah Daerah lain maupun Pihak ketiga yaitu Departemen/ Lembaga Non Departemen atau sebutan lain, Perusahaan swasta yang berbadan hukum, BUMN, BUMD, koperasi, yayasan dan lembaga lainnya di dalam negeri yang berbadan hukum.

Bagi Pemerintah Daerah pembiayaan pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) juga dirasakan semakin terbatas jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai alternative pendanaan yang tidak jarang melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-proyek Pemerintah.2

Salah satu alternatif yang sering digunakan adalah penggunaan model kerjasama penyediaan dan pelayanan lahan (parkir) untuk kebutuhan pihak rumah sakit yang setiap saat mengalami kesulitan yang disebabkan oleh tidak berimbangnya pengembangan fasilitas dengan berkembangnya sarana

1Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam KontrakKomersial, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2013), hlm. 96

2 Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (BuildOperate Transfer), (Solo: Genta Press, 2008), hlm. 1.

(5)

transoportasi yang digunakan oleh masyarakat baik kendaraan roda dua ataupun kendaaraan roda empat dalam kunjungan ke rumah sakit.

Hal ini misalnya yang dilakukan oleh Pihak Rumah Sakit Kota Mataram dengan pihak swasta selaku pengelola parker.

Meskipun awalnya berjalan lancar, akan tetapi dalam perkembangannya, terdapat beberapa kewajiban dari PT. Primamitra Sejahtera yang tidak dilaksanakan sesuai dengan perjanjian kerjasama, misalnya pembayaran pajak, perbaikan fasilitas parker dan penyesuaian terhadap tarif parker.

1. Pengertian Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan perjanjian menunjuk kepada dua hal yang berbeda.

Dimana perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang masih bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum itu melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat di dalam hubungan hukum tersebut.3

Perikatan dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah verbintenis.4 Verbintenis berasal dari kata kerja Verbiden, yang artinya mengikat. Sehingga Verbintenis dapat dimaknai pada adanya “ikatan” atau “hubungan” dan dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum. Dalam KUH Perdata khususnya buku III tidak terdapat pengertian atau definisi perikatan, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan dalam perikatan, pengertian perikatan dapat diketahui dengan pendekatan ilmu hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum perdata.

Sudikno Mertokusumo mendefiniskan perikatan sebagai “hubungan hukum antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.”5

Karena perikatan masih bersifat abstrak sehingga diperlukan suatu perjanjian yang isinya memuat perikatan diantara beberapa pihak. Setiap Perjanjian memuat perikatan, tetapi tidak semua perikatan senantiasa dibuat

3 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir dari perjanjian, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2002,hlm.1

4 J.C.T Simorangkir,Rudy T.Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Cet.7, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.177

5 Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2014 , hlm.3

(6)

perjanjiannya. Dengan demikian, perikatan bersifat umum melingkupi berbagai bentuk perjanjian.6

Sedangkan mengenai pengertian perjanjian dapat ditemukan di dalam KUH Perdata dan pendapat para sarjana. Adapun pengertian perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III bab kedua bagian kesatu pasal 1313 yaitu “Suatu persetujuan adalah perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.”

Para sarjana hukum perdata pada umunya berpendapat bahwa rumusan definisi atau pengertian perjanjian yang ada dalam pasal 1313 KUHPerdata terdapat kelamahan-kelamahan. Kelemahan-kelemahan itu dapat diketahui sebagai berikut :7

Hanya menyangkut perjanjian yang bersifat sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya dating dari satu pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikat diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangan dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”.Jadi mencerminkan adanya suatu kesepakatan dari masing- masing kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

Kata perbuatan mencangkup juga tiada kesepakatan. Dalam artian perbuatan itu termasuk juga perbuatan yang mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum.kedua tindakan tersebut dapat merupakan perbuatan yang tidak mengandung kesepakatan sama sekali atau tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Pada dasarnya perjanjian merupakan satu istilah diambil dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract (Inggris).8Overeenkomst sendiri berarti persetujuan atau permufakatan.9

6 Ibid,.

7 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1984, hlm.45-46

8Salim HS,Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Cet.7, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.160

9 J.C.T Simorangkir, Rudy T.Erwin,J.T Prasetyo, Op,cit ,hlm.118

(7)

II. PEMBAHASAN Pembatalan Perjanjian secara Sepihak

1. Deskripsi Kasus Posisi

a. Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Parkir antara Dr. H.L.

