• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat.

6

 

2.1.  FISIOLOGI 

Temperatur  inti  manusia  normal  dipertahankan  antara  36,5‐37,5 0C  pada  suhu  lingkungan  dan  dipengaruhi  respon  fisiologis  tubuh.  Pada  keadaan  homeotermik,  sistem  termoregulasi  diatur  untuk  mempertahankan  temperatur  tubuh  internal  dalam  batas  fisiologis  dan  metabolisme  normal.  Tindakan  anestesi  dapat  menghilangkan  mekanisme  adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.

  Kombinasi  antara  gangguan  termoregulasi  yang  disebabkan  oleh  tindakan  anestesi  dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada  pasien  yang  mengalami  pembedahan.  Menggigil  merupakan  salah  satu  konsekuensi  terjadinya  hipotermia  perioperatif  yang  dapat  berpotensi  untuk  terjadi  sejumlah  sekuele,  yaitu  peningkatan  konsumsi  oksigen  dan  potensi  produksi  karbon  dioksida,  pelepasan  katekolamin,  peningkatan  cardiac  output,  takikardia,  hipertensi,  dan  peningkatan  tekanan  intraokuler.  Definisi  hipotermia  adalah  temperatur  inti  10C  lebih  rendah  di  bawah  standar  deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan  yang  normal  (28‐350C).  Kerugian  paska  operasi  yang  disebabkan  oleh  gangguan  fungsi  termoregulasi  adalah  infeksi  pada  luka  operasi,  perdarahan,  dan  gangguan  fungsi  jantung  yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.

Fungsi  termoregulasi  diatur  oleh  sistem  kontrol  fisiologis  yang  terdiri  dari  termoreseptor  sentral  dan  perifer  yang  terintegrasi  pada  pengendali  dan  sistem  respon 

(2)

eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di  perifer.  Hipotalamus  juga  mengatur  tonus  otot  pembuluh  darah  kutaneus,  menggigil,  dan  termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas.

  Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu‐satunya jalur  termoaferen  menuju  pusat  termoregulasi  di  hipotalamus.  Seluruh  jalur  serabut  saraf  asendens  ini  terpusat  pada  formatio  retikularis  dan  neuron  termosensitif  berada  pada  daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain,  medula  oblongata,  dan  korda  spinalis.  Input  multiple  yang  berasal  dari  berbagai  termosensitif,  diintegrasikan  pada  beberapa  tingkat  di  korda  spinalis  dan  otak  untuk  koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh.

  Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan jalur  saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.8    

2.1.1.  Termosensor dan Jalur Saraf Aferen 

Banyak  pengetahuan  mengenai  struktur  sistem  termoregulasi  yang  diperoleh  dari  penelitian pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor  termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan  memberikan  kontribusi  terhadap  refleks  termoregulasi.  Reseptor  spesifik  dingin  mengeluarkan  impuls  pada  suhu  25‐300C.  Impuls  ini  berjalan  pada  serabut  saraf  tipe  A‐δ. 

Reseptor  panas  mengeluarkan  impuls  pada  suhu  45‐500C  dan  berjalan  pada  serabut  saraf  tipe C.

  Reseptor  dingin  berespon  terhadap  perubahan  sementara  temperatur  lingkungan  dalm waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur  lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan  temperatur  lingkungan  biasanya  diikuti  respon  temperatur  kulit.  Hal  ini  dibuktikan  pada  penelitian  terhadap  sistem  termoregulasi  manusia  secara  kimia.  Pada  penelitian  tersebut,  disebutkan  bahwa  produksi  panas  tubuh  selalu  diukur  melalui  kebutuhan  oksigen  tubuh. 

Termoregulasi  terhadap  dingin  dipengaruhi  oleh  reseptor  dingin  pada  kulit  dan  dihambat  oleh  pusat  reseptor  panas.  Reseptor  dingin  kulit  merupakan  sistem  pertahanan  tubuh  terhadap  temperatur  dingin  dan  input  aferen  yang  berasal  dari  reseptor  dingin  ditransmisikan langsung ke hipotalamus.

