• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemimpin legal formal di organisasi keagamaan diharapkan dapat memainkan fungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. pemimpin legal formal di organisasi keagamaan diharapkan dapat memainkan fungsi"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kemandirian dalam suatu organisasi tidak terlepas dari kontribusi para pemimpin dalam memberikan suatu konsepsi untuk menyumbangkan gagasan dalam proses kemandirian. Pendeta, Majelis atau Pengurus gereja yang notabene sebagai pemimpin legal formal di organisasi keagamaan diharapkan dapat memainkan fungsi pastoralnya bagi proses pertumbuhan rohani jemaat dan kemandiriannya. Menurut Mesach Krisetya, seorang konselor pastoral harus ahli dalam hal membantu seseorang mencapai keutuhan spiritual sebagai pusat dari pertumbuhan manusia secara utuh.1 Dalam konteks jemaat Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) di Salatiga Timur, keahlian membantu tersebut tercermin dari praktik para pemimpin dengan pendampingan pastoral yang mengarahkan pertumbuhan spiritual secara individu, kelompok jemaat sampai menyentuh ke aras sosial masyarakat.

Mencermati dinamika kehidupan bergereja di Salatiga Timur, penulis melihat jemaat memiliki kesamaan harapan, yaitu rindu menjadi jemaat yang mandiri dan dewasa. Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) menghadapi tantangan seputar kemandirian gereja. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, Sinode Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) beranggotakan 65 jemaat (dewasa), 25 jemaat diantaranya

1.Mesach Krisetya, Konseling Seni Hubungan Antar Manusia, (Semarang: CV Sarana Gracia, 2019), 22.

(2)

2

memiliki gereja cabang dan total keseluruhan cabang berjumlah 47 jemaat.2 Pendekatan yang tepat untuk persoalan kemandirian menjadi kebutuhan GKMI, karena memiliki banyak gereja cabang yang tersebar di Indonesia, dengan usia gereja cabang rata-rata di atas 17 tahun (menurut usia manusia dikategorikan sudah dewasa).

Dari prapenelitian melalui wawancara terhadap para pimpinan gereja mengindikasikan bahwa dalam konteks jemaat GKMI di Salatiga Timur, yang terdiri dari 4 jemaat: GKMI Brangkongan (eks cabang GKMI Salatiga), GKMI Salatiga Cabang Sumberejo, GKMI Salatiga Cabang Cukilan dan GKMI Salatiga Cabang Jangglengan, syarat untuk menjadi jemaat dewasa yang ditandai oleh kemampuan jemaat membiayai segala kebutuhan pelayanan menjadi suatu pergumulan yang berat3. Selain faktor finansial, faktor sumber daya manusia yang dirasa masih sangat terbatas juga menjadikan pergumulan yang tidak bisa dianggap ringan.4 Mereka rindu bersama jemaat untuk menjadi gereja yang mandiri dan dewasa, seperti jemaat Brangkongan yang telah didewasakan oleh GKMI Salatiga. Secara de jure GKMI Brangkongan diterima menjadi anggota Sinode GKMI yang ke – 62 oleh Persidangan Raya XXVIII di Surakarta.5 Kemandirian dan pendewasaan GKMI Brangkongan adalah buah dari suatu proses pendampingan oleh GKMI Salatiga

2 Data dari Kantor Sinode GKMI di Semarang.

3 Hasil wawancara dengan Bp.Darsono, Tenaga Orientasi di GKMI Salatiga Timur, 7 April 2021, Jam:16.12 WIB

4 Hasil wawancara dengan Bp.Antonius, Tenaga Pra Orientasi di GKMI Salatiga Timur, 7 April 2021, Jam: 17.15 WIB

5 Data dari arsip GKMI Brangkongan, hal: Surat Penerimaan

(3)

3

dengan waktu yang cukup panjang, dimana di dalamnya diwarnai dinamika konflik nonrealistis.

Penting dan urgen bagi gereja anggota Sinode GKMI memandirikan jemaat cabang karena dari segi usia jemaat yang ada di cabang - cabang telah berusia lebih dari 17 tahun, terkhusus jemaat GKMI di Salatiga Timur berusia lebih dari 40 tahun.

Waktu yang lama ini bila dibiarkan akan berdampak negatif secara psikologis, yakni menjadikan jemaat bermental bergantung atau dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai njagakke. Pada gilirannya dengan mental yang bergantung itu menjadikan jemaat tidak berdaya dan tidak memiliki visi organsasi yang jelas. Seorang tokoh gereja di Salatiga Timur Bapak Stk, mengatakan: Amsal Salomo mengingatkan bahwa ketika tidak ada visi maka liarlah rakyat. Ketiadaan visi untuk menjadi gereja yang mandiri akan menjadikan jemaat dan gereja hanya berkutat pada hal-hal yang tidak penting dan gagal memenuhi panggilanya. Jika mereka masih dalam status cabang maka kiprah mereka sebagai gereja yang memiliki tri tugas gereja yakni koinonia, diakonia dan marturia terbatas di aras lokal saja. Mereka belum dapat diterima menjadi anggota di Sinode GKMI. Sementara gereja dipanggil untuk menjadi terang dan garam bagi sekelilingnya.6

Dari realitas di lapangan menunjukkan bahwa kemandirian jemaat di Salatiga Timur khususnya di Brangkongan dapat tercapai melalui suatu pendekatan yang dilakukan oleh GKMI Salatiga. Meminjam istilah dari Engel, pendekatan ini disebut pendampingan pastoral ke-Indonesiaan. Dijelaskan bahwa pendampingan pastoral

6 Hasil wawancara dengan Bp.Stk, Brangkongan, 7 April 2021, pukul 13.20 WIB.

(4)

4

adalah suatu upaya yang disengaja untuk memberi pertolongan kepada seseorang ataupun kelompok yang sedang mengalami masalah atau sakit, agar masalah tersebut tidak menjadi penghalang dalam pertumbuhan di berbagai segi kehidupan.7 Dari terminologi ini maka dapat dipahami bahwa pendampingan pastoral dilayankan bukan hanya untuk individu, namun juga untuk suatu kelompok agar dapat bertumbuh dengan baik. Dalam konteks penelitian ini kelompok tersebut adalah jemaat GKMI di Salatiga Timur..

