A.Self Efficacy
1. Pengertian Self Efficacy
Self efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep self efficacy pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Self efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986). Baron dan Byrne (2004) mendefinisikan self efficacy sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi diri dalam melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi suatu masalah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu dan evaluasi terhadap kemampuannya dalam mengatur, melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan.
2. Dimensi Self efficacy
Bandura (1997) membedakan sel fefficacy menjadi tiga dimensi, yaitu level, generality, dan strength.
a. Dimensi Level
Dimensi ini mengacu pada derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas Persepsi terhadap tugas yang sulit dipengaruhi oleh kompetensi yang dimiliki individu. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Keyakinan ini didasari oleh pemahamannya terhadap tugas tersebut.
b. Dimensi Generality
c. Dimensi Strength
Dimensi strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki ketika menghadapi tuntutan tugas atau permasalahan. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Self efficacy yang lemah dapat dengan mudah menyerah dengan pengalaman yang sulit ketika menghadapi sebuah tugas yang sulit. Sedangkan bila self efficacy tinggi maka individu akan memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas dan akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self efficacy
Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi self efficacy, antara lain:
a. Jenis Kelamin
penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita lebih cakap dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. b. Usia
Individu yang usianya lebih tua tentunya memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam menghadapi suatu hal yang terjadi di hidupnya bila dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dalam kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang usianya lebih muda.
c. Pendidikan
Individu yang menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi biasanya memiliki self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tingkat pendidikannya rendah, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal serta akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidupnya.
d. Pengalaman
Self efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan
pengalaman, maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya.
4. Sumber-Sumber Self efficacy
Menurut Bandura (1997) ada empat sumber penting yang digunakan individu dalam membentuk self efficacy, yaitu :
a. Mastery experience
kesuksesan membutuhkan kerja keras. Setelah individu diyakinkan bahwa individu tersebut memiliki hal-hal yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan, individu akan berusaha untuk bangkit dan keluar dari kegagalan, karena self efficacy yang kuat membutuhkan pengalaman menghadapi rintangan melalui usaha yang tekun.
b. Vicarious experience
c. Persuasi verbal
Persuasi verbal adalah cara ketiga untuk meningkatkan kepercayaan seseorang mengenai hal-hal yang dimilikinya untuk berusaha lebih gigih untuk mencapai tujuan dan keberhasilan/kesuksesan. Persuasi verbal mempunyai pengaruh yang kuat pada peningkatan self efficacy individu dan menunjukkan perilaku yang digunakan secara efektif. Seseorang mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa dirinya dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal berhubungan dengan kondisi yang tepat bagaimana dan kapan persuasi itu diberikan agar dapat meningkatkan self efficacy seseorang. Kondisi individu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi dan sifatnya realistik dari apa yang dipersuasikan. Seseorang yang dikenai persuasi verbal bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan, maka orang tersebut akan menggerakkan usaha yang lebih besar dan akan meneruskan penyelesaian tugas tersebut.
d. Keadaan fisiologis dan emosional
Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi self efficacy. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang
mengancam akan cenderung dihindari. Ketika melakukan penilaian terhadap kemampuan pribadi, seseorang tidak jarang berpegang pada informasi somatic yang ditunjukkan melalui fisiologis dan keadaan emosional. Individu mengartikan reaksi cemas, takut, stres dan ketegangan sebagai sifat yang menunjukkan bahwa performansi dirinya menurun. Penilaian seseorang terhadap self efficacy dipengaruhi oleh suasana hati. Suasana hati yang positif akan meningkatkan self efficacy sedangkan suasana hati yang buruk akan melemahkan self efficacy. Mengurangi reaksi cemas, takut dan stress individu akan
mengubah kecenderungan emosi negatif dengan salah interpretasi terhadap keadaan fisik dirinya sehingga akhirnya akan mempengaruhi self efficacy yang positif terhadap diri seseorang.