(3)

  Berbeda  dengan  reseptor  dingin  perifer,  lokasi  reseptor  dingin  sentral  tidak  begitu  jelas  secara  anatomis.  Produksi  panas  pada  temperatur  kulit  yang  hangat  meningkat  bila  temperatur inti tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu  penting  bila  dibandingkan  input  sensoris  dingin  perifer,  akan  tetapi  suatu  penelitian  terhadap  transeksi korda spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan  aktif  bila  temperatur  inti  tubuh  di  bawah  titik  ambang  batas  set‐point  dan  kurang  sensitif  terhadap termoreseptor perifer.

  Gambar 2.1. Alur Kontrol Termoregulasi

 

2.1.2.  Hipotalamus Pusat Integrasi 

Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang  berada  di  hipotalamus.  Hipotalamus  anterior  menerima  informasi  termal  aferen  secara  integral  dan  hipotalamus  posterior  mengontrol  jalur  desendens  ke  efektor.  Area  preoptik  hipotalamus  berisi  saraf  sensitif  dan  insensitif  terhadap  temperatur  temperatur.  Beberapa  ahli  membaginya  dalam  saraf  yang  sensitif  terhadap  panas  meningkatkan  respon 

(4)

peningkatan  produksi  panas  lokal  yang  diaktivasi  oleh  mekanisme  pelepasan  panas  tubuh. 

Saraf  yang  sensitif  terhadap  panas  meningkatkan  respon  peningkatan  produksi  panas  lokal  yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin  sebaliknya,  meningkatkan  respon  terhadap  dingin  tubuh  pada  area  preoptik  hipotalamus. 

Saraf  yang  sensitif  tehadap  stimulasi  termal  lokal  dikontrol  oleh  hipotalamus  posterior,  formatio retikularis, dan medula spinalis.

  Hipotalamus  posterior  menerima  rangsang  aferen  dingin  yang  berasal  dari  perifer  dengan  stimulasi  panas  yang  bersumber  dari  area  preoptik  hipotalamus  dan  mengaktifkan  respon  efektor.  Deteksi  dingin  dibedakan  dengan  panas  berdasarkan  impuls  aferen  yang  berasal  dari  reseptor  dingin.  Bila  temperatur  inti  tubuh  turun  0,50C  dibawah  nilai  normal,  neuron  preoptik  akan  menjadi  tidak  aktif.  Kulit  mengandung  reseptor  dingin  dan  panas,  dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas.   Suatu  penelitian  terhadap  manusia  menyimpulkan  bahwa  termoregulasi  otonom  bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu : deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer,  pusat  inhibisi  panas  sebagai  respon  metabolik  terhadap  dingin,  dan  inhibisi  termoregulasi  keringat terhadap kulit yang dingin.

  Temperatur  set‐point  didefinisikan  sebagai  batas  ambang  temperatur  sekitar  36,7‐

37,10C.  Set‐point  ini  dapat  disebut  juga  thermoneutral  zone  atau  interthreshold  range  dan  pada  manusia  sangat  unik.  Pada  manusia  set‐point  ini  bervariasi,  selama  tidur  suhu  tubuh  sekitar  36,20C  sampai  menjelang  pagi,  meningkat  lebih  dari  10C  menjelang  malam.  Wanita  memiliki nilai set‐point yang lebih tinggi 10C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada  tumor  intrakranial  seperti  space‐occupying  lesion  dan  keadaan  dehidrasi  dapat  menyebabkan peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum jelas.  

(5)

   Gambar 2.2. Hubungan hipotermia dan hipotalamus.

