• Tidak ada hasil yang ditemukan

MELURUSKAN EKOR HARIMAU: GENEALOGI KEKUASAAN PARIWISATA BALI. Oleh Nyoman Wijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MELURUSKAN EKOR HARIMAU: GENEALOGI KEKUASAAN PARIWISATA BALI. Oleh Nyoman Wijaya"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1

MELURUSKAN EKOR HARIMAU:

GENEALOGI KEKUASAAN PARIWISATA BALI Oleh

Nyoman Wijaya

Sejarawan Alumni UGM, S-1, S-2, S-3, staf pengajar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar Bali

Penulis koresponden: iwijayastsp@yahoo.co.id Latar Belakang

Dalam studi ini dibahas wacana pariwisata budaya sebagai kebenaran yang berlaku hingga sekarang di Bali. Topik ini akan ditempatkan dalam kerangka pemikiran Foucault, bahwa budaya adalah suatu artikulasi yang sangat kuat, khususnya ketika digunakan oleh mereka yang diberi hak istimewa untuk berbicara;1 atau budaya adalah pikiran yang begitu kuat, sehingga dengan konsep-konsep yang menyertainya, ia menentukan dunia modern.2 Dengan demikian, selalu ada peluang terjadinya perubahan budaya, seiring dengan munculnya artikulasi baru.3

Stuart Hall mengatakan, artikulasi memiliki makna ganda.

Mengartikulasikan berarti mengucapkan, berbicara ke depan, ucapan, yang di dalamnya ada pengertian pembahasaan, pengekspresian, dan sebagainya;

sedangkan diartikulasikan artinya, menyambung bagian depan (cab) dan belakang (trailer). Dua bagian itu dihubungkan satu sama lain, tetapi melalui penghubungan yang khusus, yang bisa diputus. Oleh karena itu artikulasi adalah bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen berbeda, pada kondisi-kondisi tertentu. Ia adalah suatu hubungan yang tidak perlu ditentukan, tidak bersifat absolut dan esensial sepanjang waktu.4

Makalah yang dibacakan dalam Seminar Sastra dan Budaya tanggal 31 Oktober 2016 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Sebagian dari datanya sudah pernah terpakai dalam I Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri : Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007,” Disertasi S-3. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009.

1 Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, trans, A.M. (London: Tavistock, 1972), pp. 88-105.

2 Michel Foucault, The order of things: an archeology of the human sciences (London:

Tavistock, 1970), p. 26.

3 Perubahan, artinya berubahnya sesuatu ke sesuatu yang lain dalam ruang dan waktu tertentu. Perubahan dibedakan dengan tranformasi, yaitu perubahan yang hanya terjadi pada tataran permukaan, tanpa menyentuh tataran terdalam. Lihat Hedy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Kepel Press, cetakan kedua, 2009), p. 61.

4 Stuart Hall, “On postmodernism and articulation: an interview with Stuart Hall, Lawrence Grossberg, ed., dalam Stuart Hall: Critical dialogues in Cultural Studies, D. Morley &

K-H. Chen (London: Routledge, 1996), p. 141.

(2)

2

Sementara menurut Mark Hobart, artikulasi dapat diterjemahkan menjadi ngadungang (bahasa Bali) yang berarti menyepadankan, menyesuaikan atau menyelaraskan dua hal yang berbeda, terjemahan dari penulis) yang bermakna mengungkapkan dan menghubungkan bersama- sama.5 Semua artikulasi adalah respon terhadap yang lain, artikulasi awal (seperti budaya berlawanan dengan ras atau agama) bertujuan untuk melakukan disartikulasi. Jadi, semakin kuat dan mendalam artikulasi sekitar budaya, maka semakin besar bahaya bahwa dia melakukan disartikulasi terhadap cara-cara pemikiran lain tentang dunia dan terpikat dengannya.6 Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka pariwisata budaya adalah penggabungan dua kata yang berbeda, yakni pariwisata dan budaya yang dipermanenkan oleh orang-orang Bali. Sebagai sebuah artikulasi, karena itu, wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran akan dikaji menggunakan metode genealogi untuk mencari relasi-relasi kuasa wacana pariwisata dengan pengetahuan dan kekuasaan yang melahirkan wacana pariwisata budaya di Bali sebagai suatu kebenaran. Pasti ada epistème,7 atau himpunan berbagai pengetahuan (termasuk di dalamnya konsep tentang dunia, ilmu pengetahuan, filsafat, dan lain sebagainya), yang khas pada masyarakat,8 sehingga dua konsep yang sesungguhnya berbeda, yakni pariwisata dan budaya digabungkan menjadi satu secara permanen serta dianggap sebagai suatu kebenaran.

Topik penelitian ini sangat bermakna untuk kepentingan masa kini, sebab wacana pariwisata budaya telah memakan dirinya sendiri, sebab di satu sisi dia memang terbukti dapat menyelamatkan atau melestarikan, dan merevitalisasi lama yang hampir punah, namun di sisi lain cenderung menjadi penghambat, pengganjal kebutuhan urgensi pengembangan pariwisata, yakni kelancaran lalu lintas. Permasalahan itu akan dijabarkan melalui tiga pertanyaan penelitian, yakni bagaimana proses terciptanya wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran? Mengapa wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran muncul dan bertahan hingga sekarang? Apa implikasi dari kehadiran wacana pariwisata budaya sebagai kebenaran terhadap kondisi masyarakat dan pariwisata Bali masa kini? Demi mencapai tujuan tersebut, maka struktur kemungkinan pemahaman wacana- wacana dalam sejarah kepariwisataan Bali akan dibongkar secara terus- menerus, sehingga dia dapat menelanjangi diri sendirinya. Sampai akhirnya tidak ada celah lagi baginya untuk bersembunyi. Dengan demikian relasi

5 Lihat, Mark Hobart, “The end of the world news: television and a problem of articulation in Bali,” (International Journal of Cultural Studies,Volume 3, 1, 79-102, June, 1999), hlm. 19, footnote 24

6 Mark Hobart, After Culture Anthropology as Radical Metaphysical Critique (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000), p. 27.

7 Redaksi, “Orang yang Berjalan di Depan Kita,” Basis, Nomor 01-02, Tahun Ke-51, Jakarta, Februari 2002, p. 6.

8 Michel Foucault, Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan, terjemahan Rahayu S.

Hidayat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1977), p. 201.

(3)

3

kekuasaan dalam pariwisata Bali yang selama ini ditutupi, disembunyikan, atau dibungkam akan menampakkan dirinya sendiri.9

Sesuai dengan jumlah pertanyaan penelitian yang diajukan, maka kerangka tulisan ini akan dibagi pula menjadi tiga bagian. Bagian pertama membicarakan proses terciptanya wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran. Bagian kedua membahas sebab-musabab muncul dan bertahannya wacana pariwisata sebagai suatu kebenaran hingga kini. Pada bagian ketiga sebagai penutup akan dibicarakan implikasi wacana pariwisata budaya sebagai kebenaran bukan hanya terkait dengan masyarakatnya tetapi juga kondisi kepariwisataannya.

Terciptanya Wacana Pariwisata Budaya

Pada 1 Agustus 1969 dalam pidato peresmian Bali Bandar Udara International Ngurah Rai,10 Soeharto mengharapkan bidang kepariwisataan diharapkan akan menjadi salah satu sumber pembiayaan Pelita I. Bali akan mampu mencapai tujuan ini karena memiliki daya tarik berupa keindahan alamnya yang luar biasa, keramah-tamahan penduduknya, dan keaslian keseniannya. Pariwisata dan usaha modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh sampai menghancurkannya. 11

Sebelumnya, dalam pidato kenegaraan pada 16 April 1968 Soeharto menyampaikan cita-citanya akan menitikberatkan pembangunan Indonesia pada sektor industri pariwisata. Demi mencapai cita-cita itu dia berjanji akan memperbaiki lapangan terbang Tuban dan jaringan jalan-jalan. 12 Ternyata ini bukan wacana pemula, sebab sebelumnya ketika dilantik menjadi Presiden RI pada April 1967 Soeharto mengatakan ingin memperbaiki perekonomian Indonesia dengan menitikberatkan pada sektor industri pariwisata.

Wacana pariwisata lalu menggelinding bagai bola salju, semakin lama semakin membesar. Hampir semua instansi pemerintah berkolaborasi dengan wacana tersebut seperti terlihat dalam pernyataan Kepala Lembaga Pariwisata Nasional (LPN), Brigjen Subroto Kusmarjo pada Januari 1969. Dia menegaskan bahwa dalam Repelita I pariwisata telah menjadi proyek pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong kepariwisataan di dalam negeri. Oleh karena itu dalam promosi pariwisata tahun 1969 Bali mendapat prioritas pertama dan peringkat berikutnya

9 Dikembangkan dari Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), p. 498.

10 Presiden Soekarno sudah membuat ancang-ancang bahwa lapangan Internasional Tuban sudah dapat digunakan pada bulan Juni 1966. Lihat “Pres. Soekarno Perintahkan,”

Suara Indonesia, 26 Agustus 1965, p. 1.