Aart Van Beek mengemukakan bahwa bagi jemaat Kristen konteks Indonesia praktik pastoral dipahami sebagai pelayanan penggembalaan. Berbicara soal penggembalaan, Aart Van Beek merujuk pada gurunya Howard Clinebell, dimana ia lebih menekankan fungsi dari pada tipe. Fungsi penggembalaan terdiri dari fungsi membimbing (misalnya dalam konseling pra-nikah), fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan (konflik antar pribadi, masalah iman), fungsi menopang/menyokong (dalam menolong mereka yang mengalami krisis kehidupan), fungsi menyembuhkan (orang yang berdukacita, yang terluka batinnya), fungsi mengasuh (mendorong ke arah pengembangan, pertumbuhan secara holistis).8 Maka dari itu bentuk pastoral bercorak ke-Indonesiaan terkonstruksi dalam praktik penggembalaan yang berfungsi secara utuh bagi kesejahteraan manusia.

Menurut Howard Clinebell penggembalaan adalah suatu pelayanan yang luas cakupannya. Penggembalaan mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan

7 Jacob Daan Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol.6, No.1, (2020)

8 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 12.

(5)

5

menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka. 9 Ini berarti mempertegas peran pastor/pendeta dalam pelayanan penggembalaan diperlukan oleh jemaat sepanjang hidup mereka. Mengacu pada peran dan fungsi penggembalaan tersebut maka tidaklah berlebihan jika kehadiran pastor atau pendeta yang mendampingi sangat dibutuhkan bagi proses pemulihan kehidupan jemaat secara individu dan perkembangan gereja secara komunal.

Menurut Engel pendampingan pastoral yang dalam bahasa alkitabiah dipakai untuk melakukan tugas penggembalaan, tidak hanya memulihkan, tetapi juga mengembangkan potensi yang dapat digunakan untuk melayani Tuhan dalam pelayanan kepada sesamanya.10 Dari rangkaian pengertian di atas, maka praktik pastoral yang dimaksud penulis adalah tindakan pendampingan pastoral yang bukan hanya terbatas pada pemulihan individu, melainkan juga menyentuh ke ranah pemberdayaan potensi jemaat yang diperuntukkan bagi pertumbuhan komunitas sosial bergereja.

Harus diakui bahwa secara historis pendampingan pastoral gereja-gereja di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pendampingan bercorak Barat. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena masuknya kekristenan di negeri Indonesia adalah dibawa oleh para penginjil Barat, khususnya Eropa. Pendampingan Barat menekankan pada pendekatan individualis tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan agama

9 Howard Clinebeel, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 32.

10 J.D.Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 4

(6)

6

masyarakat Indonesia yang plural. Pendekatan deskriptif analitis untuk mendeskripsikan dan menganalisis perjumpaan budaya dalam perspektif spiritual dan agama menjadi suatu upaya pendampingan yang mengacu pada peningkatan, pengembangan dan transformasi masyarakat. Perjumpaan budaya menjadi suatu upaya pendampingan pastoral dalam rangka memberdayakan, menghidupkan serta memanusiakan manusia Indonesia yang berbeda-beda karakteristiknya.11

Banawiratma mengemukakan, di Asia sudah lama diyakini bahwa mengambil alih teologi Barat begitu saja atau berteologi secara Barat tidaklah sesuai lagi dalam mengupayakan pemahaman iman di Asia, termasuk di Indonesia.12 Menjadi tantangan tersendiri bagi gereja-gereja di Indonesia untuk mengupayakan berteologi dan bertindak secara pastoral yang sesuai dengan konteks Indonesia. Secara khusus bagi para pendeta dalam mendampingi jemaat di tengah kompleksnya persoalan hidup dan eksistensi gereja di tengah masyarakat. Terkait dengan pemberdayaan sosial bergereja, penting dipahami oleh komunitas masyarakat gereja untuk sadar konteks.

Menurut Yusak B.Setyawan dalam perspektif studi-studi poskolonial, gereja- gereja di Indonesia seharusnya berjuang untuk menjadi gereja bangsa merdeka dengan melakukan dekonstruksi eklesiologi dengan menjadi entitas anti kolonial yang dengan gigih melakukan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan/kekuatan yang menciptakan penindasan/penjajahan dalam dirinya sendiri agar menjadi gereja-

11 Jacob Daan Engel, “Pendampingan Pastoral Keindonesiaan”, Kurios: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, Vol.6, No.1, (2020)

12 J.B. Banawiratma, Teologi Fungsional – Teologi Kontekstual, dalam Eka Darmaputera (ed), Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 2.

(7)

7

gereja Indonesia yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.13 Kutipan ini menunjukkan adanya kesadaran yang muncul dari teolog Indonesia akan perlunya melakukan pelayanan tak terkecuali pendampingan pastoral yang relevan bagi jemaat Indonesia berdasarkan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia.