 

 

2.1.3.  Respon Efektor 

  Respon  termoregulasi  ditandai  dengan  :  pertama,  perubahan  tingkah  laku  yang  secara  kuantitatif  mekanisme  ini  lebih  efektif,  kedua,  respon  vasomotor  yang  ditandai  dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan  vasodilatasi  dan  berkeringat  sebagai  respon  terhadap  panas,  ketiga,  menggigil  dan  peningkatan rata‐rata metabolisme.

  Pada  keadaan  sadar,  perubahan  tingkah  laku  lebih  jelas  terlihat  bila  dibandingkan  dengan  mekanisme  otonom  regulasi  temperatur  tubuh.  Bila  hipotalamic  termostat  mengindikasikan  adanya  temperatur  tubuh  terlalu  dingin,  impuls  dapat  sampai  ke  korteks  serebri  tanpa  melalui  hipotalamus  untuk  menghasilkan  sensasi  rasa  dingin.  Keadaan  ini  menimbulkan  perubahan  tingkah  laku  seperti  peningkatan  aktivitas  motorik,  berusaha  mencari  penghangat  atau  memakai  penghangat  tambahan  .  Kontrol  respon  tingkah  laku  terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.

Dapat  diambil  kesimpulan  bahwa  pengaturan  suhu  tubuh  bertujuan  untuk  mempertahankan  suhu  tubuh  inti  pada  batas  normal  dengan  mekanisme  seperti  gambar  dibawah ini.

(6)

  Gambar 2.3. Mekanisme kontrol termoregulasi.

 

2.2.  PATOFISIOLOGI       

  Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan  mekanisme  kontrol  terhadap  temperatur  setelah  dilakukan    tindakan  anestesi  baik  umum  maupun  regional  akan  hilang.  Seorang  anestesiologist  harus  mengetahui  management  kontrol  termoregulasi  pasien.  Tindakan  anestesi  menyebabkan  gangguan  fungsi  termoregulator  yang  ditandai  dengan  peningkatan  ambang  respon  terhadap  panas  dan  penurunan ambang respon terhadap dingin.6  

  Hampir  semua  obat‐obat  anestesi  mengganggu  respon  termoregulasi.  Temperatur  inti  pada  anestesi  umum  akan  mengalami  penurunan  antara  1,0‐1,50C  selama  satu  jam  pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan  epidural  menurunkan  ambang  vasokonstriksi  dan  menggigil  pada  tingkatan  yang  berbeda,  akan tetapi ukurannya kurang dari 0,60C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran  dilakukan di atas ketinggian blok.

 

(7)

  Gambar 2.4. Hubungan anestesi dengan penurunan core temperatur.

 

  Pemberian  obat  lokal  anestesi  untuk  sentral  neuraxis  tidak  langsung  berinteraksi  dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada  dosis  ekuivalen  plasma  level  setelah  anestesi  regional  tidak  berpengaruh  terhadap  termoregulasi.  Mekanisme  gangguan  pada  termoregulasi  selama  anestesi  regional  tidak  diketahui  dengan  jelas,  tapi  diduga  perubahan  sistem  termoregulasi  ini  disebabkan  pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen.

 

Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi).  

(8)

  Gambar 2.6. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi.

 

Pada  anestesi  spinal  akan  menurunkan  ambang  menggigil  sampai  dan  pada  inti  hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1–

0C, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer  dimana spinal menyebabkan vasodilatasi.6     

  Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan  karena  ketidakmampuan  kompensasi  otot  di  bawah  ketinggian  blokade  untuk  terjadinya  menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi,  atau  setelah  dilakukan  tindakan  anestesi  spinal.  Hal  ini  terjadi  karena  proses  redistribusi  panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal.   Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi  juga  karena  faktor  lain  seperti  cairan  infus  atau  cairan  irigasi  yang  dingin,  temperatur  ruangan operasi dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur  tubuh oleh karena terjadi redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian  cairan  dengan  suhu  yang  rendah  akan  memberikan  implikasi  yang  tidak  baik  pada  pasien  yang  menjalani  pembedahan    terutama  pasien  dengan  usia  tua  karena  kemampuan  untuk  mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan stress sudah menurun.

