• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pendahuluan PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1. Pendahuluan PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK BERDASARKAN UUNO.11 TAHUN 2012TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

1Nandang Sambas

1Dosen Fak. Hukum Universitas Islam Bandung. Jln. Ranggagading No. 8 Bandung e-mail: 1nandangsambas@yahoo.com

Abstrak.Semakin meningkatnya anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum, baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebagai akibat perkembangan masyarakat yang semakin konpleks, telah mempengaruhi keprihatinan semua kalangan. Telah mendorong pula berbagai upaya untuk memberikan pelindungan hukum tehadap anak agar anak, dengan landasan memberikan yg terbaik bagi anak.

UU No. 11 /2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, merupakan salah satu bentuk perbaikan serta peningkatan memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pengganti UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. UU tersebut telah merumuskan dengan tegas bentuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) dengan cara Diversi dalam setiap tingkatan. Upaya peradilan terhadap anak sebagai jalan terakhir harus dilakukan dengan berpijak kepada prinsip Restorative Justice. Dengan dua model tersebut diharapkan perlakuan terhadap ABH akan lebih melindungi perkembangan dan masa depan..

Kata kunciperadilan, perindungan anak

1. Pendahuluan

Tingginya jumlah anak yang berperilaku menyimpang (delinquency) perlu mendapat perhatian yang serius, sehingga anak yang diharapkan menjadi potensi sebagai generasi penerus akan terlindungi. Upaya untuk melindungi anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) telah banyak di dilakukan, baik pada tataran nasional maupun Internasional. Secara global dan bersifat internasional perhatian dunia terhadap anak diawali dengan adanya Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak tahun 1924, yang diakui oleh masyarakat internasional melalui pernyataan formal dalam Deklarasi PBB Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Begitu juga dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child) Resolusi PBB Nomor 40/25 tanggal 20 November Tahun 1989 secara tegas menyatakan jaminan-jaminan hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap anak pelaku tindak pidana (anak nakal).

Pada tataran nasional, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan regulasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan, Undang- Undang Nomor. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan lain-lain. Sedangkan Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan anak yang bermasalah dengan hukum pidana, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak selanjutnya diganti dengan Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

UU No. 3/1997 merupakan UU yang buat untuk memberikan perlindungan secara khusus terhadap anak pelaku tindak pidana, namun dalam praktiknya dipandang belum dapat melindungi anak secara hakiki. Hal tersebut nampak dari hasil pengumpulan dokumen dapat dilihat dari data lapangan, dimana sebesar 57 % dari narapidana anak

(2)

tergabung dengan tahanan orang dewasa atau berada di rumah tahanan dan lapas untuk orang dewasa. Keprihatinan tersebut semakin bertambah saat data jumlah narapidana anak (anak didik permasyarakatan) di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia menunjukan angka yang cenderung meningkat. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Kementerian Hukum dan HAM menunjukan bahwa jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan baik anak sipil, anak negara, maupun anak pidana jumlah anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (LP) pada tahun 2011 sebanyak 3.528 orang, pada tahun 2012 sebanyak 3.657 orang, dan pada tahun 2013 sebanyak 3.278 orang (http://smslap. ditjenpas.go.id/ public/grl/current/monthly).

Atas dasar hal itu didorong oleh keinginan untuk meningkatkan pemberian perlindungan terhadap anak, serta menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat baik di Indonesia maupun masyarakat internasional, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Terkait dengan penanganan masalah ABH, PN Bandung telah dijadikan sebagai peradilan percontohan, antara lain dengan disediakannya sarana peradilan serta ruang tunggu khusus untuk anak. Atas dasar hal itu, yang menjadi permaslahan adalah bagaimana penanganan terhadap pelaku anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) di PN Bandung dan PN Bale Bandung sebelum berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 ? serta bagaimana pembaharuan peradilan pidana anak berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 ?

Adapun tujuan dari Penelitian adalah diketahuinya penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum sebelum diterapkanya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; serta diketahuinya bentuk pembaharuan peradilan pidana anak berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak.