Pendampingan pastoral GKMI Salatiga terhadap empat jemaat cabang di Salatiga Timur sudah berjalan cukup lama. Bukti nyata hal tersebut adalah GKMI Salatiga telah melaksanakan hal-hal berikut ini kepada jemaat di Salatiga Timur14, yakni mengutus tenaga pelayan untuk melakukan penggembalaan, memberikan dukungan dana untuk sarana dan prasarana ibadah, secara terencana dan rutin melayankan pewartaan sabda dan sakramen guna pemeliharaan iman, dalam mengatasi kasus jemaat yang berat, pendeta dan majelis GKMI Salatiga turut membantu secara pastoral untuk penyelesaiannya, dan lain sebagainya.

Pendampingan pastoral yang terkait untuk kemandirian ekonomi jemaat, dilaksanakan oleh GKMI Salatiga melalui pelayanan Yayasan Prokeska, yang kemudian bernama Pamerdi Asih, sejak tahun 1978 – 2005.15

Pelayanan meliputi bantuan beasiswa, pelatihan ketrampilan kerja, pendampingan usaha kecil, bersama Yayasan Truka Jaya melaksanakan program transmigrasi, dan lain sebagainya. Pasca pembubaran Yayasan, saat ini hanya

13 Yusak B.Setyawan, “Menjadi Gereja Bangsa Merdeka Eklesiologi Ke-Indonesiaan Dari Perspektif Studi-Studi Poskolonial”, Makalah yang disampaikan pada Konsoltasi Gereja Orang Merdeka, diselenggarakan oleh OASE INTIM, Makasar, 23-25 Juli 2018.

14 Tim Penyusun Profil Gereja, Profil Gereja Kristen Muria Indonesia Salatiga Cabang Brangkongan, (Handout, Kab.Semarang: 2018), 5.

15 Hasil wawancara dengan Bp.Suhir, mantan pengurus Pamerdi Asih, 20 Mei 2021, pukul 17.00 WIB.

(8)

8

program beasiswa yang masih berjalan, dananya diwariskan oleh Yayasan Pamerdi Asih kepada Komisi Beasiswa Charitas GKMI Salatiga. Selanjutnya pada tahun 2017, dalam rangka menindaklanjuti usulan tokoh jemaat dalam sebuah Rapat Koordinasi, GKMI Salatiga secara intens memberikan pendampingan untuk kemandirian dan pendewasaan jemaat Brangkongan.

Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa praktik pendampingan pastoral secara holistik telah dilaksanakan oleh Pendeta dan Majelis GKMI Salatiga, sedangkan manajemen pendampingan pastoral terkait kemandirian jemaat oleh GKMI Salatiga belum tertata matang. GKMI Salatiga dan jemaat cabangnya tidak memiliki rencana jangka panjang dan terpadu untuk kemandirian atau pendewasaan jemaat. Menurut penulis ketiadaan grand design ini lebih dipengaruhi munculnya berbagai persoalan yang terjadi di GKMI Salatiga dan Salatiga Timur. Persoalan tersebut antara lain: adanya pergantian gembala jemaat di induk dan di cabang, berbagai konflik yang muncul dalam tubuh organisasi gereja induk dan konflik di gereja cabang. Model pelayanan pastoral selama dua dekade awal lebih bercorak individu. Menurut Pdt.Yusak B Setyawan yang pernah menjadi gembala di GKMI Salatiga, persoalan di GKMI Salatiga adalah tentang model gereja yang berpusatkan pada pelayanan gembala jemaat. Hal ini dipandangnya tidak baik untuk pertumbuhan gereja, sehingga diperlukan penyadaran dan pemberdayaan anggota jemaat sehingga menjadi gereja yang berpusat pada pelayanan warga jemaat. 16 Persoalan

16 Yusak B.Setyawan, Gereja Yang Tidak Siap Dalam Perubahan Yang Cepat, dalam Bunga Rampai Umat Yang Berkasih Karunia, Semarang: Pustaka Muria, 2018, 55

(9)

9

kepemimpinan dan model pendampingan pastoral ternyata turut mempengaruhi arah program gereja induk dan cabang. Melihat fakta ini, maka pemberdayaan jemaat semestinya menjadi hal yang tidak boleh diabaikan untuk menuju gereja yang mandiri.

Secara kolektif, jemaat Salatiga Timur telah menghidupi nilai-nilai kearifan lokal, yang menjadi kekuatan pastoral bersama. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya kebersamaan jemaat dalam berorganisasi, mereka saling menguatkan satu dengan lain melalui diakonia gabung, pelayanan sosial dalam wujud program bedah rumah. Di program ini jemaat secara bergotong royong menyumbangkan tenaga, dana, dan waktu untuk merenovasi rumah jemaat yang sekeng. Pembinaan kategorial sering dilaksanakan secara bersama, misalnya ibadah gabung kaum perempuan, kaum pria, kaum muda, yang dilaksanakan dengan sistem anjangsana. Praktik pastoral berbasis budaya lokal kental dilaksanakan di jemaat Salatiga Timur antara lain:

melayat pada keluarga yang berdukacita, dilanjutkan dengan ikut memberikan penghiburan melalui ibadah di rumah duka, besuk bersama ke jemaat yang sakit, rembukan atau musyawarah secara rutin setiap tiga bulan sekali untuk memecahkan persoalan-persoalan dan konflik jemaat. Pelayanan-pelayanan sosial jemaat tidak hanya bersifat intern, namun juga kepada masyarakat sekitar gereja.17 Antara lain:

diadakannya donor darah dan pengobatan gratis untuk masyarakat, gereja peduli terhadap pendidikan dengan mendirikan PAUD dan TK bagi masyarakat, gereja

17 Tim Penyusun Profil Gereja, Profil Gereja Kristen Muria Indonesia Salatiga Cabang Brangkongan, (Handout, Kab.Semarang: 2018), 6-9.

