Memahami Sarinah—Sebuah Pengantar
Kurusus Wanita dan Sarinah untuk Siapa?
Pada tahun 1946, pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Penyebab dipindahkannya Ibu Kota ke Yogkarata adalah aksi-aksi militer Belanda sebagai sikap penolakan atas kemerdekaan Indonesia. Di tengah pengungsian dan peperangan yang mengancam kedaulatan negara—yang baru saja berdiri—inilah Paduka Jang Mulia, Sukarno, justru mengumpulkan perempuan-perempuan dan menyelenggarakan Kursus Wanita. Tentu wajar sekali jika rakyat Indonesia pada waktu itu sampai gagal paham atas maksud Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi itu. Hal ini diakui pula oleh Sukarno: ―banjak orang jang tidak mengerti apa sebabnja saja anggap kursus-kursus-wanita itu begitu penting‖ (h. 5).1 Jika hal itu terjadi saat ini, mungkin pernyataan Putra Sang Fajar tersebut akan dibalas dengan pernyataan-pernyataan pedas a la pemuda-pemudi kontemporer: “Ya keles bung, wajar aja pada bingung, kondisi lagi perang kok malah ngurusi wedok! Capek deeeh”.
Akan tetapi, sebagaimana kebingunan rakyat, pilihan kontroversial Sukarno tersebut pun sangat wajar untuk ditempuh. Pasalnya, dalam kondisi negara yang terpojok, pergerakan-perlawanan perempuan Indonesia menjadi sangat menggelora. Maka tidak heran sebagai Pemimpin Besar Revolusi, Sukarno bermaksud mengorganisir perlawanan tersebut. Tentu saja, sembari menyiapkan bangunan konseptual-teoritik atas perjuangan itu, agar menjadi perjuangan yang sistematis. ―Sebab‖ ,bagi Sukarno, ―ngawurlah orang jang bergerak tidak dengan teori!‖ (h. 247). Bangunan konseptual-teoritik ini bagi Sukarno bukan hanya penting dalam menopang gerakan perempuan agar sistematis, melainkan pula untuk ‗menghabisi‘ anggapan kolot dari kalangan laki-laki yang masih melarang pergerakan dan perjuangan perempuan.
Setahun kemudian, pada 1947, bahan Kursus Wanita itu disempurnakan dan dijadikan buku dengan judul Sarinah. Konon, kata Sukarno, Sarinah adalah nama Ibu Pengasuhnya. ―Saja namakan kitab ini ―Sarinah‖ sebagai tanda terimakasih saja kepada
Tulisan ini pernah dijadikan materi pokok dalam Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) DPC GMNI Yogyakarta periode 2014-2016 dan 2016-2018.
1 Dalam tulisan ini, saya menggunakan buku Sarinah cetakan ketiga tahun 1963 tanpa mengubah ejaan.
Kutipan dari Sarinah saya menggunakan (h. nomor halaman. [Ex: (h. 5)]). Sementara kutipan dari sumber lain akan digunakan catatan kaki.
pengasuh saja ketika masih kanak-kanak‖ demikian pengakuan Sukarno (h. 5). Sampai saat ini, siapa Sarinah mungkin masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Karlina Supeli menyimpulkan, ―Sarinah adalah diri simbolik perempuan jelata yang eksistensinya merentang sepanjang zaman‖.2
Penggambaran dan penjelmaan Sukarno untuk Sarinah sebenarnya serupa dengan ia lakukan sebelumnya, ketika menggambarkan dan menjelmakan Marhaen. Sarinah dijelmakan menjadi sosok personal yang kemudian ditarik menjadi ‗diri simbolik‘ guna menggambarkan realitas perempuan sebagai korban penindasan corak ekonomi politik yang tidak adil. Sehingga, kemudian, pandangan Sarinah semata sebagai personal harus dilepaskan, karena tidak lagi memadai guna memahami kerangka yang hendak disampaikan Sukarno sendiri. Sarinah—sebagaimana Marhaen—oleh karenanya, harus dipandang menjadi realitas perempuan ‗bawahan‘ Indonesia.
Sarinah, dalam pemaparan Sukarno, digambarkan sebagai realitas perempuan
‗bawahan‘ yang harus berkerja guna kelangsungan hidupnya dan keluarga, juga harus berkerja di rumah setelah pulang dari pekerjaannya di luar. Singkatnya, Sukarno lewat nama Sarinah hendak menunjuk pada perempuan Marhaen.
―Ah, perempuan Marhaen! Ah, Sarinah! Pulang dari berkuli di paberik atau dikebun, pulang dari berdagang dipekan jang kadang-kadang berpuluh km. djauhnya itu, masih menunggu lagi kepada mereka dirumah pekerdjaan buat sang suami dan anak. Masih menunggu pada mereka lagi pekerdjaan menanak nasi, mentjutji pakaian, mencari kaju baker, memasak gulai. Sang suami habis kerdja merebahkan dirinja dibalai- balai,….tunggu dipanggil makan….tetapi Sarinah—habis kerdja diluar rumah masih adalah kerdja lagi baginja didalam dapur atau didekat sumur‖ (h. 37).
Pemaparan Sukarno tentang Sarinah mengingatkan pada Pelagia Vlassov, sesosok perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel Ibunda karya Maxim Gorki. Dalam novel tersebut, dapat dilihat bagaimana perempuan yang berkerja menjadi buruh di pabrik ketika pulang ke rumah masih harus berkerja melayani suami dan anaknya—bahkan tak jarang mendapatkan kekerasan dari suaminya. Karena anaknya yang tergabung dalam
2 Supeli, Karlina. 2013. ―Belajar Menjadi Warga Negara: Membaca Kembali Sarinah‖ dalam Sukarno:
Membongkar Sisi Hidup Putra Sang Fajar. Jurnal Prisma Edisi Khusus, Volume 32 No. 2 & No. 3.
Jakarta: LP3ES. 2013
perjuangan untuk Revolusi Rusia, Palagia akhirnya tersadar dan ikut berjuang pula.3 Cerita Pelagia ini, memang tidak sepenuhnya sama, tetapi cukup memberikan gambaran yang ingin diraih oleh Sukarno lewat Sarinah: menggerakan perempuan dalam perjuangan Revolusi, dari Revolusi Nasional sampai Revolusi Sosialisme. Inilah yang dapat ditangkap dari Bab VI (bab terakhir) dalam Sarinah. Dengan demikian, Sukarno lewat Sarinah telah memberikan ‗kewadjiban wanita dalam perjdoangan Republik Indonesia‟ bagi perempuan Marhaen.
Sebagai sutau bangunan teoritik dan ‗kewajiban‘, memahami Sarinah tidaklah semudah memahami diadakannya Kursus Wanita dan dicetaknya buku tersebut. Tidak pula semudah menyematkan judul kitab itu sebagai panggilan bagi kader perempuan dalam suatu organisasi. Tentu juga, tidak semuda berharap ‗semoga kader perempuan itu lekas menjadi revolusioner‘. Memahami Sarinah memiliki kesulitan tersendiri. Pertama, pada medan metodik yang digunakan Sukarno, guna memahami duduk persoalan yang dimaksud olehnya. Kedua, berkenaan dengan analisa dan data sejarah perkembangan sejarah masyarakat yang dipaparkan oleh Sukarno, berkenaan dengan validitas dan pemahaman yang lebih komprehensif. Setidaknya, dua hal ini sangat penting dalam memahami Sarinah, terlebih sebelum memasuki lembah komentar-komentar dan kritik atasnya. Kesulitan-kesulitan ini pula yang menjadikan tulisan ini belum masuk dalam ranah penyajian komentar dan kritik, apalagi sampai perbandingan teoritik. Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar saja untuk memulai memahami Sarinah.