  Pemberian  obat  lokal  anestesi  yang  dingin  seperti  es,  akan  meningkatkan  kejadian  menggigil  dibandingkan  bila  obat  dihangatkan  sebelumnya  pada  suhu  300C,  tetapi  penghangatan  ini    tidak  berlaku  pada  pasien  yang  tidak  hamil  karena  tidak  ada  perbedaan  jika  diberikan  dalam  keadaan  dingin  atau  hangat.  Menggigil  selama  anestesi  regional  anestesi  dapat  dicegah  dengan  mempertahankan  suhu  ruangan  yang  optimal,  pemberian  selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang efektifitasnya sama untuk  mengatasi menggigil paska anestesi umum.

(9)

  Terjadinya  hipotermia  selama  regional  anestesi  tidak  dipicu  oleh  sensasi  terhadap  dingin.  Hal  ini  menggambarkan  suatu  kenyataan  bahwa  persepsi  dingin  secara  subjektif  tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh  regional  anestesi.  Setelah  terjadi  redistribusi  panas  tubuh  ke  perifer  pada  induksi  anestesi  umum  dan  regional,  hipotermia  selanjutnya  tergantung  pada  keseimbangan  antara  pelepasan panas pada kulit dan metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama  anestesi spinal terdapat dua faktor yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah  timbulnya  perubahan  temperatur  inti  yang  terlihat  setelah  anestesi  :  pertama,  dengan  menurunkan  ambang  vasokonstriksi  yang  digabungkan  dengan  vasodilatasi  pada  tungkai  bawah  selama  blok  terjadi.  Oleh  karena  itu  kehilangan  panas  terus  berlangsung  selama  anestesi  spinal  meskipun  mekanisme  aktivitas  efektor  berlangsung  di  atas  ketinggian  blok. 

Hal  ini  terlihat  khususnya  pada  kombinasi  antara  anestesi  umum  dan  epidural.  Kedua,  anestesi  spinal  menurunkan  ambang  vasokonstriksi  selama  tindakan  anestesi  dan  meningkatkan rata‐rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja  karena vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat  oleh blokade itu sendiri.

Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme  kompensasi  yang  lain  tidak  mampu  mempertahankan  suhu  tubuh  dalam  batas  normal. 

Rangsangan  dingin  akan  diterima  afektor  diteruskan  ke  hipothalamus  anterior  dan  memerintahkan  bagian  efektor  untuk  merespon  berupa  kontraksi  otot  tonik  dan  klonik  secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% 

diatas  basal.  Mekanisme  ini  akan  dihambat  oleh  tindakan  anestesia  dan  pemaparan  pada  lingkungan yang dingin dan dapat meningkat pada saat penghentian anestesia.

Penurunan  laju  metabolisme  yang  disebabkan  oleh  hipotermia  dapat  memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan meningkatkan  konsumsi oksigen 100% ‐ 600%2,4 , dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada pasien  dengan  penyakit  kardiovaskuler.2  Morbiditas  yang  mungkin  terjadi  dan  telah  dilaporkan  cukup  bermakna  adalah  peningkatan  kebutuhan  metabolik  (hal  ini  dapat  membahayakan  pada  pasien  dengan  cadangan  hidup  yang  terbatas  dan  yang  berada  pada  resiko  kejadian  koroner),  menimbulkan  nyeri  pada  luka,  meningkatkan  produksi  CO2,  denyut  jantung,  memicu  vasokonstriksi  dan  dengan  demikian  meningkatkan  resistensi  vaskular,  tekanan  darah, dan volume jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan  intrakranial.  Sebagai  tambahan,  resiko  perdarahan  dan  infeksi  luka  bedah  akan  meningkat 

(10)

pada  pasien  hipotermik.  Karena  alasan‐alasan  itulah,  mempertahankan  pasien  pada  suhu  normal merupakan baku perawatan.