Herman Saputra selaku Direktur RSUD Kota Mataram dengan M. Arif Dellen, S. Kom selaku Direktur PT. Primamitra Langgeng Sejahtera (D. Parking) tertanggal 15-3-2016 telah mengikatkan diri untuk menjalin kerjasama dalam pengelolaan lahan perkir di RSUD Kota Mataram.

b. Bahwa perjanjian kerjasama ini berlaku selama 5 (lima) tahun dengan kesepakatan antara lain bahwa PIHAK KEDUA diwajibkan membangun fasilitas induk perparkiran, membayar uang sewa lahan parkir kepada PIHAK PERTAMA sebesar Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) setiap bulannya, membayar pajak parkir ke Dispenda dan mengasuransikan kendaraan yang diparkir pada areal parkir RSUD Kota Mataram.

c. Bahwa dalam pelaksanaannya (selama kurang lebih 2 tahun) ada beberapa kewajiban PIHAK KEDUA yang belum dilaksanakan yaitu pembangunan fasilitas induk perparkiran, pembayaran pajak ke Dispenda dan asuransi terhadap kendaraan.

d. Bahwa dengan tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana tercantum pada poin 3 diatas, PIHAK PERTAMA telah melakukan peringatan secara tertulis sebanyak 3X, namun PIHAK KEDUA sampai saat ini belum menunjukkan itikad baiknya untuk melaksanakan kewajibannya secara patut dan layak sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kerjasama.

Atas dasar deskripsi kasus posisi diatas, pertanyaannya adalah dapatkah salah satu pihak mengakhiri perjanjian kerjasamanya?

Perjanjian sebagai salah satu dasar dari hubungan hukum yang terjadi di dalam masyarakat dari waktu ke waktu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan di dalam masyarakat. Perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum, yang memberikan landasan dan dasar bagi setiap subyek hukum dalam melakukan hubungan hukum atau berinteraksi dengan subyek hukum

(8)

lainnya, mempunyai peranan penting dan strategis dalam menjamin perlindungan hukum dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan hubungan hukum tersebut.

Dalam kaitannya dengan perjanjian ada beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan kontrak sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak. Prinsip –prinsip dimaksud antara lain :

Asas Kebebasan Berkontrak;

Berdasarkan prinsip ini, para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati, sekaligus untuk menentukan apa yang tidak ingin dicantumkan di dalam naskah perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas. Dalam KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 yang menentukan sebagai berikut :

1) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;

2) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu;

3) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Terkait dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) bahwa berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata syarat sahnya perjaniian adalah :

1. Adanya kesepakatan para pihak 2. Kecakapan

3. Hal tertentu 4. Kausa yang halal

Syarat ke- 1 dan ke- 2 termasuk syarat subyektif karena kedua syarat tersebut merupakan syarat yang harus ada dan melekat pada subyek perjanjian, sedangkan syarat ke 3 dan ke 4 merupakan syarat yang harus ada dan melekat pada obyek perjanjian. Adanya pembedaan syarat sahnya perjanjian menjadi syarat subyektif dan syarat obyektif adalah terkait dengan konsekwensi hukumnya. Apabila di dalam pembuatan suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat

(9)

dibatalkan, sedangkan apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan/kepatutan dan ketertiban umum maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Perjanjian Kerjasama dalam Pengelolaan Parkir pada prinsipnya adalah suatu kesepakatan tertulis antara 2 (dua) pihak atau lebih untuk melakukan sesuatu (jasa) yaitu Pengelolaan Lahan Parkir di lahan milik PIHAK PERTAMA oleh PIHAK KEDUA .

Hal ini dengan tegas ditentukan pada Pasal 1 Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Parkir yang menyebutkan Bahwa PIHAK PERTAMA dengan ini menunjuk PIHAK KEDUA untuk pelaksanaan pengelolaan Lokasi Parkir dan menerapkan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan tersebut sesuai dengan kemampuan serta tanggung jawab PIHAK KEDUA, berdasarkan standar pengelolaan yang berlaku dan layak serta diketahui PIHAK PERTAMA.