(10)

10

peduli pada kesehatan masyarakat dengan membangun fasilitas MCK (Mandi,Cuci,Kakus), warga jemaat terlibat aktif dalam aktifitas desa terwujud dalam kegiatan kerja bakti, menjadi pengurus RT, RW, dan Kelurahan.

Dalam rangka penelitian tesis, maka penulis akan meneliti pendampingan pastoral corak ke-Indonesiaan dikaitkan dengan pertumbuhan kelompok jemaat GKMI Brangkongan di Salatiga Timur menuju kemandiriannya. Untuk itu perlu juga dipahami apa yang dimaksud kemandirian dalam tulisan ini. Kemandirian berakar dari kata “mandiri” yang berarti berdiri sendiri, mengurus diri sendiri atau menentukan diri sendiri.18 Kata ini bukan kata yang lazim dalam kategori istilah Alkitab, melainkan muncul dari konteks kemanusiaan di bidang sosial, ekonomi dan politik, yakni suatu upaya melepaskan diri dari “ketergantungan” (dependency) pada otoritas dan dominasi yang lain serta berusaha untuk “mandiri” dalam arti berdiri di atas kaki sendiri, tanpa paksaan atau tekanan dari luar.

Dalam kaitan dengan pengertian kemandirian ini, Abdul Chamid melihat pengertian “kemandirian” dalam cakupan yang sangat luas: Kemandirian dalam konteks pengertian mandiri pribadi, mempunyai artian bersikap bertanggungjawab serta menyadari akan potensi diri untuk dikembangkan. Dalam hubungannya dengan dimensi kenegaraan, mandiri memuat arti sikap merdeka. Dilihat dari segi ekonomi, kemandirian suatu negara dapat diartikan sebagai suatu kemampuan membiayai kehidupan negaranya sendiri dengan tidak banyak bergantung pada

18 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, 630

(11)

11

dukungan/bantuan negara lain. Ungkapan-ungkapan kemandirian di atas merupakan sebagian dari pengertian dari kemandirian itu sendiri. Mungkin masih banyak lagi pengertian yang masih dapat digali. Kemandirian itu sendiri pada hakekatnya tidak bersifat monolitik (tunggal); melainkan sangat dipengaruhi oleh waktu, ruang, norma, etika dan budaya setempat.19 Untuk itu esensi dari kemandirian adalah suatu sikap bertanggungjawab dari seseorang atau suatu kelompok agar tidak tergantung terhadap pihak lain dalam menentukan eksistensinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah kemandirian merupakan istilah umum yang pengertiannya tergantung pada objek atau sasaran yang hendak diungkapkan. Secara epistemologi kemandirian lahir dari konteks sosial, ekonomi, dan politik. Dalam terminologi gerejawi kemandirian terkait erat dengan pokok pembicaraan sekitar: misi dan pelaksanaannya (oleh zending), hubungan zending dengan gereja pribumi, dan menyangkut keberadaan serta tanggungjawab menunaikan tugas panggilan gereja. Gereja-gereja di Indonesia mengambil istilah kemandirian dan memakainya untuk kemandirian gereja barulah muncul sekitar penghujung dekade 70-an dalam konteks pembicaraan tentang keuangan gereja.20

Sedangkan untuk GKMI sendiri, menggunakan istilah kemandirian gereja sebagai syarat keanggotaan yang tertuang dalam Tata Gerejanya. Dalam Pasal 12 poin 2.1.a mensyaratkan “Gereja Cabang atau Pos dapat didewasakan dengan persyaratan: menunjukkan kemandirian dalam hal: teologi, jati diri, organisasi,

19 Abdul Chamid, “Aspek-aspek Kemandirian” dalam Kemandirian Tonggak Pembangunan, (Solo: Yayasan Indonesia Sejahtera Solo, 1988), 2.

20 DGI, Laporan Lokakarya dan Konsoltasi Keuangan Gereja, 5-13 Juni 1980, di Jakarta.

(12)

12

keuangan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun”.21 Syarat dari kemandirian dari aras teologi dipahami sebagai jemaat yang memiliki seorang gembala yang berfungsi mengajarkan iman Kristen; kemandirian jati diri dimengerti sebagai eksistensi jemaat di tengah masyarakat sedemikian mengakar kuat; kemandirian organisasi ditunjukkan melalui adanya struktur kemajelisan dan pengurus komisi/kategorial; sedangkan kemandirian keuangan dibuktikan dengan kekuatan jemaat lokal dalam membiayai sendiri operasional pelayanan dan kontribusi setiap bulan kepada sinode dalam bentuk persepuluhan.

Secara historis “kemandirian” oleh gereja dengan melihat esensinya, sudah sejak masa zending gagasan kemandirian tersebut telah dipergunakan. Pada zaman penjajahan Belanda, upaya kemandirian lepas ketergantungan dari zending dapat kita lihat dengan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Sadrach. Sadrach memisahkan diri dari keluarga Philip dan membentuk sebuah kelompok Pasamuan Kristen Kang Mardiko.22 Menurut Suwarto, sikap Sadrach ini dilatarbelakangi dari hasil ngenger (mengabdi), dimana ngenger tidak sekedar menumbuhkan keberanian dan percaya diri, tetapi juga kemandirian dalam menghadapi tantangan. Selanjutnya dengan pendekatan kontekstual, Sadrach berani melakukan kemandirian berteologi, yang bisa disebut juga teologi pribumi.23 Teologi ini menekankan kenyataan bahwa teologi

21 Sinode GKMI, Tata Gereja Sinode GKMI, (Semarang: Sinode GKMI, 2018), 64.

22 Suwarto, Misi Pertobatan, dan Persaingan: Kenangan Terhadap Kiai Sadrach dan Pasamuan Kristen Mardiko Abada ke-19, serta implikasinya bagi Misiologi Kontemporer, Mission Sparks: Academic Journal of Asia Region, 9th Edition, 103.