   2.3 ETIOLOGI 

Etiologi menggigil masih belum jelas, tetapi, diperkirakan bahwa hipotermia selama  pembedahan  dan  gangguan  pada  pusat  termoregulator  merupakan  faktor  penyebab  yang  utama. Penelitian  elektromiografi  menunjukkan  bahwa  menggigil  paska  tindakan  anestesi  berbeda  dengan  menggigil  yang  disebabkan  oleh  flu. Faktor  lain  yang  diperkirakan  sebagai  modulator  menggigil  meliputi  penggunaan  obat  anestesi,  dan  respon  febril.  Menggigil  merupakan respon terhadap hipotermia selama pembedahan dengan anestesi regional dan  general yang terjadi karena perbedaan antara suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh. 

Setiap  pasien  yang  menjalani  pembedahan  berada  dalam  resiko  untuk    mengalami  hipotermia1.   Ahli  anestesi  menempatkan  menggigil  pada  posisi  ke‐8  sebagai  yang  sering  terjadi  dan  ke‐21  sebagai  komplikasi  yang  perlu  dicegah.9  Pada  manusia  suhu  inti  tubuh  dipertahankan  dalam  batas    36.5  ‐  37.5°C. 10,11  Walaupun  literatur  yang  ada  saat  ini  tidak  memberikan  definisi  yang  jelas  tentang  normotermia  ataupun  hipotermia  tetapi  para  ahli  menyatakan  bahwa  normotermia  berada  pada  temperatur  inti  yang  berkisar  antara  36ºC‐

38ºC  (96.8ºF‐100.4ºF).  Hipotermia  terjadi  bila  temperatur  inti  kurang  dari  36ºC  (96.8ºF). 

Hipotermia  dapat  terjadi  diluar  temperatur  tersebut  jika  pasien  mengeluh  merasa  kedinginan  atau  menampilkan    gejala  hipotermia  seperti  menggigil,  vasokonstriksi  perifer,  dan piloereksi. 1 

Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi.

2

Yang mana anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi berikut ini :

1

• Usia ekstrim (Anak‐anak dan orangtua) 

• Kehamilan  

• Suhu ruangan 

• Lama dan jenis prosedur bedah 

• Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)  

• Status hidrasi 

• Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin 

(11)

• Pemberian anestesia umum 

• Pemberian anestesia regional   

2.4 Mekanisme Pertukaran Panas 

Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan sekitar dicapai dengan berbagai cara seperti  yang dijelaskan berikut ini : 

a. Radiasi 

Radiasi  mengarah  kepada  hilangnya  panas  via  sinar    infrared  (sebuah  tipe  gelombang  elektromagnetis)  yang  keluar  dari  kulit.  Gelombang  ini  berasal  dari  semua  benda  yang  ada  dengan  suhu  diatas  nol  mutlak  (absolute  zero  temperature),  dan  intensitas  radiasi  meningkat  sebanding  dengan  peningkatan  suhu  benda.  Dalam  kondisi  normal,  radiasi  meliputi sekitar 60 % dari panas yang hilang dari tubuh manusia. 

b. Konduksi 

Konduksi adalah perpindahan panas dari benda dengan suhu yang lebih tinggi ke benda  dengan  suhu  yang  lebih  rendah.  Ini  dikarenakan  sifat  panas  yang  merupakan  energi  kinetik.  Perpindahan  panas  dengan  cara  konduksi  menyebabkan  hilangnya  panas  dari  tubuh sebesar 15%. 