11 “Bali Airport International Ngurah Rai dibuka Presiden Soeharto : Manfaatkan Bagi Kemajuan dan Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat,” Suluh Marhaen, 2 Agustus 1969, p.1

12 Gagasan menjadikan Bali sebagai objek utama pariwisata sudah disampaikan pada zaman Soekarno. Lihat “Pengaruh Tourisme Terhadap Kebudajaan Mendjadi Objek Research,” Suara Indonesia, 19 Djuni 1965, p. 1.

(4)

4

secara berturut-turut Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatra, dan Sulawesi.13

Masih di bulan Januari 1969, Tim Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) sampai terjun ke Bali untuk mendengarkan keterangan dari Kepala Kantor Pariwisata Daerah Bali tentang perkembangan dan masalah-masalah kepariwisataan di daerah ini. Dari Kepala Kantor Pariwisata Daerah Bali mereka mendapat penjelasan mengenai sistem subak, sedangkan dari Gubernur Bali tentang pola-pola dasar organisasi desa adat di Bali, sesuatu yang esensial dalam eksistensi kebudayaan dan peradaban Bali, di samping kegiatan-kegiatan modern di bidang kepariwisataan. Mereka juga meninjau penyelesaian renovasi bandar udara internasisional Ngurah Rai dan perkembangan Hotel Bali Beach Sanur.14

Dilihat secara sepintas, uraian di atas menempatkan Soeharto sebagai inisiator industri pariwisata yang terwariskan sekarang ini di Bali. Namun setelah ditelusuri secara lebih mendalam ke belakang, sama halnya dengan pembangunan lapangan terbang,15 wacana pembangunan pariwisata Bali juga bukan merupakan hal yang baru. Wacana ini sudah muncul pada masa pemerintahan Soekarno. Selama bulan Mei 1965 misalnya, sudah ada gagasan untuk melibatkan sektor perbankan untuk memberikan bantuan kredit kepada para produsen kesenian;16 pariwisata di Bali harus dikembangkan dengan mewujudkan peraturan yang sedikit meringankan pengiriman barang-barang kesenian;17 pariwisata juga diposisikan sebagai alat revolusi untuk membangun dunia baru, senjata ampuh mempercepat kehancuran imprealisme yang sedang sekarat.18

Dengan demikian, konsepsi Soeharto mengenai industri pariwisata adalah lanjutan dari program pendahulunya. Sekalipun demikian, berbeda dengan Soekarno yang menjadikan pariwisata sebagai wahana untuk menghancurkan imprealisme, Soeharto mempertalikan kepariwisataan dengan neoimprealisme dalam wujud praktik-praktik kapitalisme. Cukup lama relasi kuasa itu tersembunyi rapi dalam sejarah kepariwisataan Bali.

Persembunyian itu baru terbongkar setelah hasil penelitian Picard diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam karyanya itu, dia mengatakan baik pemerintah Indonesia maupun ahli-ahli yang dilibatkan

13 “Bali Prioritas ke 1 Kepariwisataan,” Suluh Marhaen, 20 Djanuari 1969, p. 1.

14 “Masalah Pariwisata dan Subak Sistem di Bali didepan Team Lemhanas,” Suluh Marhaen, 22 Djanuari 1969, p. 2.

15 Proyek renovasi lapangan terbang Tuban sudah dimulai sejak tahun 1963 yang meliputi penelitian, pengeboran, dan pengurukan tanah. Namun pengerjaannya dihentikan setelah terjadi peristiwa G 30 S yang berlanjut dengan pembantaian orang-orang PKI. Hasil wawancara dengan Tjokorda Raka Sukawati (Almarhum) di Denpasar tanggal 7 Agustus 2012.

16 “Peranan BKTN dalam hubungan dgn Tourisme, Tourisme Memberikan Kemakmuran Jang Timbal Balik,” Suara Indonesia, 18 Mei 1965, p. 1.

17 “Tourisme di Bali harus dikembangkan,” Suara Indonesia, 19 Mei 1965, p, 2.

18 “Pariwisata Sebagai Alat Revolusi, Sendjata Ampuh Membangun Dunia Baru, Suara Indonesia, 18 Mei 1965, p. 3.

(5)

5

oleh Bank Dunia tidak peduli sama sekali tentang akibat pariwisata terhadap masyarakat dan budaya Bali, sebab tujuan master plan yang mereka buat sesungguhnya hanya demi menyeimbangkan kembali neraca pembayaran nasional Indonesia. 19

Menyeimbangkan kembali neraca pembayaran nasional Indonesia pada masa transisi dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto bukan perkara yang mudah. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan ekspor dan minyak fosil, melainkan harus ada tambahannya dan pariwisata yang dianggap paling tepat memikul beban itu. Para pimpinan Bank Dunia pun datang ke Indonesia pada bulan Maret 1969, yang kemudian menyarankan pemerintah Indonesia supaya membuat Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali (Master Plan for the Development of Tourism in Bali). 20

Saran itu disetujui. Melalui proses tender internasional, pemerintah Indonesia memesan penyusunan pembangunan induk pariwisata Bali itu kepada Société Centrale four I’Équipement Touristique Outre-Mer (SCETO).21 Pada tahun 1970 SCETO mulai melakukan studi yang dibiayai oleh United Nations Development Program (UNDP). Pengerjaannya berlangsung di bawah bimbingan Bank Dunia yang diangkat sebagai pelaksana proyek. Tidak ada satupun anggota tim penyusun dari SCETO yang pernah mengenal Bali atau Indonesia sebelumnya.22

Sementara, Soeharto dan para pejabat pemerintah di tingkat pusat sedang sibuk-sibuknya merancang konsep pengembangan konsep pariwisata untuk Bali, para elite lokal di Bali asyik menangkap pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana tersebut untuk dijadikan kekuasaan, maka lahirlah wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran, yang dipandang benar-benar akan mampu menyelamatkan budaya Bali saat nanti berhadapan dengan arus wisatawan. Terbentuknya wacana tersebut terungkap dalam pernyataan Gubernur Bali pada Agustus 1969, yang mengatakan pemerintah daerah Bali tetap akan menjadikan kebudayaan sebagai dasar dan titik berat orientasi pengembangan dan peningkatan pariwisata di Bali. Oleh karena itu apabila dipandang perlu, selain aparatur yang sudah ada, gubernur dapat membentuk badan pengembangan pariwisata daerah yang terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan swasta untuk menjamin kesinambungan dan efektivitas pelaksanaan pengembangan pariwisata. Badan ini akan berfungsi sebagai alat pembantu gubernur dalam menangani masalah-masalah kepariwisataan.23

Pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana pariwisata Soeharto juga ditangkap oleh sejumlah pihak, antara lain Seksi IV Dewan Perwakilan

19 Ibid.

20 Michel Picard, Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, terj. Jean Couteau dan Warih Wiratsana (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Forum Jakarta-Paris), 2006, p. 64.

21 Ibid., pp. 64-68.

22 Ibid.

23 “Kebudayaan Tetap Merupakan Dasar Orientasi Pengembangan Pariwisata di Bali”, Suluh Marhaen, 16 Agustus 1969, p.1.

(6)

6

Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Propinsi Bali. Pada bulan Oktober 1969 mereka mengajukan pertanyaan lisan dan tertulis kepada pemerintah daerah Bali mengenai konsepsi dan kebijakan kebudayaan daerah antara lain menyangkut kebenaran sinyalemen menurunnya mutu seni, cara-cara penanggulangannya dan koordinasi antara badan-badan atau pihak-pihak terkait; buku-buku dan film-film porno; dan terbentuknya Badan Pengawas Kebudayaan. Sementara, di bidang kepariwisataan mempersoalkan arti zone internasional beserta peta atau bagan operasionalnya; konsepsi Baparda Gaya Baru terhadap pengembangan pariwisata Bali; serta badan-badan asing, nasional, dan swasta yang aktif dalam pengembangan pariwisata.24

Seperti tidak mau ketinggalan, partai politik juga ikut menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana pariwisata Soeharto. Hal itu terungkap dalam sidang Komisi II Rapat Kerja Dewan Perwakilan Cabang Partai Nasionalis Indonesia (PNI) seluruh Bali pada hari Minggu 19 Oktober 1969, bahwa sebagai proyek Pariwisata Nasional Indonesia bagian tengah, masyarakat Bali tidak bisa terlepas dari masalah kepariwisataan. Oleh karena itu PNI memandang perlu membuat pedoman-pedoman untuk menjaga mutu kebudayaan Bali dan meningkatkan kesadaran agama untuk menghindari pengaruh-pengaruh negatif pariwisata. Sedangkan langkah eksternal meliputi pembuatan peraturan daerah tentang kepariwisataan yang mampu menjamin kemurnian kebudayaan Bali dan membimbing serta mengatur biro-biro perjalanan.25

Gagasan pembuatan peraturan daerah kepariwisataan sudah pernah disampaikan oleh Wedagama, seorang pejabat dalam struktur pemerintahan di Bali, pada tanggal 14 Oktober 1968. Peraturan itu antara lain harus berisikan dasar-dasar, tujuan, usaha-usaha, aparatur, prospek, manfaat kepariwisataan Bali. Keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memelihara, membina, dan mengembangkan kebudayaan Bali yang menjadi daya tarik bagi kepariwisataan Bali. Peraturan itu akan menjadi pegangan bagi setiap orang atau instansi pemerintah dalam kegiatan kepariwisataan, karena belum ada Undang-Undang Pariwisata Nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh daerah-daerah dalam kepariwisataan.26

Wacana-pengetahuan-kekuasaan-kebenaran yang meluncur dan berhamburan secara bebas itu, pada tahun 1970 mengerucut menjadi sebuah wacana baru, yakni pemerintah daerah Bali mengambil keputusan akan mendirikan Badan Pengembangan Pariwisata Daerah (Bapparda), suatu lembaga gabungan pemerintah dan tokoh-tokoh pariwisata. Tujuannya untuk memberikan nasehat dan membantu pemerintah daerah dalam hal pariwisata.27 Pada tahun yang sama, bulan Nopember berdiri Klub Diskusi Pembangunan Daerah Bali yang beranggotakan para elite pemerintahan,

24 “Tanjakan Masalah Kebudajaan dan Pariwisata,” Suluh Marhaen, 27 Oktober 1969, p. 1.

