• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Sumatera Resort

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Sumatera Resort"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian yang berjudul “Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort” ini merupakan kajian antropologi religi yang berkaitan

dengan gender yang akan dibahas adalah tentang Pelayan Perempuan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rayon IV Medan yang berpusat di Sumatera Resort1. Fokus penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengenai proses dan peranan perempuan sebagai pelayan di Gereja Bethel Indonesia.

Antropologi agama merupakan kajian mengenai kehidupan manusia yang dikaitkan dengan sistem keyakinan, dalam hal ini keyakinan terhadap unsur supranatural. Meskipun bersifat abstrak, keyakinan ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran dan mengatur tingkah laku manusia, termasuk juga interaksinya dengan manusia lain, dan hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural itu.

A. Nunuk P. Murniati (2004: 3) mengungkapkan bahwa ajaran dan ujaran agama tentunya memiliki potensi dominan dalam penerapan ideologi gender. Dalam konteks itu pula, agama bisa memberikan inspirasi atau dorongan munculnya ketidakadilan gender. Namun, ketidakadilan itu bukan bersumber dari prinsip

1

(2)

agama, melainkan karena proses perkembangan tafsiran agama dan pemikiran manusia. Secara biologis perbedaan perempuan yakni sebagai kodrat dan ciri fisik. Namun di dalam realitas sosial juga terdapat paham gender, yakni perbedaan perempuan dan laki-laki baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku yang dibentuk oleh sosial budaya pada masing-masing masyarakat. Ideologi gender juga dikonstruksi oleh agama yang merupakan salah satu unsur budaya dalam masyakat. Namun di dalam praktiknya perempuan mengalami beberapa perlakuan yang dianggap tidak setara yakni adanya pembatasan hak-hak perempuan di dalam agama.

Ide untuk meneliti tentang proses dan peranan perempuan di GBI muncul ketika peneliti mengamati adanya suatu fenomena di GBI. Dimana dalam aktifitas ritual agama dan upacara-upacara (ibadah), tidak hanya laki-laki saja yang menjadi pelayan atau orang-orang yang menjadi perangkat-perangkat dalam berlangsungnya ibadah. Peneliti juga melihat banyaknya perempuan yang juga terlibat dalam pelayanan di GBI Rayon IV. Namun, tampaknya sudah menjadi hal yang umum jika ada perempuan yang melayani di gereja ini. Adapun jenis pelayanan yang dilakoni perempuan yang peneliti amati sejauh ini ialah terdiri dari berbagai macam mulai dari menjadi WL (Worship Leader)2, Usher (Penerima tamu dalam ibadah), pemusik, singer (penyanyi latar), penari tamborin, pendoa, bahkan menjadi pendeta dan jenis pelayanan lainnya yang ada di GBI. Tak hanya itu, beberapa perempuan di Gereja Bethel Indonesia juga masuk ke dalam struktur gerejawi. Peneliti menyoroti adanya suatu fenomena pelayanan di Gereja Bethel Indonesia yang mana banyak perempuan pun turut terlibat di segala aspek

2

(3)

3 pelayanan, bahkan banyak perempuan yang memimpin dan menjadi pengaruh. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian guna melihat fungsi, peranan, dan eksitensi pelayan perempuan dalam GBI Rayon IV Sumatera Resort.

Gereja Bethel Indonesia, disingkat GBI merupakan gereja yang beraliran Karismatik yang terdapat di seluruh Indonesia. Karismatik merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk mendeskripsikan kaum Kristiani yang percaya bahwa manifestasi Roh Kudus, gereja beraliran karismatik umumnya mengakui kuasa Roh Kudus. Selain itu juga menerima secara meluas Kesembuhan Ilahi dan dikenal dengan gaya khotbah yang berapi-api dengan tata ibadah pujian penyembahan3.

Gereja Bethel Indonesia sama halnya dengan gereja protestan lainnya, gereja ini menerapkan ajaran yang sama dengan gereja-gereja lainnya yakni penerapan ajaran Alkitab. Hanya saja letak perbedaannya ialah tata ibadah dan bahasa, jika dalam gereja kesukuan maka ditemukan ibadah dalam bahasa lokal (etnis). Sementara di GBI Rayon IV menggunakan Bahasa Indonesia dalam beribadah dan berkomunikasi. Namun dalam praktiknya terdapat stigma yang menganggap GBI berbeda karena pola ibadahnya yang bertepuk tangan, menari-nari, mengangkat tangan, mengangis, serta tindakan ekspresif lainnya yang memandang ini „berbeda‟. Hal ini disebabkan adanya pemahaman atau perspektif

berbeda antar gereja Luteran dan Karismatik.