c. Konveksi 

Ketika  panas  hilang  dari  kulit,  ia  akan  menghangatkan  udara  tepat  di  atas  permukaan  kulit. Peningkatan suhu permukaan ini membatasi kehilangan panas tubuh yang berlebih  akibat  konduksi.  Akan  tetapi  ketika  aliran  udara  dari  kipas  (atau  hembusan  angin)  melewati kulit, ia akan menggantikan lapisan hangat dari udara di atas permukaan kulit  dan  menggantinya  dengan  udara  yang  lebih  dingin,  hal  ini  menyebabkan  hilangnya  panas  tubuh  terus  menerus  akibat  konduksi.  Efek  yang  sama  dihasilkan  dengan  peningkatan  aliran  darah  tepat  di  bawah  permukaan  kulit.  Aksi  dari  aliran  (darah  dan  udara) menyebabkan hilangnya panas yang dikenal dengan konveksi. 

d. Evaporasi 

Perubahan  air  dari  fase  zat  cair  mejadi  gas  memerlukan  panas,  dan  ketika  air  atau  keringat  berevaporasi  dari  permukaan  tubuh,  panas  yang  digunakan  adalah  panas  tubuh.  Normalnya,  evaporasi  meliputi  20%  dari  hilangnya  panas  tubuh  (kebanyakan  merupakan  akibat  dari  insensible  fluid  loss  dari  paru).  Evaporasi  memainkan  peran 

(12)

 

2.5 MONITOR SUHU 

Efek fisiologik dari perubahan suhu tubuh adalah alasan utama untuk memonitor suhu tubuh sewaktu tindakan anestesi. Sebagai proteksi supaya tidak terkadi iskemik jaringan direkomendasikan suhu inti intraoperatif harus dijaga diatas 36

0

C.

Pengukuran suhu harus akurat dan konsisten. Merupakan kewajiban dari praktisi untuk menentukan metode terbaik mengawasi suhu inti pasien dan untuk menggunakan perangkat pengawasan suhu secara benar sekaligus memperkirakan bagian mana yang akan diukur, kenyamanan pasien, dan keamanan.

Selama periode perioperatif ketika suhu inti berubah dengan cepat, hubungan antara suhu yang terukur pada berbagai bagian tubuh dapat berbeda. Suhu inti diukur pada arteri pulmonal, distal esofagus, nasofaring dan membran timpani. Distal esofagus (25% dari bagian bawah esofagus) memberikan gambaran suhu darah dan serebral. Suhu membran timpani dan aural kanal memberikan estimasi suhu hipotalamus dan berkorelasi dengan suhu esofagus. Suhu inti juga dapat diperkirakan dengan menggunakan bagian oral, aksiler, ataupun kandung kencing. Suhu kulit dan rektal yang disesuaikan dapat menggambarkan suhu inti dengan cukup baik, tetapi menjadi tidak dapat diandalkan ketika terjadi Krisis Hipertermia Maligna.

Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa pengukuran suhu membrana timpani menggunakan infra merah merupakan metode pengukuran suhu selama dan pasca pembedahan yang lebih disukai. Perlu diingat bahwa ketepatan pembacaan suhu bergantung pada operator, anatomi pasien, dan alat ukurnya.

7

2.6 OBAT‐OBATAN 

Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada

periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis

optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum

jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak

sediaan obat digunakan untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis

seperti clonidine, doxapram, ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah,

(13)

magnesium sulfat, ketamin,tramadol dll. Salah satu obat yang paling efektif adalah Pethidin.

8

Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi.

Mekanisme pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α

2.8

Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-µ dan reseptor-k dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine.

16

Petidin intratekal akan berikatan dengan reseptor-µ dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor-α

2

dimana jika reseptor ini distimuli akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis reseptor NMDA (N-methyl d aspatartate).

8

Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan terjadinya menggigil dan vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju hypothalamus.

8

Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin

(14)

2.6.1 FARMAKOKINETIK

Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM dari pethidin memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin 2-4 jam, sedikit lebih pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik, pethidin menghasilkan efek sedasi, euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin baik diabsorpsi di saluran cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya.

17

Waktu paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah penyuntikan pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi pethidin pada C

7

-T

1

turun dengan cepat,hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi. Efek sistemik lama timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat pethidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam sistem vena dan limphatik.