25 “Buat Peraturan-Peraturan Kepariwisataan”, Suluh Marhaen, 22 Oktober 1969, p. 1

26 “Kepariwisataan Kandung Banjak Aspek,” Suluh Marhaen, 14 Oktober 1969, p. 1.

27 Michel Picard, op. cit., p. 182.

(7)

7

pengusaha, dan para sarjana, jumlahnya mencapai 100 orang. Pada enam bulan pertama tema-tema diskusi menyangkut pariwisata dan pengaruh yang mungkin ditimbulkannya: arsitektur, pelacuran, hippies, ekonomi, agama dan upacara, kerajinan tangan dan kesenian. Kelompok diskusi ini telah mendobrak tradisi pengelompokan menurut pekerjaan sebagai lazimnya di kota Denpasar.28

Selanjutnya, pada bulan April 1971 bertepatan dengan terbitnya master plan, Rencana Induk Pariwisata Bali dari SCETO, pemerintah Bali menyelenggarakan Pekan Pariwisata I dan mempercayakan Badan Pengembangan Pariwisata Daerah (Bapparda) sebagai koordinatornya. Acara ini dibuka dengan penyambutan resmi atas pengunjung ke 250.000 yang tiba di Bandara Ngurah Rai dilanjutkan dengan arak-arakan dan resepsi di Kantor Gubernur Bali. Di sepanjang jalan dipasang bendera-bendera bertuliskan

“Pariwisata Membangun Bali, Pariwisata Menghidupkan Bali, dan Pariwisata Bali adalah Pariwisata Budaya.”29

Pada tanggal 15 sampai dengan 17 Oktober 1971 pemerintah daerah Bali menyelenggarakan Seminar Pariwisata Budaya Daerah Bali di Denpasar.

Dalam seminar ini disimpulkan bahwa pariwisata budaya adalah kegiatan di bidang kepariwisataan yang menitikberatkan pada perkembangan segi-segi budaya. Budaya Bali erat sekali hubungannya dengan agama Hindu yang satu sama lainnya sulit dipisahkan; bahkan dikembangkan slogan bahwa kebudayaan Bali bersumber pada agama Hindu,30 sehingga semua kegiatan kebudayaan yang berlangsung atas nama Bali betul-betul mencerminkan nilai-nilai dan norma Hindu.

Nyaris bersamaan dengan berlangsungnya kegiatan itu, pemerintah pusat mempersiapkan pembangunan akomodasi kepariwisataan. Salah satu darinya adalah unit baru Hotel Bali Seaside Collage Sanur yang pembangunannya dapat diselesaikan pada bulan Agustus 1972. Pada saat peresmian hotel itu, Gubernur Bali Soekarmen meluncurkan wacana bangunan hotel harus memakai desain dan arsitektur Bali sepanjang tidak mengurangi fungsi bangunannya. Ketinggian bangunannya maksimum 15 meter serasi dengan keindahan alam pulau Bali. Bangunan di pantai Sanur harus sekurang-kurangnya 50 meter dari pantai. Sedangkan di pantai Kuta 100 meter.31

28Fhilip Mc.Kean, “Analisa Pendahuluan Tentang Interaksi Orang Bali dengan Wisatawan: Tradisi Kecil, Besar, dan Modern dari Suatu Kebudayaan,” Bali Dalam Sentuhan Pariwisata, I Gusti Ngurah Bagus, Ed. (Denpasar: Tanpa Penerbit, 1975), p. 37.

29 Picard, loc. cit

30“Surat Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Propinsi Bali, Nomor:

1064/11/Lampiran; 240 expl, Denpasar, 30 Mei 1972, Atjara: Pidato Ketua DPRD Propinsi Bali dalam rangka menjambut Musjawarah para Tjendikiawan/Sardiana Hindu Drama (Indonesia).” (Dokumen ini kepunyaan Pariata Westra, Yogyakarta, sekarang tersimpan di Trisadhanaputra (TSP) art and Science Writing, Denpasar).

31“Grand Opening BSSC, Dirjen Prajogo: Kebudayaan dan Pariwisata tak Dapat Dipisahkan,” Bali Post, 9 Agustus 1972. p. 1.

(8)

8

Bersamaan dengan itu, gerak langkah SCETO dalam pengembangan pariwisata Bali semakin jelas. Mereka ternyata bukan hanya menyusun perencanaan pariwisata secara fisik, tetapi juga secara kelembagaan.

Menurut mereka, pemerintah Indonesia sangat memerlukan keberadaan lembaga pengembangan pariwisata, yang untuk wilayah Bali disebut BTDB (Bali Tourism Development Board). Keanggotaan lembaga ini terdiri atas berbagai unsur kepariwisataan dan didukung oleh sekretarian teknikal yang berintikan tenaga ahli dari berbagai bidang. Pemerintah Indonesia lalu melegalkan BTDB pada maret 1972, melalui Keppres No. 26/1972.

Tugas pokok BTDB bukan hanya menyampaikan pemikiran tentang pengembangan kepariwisataan, tetapi juga mengkoordinasikan semua kegiatan yang terkait dengannya, sehingga dapat memaksimalkan dampak positif dan sekaligus meminimalkan dampak negatif pariwisata di berbagai sektor, seperti ekonomi, lingkungan, dan kebudayaan. BTDB juga diharapkan mampu menjaga keharmonisan hubungan antara lembaga pemerintah, sektor swasta (industri), dan masyarakat melalui berbagai lembaga kemasyarakatan yang telah ada, seperti desa adat, subak, dan pemaksan pura. Fungsi lainnya, bersama-sama pihak swasta, BTDB harus mampu promosi pariwisata Bali.

Hal lain yang juga ditawarkan oleh SCETO adalah strategi melindungi budaya Bali dari dampak turisme dengan cara memisahkan para wisatawan dari penduduk lokal. Dengan mengacu pada konsep itu, maka infrastruktur kepariwisataan dipusatkan di Bali Selatan supaya jauh dari pemukiman penduduk lokal. Untuk mewujudnyatakan konsep itu, pemerintah daerah Bali menyediakan sebuah tanah gersang di pulau Nusa Dua yang merupakan ujung terjauh tanjung selatan pulau Bali. Penggarapan proyek hotel internasional di Nusa Dua dimulai dalam Pelita II dan peletakan batu pertama tahun anggaran 1974 - 1975.32

Pada akhir bulan Februari 1974 pemerintah Indonesia mengadakan pembicaraan dengan World Bank mengenai pemberian kredit infrastruktur terutama jalan menuju hotel di Nusa Dua. Dirjen Pariwisata MJ Pangestu mengharapkan kendatipun infrastruktur belum selesai hendaknya para peminat sudah mulai membangun hotel di Nusa Dua. Kredit dari Bank Dunia sekitar $ 52 juta (untuk pembangunan hotel dan infrastruktur) pada bulan Maret 1974.33

Sejak itu pula, pariwisata dibebani tugas sebagai alat pembangunan ekonomi sekaligus alat pemersatu bangsa dan negara. Pariwisata harus mampu memperbaiki sikap rendah diri bangsa Indonesia terhadap bangsa Barat. Oleh karena begitu beratnya tugas industri pariwisata dan untuk meningkatkan kinerja dunia kepariwisataan, maka pemerintah pusat maupun daerah tampak sibuk sekali mempersiapkan sumber daya

32 “Proyek Nusa Dua Digarap Pelita II: 23 Pemilik Tanah Belum Terima Ganti Rugi,”

Bali Post 25 Februari 1974, p. 1

33 “Cheking Persiapan PATA 600 Peserta PATA Sudah tercatat Bali,” Bali Post 7 Februari 1974, p. 1,

(9)

9

manusianya. Salah satu cara pemerintah mempersiapkan sumber daya manusia di bidang pariwisata, terlihat dari terbentuknya asosiasi pramuwisata Bali, Bali Guide’s Association. Asosiasi ini diresmikan pada malam hari tanggal 15 Februari 1974 di Gedung DPRD Badung.34