Memahami Bingkai Teoritik dalam “Sarinah”
Pemikiran Sukarno terkait perempuan tidak begitu saja hanya muncul dan Kursus Wanita dan kitab Sarinah. Gagasan-gagasan tersebut dapat ditelusuri jauh sebelumnya.
Misalkan terkait pandangannya tentang femenisme [yang diartikan Sukarno sebagai perjuangan perempuan yang hanya sekedar menuntut hak berkerja semata, sebagai gerakan perempuan ‗atasan‘(lihat misalkan, h. 150 )] sebagai satu model pergerakan perempuan tidak cukup untuk mengubah keseluruhan realitas penindasan perempuan,
3 Gorki, Maxim. 2002. Ibunda. Jakarta: Kalyanamitra, terj. Pramoedya Ananta Toer. Konteks Pelagia yang dimunculkan Maxim Gorki tentu saja dalam konteks Rusia. Novel ini menjadi karya besar yang sangat baik dalam memahami penindasan kapitalisme, terlebih pada perempuan. Lewat Novel ini pula, salah satunya, Maxim Gorki membangun realisme sosialis dalam aliran sastra.
Dalam tulisan berjudul ―Kongres Kaum Ibu‖ Sukarno menyambut Kongres Perempuan dengan berpesan bahwa perjuangan perempuan haruslah pula mencapai perjuangan untuk kemerdekaan nasional.4
Tidak hanya itu saja, Sukarno pun diketahui sebagai seorang yang bahkan dengan keras menentang perlakuakn tak adil bagi perempuan dalam kultur Islam. Hal ini dapat dilihat dari sikapnya yang menentang diadakannya tabir dalam Rapat Umum Muhammadiyah dengan keluar dari rapat tersebut. Sukarno memandang tabir yang meisahkan laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan sebagai simbol perbudakan.
―Saja anggap tabir itu sebagai suatu simbul. Simbulnja perbudakan perempuan. Kejakinan saja ialah, bahwa Islam tidak mau memperbudakkan perempuan. Sebaliknja Islam mau mengangkat deradjat perempuan. Tabir adalah salah satu tjontoh dari hal jang tidak diperintahkan oleh Islam, tapi diadakan oleh ummat Islam. Tuan tentu sudah batja saja punja “Surat-surat Islam dari Endeh”. Siapa jang sudah batja itu, tentu ia mengerti bagaimana visi saja tentang Islam. Saja menolak sesuatu hukum agama jang tidak njata diperintah oleh Allah dan Rassul‖.5
Akan tetapi, meskipun demikian, tentu saja memasuki medan dalam Sarinah tetap memiliki kerumitan tersendiri. Secara metode, analisa dan pemaparan Sukarno menggunakan Materialisme Historis. Hal ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Karlina Supeli: ―Soekano mengikuti penjelesan materialis dan dialektis berdasarkan pernyataan umum Engels/Marx bahwa produksi dan reproduksi adalah faktor penentu dalam kehidupan sosial‖.6 Hal ini juga terlihat dari ide-ide utama yang diikuti Sukarno berasal dari teori-teori Marxis dan kaum sosialis Eropa, kususnya Engels, August Babel dan Henriette Roland-Holst.7 Pernyataan Karlina Supeli tersebut dibenarkan dengan
4 Sukarno. 1963 [1928]. ―Kongres Kaum Ibu‖ dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Panitya Penerbit. Dalam tulisan tersebut, Sukarno mengingatkan bahwa pergerakan perempuan tidak hanya sekedar mengenai soal ―keperempuan‖ dan soal ―vrouwen-emancipatie‖ tetapi juga ―nation-emancipatie‖ (hlm.
105-106). Kongres Kaum Ibu yang dimaksud adalah Kongres Perempuan ke-I pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta yang kemudian di tahun 1938 dalam Kongres Perempuan ke-III dijadikan sebagai Hari Ibu.
Kemudian di tahun 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden No. 316, sebagai penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu (Nasional). Sejarah Kongrem Kaum Ibu ini sama sekali tidak sentuh dalam setiap peringatan Hari Ibu semenjak Orde Baru. Dampak keluputan historis ini, Hari Ibu dan Perempuan Indonesia kehilangan posisinya dalam sosial-politik dan perjuangan revolusi.
5 Sukarno. 1963 [1939]. ―Tabir adalah Lambang Perbudakan‖ dalam Dibawah…. hlm. 349
6 Supeli, Karlina. Belajar…hlm. 201-202
7 Ibid. hlm. 201
pernyataan Sukarno sendiri: ―…pada hakikatnja perobahan dalam masjarakatlah jang mendjadi asal perobahan-perobahan ideologi. Sebagaimana perobahan dalam proses produksi merobah anggapan-anggapan dalam masjarakat itu, merobah moral, merobah adat. Merobah isme-isme, maka perobahan dalam proses produksi itu djuga merobah ideologi-ideologi perempuan tentang tjaranja mencari perbaikan nasib‖ (h. 149).
Metode materialisme historis memang mengemuka dalam tesis basis (ekonomi- politik/corak produksi/proses produksi) mengkondisikan superstruktur (politik, kebudayaan, hukum, seni, ideologi). Konsepsi materialisme historis dapat dilihat dalam tulisan Marx dan Engels dalam Ideologi Jerman.
―Manusia bisa dibedakan dari binatang karena mereka memiliki kesadaran, agama atau apa saja sesuka anda. Namun mereka sendiri mulai membedakan diri dari binatang setelah mereka mulai memproduksi alat- alat untuk hidup (subsistence), suatu ruang hidup yang dikondisikan oleh organisasi fisik mereka. Dengan memproduksi alat-alat untuk kehidupannya, manusia secara tak langsung memproduksi kehidupan materialnya‖.8
Lebih lanjut, Marx dan Engels menulis: ―cara produksi (mode of production) tidak hanya bisa dianggap sebagai reproduksi fisik individual. Lebih tepatnya, ia adalah cara tertentu dari aktivitas individu-individu, cara tertentu dari ekpresi kehidupan mereka, cara hidup (mode of life) mereka sendiri‖.9 Di sini jelas, bahwa persoalan corak (dalam bahasa Sukarno: proses) produksi telah membentuk suatu model bangunan kehidupan masyakarat termasuk hal-hal terkait kesadarannya.
Dengan metode ini, wajar saja, jika kemudian analisa Sukarno terhadap ketertindasan perempuan mencapai kesimpulan bahwa sebab utamanya adalah proses produksi. Analisa yang demikian pula yang dapat ditemukan dalam karya Engels, Asal- Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Akan tetapi, meskipun Sukarno secara umum (metodik) mengikuti Engels, namun bukan berarti pemaparannya selalu sama dengan Engels. Menurut Karlina Supeli, terdapat perbedaan-perbedaan anatara Sukarno dan Engels. Misalnya, ketika Engels menganggap perternakan terlebih dahulu, Sukarno
8 Marx dan Engels. 2013. Ideologi Jerman. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, terj. Nasikhul Mutamanna.
hlm. 11
9 Marx-Engels, Ibid
justru menganggap masa pertanian terlebih dahulu. Begitupun, ketika Engels menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi berdasarkan kekayaan pribadi, Sukarno justru mengikuti Babel bahwa penindasan perempuan ada sebelum munculnya kepemilikan pribadi.10 Akan tetapi, perbedaan tersebut tidak untuk mendeskreditkan satu sama lain. Justru dalam kesempatan yang lain mengenai ini harus disempurnakan, dengan analisa menggunakan data emprik yang lebih valid, terutama dalam ilmu arkeologi—apa yang belum dapat disampaikan dalam tulisan ini.