23 Robert J.Schreiter, C.PP.S. , Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 11.

(13)

13

dilakukan oleh dan untuk suatu wilayah geografis tertentu. Oleh warga setempat untuk wilayah mereka, ketimbang oleh orang luar. Hal ini bertujuan memusatkan perhatian pada keutuhan dan jati diri usaha tersebut. Ini dipertentangkann dengan teologi yang universal atau kekal yang berusaha berbicara untuk segala tempat untuk periode yang panjang. Dalam pendekatan kontekstual untuk kemandirian teologi yang Sadrach lakukan menjadi tonggak sejarah penting bagi gereja orang Indonesia di tengah perjuangan kemerdekaan bangsa yang terjajah secara fisik maupun martabatnya.

Di zaman kolonial, kemandirian gereja juga telah ditunjukkan oleh seorang tokoh GKMI bernama Tee Siem Tat. Karena pertumbuhan yang pesat dalam kelompok jemaat, pada tahun 1926 ia mengajukan ijin permohonan untuk mendirikan gereja secara mandiri. Pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ijin untuk mendirikan gereja sendiri yang lepas dari ikatan maupun dari pengaruh zending Belanda.24 Gereja-gereja di Indonesia yang bergabung dalam persekutuan gereja-gereja di Indonesia secara sistematis telah merumuskan satu dokumen tentang kemandirian gereja di bidang teologi, daya, dan dana. Melihat fakta historis penulis mencermati bahwa kemandirian yang terjadi adalah sesuai dengan konteks sosial, politik dan geografis. Perkembangan selanjutnya, GKMI terus bergumul untuk tetap eksis dalam bergereja, berteologi dan bermasyarakat di bumi pertiwi Indonesia.

24 Wahyu Hidayat, Kaum Awam Dalam Pertumbuhan Gereja Kristen Muria Indonesia Di Sekitar Muria, (STT Abdiel Ungaran: Skripsi, 1995), 77.

(14)

14

Dokumen Dewan Gereja se-Dunia (DGD), Baptism, Eucharist, and Ministry (BEM), mencatat kalimat demikian, “Strong emphasis should be placed in the active participation of all members in the life and decision-making of the community.” 25 Dari kutipan kalimat ini terlihat bahwa DGD menggarisbawahi pentingnya entitas jemaat lokal, yang dicirikan oleh pengambilan keputusan di dalam dan bagi jemaat.

Jemaatlah yang semestinya berpartisipasi aktif dalam mengambil keputusan. Hal ini selaras dengan ide perjuangan dari reformasi yang dilancarkan Martin Luther. Ia menyuarakan “imamat am orang percaya” (priesthood of all believers).26 Jika tiap- tiap warga jemaat memiliki jalan masuk yang sama kepada anugerah Allah, maka tiap-tiap warga jemaat juga memiliki hak, kewajiban, tanggung jawab yang sama pula untuk melayani Allah. Ini berarti jemaat lokal merupakan konteks yang paling konkret untuk menjadi wahana perwujudan imamat am orang percaya. Dalam tataran lebih praktis, imamat am orang percaya mewujud dalam proses pengambilan keputusan jemaat. Seluruh warga jemaat wajib dan bertanggung jawab untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali dengan jernih kehendak Kristus bagi sidang jemaat-Nya. Tugas ini bukan privilege sebagian kecil kelompok orang yang disebut klerus dan majelis jemaat, sekalipun mereka ditahbiskan di dalam kebaktian jemaat. Dengan perkataan lain, persidangan jemaat merupakan cerminan dari otoritas

25 Baptism, Eucharist, and Ministry, Faith and Order # 111 (Geneva World Council of Churches, 1982), 26

26 Luther bukan menciptakan ide ini, ia mengaku menemukan ide ini berdasarkan kesaksian Kitab Suci, khususnya PB, mis. 1 Petrus 2:5, Why.1:6; 5:10; 20:6), semua dapat menghampiri tahta anugerah melalui Kristus (Ibr.4:15-16; 10:19-20). Jemaat memiliki hak istimewa serta tanggung jawab untuk berbagian dalam fungsi keimaman.

(15)

15

Kristus bagi sidang jemaat-Nya, di mana tiap-tiap warga jemaat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencermati kehendak Kristus bagi kehidupan gereja dalam persidangan jemaat. Persidangan jemaat merupakan titik tolak yang meretas gambar gerak langkah gereja.

Persidangan jemaat berfungsi untuk menetapkan visi dan misi gereja, rencana strategis, program-program gereja dan peranti-peranti aturan yang harus ditetapkan sebagai sarana terselenggaranya keputusan persidangan jemaat. 27 Untuk melaksanakan keputusan, maka dibentuklah organ kepemimpinan jemaat yang dinamakan Majelis Jemaat, untuk melaksanakan keputusan persidangan jemaat, dan mempertanggungjawabkan tugasnya kepada persidangan jemaat. 28 Mengangkat pokok imamat am orang percaya dalam konteks yang lebih luas, maka jemaat-jemaat lokal menjalin relasi dan persekutuan dalam sebuah wadah yang disebut sinode.

Sinode dalam konteks ini diartikan kesepakatan untuk berjalan bersama, atau komitmen untuk menempuh jalan yang sama. Berarti, sinode bukan super-church.