Persiapan sumber daya manusia lebih jauh dilakukan dengan cara menyelenggarakan berbagai pelatihan untuk menyongsong kehadiran industri pariwisata, salah satunya adalah “Training on Regional Development Planning ke VI” yang berlangsung di Wisma Werdhapura Sanur tanggal 26 Februari 1974. Training kali ini merupakan yang terakhir dalam bentuk kerjasama antara pemerintah Kerajaan Belgia dengan Indonesia mengenai pembangunan regional untuk daerah Bali.35 Setelah itu pemerintah Indonesia melaksanakan Workshop Pata (Pacific Area Travel Association) ke-23 di Indonesia. Kegiatan ini terdiri atas lokakarya yang diselenggarakan di Bali dan konferensi di Jakarta.36

Banyak orang yang berkompromi dengan wacana PATA, lalu mengambil pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya berupa kebijakan pemerintah memberikan kemudahan bagi pengusaha hotel untuk meminjam kredit di bank. Pengusaha hotel tingkat yang lokal di Sanur yang memanfaatkan kesempatan itu antara lain pemilik Santrian Beach Hotel, Gazebo, Irama, Segara Village. 37 Bersamaan dengan itu, sejumlah hotel besar berbintang lima juga didirikan dengan tujuan yang sama yakni menyukseskan pelaksanaan konferensi Pata, yakni Hotel Sanur Beach dan Hotel Bali Hyatt. 38

Dua hotel besar itu dinyatakan akan bersikap adil, berbagi rejeki dengan hotel-hotel lokal yang sudah dinyatakan siap menampung tamu konferensi Pata, yakni HBB, BSSC, Hyatt Hotel, Sindhu Beach, Hotel Segara Village, Hotel Mars, Hotel Gazebo, Hotel Diwangkara, Hotel Puri Dalem, Satrian Beach Cottage, Hotel Irama Bungalow, Alit’s Beach Bungalow, Hotel Tanjung Sari, dan Mars Bungalow.39 Ternyata semua tamu peserta Pata menginap di hotel-hotel besar, relatif tak ada yang mau tinggal di hotel-hotel kecil. Setelah tidak ada kamar yang tersisa mereka melirik hotel-hotel kecil.

Bukan hanya tidak memperoleh tamu peserta Pata, banyak hotel kecil yang juga kehilangan karyawan. Sebagian besar karyawan hotel kecil pindah kerja ke hotel-hotel besar, seperti misalnya ke Hotel Bali Hyatt. 40

34 “Ikatan Pramuwisata Bali Dibentuk,” Bali Post, 18 Februari 1974, p. 1.

35 Pelita II Menuntut : “Orientasi Sikap Mental Bagi Suksesnya Pembangunan,” Bali Post 5 Februari 1974, p. 1

36 Sukardi Gusti, “Bali dan PATA – 74 Makna Tuan Rumah yang Baik,” Bali Post 13 Februari 1974, Hal: 3

37 Hasil wawancara dengan Ida Pedanda Dwidja Ngendjung, di Sanur 10 Juli 2011

38 Hotel Sanur Beach: “Perlukan 450 Orang Tenaga,” Bali Post 25 Februari 1974, p. 1.

39 Persiapan Loka Karya PATA : “14 Hotel Dinyatakan Siap,” Bali Post 11 Februari 1974, p. 1

40 Wawancara dengan Ida Pedanda Dwidja Ngendjung, di Sanur 10 Juli 2011.

(10)

10

Sebab-musabab Muncul dan Bertahannya Wacana Pariwisata

Sebelum para petinggi Bank Dunia datang ke Indonesia, bahkan sebelum Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan di tahun 1968, para elite lokal Bali sudah menangkap pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana pariwisata yang dilontarkannya. Hal itu terungkap dalam suatu seminar mengenai pembangunan nasional dan daerah di Balai Wantilan Pura Tegeh, Banjar Manukaya Anyar, Tampaksiring tanggal 30 sampai 5 Juli 1968.

Seminar ini diselenggarakan oleh kelompok Angkatan Muda Hindu Indonesia (AHMI) “Kumara Bhavana.” Simpulan-simpulan yang lahir dalam seminar itu bisa disebut sebagai gambaran pengetahuan para elite lokal Bali tahun 1960 tentang pariwisata.41

Ada tiga pokok pemikiran tentang pariwisata yang terkandung dalam pengetahuan para elite lokal Bali saat itu, yakni membentuk badan-badan eksekutif sebagai lembaga resmi pengatur dan pelaksana kebijakan pemerintah di bidang pariwisata; membentuk dan mengembangkan asosiasi- asosiasi pariwisata; menggunakan dan memanfaatkan tenaga-tenaga perempuan di bidang pariwisata.42

Pengetahuan itu diselimuti epistème masyarakat Bali dalam menafsirkan wacana pariwisata yang dilontarkan oleh Soeharto dengan caranya sendiri-sendiri. Kemampuan ini juga ditentukan oleh wujud pengalaman masyarakat Bali dalam menghadapi kenyataan kehidupan pariwisata periode sebelumnya.43 Sekalipun cukup sulit memperoleh data pendukungnya, namun Adrian Vickers (2011), mampu memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan bisnis yang benar- benar nyata di Bali pada tahun 1950-an. 44

Pengalaman di tahun 1950-an itu menjadikan masyarakat Bali relatif mudah membedakan bisnis pariwisata dengan yang lainnya. Berbeda dengan

41 Disebut mewakili para elite lokal Bali karena peserta seminar tersebut bukan hanya anggota AMHI, tetapi juga anggota Parisada Hindu Dharma, Prajaniti, HIBSI, KPB Purantara, KPB Pura, Paruman Para Pandita (PPP) serta peninjau dari lembaga-lembaga, badan-badan, pendukung, dan sebagainya. Demikian juga pemrasarannya terdiri dari orang- orang dalam dan luar AMHI, seperti organisasi-organisasi, lembaga-lembaga, tokoh-tokoh perseorangan, dan makalah yang tersaji juga relatif banyak, mencapai 37 buah. Lihat lebih jauh “Tata Tertib Seminar Angkatan Muda Hindu Indonesia (A. M. H. I.) Untuk Pembangunan Nasional & Pembangunan Daerah Tgl. 30 Djuni s/d 5 Djuli 1968 di Balai Wantilan Pura Tegeh Br. Manukaja – Anjar, Tampaksiring Bali (Dokumen milik Pariata Westra, tersimpan di Tri Sadhana Putra (TSP) Art and Science Writing, Denpasar, Bali).

42 “Lampiran: Tentang Pendapat2, Saran2, Serta Usaha2 Pembangunan di Daerah Bali, Seminar Angkatan Muda Hindu Indonesia (A.M.H.I.) untuk Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah di Tampaksiring, tanggal 30 Djuni s/d 5 Djuli 1968, (Dokumen milik Pariata Westra, tersimpan di Tri Sadhana Putra (TSP) Art and Science Writing, Denpasar, Bali), p. 5.

43 Dikembangkan dari penjelasan Ankersmit mengenai pengertian konsep epistème Foucault. Lihat lebih jauh F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah (Jakarta : PT. Gramedia, 1987), pp. 310-312.

44 Adrian Vickers,” Bali Rebuild ist Tourust Industry: The 1950s,” Bijdragen tot de Taal –Land en Volkunkunde, Vol. 167, No. 4 (2011), pp. 459-481.

(11)

11

yang lainnya, bisnis pariwisata mengutamakan pelayanan dan citra.

Kesadaran akan hal itu terungkap jelas dalam sejumlah simpulan lainnya dalam seminar di Tampaksiring, antara lain, badan-badan eksekutif kepariwisataan yang akan dibangun harus didukung oleh gedung kantor yang refresentatif di tempat-tempat strategis, arsitekturnya harus bercorak Bali, dilengkapi dengan sanitasi dan higienisitas yang terjaga. 45

Sekalipun para elite lokal Bali sudah memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya, namun SCETO dan Bank Dunia ternyata mengangkat seorang ahli khusus untuk mengkaji masalah-masalah kemasyarakatan dan budaya. Mereka hanya mengangkat tiga orang penasehat pribumi, tidak menyertakan pemerintah daerah Bali menyusun syarat-syarat pengembangan pariwisata, kecuali yang terkait penyusunan garis-garis rencana pembangunan.46

Padahal dalam simpulan seminar di Tampaksiring itu sudah ada pula strategi untuk menyelamatkan kebudayaan Bali. Mereka sudah memiliki pengetahuan yang cukup memadai ketika mengembangkan wacana ini, seperti terlibat dari substansi pemikirannya. Ada sejumlah pemikiran penting dalam hal ini, yakni menyangkut penyempurnaan, penyederhanaan, dan pengembangan keorganisasian umat Hindu di Indonesia dan meningkatkan dan mengintensifkan pendidikan atau pengajaran, penyuluhan atau penerangan, serta bimbingan agama dan umat. Selebihnya, mereka juga mulai memikirkan pemecahan persoalan yang sedang dihadapi oleh umat Hindu. Ada sejumlah langkah yang mereka tawarkan dalam menjaga kelestarian budaya Bali antara lain memecahkan persoalan yang terjadi dalam keorganisasian umat Hindu dengan cara menjunjung tinggi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta turut menegakkan kedudukan dan fungsinya sebagai majelis pengemban umat Hindu.47

Uraian di atas menunjukkan wacana pariwisata Soeharto melahirkan sejumlah wacana baru yang di dalamnya tergantung pengetahuan orang Bali tentang pariwisata, agama, bahkan ke masuk ke ruang-ruang mata pencarian terutama ketika mereka membahas topik pendidikan dan pengajaran. Melalui wacana-wacana tersebut mereka menciptakan pengetahuan untuk menunjang eksistensi agama Hindu yang kemudian menjadi pendukung perkembangan pariwisata. Pengetahuan tersebut antara lain terlihat dalam pemikiran mengenai betapa pentingnya pemerintah segera merealisasikan pengangkatan atau penempatan lulusan sekolah Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Dwi Djendra dan Institut Hindu Dharma.48

45 “Lampiran: Tentang Pendapat2, Saran2, Serta Usaha....loc. cit.