3

(4)

Gereja ini tentunya melibatkan setiap orang-orang Kristen yang sudah percaya dalam melakukan pelayanan, demikian juga para pelayan perempuan. Setiap pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia memiliki masing-masing latar belakang berbeda sehingga menjadi seorang pelayan di gereja. Hal ini jugalah yang akan dibahas penelitian ini. Kata „pelayan‟ dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan sebagai orang yang melayani, pembantu atau pesuruh. Sedangkan melayani artinya ialah membantu menyiapkan atau mengurus apa-apa yang diperlukan seseorang atau meladeni, menerima dan mengendalikan. Sementara pelayanan diartikan sebagai perihal atau cara melayani4. Istilah kata pelayan merupakan suatu fenomena yang terdapat dalam istilah teologi Kristen. Di dalam Alkitab pelayan disebut sebagai diakonia atau yang dapat diartikan sebagai seseorang yang melayani orang lain dalam konteks teologi.

Kata „pelayan‟ merupakan sebutan orang yang melayani di gereja (pelaku) dan „pelayanan‟ dan „melayani‟ merupakan kata kerja dari tindakan si pelayan tersebut

di gereja. Salah satu bentuk pelayanan orang Kristen ialah di gereja. Pelayanan tersebut khususnya di dalam gereja atau tempat-tempat yang dianggap kudus untuk melayani orang lain dan Tuhan Yang dengan rendah hati atau kata lain yakni „hati hamba‟. Adapun tugas pelayan di gereja ialah melayani dan

menfasilitasi jemaat yang beribadah dengan asas-asas rendah hati, mengasihi, dan kemauan untuk melayani. Ungkapan kata pelayanan tidak hanya dilakukan di gereja saja. Pelayanan bisa saja berbentuk perbuatan baik kepada sesama, melakukan misi dan penginjilan, menolong, mengasihi, serta menjadi pelaku firman dan sebagai pemuji dan penyembah Tuhan.

4

(5)

5 Melayani merupakan suatu hal ideal yang dirindukan dan diinginkan oleh setiap umat Kristen. Di dalam Alkitab, Tuhan memberikan mandat bagi setiap manusia di seluruh bumi untuk menjadi pelayan bagi Tuhan. Hal yang menjadi dasar pelayanan ini tertulis di dalam Kitab Perjanjian Baru dengan judul perikop „Perintah Untuk Memberitakan Injil‟, yang tertulis dalam Matius 28:19-20 “(19)

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka

dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, (20) dan ajarlah mereka melakukan

segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai

kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Ayat tersebut tampaknya

merupakan perintah bagi umat manusia untuk menjadi pelayan bagi Tuhan. Pelayanan bisa dilakukan sesuai dengan talenta (karunia) yang dimiliki oleh masing-masing orang. Setiap orang memiliki talenta yang berbeda misalnya menginjil, bermain musik, berbicara atau berkata-kata, berdoa, bernyanyi, menari,

fellowship5, dan hal-hal lain yang dapat diasah dan kemudian dipakai untuk memuji dan memuliakan Tuhan melalui pelayanan. Sejak gereja muncul di Indonesia yang mana ideologi agama dibawa oleh para Misionaris Barat, pelayanan di gereja dilakukan oleh jemaat sesuai dengan kultur masyarakat yang dimiliki, demikian juga GBI Rayon IV memiliki kultur dan ciri khasnya di dalam pelayanan gerejawi.

Untuk mengkaji persoalan posisi, fungsi dan peranan perempuan peneliti juga melihat adanya perbedaan secara historis dari aspek budaya etnis dan agama di setiap masyarakat. Hal inilah yang menjadi sorotan penulis lalu melakukan komparatif terhadap beberapa hal melalui sumber literatur yang ada. Dalam

5

(6)

sejarah perkembangan feminis perempuan atau kelompok perempuan mempunyai tantangan pembatas oleh otoritas keagamaan6. Di dalam budaya masyarakat Jawa, banyak istilah yang mendudukan posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Dan istilah-istilah itu sudah tertanam dalam masyarakat sehingga, diterima dan dimaklumi begitu saja. Seperti contoh dalam istilah budaya jawa ada yang menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking (teman belakang) sebagai teman dalam mengelolah urusan rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Istilah lain pun yang ditujukan kepada perempuan suargo nunut neroko katut, istilah ini juga diperuntutkan bagi para istri,bahwa suami adalah yang menentukan istri akan masuk surga atau neraka7.