Asas Itikad Baik (Geode Trouw)

Berdasarkan Putusan HR tanggal 9 Februari 1923 ( NJ 1923,676) bahwa yang dimaksud dengan itikad baik adalah menurut syarat-syarat kelayakan dan kepatutan (naar redelijkheid en billijkheid).

Hal ini diperjelas dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 3431/K/Pdt/1985 tanggal 4 Maret 1987 tentang Bunga Pinjaman Uang dan Barang Jaminan, yang bertentangan dengan kepatutan dan keadilan dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1904/Sip/1982 ,tanggal 28 Januari 1984 tentang Pembatalan Perikatan; kekuasaan hakim untuk mencampuri isi suatu perjanjian. Dengan memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerjasama antara Dr. H.L. Herman Saputra selaku Direktur RSUD Kota Mataram dengan M. Arif Dellen, S. Kom selaku Direktur PT.

Primamitra Langgeng Sejahtera (D. Parking) telah mencerminkan adanya itikad baik dari masing-masing pihak. Hal ini misalnya tercermin dari ketetuan pasal 17 ayat (3) segala sesuatu yang belum diatur dalam perjanjian termasuk apabila ada variasi dan atau pada saat perubahan terhadap fungsi pengelolaan lokasi parkir, sedangkan pasal-pasal dalam perjanjian tidak mencakup rinci secara menyeluruh

(10)

tetapi karena para pihak menjalin hubungan kerjasama ini dengan niat dan itikad baik (naar redelijkheid en billijkheid), maka para pihak menyadari tugas dan kewajibannya masing-masing dengan mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai pengelolaan lokasi parkir secara maksimal dalam hal efisiensi dan peningkatan kualitas, akan diatur lebih lanjut dalam perjanjian tambahan (addendum) yang ditanda tangani Para Pihak dan merupakan bagian yang tiak terpisahkan dari perjanjian.

Oleh karena itu secara tegas ditentukan dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata bahwa Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Artinya, apabila para pihak telah menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang yang dilandasi oleh itikad baik, maka secara kontraktual tidak dimungkinkan adanya pembatalan perjanjian baik secara sepihak maupun atas kesepakatan para pihak.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak menutup kemungkinan adanya salah satu pihak yang mengabaikan kewajibannya baik karena disengaja ataupun karena kelalaiannya atau dalam bahasa hukum perjanjian disebut wanprestasi.

Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia wanprestasi adalah cidera janji atau ingkar janji atau menjalankan kewajiban tidak sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian.

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut yang selayaknya.

Dalam Pasal 1243 KUH Perdata ditegaskan bahwa pada umumnya wanprestasi terjadi setelah debitur dinyatakan lalai (ingebreeke). Atas dasar itu, agar debitur bisa dinyatakan melakukan kelalaian, kadang-kadang disyaratkan somasi dan dalam hal-hal lain debitur wanprestasi karena hukum. Upaya-upaya yang diakukan yaitu dengan melakukan somasi.

Somasi pada intinya memuat tentang pemberitahuan kepada salah satu pihak (debitur) untuk dalam waktu tertentu (disebutkan jangka waktunya) diminta untuk memenuhi prestasi atau kewajibannya sebagaimana disepakati dalam perjanjian.

(11)

Dalam doktrin dan yurisprudensi somasi diidentikkan dengan surat peringatan.

Berdasarkan Arresnya tanggal 12 Maret 1925 Hoge Raad memutuskan bahwa dengan suatu somasi yang tidak menentukan jangka waktu tertentu untuk prestasi, debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi, bahkan bilamana somasi yang demikian itu diulangi.

Apabila setelah diberikan somasi 3 (tiga) kali secara berturut-turut dengan patut, ternyata tetap tidak diindahkan oleh pihak pertama, maka pemohon dapat mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi kepada pihak pertama.

Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji.

Perkataan wanprestasi berasal bahasa belanda, yaitu berarti prestasi buruk.