46 Michel Picard, op. cit., p. 64.

47 “Pokok2 Persoalan dan Pemetjahannja: Seminar Angkatan Muda Hindu Indonesia (A.M.H.I.) untuk Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah di Tampaksiring, tanggal 30 Djuni s/d 5 Djuli 1968, (Dokumen milik Pariata Westra, tersimpan di Trisadhana Putra (TSP) Art and Science Writing, Denpasar, Bali), p. 2.

48 Ibid.

(12)

12

Dengan demikian, wacana yang dilemparkan oleh seorang presiden tentang pengembangan pariwisata, bukan hanya melahirkan pengetahuan dan kekuasaan tentang kepariwisataan, namun telah dijadikan sebagai batu loncatan untuk melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pengembangan agama Hindu di Indonesia. Pemikiran-pemikiran di Tampaksiring itu dikemudian hari menjadi salah satu faktor terpenting bagi munculnya wacana pariwisata budaya yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Namun hal itu tersebut tidak akan dapat menjelaskan faktor-faktor yang memungkinkan wacana tersebut bertahan hingga sekarang ini. Faktor-faktor tersebut harus dicari pada sebab-sebab lain, yakni satu, kemampuan dalam mempertahankan diri serangan kelompok kritis di awal tahun 1970-an; dua, modal budaya berupa praktik-praktik keagamaan yang lebih menonjolkan kegiatan ritual daripada hakikat keagamaan; tiga, manajemen pengelolaan atau penanganan wisatawan peninggalan masa kolonial; empat, kemampuan melakukan revitalisasi saat-saat menghadapi krisis tahun 1976-1986.

Faktor pertama terlihat ketika para intelektual kritis yang menyoroti dampak negatif pariwisata Bali. Dalam situasi seperti itu muncul MvKean sebagai pembela. Pembelaan McKean terhadap wacana pariwisata budaya Bali sudah dilakukannya pada tahun 1971. Dia mengatakan, pengaruh pariwisata memang sudah terasa di Bali, seperti misalnya, banyak patung yang diukir secara kasar sekali; persahabatan antara orang-orang Bali dengan orang-orang asing menjadi berdasarkan pada uang; anak-anak mulai meminta uang kepada setiap orang kulit putih; kebudayaan Bali bukan lagi untuk persembahan kepada Tuhan dan penghormatan kepada leluhur, melainkan untuk wisatawan.49

Pengaruh buruk industri pariwisata, terutama yang dari dalam negeri, menurut McKean dapat diatasi dengan cara menangkap dan memberikan hukuman keras bagi penjual madat, sedangkan yang dari luar sangat sulit ditolak selama Bali masih memerlukan wisatawan. Sama halnya dengan kesulitan menolak pengaruh film, majalah, dan circus yang bahkan sudah membuat Bali masuk ke tingkatan dunia modern. Akan tetapi selama tetap terikat terhadap keluarga, banjar, tempat asal, kuil-kuil, dadia, agama, dan hubungan sosialnya, maka orang-orang Bali akan cukup mampu mempertahankan tradisi dan kebudayaannya, tidak akan begitu mudah menjadi pengikut pandangan hidup bangsa lain.50

Pada tahun 1973 McKean mempertajam simpulan hasil penelitiannya.

Dia menyatakan bahwa peningkatan jumlah wisatawan ke Bali tidak merusak, tetapi justru sebaliknya akan memperkuat ikatan orang-orang Bali pada tradisi budayanya. Dia yakin orang-orang Bali memiliki kemampuan bukan hanya dalam melestarikan tetapi juga mempertegas identitas budayanya di hadapan wisatawan. Kekayaan yang diperoleh dari pariwisata tidak hanya dipakai mendorong meningkatkan kreativitas seni budaya tetapi

49 Ibid., p. 9.

50 Ibid.

(13)

13

sekaligus juga memberikan perhatian kepada berbagai tradisi yang hampir punah. Mereka memanfaatkan rasa kagum wisatawan untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan terhadap budayanya.51

Pada tahun 1974 I Gusti Ngurah Bagus memperkuat kesimpulan McKean, bahwa industri pariwisata tidak hanya mengarah pada hal-hal yang negatif, namun banyak juga yang positif, yang bermanfaat bukan saja bagi masyarakat di Bali tapi juga Indonesia. Pengaruh positifnya bukan hanya berupa pembukaan lapangan kerja, meningkatnya penghasilan masyarakat, tetapi juga perkembangan dan pemeliharaan kebudayaan Bali. Para wisatawan yang membutuhkan sesuatu yang khas Bali, dalam pandangan Ngurah Bagus telah merangsang munculnya kreativitas dan loyalitas.52

Faktor kedua terlihat ketika para intelektual progresif gagal mengkritisi praktik keagamaan Hindu yang lebih mengutamakan ritual daripada hakekat agama. Serangan tersebut datang dari luar Bali, yang dimotori oleh para mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta. Pada Februari 1972 seorang mahasiswa Hindu asal Bali yang kuliah di UGM, Yogyakarta, Naya Sudjanaputra menyatakan keheranannya dengan sikap para pimpinan agama yang hanya menekankan pada ritual, sehingga agama Hindu menjadi sebuah spirit kosong atau hanya voluntarisme philosophy. Sebagai akibatnya, banyak orang yang tidak berani merombak struktur lama karena takut pada kemarahan para dewa.53

Sebagai jalan keluarnya, Sudjanaputra mewarkan empat saran. Salah satunya adalah menyeimbangkan ritual dengan meningkatkan pemahaman terhadap filsafat agama yang mendalam, sehingga umat Hindu dapat memfungsikan akalnya yang rasional.54 Dia juga meminta supaya pemuka agama Hindu memiliki pandangan filsafat, bukan pandangan berdasarkan adat, pandangan hidup, teori hidup, dan kebudayaan (simbolisme agama bersifat mitos). Oleh karena itu harus didirikan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penampung para sarjana Hindu baik di Jawa maupun Bali untuk berpartisipasi dalam menangani persoalan kemasyarakatan dan kebudayaan.55

Alam pikir itu yang menurut Sudjanaputra menjadi penyebab dari rendahnya partisipasi umat Hindu dalam memecahkan persoalan kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu ia mengusulkan supaya AMHI berani memelopori penyelenggaraan pertemuan untuk membahas pandangan Hindu Bali terutama dalam kaitannya dengan Sila I dan IV

51 Michel Picard, op. cit., pp. 172-173.

52Lihat I Gusti Ngurah Bagus, (ed.), Bali dalam Sentuhan Pariwisata (Denpasar: tanpa penerbit, 1975).

53 Surat Naya Sudjanaputra d/a Asrama Saraswati, Djl. Mawar 1, Jogjakarta, 7 Februari 1972, Kepada Bapak Wedastera Suyasa (Dokumen ini kepunyaan Pariata Westra, Yogyakarta, sekarang tersimpan di Trisadhana Putra (TSP) art and Science Writing, Denpasar, Bali).

54 Ibid.

55 Ibid.

(14)

14

Pancasila. Dalam hal ini, suatu realitas yang perlu diperhitungkan, adanya pertentangan antara kemanusiaan dan ketuhanan, seperti terlihat dari aktivitas agama tertentu dalam merongrong agama Hindu. 56

Pemikiran yang disampaikan oleh Sudjanaputra hanya salah satu skrup kecil gerakan kelompok progresif dalam melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik keagamaan yang lebih mengutamakan ritual daripada hakekat agama. Namun semuanya kandas karena begitu kuatnya artikulasi wacana pariwisata Bali sebagai pariwisata budaya dianggap sebagai suatu kebenaran. Di dalam wacana ini Terutama setelah muncul wacana baru yang mengatakan para wisatawan datang ke bali hanya untuk menyaksikan praktik keagamaan berupa ritual yang menyatu dengan seni pertunjukan. Jika kedua aspek-aspek ritual tersebut ditiadakan, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang mau berkunjung ke Bali.

Faktor ketiga terlihat dalam manajemen pengelolaan pariwisata yang menempatkan para wisatawan bagaikan seorang raja. Faktor ini memang tidak berlaku umum, karena lebih banyak berlaku tamu-tamu negara, wacana para wisatawan sebagai raja merupakan suatu bentuk kebenaran yang terjadi dimana-mana. Tradisi ini merupakan tata cara penyambutan tamu peninggalan masa kolonial yang menyatu dengan peninggalan masa kerajaan.