Sinode dijiwai semangat kesadaran dan kesukarelaan anggota. Setiap gereja anggota mengutus wakil untuk mengikuti sidang, untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali kehendak Kristus bagi persekutuan gereja-gereja.29 Dari sisi spiritualitas, maka persidangan jemaat dan keterjalinan dalam jaringan persekutuan yang lebih luas

27 Tim Penyusun, Tata Gereja- Tata Dasar & Tata Laksana, Pasal 15.2.a. tentang Persidangan Jemaat, (Semarang: Pustaka Muria, 2019), 144.

28 Tata Laksana 14.2.a. tentang Majelis Jemaat (MJ)

29 Bagi GKMI, kepemimpinan tertinggi terletak pada Persidangan Raya, sebagai sarana rembug visi-misi, tata nilai dan program, serta pengambilan keputusan atas masalah-masalah yang dihadapi GKMI.

(16)

16

merupakan pengalaman rohani atau sebuah laku waskitha komunal. Umat Allah belajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap kehendak Allah. Dalam sistem kongregasional sinodal kesadaran warga jemaat untuk bertanggung jawab dalam bergereja, berteologi dan bersosial menjadi sangat penting, terlebih untuk menuju kemandirian dan pendewasaan gereja.

GKMI telah lama memilih sistem organisasi kongregasional sinodal, namun seringkali sistem ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan masalah. Pada satu masa, muncul tuntutan agar Sinode lebih aktif dalam memberikan fatwa dan keputusan tegas terhadap pelbagai isu. Pada masa lain, gereja-gereja lokal ingin berjalan sekehendak hati tanpa memedulikan Sinode. Di aras jemaat lokal sistem kongregasional diejawantahkan dengan corak pelayanan pastoral yang beragam. Ada yang cenderung mengarah ke sistem presbiterial, dengan menempatkan majelis sebagai yang sentral dalam memberikan keputusan, ada juga yang mengararah ke episkopal, dimana pastor atau pendeta menjadi pusat pelayanan dan keputusan.

Pendampingan pastoral untuk kemandirian jemaat GKMI, semestinya memperhatikan sistem kongregasional sinodal agar dilaksanakan dengan konsekuen, karena sistem yang menitik beratkan peran serta semua warga jemaat dalam seluruh gerak kehidupan bergereja, telah menjadi kesepakatan bersama sebagai tatanan komunitas jemaat GKMI dalam berorganisasi.

Dengan memperhatikan perkembangan dan fakta historis di atas maka posisi dari topik penelitian seputar pendampingan pastoral yang bercorak ke-Indonesiaan

(17)

17

bagi upaya kemandirian jemaat GKMI Di Salatiga Timur merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perkembangan yang ada sesuai konteks zaman dan tempatnya.

Disadari oleh gereja-gereja di Indonesia akan pentingnya upaya menuju kemandirian bidang teologi, daya dan dana sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Namun usaha tersebut seringkali merupakan upaya perjuangan yang berjalan sendiri-sendiri sampai saat ini. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri, tak terkecuali bagi konteks jemaat GKMI Brangkongan di Salatiga Timur. Demikian juga tantangan mengupayakan kemandirian jemaat telah menjadi pergumulan berat bagi gereja-gereja induk yang memiliki cabang dengan usia yang tidak lagi muda, khususnya dalam rangka menemukan pendekatan yang relevan untuk tercapainya kemandirian jemaat cabang..

Dengan khazanah pemahaman dan pergumulan gereja-gereja di Indonesia tersebut, maka penelitian ini akan bermanfaat sebagai alternatif pendekatan melalui pendampingan pastoral ke-Indonesiaan yang dapat dipilih. Penelitian ini juga akan bermanfaat secara langsung terhadap gereja-gereja cabang di Salatiga Timur, yang konteks sosial dan tantangannya sama dengan yang dihadapi GKMI Brangkongan dalam mewujudkan kemandiriannya.

Terdapat penelitian terdahulu tentang kemandirian gereja, diantaranya oleh Nurliani Siregar. Terbahas bagaimana gereja dalam kemandiriannya harus tetap mempertahankan ortodoksi yang alkitabiah tentang persoalan partikularitas Yesus sebagai jalan, kebenaran dan hidup dalam rangka menghadapi relativisme

(18)

18

postmodern zaman ini.30 Sedangkan peneliti lainnya yakni Rifai menekankan perlunya kemandirian gereja melalui pengajaran kepada warga jemaat tentang kemandirian ekonomi. Hal ini dapat dicapai melalui peran koperasi dalam menolong jemaat agar dapat mandiri secara ekonomi. Masalah kemandirian ekonomi warga perlu mendapatkan perhatian utama jika bangsa Indonesia menginginkan perubahan mendasar kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.31 Dalam rangka peningkatan kesejahteraan hidup jemaat, Rai Rubin Barlian mengungkap bahwa melalui Program Gereja Mitra dapat menjadi alat untuk pelayanan pengembangan (development) hingga mencapai kemandirian ekonomi jemaat bagi gereja yang mengalami masalah keuangan. Program ini memiliki konsep gereja yang sehat mendampingi gereja yang tidak sehat, dengan memberdayakan jemaat dan gereja sebagai subyek dan bukan obyek.32 Paullis Ngaji Yunus D.A. Laukapitang meneliti tentang Korelasi Praktik Enterpreneurship Terhadap Kemandirian Gereja IFGF di Flores Jemaat Maumere. Dalam penelitian tersebut disajikan bentuk-bentuk enterpreurship gereja IFGF dan korelasinya terhadap kemandirian. Ditekankan juga soal pentingnya pendeta memiliki jiwa entrepreneur.33 Senada dengan hal ini, Markus Kusni mengemukakan gagasan bahwa pendeta yang berjiwa entrepreneurship