5. Proses Pembentukan Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.
a. Proses kognitif
Sebaliknya individu yang self efficacynya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu, maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).
b. Proses motivasi
Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997).
usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self efficacy-nya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), di mana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.
c. Proses afektif
d. Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997).
B.Prokrastinasi Akademik
1. Pengertian Prokrastinasi Akademik
Istilah prokrastinasi pertama kali dicetuskan oleh Brown & Holtzman (dalam Rumiani, 2006) pada tahun 1967 yang berakar dari bahasa
latin “procrastinare’ yang berarti menunda sampai hari selanjutnya.
seorang prokrastinator memiliki pandangan bahwa suatu tugas harus diselesaikan dengan sempurna sehingga ia merasa lebih aman untuk tidak melakukannya dengan segera. Hal ini terjadi karena kalau mengerjakan tugas dengan segera akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal.
2. Aspek – Aspek Prokrastinasi Akademik
Ferrari, Johnson, McGown (1995) mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek pada prokrastinasi, diantaranya:
a. Perceived time, seseorang yang cenderung prokrastinasi adalah orang- orang yang gagal menepati deadline. Mereka berorientasi pada masa sekarang dan tidak mempertimbangkan masa mendatang. Prokrastinator tahu bahwa tugas yang dihadapinya harus segera diselesaikan, tetapi ia menunda-nunda untuk mengerjakannya atau menunda menyelesaikannya jika ia sudah memulai pekerjaannya tersebut. Hal ini mengakibatkan individu tersebut gagal memprediksikan waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas.
Prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batas waktu. Seorang individu mungkin telah merencanakan untuk mulai mengerjakan tugasnya pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan tetapi saat waktunya sudah tiba dia tidak juga melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah ia rencanakan sehingga menyebabkan keterlambatan atau bahkan kegagalan dalam menyelesaikan tugas secara memadai.
c. Emotional distress, adanya perasaan cemas saat melakukan prokrastinasi. Perilaku menunda-nunda akan membawa perasaan tidak nyaman pada pelakunya, konsekuensi negatif yang ditimbulkan memicu kecemasan dalam diri pelaku prokrastinasi. Pada mulanya individu tenang karena merasa waktu yang tersedia masih banyak. Tanpa terasa waktu sudah hampir habis, ini menjadikan mereka merasa cemas karena belum menyelesaikan tugas.
dua perasaan tersebut maka seseorang dapat menghindari tugas-tugas akademik karena takut akan pengalaman kegagalan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik
Berdasarkan beberapa kajian literatur tentang faktor-faktor prokrastinasi, Rumiani (2006) menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi prokrastinasi yaitu faktor internal dan eksternal.
a. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari individu yang turut membentuk perilaku prokrastinasi yang meliputi faktor fisik dan psikologis. Faktor fisik meliputi keadaan fatigue atau seseorang yang kondisi kesehatannya mengalami lelah memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan prokrastinasi. Sedang faktor psikologis yang memengaruhi prokrastinasi akademik meliputi tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial, rendahnya motivasi dan rendahnya kontrol diri.
Menurut Ferrari (1995) prokrastinasi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang salah satunya adalah self efficacy dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Setiap orang yang melakukan prokrastinasi akademik memiliki alasan yang berbeda-beda dari takut untuk mengalami kegagalan hingga memang karena malas saja. Faktor internal memang memiliki potensi yang lebih besar untuk memunculkan prokrastinasi, namun jika terjadi interaksi antara faktor internal dan eksternal maka prokrastinasi yang terjadi akan semakin buruk.