Tata cara penyambutan tamu model ini pertama kali terlihat ketika para regent, penguasa lokal menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1918 dan 1925.

Acara penyambutan Gubernur Jenderal dipusatkan di pinggir jalan raya, persis di depan rumah dinas Asisten Residen Bali Selatan, bekas areal Puri Denpasar, satu dari tiga istana Kerajaan Badung.57 Di zaman kemerdekaan, tempat ini sering dibangun panggung kehormatan untuk menyambut kedatangan Soekarno dan kemudian menjadi tempat panggung kehormatan pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) sebelum dipindahkan ke Bajra Sandhi, Renon, Denpasar.

Demi memuaskan Gubernur Jenderal, maka sejumlah gadis diperintahkan berbaris di sepanjang jalan yang akan dilaluinya sambil membawa canang.58 Model ini menyerupai konsep pagar ayu yang digunakan di zaman Soekano di Bali atau tempat-tempat lainnya di Indonesia. Gubernur Jenderal juga disambut dengan memakai simbol-simbol agama.59 Para penguasa lokal di Badung (Denpasar), Buleleng, Bangli, Gianyar, Klungkung,

56 Ibid.

57 Data yang digunakan pada bagian ini sudah terpakai dalam Nyoman Wijaya (2009), pp. 456-460.

58 Cara seperti ini dapat pula dilihat dalam acara Pesta Kesenian Bali (PKB), namun bedanya para gadis melakukan prosesi di depan panggung kehormatan seperti akan dibicarakan pada bagian lain.

59 Tjakra, “Boeleleng,” Bali Adnjana, No. 9, Djoemat Oemanis, 20 Maart 1925, Tahoen II, p. 1.

(15)

15

dan Karangasem seperti seperti berlomba memberikan pelayanan yang terbaik kepadanya.60

Di Pura Dalem Singaraja, para gadis dewasa bahkan memeragakan cara-cara melaksanakan ritual keagamaan. Di Rumah Kerajinan Singaraja Gubernur diperlihatkan kain tenun, perkakas dan cara membuatnya serta diberikan tanda mata berupa selembar taplak meja dari kain songket dan sebuah asbak. Di Bangli, Gubernur Jenderal disambut dengan meriah. Di Denpasar dia dijemput oleh kontrolir dan pegawainya serta pengiringnya dengan upacara meriah pula. Beratus-ratus orang membawa bendera dan sejumlah orang melakukan acara mapeed, dan arak-arakan adrah, kesenian khas Islam. Di Pura Museum Denpasar dia diperlihatkan barang- barang kesenian yang indah-indah. Di alun-alun kota Denpasar dia disuguhkan beberapa pertunjukan, seperti legong dan arja.61

Cara-cara penyambutan seperti diterapkan pada Soekarno. Setelah jatuhnya kekuasaan Soekarno diterapkan pada Soeharto, namun gagal.

Soeharto melakukan kunjungan ke Bali dan tiba di Airport Tuban pada hari Minggu 26 November 1967, pukul 09.00.62 Panitia penyambutan menggelar parade upacara sambung menyambung mulai dari tempat Soeharto dan rombongan menginjakkan kaki di landasan Airport Tuban. Melalui upacara- upacara yang serba mitis.63 Pada barisan penyambut, antara lain terlihat Panglima Brigjen Soekertijo dan Gubernur Soekarmen dan unsur Muspida lainnya serta undangan.64 Sambutan selamat datang pun meluncur dari Nyonya Tjokorda Raka Sukawati yang merupakan istri dari Kepala Cabang Hutama Karya yang mewakili karyawan proyek yang menangani rehabilitasi bandar udara Tuban.65

Ketika Soeharto selesai melakukan inspeksi pasukan kehormatan di depan gerbang VIP Room Airport ada sekelompok pagar betis berupa penari- penari pendet, sebuah tarian yang biasanya dipertunjukkan di pura sebagai persembahan kepada para dewa. Mereka adalah gadis-gadis cantik yang sengaja didatangkan dari daerah Tabanan, tepatnya di kecamatan Kerambitan, yang disebut sebagai tempat perburuan gadis-gadis cantik untuk dijebak dalam perangkap-perangkap kencana yang kemudian disuguhkan pada Soekarno. Para gadis penari pendet itu dengan diiringi gamelan memainkan tari penyambutan menaburkan kembang kaya warna dengan wajah terlihat meringis kesakitan karena kaki telanjang mereka menginjak panasnya aspal. Di zaman Soekarno gadis-gadis itu selalu mendapat tugas

60 Ibid.

61 Ibid.

62 “Pak Harto di Bali: Dari Mantera sampai Dialog,” Suluh Marhaen 25 Januari 1968, p. 3.

63 Ibid.

64 “Pak Harto sembahyang bersama Umat Hindu Bali di Besakih, rakjat menjambut dengan spontan,” Suluh Marhaen 29 November 1967, p. 2.

65 Ibid.

(16)

16

tambahan sebagai hospitality committee menghibur para tamu agung dengan keranuman tubuhnya dan kehormatannya sebagai seorang gadis.66

Selanjutnya, Soeharto melakukan perjalanan menuju Pura Besakih, kuil terbesar di Bali. Begitu akan sampai memasuki halaman pura, rakyat menyambut kedatangannya dengan memakai pakaian adat aneka ragam berjejal menyambut kedatanggannya, diiringi dengan suara gamelan.67 Setelah tiba di Besakih, dia beristirahat sejenak, lalu masuk ke ruang ganti untuk mengenakan pakaian adat. Sama dengan Soeharto, istrinya Tien Soeharto juga mengenakan pakaian adat layaknya perempuan Bali.68

Setelah itu terjadi polemik yang cukup panjang setelah wacana artikel tersebut meluas di masyarakat. Praktik penyambutan ala zaman kerajaan itu tidak diberlakukan lagi untuk Soeharto. Namun secara umum tata cara penyambutan tamu seperti itu, dalam batas-batas tertentu terwariskan dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB), yang merupakan faktor keempat dari kemampuan wacana pariwisata budaya mempertahankan diri hingga sekarang seperti diterangkan di bawah ini.

Faktor keempat, kemunculan PKB sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan kebertahanan wacana pariwisata budaya sebagai kebenaran tidak bisa dilepaskan munculnya krisis dalam pariwisata Indonesia pada tahun 1976-1986.69 Pemerintah Indonesia cemas menghadapi tantangan itu.

Upaya-upaya penyelamatan yang dilakukannya sarat dengan relasi kuasa seperti terlihat dari munculnya sejumlah kegiatan seni baik untuk pelestarian maupun revitalisasi, peningkatan kualitas moral generasi muda, dan pemenuhan kebutuhan rohaniah. Muncul pula kegiatan budaya yang terselubung paket-paket wisata antara lain, satu, Pesta Kesenian Bali (PKB);

dua, upacara panca wali krama dan eka dasa rudra di Pura Besakih; dan tiga, pawai ogoh-ogoh menjelang hari raya Nyepi.

Pertama tentang PKB, yang pertama kali diselenggarakan pada tanggal 20 Juni sampai 23 Agustus l979 dipusatkan di Taman Budaya (Art Centre), Abian Kapas Denpasar.70 Kehadiran PKB merupakan respon yang diberikan oleh Gubernur Bali Ida Bagus Mantra terhadap terbitnya Surat

66 “Pak Harto di Bali...,” Suluh Marhaen 25 Januari 1968, loc. cit.

67 “Pak Harto sembahyang....” Suluh Marhaen 29 November 1967, p. 2.

68 Foto penampilan Soeharto dalam pakaian adat sambil mencakup tangan di dada dapat dilihat dalam Geoffrey Robinson, 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Terj. Arif B. Prasetyo. Yogyakarta: LKiS, p. 463.

69 Michel Picard, op. cit., p. 71.

70 Taman Budaya ini berdiri di atas tanah seluas 5 hektar, terdiri dari beberapa bangunan. Fungsinya sebagai tempat pameran tetap karya seniman Bali. Bangunan utama disebut Mahudara Mandhara Giri Bhuwana dan secara keseluruhan kawasan ini dinamai Werdi Budaya (pelestari budaya). Perencanaan gedung ini merupakan hasil sayembara bulan Oktober 1969 yang dimenangkan oleh Sulistiyawati, mahasiswa tingkat III Fakultas Teknik Universitas Udayana di bawah bimbingan Ida Bagus Tugur, dosen Luar Biasa fakultas itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal 14 Februari 1973 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, SH.