Penelitian ini memiliki urgensi sejauhmana politik hukum terhadap peradilan pidana anak serta kebijakan formulasi yang diterapkan dalam penyusunan undang- undang sistem peradilan pidana anak. Serta dapat diperoleh pembaharuan peradilan pidana anak sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum. Secara praktis, dapat diperoleh informasi kongkrit peradilan pidana anak sebelum berlakunya UU No. 11/2012 serta pembaharuan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum berdasarkan UU No. 11/2012 sebagai upaya melindungi masa depan anak, termasuk kesiapan aparatur penegak hukum, khususnya hakim sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Pembahasan 2.1 Kerangka Teori

2.2.1 Istilah dan Pengertian Kenakalan Anak (Juvenale Delinquency)

Secara umum yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita, sedangkan yang diartikan dengan anak-anak atau juvenile adalah seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.

Berdasarkan pandangan ilmiah, untuk menentukan ukuran/kriteria seorang anak pada umumnya didasarkan pada batas umur/usia tertentu. Namun, karena setiap bidang ilmu mempunyai kriteria tersendiri sesuai dengan kepentingannya masing-masing, maka sampai saat ini belum ada kriteria yang bersifat universal untuk menentukan batas usia yang dapat dikategorikan seorang anak.

(3)

Secara yuridis, menentukan batas usia seorang anak akan menimbulkan akibat hukum yang menyangkut persoalan hak dan kewajiban bagi si anak itu sendiri. Dengan demikian, perumusan tentang anak dalam berbagai undang-undang tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan yang merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu, dan tujuan tertentu.

Dalam perundang-undangan yang berlaku, seorang anak yang dipandang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya ditentukan apabila seudah berumur diatas 12 tahun. Atas dasar itupula dalam UU Pengadilan anak kategori anak adalah seseorang yang berada pada usia antara 12-18 tahun. Secara psikologis bahwa batas usia 12 seorang anak dianggap baru memiliki kematangan emosional, intelektual, dan mental. Hal tersebut sejalan dengan konsep hukum Islam yang memberikan batasan usia 12 tahun seseorang memasuki masa remaja. Walaupun para psikolog sendiri mengakui bahwa usia remaja 12 tahun tidak berarti seseorang anak dikategorikan sudah matang.

Karena anak dipandang memiliki karakter yg berbeda dengan orang dewasa, terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum sering kali menngunakan istilah

“Anan Naka’ atau “Juvenale Delinquency”. Dengan demikian, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartini Kartono, 1992:7).

Dalam penelitian perbandingan hukum tentang juvenile delinquency yang dibatasi terhadap tujuh negara-negara di Asia dan Timur Jauh, yaitu Burma, Ceylon, India, Jepang, Pakistan, Philipina, dan Thailand. Dalam peraturan perundang-undangan negara- negara tersebut tidak diberikan definisi apa yang dimaksud dengan istilah Juvenile Delinquency, namun berdasarkan kebiasaan diartikan bukan sebagai orang dewasa. Umur dari Juvenile Delinquency serta sifat dari pelanggaran yang dilakukan oleh karena berbagai pertimbangan penting diakui sebagai definisi dari Juvenile Delinquency (UN 1953). Sedangkan di beberapa negara Asia Timur Jauh dalam mengartikan Juvenile Delinquency menitikberatkan kepada aspek umur dan sifat dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan demikian, pengertian juvenile delinquency terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang tergolong kepada kelompok kepada young person.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, memakai istilah anak nakal. Anak nakal yaitu:

(a) Anak yang melakukan tindak pidana, atau

(b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan, maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang melakukan pelanggaran hukum dikategorikan dengan anak berkonflik dengan hukum. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 bahwa “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Berpijak pada apa yang telah diuraikan di atas, sebagai pegangan dalam kajian ini, istilah perilaku delikuensi anak dapat dikonsepsikan sebagai seseorang yang memiliki batas usia antara 12 sampai 18 tahun yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang

(4)

dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan tentang perilaku delinkuensi anak sebagai perwujudan criminal offences dan status offences. Criminal Offences, diartikan sebagai perilaku delinkuensi anak yang merupakan tindak pidana apabila dilakukan oleh orang dewasa. Adapun Status Offences, adalah perilaku delinkuensi anak yang erat kaitannya dengan statusnya sebagai anak, perilaku-perilaku tersebut pada umumnya tidak dikategorikan sebagai suatu tindak pidana bila dilakukan oleh orang dewasa.