4. Bentuk-Bentuk Prokrastinasi Akademik
Solomon dan Ruthblum (1984) mengemukakan bahwa prokrastinasi akademik terdiri dari beberapa bentuk, yakni sebagai berikut:
a. Berupa penundaan mengerjakan tugas mengarang, meliputi penundaan melaksanakan kewajiban atau tugas-tugas menulis, misalnya menulis makalah, membuat laporan, menyusun skripsi, atau tugas mengarang lainnya.
c. Penundaan tugas membaca, meliputi adanya penundaan untuk membaca buku atau referensi yang berkaitan dengan tugas akademik yang diwajibkan.
d. Penundaan kinerja tugas administratif, misalnya menyalin catatan pelajaran, membayar SPP, mendaftarkan diri dalam presensi kehadiran.
e. Penundaan menghadiri pertemuan, penundaan maupun keterlambatan dalam menghadiri perkuliahan dan pertemuan-pertemuan lainnya. Dalam hal ini, terlambat masuk kelas juga masuk pada kriteria prokrastinasi.
f. Penundaan kinerja akademis secara keseluruhan, menunda mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara keseluruhan.
C.Mahasiswa USU yang Sedang Mengerjakan Skripsi
Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2012).
Menurut Pikatan (1997) ada dua unsur penting dalam kegiatan skripsi (tugas akhir) yaitu meneliti dan membuat tulisan. Slamet (dalam Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006) menyebutkan bahwa banyak mahasiswa yang tidak mempunyai kemampuan dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan, prestasi akademis yang kurang memadai, serta kurangnya ketertarikan mahasiswa pada. Hal ini ditambahkan oleh Riewanto (dalam Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006), bahwa kegagalan dalam penyusunan skripsi juga disebabkan kesulitan mahasiswa dalam mencari judul, kesulitan mencari literatur dan bahan bacaan, dana yang terbatas serta kecemasan saat menghadapi dosen pembimbing.
D.Hubungan Self Efficacy dengan Prokrastinasi Akdemik pada Mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang Sedang Mengerjakan Skripsi
bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah pendidikan sesuai dengan bidang studinya.
Skripsi bertujuan agar mahasiswa mampu menyusun dan menulis suatu karya ilmiah, sesuai dengan bidang ilmunya. Mahasiswa yang mampu menulis skripsi dianggap mampu memadukan pengetahuan dan keterampilannya dalam memahami, menganalisis, menggambarkan, dan menjelaskan masalah yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. Skripsi merupakan persyaratan untuk mendapatkan status sarjana (S1) di setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang ada di Indonesia.
Menyusun skripsi merupakan salah satu area akademik yang penting karena menjadi salah satu syarat mahasiswa untuk mendapatkan gelar S1. Namun, hal ini tetap saja ditunda (Catrunada, 2008). Kecenderungan seseorang dalam mengerjakan sesuatu disebut dengan istilah prokrastinasi. Secara umum, prokrastinasi dapat didefinisikan sebagai sebuah kecenderungan perilaku untuk memulai sesuatu dengan lambat yang dapat membawa akibat atau konsekuensi yang buruk bagi orang melakukan prokrastinasi (dalam Deyling, 2008).
Prokrastinasi dalam bidang akademik disebut dengan prokrastinasi akademik. Ferrari (dalam Gufron,2003) berpendapat bahwa prokrastinasi akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas akademis. Rothblum, Beswick, dan Mann (dalam Rizki, 2009) menambahkan bahwa prokrastinasi akademik sebagai kecenderungan melakukan penundaan dalam mengerjakan tugas-tugas akademis dan kecenderungan individu mengalami kecemasan yang berhubungan dengan penundaan yang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhid (2009) menunjukkan hasil bahwa aspek-aspek pada diri individu yang mempengaruhi seseorang untuk mempunyai suatu kecenderungan perilaku prokrastinasi, antara lain rendahnya kontrol diri (self control), self consciuous, rendahnya self esteem, self efficacy, dan kecemasan sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan self efficacy memiliki hubungan dalam munculnya prokrastinasi akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Self efficacy dapat membuat mahasiswa yakin akan kemampuan yang mereka miliki dalam menyelesaikan tugas akademiknya.
E.Hipotesa Penelitian