Sukarno mengikuti Babel, bahwa ―perempuan adalah budak, sebelum ada budak‖
(h. 46). Perkataan ini menggambarkan bahwa perempuan sudah mengalami keterindasan bahkan sebelum corak produksi belum mencapai perbudakan. Pernyataan ini menerangkan, bahwa penindasan perempuan bukanlah terjadi baru setelah kepemilikan pribadi muncul. Dalam Sarinah, Sukarno menjelaskan bahwa penindasan perempuan yang paling awal terjadi akibat adanya pembagian kerja yang dilandaskan atas faktor- faktor reproduksi. Model awal ini terjadi pada perkembangan manusia yang pertama, yakni perburuhan. Di dalam masyarakat perburuhan, manusia berkerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berburuh. Akibat hal inilah, kehidupan pada waktu itu menjadi nomaden, berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Dalam masa perburuhan ini, perempuan dianggap sebagai tubuh pemuas hasrat seksual laki-laki. Akan tetapi, di masa ini, model perkawinan masih bersifat, yang disebut Sukarno, ‗hantam kromo‘. Artinya, perkawinan satu perempuan dan satu laki-laki hanya bersifat temporer.
Seorang laki-laki dapat memilih satu perempuan guna menjalin hubungan seksual, namun setalah laki-laki itu bosan si perempuan ditinggal. Dengan demikian, si perempuan pun dapat berganti laki-laki lagi.
Persoalannya, setelah hamil akibat perkawinan tersebut, si perempuan tidak dapat memgkalim siapa bapak si anak yang dikandung. Jika pun dapat, si laki-laki tidak akan memperdulikan hal ini. Perempuan, oleh karenanya, hanya menjadi tubuh untuk pelampiasan seks. Akan tetapi yang terparah, hal ini ditambahi dengan perempuan yang hamil itu tidak bisa berkerja berburuh. Sehingga, ia menjadi tidak memiliki kekuatan
10 Supeli, Karlina. Belajar…hlm. 202, 203. Bdk dengan Engels, Friedrich. 2011. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra, terj. Jusuf Isak
dalam perkumpulan manusia itu. Ketertindasan perempuan yang hanya sebagai tubuh pemuas seksualitas pun semakin nayata. Dengan ini, Sukarno memandang, bahwa pada masa itu, kekalahan perempuan dalam proses produksi semakin membuat perempuan tertindas.
Setelah tahap perburuhan, perkembangan masyakarat selanjutnya memasuki era pertanian. Di tahap pertanian perempuan kemudian mengambil alih ‗kekuasaan‘. Hal ini dikarenakan perempuanlah yang pertama kali mengembangkan pertanian. Ketika laki- laki berburuh, perempuan mengembangkan cocok tanam. ―Maka perempuan adalah berdjasa besar kepada kemanusiaan sebagai machluk jang pertama-tama mendapatkan ilmu bertjotjok tanam, jang sampai sekarang menjadi tiang penghidupan manusia di muka bumi‖ (h. 49). Dengan mampu mengembangkan pertanian, perempuan telah menggeser proses produksi dari berburuh menjadi bertani. ―Perubahan tjara pencaharian hidup ini, perubahan proses pentjaharian ini membawa perubahan besar didalam nasib perempuan itu‖ (Ibid). Hal ini menadakan berdirinya matriarki.
Lebih lanjut, Sukarno menyatakan, bahwa perubahan proses produksi ini telah membawa perempuan sekaligus menjadi induk kebudayaan. Perempuanlah yang pertama membuat ‗rumah‘, perempuan pula yang pertama membuat kulit kayu menjadi bahan untuk pakaian , dan perempuan pula ―jang pertama-tama duduk disamping buaian kesenian‖ (h. 50). Tidak hanya itu, perubahan dalam proses produksi ini pun membawa perubahan dalam model perkawinan. Penguasaan perempuan dalam proses produksi kemudian membawa hukum pertama yang mengatur perkawinan dan keturunan. ―Kaum perempuan mengadakan hukum-keturunan menurut garis peribuan. Menurut hukum peribuan ini, maka keturunan disebutkan menurut garis ibu, bukan ditangan bapa. Orang tidak menanja ―siapakah bapanja‖, tetapi orang menanja ―siapakah ibunja‖‖ (h. 52).
Dengan berdirinya hukum peribuan, sifat kelompok dalam perkembangan sebelumnya diganti menjadi gens (keluarga besar). ―Perempuan dengan semua keluarganja tua-muda berdiam mendjadi satu disatu tempat—jang bukan keluarga tidak boleh berkumpul disitu, tapi berdiam mendjadi gerombolan lain dengan keluarga- keluarganja sendiri pula‖ (h. 53). Di dalam sistem gens ini masyarakat hidup dalam corak komunistis. Satu keluarga besar memiliki tanah yang digarap bersama dan dimanfaatkan
secara bersama pula menurut keperluan masing-masing. Perempuanlah yang menjadi
‗kepala keluarga‘.
Masyarakat matriarki menjelaskan bahwa penindasan perempuan senyatanya diakibatkan oleh proses produksi. Di proses produksi pertanian ketika perempuan menjadi produsen ini, kedudukannya menjadi yang ‗berkuasa‘—tidak ditindas oleh laki- laki. Penjelasan akan hal ini akan lebih terlihat dalam pemaparan Sukarno selanjutnya, yakni pada berdirinya masyarakat patriarki.
Kekuasaan perempuan ternyata tidak berlangsung selamanya. Pasalnya, laki-laki pun akhirnya memilih untuk berhenti berburuh, dan mengikuti pertanian. Malahan, laki- laki tidak hanya lagi menjadi pengikut melainkan secara perlahan menjadi pengendali proses produksi ini. Perempuan kembali ‗dirumahkan‘ dan pengerjaan pertanian sepenuhnya diambil alih oleh laki-laki, jikapun perempuan ikut dalam penggrapan pertanian itu, dia hanya dijadikan pembantu saja. Ditambah lagi, perternakan mulai dikembangkan oleh laki-laki. Dengan demikian, kedudukan perempuan sebagai produsen utama menjadi luntur (h. 57-58).
Penguasaan laki-laki terhadap pertanian dan perternakan membawa konsep kepemilikan menjadi berkembang. Pemilikan berkembang dari yang sebelumnya hanya pemilikan terhadap rumah dan sedikit perkakas menjadi berkembang pesat dengan timbulnya pertukaran antar gens. Sehingga kemudian muncul pikiran pada benak laki- laki untuk mengatur kembali hukum keturunan. Hal ini dikarenakan untuk mewariskan kepemilikan yang dikuasi oleh laki-laki itu dibutuhkan pewaris.
Hukum keturunan pun dibuat, dari yang semula keturunan ditarik dari garis ibu diubah menjadi garis bapak. Tentu saja, hukum keturunan ini membawa pula perubahan pada hukum perkawinan dan model keluarga. Semula perkawinan masih dapat seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki, dan sebaliknya, diubah menjadi perkawinan tunggal (monogami). Seorang perempuan hanya bisa kawin dengan satu laki-laki saja.
Dengan ini pula, model gens diganti menjadi model keluarga kecil (Sukarno menyebutnya Somah) seperti yang dikenal saat ini. Ini pun menandakan dua hal sekaligus, yakni konsep pemilikan pribadi dan berdirinya patriarki.