Dalam ajaran Islam, Al-Quran lebih menonjolkan kesetaraan gender yang menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Seperti tertulis dalam Al-Quran, surat Al-Hujurat ayat 14 berbunyi :“Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian laki -laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku aga r

kalian lebih mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang

paling takwa”. Serta banyak lagi ayat Al-Quran yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinasi. Di dalam islam laki-laki adalah imam atau kepala di dalam sebuah keluarga maupun di dalam masyarakat dan perempuan menjadi orang yang memang harus taat pada imamnya, Mansour Fakih (1996:37).

6

Soe Morgan, Pendekatan Feminis dalam studi agama.

7

(7)

7 Sementara dalam tradisi Hindu tidak mengakui bahwa kehidupan religius hanya bersumber pada kitab suci saja. Terdapat ajaran-ajaran tradisi lisan maupun praktik ritus. Perempuan dilihat sebagai pemberi keberuntungan, karena mereka haid, menjadi istri, dan melahirkan anak yang diartikan sebagai kekuatan yang membawa keuntungan dan keadilan.

Pada masyarakat Batak Toba, laki-laki lebih dihargai daripada perempuan. Istri yang tidak bisa menurunkan anak laki-laki, membuat laki-laki (suaminya boleh mengawini perempuan lain lagi untuk mendapatkan anak laki-laki). Perempuan bekerja keras, laki-laki berkumpul di lapo tuak (kedai minum) sambil main catur atau kartu, ini masih terdapat di beberapa daerah masyarakat Batak Toba. Dalam suatu pesta Batak, kepala babi diberikan kepada laki-laki, sebagai manifestasi falsafah Batak yang merupakan hak laki-laki. Hubungan darah berdasarkan marga disebut paternalistik. Namun, sebenarnya masyarakat Batak mempunyai konsep tiga tungku (dalihan natolu), yaitu boru, hula-hula, dan dongan sabutuha. Konsep ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai status setara dengan laki-laki8. Bagi masyarakat Batak sebenarnya kedudukan perempuan sangat dihormati, hal ini terbukti dengan berbagai gelar kehormatan yang diberikan, seperti soripada,

parsonduk bolon, tuan boru, boru ni raja dan lain-lain9. Namun dalam praktiknya perempuan batak merupakan orang yang harus tunduk dan hormat pada laki-laki dan menjadi pelayan yang baik bagi keluarga. Perempuan batak yang tidak memiliki iboto (saudara laki-laki) dianggap sebagai sesuatu yang menyedihkan. Karena peran laki-laki dalam budaya batak sangatlah penting dan berharga.

8

A. Ninuk P. Murniati, Getar Gender (Magelang: Indonesia Tera: 2004) hal. 89-90

9

(8)

Kaum perempuan di dalam masyarakat Minangkabau menduduki tempat yang khas karena sistem matriarkhat. Di dalam adat istiadat perempuan Minangkabau memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dan dihargai. Namun, sebagai istri di dalam kehidupan sehari-hari perempuan Minangkabau tidak banyak kuasanya, perempuan merupakan factor yang melayani, misalnya di dalam keluarga aum perempuanlah yang melayani suami dan anak dalam hal mengurus makanan, pakaian, kebersihan rumah, mengurus anak, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam sebuah pesta adat, perempuan yang mengurus kebutuhan dan keperluan dapur, memasak dan lainnya. Bagian terbesar pekerjaan sehari-hari jatuh kepada pundaknya. Hal ini merupakan suatu realitas yang berkaitan dengan isu dan kasus gender, kebudayaan memilah dan memilih peranan dan fungsi bagi laki-laki dan perempuan.

Dahulu perempuan dalam Kristen haknya di dalam gereja dibatasi dengan berbagai alasan. Dalam ajaran Katolik tidak semua bentuk pelayanan dapat dilakukan perempuan, perempuan hanya bisa melayani sebagai suster dan sejenisnya. Namun, kini di beberapa gereja di Indonesia ditemukan telah banyak perempuan yang andil untuk melayani di gereja dengan menduduki berbagai macam posisi pelayanan.