30 Nurliani Siregar, Wajah Kemandirian Gereja Batak, Jurnal Teologi dan Masyarakat, SIGE:

Jurnal Teologi dan Masyarakat, Edisi No.2 (2018)

31 Rifai, Peranan Koperasi dalam Membangun Kemandirian Ekonomi Warga Gereja: Studi Kiprah Koperasi Serba Usaha (KSU) Lidia di Gereja Kristen Jawa Manahan, Surakarta, EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani, Vol 3, No.1 (2019)

32 Rei Rubin Barlian dan Anna Budi Kristiani, Pengembangan Jiwa Kewirausahaan Dalam Program Gereja Mitra di Gereja Kristen Abdiel Kasih Karunia Cengkong, Tuban, Jawa Timur, Geneva: Jurnal Teologi dan Misi, Vol 2, No.2 (2020)

33Diakses dari Repository Skripsi Online, 2021- skripsi sttjafray.ac.id, 7 April 2021,jam:

18.30 WIB

(19)

19

dalam kepemimpinannya, membuat gereja akan maksimal untuk melaksanakan pelayanan diakonianya. Hal tersebut disebabkan karena pemimpin berjiwa entrepreneurship terbiasa dengan pola kemandirian.34 Lebih jauh dari gagasan ini, Mona Lintong dkk telah meneliti tentang pelaksanaan pendidikan kewirausahaan bagi mahasiswa di STT Star’s Lub. Diungkap bahwa STT ini sudah memberi perhatian kepada pendidikan kewirausahaan bagi mahasiswa calon pendeta, mengingat pentingnya memiliki jiwa kewirausahaan yang dapat mendukung aspek kemandirian dana, di mana aspek tersebut menjadi pergumulan konkrit gereja-gereja kecil di wilayah pedesaan. 35 Meski penelitian sebelumnya tentang kemandirian telah diadakan, namun lokus penelitian berbeda satu dengan lainnya. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus pada kemandirian jemaat yang ditinjau dari pastoral ke-Indonesiaan. Adapun lokus penelitian adalah di jemaat GKMI Salatiga Timur.

Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti berkepentingan untuk mendeskripsikan dan menganalisis lebih dalam dengan rumusan judul PENDAMPINGAN PASTORAL KEINDONESIAAN UNTUK KEMANDIRIAN JEMAAT DI GKMI SALATIGA TIMUR.

34Markus Kusni, Jiwa Entrepreneurship Pemimpin dalam Penatalayanan Gereja, PNEUMATIKOS: Jurnal Teologi Kependetaan, Vol 10, No.2 (2020)

35Mona Lintong, Ermin Alperiana Mosooli, Leo Mardani Runduingan, Lefran, Pendidikan Kewirausahaan bagi Mahasiswa Program Studi Teologi STT Star’s Lub untuk Kemandirian Finansial Gereja, VISIO DEI: Jurnal Teologi Kristen, Vol 3, No.2 (2021)

(20)

20 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendampingan pastoral ke-Indonesiaan di GKMI Salatiga Timur dalam rangka kemandirian jemaat?

2. Bagaimana pemahaman jemaat di GKMI Salatiga Timur tentang kemandirian gereja?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji pelaksanaan pendampingan pastoral ke-Indonesiaan di GKMI Salatiga Timur dalam rangka kemandirian jemaat.

2. Mengkaji pemahaman jemaat di GKMI Salatiga Timur tentang kemandirian jemaat.

1.4. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Secara Teoritik

Manfaat secera teoritik dapat menjadi acuan bagi cabang-cabang GKMI Salatiga wilayah Salatiga Timur, yang saat ini sedang berjuang untuk menjadi gereja yang mandiri. Sedangkan relevansinya adalah penelitian ini secara umum dapat menjadi salah satu referensi tentang praktik pastoral yang kontekstual bagi gereja-

(21)

21

gereja di Indonesia dan dapat memberi kontribusi bagi Sinode GKMI yang memiliki puluhan jemaat cabang yang tersebar di wilayah Indonesia.

2. Manfaat Secara Praktis

Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah dapat menjadi alat evaluasi dalam mengetahui sejauh mana dampak pendampingan pastoral yang telah dilakukan oleh GKMI Salatiga terhadap cabang-cabangnya di Salatiga Timur, khususnya melalui pendampingan pastoral bercorak ke-Indonesiaan.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif adalah proses mencari serta memahami makna dari sejumlah individu dan kelompok dalam realita sosial yang tengah menghadapi masalah sosial atau kemanusiaan. Metode ini dipilih karena kemampuannya untuk memberikan gambaran rinci dan mendalam tentang suatu peristiwa atau perilaku orang atau kelompok orang di suatu masa dan tempat tertentu.36 Pendekatan kualitatif dalam konteks penelitian ini akan menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata- kata tertulis maupun lisan dari para responden dan tindakan yang diamati. Dari lima pendekatan yang ada, penulis akan memakai satu pendekatan kualitatif yakni studi grounded theory. Pendekatan teori ini berpijak pada pendekatan prosedur sistematis yang memanfaatkan kausalitas, konsekuensi, coding selektif dan sebagainya dari

36 Djaman Satori & Aan Komarian, MetodologiPenelitian Kualitatif (Bandung:Penerbit Alfabeta, 2010), 219.

(22)

22

fenomena yang diteliti.37 Adapun sumber data dan tehnik pengumpulan data akan penulis lakukan melalui empat komponen.