Menurut Subekti, wanprestasi seorang debitur bisa berupa 4 (empat) macam, yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukan;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dengan adanya wanprestasi, pihak yang dirugikan akibat kegagalan perestasi mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak yang timbul dari hubungan kontraktual. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian jika itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga”.

Menurut Agus Yudha Hernoko (dalam bukunya Dr. Yahman ,SH,MH yang berjudul “Karakteristik wanprestasi dan tindak pidana penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual “), bahwa hak-hak gugat dapat diajukan secara tersendiri maupun dikombinasikan dengan gugatan lain, meliputi :

(12)

a. Pemenuhan (nakoming)

b. Ganti rugi (vervangende vergoeding)

c. Pembubaran, pemutusan, atau pembatalan (ontbinding)

d. Pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap (nakoming en anvvullend vergoeding) ; atau

e. Pembubaran ditambah ganti rugi pelengkap (ontbinding en anvvulland vergoeding).

Dengan mengacu pada beberapa argumentasi diatas dalam kaitannya dengan perjanjian kerjasama dalam pengelolaan lahar parkir, maka secara yuridis normative PIHAK KEDUA telah memenuhi unsur adanya wanprestasi dengan alasan sebagai beruikut :

a. Tidak menyampaikan laporan keuangan (Pasal 3 Ayat (2) butir (a).

b. Tidak melakukan pembayaran pajak parkir sesuai dengan jangka waktu yang diwajibkan oleh Undang-undang (Pasal 3 ayat (3).

c. Tidak menyiapkan struktur lokasi parkir yang siap pakai (Pasal 5 ayat (2) butur (a)

d. Tidak mengasuransikan kendaraan (Pasal 5 ayat (2) butir (i).

e. Adanya kesepakatan untuk mengesampingkn dan melepaskan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUH Perdata.

Dan berdasarkan hal tersebut Pihak Kedua telah mengirimkan Surat Peringatan (somasi) sebanyak tiga kali kepada Pihak Kedua yaitu : (Pasal 11 Ayat (1) :

- Peringatan Pertama : tanggal/bulan/tahun - Peringatan Kedua : tanggal/bulan/tahun - Peringatan Ketiga : tanggal/bulan/tahun

Akan tetapi Pihak Kedua sampai dengan saat ini belum menunjukkan itikad baiknya untuk memenuhi seluruh kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian kerjasama. Oleh karena itu cukup alasan bagi Pihak Pertama untuk mengakhiri (pembatalan) perjanjian sebagaimana telah disepakati dalam Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) Perjanjian Kerjasama.

(13)

Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta survanda mengandung makna mengikatnya perjanjian sebagaimana mengikatnya Undang-undang. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian/kontrak. Bahwa siapapun harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Prinsip dalam asas ini adalah bahwa suatu kontrak wajib dilaksanakan, ditepati dan mengikat kedua belah pihak. Asas ini layaknya sebuah Undang-undang yang harus dipatuhi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata : “ semua perjanjian yang dibaut secara sah berlaku sebagai Undang-undang”. Janji harus ditepati dan menepati janji adalah kodrat manusia.

Dalam pergaulan hidup sehari-hari, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Hubungan kerjasama ini akan melahirkan suatu kontrak yang mengandung hak dan kewajiban. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1338 Ayat (2) KUH Perdata menentukan :” bahwa perjanjian yang dibuat tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, melainkan harus dengan kesepakatan kedua belah pihak”.

Oleh karena sifat buku III KUH Perdata adalah bersifat terbuka (openbaar system), maka para pihak dapat mengikuti atau mengesampingkan ketentuan - ketentuan yang terdapat dalam buku III KUH Perdata termasuk misalnya ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) :” bahwa perjanjian yang dibuat tidak dapat ditarik kembali secara sepihak”, artinya dapat saja disepakati oleh kedua belah pihak bahwa perjanjian dapat diakhiri secara sepihak.

Yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Syarat pembatalan perjanjian adalah perjanjian yang ingin dibatalkan harus bersifat timbal-balik yakni perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, pembatalan dilakukan melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui putusan hakim, dan harus ada wanprestasi.