(9)

9 akan melihat sejarah dan dasar-dasar apa saja yang menjadikan ideologi ini muncul. Ketertarikan ini juga karena adanya perbedaan ideologi serta pemahaman gender yang berbeda yang memunculkan perempuan sehingga memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki di Gereja Bethel Indonesia untuk melakukan pelayanan. Sehingga inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk memahami dan memaknai fungsi dan peranan perempuan dalam perspektif ideologi Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.

1.2. Tinjauan Pustaka

Carol R. Ember dan Melvin Ember (dalam T.O. Ihromi 2006:18) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan cara berperilaku yang dipelajari yang digerakkan oleh naluri. Kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Sama halnya dengan James P. Spradley (terjemahan 2007:6) yang mengartikan bahwa kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk meninterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Dalam kesamaan mendefinisikan bahwa budaya adalah suatu hal yang dipelajari dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud tingkah laku. Kebudayaan juga berasal dari pengetahuan dan pemahaman individu.

(10)

sistem kepercayaan atau religi yang merupakan salah satu unsur penting dalam kebudayaan. Agama tak lepas dalam setiap kebudayaan masyarakat.

Menurut T.O. Ihromi (2006:32) walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejum;ah perubahan pada kebudayaan itu, kita harus mengingat, bahwa kebudayaan tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Demikian juga halnya dengan agama atau kepercayaan yang melalui proses dan tahapan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut terjadi pada nilai-nilai dan ideologi agama yang perlahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya.

1.2.1. Agama

Agama merupakan suatu istilah yang sepadan yang digunakan untuk menjelaskan keyakinan atau kepercayaan. Meskipun dalam konteks ini kedua hal ini dinyatakan sama. Namun di Indonesia istilah agama digunakan untuk menjelaskan sistem kepercayaan yang sudah dilembagakan, dan Kristen merupakan salah satu bentuk kepercayaan sudah dilembagakan. Dalam antropologi agama diistilahkan dalam ungkapan „religi‟ yang mendefinisikan kepercayaan atau keyanikan yang

dimiliki oleh setiap masyarakat.

(11)

11 ditangkap oleh akal dan indera manusia. Dalam hal ini agama dipandang sebagai daya penentu kehidupan manusia.

Jonar Situmorang (2013:9) mengartikan sinonim agama dari bahasa asing, „religion‟ yang berasal dari bahasa Latin „religare‟ yang artinya kembali terikat.

Disini disimpulkan bahwa hidup yang beragama itu bukanlah hidup yang lepas dan bebas, melainkan hidup terikat oleh norma-norma dan peraturan-peraturan. Peraturan tentang kebaktian dan kewajiban-kewajibannya adalah alat untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau kelompok orang (persekutuan) dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama, dan alam yang mengitarinya. Peraturan yang tinggi adalah peraturan yang berasal dari Tuhan. Demikian juga ia mengungkapkan bahwa hidup beragama ialah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan, atau jalan yang telah dilimpahkan dan dijiwai sebagai semangat kebaktian kepada Tuhan.

Tony Rudyansjah (2015:5) menjelaskan bahwa bagi ahli antropologi, religi merupakan suatu fenomena budaya yang merupakan satu ekspresi mengenai apa yang sekelompok manusia pahami, hayati, maupun yakini baik secara tersurat maupun tersirat sebagai suatu kenyataan yang paling benar beserta berbagai perilaku berkenaan dengannya, meskipun hal-hal yang dianggap paling benar tidak dapat dibuktikan secara empiris.

(12)

ajaran agama, dapat diketahui sejauh mana agama mempunyai andil memantapkan ekses negatif dari ideologi gender (Nunuk P. Murniati 2004:5).

1.2.2. Pelayan dan Pelayanan

Koentjaraningrat (dalam Skripsi Hans Marpaung 2009:11) mengungkapkan bahwa komponen upacara dalam sebuah kepercayaan ada 4 yakni :

1. Orang yang melakukan dan memimpin upacara 2. Tempat upacara

3. Benda upacara 4. Waktu upacara

Merujuk pada teori di atas, pelayan merupakan salah satu komponen upacara yang penting. Pelayan merupakan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara atau ibadah tersebut. Pelayan ibadah di GBI dari berbagai macam pelayanan bersatu padu di dalam upacara untuk melakukan satu tujuan, baik Worship Leader, Pemusik, Penari Tamborin, Usher, Singer, dan yang lainnya. Tanpa adanya pelayan belum tentu ibadah atau upacara berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki.

Alexander Strauch (terjemahan 2008:61) mendefinisikan arti kata „pelayan‟ dalam

dari berbagai bahasa yang berbeda-beda seperti di bawah ini.