Perluasan pengertian delinkuensi, dengan memasukkan status offences, merupakan konsekwensi dari azas Parent Patriae. Asas yang berarti negara berhak mengambil alih peran orang tua apabila ternyata orang tua, wali atau pengasuhnya tidak menjalankan perannya sebagai orang tua (1 Paulus Hadisuprapto 2003:30).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 dan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 beserta penjelasannya, Pengadilan Anak merupakan Pengadilan Khusus, merupakan spesialisasi dan diferensiasinya dibawah Peradilan Umum. Peradilan Anak diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997, yang merupakan ketentuan khusus. Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Pengadilan Anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum.

Perlakuan yang harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, yaitu pada kenyataannya secara biologis, psikologis dan sosiologis, kondisi fisik, mental dan sosial anak menempatkan nya pada kedudukan khusus. Peradilan Anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan.

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 ditegaskan bahwa Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang- undang (UU N0. 48/2009).

Pasal 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditegaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

a. perlindungan;

b. keadilan;

c. non diskriminasi;

d. kepentingan terbaik bagi Anak;

e. penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;

g. pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. proporsional;

i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;dan j. penghindaran pembalasan.

Salah satu usaha penegakan hukum itu adalah melalui Peradilan Anak sebagai suatu usaha perlindungan anak untuk mendidik anak tanpa mengabaikan tegaknya keadilan. Peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan terhadapkepentingan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosialisasi menjadi landasan peradilan anak.

(5)

Menegakkan keadilan terhadap Anak Nakal merupakan usaha membina anak- anak. Kesejahteraan anak itu penting karena:

a. Anak merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;

b. Agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab, ia mendapat kesempatan tumbuh dan berkembang secara wajar;

c. Dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi;

d. Anak belum mampu memelihara dirinya sendiri;

e. Menghilangkan hambatan tersebut hanya dapat dilaksanakan dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dan preskriptif karena dilakukan untuk mencari data tentang karakteristik suatu keadaan atau gejala-gejala yang dapat membantu mengkaji teori mengenai sistem peradailan pidana anak. Sifat penelitian preskriptif karena penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah sistem peradilan terhadap Anak (1 Paulus Hadisuprapto 1995:10). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder (Barda Nawawi Arief 1994:73). Namun sebagai data pendukung digunakan pula data primer sebagai pelengkap.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik studi Kepustakaan (Library Research), untuk memperoleh data sekunder berupa (Ronny Hanitijo Soemitro 1990:24-25)

Bahan hukum primer, bahan hukum serta bahan hukum tertier. Sebagani penunjang dilakukan penelitian Lapangan (Field Research) dengan wawancara/interview (Kartini Kartono Kartini Kartono1990:207) terhadap para penegak hukum khususnya beberapa orang hakim anak baik yang ada di PN Bandung maupun PN Bale Bandung. Analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini juga terarah pada analisis data yang bersifat yuridis kualitatif, dengan menggunakan logika induktif abstraktif, logika yang bertolak dari

“khusus ke umum”.

2.3 Hasil Penelitian

2.3.1 Penanganan Terhadap Anak yang Bermasalah dengan Hukum (ABH) di PN Bandung dan PN Bale Bandung.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun kepanitraan pidana PN Bandung selama empat tahun terakhir, secara kuantitatif jumlah perkara anak mengalami penurunan.

Kalau pada tahun 2010 jumlah perkara anak yang masuk sebanyak 72 kasus, maka setiap tahun jumlahnya menuurun dan tahun 2013 sebanyak 50 kasus.

Pada umumnya pelanggaran yang dilakukan meliputi tindak pidana pencuian, narkotika dan psikotropika serta membawa senjata tajam. Namun demikian sebagian besar pelanggaran hukum yang dilakukan anak adalah tindak pidana pencurian.

Begitu juga data perkara anak yang ada di PN Bale Bandung. berdasarkan data tahun 2013 tercatat sebanyak 59 kasus anak yang masuk dan ditanganai oleh PN Bale Bandung. Sedangkan tahun 2014 sampai dengan bulai Mei 2014 tercatat sebanyak 12 kasus anak. Jenis pelanggaran yang dilakukan meliputi: pencurian, penganiayaan, perampokan, dan penghinaan. Namun tidak jauh berbeda dengan data yang ada di PN Bandung, sebagian besar jenis pelanggaran yang dilakukan anak didominasi oleh tindak pidana pencurian.