Patriarki terus berlangsung sejalan dengan perkembangan proses produksi sampai saat ini. Di dalam awal munculnya patriarki muncul perbudakan (h. 58). Kemudian
perbudakan diganti oleh corak produksi feodal yang pula patriarkis. Kedudukan perempuan pun tetap ditekan, jika pun ada yang dimuliakan hal itu hanya karena perempuan itu dijadikan istri oleh kaum ningrat dan bangsawan (h. 66-67). Bahkan dalam kemuliaan itu pun perempuan tetap saja hanya menjadi pelayan bagi laki-laki, hanya menjadi pemanis. Masyarakat feodal pun ditumbangkan, berganti menjadi masyarakat industrialisme yang kapitalistik (kapitalisme), perempuan tetap tertindas, bahkan ketertindasan itu menjadi lebih-lebih dan terus lebih. Di dalam masyarakat kapitalismelah muncul-muncul Sarinah-Sarinah sebagai buruh pabrik sekaligus pekerja rumah tangga.
Dalam masyarakat kapitalisme pula, muncul perempuan-perempuan seperti Pelagia Vlassov, Marsinah, muncul perempuan marhaen.
Bukan Soal Matriarki dan Patriarki
Meskipun perempuan pernah terangkat derajatnya dalam masyarakat matriarki, tetapi bagi Sukarno, bukan berarti matriarki harus dibangkitkan lagi. Di mata sang Presiden, bahkan, mengharapkan matriarki bangkit kembali adalah hal yang sangat tidak mungkin. Suatu hal yang melawan hukum sejarah. Sang Pemimpin Besar Revolusi berpesan:
―pembatja boleh mengharapkan segala hal, boleh memasang tjita-tjita setinggi langit, tetapi djangan mengharapkan arah evolusi masjarakat berbalik kembali. Pembatja boleh mengharapkan susunan masjarakat jang lebih baik, kedudukan manusia jang lebih lajak, penghargaan kepada manusia satu sama lain jang lebih adil, tetapi djanganlah pembatja mengharapkan djarum masjarakat diputarkan mundur‖(h. 92). Bagi Bung Besar, ―matriarchat itu adalah hatsil perbandingan-perbandingan-masjarakat jang kuno dan tidak dapat lagi diadakan didalam masjarakat sekarang…‖ (h.
90).
Sukarno memang tidak pernah ingin mengingkari hukum sejarah, suatu evolusi, tetapi ia juga tidak pernah mengakui evolusi yang linier. Baginya, teori evolusi yang linier telah terbukti salah dalam perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karenanya tidak bisa diikuti.11 Ia berpandangan bahwa perkembangan sejarah masyarakat selalu bergerak
11 Lih. Sukarno, 1959. ―Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana I‖ dalam Supeli, Karlina. 2013. Belajar…hlm. 204[footnote no. 22]
dari satu tahap ke tahap lainnya dengan memerlukan daya dinamis revolusioner, ―serta tidak terjadi seketika dan serempak‖.12 Putra Sang Fajar berpendapat ―dan bukan sadja tidak serempak, —tjaranjapun menurut Bebel berbeda-beda; masing-masing menurut keadaannja sendiri‖ (h. 108). Dalam kata lain, Sukarno mengakui bahwa perubahan dalam masyarakat pasti sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Ini pulalah salah satu yang memperkuat penggunaan materialisme historis sebagai kerangka metodis.13
Selain matriarki yang dianggap kuno, bagi Sukarno hukum peribuan pun tidak dapat diharapkan kembali. Pasalnya, di dalam hukum peribuan belum tentulah perempuan menjadi yang dimuliakan, melainkan pula tetap menjadi yang tertindas.
Hukum peribuan hanya mengatur pola perkawinan saja agar tidak promiskuiteit (perkawinan hatam-kromo), agar dapat diatur hukum keturunan yang dinyatakan lewat garis ibu (h. 91). Maka dari, hukum peribuan belum tentu sekaligus menjadi matriarki.
Sementara itu, ketika menunjuk matriarki itu berarti menunjukan kembalinya proses pertanian yang dikuasi oleh perempuan sebagai produsen pokok. Pertanian yang seperti itu, menurut Sukarno, tidak mungkin untuk diadakan lagi (h. 92).
Alasan lain, ditolaknya matriarki oleh Sukarno adalah karena di dalam masyarakat matriarki pun masih menandakan masyarakat masih timpang. Maksudnya, dalam masyarakat matriarki, perempuan dimuliakan dan laki-laki yang ditekan. Hal ini bagi Sukarno jelas tidak dapat diharapkan untuk kembali lagi. Apa yang dicari Sukarno adalah susunan masyarakat yang tidak ada ketimpangan sama sekali antara laki-laki dan perempuan. ―…kita harus mentjari keselamatan masjarakat seumumnjam dan tidak keselamatan perempuan sadja…‖ (h. 90).
Dengan demikian, Sukarno jelas menjadi pembela patriarki. Namun di sini perlu dijelaskan, kenapa dia lebih memilih patriarki ketimbang matriarki. Memilih patriarki bukan berarti merestui terjadinya penindasan terhadap perempuan, bukan pula berarti menyatakan laki-laki harus selalu menjadi tuan yang dilayani dan dipuja perempuan.
Apalagi mengatakan bahwa Sukarno memilih patriarki hanya karena untuk melegitimasi
12 Ibid
13 Martin Suryajaya (yang melakukan analisa terhadap ―Materialisme dan Emperio-Kritisisme‖ Lenin) mengungkapkan bahwa upaya pengubahan manusia terhadap realitas hanya dapat dilakukan, jika sejauh di realitas itu sendiri memungkinkan. ―Gerak dalam Domain II (epistemologi, pen) hanya dapat mengubah Domain I (ontologi atau realitas, pen) sejauh dimungkinkan dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh Domain I‖. Suryajaya, Martin. 2012. Materialisme Dialektis. Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 68-69
watak playboynya. Alasan Sukarno memilih patriarki sebenarnya bukan alasan yang rumit.
Sukarno memilih patriarki karena semerta-merta menempatkannya sebagai hukum yang paling sahih sebagai penentu garis keturunan. Artinya di sini, Sukarno menempatkan patriarki kepada maknanya yang paling dasar, ketika belum mendapat tuduhan kiri-kanan sebagai hal yang menjijikan yang menindas perempuan. Istilah patriarki berasal dari bahasa Yunani, peter dan arche. Meskipun, di dalam arche mengandung pemaknaan bukan hanya asal-muasal melainkan juga penguasaan.14 Akan tetapi yang ditunjuk oleh Sukarno adalah dalam pemaknaannya yang pertama. Sukarno menunjuk realitas biologis, bahwa tidak dapat diragukan asal-muasal seorang anak hanya dapat ditarik oleh garis bapak. Nyatanya, hal ini diperkuat oleh pembenaran dari ilmu biologi.
Membela patriarki yang demikian tidak lantas membuat Sukarno abai terhadap realitas sepenuhnya dalam patriarki. Ia menyadari bahwa dalam patriarkilah nasib perempuan kembali mengalama kepedihan, ketertindasan. Akan tetapi, bagi Sukarno, ini sama sekali bukan disebabkan oleh patriarki per se melainkan patriarki yang kelewat batas. ―Jang tidak adil bukan hukum perbapaan itu, melainkan ekses-ekses hukum perbapaan itu, ―ke-liwatbatasan-ke-liwatbatasan‖ hukum perbapaan itu‖ (h. 104). Lantas, apa yang memungkinkan ekses-ekses itu untuk mengemuka dalam patriarki?