Inggris Indonesia Yunani Latin

Servant Servant = Diakonos = Diakonos

Minister Pelayan

(13)

13

Serve Melayani

(kt.kerja)

Minister Melayani = Diakoneo Ministro

Service Pelayanan

Ministry Pelayanan = Diakonia

Slave Budak = Duolus Servus

Dari uraian di atas mengungkapkan bahwa ia memilah kata-kata yang berbeda dalam berbagai bahasa untuk mendefinisikan apa itu pelayan dan pelayanan. Beberapa kata diantaranya digunakan dalam Alkitab Perjanjian Baru untuk menggambarkan pelayan atau hamba dalam arti sessungguhnya.

Pdm. Markus S., M.Th (2010:196) kata „pelayanan‟ berasal dari bahasa Yunani, yakni diakonia yang berarti melakukan sesuatu yang diperintahkan Tuhan kepada kita. Bagi orang yang sudah percaya (kepada Yesus Kristus), pelayanan merupakan suatu kewajiban. 1 Petrus 4:10 “Layanilah seorang akan yang lain,

sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus

yang baik dari kasih karunia Allah.”

1.2.3. Melihat dalam Perspektif Gender

Secara umum gender merupakan pembedaan atau perbedaan peran laki-laki dam perempuan baik dalam fungsi, tanggung jawab, perilaku, yang dibentuk oleh sosial budaya pada masing-masing masyarakat tersebut.

(14)

1. Teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki hanya disebabkan oleh perbedaan fisiologis dan biologis saja.

2. Teori nurture yang beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh proses belajar dari lingkungan. Konstruksi sosial budayalah yang memunculkan maskulinitas dan feminimitas.

Dari uraian teori di atas, maka jelaslah bahwa agama merupakan hasil budaya yang dibentuk oleh lingkungan yang merupakan factor dari teori

nurture.

Dalam bukunya yang berjudul “Getar Gender” Nunuk P. Murniati (2004: 5) juga mengungkapkan bahwa agama dikembangkan berdasarkan pola pikir yang sudah ada dalam masyarakat. Ideologi gender juga mewarnai munculnya agama-agama dan perkembangannya. Warna atau pengaruh ini tampak dalam peraturan agama. Dari beberapa agama dapat diketahui seberapa jauh agama mempunyai andil memantapkan ekses negative dari ideologi gender.

(15)

15 dari tulang rusuk Adam merupakan hal yang paling tidak menyatakan status

inferior10 perempuan. Dan dibenarkan oleh adanya cerita bahwa perempuanlah yang pertama kali jatuh ke dalam dosa.

Ia juga menjelaskan bahwa beberapa perikop dalam Alkitab menafsirkan bahwa para Bapa Gereja memojokkan perempuan. Perempuan tidak diberikan hak untuk bicara dalam pertemuan jemaat. Kekuasaan ditentukan, seperti dalam gereja Katolik yang berkuasa adalah laki-laki. Sebelumnya perempuan tidak boleh menjadi imam dan pemimpin upacara atau ibadah. Namun, sekarang gereja mulai memberi kesempatan untuk perempuan memimpin ibadah. Gereja-gereja Kristen telah mentahbiskan pendeta perempuan, tak bisa dipungkiri masih banyak paham hakikat pekerjaan perempuan cenderung melayani.

Dalam penelitian ini juga tidak hanya melihat perempuan saja di dalam gereja namun juga melihat pembagian tugas dan peranan antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Nunuk P. Muniarti bahwa analisis gender tidak hanya melihat peran dan kegiatan antara laki-laki dan perempuan, namun juga melihat relasi mereka. Bagaimana agama dalam mempengaruhi hubungan perempuan dan laki-laki. Bersumber dari kitab suci yang ada, dibuat peraturan untuk beribadah kekuasaan mulai ditentukan, seperti dalam gereja Katolik yang berkuasa adalah laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi imam dan pemimpin upacara/ibadah. Namun, sekarang gereja mulai memberi kesempatan bagi perempuan, bahkan gereja Kristen, selain Katolik, sudah mentasbihkan pendeta perempuan.