1. Penelitian Dokumen

Penelitian ini digunakan untuk menilisik subjek bisu, yang terdiri atas teks- teks tertulis dan artefak-artefak.38 Sartono Kartodirdjo membuat kategorisasi atas dokumen yaitu pertama dokumen dalam arti sempit dan kedua dokumen dalam arti luas. Dokumen yang pertama merupakan kumpulan data verbal yang berupa tulisan.39 Dokumen jenis kedua merupakan artifak, monumen foto, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini digunakan kedua kategorisasi dari dokumen tersebut.

Dokumen ini digunakan untuk mengetahui gambaran secara historis masa lalu sampai masa kini mengenai jemaat GKMI Salatiga Timur.

2. Wawancara

Wawancara dipakai guna menemukan gambaran konkrit tentang situasi dan pemahaman jemaat tentang kemandirianl dan praktik pastoral di jemaat GKMI Salatiga Timur dalam kaitannya dengan persoalan kemandirian. Wawancara dengan teknik snowball kepada informan dilakukan bersifat tidak terstruktur.

Walau demikian, wawancara tersebut tetap dalam bingkai menjawab pertanyaan fundamental penelitian. Dalam memperoleh data-data kualitatif dipilih informan

37 John W.Creswell, Alih bahasa Ahmad Lintang Lazuardi, Penelitian Kualitatif & Desai Riset, Memilih Diantara Lima Pendekatan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 205), ix.

38 Ian Holder, The InterpretationOf DocumentsAnd MaterialCulture, dalam Norman K.Denzin &Yvonna S.Lincoln, eds, Collecting and Interpreting QualitativeMaterials (Thaousand Oaks, CA.SAGE Publications Inc. 2003), 155.

39 Sartono Kartodirdjo,Metode Penggunaan Dokumen dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1993), 46.

(23)

23

dari: Jemaat, Majelis, Pengurus gereja cabang, dan gembala jemaat gereja induk maupun cabang.

3. Observasi Partisipatif

Penelitian ini akan diperdalam dengan data-data yang penulis peroleh dari hasil observasi partisipatif. Pengamatan ini dipergunakan untuk merekam dan mencatat hal-hal yang baru dan sebagai sarana validasi dari wawancara dengan informan.

4. FGD (Focus Group Discussion)

FGD dipergunakan dalam menyaring aspirasi jemaat dan para pimpinan gereja berkenaan dengan tanggapan dan dinamika yang berkembang di dalamnya.

Tehnik ini dipakai sebagai pengumpulan data dan cross check data untuk mengetahui data valid.

Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif. Untuk mensintesakan data yang telah diperoleh, baik berupa hasil wawancara, catatan lapangan, dokumentasi, dan hasil pengamatan, maka ada beberapa langkah analisis data yang diterapkan pada penelitian ini. Adapun langkahnya adalah sebagai berikut:40

a. Data reduction (Reduksi Data)

Data yang telah dikumpulkan membutuhkan catatan yang teliti dan rinci.

Diperlukan kecermatan dalam memilih hal-hal pokok, sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data yang telah tereduksi berdasarkan kerangka penelitian ini

40Sugiyono,Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2012), 343-345.

(24)

24

dapat memberikan gambaran yang jelas. Hasil data juga akan memberikan gambaran yang lebih spesifik, sehingga mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data lanjutan dan data tambahan bila diperlukan.

b. Data Display (Penyajian Data)

Data yang telah direduksi disajikan secara kualitatif. Sajian data ini berupa uraian singkat, hubungan antar kategori, flowchart dan juga sejenisnya.

Narasi digunakan untuk menyajikan data, mengingat ini merupakan penelitian kualitatif.

c. Conclusion Drawing / Verivication (Kesimpulan dan Verivikasi)

Kesimpulan awal dalam sebuah penelitian masih bersifat sementara, dan berubah apabila menemukan bukti yang kuat untuk menggugurkan simpulan tersebut. Untuk menghasilkan kesimpulan yang kredibel diperlukan bukti- bukti yang valid dan konsisten saat kembali turun ke lapangan dalam rangka pengumpulan data.

1.6. Sistematika Penulisan

Bab pertama, membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, membahas teori yang digunakan, yakni teori pastoral ke-Indonesiaan dan teori pembangunan jemaat. Bab ketiga, mendeskripsikan pelaksanaan pendampingan pastoral ke-Indonesiaan dalam rangka kemandirian dan pemahaman umat tentang kemandirian gereja. Bab keempat, membahas dan

(25)

25

menganalisa tentang pemahaman dan pelaksanaan pendampingan pastoral ke- Indonesiaan sebagai alat kemandiran. Bab kelima, tentang penutup berupa temuan- temuan yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan, serta rekomendasi untuk penelitian yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Fasilitas ini digunakan untuk berkirim surat atau berita dengan orang lain. Mailing List atau disingkat Milist merupakan sarana untuk berdiskusi secara elektronik

Melalui kegiatan menulis, siswa dapat membuat peta pikiran tentang pengaruh alat transportasi modern terhadap peyebaran hasil produksi pada kehidupan masyarakat dengan

Nama Pekerjaan : Belanja Alat Tulis Kantor (ATK), Belanja Cetak Spanduk, Dokumentasi dan Laporan, Belanja Penggandaan Materi dan Belanja Makan/Minum untuk Kegiatan

adanya sosialisasi cara – cara tentang penanganan gas LPG 3Kg yang tidak mengena dan mencapai keseluruhan masyarakat konsumen pengguna LPG 3KG. Hambatan – hambatan yang dihadapi

c. Pendahuluan Ketiga: Kita tahu bahwa dalil utama hukum ini adalah untuk mengantisipasi supaya masyarakat tidak kembali menyembah berhala. Namun kita tidak yakin bahwa

Kompetensi guru merupakan kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru yang didukung oleh motivasi kerja sebagai kemauan dan menjadi

Kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pre-test pada kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar materi