(14)

Dengan demikian karena dalam perjanjian kerjasama pengelolaan lahan parkir dimungkinkan untuk mengakhiri perjanjian secara sepihak yaitu dalam Pasal 11 ayat (1) yang menentunkan : “dalam keadaan dimana Pihak Kedua gagal berkinerja dengan baik sesuai dengan kewajiban Pihak Kedua (Pasal 5), kesepakatan atau kewajiban yang ada dan kesalahan tersebut tidak terlihat usaha perbaikan paling lambat setelah 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Pihak Pertama memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada Pihak Kedua yang menerangkan kegagalan-kegagalan tersebut dan pemberitahuan tertulis telah diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut untuk permasalahan yang sama tetapi tidak ada tindakan/usaha perbaikan dari Pihak Kedua, maka Pihak Pertama mempunyai hak mengakhiri perjanjian dengan pemeritahuan secara tertulis 30 (tiga puluh) hari sebelumnya”, maka berdasarkan asas Pacta Survanda (mengikatnya perjanjian sebagaimana mengikatnya Undangundang) Para Pihak harus patuh terhadap apa yang telah disepakati termasuk dalam hal pembatalan perjanjian kerjasama secara sepihak.

Pola penyelesaian perselisihan dalam perjanjian kerjasama jika terjadi wanprestasi

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Adapun dalam Bahasa Inggris disebut dengan istilah default, atau non fulfillment, ataupun breach of contract. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi tersebut minimal telah dilajukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.10

Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi sebagai berikut :11 a. Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila terlambat memenuhi prestasi, selain itu kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapatkan keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

10 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 180

11 Ibid, hlm. 186

(15)

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUHPerdata)

c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata

Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi yaitu dapat meminta pemenuhan prestasi saja debitur, dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUHPerdata), dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan, dapat menuntut pembatalan perjanjian, dan dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi berupa pembayaran uang denda.12

Wanprestasi merupakan suatu sikap di mana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Subekti mengemukakan bahwa wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) yaitu tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjian, melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat, dan melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.13

12 Ibid, hlm. 41

13 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Jakarta : Pembimbing Masa, 2010), hlm. 50

(16)

III. PENUTUP Kesimpulan

1). Oleh karena para pihak telah sepakat bahwa apabila Pihak Kedua yang telah diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut untuk permasalahan yang sama tetapi tidak ada tindakan/usaha perbaikan dari Pihak Kedua, maka Pihak Pertama mempunyai hak mengakhiri perjanjian dengan pemeritahuan secara tertulis 30 (tiga puluh) hari sebelumnya”, maka berdasarkan asas Pacta Survanda (mengikatnya perjanjian sebagaimana mengikatnya Undangundang) Para Pihak harus patuh terhadap apa yang telah disepakati termasuk dalam hal pembatalan perjanjian kerjasama secara sepihak.

2). Bahwa pola penyelesaian perselisihan yang ditempuh oleh para pihak dalam dalam kerjasama pengelolaan lahan parker antara Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram dengan PT. Primamitra Sejahtera adalah melalui musyawarah mufakat dan Pihak kedua menerima pembatalan secara sepihak yang dilakukan oleh pihak pertama.

Saran

1. Hendaknya dalam perancangan suatu perjanjian kerjasama selain memperhatikan strutur suatu perjanjian juga penting untuk menyelaraskan berbagai kesepakatan yang akan dituangkan dalam kontrak dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

2. Dalam perjanjian ini sebaiknya pihak pertama dengan pihak kedua lebih melengkapi akibat hukum dan sanksi apa yang diberikan jika terjadi wanprestasi agar tidak merugikan kedua belah pihak

(17)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam KontrakKomersial, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2013), hlm. 96 Budi Santoso, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT

(BuildOperate Transfer), (Solo: Genta Press, 2008), hlm. 1.

Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2014 , hlm.3

J.C.T Simorangkir, Rudy T.Erwin,J.T Prasetyo, Op,cit ,hlm.118

_____________. Kamus Hukum, Cet.7, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.177

Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir dari perjanjian, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2002,hlm.1

Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1984, hlm.45-46

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Jakarta : Pembimbing Masa, 2010), hlm. 50

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 180

_____________,Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW), Cet.7, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.160

Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah

Referensi

Dokumen terkait