(6)

Dengan melihat jenis pelanggaran yang dilakukan menunjukan bahwa faktor kondisi sosial terkait masalah ekonomi sangat besar mempengaruhi perilaku pelanggaran yang dilakukan anak. Dengan demikian, masalah pelanggaran hukum yang dilakukan anak/kenakalan anak sesungguhnya bukan semata-mata persoalan hukum/yuridis semata.

Atas dasar itu pula bahwa dalam penanganan anak perlu diberikan perlakuan- perlakuan khusus karena anak jiwanya belum matang. Termasuk ruangan sidang khusus, pemeriksaan tertutup untuk umum, mendapat pendampingan, dan tidak menggunakan pakaian dinas selama dalam proses pemeriksaan sebagaimana ditegaskan dalam Undang- Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Dilain pihak fakta menunjukan bahwa setelah anak ditangani melalui proses peradilan, semua diakhiri dengan penjatuhan sanksi pidana perampasan kemerdekaan, baik berupa pidana penjara maupun kurungan. Hal itu tidak mengherankan karena dalam Undang-undang Pengadilan Anak sendiri jenis ancaman pidana terhadap anak lebih mengedepankan ancaman sanksi pidana badan. Hal lain yang mempengaruhi putusan hakim dalam menangani masalah anak adalah selain karena masih besarnya pengaruh pemikiran peradilan pidana yang didasari filosofi pembalasan serta masih adanya sebagian penegak hukum yang memandang anak yang bermasalah dengan hukum sebagai seorang penjahat kecil. Selian itu, tekanan masyarakat khususnya korban/keluarga korban yang selalu menolak untuk memaafkan pelaku berpengaruh terhadap hakim dalam memutus pewrkara anak.

2.3.2 Pembaharuan Penanganan Anak Berdasarkan UU No.11/ 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sistem peradilan pidana merupakan reaksi resmi yang dilakukan negara terhadap pelaku kejahatan ataupun kenakalan. Secara umum tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah sebagai perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), dalam arti sempit sebagai pencegahan terhadap kejahatan dan kenakalan serta resosialisasi petindak pidana.

Penanganan terhadap pelanggaran hukum pidana yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai masyarakat dan yang merupakan kehendak masyarakat, dalam sistem hukum masyarakat modern (masyarakat yang kompleks) ditangani oleh sistem peradilan pidana (criminal justice system). Menurut Chambliss dan Seidmen, bahwa ciri pokok yang membedakan masyarakat primitif dan tradisional dengan masyarakat kompleks adalah birokrasi. Masyarakat modern bekerja melalui organisasi-organisasi yang disusun secara formal dan birokratis dengan maksud untuk mencapai rasionalitas secara maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis.

Demikian pula hukum di dalam masyarakat modern itu tidak luput dari pengaruh birokratisasi itu (Satjiopto Rahardjo 1980:74). Kenyataan tersebut tidak dapat dipungkiri telah mengkodisikan sebagian lapisan masyarakat Indonesia, sehingga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kebutuhan jalannya penerapan sistem hukum, termasuk dalam proses peradilan pidana anak.

Perubahan yang sangat mendasar dalam UU No.11/2012 adalah ditegaskannya ketentuan tentang Diversi sebagai proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Ditegaskannya penanganan anak melalui Diversi, dengan tujuan agar anak yang bemasalah dengan hukum tidak secara langsung ditanganani melalui peradilan secara prosedural formal. Hal tersebut antara lain agar anak yang bermasalah dengan hukum terhindar dari dampak negatif sistem peradilan pidana. Secara singkat dapat dikatakan bahwa diversi adalah pengalihan proses formal pemeriksaan perkara anak kepada proses

(7)

informal dalam bentuk program-program diversi, jika memenuhi syarat-syarat tertentu.

Tujuan dari diversi adalah menghindarkan anak dari prosedur resmi beracara di pengadilan dan mengurangi kemungkinan terjadinya bentuk residivisme di masa mendatang. Misi ide diversi bagi anak-anak menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara di pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku tindak pidana ringan di bawah umur yang baru pertama kali melakukan, melalui kegiatan yang terprogram dan memberikan bentuk pengabdian sosial secara nyata pada masyarakat, adapun tujuan utama adalah guna mengarungi residivis bagi peserta program.