Jawaban atas pertanyaan di muka, menurut Sukarno terletak pada kepemilikan pribadi yang berkembang dengan pesat. Kepemilikan yang awalnya hanya sederhana terhadap rumah dan sebagian kecil peralatan sederhana menjadi berkembang dengan sangat luas sampai menimbulkan perbudakan.
―Sudah saja katakan, bahwa nafsu kepada milik perseorangan motornja patriarchat ini, dan bahwa perempuan dijadikan milik perseorangan.
Sarinah berpindah sifat, dan sifat memilik mendjadi sifat dimilik, dari subjek menjadi objek. Ia tadinja tjakrawati, kini ia mendjadi benda. Benda, jang dimiliki, jang harus disimpan, harus disembujikan, tak boleh dilihat oleh orang lain, apalagi disintuh oleh orang lain. Perempuan jang suka disintuh oleh orang lain, disembelih kontan-kontanan‖ (h. 109).
14 Perhatikan pemaparan Supeli, Karlina. 2013. Belajar…hlm. 205
Kepemilikan perseorangan inilah yang kemudian membawa munculnya hubungan-hubungan produksi yang menindas. Tentu saja yang kemudian semakin membuat perempuan ditindas. Di zaman perbudakan, manusia dimiliki seutuhnya, sebagai orang yang harus berkerja sepenuhnya untuk sang majikan. Di era ini, manusia tak ubahnya seperti tenaga produksi lain yang dimiliki secara utuh dan kasar. Zaman berganti menjadi feodalisme, penguasaan terhadap tanah oleh struktur keningratan membawa penghambaan terhadap manusia. Di era saat ini, di zaman kapitalisme, modal menguasi alat produksi termasuk manusia, sehingga si pemilik modal menjadi penguasa atas keseluruhan kehidupan si pekerja. Ini semua muncul karena kepemilikan pribadi.
Nasib perempuan? Tidak pernah lagi menemui perbaikan yang signifikan, tetap berada dalam keterindasan. Kepemilikan pribadi ini yang mengantarkan obyektifikasi perempuan dan komodifikasi tubuhnya.
Semua pemaparan Sukarno menjelaskan bahwa persoalan dimuliakan atau ditindasnya perempuan bukanlah semata karena matriarki dan patriarki. Di dalam matriarki, perempuan dimuliakan tidak lain karena perempuan menjadi pemegang kekuasaan atas proses produksi. Begitupun sebaliknya, di zaman ketika perempuan kembali dikesampingkan (baca: patriarki), penyebabnya tidak lain karena kepemilikan pribadi. Bahkan, sebagaimana yang sudah di paparkan di atas, patriarki muncul diawali dengan tersingkirkannya kembali perempuan sebagai pemegang proses produksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan, persoalan keterindasan perempuan bagi Sukarno tidak lain disebabkan oleh problem ekonomi-politik.
Soal-Wanita adalah Soal-Masyarakat
Menyatakan bahwa persoalan perempuan dilandasi oleh persoalan dalam proses produksi, berarti secara tidak langsung tengah menyatakan soal-perempuan adalah soal- masyarakat. Proses produksi adalah syarat paling mendasar bagi adanya masyarakat, sehingga tanpa itu masyarakat tidak akan ada. Masyarakat dibikin tidak lain pada mulanya untuk mengatur kepentingan proses produksi, yakni melalui pembagian kerja.
Sehingga, jika persoalan terdasar pada soal-perempuan adalah soal-pembagian kerja (soal-proses-produksi) maka soal-perempuan tidak bisa disebut merupakan persoalan perempuan itu sendiri. Bagaimanapun, ketimpangan dalam proses produksi jelas
menyatakan masyarakat yang terbentuk di atasnya pun timpang, oleh karenanya masyarakat itu sendiri harus dibenahi. Inilah yang hendak dinyatakan oleh Sukarno dalam parafrase soal-wanita adalah so-al masyarakat.
Dengan demikian, kelanjutannya jelas, jika satu negara masih memiliki ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, itu berarti di dalam negara tersebt masih terjadi ketimpangan yang mendasar. Sukarno dengan lantang memaparkan bagaimana kehancuran kekuatan besar seperti Yunani dan Nazi Jerman, karena di sana perempuan dihinakan. Bahkan, Sukarno menyatakan lebih lanjut: ―sesungguhnja benarlah perkataan Charles Fourrier kalau ia mengatakan, bahwa tinggi rendahnja tingkat-kemadjuan sesuatu masjarakat, adalah ditetapkan oleh tinggi-rendahnja kedudukan perempuan didalam masjarakat itu‖ (h. 17).
Lebih dari itu, Sukarno ingin menyatakan sesuatu yang lain pula. Selain prihal sosial yang didasari oleh ekonomi-politik, persoalan perempuan harus pula dipandang sebagai persoalan laki-laki juga, karena laki-laki dan perempuan memiliki ikatan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Menurutnya, ketakterpisahan ini sesuai dengan hukum alam, sehingga tidak bisa ditentang begitu saja. Hukum alam yang dimaksud adalah seks yang dilandasi oleh cinta. Di sini, Sukarno tengah berbicara satu elemen dasar yang lain dalam masyarakat: reproduksi. ―Semua ahli-ahli filsafat dan ahli biologi seia-sekata, bahwa tali-sekse itu adalah salah satu fakor jang terpenting, salah satu motor jang terpenting dari perikehidupan manusia. Disampingnja nafsu makan dan minum, ia adalah motor jang terkuat. Disampingnya nafsu makan dan minum, ia menentukan perikehidupan manusia‖ (h. 19).
Di sini jelas, untuk sampai pada kesimpulan soal-perempuan adalah soal- masyarakat, Sukarno menempatkan dua faktor utama dalam masyarakat, yaitu produksi dan reproduksi. Untuk adanya masyarakat berarti harus ada manusia, cara manusia melangsungkan kehidupannya dalam rentang zaman ke depan adalah dengan mereproduksi dirinya, untuk itu manusia harus memenuhi sayarat reproduksi yakni produksi. Tanpa produksi, reproduksi tidak akan dapat dilakukan, dengan demikian masyarakat manusia akan mengalami kehancuran. Persis di sinilah letak persoalan selanjutnya yang dibahas Sukarno. Perubahan dalam proses produksi membawa
perubahan pula dalam proses reproduksi. Sehingga, ketimpangan dalam proses produksi akan menyulitkan pula kelangsungan proses produksi.
Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana model perkawinan di era perburuhan yang berubah seturut dengan perubahan-perburuhan yang digeser oleh pertanian. Semula, di era perburuhan, proses reproduksi dilakukan dengan ‗hantam-kromo‘, kemudian diganti menjadi gens di masa pertanian. Begitupun kemudian model gens itu digantikan dengan model keluarga tunggal (somah), ketika masa pertanian yang dikuasi oleh perempuan digeser oleh kekuasaan kembali laki-laki terhadap proses produksi. Sampai di era kapitalisme, pernikahan harus dipersulit sedemikian rupa, sehingga membuat proses reproduksi terhalangi dan menimbulkan persoalan (h. 23-24). Dengan demikian, proses produksi adalah faktor penentu di dalam persoalan masyarakat ini, termasuk dalam persoalan perempuan. Oleh karenanya, Sukarno mengajukan cara perlawanan dan pergerakan perempuan yang akan terus berpegang pada hal ini. Dalam memahami konsep pergerakan perempuan yang diajukan oleh Sukarno, gagasan soal-wanita adalah soal- masyarakat menempati posisi yang signifikan.