20

2.6.2 METABOLISME

Metabolism pethidine terjadi di hepar, dimana hampir 90% bentuk asal pethidin mengalami demetilisasi menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi meperidinic acid. Kemudian diekskresi melalui urin, tetapi tergantung dari nilai pH dari urin. Sebagai contoh pH urin<5 sebanyak 25% dari bentuk asli pethidin dikeluarkan. Jadi penambahan keasaman dari pH urin bisa dipertimbangkan untuk mempercepat eliminasi dari pethidin. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan terakumulasi bentuk normeperidine. Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam(<35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi selama 3 hari setelah pemberian. Normeperidine dapat menyebabkan stimulasi dari CNS. Toksisitas dari normeperidine dapat menyebabkan terjadinya myoklonus dan kejang.

16

2.6.3 EFEK SAMPING A. Kardiovaskuler

Pethidin menyebabkan peningkatan heart rate (struktur kimia pethidin mirip

dengan atropine). Dosis tinggi dari morfin, fentanyl, sulfentanil, remifentanyl

dan alfentanyl berhubungan dengan bradikardia yang dimediasi oleh nervus

vagus. Morfin dan pethidin menyebabkan pelepasan dari histamine pada

(15)

beberapa individu dan dapat menyebabkan menurunnya tahanan perifer sistemik arterial blood pressure.

18

B. Respirasi

Opioid dapat mendepressi ventilasi. Hal ini disebabkan ambang rangsang apneu ditingkatkannya dimana PaCO2 meningkat selama periode apneu dan menurunnya hypoxic drive. Morfin dan pethidin juga dapat menginduced bronchospasme.

18

C. Cerebral

Opioid dapat mereduksi cerebral oxygen consumption, cerebral blood flow dan tekanan intracranial, tetapi efek ini masih lebih rendah dibandingkan barbiturate atau benzodiazepine. Pethidin merupakan opioid yang unik, dimana bila diberikan secara intrathecal memiliki struktur yang sama dengan sameridin yang memiliki efek local anestetik.

18

D. Gastrointestinal

Opioid dapat memperlambat waktu pengosongan lambung dengan menurunkan peristaltik. Nyeri bilier disebabkan karena kontraksi dari spincter Oddi. Pasien yang mendapat opioid dalam waktu lama seperti pada pasien kanker menjadi toleran terhadap efek samping kecuali efek konstipasi yang disebabkan menurunnya motilitas gastrointestinal.

18

E. Endokrin

Stress respon terhadap tindakan pembedahan seperti sekresi hormone katekolamin, antidiuretik hormone dan kortisol. Opioid memblok pelepasan hormone-hormon ini.

18

Secara umum efek samping dari penggunaan opioid tergantung pada besarnya dosis yang digunakan. Ada empat efek samping yang sering timbul pada penggunaan neuraxial opioid,seperti pruritus, mual dan muntah, retensi urin dan depresi pernafasan.

17

a. Pruritus

Pruritus adalah efek samping yang paling sering timbul pada penggunaan

neuraxial opioids. Sering timbul didaerah wajah,leher dan thorak atas. Pruritus

sering timbul pada pasien obstetri,mungkin disebabkan interaksi antara estrogen

(16)

opioid disebabkan oleh migrasi opioid ke cephalad pada CSF dan berinteraksi dengan reseptor opioid di nucleus trigeminal. Antagonist dari opioid seperti naloxone efektive untuk mengurangi pruritus yang terjadi. Antihistamine juga efektive untuk mengatasi pruritus yang disebabkan oleh opioid.