Dengan adanya kesempatan ini, para anak muda diberikan kesempatan untuk menjadi sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan.

Implementasi diversi memberikan kewenangan penegak hukum untuk menentukan kebijakan (discretionary power), oleh karena itu implementasi diversi membutuhkan penegak hukum anak yang peka akan kebutuhan anak, dan handal. Karena besarnya kewenangan yang diberikan kepada penegak hukum, dapat saja disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau tertentu dan akan meninggalkan kepentingan terbaik anak.

3 Penutup 3.1 Kesimpulan

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa:

1) Penanganan anak melalui proses peradilan pidana berdasarkan UU No. 3/1997 dalam praktiknya selalu diakhir dengan putusan penjatuhan sanksi pidana perampasan kemerdekaan. Baik berupa pidana penjara maupun pidana kurungan.

2) Pembaharuan dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum berdasarkan UU No.11/2012 diselesaikan melalui Diversi sebagai salah satu bentuk peradilan restoratif dengan melibatkan berbagai fihak baik pelaku, korban maupun masyarakat.

Diversi dilakukan baik pada tingkat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun setelah anak berada di lembaga Pemasyarakatan.

3.2 Saran

Sebagai rekomendasi, disarankan hal-hal sebagai berikut:

1) Agar seluruh penegak hukumserta masyarakat memahami filosofi UU No. 11 Tahun 2012 upaya sosialisasi harus terus dilakukan.

2) Pemerintah sesegera mungkin melengkapi inprastruktur sebagai penunjang sarana prasarana yang dapat mendukung efektifitas UU No. 11 Tahun 2012.

3) Setiap Instansi terkait segera menindaklanjuti UU No. 11 Tahun 2012 dengan menyusun peraturan teknis sebagai Pedoman pelaksanaan di lapangan.

Daftar Pustaka

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Penerapan Sanksi Pidana Penjara. Ananta, Semarang,1994.

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta, 1992.

---, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung, Mandar Maju, 1990.

Paulus Hadisuprapto, Pemberian Malu Integratif sebagai Sarana Non-Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak. Disertasi Doktor Ilmu Hukum, UNDIP, 2003.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri. UI Press, 1990.

Satjiopto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.

(8)

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta. Raja Grafindo Persada, 1995.

---, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Pres, 1984.

Perundang-Undangan:

UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteran Anak. Lembaran Negara RI Tahun 1979 Nomor 32.

SMR-JJ (Beijing Rule), Scope of the Rules and definition used, 1986.

United Nations Children’s Fund, Convention On The Child, Resolusi PBB 44/25, 20 Nopember 1989.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 3.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235.

UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sumber Lain:

http://m.antaranews.com/berita/1270440109/jumlah-tahanan-anak-di-lapas-terus- meningkat diakses pada hari selasa tanggal 22 April 2013 pukul 20.00 wib http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly .

Referensi

Dokumen terkait

Ubah data Data golongan yang akan dirubah di dalam database, klik simpan maka Data pada server Database akan berubah. Data golongan yang akan dirubah di dalam database,

Syafar pada penelitiannya merancang sebuah alat sekuriti pada kendaraan motor dengan metode NFC (Near Filed Communication) [2]. Penelitian ini difokuskan pada sistem

 Dalam rangka melaksanakan amanat UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dibentuklah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak

Apabrla rekomendasi teknis menyatakan bahwa permohonan perizinan dapat diberikan rekomendasi untuk diterbitkan, maka Back Office mencetak Nota Dinas Permohonan.

Kepala Seksi Bina Satuan Linmas atau Kepala Seksi Bina Potensi Masyarakat membuat nota dinas dan konsep surat pemberitahuan Pembinaan dan Pemberdayaan Satuan Linmas atau

Data penelitian berupa penggalan kalimat dan dialog yang mengandung konsep bushido pada tokoh Momotaro, Kintaro, dan Urashimataro dalam cerita rakyat Jepang

Temuan lain dari penelitian ini adalah faktor keluarga dan faktor yang dulu bahkan tidak disadari oleh remaja yaitu faktor keyakinan akan kekuatan Allah serta faktor social