Tiga Tingkat Pergerakan Perempuan
Kerangka analisis materialisme historis masih kentara digunakan oleh Sukarno dalam menganalisis pergerakan perempuan. Di sini, Paduka masih melihat persoalan dalam struktur material ekonomi-politik yang ada guna kemudian menjelaskan pergerakan perempuan yang muncul. Dari analisis semacam itu, maka ditemukan kewajaran bagi adanya model pergerakan yang berbeda-beda antara satu masa ke masa yang lain. Akan tetapi, tentu saja hal ini tidak dapat dipandang linier. Maksudnya sangat dimungkinkan tetap adanya model pergerakan perempuan tingkat satu, meskipun tingkat dua bahkan tiga sudah muncul.
Sukarno dalam analisanya menyebut ada tiga tingkatan dalam model pergerakan perempuan. Di sini medan analisa yang diacu Sukarno adalah pergerakan perempuan di Barat. Mungkin, bagi nasionalisme yang alergi begitu saja dengan ‗Barat‘ akan bertanya- tanya: „kok, Sukarno malah lihat ke Barat, katanya Nasionalis‟. Maka Sukarno kembali mengingatkan pandangan ini keliru. Jawaban Sukarno atas pertanyaan tersebut adalah
―…oleh karena didunia Baratlah lahirnja pergerakan wanita mula-mula‖ (h. 144). Di
dalam analisa itu, Sukarno menyebut tingkat kesatu dari pergerakan perempuan dengan
―Tingkatan keperempuanan‖ (h. 148). Yang dimaksud dengan ‗tingkatan keperempuanan‘ adalah tingkatan pergerakan perempuan yang justru masih bersifat membentuk diri untuk menyenangkan suaminya. Misalkan, dengan merias diri secantik mungkin. Selain itu, pergerakan ini biasanya hanya diisi oleh keluh-kesah para tuan putri yang tidak mengerti mesti bagaimana menggunakan waktu.
Di tingkat kesatu ini, sebenarnya dapat ditangkap, lahir di era feodalisme. Di masa feodal, perempuan diangkat derajatnya apabila dipersunting oleh laki-laki dari kalangan bangsawan. Di sana, ia dikurung tidak bisa kemana-kemana. Akhirnya yang lain memilih untuk sebisa mungkin tampil memuasakan suami, sementara yang lain memilih berkeluh kesah. Contoh seperti ini dapat dilihat dari yang dilakukan oleh Kartini.
Mesti diingat di sini, bukan berarti apa yang dilakukan oleh Kartini dan yang lain tidak ada artinya. Melainkan yang dimaksud adalah satu kewajaran pergerakan yang dibangun demikian, karena medal sosial-politik pun memang memaksa mereka hanya sebatas itu.
Sebenarnya, Sukarno menyatakan bahwa model seperti ini belum pantas dikatakan sebagai pergerakan perempuan, karena tidak ada perlawanan sama-sekali yang timbul darinya. Akan tetapi, ―ada gunanja ―kegiatan‖ sematjam itu saja namakan tingkat kesatu daripada pergerakan wanita! Sebab disini, terutama sekali sebelum Indonesia merdeka kebanjakan kegiatan-kegiatan-wanita jang disebutkan orang ―pergerakan wanita‖, sebenarnja tidak lebih daripada kegiatan sematjam ―onder-onsje‖ atau ―klangenan‖ pula‖
(h. 146).
Tingkat kedua, biasa disebut Sukarno dengan Feminisime. Penyebutan ini menunjukan satu pergerakan perempuan yang menuntut hak-hak perempuan di dalam urusan perekonomian: ingin ikut berkerja di luar sama seperti laki-laki. Pergerakan ini tumbuh melalui perubahan di dalam proses produksi pula. Medan yang melatarbelakangi timbulnya pergerakan perempuan yang demikian adalah masyakarat industrialisme (149- 150). Di dalam masyarakat indutrialisme inilah perempuan menuntut haknya dalam masayarakat, yakni ikut serta sebagai pekerja di luar rumah. Sukarno menyebut pergerakan perempuan ini sebagai pergerakannya perempuan ‗atasan‘. Berikut penjelasan Sukarno yang akan mempermudah pemahaman terhadap tingkatan kedua ini.
―Umumnja tingkatan kedua ini terkenal dengan pergerakan feminisme.
Persamaan hak dengan kaum laki-lakim dan terutama sekali hak memasuki segala matjam pekerdjaan-masjarakat, persamaan hak itulah jang mendjadi pokok tuntutannja. Dan oleh karena tuntutan hak memasuki segala matjam pekerdjaan itu terutama sekali dating dari golongan wanita atasan dan pertengahan, maka pergerakan feminisme itu terutama sekali adalah satu pergerakan ―kasta pertengahan pula,--satu pergerakan burdjuis, dan bukan satu pergerakan jang pengikutnja kebanjakan dari kalangan rakjat-djelata‖ (h. 152).
Tingkat kedua ini dipandang tidak mencukupi bagi keseluruhan kepentingan perempuan, karena selain tuntunan pokoknya hanya sebatas memasuki dunia kerja dan tidak membuka lebih luas lagi dalam prihal sosial-politik. Alasan lainnya, tentu saja, pergerakan perempuan tingkat ini belum dapat menjamah perempuan-perempuan pekerja, perempuan proletar, perempuan marhaen, Sarinah dan Pelagia. Pelagia dan Sarinah bukan lagi perempuan yang menuntut untuk berkerja, karena senyatanya sudah memasuki dunia pekerjaan itu.
Pergerakan perempuan yang ketiga disebut sebagai pergerakan sosialisme.
Pergerakan perempuan tingkat ketiga ini muncul, karena ketidakpuasan tujuan yang diusung oleh pergerakan feminisme (tingkat kedua). ―Maka inilah menjadi sebab, jang kaum bawahan itu achirnja tidak puas dengan tuntunan-tuntutan feminisme sadja‖ (h.
154). Bagi perempuan ‗bawahan‘ tujuan yang diajukan oleh pergerakan feminisme yang dimotori oleh perempuan ‗atasan‘ dan ‗pertengahan‘ tidak mencukupi kepentingan kelas perkerja. Senyatanya, berkerja saja tidak cukup membuat perempuan terangkat nasibnya secara signifikan dalam masyakarat, justru hanya menjadikan perempuan semakin tertindas saja. Inilah yang dirasakan Sarinah dan Pelagia Vlassov.
―Maka dengan kejakinan jang sematjam ini, berkembanglah tingkat ketiga dari pergerakan wanita, jaitu pergerakan wanita jang didalam aksi sosialis hendak mendatangkan satu Dunia Baru sama sekali, jang didalamnya perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat bahagia, dengan tiada pemerasan satu kelas oleh kelas jang lain, tiada penindasan satu sekse oleh sekse jang lain. Satu Dunia Baru, jang disitu bukan sadja perempuan sama haknja dengan laki-laki, tetapi djuga tidak menderita ―retak‖ atau
―scheur‖, oleh karena didalam Dunia Baru itu ada peretemuan, ada pertunggalan, ada sintese, antara ―pekerdjaan masjarakat‖ dan ―pekerdjaan rumah tangga‖ (h. 156).
Jelaslah visi yang dibangun oleh pergerakan perempuan sosialis ini menempatkan duduk persoalan perempuan sebagai persoalan masyarakat. Apabila di dalam masyarakat masih terdapat ketimpangan dalam proses produksi, maka di situ pula ketertindasan masih akan dilanggengkan. Untuk itulah, kemudian, perjuangan untuk mencapai pembebasan perempuan haruslah dilakukan dengan pembebasan terhadap masyarakat pula. Akibat, penindasan perempuan adalah ketimpangan proses produksi di dalam masyarakat, maka proses produksi itu harus dibinasakan untuk mencapai pembebasan perempuan. Pergerakan perempuan tingkat ketiga inilah yang hendak diusung oleh Sukarno dalam Sarinah yang sekaligus menjelaskan bahwa kitab ini terutama sekali memang untuk perempuan kelas bawah.