10

(16)

Akan tetapi gambaran mengenai kedudukan perempuan di dalam masyarakat tidak dapat kita peroleh sebelum kita meneliti arti kedudukan perempuan di dalam rumah tangga dan meninjau ulang kasus-kasus tersebut. (T.O Ihromi dan Maria Ulfa Subadio 1994:41) Dari teks di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa ideologi agama yang merupakan unsur kebudayaan yang mengalami perubahan. Kebudayaan tidak bersifat statis ia selalu berubah. Dalam suatu kebudayaan selalu ada sesuatu kebebasan tertentu pada para individu memperkenalkan variasi hingga variasi-variasi tersebut diterima dan dapat menjadi milik masyarakat. (T.O Ihromi 1980:32)

Trisakti Handayani dan Sugiarti (2008:15-18) mengungkapkan bahwa perbedaan gender dapat melahirkan ketidakadilan. Adapun bentuk manifestasi ketidakadilan tersebut di antaranya adalah11 :

1. Gender dan marginalisasi perempuan

Bentuk manifestasi ini merupakan proses marginalisasi atau pemiskinan terhadap kaum perempuan atau disebut juga pemiskinan ekonomi.

2. Gender dan subordinasi pekerjaan perempuan.

Adanya anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan. Perempuan cenderung tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial dan mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi perempuan.

3. Gender dan stereotip atas pekerjaan perempuan.

11

(17)

17 Stereotip merupakan pelabelan terhadap suatu kelompok ataujenis pekerjaan tertentu. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan, sehingga dinamakan pelabelan negatif. Biasanya terjadi karena disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah makhlukyang lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Dengan adanya pelabelan tersebut membuat perempuan dikonstruksikan sebagai kaum yang identik dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas.

4. Gender dan kekerasan terhadap perempuan.

Jika diperhatikan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan kekerasan yang disebabkan adanya keyakinan gender.

5. Gender dan beban kerja lebih berat

Perkembangan perempuan tidaklah „mengubah‟ peranannya yang lama yaitu

peranan dalam lingkup rumah tangga. Maka dari itu, perkembangan peran perempuan menambah dan menuntut perempuan mengerjakan peranannya sekaligus, sehingga membuat beban kerja yang lebih berat.

(18)

1. Wanita yang berhikmat mengasihi keluarganya.

2. Wanita yang berhikmat memperhatikan kebutuhan keluarganya.

3. Wanita yang berhikmat mendapat pujian orang banyak karena kualitas kehidupannya yang baik. Kualitas yang baik dibuktikan dengan adanya sikap dan tindakan yang taat dan melayani Tuhan.

Dalam bukunya yang berjudul “Lady in Waiting” Jeckie Kendall dan Debbie Jones (2005:9-23 dan 73-87) menguraikan bagaimana seorang perempuan harusnya menyerahkan diri kepada Allah untuk mengabdi dan melayani Tuhan. Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana perempuan memutuskan untuk menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan Yesus serta menjadikan Yesus sebagai fokus utama dalam kehidupan. Kata pengabdian yang dimaksudkan artinya ialah mengabdia atau melayani dan memberikan diri sepenuhnya kepada Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya.

Harmona Daulay (2007:5) mengungkapkan bahwa gender merupakan konsepsi yang mengaharapkan kesetaraan status dan peranan antara laki-laki dan perempuan. Konsep gender melihat semua hal yang dapat dipertukarkan atau berubah dari waktu ke waktu berbeda, dari suatu tempat ke tempat lain. Sehingga stereotip-stereotip yang selama tentang laki-laki dan perempuan yang selama ini dianggap kodrat bukan suatu harga mati yang harus dipertahankan yang tidak menyeimbangkan kesetaraan hubungan laki-laki dan perempuan.

(19)

hal-19 hal yang memang harus dimiliki atau diubahkan oleh perempuan. Agar eksistensi seorang perempuan dapat terus bertahan. Dalam kajian ini peneliti akan menekankan tentang persepsi dan konstruksi, serta ideologi yang terdapat dalam Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adanya peranan perempuan di Gereja Bethel Indonesia yang menjadi pelayan gereja dan turut mengabdikan dirinya untuk pelayanan gereja. Pada penelitian ini juga memiliki pertanyaan penelitian yang merupakan suatu masalah yang ada pada pelayanan perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Adapun pertanyaan penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana proses perekrutan serta peluang bagi pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Sumatera Resort?