17

b. Retensi Urine

Retensi urin sering terjadi pada laki-laki dewasa muda. Retensi urin pada penggunaan neuraxial opioid sering terjadi dibandingkan pada penggunaan secara IV dan IM. Terjadinya retensi urin tidak tergantung pada besarnya dosis yang digunakan atau besarnya absorbsi sistemik dari opioid. Retensi urin disebabkan karena interaksi antara opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi pada spinal cord di sacral. Interaksi ini menyebabkan inhibisi dari nervus parasimpatik di sacral yang menyebabkan relaksasi otot detrusor dan meningkatkan maksimum dari volume kandung kemih.

17

c. Depresi pernafasan

Efek samping yang paling serius dari penggunaan opioid adalah depresi pernafasan,yang bisa timbul beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian opioid. Insiden terjadinya depresi pernafasan setelah pemakaian neuraxial opioid pada dosis konvensional sekitar 1%, sama dengan pemakaian opioid IV dan IM dengan dosis konvensional. Depresi pernafasan yang cepat terjadi dalam waktu 2 jam setelah injeksi opioid pada neuraxial,dan yang lambat terjadi lebih dari 2 jam setelah penyuntikan. Depresi pernafasan terjadi karena absorbsi kesistemik dari opioid yang lipid soluble,walaupun perpindahan opioid di CSF ke cephalad dan berinteraksi dengan reseptor opioid di daerah ventral medulla. Pasien obstetric sedikit yang mengalami depresi pernafasan,mungkin disebabkan oleh meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh progesterone.

17

d. Sedasi

Sedasi setelah pemberian neuraxial opioid berhubungan dengan dosis dan bisa

timbul pada semua opioid, tapi paling sering pada penggunaan sulfentanyl. Pada

waktu timbul sedasi pada penggunaan neuraxial opioid,pertimbangkan akan

timbulnya depresi pernafasan pada pasien tersebut. Pengguanaan naloxone

0,25µg/kgBB/jam IV efektive untuk penanganan mual dan muntah,

pruritus,depresi nafas dan perubahan status mental seperti paranoid-

psychosis,catatonia dan halusinasi yang disebabkan oleh pemakaian neuraxial

opioid.

17

(17)

2.7 KERANGKA KONSEP 

 

                   

       

       

Keterangan :  

X Æ menghambat   

Vasodilatasi ANESTESI

Redistribusi panas tubuh dari inti ke perifer

Petidin 0,1mg/kgBB

Petidin 0,2mg/kgBB Hipotalamus dan

medulla spinalis

inhibisi terhadap re-uptake biogenic monoamine,antagonis reseptor NMDA dan stimulasi dari reseptor-α2. 

Tekanan darah Menggigil

efek  sampingg 

Gambar

Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi). 6   
Gambar 2.7 struktur kimiawi dari pethidin

Referensi

Dokumen terkait

Historiografi relevan yang kedua yaitu skripsi yang berjudul “Peranan Divisi Siliwangi dalam Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat (1949- 1962)” yang ditulis oleh

Peserta harus melaporkan secara tertulis kepada PKL dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh

KETAATAN TERHADAP SUMBER EMISI DAN AMBIEN KETAATAN TERHADAP PARAMETER BAKU MUTU KETAATAN TERHADAP JUMLAH DATA PERPARAMETER YANG DILAPORKAN KETAATAN TERHADAP PEMENUHAN

Suatu alat pembagi beban (Load Sharing) merupakan peralatan otomatis yang menyeragamkan operasi governor dalam menaikkan atau menurunkan power mesin atau daya generator

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

Menurut Finlay dan Wilkinson (1963), varietas uji dengan nilai b yang tidak berbeda nyata dengan satu dan hasilnya lebih tinggi dari rata-rata hasil seluruh varietas yang

Pada penelitian ini dibuat sistem model simulasi reaksi prekursor flavor sintetis S-propil-L-sistein sulfoksida (SPCS) dan S- metil-L-sistein sulfoksida (SMCS) dengan

Pada percepatan tetap, kecepatan rata-rata suatu partikel sama dengan setengah dari jumlah kecepatan awal dan kecepatan akhirnya.. Apakah ini tetap benar bila percetan tidak