Kewajiban Perempuan dalam Perjuangan Republik Indonesia
Sebelumnya sudah disampaikan bahwa pergerakan perempuan yang hendak dituju oleh Sarinah adalah pergerakan sosialisme. Akan tetapi, Sukarno kemudian mengingatkan agar dalam pergerakan ini tidak terburu-buru, karena jika demikian justru akan mengakibatkan pergerakan itu sendiri gagal. Lagi-lagi di sini, Sukarno memulai analisa dengan berbasiskan kepada kondisi obyektif Republik Indonesia, sehingga dapat dirumuskan bagaimana seharusnya pergerakan perempuan dibangun. Sukarno memulai pemaparannya dengan melihat sejarah pergerakan Republik Indonesia secara umum.
Sampai akhirnya Sukarno mencapai kesimpulan bahwa revolusi pada waktu itu baru sampai pada tahap Revolusi Nasional.
Sukarno membuat tahapan dalam revolusi yang hendak dibangun Indonesia, yakni Revolusi Nasional dan Revolusi Sosial. Di dalam Revolusi Nasional tugas yang harus dikerjakan adalah membangun Negara Nasional (h. 268). Oleh karena itu, kemerdekaan Indonesia sebanarnya tidak lain merupakan perawakan dari Revolusi Nasional ini. Itulah kenapa Sukarno menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas.
Negara Nasional yang dimaksudkan oleh Sukarno tentu saja suatu negara yang benar- benar melepaskan diri dari imperialisme, negara yang benar-benar merdeka. Sehingga, negara tersebut memiliki kedaulatan untuk membangun dirinya, membangun teknologi, pendidikan dan lain-lain. Dengan demikian, ―tugas bersedjarah ini harus selesai lebih
dahulu sebelum Revolusi Nasional itu meminta diri, untuk diganti dengan Revolusi Sosial‖ (Ibid).
Sementara Revolusi Sosial diartikan oleh Sukarno adalah tahap untuk mendirikan sosialisme. Tujuannya sosialisme tersebut menciptakan masyarakat berkeadilan sosial.
Akan tetapi, mewujudkan hal tersebut, bagi Sukarno, bukanlah hal yang mudah dan instan. Bukan hanya sebatas ide kemudian terjadi, namun dibutuhkan proses material tersendiri. Membangun masyarakat yang berkeadilan sosial bukan hanya sekedar menghapuskan feodalisme. Bukan pula hanya sekedar menghapuskan kapitalisme. Bagi Sukarno masyarakat berkeadilan sosial hanya dapat dibangun apabila tekonologi sudah maju, indutri maju, pun demikian dengan pendidikan dan kesehatan (h. 260).
―Apakah arti sosialisme? Ja, saja menaja: apakah arti sosialisme?
Sosialismekah kalau orang harus berdjalan kaki kalau berpergian djauh?
Sosialismekah kalau produksi hanya sedikit dan distribusi tidak teratur sentral karena tidak ada banjak alat-lat transport jang mechanis?
Sosialismekah kalau banjak obrolan omong-kosong, karena hanja sedikit orang sadja dapat membatja, menulis, mengetahui chabar dunia?
Sosialismekah kalau wanita dirumah lampunja lampu minjak kelapa atau lampu bidji-djarak, meniup-niup api didapur tiap-tiap ia hendak menanak nasi, memintal dan menenun sendiri tiap-tiap djengkal bahan badju anaknja atau suaminja karena memang tidak ada pabrik-pabrik tenun jang menenun tekstil?‖ (h. 261).
Sukarno memahmi bahwa sosialisme berarti adanya pabrik yang kolektif, produksi kolektif, distribusi dan pendidikan yang kolektif pula. Semua hal yang berhubungan dengan masyarakat dilaksanan dengan cara kolektif. Buka itu saja, Sukarno pun selalu berpikir maju dengan tidak sama sekali menampik perkembangan zaman.
Bahwa untuk menyusun masyarakat sosialisme tentu pula harus diiringi dengan kemajuan-kemajuan di dalam peralatan dan mental masyarakat (h. 260). Untuk itulah, Revolusi Sosial tidak akan pernah bisa dilaksanakan sebelum Revolusi Nasional selesai.
Selain itu, untuk melaksanakan Revolusi Sosial tidak bisa dilangsungkan berbarengan dengan Revolusi Nasional. ―Fase Nasional dan Fase Sosial daripada Revolusi kita ini dua-duanja harus ada, tidak dapat Fase Sosial terjadi sebelum selesai terlebih dahulu Fase Nasional, tidak dapat pula Fase Nasional dan Fase Sosial terdjadi berbarengan sekaligus‖ demikian penjelasan dari Sang Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia (h. 265). Lebih lanjut, beliau memperingatkan agar tidak semerta-merta terburu-buru menilai bahwa sudah saatnya Revolusi Sosial diselenggarakan. Sekali lagi harus diingat, dalam Fase Nasional, Negara Nasional yang hendak dicapai bukan semerta kemerdekaan tetapi negara yang memang sudah memiliki kendali sepenuhnya atas dirinya untuk mengembangkan industri, pendidikan, kesehatan, dll untuk syarat menuju Fase Sosial itu. Singkatnya, kemerdekaan itu haruslah kemerdekaan secara de facto bukan sekedar kemerdekaan de jure.
Fase Nasional pun harus dipahami bukan dengan melepaskan diri dari dunia.
Akan tetapi justru sebaliknya, kemerdekaan dan Negara Nasional Indonesia harus bersama dengan negara-negara tejajah dan setengah terjajah lainnja berjuang bersama untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Pada pengertian ini, imperialisme yang dimaksud Sukarno tentu saja adalah imperialisme sebagai anak dari kapitalisme.
Hal ini sebagaimana yang dapat dilihat dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggungat: ―imperialisme modern,—yang kini meraja lela di seluruh benua dan kepulauan Asia yang kini kami musuhi itu,—imperialisme-modern itu adalah anak kapitalisme-modern‖.15 Sukarno memahami bahwa melawan imperialisme berarti pula melawan kapitalisme. Melemahkan imperialisme berarti sama dengan melemahkan kapitalisme (h. 291). Selain itu pun, Sukarno benar-benar memahami bahwa imperialisme dan kapitalisme merupakan suatu sistem yang mendunia (internasional), maka untuk itu harus melawannya pun dengan menyatukan kekuatan berkala internasional: menyatukan kekuatan negara-negara terjajah.
Di sini, Sukarno menjadikan negara sebagai alat perjuangan. Untuk membuat negara sebagai alat perjuangan, bagi Sukarno negara itu harus melewati fase Revolusi Nasional, suatu fase yang merebut kemerdekaannya untuk mendirikan Negara Nasional yang berdaulat. Cara untuk itu, bagi Sukarno tidak lain dan tidak bukan dengan persatuan. Rakyat harus bersatu untuk mencapai Revolusi Nasional itu. Persatuan berarti adalah kekuatan massa aksi. Kekuatan massa aksi berarti adalah kekuatan kesadaran massa rakyat, terutama sekali rakyat jelata, guna berjuang menegakan revolusi. Bahkan,
―boleh berkesadaran kelas, tetapi tidak boleh mengkobarkan perdjuangan kelas‖ (h. 301).