2. Bagaimana pandangan pendeta GBI tentang perempuan yang melayani di GBI Rayon IV Sumatera Resort?

3. Bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh perempuan di GBI Rayon IV Sumatera Resort?

1.4. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah :

(20)

b. Mengetahui pandangan pendeta tentang pelayanan yang dilakukan oleh perempuan di GBI Rayon IV.

c. Memahami pelayanan yang dilakukan oleh perempuan serta mengetahui perspektif ideologi GBI rayon IV dalam melibatkan perempuan dalam pelayanan gereja dalam Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah :

a. Menambah kepustakaan Departemen Antropologi FISIP USU dalam kajian mengenai Antropologi Agama yang berkaitan dengan Gender tentang pelayan perempuan di gereja.

b. Menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang Antropologi Religi dan Antropologi Gender.memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang isu gender di dalam gereja

c. Terbentuknya pola pikir yang kritis dalam memandang persoalan gender dan teologi, dan tidak lagi memandang perempuan dalam agama sebagai suatu hal yang bias. Menimbulkan respon masyarakat, peneliti, maupun pakar-pakar agama, serta ilmu sosial dan budaya untuk lebih peka dalam memandang persoalan religi yang berkaitan dengan gender.

1.5. Metode Penelitian

(21)

21 pelayan perempuan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan. Penelitian akan dilakukan di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV Medan di Sumatera Resort, Medan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah:

1. Wawancara

Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui proses tanya jawab sehingga diperoleh makna dari topik yang dibahas. Wawancara mendalam melalui proses dilakukan agar memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide)12, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial atau huungan komunikasi yang relatif intens. Penulis juga mungkin akan menggunakan rekaman bila diberi izin oleh informan untuk direkam. Wawancara merupakan satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh keterangan tentang kejadian yang oleh peneliti tak dapat diamati oleh peneliti secara langsung.

Dalam pengumpulan data peneliti akan mencari data dengan melakukan wawancara dengan informan yang mampu memberikan informasi yang akurat tentang pelayanan perempuan di GBI Rayon IV. Informan yang akan diwawancara dimulai dari informan pangkal yaitu orang yang mungkin dapat membantu memberi tahu tentang informasi awal dan memberikan petunjuk kepada siapa saja kita akan melakukan wawancara. Kemudian informan kunci ialah informan yang memiliki banyak pengetahuan dan mau bertukar informasi,

12

(22)

yang intensitas pertemuannya berulang kali. Yang menjadi target peneliti untuk diwawancara ialah perempuan yang merupakan pelayan di Gereja Bethel Indonesia Sumatera Resort, peneliti akan mewawancarai empat orang pelayan perempuan untuk medeskripsikan kisah pelayanannya, dan pandangan orang sekitarnya baik teman maupun keluarganya, serta pandangan dari pihak gereja maupun pemimpin atau ahli teologi yang ada di gereja (Pendeta).

2. Observasi (Pengamatan)

Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pengindraan yang meninjau secara cermat dan langsung di lapangan dan lokasi penelitian. Pengamatan ini berupa melakukan tindakan mengamati berbagai ruang dan tempat, dimana peneliti mencoba masuk ke dalam kehidupan sosial pelayan perempuan Gereja Bethel Indonesia dan melakukan kegiatan interaksi sehari-hari yang akan dilakukan peneliti bersama dengan masyarakat yang menjadi sasaran penelitian.

Dalam penelitian ini penulis mungkin akan dilakukan teknik observasi partisipant 13

dimana peneliti observasi secara langsung dalam kegiatan di lapangan dan mungkin akan mengikuti ibadah dan kegiatan lainnya. Sehingga penulis dapat menggunakan pengetahuan budaya yang dimilki masyarakat. Tujuan dari observasi adalah untuk menghasilkan sebuah deskripsi yang lengkap dan berkualitas melalui proses interaksi sosial yang dialami. Dimana peneliti akan membangun rapport14 dengan mendekatkan diri dengan masyarakat/informan. Tak lupa juga dalam observasi penulis bila diizinkan akan mendokumentasikan

13

Observasi pa rtisipant adalah sebuah cara pengumpulan data dengan ikut serta teribat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat yang ditelitinya dan mungkin saja bisa tinggal bersama dengan mereka untuk beberapa waktu tertentu.

14

(23)

23 kegiatan yang dilakukan baik menggunakan catatan lapangan (field note) dan mengabadikannya menggunakan kamera.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di Gereja Bethel Indonesia Rayon IV fokus penelitian di GBI Sumatera Resort Medan. Gereja ini berlokasi di Jalan Jamin Ginting Km. 11,5, Simpang Selayang, Medan. Pemilihan lokasi ini didasarkan ketertarikan peneliti terhadap pelayanan perempuan di gereja tersebut untuk melakukan penelitian di lokasi ini.