(17)

17

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0211/1978 tentang masa liburan sekolah nasional di seluruh tingkatan sekolah selama tiga puluh hari mulai dari 18 Juni 1979. Kehadirannya juga tidak bisa dilepaskan dari pedoman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Muda (Menmud) Urusan Pemuda perihal pengisian waktu libur bagi anak-anak pelajar supaya diarahkan untuk meningkatkan kecintaan pada alam dan budaya Indonesia termasuk kebudayaan daerah.71

Dengan demikian PKB merupakan respon secara tidak langsung pemerintah daerah Bali terhadap anjloknya pariwisata periode itu. Oleh karenanya bisa dimengerti PKB semula ditangani sepenuhnya oleh para pejabat pemerintah daerah. Barulah setelah kedatangan seniman akademis lulusan Amerika Serikat, peran perguruan tinggi mulai kelihatan. Mereka adalah I Made Bandem, I Wayan Sinti, I Wayan Dibia, dan Nyoman Astita yang yang merupakan staf pengajar ASTI Denpasar. Keterlibatan mereka menunjukkan pariwisata Bali yang semula bersifat birokratis mulai mendapatkan sentuhan akademis. Sentuhan akademis itu terlihat ketika gubernur Bali seringkali mengundang Made Bandem untuk diajak bersama- sama mencari jalan keluar atas suatu persoalan yang terjadi dalam PKB.72

Upacara panca wali krama dan eka dasa rudra di Pura Besakih.

Upacara ini sebenarnya sudah pernah terselenggara pada tahun 1963, setelah sebelumnya (1960) didahului oleh panca wali krama. Melalui sejumlah praktik pendisiplinan tubuh, maka orang-orang yang diberi kuasa untuk berbicara atas nama agama Hindu berhasil mengulang kembali pelaksanaan upacara tersebut di tahun 1978 untuk upacara panca wali krama dan eka dasa rudra tahun 1979.73

Bergulir wacana di masyarakat bahwa kedua upacara ini bertujuan untuk memperoleh kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan bagi seluruh umat di dunia.74 Namun pemilihan hari pelaksanaannya yang bertepatan dengan masa-masa krisis pariwisata menunjukkan upacara tersebut sarat dengan relasi kuasa. Apalagi terbukti beritanya disebarkan oleh media nasional, diliput oleh jaringan televisi nasional (TVRI) dan sejumlah media surat kabar dan majalah nasional dan internasional.75 Berita tersebut menarik perhatian dunia karena disertai dengan wacana bahwa eka dasa

71 “Pesta Kesenian Bali Dibuka 20 Juni, Liburan Sebulan, Mau Diapakan?,” Bali Post, 17 Juli, 1979, p. 1.

72 Hasil wawancara dengan Profesor Dr. I Made Bandem, MA., di denpasar tanggal 3 Agustus 2014.

73 David. J. Stuart Fox, Pura Besakih A Study of Balinese Religion and Society, unpublished, A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy of The Australian National University, May, 1978, pp. 337-344.

74 Lihat, A.A. Alit Antara Konta, “Menyambut Karya Agung Eka Dasa Rudra (2 Habis),” Bali Post, 6 Maret 1979, p. 5.

75 David. J. Stuart Fox, op. cit., p. 343.

(18)

18

rudra adalah upacara yang hanya terjadi seratus tahun sekali, tidak ada seorang pun yang akan dapat menyaksikannya untuk kedua kalinya.76

Bukti-bukti dari adanya relasi kuasa terutama dalam kaitannya dengan kepentingan mengatasi stagnasi industri pariwisata periode 1976- 1986 dapat dilihat dalam perdedatan antara Peter Peter Frederick Moore, Kepala Studio Radio Australia Melbourne kepada Parisada Hindu Dharma (PHD) Moore, Kepala Studio Radio Australia Melbourne kepada Parisada Hindu Dharma (PHD). Moore meminta Parisada Hindu Dharma (PHD sekarang PHDI) Pusat supaya diijinkan mengabadikan acara itu dalam bentuk film. Pada 23 Januari 1979 dibuat perjanjian di sebuah notaris di Denpasar, yang ditandatangani oleh Wayan Surpha selaku Sekretaris Jenderal PHD Pusat dan Moore. Dalam surat perjanjian itu antara lain disebutkan Moore harus menyerahkan sebuah film kepada pemerintah daerah Bali dan PHD Pusat selambat-lambatnya pada 1 Agustus 1979. Moore memperoleh hak mengedarkan film itu di luar wilayah Indonesia, sedangkan PHD Pusat untuk dalam negeri. Moore berjanji akan menyerahkan 15 persen dari keuntungan bersih pengedaran film itu kepada PHD Pusat. Uang itu akan digunakan oleh PHD Pusat sebagai dana keuangan Pura Besakih.77

Gubernur Bali Ida Bagus Mantra tidak sependapat dengan kontrak itu, karena upacara itu merupakan korban suci (yadnya) yang dilakukan oleh umat Hindu secara tulus ikhlas.78 Dengan demikian ia menjadikan kesucian upacara dan kepentingan umat sebagai alasan penolakannya, sehingga terkesan seolah-olah inisiatif pelaksanaan upacara itu memang memang benar-benar berasal dari rakyat, padahal dia muncul karena adanya artikulasi yang kuat dari orang-orang yang diberi kuasa untuk berbicara atas nama Bali. Penolakan juga datang DPRD Bali dengan meminta supaya kontrak itu ditinjau kembali dan pendokumentasian eka dasa rudra supaya ditangani oleh pemerintah daerah Bali. Pandangan itu tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya isu dalam media massa lokal bahwa pemerintah daerah sudah menerima uang pendokumentasian eka dasa rudra sebesar tiga ratus juta rupiah, namun sampai tanggal 12 Maret 1979 belum membantah atau membenarkan tuduhan itu.79

Adanya relasi-relasi kuasa dalam upacara eka dasa rudra yang mengerucut ke arah penyelamatan industri pariwisata terungkap secara tidak langsung dalam keterangan yang disampaikan oleh I Gusti Agung Gde Putra (Ketua II Panitia Pelaksana), bahwa akan banyak tamu datang ke Pura Besakih pada saat pelaksanaan upacara itu. 80 Selain itu, diperkuat pula oleh wacana lain, bahwa eka dasa rudra terbuka bagi wisatawan, bukan suatu

76 A.A. Alit Antara Konta, “Menyambut Karya Agung Eka Dasa Rudra (1),” Bali Post, 5 Maret 1979, p. 5.

77 “Gubernur Tidak Sependapat Usaha Mengkomersialkan Karya Agung Eka Dasa Rudra,” Bali Post, 3 Maret 1979, p. 1.

78 Ibid.

79 Kontrak PHD dan Frederick Moore Sekitar Karya Eka Dasa Rudra Tidak Dibenarkan DPRD Bali,” Bali Post, 13 Maret 1979, p. 1.

80 Ibid.

(19)

19

upacara yang eksklusif (tertutup) hanya untuk umat Hindu yang akan bersembahyang. Relasi kuasa ini diperkuat pula oleh adanya pertemuan pada 8 Maret 1979 antara panitia penyelenggara upacara dengan unsur-unsur kepariwisataan Bali. Dalam pertemuan itu antara lain dibahas pakaian yang pantas akan dikenakan oleh wisatawan di Pura Besakih pada puncak acara hari Rabu tanggal 28 Maret 1979.81

Pawai ogoh-ogoh sehari sebelum upacara Nyepi. Berbeda dengan PKB yang elitis birokratis, pawai ogoh-ogoh adalah juga sebuah rekayasa budaya namun gagasan, pelaksanaan dan biayanya sepenuhnya dari rakyat.

Dalam pawai ini patung-patung raksasa yang terbuat dari bambu dan kertas diarak mengelilingi desa sehari menjelang Nyepi untuk mengusir roh-roh jahat. Atraksi ini pertama kali muncul di Denpasar tahun 1985, sebagai ekspresi atas dimasukkannya Nyepi (tahun baru Çaka) sebagai hari libur nasional pada tahun 1984.82 Sebelum tahun 1985, yang ada hanya tradisi mabuu-buu keliling rumah atau desa dengan memakai sarana obor danyuh (daun kelapa yang sudah kering) dan pawai obor bambu keliling desa.83

Dalam perjalanan waktu, ogoh-ogoh berkembang menjadi produk budaya tumpang tindih antara karakter tradisional-patrimonial dengan kapitalisme. Masuknya kapitalisme terlihat dari munculnya profil ogoh-ogoh pesan sponsor berupa motor Suzuki pada tahun 1994.84 Selain itu proses pembuatannya juga masuk ke ruang bisnis seperti terlihat dari adanya pihak yang menyewakan tapel (topeng) ogoh-ogoh, padahal sebelumnya dibuat secara kolektif di banjar-banjar masin-masing.85 Pihak pengusaha di bidang pariwisata juga menjadikan prosesi itu sebagai ajang bisnis dengan menyelenggarakan perlombaan ogoh-ogoh secara rutin di kawasan perhotelan Nusa Dua.86

Demikianlah sejumlah faktor yang ikut menjadi penyebab wacana pariwisata budaya sebagai suatu kebenaran bisa bertahan. Tentu masih banyak faktor lain yang menyertainya, namun untuk kepentingan studi yang sangat terbatas ini, kiranya faktor-faktor tersebut di atas sudah cukup mewakili.

81 “Masalah Pakaian Wisatawan Yang Menyaksikan Upacara Karya Agung Eka dasa Rudra,” Bali Post, 13 Maret 1979, p.1.