15 Sukarno. 1989. Indonesia Menggungat. Jakarta: Cv. Haji Masagung dan Yayasan Pendidikan Sukarno.
hlm. 16
Bagi Sukarno, perjuangan kelas bukanlah pilihan yang tepat di tengah tujuan menegakan Revolusi Nasional (h. 302). Semua elemen rakyat harus tersadarkan, meskipun tanpa melupakan kepentingan golongan, pentingnya perjuangan mencapai Negara Nasional.
Hanya dengan persatuan, Negara Nasional dapat berdiri dengan tegak, sehingga fungsinya sebagai alat guna menghantam imperialisme dan kapitalisme dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Lantas kemudian, dari ini semua di mana letak kewajiban perempuan dalam perjuangan? ―Djawab saja adalah tegas dan mutlak: Wanita harus mengerti, bahwa hanja sosialisme sadjalah jang dapat menolong dia, dan karenanja, wanita harus ikut-serta dalam penjelenggaraan segala hal-hal jang saja sebutkan sebagai pokok-pokok perdjoangan kita itu dengan tjara jang sehebat-hebatnja‖ (h. 311). Dengan demikian, jelaslah jawabannya, bahwa Sarinah diberikan kewajiban di pundaknya guna ikut dalam perjuangan menuju dan menegakan sosialisme. Itu berarti, Sarinah harus ikut serta dalam fase Revolusi Nasional guna mewujudkan Negara Nasional.
Akan tetapi, bukan berarti dengan demikian, Sukarno melupakan hal lain yang menyangkut soal-perempuan. Sukarno menyadari banyak sekali cabang dan ranting di dalam soal-perempuan ini. Untuk itulah, bagi Sukarno baik perjuangan tingkat pertama, kedua dan ketiga harus mampu diformulasikan dengan baik, agar semua segala keluh- kesah perempuan tercapai (h. 323). Kemungkinan jawaban akan formulasi itu berada dalam masyarakat sosialisme.
Bagi Sukarno dalam masyarakat sosialismelah ‗retakan‘ akan kembali dirapatkan dengan disintesiskannya keperluan untuk berkerja guna memenuhi kebutuhan hidup (bahasa Sukarno: kerja-masyakarat) serta kerja rumah tangga dalam perempuan.
Perempuan harus tetap ikut di dalam perkembangan zaman, sebagai pekerja di dalam proses produksi masyakarat. Akan tetapi perempuan pun tidak boleh melupakan peranannya sebagai ibu (h. 236-237). Untuk itulah, di dalam masyakarat sosialisme kelak, negara akan menyediakan koperasi tempat untuk meneyiadakan pengasuhan anak, makanan yang siap makan, dan segala keperluan rumah tangga yang lain. Sebuah koperasi yang bersifat kolektif yang didirikan demi meringankan beban Sarinah (h. 239).
Agar tidak ada lagi Sarinah atau Pelagia Vlassov yang masih harus berkerja di rumah setelah berkerja di luar.
Akan tetapi mesti diingat sekali lagi, bagi Sukarno, hal ini hanya bisa dicapai dengan persatuan. Berarti pula perempuan dan laki-laki harus bersatu untuk menyelesaikan Revolusi Nasional dan menciptakan Revolusi Sosial kemudian. Persatuan bukan berarti menyuruh perempuan diam. Perempuan harus berjuang, karena hanya dia sendiri yang dapat mengubah nasibnya.
Penutup: Renungan Akhir
Demikianlah yang dapat disampaikan dalam tulisan ini. Bagaimanapun Sarinah sampai saat ini masih menjadi beban kewajiban di pundak kita yang harus segera dipenuhi. Akan tetapi, tentu saja, Sarinah harus diartikulasi kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Sukarno sendiri tidak pernah menolak gerak sejarah, dengan demikian, kita pun harus mampu membaca gerak sejarah itu dan mengartikulasikan Sarinah.
Hal-hal yang perlu harus diperhatikan adalah perkembangan corak produksi saat ini yang semakin berkembang pesat. Kapitalisme bukanlah lagi kapitalisme yang sama ditemui Sukarno di tahun 1946, melainkan sudah berubah wujud menjadi kapitalisme yang bahkan seringkali membuat kita frustasi. Di titik ini kita harus memahami perkembangan ini, agar dapat menguji kembali Sarinah. Misalkan, benarkah perjuangan kelas masih tidak diperlukan? Sementara kapitalisme dalam negeri pun kian berkembang pesat, dan mungkinkah kapitalis dalam negeri itu kita harapkan untuk bersatu menciptakan Indonesia yang berdaulat? Bukankah mereka yang selama ini menggadaikan kedaulatan kita? Bukankah Sukarno juga pernah berkata, kapitalisme apapun itu dalam maupun luar negeri adalah musuh kita?
Selain itu pula, perkembangan pergerakan perempuan sudah semakin berevolusi kini. Banyak sekali kajian-kajian terkait perempuan muncul. Bahkan perempuan seperti sekilas sudah seperti terlindungi. Lihat saja ada Komnas Perempuan sekarang yang setiap perempuan Indonesia dapat mengadukan persoalannya kesana. Lihat juga semakin banyak tumbuh organisasi-organisasi yang mengatasnamakan kepentingan perempuan.
Pertanyaanya, bagaimana kita meneruskan visi Sukarno dalam Sarinah di tengah kondisi
yang demikian? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak perlu dijawab sekarang, cukup renungkan saja dulu: segara bersiap bergerak atau diam menonton?
Terakhir, untuk mengingatkan bahwa apapun itu, hanya perempuan sendirilah yang dapat mengubah nasibnya. Di sini akan dipersembahkan kutipan terakhir dari Sukarno yang sangat indah.
―Wahai wanita Indonesia, buat engkaulah kitab ini, buat engkaulah aku menggojangkan pena, kadang-kadang dibawah sinar lilin sampai djauh diwaktu malam! Sadarlah, bangunlah, bangkitlah, berdjoanglah menurut petundjuk-petundjuk jang kuberikan itu! Berdjoanglah, bangkitlah sehebat-hebatnja, sebab sebagai tadipun telah kukatakan, tiada orang lain dapat menolong wanita, melainkan wanita sendiri!‖ (h. 326)
Seburuk apapun Sarinah, ingatlah belum pernah ada lagi Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah Sukarno yang mampu menuliskan buah pikiran tentang perempuan hingga menjadi kitab! Sementara yang lain, semenjak Soeharto, menghapus kedudukan perempuan dalam perjuangan Indonesia.***
Daftar Pustaka
Sukarno. 1963. Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia.
Jakarta: Panitya Penerbit
.1963. Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Panitya Penerbit
. 1989. Indonesia Menggungat. Jakarta: Cv. Haji Masagung dan Yayasan Pendidikan Sukarno
Supeli, Karlina. 2013. ―Belajar Menjadi Warga Negara: Membaca Kembali Sarinah‖
dalam Sukarno: Membongkar Sisi Hidup Putra Sang Fajar. Jurnal Prisma Edisi Khusus, Volume 32 No. 2 & No. 3. Jakarta: LP3ES. 2013
Engels, Friedrich. 2011. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Jakarta:
Kalyanamitra. Terj. Jusuf Isak
Marx, Karl & Frederick Engels. 2013. Ideologi Jerman (Jilid I – Feurbach). Yogyakarta:
Pustaka Nusantara. Terj. Nasikhun Mutamanna
Suryajaya, Martin. 2012. Materialisme Dialektis. Yogyakarta: Resist Book
Gorki, Maxim. 2002. Ibunda. Jakarta: Kalyanamitra. Terj. Pramoedya Ananta Toer