1.7. Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari lapangan yang berebentuk rekaman maupun

verbatim note akan ditranskripkan atau dipindahkan dalam bentuk field note

(catatan lapangan). Catatan lapangan yang ditulis merupakan catatan yang lebih rinci. Setelah itu data-data tersebut diuraikan dan dideskripsikan dalam skripsi.

Penulis juga akan menggunakan data kepustakaan guna melengkapi informasi yang berkaitan dengan penelitian. Data-data kepustakaan berupa sumber-sumber tertulis seperti buku-buku buletin, warta, dan sumber-sumber elektronik seperti internet.

1.8. Pengalaman Penelitian

(24)

meskipun sudah beberapa kali mengikuti ibadah namun peneliti bukan merupakan jemaat tetap gereja tersebut.

Awalnya melakukan penelitian ini cukup antusias dan merasa ragu mengingat GBI Rayon IV merupakan gereja besar namanya. Ada ketakutan yang muncul jika saja tidak diberikan izin untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Tak lama kemudian sekitar akhir Maret, setelah surat lapangan yang dikeluarkan oleh Fakultas sudah di genggaman kemudian peneliti mendatangi pihak Sekretariat GBI dan memperkenalkan diri serta memohon izin penelitian dan menjelaskan maksud dan tujuan. Bahagia sekali ketika pihak gereja terbuka dan memberikan izin.

Peneliti kemudian diarahkan untuk menemui pihak sekretariat yang merupakan staff WBI (Wanita Bethel Indonesia) yakni Kak Mei. Peneliti mulai terlibat dalam beberapa kegiatan ibadah WBI serta mulai beradaptasi dan mengenal lingkungan GBI Rayon IV. Seiring berjalannya waktu peneliti mengikuti banyak kegiatan yang ada di antaranya ialah kut serta dalam membagikan sarapan pagi serta berpartisipasi memasak untuk konsumsi tukang yang sedang membangun Rumah Persembahan bersama para perempuan-perempuan WBI.

(25)

25 janji untuk bertemu. Namun, untuk jumpa dengan beberapa informan sangatlah sulit dan pernah beberapa kali reschedule (atur ulang jadwal) karena jadwal informan yang sangat padat dan kesibukan yang tidak bisa dielakkan.

Setelah bertemu waktu yang tepat, maka kami berjumpa dan mengobrol satu sama lain, pertemuannya bisa dikatakan tidak hanya sekali saja. Peneliti juga berhubungan dengan informan tidak hanya dengan komunikasi tatap muka, namun juga melalui panggilan telepon maupun SMS (Short Message Service) bahkan beberapa informan juga menggunakan sosial media seperti LINE, untuk berkomunikasi dengan peneliti.

Penelitian yang dilakukan membuat peneliti harus selalu rajin datang ke GBI Rayon IV Sumatera Resort beberapa kali dalam seminggu. Bahkan peneliti pernah setiap hari harus datang agar bisa bertemu dengan salah seorang informan yang cukup sibuk. Tidak hanya di gereja, peneliti juga pernah beberapa kali berjumpa dan melakukan wawancara dengan informan di Kafe dan tempat-tempat lain di luar gereja. Bahkan beberapa informan lainnya juga harus peneliti hampiri ke rumahnya.

(26)

berhubungan baik dan menjadi cukup akrab dengan informan yang sebelumnya sama sekali tidak saling kenal.

Secara spiritual, peneliti juga mendapatkan pengetahuan baru tentang pelayanan dan pengetahuan tentang berdoa dalam gereja karismatik yang notobene peneliti berasal dari gereja kesukuan, yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Namun ini menjadikan peneliti belajar dan menggunakan sudut pandang yang berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

Petani dari ketiga suku tersebut mengalami peningkatan atau perubahan tingkat pendapatan setelah melakukan konversi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit,

Analisis regresi berganda digunakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Farhan

Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bantul Nomor 185/Kep/Bt/1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Badan Pengawas, Direksi dan Kepegawaian Perusahaan Daerah

Bahasa Inggris dan Bahasa Asing Lainnya 352 B3. Muatan Peminatan

Universitas Negeri

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Persertifikatan Tanah-Tanah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kampung Buana Makmur Kecamatan Dayun Kabupaten Siak, maka dapat disimpulkan Sebagian besar responden dalam

Pengenalan citra tulisan tangan angka tersebut mendapatkan akurasi sebesar 96% menggunakan Backpropagation tetapi masih sulit dalam pengenalan angka tertentu seperti