82 “Ogoh-ogoh dan Prasangka Buruk,” Bali Post, 14 Maret 1999, p. 3.

83 “Ogoh-ogoh pun Mengalami Evolusi,” Bali Post, 3 April 2002, p. 2.

84 “Sekitar Ogoh-ogoh Bau Sponsor Dilarang pada Bentuk dan Jenisnya,” Bali Post, 21 Maret 1996, p. 2.

85 Pada tahun 2003 tapel (topeng) dan bahkan ogoh-ohoh bahkan sudah diperjualbelikan. Harga topeng dari bahan kayu bisa antara Rp.350.000 sampai Rp.

1.500.000; sedangkan ogoh-ogoh yang sudah jadi, utuh dan lengkap harganya antara Rp.

2.000.000 sampai Rp. 4.000.000. Lihat Wayan Sucipta, “Ogoh-ogoh Berlimpah Rupiah,”

Sarad, No. 27, April 2003, p. 50.

86 “Drs. Wayan Candra: Ogoh-ogoh bisa Membuat Orang Gila,” Bali Post, 16 Maret 1996, p. 9.

(20)

20 Implikasi Wacana Pariwisata Budaya

Pada satu dekade terakhir, wacana pariwisata budaya seperti telah disebut di atas menjadikan masyarakat Bali dihadapkan pada dua pilihan yang serba sulit antara kepentingan pariwisata atau budaya. Jika memilih pariwisata, berarti budaya akan menjadi korban persembahan. Sebaliknya, jika budaya yang diutamakan, maka pariwisata akan menjadi korbannya.

Problema yang dilematis ini muncul karena selama ini konsep-konsep pelestarian, penegakan budaya telah melahirkan banyak tabu dalam ruang kehidupan masyarakat Bali yang pada akhirnya menjadi kontra produktif dengan pertumbuhan pariwisata.

Jenis tabu yang tidak disadari telah mengganggu pertumbuhan pariwisata adalah mesulub dan ngelangkahin, dua konsep yang berbeda namun punya makna yang nyaris sama. Mesulub adalah berjalan dengan cara menyeruduk tanpa terpengaruh dengan benda-benda yang berada di atas kepala, sedangkan ngelangkahin adalah berada atau berjalan di atas dengan melangkahi sesuatu yang ada di bawahnya. Dua konsep tabu ini berlaku untuk sesuatu yang dianggap suci atau disucikan, yakni bagian kepala manusia dan benda-benda ritual keagamaan. Tabu atau larangan membuat bangunan lebih tinggi dari 15 meter seperti disebutkan di atas merupakan implementasinya. Sebagai akibatnya pengaturan tata ruang dan prasarana umum harus selalu tunduk pada konsep tabu tersebut, yang menjadi salah satu faktor penyebab dari kemacetan lalu-lintas, padahal dunia pariwisata tidak hanya memerlukan keamanan tapi juga kenyamanan.

Uraian di atas memperlihatkan ada suatu persoalan kepariwisataan di Bali di masa kini. Persoalan itu bersumber dari adanya perbedaan penalaran dan kesadaran saat menangkap pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana pariwisata Bali, sehingga berbeda pula bentuk kekuasaan yang terbentuk darinya. Pengetahuan yang tersembunyi di dalam wacana tersebut sudah ditangkap oleh pemerintah pusat. Mereka menyadari kondisi mutakhir infrastruktur Bali masih menjadi persoalan pelik yang sulit dipecahkan.

Terjadi kemacetan lalu lintas di mana-mana, terutama di pusat-pusat daerah kunjungan wisata. Penyebab utamanya terletak pada adanya konsentrasi pembangunan pariwisata yang cenderung ke Bali Selatan. Demi mencari jalan ke luarnya, seperti diberitakan di sejumlah media lokal pada tanggal 30 Oktober 2016, pemerintah pusat melalui Bambang Brojonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Republik Indonesia, melemparkan wacana baru akan membangun mengaproyek infrastruktur di Bali berupa mass rapid transit (MRT), sejenis kereta api.87

MRT yang akan dibangun itu akan menghubungkan kawasan pariwisata di Bali Selatan menuju Bandar Udara Internasional Ngurah Rai,

87 Lihat, “Pusat Rancang Megaproyek di Bali,” Jawa Pos Radar Bali, Minggu 30 Oktober 2016, p. 1 dan 31. Lihat pula “Menteri PPN Prioritaskan Kereta Monorel,” Tribuns Bali, Minggu 30 Oktober 2016, p. 6.

(21)

21

sehingga mampu mengurai kemacetan yang kian tak terkendali di wilayah tersebut. Pemerintah sengaja memberi perhatian pada transportasi massal, terutama kereta api, karena kalau jalan (tol) pasti akan ada hambatan berupa sulitnya pembebasan lahan. Selain lebih mudah dalam pengadaan lahan, kereta api akan bisa mengangkut jumlah orang yang lebih besar dan cepat tanpa halangan. Demi mencapai target itu, Brojonegoro meminta pemerintah daerah Bali secepatnya membuat skema perencanaan pembangunan.

Wacana pembangunan monorel sebagai kebenaran itu, ternyata tidak tuntas, karena Brojonegoro belum menjelaskan apakah rel-relnya akan melayang, sebagian layang (elevated), membentang di darat, terowongan (subway), atau sebagian terowongan. Apabila kalau memilih yang berbentuk MRT layang secara utuh, berdasarkan dua konsep tabu di atas, bisa diduga bisa akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Masalah tersebut, selain menyangkut soal-soal teknis seperti pengadaaan lahan parkir untuk kendaraaan para pengguna kereta api akan muncul pula persoalan sosial- kultural, karena pemerintah daerah Bali belum mengambil keputusan apakah akan tetap mengartikulasi pariwisata Bali sebagai budaya secara kaku seperti yang sudah berlalu ataukah fleksibelitas.

Persoalan tersebut dibiarkan mengambang dan membiarkan jalan keluarnya berlangsung secara alami, padahal masyarakat Bali, terutama orang-orang yang diberi kuasa berbicara atas nama tradisi, adat, dan agama Hindu masih menyisakan polemik tiada akhir menyangkut pembangunan infrasktuktur lalu lintas bentuk layang. Polemik itu sudah dimulai tahun 1990. Ketika itu, Tjokorda Raka Sukawati penemu teknik pembangunan jalan layang landas putar bebas hambatan, Sosrobahu, mengusulkan kepada pemerintah daerah Bali supaya membangun jalan layang Denpasar Klungkung, dengan posisi sekitar sekitar 75 meter dari tepi pantai. Pemilik hotel akan diberikan akses untuk naik ke jalan layang itu asalkan mau ikut membiayai pembangunannya. Gagasan itu dipresentasikan di Hotel Werda Pura Sanur, di hadapan pejabat pemerintah daerah Bali, para agamawan, dan budayawan. 88

Secara teknis, Tjokorda Raka mengatakan sudah memiliki metode untuk mengatasi persoalan-persoalan adat, tradisi, dan agama, sehingga orang-orang yang akan atau sedang melakukan prosesi tidak akan sampai mesulub, berjalan di bawah jalan layang. Namun sejak itu muncul polemik dan perdebatan yang berkepanjangan di surat kabar dan ruang-ruang seminar. Semua pihak, terutama yang merasa memiliki kuasa untuk berbicara menangkap pengetahuan yang tersembunyi di balik wacana tersebut dengan cara menciptakan wacana baru untuk meniciptakan pengetahuan-kekuasaan-kebenaran masing-masing. Gagasan tersebut akhirnya mentah, Tjokorda Raka Seperti orang yang sedang menampar angin atau seperti orang yang sedang meluruskan ekor harimau.

88 Wawancara dengan Tjokorda Raka Sukawati (Almarhum) di Denpasar di Denpasar tanggal 7 Agustus 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis memilih judul pembahasan ”Pusat Budidaya dan Rekreasi Ikan Hias Air Tawar” dalam penulisan ini untuk menambah lokasi penjualan ikan hias air tawar yang lebih

Salah satu hal yang membuat Amerika Serikat lebih berhati hati dan penuh pertimbangan dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya terhadap pengembangan nuklir Korea Utara

Bagi mengenalpasti objektif pertama iaitu kesediaaan guru terhadap penggunaan teknologi mudah alih dalam pengajaran pendidikan Islam dari aspek pengetahuan

Skripsi dengan judul “Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP1) / Kapasitas Vital Paksa (KVP) pada Pasien PPOK Stabil Derajat 2 di Balai

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimanakah pelaksanaan klaim asuransi jiwa pada Jasa Raharja terhadap korban kecelakaan lalu lintas

4 3 1 0 Ketepatan mengidentifikasi karakteristik dan properti berbagai bahan bakar alternatif : Natural gas, alkohol, bio- diesel, Hydrogen, Di-Methil Eter (DME), LPG

Ketika penulis melihat limbah bata ringan yang tidak terpakai, timbullah pemikiran untuk dijadikan bahan pengganti agregat kasar, yang biasanya di gunakan di dalam

Materi yang diajarkan dalam penelitian ini yaitu materi segiempat pada siswa kelas VII SMPN 1 Pogalan semester 2. Model pembelajaran yang digunakan adalah